Anda di halaman 1dari 4

Nama : Ryan Pratama

Nim : 17086478

Jurusan : Pendidikan Olahraga

MANUSIA SEBAGAI MAKHLUK PENDIDIKAN

A. Keharusan Manusia Untuk Menjadi Manusia Dewasa


Mengenai keberadaannya manusia di dunia, pada awalnya memang bukan atas
prakarsanya sendiri dan di luar kuasa manusia itu sendiri. Tetapi bersamaan dengan itu,
manusia dihadapkan kepada suatu kenyataan bahwa ia harus melanjutkan keberadaannya
(eksistensinya). Manusia memiliki suatu kesadaran untuk mewujudkan berbagai
kemungkinan dalam eksistensinya, ia harus meng-ada-kan dirinya sendiri atau harus
bereksistensi. Meng-ada-kan dirinya sendiri dalam kalimat di atas bukan berarti
menciptakan sesuatu sebagaimana Tuhan mengadakan (menciptakan) sesuatu dari
ketiadaan, melainkan bahwa manusia itu harus merencanakan, berjuang atau berbuat untuk
menjadi siapa dirinya itu.

B. Eksistensi dan Perkembanagan Manusia bersifat Terbuka


Eksistensi Manusia bersifat Terbuka. Setelah kelahirannya, dalam rangka-
melanjtukan-eksistensinya, manusia selalu dihadapkan kepada keharusan untuk
menentukan pilihan menjadi ini atau menjadi itu. Manusia memiliki kebebasan menentukan
pilihan untuk menjadi siapa dia nantinya. Bersamaan dengan kebebasannya tersebut,
manusia pun dituntut harus bertanggung jawab atas pilihan yang diambilnya. Berkenaan
dengan ini dapatlah dimaklumi, bahwa manusia bersifat terbuka, artinya bahwa dalam
eksistennya manusia adalah makhluk yang belum selesai mengadakan dirinya sendiri. Ia
harus merencanakan dan terus menerus berupaya “mewujudkan” apa yang telah
direncanakannya itu, untuk menjadi seseorang pribadi tertentu sesuai pilihannya
(bereksistensi).
Perkembangan Manusia bersifat Terbuka. Untuk memahami sesuatu kita perlu
melakukan perbandingan, demikian pula untuk memahami sifat perkembangan manusia.
Bolk telah mengemukakan teori retardasi (teori perlambatan dan perkembangan) sebagai
hasil perbandingan antara perkembangan manusia dengan perkembangan hewan. Teorinya
menunjukkan bahwa perkembangan hewan bersifat terspesialisasi (tertutup), sedangkan
perkembangan manusia bersifat belum terspesialisasi (terbuka), dengan itu, apabila
dibandingkan dengan hewan. Nietzschenmenyatakan bahwa manusia adalah
binatang/hewan yang tidak ditetapkan atau das nicht festgesestellte Tier. (C.A. van Peursen,
Tanpa Tahun).

C. Manusia sebagai Makhluk yang Perlu Bantuan]


Pada saat dilahirkan, manusia berada dalam keadaan “tidak berdaya”. Ia belum bisa
berdiri, belum bisa berjalan, belum bisa mencari makanan sendiri, dsb. Pada saat ia
dilahirkan, untuk dapat mempertahankan hidupnya saja ia memiliki ketergantungan dan
betapa ia memerlukan bantuan dari ibu dan ayahnya, atau dari orang dewasa lainnya.
Demikian pula dalam rentang waktu tertentu dalam perjalanan hidupnya lebih lanjut,
banyak tantangan dan masalah yang ia hadapi dan harus dapat ia selesaikan. Sementara itu,
selain anak manusia belum dapat memenuhi berbagai kebutuhan pangan dan sandangnya
secara mandiri, ia pun belum menguasai berbagai pengetahuan (ilmu pengetahuan) dan
keterampilan yang dibutuhkannya dalam rangka memecahkan berbagai masalah hidupnya,
ia belum tahu mana yang benar dan mana yang salah, mana yang baik dan mana yang jahat,
belum tahu ke mana arah tujuan hidupnya dsb. Dengan demikian, dalam perjalanan
hidupnya itu, anak manusia masih harus belajar untuk “hidup”, adapun hal tersebut
mengimplikasikan adanya ketergantungan dan perlunya anak memperoleh bantuan dari
orang dewasa.
Sejak kelahirannya, anak manusia memang telah dibekali insting, nafsu dan berbagai
potensi untuk dapat menjadi manusia atau untuk dapat menjadi dewasa. Manusia memiliki
potensi untuk beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME dan potensi untuk berbuat baik,
namun di samping itu karena hawa nafsunya ia pun memiliki potensi untuk berbuat jahat.
Selain itu, manusia memiliki potensi untuk mampu berpikir (cipta), potensi berperasaan
(rasa), potensi berkehendak (karsa), dan memiliki potensi untuk berkarya. Tetapi bagi anak
manusia, insting, nafsu, dan semua potensi itu belum mencukupi untuk dapat langsung
menjalani dan mengahadapi kehidupan serta untuk dapat mengatasi semua masalah dan
tantangan dalam hidupnya. Contoh: dalam rangka makan, manusia tidak cukup
mengandalkan insting dan nafsu saja. Sebab, makan bagi manusia bukan hanya menyangkut
lapar dan pemenuhan kebutuhan sehubungan dengan rasa lapar.

D. Manusia Belum Selesai Mengadakan Dirinya Sendiri


Sebagaimana telah dijelaskan dalam uraian terdahulu, eksistensi manusia bersifat
terbuka, artinya bahwa manusia adalah makhluk yang belum selesai mengadakan dirinya
sendiri. Dengan demikian, manusia berada dalam perjalanan hidup, dalam perkembangan
dan mengembangkan diri. Ia adalah manusia tetapi sekaligus “belum selesai” mewujudkan
dirinya sendiri.
Bersamaan dengan hal di atas, dalam eksistensinya manusia mengemban tugas
untuk menjadi manusia ideal, yaitu manusia dewasa. Sosok manusia ideal atau manusia
dewasa merupakan gambaran manusia yang dicita-citakan atau yang seharusnya. Sebab itu,
sosok manusia ideal atau kedewasaan tersebut belum terwujudkan, melainkan harus
diupayakan untuk diwujudkan.

E. Manusia adalah Animal Educandum


Manusia belum selesai menjadi manusia, ia dibebani keharusan untuk menjadi
manusia, tetapi ia tidak dengan sendirinya menjadi manusia, untuk menjadi manusia ia perlu
dididik dan mendidik diri. “Manusia dapat menjadi manusia hanya melalui pendidikan”,
demikian kesimpulan Immanuel Kant dalam teori pendidikannya (Henderson, 1959).
Pernyataan tersebut sejalan dengan hasil studi M.J. Lavengeld yang memberikan identitas
kepada manusia dengan sebutan “Animal Educandum” atau hewan yang perlu dididik dan
mendidik diri (M.J. Lavengeld, 1980).

F. Empat Prinsip Antropologis: Manusia Perlu Dididik


Kita dapat mengidentifikasikan empat prinsip antropologis yang menjadi alasan
bahwa manusia dapat dididik. Keempat prinsip yang dimaksud adalah:
1. Manusia belum selesai mengadakan dirinya sendiri.
2. Keharusan manusia untuk menjadi manusia dewasa.
3. Perkembangan Manusia bersifat terbuka.
4. Manusia sebagai makhluk yang lahir tak berdaya, memiliki ketergantungan dan
memerlukan bantuan.

G. Manusia adalah Animal Educabile


M.J. Langeveld (1980) memberikan identitas kepada manusia sebagai “Animal
Educabile” atau hewan yang dapat dididik. Dengan mengacu kepada asumsi bahwa manusia
akan dapat dididik diharapkan kita menjadi sabar dan tabah dalam melaksankan pendidikan.
Andaikan saja kita telah melaksanakan upaya pendidikan, sementara peserta didik belum
dapat mencapai tujuan pendidikan yang diharapkan, kita seyogyanya tetap sabar dan tabah
untuk tetap mendidiknya. Dalam konteks ini, kita justru perlu melakukan introspeksi diri,
barangkali saja terjadi kesalahan-kesalahan yang kita lakukan dalam upaya pendidikan
tersebut, sehingga peserta didik terhambat dalam mencapai tujuan pendidikan yang
diharapkan.

H. Lima Prinsip Antropologis: Manusia sebagai Makhluk yang Dapat Dididik


Berdasarkan uraian di atas dapat ditemukan lima prinsip antropologis yang
melandasi kemungkinan manusia akan dapat dididik, yaitu:
1. Prinsip potensialitas.
2. Prinsip dinamika.
3. Prinsip individualitas.
4. Prinsip sosialitas.
5. Prinsip moralitas.

I. Batas-batas Pendidikan
1. Masalah Batas Pendidikan.
2. Jenis Batas Pendidikan.
3. Batas Bawah dan Batas Atas Pendidikan.
4. Batas pendidikan berhubungan dengan pribadi anak didik.
5. Batas kemungkinan dididik.
6. Batas pendidikan bersifat individual.

J. Aliran Teori Perkembangan Anak Didik

1. Aliran Nativisme
Implikasi teori Nativisme terhadap pendidikan yaitu kurang memberikan
kemungkinan bagi pendidik dalam upaya mengubah kepribadian anak didik. Berdasarkan
hal itu peranan pendidikan atau sekolah sedikit sekali dapat dipertimbangkan untuk
dapat mengubah perkembangan anak didik. Teori ini dikenal sebagai teori yang
pesimistik terhadap peranan ajar/pendidikan (nurture).
2. Aliran Empirisme
Tokoh aliran Empirisme antara lain John Locke dan J.B. Watson. Mereka menolak
asumsi Nativisme, mereka berasumsi bahwa setiap anak dilahirka ke dunia dalam
keadaan bersih ibarat papan tulis yang belum ditulisi (as a blank slate atau tabula rasa).
Setelah kelahirannya, faktor penentu perkembangan individu ditentukan oleh factor
lingkungan atau pengalamannya. Perkembangan individu tergantung kepada hasil
belajarnya dan factor penentu utama dalam belajar sepenuhnya berasal dari lingkungan
(YeLon dan Weinstein, 1977). Dengan demikian, mereka tidak percaya kepada faktor
bakat/potensi yang merupakan turunan atau hereditas sebagai penentu perkembangan
individu (anak didik).
3. Aliran Konvergensi
Tokoh aliran Konvergensi antara William Stern. Penganut aliran Konvergensi
berasumsi bahwa perkembangan individu ditentukan baik oleh factor bakat/potensi
yang merupakan turunan (heredity) maupun oleh factor lingkungan/pengalaman.
Penelitian yang dilakukan beberapa ahli menunjukkan bahwa perkembangan individu
dipengaruhi oleh interaksi dengan cara yang kompleks dari factor hereditas dan factor
lingkungan (Yelon and Weindtein,1977).
Implikasi teori Konvergensi terhadap pendidikan yakni bahwa perkembangan anak
didik mendapat pengaruh baik dari bakat bawaan (dasar) maupun dari lingkungan,
termasuk dari pendidik (ajar/nurture). Kedua hal itu (dasar dan ajar) bersama-sama
memberikan kontribusinya terhadap perkembangan anak didik. Kiranya teori
konvergensi inilah yang cocok kita adopsi dalam rangka praktek pendidikan.

Anda mungkin juga menyukai