Anda di halaman 1dari 25

PROPOSAL SKRIPSI DIAJUKAN KEPADA

SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI MINERAL INDONESIA

GEOLOGI DAN STUDI MITIGASI BENCANA GERAKAN TANAH DAERAH


DLINGO DAN SEKITARNYA, KECAMATAN DLINGO, KABUPATEN
BANTUL, DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

Oleh:
Muhammad Harits Abyan
1019101

PROGRAM STUDI TEKNIK GEOLOGI


SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI MINERAL INDONESIA
BANDUNG
2022
HALAMAN PENGESAHAN
PROPOSAL SKRIPSI DI AJUKAN KEPADA
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI MINERAL INDONESIA

Geologi dan Studi Mitigasi Bencana Gerakan Tanah Daerah


Dlingo dan Sekitarnya Kecamatan Dlingo, Kabupaten Bantul
Daerah Istimewa Yogyakarta

Proposal ini diajukan guna memperoleh kesempatan, tempat, dan bimbingan pelaksanaan
skripsi mahasiswa Strata 1 Program Studi Teknik Geologi, Sekolah Tinggi Teknologi Mineral
Indonesia, Bandung.
Tahun Akademik 2021/2022

Diajukan Oleh:
Muhammad Harits Abyan
1019101
Bandung, Februari 2022

Mahasiswa,

Muhammad Harits Abyan


NPM.1019101

Menyetujui,
Pembimbing Akademik I Pembimbing Akademik II

Dr. Ir. Munasri, M.Sc Melky B. Rondonuwu, S.T, M.T


NIDN. 8860190018 NIDN. 0418058101

Mengetahui,

Ketua Jurusan Program Studi Teknik Geologi

Dr. Ir. Oeke Sobarin, M.T


NIK. 04304912045816
ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .........................................................................................................i


HALAMAN PENGESAHAN......................................................................................... ii
DAFTAR ISI .................................................................................................................. iii
DAFTAR GAMBAR...................................................................................................... iv
DAFTAR TABEL ........................................................................................................... v

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................... 1


1.1. Latar Belakang ............................................................................................................ 1
1.2. Rumusan Masalah ....................................................................................................... 3
1.3. Maksud dan Tujuan ..................................................................................................... 4
1.4. Lokasi dan Waktu Pelaksanaan ................................................................................... 4
1.5. Hasil Penelitian ........................................................................................................... 5
1.6. Manfaat Penelitian ...................................................................................................... 6
1.6.1. Manfaat Bagi Keilmuan ......................................................................................... 6
1.6.2. Manfaat Bagi Institusi ............................................................................................ 6
1.6.3. Manfaat Bagi Masyarakat ...................................................................................... 6
1.6.4. Manfaat Bagi Pemerintah ...................................................................................... 6
BAB II METODOLOGI DAN TAHAPAN PENELITIAN ........................................ 7
2.1. Metode Penilitan ......................................................................................................... 7
2.1.1. Tahap Persiapan ..................................................................................................... 8
2.1.2. Tahap Penelitian Lapangan .................................................................................... 8
2.1.3. Tahap Analisis dan Pengolahan Data .................................................................... 8
2.2. Peralatan Penelitian ..................................................................................................... 9
BAB III GEOLOGI REGIONAL ............................................................................... 10
3.1. Fisiografi Regional .................................................................................................... 10
3.2. Stratigrafi Regional ...................................................................................................10
3.2.1. Periode Pravulkanisme ........................................................................................ 11
3.2.2. Periode Vulkanisme ............................................................................................. 13
3.2.3. Periode Pasca-Vulkanisme .................................................................................. 16
3.3. Struktur Geologi Regional ........................................................................................18

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN – LAMPIRAN
iii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1. Kejadian Tanah Longsor di Desa Muntuk, Kecamatan Dlingo……………3

Gambar 2.1. Bagan Alir Tahapan Penelitian .................................................................... 7

Gambar 3.1. Peta Fisiografi daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur.......................................... 10

Gambar 3.2. Stratigrafi Pegunungan Selatan Menurut Surono, 2009 ............................... 11

Gambar 3.3. Peta Geologi Lembar Yogyakarta ................................................................ 19

iv
DAFTAR TABEL

Tabel 1.1. Data Kejadian Bencana Tanah Longsor Kabupaten Bantul…………… 2

Tabel 1.2. Rencana Jadwal Kegiatan Penelitian ................................................................ 5

v
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Tugas akhir merupakan salah satu mata kuliah (dengan kode mata kuliah GL 805)
yang wajib ditempuh untuk memenuhi kurikulum di program studi teknik geologi Sekolah
Tinggi Teknologi Mineral Indonesia. Materi yang harus dipahami oleh mahasiswa dari mata
kuliah tugas akhir ini merupakan kegiatan pemetaan geologi. Penulis memilih daerah
Kabupaten Bantul sebagai sarana penelitian geologi untuk menerapkan pengetahuan geologi
yang diperoleh selama perkuliahan.
Kabupaten Bantul merupakan daerah yang sering mengalami bencana alam, beberapa
kejadian besar bencana alam yang terjadi di Kabupaten Bantul seperti gempa bumi pada tahun
2006 dan tahun 2010. Selain itu Kabupaten Bantul juga terkena dampak dari bencana letusan
gunung Merapi pada tahun 2010. Dari peristiwa – peristiwa yang telah terjadi, penulis
memperkirakan bahwa karakteristik batuan dan atau tanah daerah Kabupaten Bantul
terpengaruh sebagai dampaknya.
Berdasarkan hal tersebut, penulis tertarik untuk melakukan penelitian keterkaitan
bencana gerakan tanah di daerah Kabupaten Bantul berlandaskan kondisi geologi, terutama
karakteristik batuan dan atau karakteristik tanahnya.
Daerah Dlingo merupakan salah satu Kecamatan di Kabupaten Bantul. Kecamatan
Dlingo terletak di sebelah timur Kabupaten Bantul dan bersebelahan dengan kecamatan
Imogiri. Apabila dilihat dari topografi di daerah tersebut, Kecamatan Dlingo merupakan
daerah dengan topografi berbukit hingga bergunung sehingga hal tersebut menjadi salah satu
faktor penyebab terjadinya gerakan tanah.
Pada tahun 2017 – 2020, bencana tanah longsor yang terjadi di Kabupaten Bantul
sering terjadi di waktu musim penghujan, yang disebabkan intensitas hujan yg tinggi serta
kondisi tanah yang labil (Tabel 1.1).

1
Tabel 1.1. Data Kejadian Bencana Tanah Longsor Kabupaten Bantul Tahun 2017 – 2020
Sumber: (https://gis.bnpb.go.id/#tabel)

Banyaknya wisata yang mulai tumbuh akan berdampak pula pada meningkatnya
wisatawan yang datang berkunjung, baik wisatawan dari daerah sekitar maupun dari luar
Provinsi Yogyakarta. Banyaknya wisatawan yang datang serta pertambahan penduduk yang
cukup pesat sekarang ini akan mengakibatkan meningkatnya pembangunan di daerah telitian.
Pembangunan tersebut dapat berupa pemukiman, tempat penginapan, hotel, dan atau fasilitas
umum lainnya. Kondisi tersebut dapat mempengaruhi dan mengganggu pemanfaatan lahan
dan keseimbangan ekosistem di daerah itu sendiri. Akibat selanjutnya adalah terjadinya
dampak yang sering bersifat negatif seperti bencana alam berupa erosi maupun tanah longsor.
Berikut salah satu kejadian tanah longsor di Kecamatan Dlingo yang menimpa pemukiman
warga (Gambar 1.1).

2
Gambar 1.1. Kejadian Tanah Longsor di Desa Muntuk, Kecamatan Dlingo, Kabupaten Bantul,
19 Januari 2021.
Sumber: (https://yogya.inews.id/berita/dua-rumah-warga-di-dlingo-bantul-rusak-tertimpa-tanah-
longsor)
Dari data tersebut diketahui bahwa diperlukan suatu informasi geologi yang berkaitan
mengenai mitigasi bencana gerakan tanah untuk diketahui apakah daerah tersebut memiliki
zona kerentanan gerakan tanah intensitas tinggi atau rendah, terutama di daerah-daerah yang
mempunyai lereng curam. Hal ini dilakukan untuk mengurangi jatuhnya korban jiwa akibat
tanah longsor.
Berlatar belakang hal tersebut di atas, maka penelitian tentang mitigasi bencana
gerakan tanah menjadi sangat penting untuk memberikan informasi mengenai daerah atau
lokasi-lokasi yang berpotensi terjadinya gerakan tanah menggunakan analisis kestabilan
lereng berdasarkan kenampakan-kenampakan alam yang ada sehingga kita bisa melakukan
berbagai macam cara pencegahan sebelum gerakan tanah menjadi bencana yang tidak kita
harapkan.

1.2 Rumusan Masalah


Tanah longsor merupakan salah satu bencana yang sering terjadi di Indonesia,
termasuk daerah Dlingo. Terjadinya tanah longsor tersebut dapat memberikan dampak
negatif dan menimbulkan kerugian terhadap penduduk sekitar, seperti kehilangan barang
berharga dan harta benda, hingga merenggut nyawa penduduk sekitar yang berada di
sekitarnya. Oleh karena itu berikut adalah rumusan masalah dalam penelitian, yaitu:
1. Bagaimana kondisi geologi daerah telitian, yang meliputi geomorfologi,
3
stratigrafi dan struktur geologinya?
2. Jenis gerakan tanah tanah apa saja yang terdapat di daerah penelitian ?
3. Bagaimana analisis kestabilan lereng yang ada di daerah penelitian
berdasarkan data - data yang telah didapatkan ?
4. Faktor - faktor apa saja yang mempengaruhi kestabilan lereng berdasarkan
analisa kestabilan lereng yang telah dilakukan ?
5. Apa dan bagaimana mitigasi yang sesuai untuk diterapkan di daerah
penelitian?

1.3 Maksud dan Tujuan


Maksud dari penelitian ini adalah untuk melakukan pengambilan data serta analisa
data yang ada di lapangan dan disajikan dalam sebuah laporan penelitian berdasarkan data -
data geologi dan geologi teknik yang ada dalam penelitian. Penelitian ini sebagai salah satu
syarat untuk memenuhi kurikulum yang ditentukan oleh Jurusan Teknik Geologi, Sekolah
Tinggi Teknologi Mineral Indonesia Bandung untuk mendapatkan gelar kesarjanaan Program
Pendidikan Strata-1 (S1) dengan topik sesuai dengan teori yang didapatkan di bangku
perkuliahan serta aplikasinya.
Tujuan yang ingin dicapai adalah untuk mengetahui dan menyajikan data geologi dan
geologi Teknik, sehingga nantinya dapat diterapkan keterkaitannya dengan studi mitigasi di
daerah penelitian.

1.4 Lokasi dan Waktu Penelitian


Daerah penelitian secara administratif termasuk wilayah Kecamatan Dlingo
Kabupaten Bantul Daerah Istimewa Yogyakarta. Secara geografis terletak pada koordinat 7°
54' 30" sampai 7° 57' 00" Lintang Selatan dan 110°26' 30" sampai 110°28' 30" Bujur Timur.
Daerah penelitian tercantum pada peta rupa bumi Imogiri dengan skala peta 1: 20.000 dan
memiliki luas kurang lebih 25 km². Lokasi daerah penelitian berjarak 12 km ke arah Selatan
dari Yogjakarta.
Waktu penelitian direncanakan selama tiga (3) bulan dimulai dari minggu ke 2 bulan
Februari 2022 – April 2022 atau dapat menyesuaikan dengan waktu yang tersedia.

4
Jan-22 Feb-22 Mar-22 Apr-22
Keterangan
3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
Persiapan
Studi Pustaka
Proposal
Perencanaan Lapangan
Lapangan
Observasi
Pengambilan Data
Laboratorium
Petrografi
Geologi Teknik
Mikropaleontologi
Laporan Penelitian
Analisa
Peta
Isi Laporan

Tabel 1.2. Rencana Jadwal Kegiatan Penelitian

1.5 Hasil Penelitian


Hasil dari penelitian ini berupa informasi dan analisis tentang geologi dan aspek
gerakan tanah berdasarkan data yang diperoleh, dan ditambah rekomendasi mitigasi yang
ditafsirkan sesuai untuk daerah penelitian. Peta – peta yang mendukung untuk
menggambarkan hasil penelitian antara lain:
1. Peta lintasan daerah penelitian,
2. Peta DEM daerah penelitian,
3. Peta geomorfologi daerah penelitian,
4. Peta geologi daerah penelitian,
5. Peta geologi struktur daerah penelitian,
6. Peta kemiringan lereng daerah penelitian, dan
7. Peta zona kerentanan gerakan tanah daerah penelitian.

5
1.6 Manfaat Penelitian
Penelitian yang dilakukan untuk memberikan data geologi dan data geologi teknik
yang dapat digunakan dalam rencana pembangunan dan pengembangan wilayah. Penelitian
ini diharapkan seacara ideal dapat bermanfaat bagi semua pihak.
1.6.1. Manfaat Bagi Keilmuan
1. Memberikan informasi terbaru data geologi serta temuan baru jika ditemukan
di daerah penelitian.
2. Mengetahui hubungan kondisi geologi dan lahan wilayah dengan terjadinya
gerakan tanah di wilayah.
3. Memperbanyak ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan kestabilan lereng
dalam hal hubungan teori dengan aplikasi di lapangan.
1.6.2. Manfaat Bagi Institusi
1. Hasil penelitian diharapkan dapat menjadi referensi di Jurusan Teknik Geologi,
Sekolah Tinggi Teknologi Mineral Indonesia Bandung.
1.6.3. Manfaat Bagi Masyarakat
1. Mengetahui tanda-tanda atau gejala awal akan terjadinya gerakan tanah,
sehingga masyarakat dapat melakukan antisipasi secara dini.
2. Mengetahui lokasi rawan gerakan tanah yang berada di sekitar lingkugan
masyarakat setempat.
3. Mengetahui tingkat kerentanan wilayahnya untuk terjadi gerakan tanah.
4. Memberikan dorongan kepada masyarakat untuk meningkatkan pengetahuan
mengenai mitigasi bencana gerakan tanah sesuai rujukan BNPB dan atau BPBD
yang selanjutnya diterapkan di lingkungan sekitar.
1.6.4. Bagi Pemerintah
1. Sebagai bahan acuan membangun sistem informasi bencana gerakan tanah,
yaitu sebagai pusat data dan informasi bagi masyarakat yang ingin
mengembangkan pembangunan fisik yang berada di daerah penelitian.
2. Memberikan informasi kondisi geologi terbaru mengenai lokasi-lokasi rawan
bencana gerakan tanah sehingga dapat digunakan sebagai acuan dalam upaya
pencegahan serta mengurangi resiko bencana gerakan tanah pada daerah
penelitian.
6
BAB II
METODOLOGI DAN TAHAPAN PENELITIAN

2.1 Metode Penelitian


Dalam penelitian ini, metode yang dilakukan adalah pengamatan/pemetaan lapangan,
analisis laboratorium dan analisis studio, sehingga dalam penelitian ini dapat dibagi menjadi
beberapa tahapan-tahapan penelitian sebagai berikut (Gambar 2.1).
Bagan Alir Tahapan Penelitian
Studi Literatur

Pengambilan Data

Data Primer Data Sekunder

Pengumpulan Data Lapangan


• Geologi Regional
• Pengeplotan Lokasi Pengamatan
• Penelitian Terdahulu
• Kedudukan Lapisan Batuan
• Data Curah Hujan
• Pengambilan Foto
• Data Penggunaan Lahan
• Deskripsi Litologi
• Pengukuran Dimensi Lereng
• Pengambilan Sampel Batuan
• Pengambilan Undistrub Soil

Penyajian Data

Analisis Laboratorium
 Petrografi (Sayatan Tipis)
 Mikropalentologi (Umur dan Lingkungan
Pengendapan)
 Geologi Teknik (Sifat Fisik dan Sifat
Mekanik Tanah).

 Peta Lintasan
 Peta Geologi
 Peta Geomorfologi
 Peta Kemiringan Lereng
 Peta Zonasi Kerentanan Gerakan Tanah

Analisa Studio & Interpetasi

Penyusunan Laporan

Gambar 2.1. Bagan Alir Tahapan Penelitian.

7
2.1.1. Tahap Persiapan
Merupakan tahapan sebelum melakukan pemetaan pada daerah telitian, meliputi
studi literatur teoritis yang berhubungan dengan analisa kestabilan lereng dan kondisi
geologi pada umumnya, penentuan daerah telitian, pembuatan proposal serta jadwal
kegiatan. Pada tahap ini peneliti melakukan studi tentang geologi regional dan lokal daerah
yang akan diteliti, menyangkut geomorfologi, stratigrafi, struktur geologi, dsb.

2.1.2. Tahap Penelitian Lapangan


Tahap penelitian di lapangan meliputi kegiatan pemetaan di permukaan yaitu
mengamati, mendeskripsi, interpretasi singkapan, serta interpretasi kemiringan lereng. Dari
hasil kegiatan penelitian lapangan ini akan didapatkan data primer yang menjadi data utama
penelitian. Pengambilan data di lapangan meliputi:
1. Pengamatan detail singkapan, yaitu deskripsi litologi, pengamatan variasi litologi,
dan pengambilan contoh batuan yang dianggap penting untuk analisis lebih lanjut.
2. Pengamatan kenampakan struktur geologi, yaitu pengamatan kekar, bidang sesar,
gores garis, atau breksiasi yang terdapat pada batuan di daerah penelitian.
3. Observasi geomorfologi, yaitu pengamatan morfologi dan bentang alam, tipe pola
pengaliran, serta penentuan satuan geomorfik daerah penelitian.
4. Dokumentasi, yaitu pengambilan gambar singkapan yang terdapat di lapangan baik
dalam bentuk sketsa gambar maupun foto digital, meliputi litologi, potensi geologi,
hal penting dan menarik yang dijumpai di lapangan.

2.1.3. Tahap Analisis dan Pengolahan Data


Tahap analisis data melewati beberapa tahapan untuk dapat mencapai tujuan
penelitian, yaitu analisis laboratorium dan pengolahan data pemetaan geologi, petrografi,
mikropalentologi dan geologi teknik.
1. Analisis Data Pemetaan Geologi
Menentukan jenis penyebaran dan variasi batuan penyususn daerah penelitian. Hasil
yang didapatkan adalah peta geologi.
2. Analisis Petrografi

8
Hasil dari analisis di laboratorium dengan contoh sayatan tipis batuan didapatkan
nama batuannya.
3. Analisis Mikropalentologi
Hasil dari analisis di laboratorium dengan contoh batuan yang dihaluskan
didapatkan umur dan lingkungan pengendapan.
4. Analisis Geologi Teknik
Hasil dari analisis laboratorium akan mendapatkan sifat fisik dan sifat mekanik tanah
yang diperlukan dalam penentuan daya dukung tanah dan kestabilan lereng.

2.2 Peralatan Penelitian


Alat dan bahan yang digunakan untuk penelitian ini yaitu sebagai berikut:
- Peta topografi daerah telitian - Kamera Handphone
- Peta Geologi daerah telitian - Alat tulis
- Palu geologi - Kantong sampel
- Kompas geologi - Larutan HCl
- Loupe - Buku catatan lapangan
- Komparator besar butir
- GPS (Global Positioning System)

9
BAB III
GEOLOGI REGIONAL

3.1 Fisiografi Regional


Secara fisiografi Jawa Tengah oleh Van Bemmelen (1949), membagi Jawa Tengah
menjadi 4 (empat) jalur fisiografi dari utara ke selatan, yaitu:
1. Dataran Pantai Utara Jawa,
2. Jalur Pegunungan Serayu Utara.
3. Jalur Pegunungan Serayu Selatan,
4. Jalur Pegunungan Selatan.

Gambar 3.1. Peta Fisiografi daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur (Van Bemmelen, 1949).

Secara regional daerah penelitian termasuk dalam Jalur Pegunungan Selatan.


Pegunungan Selatan ini secara umum disusun oleh dua kelompok besar batuan yaitu batuan
vulkanik dan batuan karbonat, dengan jurus perlapisan relatif barat-timur dengan kemiringan
ke selatan.

3.2 Stratigrafi Regional


Menurut Surono dalam penelitiannya pada tahun 2009 mengungkapkan bahwa
stratigrafi Pegunungan Selatan dapat dibagi menjadi tiga periode (dari tua ke muda):
1. Periode sebelum aktivitas intensif vulkanisme berlangsung, selanjutnya disebut
periode pravulkanisme. Satuan batuan yang terbentuk pada periode
10
pravulkasnisme adalah batuan malihan yang ditindih tak selaras oleh Kelompok
Jiwo.
2. Periode kegiatan vulkanisme berlangsung secara intensif, selanjutnya disebut
periode vulkanisme, yang membentuk Formasi Kebo-Butak yang secara berurutan
ditindih selaras oleh Formasi Semilir dan Formasi Nglanggeran.
3. Periode setelah kegiatan vulkanisme berakhir ketika organisme karbonat tumbuh
dengan subur; selanjutnya disebut periode pascavulkanisme atau periode
karbonat. Satuan batuan yang terendapkan pada periode ini adalah Formasi
Sambipitu, Formasi Oyo, Formasi Wonosari, Formasi Punung, dan Formasi
Kepek.

Gambar 3.2. Stratigrafi Pegunungan Selatan Menurut Surono, 2009.

3.2.1. Periode Pravulkanisme


Periode pra-Oligosen Akhir atau periode sebelum kegiatan vulkanisme merupakan
periode pembentukan batuan alas Cekungan Pegunungan Selatan. Batuan tertua, Cekungan
Pegunungan Selatan yang tersingkap di Perbukitan Jiwo adalah satuan himpunan berbagai
11
batuan malihan yang ditindih tak selaras oleh batuan sedimen Eosen. Batuan sedimen Eosen
ini dibagi dalam dua satuan, yaitu batuan klastika dan batuan karbonat. Satuan batuan
klastika dinamai sebagai Formasi Wungkal, sedangkan batuan karbonat dinamai Formasi
Gamping oleh Bothe (1929, dalam Surono, 2009). Marks (1957, dalam Surono, 2009)
menyebutkan Formasi Gamping dan Formasi Wungkal sebagai Kelompok Jiwo.
Satuan Batuan Malihan
Satuan batuan malihan tersingkap baik di Perbukitan Jiwo, terdiri atas filit, sekis,
genis, serpentinit, batusabak, sedimen malih, batuan gunungapi malih, dan marmer.
Wardana drr. (2008, dalam Surono, 2009) meneliti fasies batuan malihan di daerah
Perbukitan Jiwo bagian barat, dan membagi batuan malihan ini menjadi tiga fasies, yaitu
fasies sekis hijau, fasies sekis biru, dan fasies amfibolit.
Fasies sekis hijau merupakan hasil suatu pemalihan regional dinamotermal
berderajat rendah. Fasies sekis biru diduga merupakan pemalihan bertekanan tinggi,
sangat mungkin berhubungan dengan proses penunjaman (subduksi). Sementara fasies
amfibol diduga hasil pemalihan berikutnya sebagai akibat pemalihan kontak dari intrusi
yang ada di Perbukitan Jiwo. Hal ini sangat mungkin disebabkan oleh Intrusi Pendul
(Surono drr, 2006, dalam Surono, 2009), yang didukung oleh penyebaran fasies amfibol
yang terbatas di sekitar batuan intrusi. Pada Eosen, Perbukitan Jiwo ini diduga merupakan
tinggian (Prasetyadi dan Maha, 2004, dalam Surono, 2009).
Formasi Wungkal-Gamping
Semula Bothe (1929, dalam Surono, 2009) menduga bahwa Formasi Wungkal dan
Formasi Gamping merupakan bagian bawah endapan berumur Eosen, tetapi penelitian
Kurniawan drr., (2006, dalam Surono, 2009) dan Umiyatun drr., (2006, dalam Surono,
2009) yang menganalisis kandungan fosil foram dan nano plankton di kedua satuan
menunjukkan bahwa keduanya mempunyai umur yang sama, yakni Eosen Tengah – Eosen
Akhir. Umur tersebut sama dengan hasil analisis kandungan foraminifera yang dilakukan
Rahardjo (2007, Surono, 2009). Kesamaan umur ini didukung oleh kenampakan singkapan
di beberapa tempat yang menunjukkan keduanya berhubungan secara menjemari. Ketebalan
Formasi Gamping diduga lebih 120 meter (Surono drr., 1992, dalam Surono, 2009).

12
3.2.2. Periode Vulkanisme
Pada periode Eosen Akhir – Miosen Awal kegiatan vulkanisme meningkat pesat dan
menghasilkan batuan gunungapi yang cukup tebal pada daerah penelitian. Sebaran batuan
gunungapi ini membentuk Pegunungan Baturagung, dan Gajahmungkur.
Lava Bantal Nampurejo
Batuan tertua Pegunungan Baturagung dan Gajahmungkur adalah lava bantal yang
disebut Lava Bantal Nampurejo yang berkomposisi basal, dan berselingan dengan
batupasir vulkanis berwarna hitam pekat.
Berdasarkan hasil penarikan K/Ar, satuan ini berumur Eosen Tengah – Oligosen
Awal (Surono drr., 2006, dalam Surono, 2009). Hal ini menunjukkan bahwa kegiatan
vulkanisme telah mulai pada Eosen Tengah, yang umumnya berupa lava bantal. Lava
Bantal Nampurejo ditindih atas Formasi Kebo dan Formasi Butak.
Kelompok Kebo-Butak
Formasi Kebo-Butak, yang terdiri atas Formasi Kebo dan Formasi Butak, melapar
luas di lereng utara Pegunungan Baturagung. Formasi Kebo terdiri atas perselingan antara
batupasir dan batupasir kerikilan, dengan sisipan batulanau, batulempung, tuf, dan serpih.
Formasi Butak disusun oleh breksi polimik dengan selingan batupasir, batupasir kerikilan,
batulempung, dan batulanau/serpih.
Bothe (1929, dalam Surono, 2009) menduga Formasi Kebo dan Formasi Butak
berumur Miosen Awal – Miosen Tengah. Sumarso dan Ismoyowati (1975, dalam Surono,
2009) menganalisis foraminifera dalam Formasi Kebo dan Formasi Butak, dan
mendapatkan umur N2 – N5 atau Oligosen Akhir – Miosen Awal. Kemudian Rahardjo
(2007, dalam Surono, 2009) mengulangi melakukan analisis foraminifera pada tiga
percontoh dari Gunung Pegat, Watugajah dan Pututputri, dan menemukan Globigerina
ciperoensis, Catapsydrax dissimilis dan Globigerinoides primordius, yang menunjukkan
umur P22 – N4 (Oligosen Akhir – Miosen Awal). Surono drr. (2006, dalam Surono, 2009)
menganalisis kandungan fosil nano dalam percontoh dari Perbukitan Jiwo Timur, yang
diduga merupakan bagian dari Formasi Kebo atau Formasi Butak. Fosil nano tersebut
terdiri atas Sphenolithus moriformis, S. heteromorphus, S. conicus, S. belemnos,
Coccolithus miopelagicus, Helicosphaera carteri dan H. euphratis. Himpunan spesies
nano tersebut menunjukan umur Miosen Awal (NN3). Penarikan umur mutlak Formasi
Kebo telah dilakukan oleh beberapa penulis, hasil penarikan menunjukkan bahwa Formasi
13
Kebo dan Formasi Butak berumur 33,5 – 21,0 juta tahun lalu atau Oligosen Akhir –
Miosen Awal.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa umur Kelompok Kebo-Butak adalah
Oligosen Akhir – Miosen Awal. Kelompok ini diendapkan di laut yang dipengaruhi oleh
kegiatan gunungapi. Ketebalan Formasi Kebo sekitar 550 meter, sedangkan Formasi
Butak sekitar 334 meter (Surono, 2008a). Kelompok Kebo-Butak ditindih selaras oleh
Formasi Semilir.
Formasi Mandalika
Formasi Mandalika tersebar luas di Pegunungan Gajahmungkur dengan ketebalan
>300 meter (Surono drr., 1992, dalam Surono, 2006) terdiri atas lava dasit-andesit, tuf
dasitan dan setempat retas diorite. Hasil penarikan K/Ar lava dasit di Nawangan
menunjukkan umur Miosen Awal (Surono, 2008a, dalam Surono, 2009).
Formasi Semilir
Formasi ini berlokasi tipe di G. Semilir, sebelah selatan Klaten. Litologi
penyusunnya terdiri dari tuf, tuf lapili, lapili batuapung, breksi batuapung dan serpih.
Komposisi tuf dan batuapung tersebut bervariasi dari andesit hingga dasit. Di bagian
bawah satuan batuan ini, yaitu di K. Opak, Dusun Watuadeg, Desa Jogotirto, Kec. Berbah,
Kab. Sleman, terdapat andesit basal sebagai aliran lava bantal (Bronto dan Hartono, 2001).
Penyebaran lateral Formasi Semilir ini memanjang dari ujung barat Pegunungan Selatan,
yaitu di daerah Pleret-Imogiri, di sebelah barat G. Sudimoro, Piyungan-Prambanan, di
bagian tengah pada G. Baturagung dan sekitarnya, hingga ujung timur pada tinggian G.
Gajahmungkur, Wonogiri.
Surono (2008a, dalam Surono, 2009) melakukan analisis nannofossil dari dua
percontoh di bagian bawah Formasi Semilir. Satu percontoh mengandung Discoaster
deflandrei, D. druggii, D. variabilis, Cyclicargolithus floridanus, Calcidiscus macintyrei,
Helicosphaera ampliaperta, H. euphratis, H. Carteri, Sphenolithus conicus, Coccolithus
miopelagicus, Sphenolithus moriformis, dan S. belemnos. Sedangkan percontoh lain
menunjukkan adanya Sphenolithus moriformis, S. hetemorphus, S. belemnos,
Cyclicargolithus floridanus, Calcidiscus macintyrei, Helicosphaera euphratis, H.
ampliaperta, H. carteri, H. mediterranea, Coccolithus miopelagicus, dan Discoaster
deflandrei. Kumpulan nanofosil kedua percontoh batuan tersebut masing-masing
menunjukkan umur Miosen Awal bagian akhir atau Zona NN3. Surono (2008a, dalam
14
Surono, 2009) juga melaporkan hasil penarikan umur mutlak Formasi Semilir dengan
metode jejak belah (fission track) zircon pada dua percontoh tuf, yang menghasilkan umur
17,0 ± 1,1 dan 16,0 ± 1,0 juta tahun lalu atau akhir Miosen Awal.
Berdasarkan uraian di atas, umur Formasi Semilir adalah 20 – 16 juta tahun yang
lalu atau Miosen Awal (Burdigalian). Umumnya Formasi Semilir bawah ini diendapkan
pada laut yang kemudian berubah menjadi darat pada pengendapan Formasi Semilir atas
(Surono, 2008a, dalam Surono, 2009). ketebalan seluruh Formasi Semilir bawah dan atas
diduga 460 meter (Surono drr., 1992, dalam Surono, 2009). Formasi Semilir ditindih
selaras oleh Formasi Nglanggeran.
Formasi Nglanggeran
Lokasi tipe formasi ini adalah di Desa Nglanggran di sebelah selatan Desa Semilir.
Batuan penyusunnya terdiri dari breksi gunungapi, aglomerat, tuf dan aliran lava andesit-
basal dan lava andesit. Breksi gunungapi dan aglomerat yang mendominasi formasi ini
umumnya tidak berlapis. Fragmennya terdiri dari andesit dan sedikit basal, berukuran 2 –
50 cm. Di bagian tengah formasi ini, yaitu pada breksi gunungapi, ditemukan batugamping
terumbu yang membentuk lensa atau berupa fragmen. Secara setempat, formasi ini disisipi
oleh batupasir gunungapi epiklastika dan tuf yang berlapis baik (Bronto dan Hatono,
2001).
Formasi ini juga tersebar luas dan memanjang dari Parangtritis di sebelah barat
hingga tinggian G. Panggung di sebelah timur. Ketebalan formasi ini di dekat Nglipar
sekitar 530 meter. Dengan banyaknya fragmen andesit dan batuan beku luar berlubang
serta mengalami oksidasi kuat berwarna merah bata maka diperkirakan lingkungan asal
batuan gunungapi ini adalah darat hingga laut dangkal. Sementara itu, dengan
ditemukannya fragmen batugamping terumbu, maka lingkungan pengendapan Formasi
Nglanggran ini diperkirakan di dalam laut (Bronto dan Hartono, 2001).
Fosil jarang ditemukan dalam formasi ini, Rahardjo (2007, dalam Surono, 2009)
menentukan umurnya berdasarkan penemuan foraminifera yakni N5 – N6 atau Miosen
Awal.
Formasi Wonolelo
Bronto drr. (2008b, dalam Surono, 2009) mengusulkan suatu nama Formasi
Wonolelo untuk satuan batuan yang tersingkap di Desa Wonolelo, Pleret, Bantul, terdiri
atas lava, breksi dan konglomerat. Surono (2009) mendapatkan satuan batuan ini juga
15
tersingkap di Desa Candisari (utara Piyungan) yang kedudukan stratigrafinya berada di
bawah Formasi Semilir. Umur satuan ini belum diketahui dengan pasti, diduga seumur
dengan Formasi Semilir bawah atau bagian atas Kelompok Kebo-Butak, yakni Oligosen
Akhir. Formasi ini diduga terbentuk di laut dan mempunyai ketebalan sekita 60 meter.
Formasi Sindet
Formasi ini didominasi oleh tuf pasiran berwarna hitam, tersingkap luas di Desa
Sindet, di utara Desa Wonolelo. Satuan yang mungkin berada di bawah Formasi
Wonolelo, terdiri atas tuf lapilli dan tuf yang berwarna hitam, yang sebagian terbentuk di
bawah laut. Umur satuan belum diketahui, mungkin sama dengan bagian bawah Formasi
Semilir Bawah. Ketebalannya diduga kurang dari 75 meter.
Anggota Buyutan
Novian drr. (2007, dalam Surono, 2009) mengusulkan satu anggota baru pada
Formasi Semilir, yang tersingkap di Dusun Boyo, Gunung Kidul. Anggota Buyutan ini
disusun oleh perselingan batulanau, batupasir tufaan, dengan sisipan breksi lapilli dan
batubara. Lepidocyclina sp. ditemukan pada anggota ini, sehingga mempunyai umur sama
dengan bagian atas Formasi Semilir, yakni akhir Miosen Awal. Anggota ini boleh jadi
terendapkan di daerah transisi dan mempunyai ketebalan satuan yang diduga 360 meter.

3.2.3. Periode Pasca-Vulkanisme


Surutnya kegiatan vulkanisme pada Miosen Tengah disusul oleh semakin
meningkatnya pertumbuhan organisme pembentuk batuan karbonat. Pada mulanya
pengendapan masih dikuasai oleh batuan sedimen klastika yang bersumber pada batuan asal
gunungapi. Sejalan dengan semakin berkurangnya pasokan sedimen klastika,
berkembanglah batuan karbonat. Sekarang, sedimen karbonat ini membentuk perbukitan
kecil dan dataran yang menempati bagian selatan dan membentuk bentang alam karst
Perbukitan Seribu (Surono, 2009).
Formasi Sambipitu
Lokasi tipe formasi ini terletak di Desa Sambipitu pada jalan raya Yogyakarta-
Patuk-Wonosari kilometer 27,8. Secara lateral, penyebaran formasi ini sejajar di sebelah
selatan Formasi Nglanggran, di kaki selatan Subzona Baturagung, namun menyempit dan
kemudian menghilang di sebelah timur. Ketebalan Formasi Sambipitu ini mencapai 230
meter.
16
Satuan batuan yang didominasi sedimen klastika dan sisipan breksi gunungapi di
bagian bawah dinamai Formasi Sambipitu oleh Bothe (1929, dalam Surono, 2009). Batuan
penyusun formasi ini di bagian bawah terdiri dari batupasir kasar, kemudian ke atas
berangsur menjadi batupasir halus yang berselang-seling dengan serpih, batulanau dan
batulempung. Pada bagian bawah kelompok batuan ini tidak mengandung bahan karbonat.
Namun di bagian atasnya, terutama batupasir, mengandung bahan karbonat (Bronto dan
Hartono, 2001).
Umur Formasi Sambipitu ditunjukkan oleh foraminifera, di antaranya
Praeorbulina transitoria, P. Glomerosa, Globorotalia praesitula dan G. archeomenardi,
yang menunjukkan umur Awal Miosen (N8). Ketebalan Formasi Sambipitu sekitar 235 m.
Formasi Oyo dan Formasi Wonosari secara berturut-turut menindih selaras Formasi
Sambipitu (Bothe, 1929, dalam Surono, 2009).
Formasi Oyo
Lokasi tipe formasi ini berada di K. Oyo. Batuan penyusunnya pada bagian bawah
terdiri dari tuf dan napal tufan. Sedangkan ke atas secara berangsur dikuasai oleh
batugamping berlapis dengan sisipan batulempung karbonatan. Batugamping berlapis
tersebut umumnya kalkarenit, namun kadang-kadang dijumpai kalsirudit yang
mengandung fragmen andesit membulat. Formasi Oyo tersebar luas di sepanjang K. Oyo.
Ketebalan formasi ini lebih dari 140 meter (Bronto dan Hartono, 2001).
Formasi Oyo umumnya berlapis baik. Sedangkan fosil yang dijumpai antara
lain Cycloclypeus annulatus, Lepidocyclina rutteni, Lepidocyclina ferreroi, Miogypsina
polymorpha dan Miogypsina thecideaeformis yang menunjukkan umur Miosen Tengah
hingga Miosen Akhir (Bothe, 1929, dalam Surono, 2009). Lingkungan pengendapannya
pada laut dangkal (zona neritik) yang dipengaruhi kegiatan gunungapi (Bronto dan
Hartono, 2001).
Sedangkan menurut Sartono, (1964, dalam Surono, 2009) Formasi Oyo didominasi
oleh napal dan batupasir yang berumur akhir Miosen Awal – Miosen Tengah (N8-N11),
Formasi Oyo mempunyai ketebalan 140 meter.
Formasi Wonosari
Formasi ini oleh Surono dkk., (1992, dalam Surono, 2009) dijadikan satu dengan
Formasi Punung yang terletak di Pegunungan Selatan bagian timur karena di lapangan
keduanya sulit untuk dipisahkan, sehingga namanya Formasi Wonosari-Punung. Formasi
17
ini tersingkap baik di daerah Wonosari dan sekitarnya, membentuk bentang alam Subzona
Wonosari dan topografi kars Subzona Gunung Sewu. Ketebalan formasi ini diduga lebih
dari 800 meter. Kedudukan stratigrafinya di bagian bawah menjemari dengan Formasi
Oyo, sedangkan di bagian atas menjemari dengan Formasi Kepek. Formasi ini didominasi
oleh batuan karbonat yang terdiri dari batugamping berlapis dan batugamping terumbu.
Sedangkan sebagai sisipan adalah napal. Sisipan tuf hanya terdapat di bagian timur.
Berdasarkan kandungan fosil foraminifera besar dan kecil yang melimpah,
diantaranya Lepidocyclina sp. dan Miogypsina sp., ditentukan umur formasi ini adalah
Miosen Tengah hingga Pliosen. Lingkungan pengendapannya adalah laut dangkal (zona
neritik) yang mendangkal ke arah selatan (Surono dkk, 1992, dalam Surono, 2009).
Formasi Kepek
Lokasi tipe dari formasi ini terletak di Desa Kepek, sekitar 11 kilometer di sebelah
barat Wonosari. Formasi Kepek tersebar di hulu K. Rambatan sebelah barat Wonosari
yang membentuk sinklin. Batuan penyusunnya adalah napal dan batugamping berlapis.
Tebal satuan ini lebih kurang 200 meter (Bronto dan Hartono, 2001).
Hasil penentuan umur Formasi Kepek berdasarkan kandungan foraminifera adalah
Pliosen Awal (Rahardjo, 2007, dalam Surono, 2009). Formasi terakhir ini mempunyai
ketebalan sekitar 200 m (Surono drr., 1992, dalam Surono, 2009). Endapan Kuarter yang
menumpang tidak selaras di atas batuan Tersier tersebar luas di Dataran Wonosari,
Dataran Baturetno, dan Dataran Bantul.

3.3 Struktur Geologi Regional


Struktur geologi yang dujumpai pada lembar Yogyakarta, berupa sesar dan lipatan.
Lipatan terdiri dari antiklin dan sinklin mempunyai arah umum timur laut barat daya dan
timur barat. Lipatan ini melibatakan satuan dari Formasi Sentolo (terdapat pada bagian
selatan peta), dan Formasi Kepek (terdapat pada bagian tenggara peta).
Sesar umumnya berupa sesar turun dengan pola “antihetic fault block” (Van
bemmelen, 1949). Pada bagian tenggara peta umumnya berupa sesar mendatar menganan
yang direka dengan arah umunya tenggara barat laut yang melibatkan Formasi Wonosari,
Formasi Sambipitu dan Formasi Nglanggran. Pada bagian selatan hingga timur peta
umumnya berupa sesar turun yang direka dengan arah umum timur laut barat daya (pada
Endapan Gunungapi Merapi Muda dan Formasi Semilir). Pada bagian barat hingga barat
18
bagian utara peta umumnya dijumpai dan direka beberapa sesar turun yang mempunyai arah
tenggara barat laut, timur laut barat daya, dan timur barat (meliputi Formasi Kebo-Butak dan
batuan intrusi berupa andesit). Sedangkan pada bagian timur laut peta dijumpai sesar turun
dengan arah timur laut barat daya (meliputi Endapan Gunungapi Merapi Muda dan Endapan
Gunungapi Merapi Tua).

Gambar 3.3. Peta Geologi Lembar Yogyakarta, Skala 1:100.000

19
Geologi dan Studi Mitigasi Bencana Gerakan Tanah Daerah Dlingo dan Sekitarnya.

DAFTAR PUSTAKA

Bronto, S. dan Hartono, H.G., 2001. Panduan Ekskursi Geologi Kuliah Lapangan 2, STTNAS:
Yogyakarta.
Geoportal Data Bencana Indonesia, (https://gis.bnpb.go.id/#tabel), diakses pada tanggal 31
Januari 2022.
InewsYogya.id, 2021. (https://yogya.inews.id/berita/dua-rumah-warga-di-dlingo-bantul-
rusak-tertimpa-tanah-longsor), diakses pada tanggal 31 Januari 2022.
Surono, 2009. Litostrtigrafi Pegunungan Selatan Bagian Timur Daerah Istimewa Yogyakarta
dan Jawa Tengah. JSDG Vol. 19. Pusat Survei Geologi, Bandung.
Van Bemmelen, R.W., 1949. The Geology of Indonesia, Volume I-A, Government Printing
Office, Martinus Nijhoff, The Hague.
Wartono Rahardjo, Sukandarrumidi dan H.M.D Rosidi, 1995. Peta Geologi Lembar
Yogyakarta Skala 1:100000, Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung.

Anda mungkin juga menyukai