Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Tugas akhir merupakan salah satu mata kuliah (dengan kode mata kuliah
GL 805) yang wajib ditempuh untuk memenuhi kurikulum di program studi
teknik geologi Sekolah Tinggi Teknologi Mineral Indonesia. Materi yang harus
dipahami oleh mahasiswa dari mata kuliah tugas akhir ini merupakan kegiatan
pemetaan geologi. Penulis memilih daerah Kabupaten Bantul sebagai sarana
penelitian geologi untuk menerapkan pengetahuan geologi yang diperoleh selama
perkuliahan.
Kabupaten Bantul merupakan daerah yang sering mengalami bencana alam,
beberapa kejadian besar bencana alam yang terjadi di Kabupaten Bantul seperti
gempa bumi pada tahun 2006 dan tahun 2010. Selain itu Kabupaten Bantul juga
terkena dampak dari bencana letusan gunung Merapi pada tahun 2010. Dari
peristiwa – peristiwa yang telah terjadi, penulis memperkirakan bahwa
karakteristik batuan dan atau tanah daerah Kabupaten Bantul terpengaruh sebagai
dampaknya.
Berdasarkan hal tersebut, penulis tertarik untuk melakukan penelitian
keterkaitan bencana gerakan tanah di daerah Kabupaten Bantul berlandaskan
kondisi geologi, terutama karakteristik batuan dan atau karakteristik tanahnya.
Daerah Dlingo merupakan salah satu Kecamatan di Kabupaten Bantul.
Kecamatan Dlingo terletak di sebelah timur Kabupaten Bantul dan bersebelahan
dengan kecamatan Imogiri. Apabila dilihat dari topografi di daerah tersebut,
Kecamatan Dlingo merupakan daerah dengan topografi berbukit hingga
bergunung sehingga hal tersebut menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya
gerakan tanah.
Pada tahun 2017 – 2020, bencana tanah longsor yang terjadi di Kabupaten
Bantul sering terjadi di waktu musim penghujan, yang disebabkan intensitas hujan
yg tinggi serta kondisi tanah yang labil (Tabel 1.1).

1
Tabel 1.1 Data Kejadian Bencana Tanah Longsor Kabupaten Bantul Tahun 2017 – 2020
Sumber: (https://gis.bnpb.go.id/#tabel)

Banyaknya wisata yang mulai tumbuh akan berdampak pula pada


meningkatnya wisatawan yang datang berkunjung, baik wisatawan dari daerah
sekitar maupun dari luar Provinsi Yogyakarta. Banyaknya wisatawan yang datang
serta pertambahan penduduk yang cukup pesat sekarang ini akan mengakibatkan
meningkatnya pembangunan di daerah telitian. Pembangunan tersebut dapat
berupa pemukiman, tempat penginapan, hotel, dan atau fasilitas umum lainnya.
Kondisi tersebut dapat mempengaruhi dan mengganggu pemanfaatan lahan dan
keseimbangan ekosistem di daerah itu sendiri. Akibat selanjutnya adalah
terjadinya dampak yang sering bersifat negatif seperti bencana alam berupa erosi
maupun tanah longsor. Berikut salah satu kejadian tanah longsor di Kecamatan
Dlingo yang menimpa pemukiman warga (Gambar 1.1).

Gambar 1.1 Kejadian Tanah Longsor di Desa Muntuk, Kecamatan Dlingo, Kabupaten
Bantul, 19 Januari 2021.

2
Sumber: (https://yogya.inews.id/berita/dua-rumah-warga-di-dlingo-bantul-rusak-
tertimpa-tanah-longsor)

Dari data tersebut diketahui bahwa diperlukan suatu informasi geologi yang
berkaitan mengenai mitigasi bencana gerakan tanah untuk diketahui apakah
daerah tersebut memiliki zona kerentanan gerakan tanah intensitas tinggi atau
rendah, terutama di daerah-daerah yang mempunyai lereng curam. Hal ini
dilakukan untuk mengurangi jatuhnya korban jiwa akibat tanah longsor.
Berlatar belakang hal tersebut di atas, maka penelitian tentang mitigasi
bencana gerakan tanah menjadi sangat penting untuk memberikan informasi
mengenai daerah atau lokasi-lokasi yang berpotensi terjadinya gerakan tanah
menggunakan analisis kestabilan lereng berdasarkan kenampakan-kenampakan
alam yang ada sehingga kita bisa melakukan berbagai macam cara pencegahan
sebelum gerakan tanah menjadi bencana yang tidak kita harapkan.

1.2 Rumusan Masalah


Tanah longsor merupakan salah satu bencana yang sering terjadi di
Indonesia, termasuk daerah Dlingo. Terjadinya tanah longsor tersebut dapat
memberikan dampak negatif dan menimbulkan kerugian terhadap penduduk
sekitar, seperti kehilangan barang berharga dan harta benda, hingga merenggut
nyawa penduduk sekitar yang berada di sekitarnya. Oleh karena itu berikut adalah
rumusan masalah dalam penelitian, yaitu:
1. Bagaimana kondisi geologi daerah telitian, yang meliputi geomorfologi,
stratigrafi dan struktur geologinya?
2. Jenis gerakan tanah tanah apa saja yang terdapat di daerah penelitian ?
3. Bagaimana analisis kestabilan lereng yang ada di daerah penelitian
berdasarkan data - data yang telah didapatkan ?

4. Faktor - faktor apa saja yang mempengaruhi kestabilan lereng


berdasarkan analisa kestabilan lereng yang telah dilakukan ?

5. Apa dan bagaimana mitigasi yang sesuai untuk diterapkan di daerah


penelitian?

3
1.3 Maksud dan Tujuan
Maksud dari penelitian ini adalah untuk melakukan pengambilan data serta
analisa data yang ada di lapangan dan disajikan dalam sebuah laporan penelitian
berdasarkan data - data geologi dan geologi teknik yang ada dalam penelitian.
Penelitian ini sebagai salah satu syarat untuk memenuhi kurikulum yang
ditentukan oleh Jurusan Teknik Geologi, Sekolah Tinggi Teknologi Mineral
Indonesia Bandung untuk mendapatkan gelar kesarjanaan Program Pendidikan
Strata-1 (S1) dengan topik sesuai dengan teori yang didapatkan di bangku
perkuliahan serta aplikasinya.
Tujuan yang ingin dicapai adalah untuk mengetahui dan menyajikan data
geologi dan geologi Teknik, sehingga nantinya dapat diterapkan keterkaitannya
dengan studi mitigasi di daerah penelitian.

1.4 Lokasi dan Waktu Penelitian


Daerah penelitian secara administratif termasuk wilayah Kecamatan Dlingo
Kabupaten Bantul Daerah Istimewa Yogyakarta. Secara geografis terletak pada
koordinat 7° 54' 30" sampai 7° 57' 00" Lintang Selatan dan 110°26' 30" sampai
110°28' 30" Bujur Timur. Daerah penelitian tercantum pada peta rupa bumi
Imogiri dengan skala peta 1: 20.000 dan memiliki luas kurang lebih 25 km².
Lokasi daerah penelitian berjarak 12 km ke arah Selatan dari Yogyakarta.
Waktu penelitian direncanakan selama tiga (3) bulan dimulai dari minggu
ke 2 bulan Februari 2022 – April 2022 atau dapat menyesuaikan dengan waktu
yang tersedia.

4
Jan-
Feb-22 Mar-22 Apr-22
Keterangan 22
3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
Persiapan
Studi Pustaka
Proposal
Perencanaan Lapangan
Lapangan
Observasi
Pengambilan Data
Laboratorium
Petrografi
Geologi Teknik
Mikropaleontologi
Laporan Penelitian
Analisa
Peta
Isi Laporan
Tabel 1.2. Rencana Jadwal Kegiatan Penelitian

1.5 Hasil Penelitian


Hasil dari penelitian ini berupa informasi dan analisis tentang geologi
dan aspek gerakan tanah berdasarkan data yang diperoleh, dan ditambah
rekomendasi mitigasi yang ditafsirkan sesuai untuk daerah penelitian. Peta –
peta yang mendukung untuk menggambarkan hasil penelitian antara lain:
1. Peta lintasan daerah penelitian,
2. Peta DEM daerah penelitian,
3. Peta geomorfologi daerah penelitian,
4. Peta geologi daerah penelitian,
5. Peta geologi struktur daerah penelitian,
6. Peta kemiringan lereng daerah penelitian, dan
7. Peta zona kerentanan gerakan tanah daerah penelitian.
5
1.6 Manfaat Penelitian
Penelitian yang dilakukan untuk memberikan data geologi dan data
geologi teknik yang dapat digunakan dalam rencana pembangunan dan
pengembangan wilayah. Penelitian ini diharapkan seacara ideal dapat
bermanfaat bagi semua pihak.
1.6.1. Manfaat Bagi Keilmuan
1. Memberikan informasi terbaru data geologi serta temuan baru
jika ditemukan di daerah penelitian.
2. Mengetahui hubungan kondisi geologi dan lahan wilayah
dengan terjadinya gerakan tanah di wilayah.
3. Memperbanyak ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan
kestabilan lereng dalam hal hubungan teori dengan aplikasi di
lapangan.
1.6.2. Manfaat Bagi Institusi
1. Hasil penelitian diharapkan dapat menjadi referensi di Jurusan
Teknik Geologi, Sekolah Tinggi Teknologi Mineral Indonesia
Bandung.
1.6.3. Manfaat Bagi Masyarakat
1. Mengetahui tanda-tanda atau gejala awal akan terjadinya
gerakan tanah, sehingga masyarakat dapat melakukan antisipasi
secara dini.
2. Mengetahui lokasi rawan gerakan tanah yang berada di sekitar
lingkugan masyarakat setempat.
3. Mengetahui tingkat kerentanan wilayahnya untuk terjadi
gerakan tanah.
4. Memberikan dorongan kepada masyarakat untuk meningkatkan
pengetahuan mengenai mitigasi bencana gerakan tanah sesuai
rujukan BNPB dan atau BPBD yang selanjutnya diterapkan di
lingkungan sekitar.
1.6.4. Bagi Pemerintah
1. Sebagai bahan acuan membangun sistem informasi bencana
6
gerakan tanah, yaitu sebagai pusat data dan informasi bagi
masyarakat yang ingin mengembangkan pembangunan fisik
yang berada di daerah penelitian.
2. Memberikan informasi kondisi geologi terbaru mengenai lokasi-
lokasi rawan bencana gerakan tanah sehingga dapat digunakan
sebagai acuan dalam upaya pencegahan serta mengurangi resiko
bencana gerakan tanah pada daerah penelitian.
BAB II
METODOLOGI DAN TAHAPAN PENELITIAN

2.1 Metode Penelitian


Dalam penelitian ini, metode yang dilakukan adalah
pengamatan/pemetaan lapangan, analisis laboratorium dan analisis studio,
sehingga dalam penelitian ini dapat dibagi menjadi beberapa tahapan-tahapan
penelitian sebagai berikut (Gambar 2.1).
Bagan Alir Tahapan Penelitian
Studi Literatur

Pengambilan Data

Data Primer Data Sekunder

Pengumpulan Data Lapangan


 Pengeplotan Lokasi Pengamatan  Geologi Regional
 Kedudukan Lapisan Batuan  Penelitian Terdahulu
 Pengambilan Foto  Data Curah Hujan
 Deskripsi Litologi  Data Penggunaan Lahan
 Pengukuran Dimensi Lereng
 Pengambilan Sampel Batuan
 Pengambilan Undistrub Soil

Penyajian Data

Analisis Laboratorium
 Petrografi (Sayatan Tipis)
 Mikropalentologi (Umur dan Lingkungan
Pengendapan)
 Geologi Teknik (Sifat Fisik dan Sifat
Mekanik Tanah).

 Peta Lintasan
 Peta Geologi
 Peta Geomorfologi 7
 Peta Kemiringan Lereng
 Peta Zonasi Kerentanan Gerakan Tanah
Analisa Studio & Interpetasi

Penyusunan Laporan

Gambar 2.1. Bagan Alir Tahapan Penelitian.

2.1.1. Tahap Persiapan


Merupakan tahapan sebelum melakukan pemetaan pada daerah
telitian, meliputi studi literatur teoritis yang berhubungan dengan analisa
kestabilan lereng dan kondisi geologi pada umumnya, penentuan daerah
telitian, pembuatan proposal serta jadwal kegiatan. Pada tahap ini peneliti
melakukan studi tentang geologi regional dan lokal daerah yang akan
diteliti, menyangkut geomorfologi, stratigrafi, struktur geologi, dsb.

2.1.2. Tahap Penelitian Lapangan


Tahap penelitian di lapangan meliputi kegiatan pemetaan di
permukaan yaitu mengamati, mendeskripsi, interpretasi singkapan, serta
interpretasi kemiringan lereng. Dari hasil kegiatan penelitian lapangan ini
akan didapatkan data primer yang menjadi data utama penelitian.
Pengambilan data di lapangan meliputi:
1. Pengamatan detail singkapan, yaitu deskripsi litologi, pengamatan
variasi litologi, dan pengambilan contoh batuan yang dianggap
penting untuk analisis lebih lanjut.
2. Pengamatan kenampakan struktur geologi, yaitu pengamatan kekar,
bidang sesar, gores garis, atau breksiasi yang terdapat pada batuan di
daerah penelitian.

8
3. Observasi geomorfologi, yaitu pengamatan morfologi dan bentang
alam, tipe pola pengaliran, serta penentuan satuan geomorfik daerah
penelitian.
4. Dokumentasi, yaitu pengambilan gambar singkapan yang terdapat di
lapangan baik dalam bentuk sketsa gambar maupun foto digital,
meliputi litologi, potensi geologi, hal penting dan menarik yang
dijumpai di lapangan.

2.1.3. Tahap Analisis dan Pengolahan Data


Tahap analisis data melewati beberapa tahapan untuk dapat
mencapai tujuan penelitian, yaitu analisis laboratorium dan pengolahan data
pemetaan geologi, petrografi, mikropalentologi dan geologi teknik.
1. Analisis Data Pemetaan Geologi
Menentukan jenis penyebaran dan variasi batuan penyususn daerah
penelitian. Hasil yang didapatkan adalah peta geologi.
2. Analisis Petrografi
Hasil dari analisis di laboratorium dengan contoh sayatan tipis
batuan didapatkan nama batuannya.
3. Analisis Mikropalentologi
Hasil dari analisis di laboratorium dengan contoh batuan yang
dihaluskan didapatkan umur dan lingkungan pengendapan.
4. Analisis Geologi Teknik
Hasil dari analisis laboratorium akan mendapatkan sifat fisik dan
sifat mekanik tanah yang diperlukan dalam penentuan daya dukung
tanah dan kestabilan lereng.

2.2 Peralatan Penelitian


Alat dan bahan yang digunakan untuk penelitian ini yaitu sebagai
berikut:
- Peta topografi daerah telitian - Kamera
Handphone

9
- Peta Geologi daerah telitian - Alat tulis
- Palu geologi - Kantong sampel
- Kompas geologi - Larutan HCl
- Loupe - Buku catatan
lapangan
- Komparator besar butir
- GPS (Global Positioning System)

10
BAB III
GEOLOGI REGIONAL

3.1 Fisiografi Regional


Secara fisiografi Jawa Tengah oleh Van Bemmelen (1949), membagi
Jawa Tengah menjadi 4 (empat) jalur fisiografi dari utara ke selatan, yaitu:
1. Dataran Pantai Utara Jawa,
2. Jalur Pegunungan Serayu Utara.
3. Jalur Pegunungan Serayu Selatan,
4. Jalur Pegunungan Selatan.

Gambar 3.1. Peta Fisiografi daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur (Van
Bemmelen, 1949).

Secara regional daerah penelitian termasuk dalam Jalur Pegunungan


Selatan. Pegunungan Selatan ini secara umum disusun oleh dua kelompok
besar batuan yaitu batuan vulkanik dan batuan karbonat, dengan jurus
perlapisan relatif barat-timur dengan kemiringan ke selatan.

3.2 Stratigrafi Regional

11
Menurut Surono dalam penelitiannya pada tahun 2009
mengungkapkan bahwa stratigrafi Pegunungan Selatan dapat dibagi menjadi
tiga periode (dari tua ke muda):
1. Periode sebelum aktivitas intensif vulkanisme berlangsung,
selanjutnya disebut periode pravulkanisme. Satuan batuan yang
terbentuk pada periode pravulkasnisme adalah batuan malihan
yang ditindih tak selaras oleh Kelompok Jiwo.
2. Periode kegiatan vulkanisme berlangsung secara intensif,
selanjutnya disebut periode vulkanisme, yang membentuk Formasi
Kebo-Butak yang secara berurutan ditindih selaras oleh Formasi
Semilir dan Formasi Nglanggeran.
3. Periode setelah kegiatan vulkanisme berakhir ketika organisme
karbonat tumbuh dengan subur; selanjutnya disebut periode
pascavulkanisme atau periode karbonat. Satuan batuan yang
terendapkan pada periode ini adalah Formasi Sambipitu, Formasi
Oyo, Formasi Wonosari, Formasi Punung, dan Formasi Kepek.

12
Gambar 3.2. Stratigrafi Pegunungan Selatan Menurut Surono, 2009.

3.2.1. Periode Pravulkanisme


Periode pra-Oligosen Akhir atau periode sebelum kegiatan
vulkanisme merupakan periode pembentukan batuan alas Cekungan
Pegunungan Selatan. Batuan tertua, Cekungan Pegunungan Selatan yang
tersingkap di Perbukitan Jiwo adalah satuan himpunan berbagai batuan
malihan yang ditindih tak selaras oleh batuan sedimen Eosen. Batuan
sedimen Eosen ini dibagi dalam dua satuan, yaitu batuan klastika dan batuan
karbonat. Satuan batuan klastika dinamai sebagai Formasi Wungkal,
sedangkan batuan karbonat dinamai Formasi Gamping oleh Bothe (1929,
dalam Surono, 2009). Marks (1957, dalam Surono, 2009) menyebutkan
Formasi Gamping dan Formasi Wungkal sebagai Kelompok Jiwo.
Satuan Batuan Malihan
Satuan batuan malihan tersingkap baik di Perbukitan Jiwo, terdiri

13
atas filit, sekis, genis, serpentinit, batusabak, sedimen malih, batuan
gunungapi malih, dan marmer. Wardana drr. (2008, dalam Surono, 2009)
meneliti fasies batuan malihan di daerah Perbukitan Jiwo bagian barat, dan
membagi batuan malihan ini menjadi tiga fasies, yaitu fasies sekis hijau,
fasies sekis biru, dan fasies amfibolit.
Fasies sekis hijau merupakan hasil suatu pemalihan regional
dinamotermal berderajat rendah. Fasies sekis biru diduga merupakan
pemalihan bertekanan tinggi, sangat mungkin berhubungan dengan proses
penunjaman (subduksi). Sementara fasies amfibol diduga hasil pemalihan
berikutnya sebagai akibat pemalihan kontak dari intrusi yang ada di
Perbukitan Jiwo. Hal ini sangat mungkin disebabkan oleh Intrusi Pendul
(Surono drr, 2006, dalam Surono, 2009), yang didukung oleh penyebaran
fasies amfibol yang terbatas di sekitar batuan intrusi. Pada Eosen,
Perbukitan Jiwo ini diduga merupakan tinggian (Prasetyadi dan Maha,
2004, dalam Surono, 2009).
Formasi Wungkal-Gamping
Semula Bothe (1929, dalam Surono, 2009) menduga bahwa Formasi
Wungkal dan Formasi Gamping merupakan bagian bawah endapan berumur
Eosen, tetapi penelitian Kurniawan drr., (2006, dalam Surono, 2009) dan
Umiyatun drr., (2006, dalam Surono, 2009) yang menganalisis kandungan
fosil foram dan nano plankton di kedua satuan menunjukkan bahwa
keduanya mempunyai umur yang sama, yakni Eosen Tengah – Eosen Akhir.
Umur tersebut sama dengan hasil analisis kandungan foraminifera yang
dilakukan Rahardjo (2007, Surono, 2009). Kesamaan umur ini didukung
oleh kenampakan singkapan di beberapa tempat yang menunjukkan
keduanya berhubungan secara menjemari. Ketebalan Formasi Gamping
diduga lebih 120 meter (Surono drr., 1992, dalam Surono, 2009).

3.2.2. Periode Vulkanisme

14
Pada periode Eosen Akhir – Miosen Awal kegiatan vulkanisme
meningkat pesat dan menghasilkan batuan gunungapi yang cukup tebal pada
daerah penelitian. Sebaran batuan gunungapi ini membentuk Pegunungan
Baturagung, dan Gajahmungkur.
Lava Bantal Nampurejo
Batuan tertua Pegunungan Baturagung dan Gajahmungkur adalah
lava bantal yang disebut Lava Bantal Nampurejo yang berkomposisi basal,
dan berselingan dengan batupasir vulkanis berwarna hitam pekat.
Berdasarkan hasil penarikan K/Ar, satuan ini berumur Eosen
Tengah – Oligosen Awal (Surono drr., 2006, dalam Surono, 2009). Hal ini
menunjukkan bahwa kegiatan vulkanisme telah mulai pada Eosen Tengah,
yang umumnya berupa lava bantal. Lava Bantal Nampurejo ditindih atas
Formasi Kebo dan Formasi Butak.
Kelompok Kebo-Butak
Formasi Kebo-Butak, yang terdiri atas Formasi Kebo dan Formasi
Butak, melapar luas di lereng utara Pegunungan Baturagung. Formasi
Kebo terdiri atas perselingan antara batupasir dan batupasir kerikilan,
dengan sisipan batulanau, batulempung, tuf, dan serpih. Formasi Butak
disusun oleh breksi polimik dengan selingan batupasir, batupasir kerikilan,
batulempung, dan batulanau/serpih.
Bothe (1929, dalam Surono, 2009) menduga Formasi Kebo dan
Formasi Butak berumur Miosen Awal – Miosen Tengah. Sumarso dan
Ismoyowati (1975, dalam Surono, 2009) menganalisis foraminifera dalam
Formasi Kebo dan Formasi Butak, dan mendapatkan umur N2 – N5 atau
Oligosen Akhir – Miosen Awal. Kemudian Rahardjo (2007, dalam Surono,
2009) mengulangi melakukan analisis foraminifera pada tiga percontoh
dari Gunung Pegat, Watugajah dan Pututputri, dan menemukan
Globigerina ciperoensis, Catapsydrax dissimilis dan Globigerinoides
primordius, yang menunjukkan umur P22 – N4 (Oligosen Akhir – Miosen
Awal). Surono drr. (2006, dalam Surono, 2009) menganalisis kandungan
fosil nano dalam percontoh dari Perbukitan Jiwo Timur, yang diduga
merupakan bagian dari Formasi Kebo atau Formasi Butak. Fosil nano
15
tersebut terdiri atas Sphenolithus moriformis, S. heteromorphus, S.
conicus, S. belemnos, Coccolithus miopelagicus, Helicosphaera carteri
dan H. euphratis. Himpunan spesies nano tersebut menunjukan umur
Miosen Awal (NN3). Penarikan umur mutlak Formasi Kebo telah
dilakukan oleh beberapa penulis, hasil penarikan menunjukkan bahwa
Formasi Kebo dan Formasi Butak berumur 33,5 – 21,0 juta tahun lalu atau
Oligosen Akhir – Miosen Awal.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa umur Kelompok
Kebo-Butak adalah Oligosen Akhir – Miosen Awal. Kelompok ini
diendapkan di laut yang dipengaruhi oleh kegiatan gunungapi. Ketebalan
Formasi Kebo sekitar 550 meter, sedangkan Formasi Butak sekitar 334
meter (Surono, 2008a). Kelompok Kebo-Butak ditindih selaras oleh
Formasi Semilir.
Formasi Mandalika
Formasi Mandalika tersebar luas di Pegunungan Gajahmungkur
dengan ketebalan >300 meter (Surono drr., 1992, dalam Surono, 2006)
terdiri atas lava dasit-andesit, tuf dasitan dan setempat retas diorite. Hasil
penarikan K/Ar lava dasit di Nawangan menunjukkan umur Miosen Awal
(Surono, 2008a, dalam Surono, 2009).
Formasi Semilir
Formasi ini berlokasi tipe di G. Semilir, sebelah selatan Klaten.
Litologi penyusunnya terdiri dari tuf, tuf lapili, lapili batuapung, breksi
batuapung dan serpih. Komposisi tuf dan batuapung tersebut bervariasi
dari andesit hingga dasit. Di bagian bawah satuan batuan ini, yaitu di K.
Opak, Dusun Watuadeg, Desa Jogotirto, Kec. Berbah, Kab. Sleman,
terdapat andesit basal sebagai aliran lava bantal (Bronto dan Hartono,
2001). Penyebaran lateral Formasi Semilir ini memanjang dari ujung barat
Pegunungan Selatan, yaitu di daerah Pleret-Imogiri, di sebelah barat G.
Sudimoro, Piyungan-Prambanan, di bagian tengah pada G. Baturagung
dan sekitarnya, hingga ujung timur pada tinggian G. Gajahmungkur,
Wonogiri.

16
Surono (2008a, dalam Surono, 2009) melakukan analisis
nannofossil dari dua percontoh di bagian bawah Formasi Semilir. Satu
percontoh mengandung Discoaster deflandrei, D. druggii, D. variabilis,
Cyclicargolithus floridanus, Calcidiscus macintyrei, Helicosphaera
ampliaperta, H. euphratis, H. Carteri, Sphenolithus conicus, Coccolithus
miopelagicus, Sphenolithus moriformis, dan S. belemnos. Sedangkan
percontoh lain menunjukkan adanya Sphenolithus moriformis, S.
hetemorphus, S. belemnos, Cyclicargolithus floridanus, Calcidiscus
macintyrei, Helicosphaera euphratis, H. ampliaperta, H. carteri, H.
mediterranea, Coccolithus miopelagicus, dan Discoaster deflandrei.
Kumpulan nanofosil kedua percontoh batuan tersebut masing-masing
menunjukkan umur Miosen Awal bagian akhir atau Zona NN3. Surono
(2008a, dalam Surono, 2009) juga melaporkan hasil penarikan umur
mutlak Formasi Semilir dengan metode jejak belah (fission track) zircon
pada dua percontoh tuf, yang menghasilkan umur 17,0 ± 1,1 dan 16,0 ± 1,0
juta tahun lalu atau akhir Miosen Awal.
Berdasarkan uraian di atas, umur Formasi Semilir adalah 20 – 16
juta tahun yang lalu atau Miosen Awal (Burdigalian). Umumnya Formasi
Semilir bawah ini diendapkan pada laut yang kemudian berubah menjadi
darat pada pengendapan Formasi Semilir atas (Surono, 2008a, dalam
Surono, 2009). ketebalan seluruh Formasi Semilir bawah dan atas diduga
460 meter (Surono drr., 1992, dalam Surono, 2009). Formasi Semilir
ditindih selaras oleh Formasi Nglanggeran.
Formasi Nglanggeran
Lokasi tipe formasi ini adalah di Desa Nglanggran di sebelah
selatan Desa Semilir. Batuan penyusunnya terdiri dari breksi gunungapi,
aglomerat, tuf dan aliran lava andesit-basal dan lava andesit. Breksi
gunungapi dan aglomerat yang mendominasi formasi ini umumnya tidak
berlapis. Fragmennya terdiri dari andesit dan sedikit basal, berukuran 2 –
50 cm. Di bagian tengah formasi ini, yaitu pada breksi gunungapi,
ditemukan batugamping terumbu yang membentuk lensa atau berupa

17
fragmen. Secara setempat, formasi ini disisipi oleh batupasir gunungapi
epiklastika dan tuf yang berlapis baik (Bronto dan Hatono, 2001).
Formasi ini juga tersebar luas dan memanjang dari Parangtritis di
sebelah barat hingga tinggian G. Panggung di sebelah timur. Ketebalan
formasi ini di dekat Nglipar sekitar 530 meter. Dengan banyaknya fragmen
andesit dan batuan beku luar berlubang serta mengalami oksidasi kuat
berwarna merah bata maka diperkirakan lingkungan asal batuan gunungapi
ini adalah darat hingga laut dangkal. Sementara itu, dengan ditemukannya
fragmen batugamping terumbu, maka lingkungan pengendapan Formasi
Nglanggran ini diperkirakan di dalam laut (Bronto dan Hartono, 2001).
Fosil jarang ditemukan dalam formasi ini, Rahardjo (2007, dalam
Surono, 2009) menentukan umurnya berdasarkan penemuan foraminifera
yakni N5 – N6 atau Miosen Awal.
Formasi Wonolelo
Bronto drr. (2008b, dalam Surono, 2009) mengusulkan suatu nama
Formasi Wonolelo untuk satuan batuan yang tersingkap di Desa Wonolelo,
Pleret, Bantul, terdiri atas lava, breksi dan konglomerat. Surono (2009)
mendapatkan satuan batuan ini juga tersingkap di Desa Candisari (utara
Piyungan) yang kedudukan stratigrafinya berada di bawah Formasi
Semilir. Umur satuan ini belum diketahui dengan pasti, diduga seumur
dengan Formasi Semilir bawah atau bagian atas Kelompok Kebo-Butak,
yakni Oligosen Akhir. Formasi ini diduga terbentuk di laut dan
mempunyai ketebalan sekita 60 meter.
Formasi Sindet
Formasi ini didominasi oleh tuf pasiran berwarna hitam, tersingkap
luas di Desa Sindet, di utara Desa Wonolelo. Satuan yang mungkin berada
di bawah Formasi Wonolelo, terdiri atas tuf lapilli dan tuf yang berwarna
hitam, yang sebagian terbentuk di bawah laut. Umur satuan belum
diketahui, mungkin sama dengan bagian bawah Formasi Semilir Bawah.
Ketebalannya diduga kurang dari 75 meter.
Anggota Buyutan

18
Novian drr. (2007, dalam Surono, 2009) mengusulkan satu anggota
baru pada Formasi Semilir, yang tersingkap di Dusun Boyo, Gunung
Kidul. Anggota Buyutan ini disusun oleh perselingan batulanau, batupasir
tufaan, dengan sisipan breksi lapilli dan batubara. Lepidocyclina sp.
ditemukan pada anggota ini, sehingga mempunyai umur sama dengan
bagian atas Formasi Semilir, yakni akhir Miosen Awal. Anggota ini boleh
jadi terendapkan di daerah transisi dan mempunyai ketebalan satuan yang
diduga 360 meter.

3.2.3. Periode Pasca-Vulkanisme


Surutnya kegiatan vulkanisme pada Miosen Tengah disusul oleh
semakin meningkatnya pertumbuhan organisme pembentuk batuan
karbonat. Pada mulanya pengendapan masih dikuasai oleh batuan sedimen
klastika yang bersumber pada batuan asal gunungapi. Sejalan dengan
semakin berkurangnya pasokan sedimen klastika, berkembanglah batuan
karbonat. Sekarang, sedimen karbonat ini membentuk perbukitan kecil dan
dataran yang menempati bagian selatan dan membentuk bentang alam karst
Perbukitan Seribu (Surono, 2009).
Formasi Sambipitu
Lokasi tipe formasi ini terletak di Desa Sambipitu pada jalan raya
Yogyakarta-Patuk-Wonosari kilometer 27,8. Secara lateral, penyebaran
formasi ini sejajar di sebelah selatan Formasi Nglanggran, di kaki selatan
Subzona Baturagung, namun menyempit dan kemudian menghilang di
sebelah timur. Ketebalan Formasi Sambipitu ini mencapai 230 meter.
Satuan batuan yang didominasi sedimen klastika dan sisipan breksi
gunungapi di bagian bawah dinamai Formasi Sambipitu oleh Bothe (1929,
dalam Surono, 2009). Batuan penyusun formasi ini di bagian bawah terdiri
dari batupasir kasar, kemudian ke atas berangsur menjadi batupasir halus
yang berselang-seling dengan serpih, batulanau dan batulempung. Pada
bagian bawah kelompok batuan ini tidak mengandung bahan karbonat.
Namun di bagian atasnya, terutama batupasir, mengandung bahan karbonat
(Bronto dan Hartono, 2001).
19
Umur Formasi Sambipitu ditunjukkan oleh foraminifera, di
antaranya Praeorbulina transitoria, P. Glomerosa, Globorotalia
praesitula dan G. archeomenardi, yang menunjukkan umur Awal Miosen
(N8). Ketebalan Formasi Sambipitu sekitar 235 m. Formasi Oyo dan
Formasi Wonosari secara berturut-turut menindih selaras Formasi
Sambipitu (Bothe, 1929, dalam Surono, 2009).
Formasi Oyo
Lokasi tipe formasi ini berada di K. Oyo. Batuan penyusunnya
pada bagian bawah terdiri dari tuf dan napal tufan. Sedangkan ke atas
secara berangsur dikuasai oleh batugamping berlapis dengan sisipan
batulempung karbonatan. Batugamping berlapis tersebut umumnya
kalkarenit, namun kadang-kadang dijumpai kalsirudit yang mengandung
fragmen andesit membulat. Formasi Oyo tersebar luas di sepanjang K.
Oyo. Ketebalan formasi ini lebih dari 140 meter (Bronto dan Hartono,
2001).
Formasi Oyo umumnya berlapis baik. Sedangkan fosil yang
dijumpai antara lain Cycloclypeus annulatus, Lepidocyclina rutteni,
Lepidocyclina ferreroi, Miogypsina polymorpha dan Miogypsina
thecideaeformis yang menunjukkan umur Miosen Tengah hingga Miosen
Akhir (Bothe, 1929, dalam Surono, 2009). Lingkungan pengendapannya
pada laut dangkal (zona neritik) yang dipengaruhi kegiatan gunungapi
(Bronto dan Hartono, 2001).
Sedangkan menurut Sartono, (1964, dalam Surono, 2009) Formasi
Oyo didominasi oleh napal dan batupasir yang berumur akhir Miosen
Awal – Miosen Tengah (N8-N11), Formasi Oyo mempunyai ketebalan
140 meter.
Formasi Wonosari
Formasi ini oleh Surono dkk., (1992, dalam Surono, 2009)
dijadikan satu dengan Formasi Punung yang terletak di Pegunungan
Selatan bagian timur karena di lapangan keduanya sulit untuk dipisahkan,
sehingga namanya Formasi Wonosari-Punung. Formasi ini tersingkap baik
di daerah Wonosari dan sekitarnya, membentuk bentang alam Subzona
20
Wonosari dan topografi kars Subzona Gunung Sewu. Ketebalan formasi
ini diduga lebih dari 800 meter. Kedudukan stratigrafinya di bagian bawah
menjemari dengan Formasi Oyo, sedangkan di bagian atas menjemari
dengan Formasi Kepek. Formasi ini didominasi oleh batuan karbonat yang
terdiri dari batugamping berlapis dan batugamping terumbu. Sedangkan
sebagai sisipan adalah napal. Sisipan tuf hanya terdapat di bagian timur.
Berdasarkan kandungan fosil foraminifera besar dan kecil yang
melimpah, diantaranya Lepidocyclina sp. dan Miogypsina sp., ditentukan
umur formasi ini adalah Miosen Tengah hingga Pliosen. Lingkungan
pengendapannya adalah laut dangkal (zona neritik) yang mendangkal ke
arah selatan (Surono dkk, 1992, dalam Surono, 2009).
Formasi Kepek
Lokasi tipe dari formasi ini terletak di Desa Kepek, sekitar 11
kilometer di sebelah barat Wonosari. Formasi Kepek tersebar di hulu K.
Rambatan sebelah barat Wonosari yang membentuk sinklin. Batuan
penyusunnya adalah napal dan batugamping berlapis. Tebal satuan ini
lebih kurang 200 meter (Bronto dan Hartono, 2001).
Hasil penentuan umur Formasi Kepek berdasarkan kandungan
foraminifera adalah Pliosen Awal (Rahardjo, 2007, dalam Surono, 2009).
Formasi terakhir ini mempunyai ketebalan sekitar 200 m (Surono drr.,
1992, dalam Surono, 2009). Endapan Kuarter yang menumpang tidak
selaras di atas batuan Tersier tersebar luas di Dataran Wonosari, Dataran
Baturetno, dan Dataran Bantul.

3.3 Struktur Geologi Regional


Struktur geologi yang dujumpai pada lembar Yogyakarta, berupa sesar
dan lipatan. Lipatan terdiri dari antiklin dan sinklin mempunyai arah umum
timur laut barat daya dan timur barat. Lipatan ini melibatakan satuan dari
Formasi Sentolo (terdapat pada bagian selatan peta), dan Formasi Kepek
(terdapat pada bagian tenggara peta).
Sesar umumnya berupa sesar turun dengan pola “antihetic fault block”
(Van bemmelen, 1949). Pada bagian tenggara peta umumnya berupa sesar
21
mendatar menganan yang direka dengan arah umunya tenggara barat laut
yang melibatkan Formasi Wonosari, Formasi Sambipitu dan Formasi
Nglanggran. Pada bagian selatan hingga timur peta umumnya berupa sesar
turun yang direka dengan arah umum timur laut barat daya (pada Endapan
Gunungapi Merapi Muda dan Formasi Semilir). Pada bagian barat hingga
barat bagian utara peta umumnya dijumpai dan direka beberapa sesar turun
yang mempunyai arah tenggara barat laut, timur laut barat daya, dan timur
barat (meliputi Formasi Kebo-Butak dan batuan intrusi berupa andesit).
Sedangkan pada bagian timur laut peta dijumpai sesar turun dengan arah
timur laut barat daya (meliputi Endapan Gunungapi Merapi Muda dan
Endapan Gunungapi Merapi Tua).

22
Gambar 3.3. Peta Geologi Lembar Yogyakarta, Skala 1:100.000

23

Anda mungkin juga menyukai