PENDAHULUAN
1
Tabel 1.1 Data Kejadian Bencana Tanah Longsor Kabupaten Bantul Tahun 2017 – 2020
Sumber: (https://gis.bnpb.go.id/#tabel)
Gambar 1.1 Kejadian Tanah Longsor di Desa Muntuk, Kecamatan Dlingo, Kabupaten
Bantul, 19 Januari 2021.
2
Sumber: (https://yogya.inews.id/berita/dua-rumah-warga-di-dlingo-bantul-rusak-
tertimpa-tanah-longsor)
Dari data tersebut diketahui bahwa diperlukan suatu informasi geologi yang
berkaitan mengenai mitigasi bencana gerakan tanah untuk diketahui apakah
daerah tersebut memiliki zona kerentanan gerakan tanah intensitas tinggi atau
rendah, terutama di daerah-daerah yang mempunyai lereng curam. Hal ini
dilakukan untuk mengurangi jatuhnya korban jiwa akibat tanah longsor.
Berlatar belakang hal tersebut di atas, maka penelitian tentang mitigasi
bencana gerakan tanah menjadi sangat penting untuk memberikan informasi
mengenai daerah atau lokasi-lokasi yang berpotensi terjadinya gerakan tanah
menggunakan analisis kestabilan lereng berdasarkan kenampakan-kenampakan
alam yang ada sehingga kita bisa melakukan berbagai macam cara pencegahan
sebelum gerakan tanah menjadi bencana yang tidak kita harapkan.
3
1.3 Maksud dan Tujuan
Maksud dari penelitian ini adalah untuk melakukan pengambilan data serta
analisa data yang ada di lapangan dan disajikan dalam sebuah laporan penelitian
berdasarkan data - data geologi dan geologi teknik yang ada dalam penelitian.
Penelitian ini sebagai salah satu syarat untuk memenuhi kurikulum yang
ditentukan oleh Jurusan Teknik Geologi, Sekolah Tinggi Teknologi Mineral
Indonesia Bandung untuk mendapatkan gelar kesarjanaan Program Pendidikan
Strata-1 (S1) dengan topik sesuai dengan teori yang didapatkan di bangku
perkuliahan serta aplikasinya.
Tujuan yang ingin dicapai adalah untuk mengetahui dan menyajikan data
geologi dan geologi Teknik, sehingga nantinya dapat diterapkan keterkaitannya
dengan studi mitigasi di daerah penelitian.
4
Jan-
Feb-22 Mar-22 Apr-22
Keterangan 22
3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
Persiapan
Studi Pustaka
Proposal
Perencanaan Lapangan
Lapangan
Observasi
Pengambilan Data
Laboratorium
Petrografi
Geologi Teknik
Mikropaleontologi
Laporan Penelitian
Analisa
Peta
Isi Laporan
Tabel 1.2. Rencana Jadwal Kegiatan Penelitian
Pengambilan Data
Penyajian Data
Analisis Laboratorium
Petrografi (Sayatan Tipis)
Mikropalentologi (Umur dan Lingkungan
Pengendapan)
Geologi Teknik (Sifat Fisik dan Sifat
Mekanik Tanah).
Peta Lintasan
Peta Geologi
Peta Geomorfologi 7
Peta Kemiringan Lereng
Peta Zonasi Kerentanan Gerakan Tanah
Analisa Studio & Interpetasi
Penyusunan Laporan
8
3. Observasi geomorfologi, yaitu pengamatan morfologi dan bentang
alam, tipe pola pengaliran, serta penentuan satuan geomorfik daerah
penelitian.
4. Dokumentasi, yaitu pengambilan gambar singkapan yang terdapat di
lapangan baik dalam bentuk sketsa gambar maupun foto digital,
meliputi litologi, potensi geologi, hal penting dan menarik yang
dijumpai di lapangan.
9
- Peta Geologi daerah telitian - Alat tulis
- Palu geologi - Kantong sampel
- Kompas geologi - Larutan HCl
- Loupe - Buku catatan
lapangan
- Komparator besar butir
- GPS (Global Positioning System)
10
BAB III
GEOLOGI REGIONAL
Gambar 3.1. Peta Fisiografi daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur (Van
Bemmelen, 1949).
11
Menurut Surono dalam penelitiannya pada tahun 2009
mengungkapkan bahwa stratigrafi Pegunungan Selatan dapat dibagi menjadi
tiga periode (dari tua ke muda):
1. Periode sebelum aktivitas intensif vulkanisme berlangsung,
selanjutnya disebut periode pravulkanisme. Satuan batuan yang
terbentuk pada periode pravulkasnisme adalah batuan malihan
yang ditindih tak selaras oleh Kelompok Jiwo.
2. Periode kegiatan vulkanisme berlangsung secara intensif,
selanjutnya disebut periode vulkanisme, yang membentuk Formasi
Kebo-Butak yang secara berurutan ditindih selaras oleh Formasi
Semilir dan Formasi Nglanggeran.
3. Periode setelah kegiatan vulkanisme berakhir ketika organisme
karbonat tumbuh dengan subur; selanjutnya disebut periode
pascavulkanisme atau periode karbonat. Satuan batuan yang
terendapkan pada periode ini adalah Formasi Sambipitu, Formasi
Oyo, Formasi Wonosari, Formasi Punung, dan Formasi Kepek.
12
Gambar 3.2. Stratigrafi Pegunungan Selatan Menurut Surono, 2009.
13
atas filit, sekis, genis, serpentinit, batusabak, sedimen malih, batuan
gunungapi malih, dan marmer. Wardana drr. (2008, dalam Surono, 2009)
meneliti fasies batuan malihan di daerah Perbukitan Jiwo bagian barat, dan
membagi batuan malihan ini menjadi tiga fasies, yaitu fasies sekis hijau,
fasies sekis biru, dan fasies amfibolit.
Fasies sekis hijau merupakan hasil suatu pemalihan regional
dinamotermal berderajat rendah. Fasies sekis biru diduga merupakan
pemalihan bertekanan tinggi, sangat mungkin berhubungan dengan proses
penunjaman (subduksi). Sementara fasies amfibol diduga hasil pemalihan
berikutnya sebagai akibat pemalihan kontak dari intrusi yang ada di
Perbukitan Jiwo. Hal ini sangat mungkin disebabkan oleh Intrusi Pendul
(Surono drr, 2006, dalam Surono, 2009), yang didukung oleh penyebaran
fasies amfibol yang terbatas di sekitar batuan intrusi. Pada Eosen,
Perbukitan Jiwo ini diduga merupakan tinggian (Prasetyadi dan Maha,
2004, dalam Surono, 2009).
Formasi Wungkal-Gamping
Semula Bothe (1929, dalam Surono, 2009) menduga bahwa Formasi
Wungkal dan Formasi Gamping merupakan bagian bawah endapan berumur
Eosen, tetapi penelitian Kurniawan drr., (2006, dalam Surono, 2009) dan
Umiyatun drr., (2006, dalam Surono, 2009) yang menganalisis kandungan
fosil foram dan nano plankton di kedua satuan menunjukkan bahwa
keduanya mempunyai umur yang sama, yakni Eosen Tengah – Eosen Akhir.
Umur tersebut sama dengan hasil analisis kandungan foraminifera yang
dilakukan Rahardjo (2007, Surono, 2009). Kesamaan umur ini didukung
oleh kenampakan singkapan di beberapa tempat yang menunjukkan
keduanya berhubungan secara menjemari. Ketebalan Formasi Gamping
diduga lebih 120 meter (Surono drr., 1992, dalam Surono, 2009).
14
Pada periode Eosen Akhir – Miosen Awal kegiatan vulkanisme
meningkat pesat dan menghasilkan batuan gunungapi yang cukup tebal pada
daerah penelitian. Sebaran batuan gunungapi ini membentuk Pegunungan
Baturagung, dan Gajahmungkur.
Lava Bantal Nampurejo
Batuan tertua Pegunungan Baturagung dan Gajahmungkur adalah
lava bantal yang disebut Lava Bantal Nampurejo yang berkomposisi basal,
dan berselingan dengan batupasir vulkanis berwarna hitam pekat.
Berdasarkan hasil penarikan K/Ar, satuan ini berumur Eosen
Tengah – Oligosen Awal (Surono drr., 2006, dalam Surono, 2009). Hal ini
menunjukkan bahwa kegiatan vulkanisme telah mulai pada Eosen Tengah,
yang umumnya berupa lava bantal. Lava Bantal Nampurejo ditindih atas
Formasi Kebo dan Formasi Butak.
Kelompok Kebo-Butak
Formasi Kebo-Butak, yang terdiri atas Formasi Kebo dan Formasi
Butak, melapar luas di lereng utara Pegunungan Baturagung. Formasi
Kebo terdiri atas perselingan antara batupasir dan batupasir kerikilan,
dengan sisipan batulanau, batulempung, tuf, dan serpih. Formasi Butak
disusun oleh breksi polimik dengan selingan batupasir, batupasir kerikilan,
batulempung, dan batulanau/serpih.
Bothe (1929, dalam Surono, 2009) menduga Formasi Kebo dan
Formasi Butak berumur Miosen Awal – Miosen Tengah. Sumarso dan
Ismoyowati (1975, dalam Surono, 2009) menganalisis foraminifera dalam
Formasi Kebo dan Formasi Butak, dan mendapatkan umur N2 – N5 atau
Oligosen Akhir – Miosen Awal. Kemudian Rahardjo (2007, dalam Surono,
2009) mengulangi melakukan analisis foraminifera pada tiga percontoh
dari Gunung Pegat, Watugajah dan Pututputri, dan menemukan
Globigerina ciperoensis, Catapsydrax dissimilis dan Globigerinoides
primordius, yang menunjukkan umur P22 – N4 (Oligosen Akhir – Miosen
Awal). Surono drr. (2006, dalam Surono, 2009) menganalisis kandungan
fosil nano dalam percontoh dari Perbukitan Jiwo Timur, yang diduga
merupakan bagian dari Formasi Kebo atau Formasi Butak. Fosil nano
15
tersebut terdiri atas Sphenolithus moriformis, S. heteromorphus, S.
conicus, S. belemnos, Coccolithus miopelagicus, Helicosphaera carteri
dan H. euphratis. Himpunan spesies nano tersebut menunjukan umur
Miosen Awal (NN3). Penarikan umur mutlak Formasi Kebo telah
dilakukan oleh beberapa penulis, hasil penarikan menunjukkan bahwa
Formasi Kebo dan Formasi Butak berumur 33,5 – 21,0 juta tahun lalu atau
Oligosen Akhir – Miosen Awal.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa umur Kelompok
Kebo-Butak adalah Oligosen Akhir – Miosen Awal. Kelompok ini
diendapkan di laut yang dipengaruhi oleh kegiatan gunungapi. Ketebalan
Formasi Kebo sekitar 550 meter, sedangkan Formasi Butak sekitar 334
meter (Surono, 2008a). Kelompok Kebo-Butak ditindih selaras oleh
Formasi Semilir.
Formasi Mandalika
Formasi Mandalika tersebar luas di Pegunungan Gajahmungkur
dengan ketebalan >300 meter (Surono drr., 1992, dalam Surono, 2006)
terdiri atas lava dasit-andesit, tuf dasitan dan setempat retas diorite. Hasil
penarikan K/Ar lava dasit di Nawangan menunjukkan umur Miosen Awal
(Surono, 2008a, dalam Surono, 2009).
Formasi Semilir
Formasi ini berlokasi tipe di G. Semilir, sebelah selatan Klaten.
Litologi penyusunnya terdiri dari tuf, tuf lapili, lapili batuapung, breksi
batuapung dan serpih. Komposisi tuf dan batuapung tersebut bervariasi
dari andesit hingga dasit. Di bagian bawah satuan batuan ini, yaitu di K.
Opak, Dusun Watuadeg, Desa Jogotirto, Kec. Berbah, Kab. Sleman,
terdapat andesit basal sebagai aliran lava bantal (Bronto dan Hartono,
2001). Penyebaran lateral Formasi Semilir ini memanjang dari ujung barat
Pegunungan Selatan, yaitu di daerah Pleret-Imogiri, di sebelah barat G.
Sudimoro, Piyungan-Prambanan, di bagian tengah pada G. Baturagung
dan sekitarnya, hingga ujung timur pada tinggian G. Gajahmungkur,
Wonogiri.
16
Surono (2008a, dalam Surono, 2009) melakukan analisis
nannofossil dari dua percontoh di bagian bawah Formasi Semilir. Satu
percontoh mengandung Discoaster deflandrei, D. druggii, D. variabilis,
Cyclicargolithus floridanus, Calcidiscus macintyrei, Helicosphaera
ampliaperta, H. euphratis, H. Carteri, Sphenolithus conicus, Coccolithus
miopelagicus, Sphenolithus moriformis, dan S. belemnos. Sedangkan
percontoh lain menunjukkan adanya Sphenolithus moriformis, S.
hetemorphus, S. belemnos, Cyclicargolithus floridanus, Calcidiscus
macintyrei, Helicosphaera euphratis, H. ampliaperta, H. carteri, H.
mediterranea, Coccolithus miopelagicus, dan Discoaster deflandrei.
Kumpulan nanofosil kedua percontoh batuan tersebut masing-masing
menunjukkan umur Miosen Awal bagian akhir atau Zona NN3. Surono
(2008a, dalam Surono, 2009) juga melaporkan hasil penarikan umur
mutlak Formasi Semilir dengan metode jejak belah (fission track) zircon
pada dua percontoh tuf, yang menghasilkan umur 17,0 ± 1,1 dan 16,0 ± 1,0
juta tahun lalu atau akhir Miosen Awal.
Berdasarkan uraian di atas, umur Formasi Semilir adalah 20 – 16
juta tahun yang lalu atau Miosen Awal (Burdigalian). Umumnya Formasi
Semilir bawah ini diendapkan pada laut yang kemudian berubah menjadi
darat pada pengendapan Formasi Semilir atas (Surono, 2008a, dalam
Surono, 2009). ketebalan seluruh Formasi Semilir bawah dan atas diduga
460 meter (Surono drr., 1992, dalam Surono, 2009). Formasi Semilir
ditindih selaras oleh Formasi Nglanggeran.
Formasi Nglanggeran
Lokasi tipe formasi ini adalah di Desa Nglanggran di sebelah
selatan Desa Semilir. Batuan penyusunnya terdiri dari breksi gunungapi,
aglomerat, tuf dan aliran lava andesit-basal dan lava andesit. Breksi
gunungapi dan aglomerat yang mendominasi formasi ini umumnya tidak
berlapis. Fragmennya terdiri dari andesit dan sedikit basal, berukuran 2 –
50 cm. Di bagian tengah formasi ini, yaitu pada breksi gunungapi,
ditemukan batugamping terumbu yang membentuk lensa atau berupa
17
fragmen. Secara setempat, formasi ini disisipi oleh batupasir gunungapi
epiklastika dan tuf yang berlapis baik (Bronto dan Hatono, 2001).
Formasi ini juga tersebar luas dan memanjang dari Parangtritis di
sebelah barat hingga tinggian G. Panggung di sebelah timur. Ketebalan
formasi ini di dekat Nglipar sekitar 530 meter. Dengan banyaknya fragmen
andesit dan batuan beku luar berlubang serta mengalami oksidasi kuat
berwarna merah bata maka diperkirakan lingkungan asal batuan gunungapi
ini adalah darat hingga laut dangkal. Sementara itu, dengan ditemukannya
fragmen batugamping terumbu, maka lingkungan pengendapan Formasi
Nglanggran ini diperkirakan di dalam laut (Bronto dan Hartono, 2001).
Fosil jarang ditemukan dalam formasi ini, Rahardjo (2007, dalam
Surono, 2009) menentukan umurnya berdasarkan penemuan foraminifera
yakni N5 – N6 atau Miosen Awal.
Formasi Wonolelo
Bronto drr. (2008b, dalam Surono, 2009) mengusulkan suatu nama
Formasi Wonolelo untuk satuan batuan yang tersingkap di Desa Wonolelo,
Pleret, Bantul, terdiri atas lava, breksi dan konglomerat. Surono (2009)
mendapatkan satuan batuan ini juga tersingkap di Desa Candisari (utara
Piyungan) yang kedudukan stratigrafinya berada di bawah Formasi
Semilir. Umur satuan ini belum diketahui dengan pasti, diduga seumur
dengan Formasi Semilir bawah atau bagian atas Kelompok Kebo-Butak,
yakni Oligosen Akhir. Formasi ini diduga terbentuk di laut dan
mempunyai ketebalan sekita 60 meter.
Formasi Sindet
Formasi ini didominasi oleh tuf pasiran berwarna hitam, tersingkap
luas di Desa Sindet, di utara Desa Wonolelo. Satuan yang mungkin berada
di bawah Formasi Wonolelo, terdiri atas tuf lapilli dan tuf yang berwarna
hitam, yang sebagian terbentuk di bawah laut. Umur satuan belum
diketahui, mungkin sama dengan bagian bawah Formasi Semilir Bawah.
Ketebalannya diduga kurang dari 75 meter.
Anggota Buyutan
18
Novian drr. (2007, dalam Surono, 2009) mengusulkan satu anggota
baru pada Formasi Semilir, yang tersingkap di Dusun Boyo, Gunung
Kidul. Anggota Buyutan ini disusun oleh perselingan batulanau, batupasir
tufaan, dengan sisipan breksi lapilli dan batubara. Lepidocyclina sp.
ditemukan pada anggota ini, sehingga mempunyai umur sama dengan
bagian atas Formasi Semilir, yakni akhir Miosen Awal. Anggota ini boleh
jadi terendapkan di daerah transisi dan mempunyai ketebalan satuan yang
diduga 360 meter.
22
Gambar 3.3. Peta Geologi Lembar Yogyakarta, Skala 1:100.000
23