Anda di halaman 1dari 28

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Kepulauan Indonesia terletak di garis khatulistiwa sehingga banyak menerima panas
matahari dan curah hujan yang tinggi, oleh karena itu Negara Indonesia menjadi rawan
terhadap bencana alam hidro-meteorologi seperti banjir, kekeringan, gelombang laut besar,
dan sebagainya. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat dari total
bencana hidrometeorologi yang paling sering terjadi di Indonesia adalah bencana banjir
diikuti oleh longsor.
Tanah longsor adalah suatu gerakan menuruni lereng oleh massa tanah dan atau
batuan penyusun lereng. Gerakan tanah merupakan salah satu proses geologi yang terjadi
akibat interkasi beberapa kondisi antara lain geomorfologi, struktur geologi, hidrogeologi
dan tata guna lahan. Kondisi yang saling berpengaruh tersebut dapat mewujudkan kondisi
lereng yang cenderung bergerak (Karnawati, 2005). Pergerakan tanah dapat diketahui
dengan tanda–tanda seperti munculnya retak tarik dan kerutan di permukaan lereng,
miringnya pepohonan, hilangnya kelurusan fondasi sebuah bangunan dan lainnya
(Hardiyatmo, 2012). Pembuatan peta rawan longsor dapat menggunakan Sistem Informasi
Geografis, sehingga dapat diketahui daerah yang terdampak (Firdaus dan Sukojo, 2015).
Kecamatan Bastem Utara merupakan sebuah kecamatan yang berada di Kabupaten Luwu
yang memiliki luas wilayah seluas 122,88 Km2 dan merupakan wilayah daratan yang relatif
tidak stabil, dengan rawan gerakan tanah, termasuk tanah longsor, dan karena tipe medan
pegunungan. Manfaat berupa jalan raya dan erosi tanah seringkali diwujudkan sedemikian
rupa sehingga daerah sangat rentan terhadap longsor. Hal ini di dasarkan pada fakta bahwa
daerah rawan bencana longsor tersebut sebagai permukiman warga, perkebunan, dan jalan.
sehingga dapat membahayakan para pengendara serta masyarakat yang tinggal di daerah
tersebut.
Jika melihat kondisi lahan, kemungkinan akan terjadi kerusakan lingkungan atau
kerusakan lingkungan terutama akibat longsor. Oleh karena itu diperlukan penelitian tentang
upaya pengelolaan lingkungan daerah Rawan Bencana Longsor, sehingga dapat
dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan lahan tanpa menimbulkan resiko terhadap
pengguna lahan dan lahan itu sendiri beserta lingkungannya.
Pemerintah atau pihak berkepentingan lainnya harus menganggap serius kondisi ini.
Pemerintah sebagai lembaga pengawasan sangat berperan penting dalam upaya
penanggulangan akibat bencana alam ini, khususnya tanah longsor. Untuk itu diperlukan
Peta Rawan Longsor yang meliputi batas wilayah, jalan, jumlah penduduk, penggunaan
lahan, lereng, jenis tanah , geologi dan tipe longsor.
Dalam Penulisan ini akan dibangun sebuah media informasi Pemetaan Daerah Rawan
Bencana Tanah Longsor di Kecamatan Bastem Utara Berbasis Webgis Arcgis Online.
Pemanfaatan sistem informasi geografis ini didalamnya terdapat informasi mengenai letak
zona-zona yang berpotensi longsor. Adanya Peta Persebaran Rawan Bencana Longsor
tersebut diharapkan dijadikan sarana untuk mempermudah penyampaian informasi wilayah
Rawan Tanah Longsor.
1.2. Rumusan Masalah
Kabupaten Luwu khususnya di Kecamatan Bastem Utara sering terjadi bencana tanah
longsor, yang tentunya mengalami kerusakan ruas jalan, dan pemukiman warga. Upaya
untuk meminimalkan resiko bencana longsor dengan cara membuat sebuah peta rawan
bencana tanah longsor berbasis webgis arcgis online untuk dapat dijadikan sarana untuk
mempermudah penyampaian informasi wilayah yang rawan terjadinya tanah longsor oleh
pemerintah dan masyarakat setempat.
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk melakukan Pemetaan Daerah Rawan Bencana Tanah
Longsor di Kecamatan Bastem Utara Berbasis Webgis Arcgis Online. Agar nantinya dapat
berguna bagi pemerintah maupun masyarakat yang berada di kecamatan Bastem Utara
tersebut.
1.4. Manfaat Penelitian
Untuk ini penulis terhadap nantinya dapat bermanfaat bagi:
1. Manfaat bagi tempat peneliti
Sebagai sumber informasi bagi pemerintah dan masyarakat, memungkinkan masyarakat
dapat menanggulangi dan mengantisipasi terjadinya longsor.
2. Manfaat bagi peneliti
Dapat menambah pengetahuan dan pengalaman dalam hal pembuatan Peta Daerah
Rawan Bencana Tanah Longsor di Kecamatan Bastem Utara Berbasis Webgis Arcgis
Online.
3. Manfaat terhadap dunia akademik
Sebagai bahan referensi atau acuan bagi peneliti selanjutnya.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kajian Teori


Kajian Teori berisi topik-topik yang akan di bahas dalam penelitian ini, penulis akan
menjelaskan materi-materi yang akan berhubungan dengan judul penelitian yang telah diajukan.

1. Pemetaan
Menurut Prasetyo (dalam Sandy, 1972) mengemukakan bahwa pemetaan merupakan suatu
usaha untuk menyampaikan, menganalisis dan mengklasifikasikan data yang bersangkutan, serta
menyampaikan ke dalam bentuk peta dengan mudah, memberi gambaran yang jelas, rapi dan
bersih. Peta yang menggambarkan fenomena geografikal tidak hanya sekedar pengecilan suatu
fenomena saja, tetapi jika peta itu dibuat dan didesain dengan baik, maka akan menjadi alat
bantu yang baik untuk kepentingan melaporkan, memperagakan, menganalisis dan secara umum
untuk memahami suatu objek atau kenampakan di muka bumi. Peta menggunakan simbol dua
dimensi untuk mencerminkan fenomena geografikal yang dilakukan secara sistematis dan
memerlukan kecakapan untuk membuat dan membacanya. Peta merupakan teknik komunikasi
yang tergolong dalam cara grafis dan untuk efisiensinya harus mempelajari atribut atau elemen-
elemen dasarnya prasetyo (dalam Sinaga, 1995).
Orang yang ahli dalam bidang pemetaan disebut kartografi. Ada beberapa ahli kartografi
menjelaskan pengertian peta sebagai berikut:
a. Menurut ICA (international Carrografhic Associstion) peta adalah suatu gambaran atau
representasi ada kaitannya dengan permukaan bumi atau benda-benda angkasa. Pada umumnya,
peta digambarkan pada suatu bidang datar dan diperkecil atau diskalakan.
b. Menurut Erwin Raisz peta adalah gambaran konvensional dari permukaan bumi yang di
perkecil sebagai kenampakan jika dilihat dari atas dengan ditambah tulisan-tulisan sebagai tanda
pengenal.
Semua peta mempunyai satu hal yang sifatnya umum yaitu menambah pengetahuan dan
pemahaman geografikal bagi si pengguna peta. Dalam perencanaan pembangunan hampir semua
memerlukan peta sebelum perencanaan tersebut dimulai. Hal ini sesuai dengan fungsi peta
dalam perencanaan suatu keg/iatan seperti yang dikemukakan oleh Prasetyo (dalam Sinaga
1995) adalah sebagai berikut:
a. Memberikan informasi pokok dari aspek keruangan tentang karakter dari suatu daerah.
b. Sebagai alat untuk menjelaskan penemuan-penemuan penelitian yang dilakukan.
c. Sebagai suatu alat menganalisis dalam mendapatkan suatu kesimpulan.
d. Sebagai alat untuk menjelaskan rencana-rencana yang diajukan demikian pula dalam suatu
kegiatan penelitian, peta berfungsi sebagai berikut:
1. Alat bantu sebelum melakukan survei untuk mendapatkan gambaran tentangdaerah yang akan
diteliti.
2. Sebagai alat yang digunakan selama penelitian, misalnya memasukkan datayang ditemukan
di lapangan.
3. Sebagai alat untuk melaporkan hasil penelitian.
Ditinjau dari isinya, peta dikelompokkan menjadi peta umum dan petakhusus. Peta umum
berisi gambaran umum tentang permukaan bumi, sepertigunung, bukit, pemukiman dan lain-
lain. Peta khusus/tematik adalah peta yang memperlihatkan data-data secara kualitatif dan atau
kuantitatif pada unsurunsur yang spesifik. Unsur-unsur tersebut ada hubungannya dengan detail
topografi Prasetyo (dalam Aziz, Lukman dan Rachman, 1977). Contoh peta tematik: peta
kepadatan penduduk, peta penggunaan tanah, peta mata pencaharian dan sebagainya. Sinaga
(1995) mengemukakan bahwa peta berdasarkan skalanya, dibedakan menjadi:
1) Peta skala sangat besar yaitu peta berskala >1 : 10.000.
2) Peta slaka besar yaitu peta berskala 1 : 100.000 – 1 : 10.000.
3) Peta skala sedang yaitu peta berskala 1 : 100.000 – 1 : 1.000.000.
4) Peta skala kecil yaitu peta berskala >1 : 1.000.000.
Ada beberapa cara untuk menyatakan skala peta sebagai berikut:
a) Skala angka, yaitu skala yang menunjukkan perbandingan antara jarak di petadengan jarak
sebenarnya di lapangan, yang dinyatakan dengan angka ataupecahan. Contoh: Skala angka 1 :
50.000 Skala pecahan 1/50.000 Skala tersebut menyatakan bahwa satuan jarak pada peta
mewakili 50.000satuan jarak horisontal di permukaan bumi. Jadi 1 cm di peta mewakili 50.000
cm di lapangan.
b) Skala verbal, yaitu skala yang dinyatakan dengan kalimat atau skala yangmenunjukkan jarak
inci di peta sesuai dengan sejumlah mil di lapangan. Peta skala ini banyak digunakan di negara
Inggris dan bekas negara jajahannya. Contoh: 1 inci to one mile = 1 : 63.660
c) Skala grafis, yaitu skala yang ditunjukkan dengan garis lurus, yang dibagibagidalam bagian
sama. Setiap bagian menunjukkan kesatuan panjang yang sama pula.
Contoh dari skala angka 1 : 50.000, menjadi skala grafis, sebagai berikut: 500 M 0 500 M
Pada umumnya yang dipentingkan dalam peta tematik adalah penyajian data dalam bentuk
simbol, karena simbol menyampaikan isi peta dan sebagai media komunikasi yang baik antara
pembuat peta dengan pengguna peta. Pembuat peta harus berusaha membuat simbol yang
sederhana, mudah digambar tetapi cukup teliti, sedangkan bagi penguna peta, simbol itu harus
jelas dan mudah dibaca atau dipahami. Seorang kartografi harus dapat mendesain peta dan
merekayasa, mengkombinasikan berbagai data menjadi simbol-simbol yang menarik dan mudah
dimengerti sehingga peta yang dihasilkan mempunyai nilai tinggi baik isi maupun unsur
seninya. Peta merupakan teknik komunikasi yang tergolong dalam cara grafis dan untuk
efisiensinya harus mempelajari atribut atau elemen-elemen dasarnya Prasetyo (dalam Sinaga,
1995).

2. Fungsi dan Jenis Pemetaan


Secara teoritis, Bringker dkk (1984) mendefinisikan peta sebagai hasil gambaran/proyeksi
dari sebagian permukaan bumi pada bidang datar atau kertas dengan skala tertentu. Secara garis
besar, manfaat peta dapat di jabarkan sebagai berikut:
1) Untuk mencatat keadaan setempat Dengan mencantumkan kondisi, kualitas, dan juga
kuatintas suatu tempat, maka peta dapat berfungsi untuk mencatat keadaan suatu tempat.
2) Untuk perencanaan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam. Dengan perencanaan
yang dilengkapi dengan peta akan sangat membantu dalam proses perencanaan tersebut, dengan
membuat suatu rencana tata ruang setempat.
3) Untuk bahan berkomunikasi masyarakat dengan pihak luar. Peta juga dapat digunakan untuk
berkomunikasi antara masyarakat dengan pihak luar, hal ini dimungkinkan bahasa dan istilah
yang digunakan antara masyarakat dan pihak luar mungkin berbeda.

3. Pemetaan Daerah Rawan Bencana Tanah Longsor


Pemetaan daerah rawan bencana dilakukan dengan metode non sistematik, yaitu
menggunakan data dari informasi yang telah tersedia dari survei-survei terdahulu dan dilengkapi
dengan peta-peta pendukung. Menurut Susetyo dan Perdana (2017) Peta-peta dasar adalah peta
yang digunakan sebagai acuan dalam pembuatan peta utama, dalam hal ini adalah peta rawan.
Ada beberapa peta dasar yang digunakan sebagai pedoman dan parameter yang akurat. Peta
dasar yang digunakan dalam pembentukan peta rawan banjir yaitu:
1) Peta Administrasi
Peta ini berfungsi untuk mengetahui batasan-batasan secara administratif dari lokasi yang akan
dipetakan. Batasan administratif ini biasanya ditandai dengan batasan kabupaten, batasan
kecamatan, maupun batas antar desa.
2) Peta Jenis Tanah
Peta jenis tanah adalah sebuah peta yang menggambarkan variasi dan persebaran berbagai jenis
tanah atau sifat-sifat tanah (seperti PH, tekstur, kadar organik, kedalaman, dan sebagainya) di
suatu area. Peta tanah merupakan hasil dari survei tanah dan digunakan untuk evaluasi sumber
daya lahan, pemetaan ruang, perluasan lahan pertanian, konservasi, dan sebagainya. Pada peta
tanah terdapat data primer yang merupakan hasil pengukuran langsung di lapangan, dan data
sekunder merupakan hasil dari perhitungan dan/atau perkiraan berdasarkandata yang didapatkan
di lapangan. Contoh data sekunder adalah kapasitas produksi tanah, laju degradasi, dan
sebagainya.
3) Peta Kemiringan Lereng
Lereng adalah kenampakan permukaan alam disebabkan adanya beda tinggi. Apabila beda
tinggi dua tempat tersebut dibandingkan dengan jarak lurus mendatar akan diperbolehkan
besarnya kelerengan. Ben tuk lereng bergantung pada proses erosi, juga gerakan tanah dan
pelapukan. Lereng merupakan topografi yang terbagi dalam dua bagian, yaitu kemiringan lereng
dan beda tinggi relatif, di mana kedua bagian terbsebut besar pengaruhnya terhadap penilaian
suatu bahan kritis. Jika suatu lahan kritis akan digunakan untuk pertanian ataupun pemukiman,
perlu adanya suatu pertimbangan mengenai kemiringan lereng menggunakan peta kemiringan
lereng.
4) Peta Penggunaan Lahan
Penggunaan lahan merupakan aktivitas manusia dalam kaitannya dengan lahan yang biasanya
tidak secara langsung tampak dari citra. Penggunaan lahan telah dikaji dari beberapa sudut
pandang yang berlainan sehingga tidak ada satu definisi yang benar-benar tepat di dalam
keseluruhan konteks yang berbeda. Sebagai contoh melihat penggunaan lahan dari sudut
pandang kemampuan lahan dengan jalan mengevaluasi lahan dalam hubungannya dengan
bermacam-macam karakteristik alami. Penggunaan lahan berkaitan dengan kegiatan manusia
pada bidang lahan tertentu seperti pemukiman, perkotaan dan persawahan. Penggunaan lahan
juga merupakan pemanfaatan lahan dan lingkungan alam untuk memenuhi kebutuhan manusia
dalam penyelenggaraan kehidupannya. Pengertian penggunan lahan biasanya digunakan untuk
mengacu pemanfaatan masa kini (present of current land use). Oleh karena itu, aktivitas manusia
di bumi bersifat dinamis sehingga perhatian sering ditunjukan pada perubahan penggunaan
lahan.
5) Peta Curah Hujan
Peta curah hujan juga berpengaruh dan merupakan peta dasar yang harus dimiliki karena curah
hujan di setiap lokasi juga berbeda-beda. Selain itu, hujan juga sangat berpengaruh terhadap
banjir. Peta kawasan rawan banjir dapat dibuat secara cepat melalui Sistem Informasi Geografis
(SIG) dengan menggunakanmetode tumpang susun/overlay terhadap peta dasar (peta
administrasi, peta jenis tanah, peta kemiringan lereng, peta penggunaan lahan, dan peta curah
hujan. Melalui Sistem Informasi Geografis diharapkan akan mempermudah penyajian informasi
spasial khususnya yang terkait dengan penentuan tingkat kerawananan banjir serta dapat
menganalisis dan memperoleh informasi baru dalam mengidentifikasi kawasan-kawasan yang
sering menjadi sasaran Longsor.
6. Peta Geologi
Peta geologi merupakan gambaran informasi mengenai sebaran dan jenis serta sifat batuan,
umur, struktur, tektonika dan lain-lain yang berhubungan dengan sumber daya. Peta geologi ini
salah-satu dari bentuk data dan informasi geologi dari suatu wilayah atau daerah dengan tingkat
kualitas yang berdasarkan skala.

4. Longsor Lahan
Longsor adalah suatu bentuk erosi yang pengakutan atau pemindahan atau gerakan tanah
terjadi pada saat yang bersamaan dan dengan volume yang besar (Sitanala, 2010). Menurut
Kodoati dan Rustam (2006) Longsor adalah gerakan massa tanah dalam jumlah besar yang
bergerak pada bidang geser tertentu, dimana pada biang tersebut tahanan tanah dalam menahan
tanah melampaui. Yayasan Idep (2005) mendefenisikan tanah longsor sebagai terj\adinya
perbgerakan tanah atau batuan dalam jumlah besar secara tiba-tiba atau berangsur yang
umumnya terjadi di daerah terjal yang tidak stabil. Factor lain yang mempengaruhi terjadinya
bencana ini adalah lereng yang gundul serta kondisi tanah dan bebatuan yang rapuh. Air hujan
adalah penyebab utama terjadinya tanah longsor. Ulah manusiapun biasa menjadi penyebab
tanah longsor seperti penambangan tanah, pasir dan batuan yang tidak terkendali.

Gambar 1. Salah-Satu Jenis Longsoran Batu

Ada perbedaan antara longsor lahan dan erosi. Longsor memindahkan massa tanah dengan
volume yang besar, adakalahnya dosertai oleh batuan dan pepohonan, dalam waktu adalah
memindahkan partikel-partikel tanah dengan volume yang relative lebih kecil pada setiap kali
kejadian dan langsung dala, waktu yang relative lama. Dua bentuk longsor yang sering terjadi di
daerah pegunungan adalah.
a. Guguran, yaitu pelepasan batuan atau tanah dari lereng curam dengan gaya bebas atau
bergelinding dengan kecepatan tinggi sampai sangat tinggi. Bentuk longsor ini terjadi pada
lereng yang sangat curam.
b. Peluncuran, yaitu pergerakan bagian atas tanah dalam volume besar akibat keruntuhan
gesekan antara bongkahan bagian atas dan bagian bawah tanah. Bentuk longsor ini umumnya
terjadi apabila terdapat bidang luncur pada kedalaman tertentu dan tanah bagian atas dari bidang
luncur tersebut telah jenuh air.
5. Jenis-Jenis Longsoran

Jenis Sketsa Keterangan


No Longsoran
Longsoran translasi adalah bergeraknya
Longsoran massa tanah dan batuan pada bidang gelincir
1
Translasi berbentuk rata atau menggelombang landai.

Longsoran rotasi adalah bergeraknya massa


Longsoran
2 tanah dan batuan pada bidang gelincir
Rotasi berbentuk cekung.

Pergerakan blok adalah bergeraknya batuan


Pergerakan pada bidang gelincir berbentuk rata.
3
Blok Longsoran ini disebut longsoran translasi
. blok batu
Runtuhan batu adalah runtuhnya sejumlah
besar batuan atau material lain bergerak ke
Runtuhan
4 bawah dengan cara jatuh bebas. Umumnya
Batu
terjadi pada lereng yang terjal hingga
menggantung.

Rayapan tanah adalah jenis gerakan tanah


yang bergerak lambat. Jenis gerakan tanah ini
Rayapan hampir tidak dapat dikenali. Rayapan tanah ini
5
Tanah bisa menyebabkan tiang telepon, pohon, dan
rumah miring.

Gerakan tanah ini terjadi karena massa tanah


Aliran Bahan bergerak didorong oleh air. Kecepatan aliran
6
Rombakan dipengaruhi kemiringan lereng, volume dan
tekanan air, serta jenis materialnya.

Tabel 1. Jenis longsoran Menurut Robert (2006)

6. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Terhadap Longsor


Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya longsor dibedakan menjadi dua yaitu faktor
pasif dan faktor aktif (Djauhari, 2006)
a. Faktor pasif Faktor pasif merupakan faktor yang mengontrol terjadinya longsor lahan. Faktor
pasif yang berpengaruh terhadap longsor lahan diantaranya:
1) Faktor topografi
a) Kemiringan lereng
Kemiringan lereng dinyatakan dalam derajat (0 ) atau persen (%). Dua titik yang berjarak
horizontal 100 meter yang mempunyai selisih tinggi 10 meter membentuk lereng 10% sama
dengan kecuraman 450 (Sitanala, 2010). Semakin dekat curam lereng suatu lahan akan
memperbesar kecepatan aliran permukaan, yang demikian akan mempersebar erosi (Ananta
kusuma 1991).
b) Panjang lereng
Panjang lereng berpengaruh terhadap energy angkut untuk terjadinya longsor. Panjang lereng
dihitung mulai dari titik pangkal aliran permukaan sampau titik dimana air aliran permukaan
masuk ke saluran-saluran (sungai), atau dimana kemiringan berkurang sedemikan rupa sehingga
kecapatan aliran air sudah sangat berkurang (Ananto, 1991)
c) Keterdapatan dinding
Terjal Dinding yang terjal merupakan pencerminan dari batuan penyusunan bentuk lahan yang
berupa dinding-dinding batuan dengan kemiringan yang terjal. Adanya dinding terjal baik yang
tersinkap melaluo sesaran, lipatan, penorehan, akan memberikan kesempatan sinar matahari
lebih banyak sehingga pelapukan lebih sensitive (Worosuprojo, 2008).
2) Faktor geologis
a) Kerapatan kekar dan hancuran, batuan pada lereng atau tebing akan sangat melemahkan kuat
geer (kohesi dan sudut gesek dalam) tanah atau batuan penyusunan lereng karena
mengakibatkan gaya penahanan pada lereng menjadi sangat lemah. Bidang retakan atau kekar
justru sering merupakan bidang gelincir atau jatuhan gerakan tanah atau batuan (Karwati 2005).
b) Struktur pelapisan batuan, menunjukan besar kecilnya kemiringan batuan terhdapat bidang
datar. Demikian besar kemiringan lereng maka akan semakin rentan terhadap longsor lahan
(Misdiyanto dalam Purwantrianani, 2009).
c) Tingkat pelapukan batuan, Pada batuan yang mengalami pelapukan sangat lanjut mendukung
terjadinya longsor lahan dibangingkan dengan batuan yang masih segar.
3) Kondisi tanah
a) Tekstur tanah, adalah perbandingan relative (dalam persen) antara lain fraksi debu, pasir dan
liat. Tekstur tanah mempunyai peranan dalam proses infiltrasi air. Tanah yang bertekstur pasir
halus mempunyai kapasitas yang tinggi tetapi jika terdapat aliran permukaan maka buti-buti
halus ini akan mudah terbawa (Ananto, 1991).
b) Permeabilitas tanah, adalah kualitas tanah untuk meloloskan air atau udara, yang diukur
berdasarkan besarnya aliran melalui satuan tanah yang tekah dijenuhi terlebih dahulu per satuan
waktu tertentu (Susanto dan Rachman, 2007).
c) Indeksi plastisits, menunjukan kadar air pada batas cair dengan batas plastis. Batas cair adalah
kadar air tanah pada batas antara keadaan cair dan keadaan plastis. Tanah yang memiliki batas
plastisis tinggi biasanya memiliki kekuatan lemah. Kadar air ini memberikan gaya perekat antara
butir-butir tanah di bawah pengaruh air (Wesley, 1977).
Bila batas plastis tinggi maka butir tanah banyak mengandung lembpung koloidal karena itu
pemuaian dan penyusutan besar oleh lengas sehingga rentan terhadap longsor.
d) Kedalaman efektif tanah, adalah tanah yang baik bagi pertumbuhan akar tanaman yaitu
sampai pada lapisan yang tidak dapat ditembus oleh akar tanaman, lapisan tersebut dapat berupa
lapisan paling keras, padas liat, padas rapuh atau lapisan phlintite (Sintala, 2010). Menurut Lutfi
Reyes (2007) kedalam efektif tanah dapat di klasifikasikan menjadi:
K0: >90cm (dalam)
K1: 90-50cm (sedang)
K2: 50-25cm (dangkal)
K3: <25cm (sangat dangkal)

b. Faktor Aktif
Faktor aktif merupakan faktor yang dapat berpengaruh terhadap longsor lahan diantaranya
adalah aktivitas manusia dalam pengolahan atau penggunaan lahan, dan faktor iklim terutama
curah hujan.

7. Kerentanan Longsor Lahan


Dalam kondisi normal, suatu bentang sistem geomorfik menunjukan dalam kondisi stabil
dengan aliran energy yang teratur. Faktor-faktor fisik seperti kondisi geologi, geomorfologi,
hidrologi, vegetasi, tanah, iklim serta fakto non fisik seperti penggunaan lahan aktifitas manusia
akan merubah kondisi stabil dari lereng tersebut.
Gerakan massa yang berupa tanah longsor terjadi akibat adanya keruntuhan geser di
sepanjang bidang longsor yang merupakan batas geraknya massa batuan (Hardiyatmo, 2009).
Keruntuhan geser ini diakibatkan berkurangnya tingkat kestabilan lereng. Pada kondisi ini
tahanan geser batuan atau tanah lebih kecil dari tegangan gesernya. Ketidakstabilan lereng
merupakan akibat dari gangguan yang ditentukan oleh variasi tenaga endogenerik dan
eksogenetik. Menurut Hardiyatmo (2009) dalam kenaikan dan penurunan tegangan geser
dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya:
1. Faktor yang menyebabkan kenaikan tekanan geser dalam lereng.
a. Pembongkaran material pendukung: erosi, gerakan lereng secara manual (jatuhan, longsoran.
Penurunan) dan aktivitas manusia.
b. Kelebihan beban : penambahan beban dapat terjadi secara alami dan aktivitas tanah dan
akumulasi material akibat longsoran terdahulu, pembangunan bangunan atau beban berat yang
lain diatas lereng dan bocoran air dari gorong-gorong, pipa air atau selokan.
c. Pengaruh sesaat seperti gempa
d. Hilangnya material bagian bahwa lereng yang menyokong kestabilan lereng yang disebabkan
oleh air sungai atau laut, pegaruh iklim, erosi bawah tanah akibat rembesan (pipisan), larutnya
bahan yang terdapat di dalam tanah, aktivitas manusia, hilangnya kuat geser material di bawah
lereng.
e. Bertambahnya tekanan lateral yang disebabkan oleh air, retakan atau celah, pembekuan air
dalam retakan pengembangan lempung.

2. Faktor yang mereduksi kuat geser tanah dalam lereng


a. Faktor bawaan dari sifat-sifat material pembentuk yang meliputi komposisi, susunan sekunder
atau mewarisi, perselang-selingan lapisan (stratification)
b. Perubahan yang diakibatkan oleh perubahan iklim dan aktivita fisikomia (physiochemical)
meliputi proses pengeringan dan pembahasan, hidrasi, hilangnya zat perantara yang merekatkan
c. Pengaruh tekanan air pori
d. Perubahan struktur atau pengurangan tegangan
e. Perubahan struktur atau susunan yang meliputi pelepasan atau pengurangan tegangan (stress
release) dan degradasi struktur.
8. Jenis Tanah
Faktor tanah mempunyai kepekaan terhadap longsor yang berbeda-beda. Kepekaan longsor
tanah yaitu mudah atau tidaknya tanah longsor sebagai fungsi berbagai sifat fisik tanah dan
kimia tanah. Sifat-sifat tanah yang mempengaruhi kepekaan longsor adalah:
1. Sifa-sifat tanah yang mempengaruhi laju infiltrasi, permeabilitas, dan kapasitas menahan air
2. Sifat-sifat tanah yang memperngaruhi ketahanan struktur tanah terhadap disperse dan
pengikisan oleh buti-butir tanah yang jatuh dan aliran permukaan.
Adapun sifat-sifat tanah yang mempengaruhi longsor yaitu struktur, struktur, bahan organik,
kedalaman lapis air tanah dan tingkat kesuburan tanah (Arifin dan Ita, 2006).
Tingkat perkembangan tanah berpengaruh nyata terhadap longsoran. Tanah sudah
berkembang atau berkembang seperti typic hapludults dan rypich hapludults memberikan
longsoran yang ringgi, sedangkan yang muda sedikit dijumpai longsoran. Bidang luncur
longsoran umumnya terdapat di lapiran B atau antara C dan R (Barus dan Wiradisastra,1999).

NO JENIS TANAH KLASIFIKASI

1. Aluvial, Glei, Planosol, Hidromerf, Leterik air tanah Tidak Peka


2. Latosol Kurang Peka
3. Brown forest soil, Non calcic, Brown mediteran Agak Peka
4. Andosol leterit, Grumusol, Podsol, Podsolic Peka

5. Regosol, Litosol, Organosol, Rensina Sangat Peka

Tabel 2. Klasifikasi Tanah

9. Kemiringan Lereng
Menurut Karnawati ( 2001 ), kelerengan menjadi faktor yang sangat penting dalam proses
terjadinya tanah longsor. Pembagian zona kerentanan sangat terkait dengan kondisi kemiringan
lereng. Kondisi kemiringan lereng lebih 15o perlu mendapat perhatian terhadap kemungkinan
bencana tanah longsor dan tentunya dengan mempertimbangkan faktor-faktor lain yang
mendukung. Pada dasarnya sebagian besar wilayah Indonesia merupakan daerah perbukitan atau
pegunungan yang membentuk lahan miring. Namun tidak selalu lereng atau lahan yang miring
bepotensi tanah longsor. Potensi terjadinya gerakkan pada lereng juga tergantung pada kondisi
batuan dan tanah penyusun lerengnya, struktur geologi, curah hujan, vegetasi penutup, dan
penggunaan lahan pada lereng tersebut.

Lebih jauh Karnawati ( 2001 ), menyebutkan terdapat 3 tipologi lereng yang rentan untuk
bergerak/ longsor, yaitu :
a. Lereng yang tersusun oleh tumpukan tanah gembur dialasi oleh batuan atau tanah yang lebih
kompak.
b. Lereng yang tersusun oleh pelapisan batuan miring searah lereng.
c. Lereng yang tersususUn oleh blok-blok batuan.

Kemantapan suatu lereng tergantung kepada gaya penggerak dan gaya penahan yang ada
pada lereng tersebut. Gaya penggerak adalah gaya-gaya yang yang berusaha membuat lereng
longsor, sedangkan gaya penahan adalah gaya-gaya yang mempertahankan kemantapan lereng
tersebut. Jika gaya penahan ini lebih besar dari pada gaya penggerak, maka lereng tersebut tidak
akan mengalami gangguan atau berarti lereng tersebut mantap ( Das, 1993; Notosiswojo dan
Projosumarto, 1984 dalam Mustafril, 2003 ).

NO KELERENGAN (%) DESKRIPSI SATUAN MORFOLOGI

1. 0–8 Datar Dataran


2. 8 – 15 Landai Perbukitan berelief halus
3. 15 – 25 Agak Curam Perbukitan berelief sedang
4. 25 – 45 Curam Perbukitan berelief kasar
5. > 45 Sangat Curam Perbukitan berelief sangat kasar

Tabel 3. Klasifikasi Lereng

10. Curah Hujan


Karnawati (2003) menyatakan salah satu faktor penyebab terjadinya bencana tanah
longsor adalah air hujan. Air hujan yang telah meresap ke dalam tanah lempung pada lereng
akan tertahan oleh batuan yang lebih kompak dan lebih kedap air. Derasnya hujan
mengakibatkan air yang tertahan semakin meningkatkan debit dan volumenya dan akibatnya air
dalam lereng ini semakin menekan butiran-butiran tanah dan mendorong tanah lempung pasiran
untuk bergerak longsor. Batuan yang kompak dan kedap air berperan sebagai penahan air dan
sekaligus sebagai bidang gelincir longsoran, sedangkan air berperan sebagai penggerak massa
tanah yang tergelincir di atas batuan kompak tersebut. Semakin curam kemiringan lereng maka
kecepatan penggelinciran juga semakin cepat. Semakin gembur tumpukan tanah lempung maka
semakin mudah tanah tersebut meloloskan air dan semakin cepat air meresap ke dalam tanah.
Semakin tebal tumpukan tanah, maka juga semakin besar volume massa tanah yang longsor.
Tanah yang longsor dengan cara demikian umumnya dapat berubah menjadi aliran lumpur yang
pada saat longsor sering menimbulkan suara gemuruh.
Selanjutnya, menurut Suryolelono (2005), pengaruh hujan dapat terjadi di bagian-bagian
lereng yang terbuka akibat aktivitas mahluk hidup terutama berkaitan dengan budaya
masyarakat saat ini dalam memanfaatkan alam berkaitan dengan pemanfaatan lahan (tata guna
lahan), kurang memperhatikan pola-pola yang sudah ditetapkan oleh pemerintah. Penebangan
hutan yang seharusnya tidak diperbolehkan tetap saja dilakukan, sehingga lahan-lahan pada
kondisi lereng dengan geomorfologi yang sangat miring, menjadi terbuka dan lereng menjadi
rawan longsor.

NO KLASIFIKASI CURAH HUJAN/HARI


1. Sangat Ringan < 5 mm
2. Ringan 5 – 20 mm
3. Sedang 21 -50 mm
4. Lebat 51 -100 mm
5. Sangat Lebat > 100 mm

Tabel. 4 Klasifikasi Curah Hujan

11. Geologi
Faktor geologi yang mempengaruhi terjadinya gerakkan tanah adalah struktur geologi,
sifat batuan, hilangnya perekat tanah karena proses alami ( pelarutan ), dan gempa. Struktur
geologi yang mempengaruhi terjadinya gerakkan tanah adalah kontak batuan dasar dengan
pelapukan batuan, retakan/rekahan, perlapisan batuan, dan patahan. Zona patahan merupakan
zona lemah yang mengakibatkan kekuatan batuan berkurang sehingga menimbulkan banyak
retakan yang memudahkan air meresap (Surono, 2003).
12. Penggunaan Lahan
Penggunaan Lahan merupakan aktivitas manusia pada dan dalam kaitannyadengan lahan,
yang biasanya tidak secara langsung tampak dari citra. Penggunaan lahan telah dikaji dari
beberapa sudut pandang yang berlainan, sehingga tidak ada satu defenisi yang benar-benar tepat
di dalam keseluruhan konteks yang berbeda. Hal ini mungkin, misalnya melihat penggunaan
lahan dari sudut pandang kemampuan lahan dengan jalan mengevaluasi lahan dalam
hubungannya dengan bermacam-macam karakteristik alami yang disebutkan diatas. Penggunaan
lahan berkaitan dengan kegiatan manusia pada bidang lahan tertentu, misalnya permukiman,
perkotaan dan persawahan. Penggunaan lahan juga merupakan pemanfaatan lahan dan
lingkungan alam untuk memenuhi kebutuhan manusia dalam penyelenggaraan kehidupannya.
Pengertian penggunaan lahan biasanya digunakan untuk mengacu pemanfaatan masa kini
(present or current land use). Oleh karena aktivitas manusia di bumi bersifat dinamis, maka
perhatian sering ditujukan pada perubahan penggunaan lahan baik secara kualitatif maupun
kuantitatif.
Penutup lahan yang menggambarkan Konstrukasi vegetasi dan buatan yang menutup
permukaan lahan. Konstruksi tersebut seluruhnya tampak secara langsung dari citra
penginderaan jauh. Tiga kelas data secara umum yang tercakup dalam penutup lahan: (1)
struktur fisik yang dbangun oleh manusia, (2) fenomena biotik seperti vegetasi alami, tanah
pertanian dan kehidupan binatang, (3) tife pembangunan. Jadi, berdasrkan pada pengamatan
penutup lahan, diharapkan untuk dapat menduga kegiatan manusia dan penggunaan lahan.
Namun, ada aktivitas manusia yang tidak dihubungkan secara langsungdengan tife penutup
lahan seperti aktivitas rekreasi. Masalah-masalah lain termasuk penggunaan ganda yang dapat
menjadi secara multan atau terjadi secara alternatif, penyusunan penggunaan vertika, dan ukuran
areal minimum dari pemetaan. Selanjutnya, pemetaan penggunaan lahan dan penutup lahan
membuat beberapa keputusan bijak harus dibuat dan peta hasil tidak dapat dihindari
mengandung beberapa informasi yang digeneralisasikan menurut skala dan tujuan aplikasinya.
(Sutanto, 1996).
Informasi penggunaan lahan adalah penutup lahan permukaan bumi dan penggunaan
penutup lahan tersebut pada suatu daerah. Informasi penggunaan lahan berbeda dengan
informasi penutup lahan yang dapat dikenali secara langsung dari citra satelit penginderaan jauh.
Sementara informasi penggunaan lahan merupakan hasil kegiatan manusia dalam suatu lahan
atau penggunaan lahan atau fungsi lahan, sehingga tidak selalu dapat ditaksir secara langsung
dari citra penginderaan jauh, namun secara tidak langsung dapat dikenali dari asosiasi penutup
lahannya (Purwadhi, 1999). Contohnya kegiatan rekreasi tidak dapat secara langsung dikenali
dari citra satelit penginderaan jauh. Kegiatan berburu merupakan rekreasi yang dapat dilakukan
di hutan, di daerah penggembalaan, di daerah pertanian, baik lahan basah maupun lahan kering.
Oleh karena itu, informasi lengkap untuk menentukan penggunaan lahan seperti rekreasi, daerah
konservasi air, perlindungan perburuan, diperlukan sumber informasi tambahan. Informasi
tambahan juga diperlukan dalam pengenalan batas abstrak (batas administrasi, batas rekreasi,
batas operasional pelabuhan) suatu daerah tidak terlihat pada citra."

13. Sistem Informasi Geografis


Sampai saat ini belum ada definisi baku tentang SIG. defenisi SIG selalu berkembang,
hal ini terlihat dari banyaknya defenisi SIG yang muncul. Demers dalam Prahasta (2009)
mendefenisikan SIG adalah sistem komputer yang digunakan untuk mengumpulkan,
memerikasa, mengitegrasikan, dan menganalisis informasi-informasi yang berhubungan dengan
permukaan bumi. Arnoff dalam Riyanto dkk (2009) mendefenisikan sistem informasi geografis
sebagai sebuah berbasis komputer yang digunakan untuk menyimpan dan memanipulasi
informasi-informasi geografis.
Esri dalam Prahasta (2009) mendefenisikan SIG sebagai kimpulan terorganisir dari
perangkat keras komputer, perangkat luna, data geografi, dan personil yang dirancang secara
efesien untuk memperoleh, menyimpan, mengupload, memanipulasi, menganalisis data
menampilkan semua bentuk informasi yang bereferensi geografi.
Dari beberapa referensi di atas dapat di Tarik kesimpulan bahwa SIG adalah sistem
komputer baik berupa perangkat lunak ataupun perangkat keras yang digunakan untuk
memperoleh, mengumpulkan, memasukan, menyimpan, meng-update, mengintekrasikan,
memanipulasi, menganalisis dan menampilkan informasi yang berhubungan dengan posisi-
posisi yang berada di permukaan bumi.

11. Cara Kerja SIG


(Prahasa 2002) SIG dapat merepretasikan real world (dunia nyata) di atas monitor
komputer sebagaimana lembaran peta dapat merepresentasikan dunia nyata di atas kertas.
Tetapi, Sistem Informasi Geografis memiliki kekuatan lebih dan fleksibelitas dari pada lembaran
peta kertas. Peta merupakan representasi grafik dari dunia nyata, obyek-obyek yang
direpresentasikan di atas peta disebut unsur peta atau map features (contohnya adalah sungai,
kebun, jalan dan lainlain). Karena peta mengorganisasikan unsur-unsur berdasarkan lokasi-
lokasinya, peta sangat baik dalam hal memperhatikan hubungan atau relasi yang dimiliki oleh
unsur-unsurnya. Sistem Informasi Geografis menyimpan semua informasi deskriptif
unsurunsurnya sebagai atribut di dalam basis data. Kemudian, Sistem Informasi Geografis
membentuk dan menyimpan di dalam tabel-tabel (reasional). Setelah itu, Sistem Informasi
Menghubungkan unsur-unsur di atas dengan labellabel yangbersangkutan. Dengan demikian,
atribut-atribut ini dapat diakses melalui lokasi unsur-unsur peta dan sebaliknya unsur-unsur
tersebut dapat dicari dan ditemukan bersadarkan atribut-atributnya. Sistem Informasi Geografis
menghubungkan sekumpulan unsur-unsur peta dengan atribut-atributnya di dalam satuan-satuan
yang disebut layer. Sungai, bangunan, jalan, laut, batas-batas administrasi, perkebunan, dan
hutan meruoakan contoh-contoh dari layer. Kumpulan dari layer-layer ini akan membentuk basis
data Sistem Informasi Geografis. Dengan demikian perancangan basis data merupakan hal yang
esensial di dalam Sistem Informasi Geografis. Rancangan basis data akan menentukan
efektifitas dan efesiensi proses-proses masukan, pengolaan, dan keluaran Sistem Informasi
Geografis (Prahasta, 2002).

12. Komponen SIG


Menurut Adil (dalam Harmon dan Anderson ,2003), secara rinci SIG dapat beroperasi dengan
komponen-komponen sebagai berikut.
1. Orang : yang menjalankan sistem.
2. Aplikasi : prosedur yang digunakan untuk mengelola data.
3. Data : informasi yang dibutuhkan dan diolah dalam aplikasi.
4. Software : perangkat lunak berupa program – program aplikasi.
5. Hardware : perangkat keras yang dibutuhkan untuk menjalankan sistem berupa perangkat
komputer, printer, scanner, dan program pendukung lainnya.
Dari definis-definisi diatas dapat disimpulkan bahwa SIG terdiri atas beberapa Subsistem
yaitu data input, data output, data management, data manipulasi, dan analisis Adil (dalam
Prahasta,2005).
SIG merupakan akronimdari sistem informasi geografis. Penjelasannya sebagai berikut :
1) Sistem Pengertian suatu sistem adalah sekumpulan elemen yang saling berintegrasi dan
berindependensi dalm lingkungan yang dinamis untuk mencapai tujuan tertentu.
2) Informasi Informasi berawal dari pengolaan data. Dalam SIG, informasi memiliki volume
yang besar. Setiap objek geografi memiliki setting data tersendiri karena tidak sepenuhnya data
yang ada dapat terwakili dalam peta. Semua data harus diasosiasikan dengan spasial yang dapat
membuat peta berkualitas baik. Ketika data tersebut diasosiasikan dengan permukaan geografis
yang representatif, data tersebut mampu memberikan informasi hanya dengan mengklik mouse
pada objek.

13. Arcgis
ArcGis merupakan software berbasis GIS yang di kembangkan oleh ESRI (Envornment
science and Search Institue). Produk utama ArcGis terdiri dari tiga komponen utama yaiu:
ArcView Berfungsi sebagai pengelola data komperhensif, pemetaan dan analisis, ArcInfo
merupakan fitur yang menyediakan fungsi-fungsi yang ada di dalam GIS yaitu meliputi
keperluan analisa dari fitur Geoprocessing. ArcGis pertama kali diluncurkan kepada public
sebagai software yang komersial pada tahun 1999 dengan versi ArcGis 8.0 dengan
pekembangan dan tuntutan akan fitur yang dibutuhkan ESRI selalu memberikan pembahuruan
pada ArcGis. ArcGis telah Keluar versi yang terbaru update 2016 yaitu ArcGis 13.0 pada versi
terbarunya, desktop memiliki beberapa fitur diantaranya:
a. ArcMap, yaitu aplikasi utama yang digunakan dalam pengolahan data GIS. ArcMap memiliki
kemampuan untuk visualisasi, editing, pembuatan peta tematik, pengolaan dari data tabular
(excel), memilih query, menggunakan fitur geoprocessing untuk menganalisa dan customize
data ataupun melakukan output berupa tampilan peta. Operator juga dapat mengolah data sesuai
keinginannya.
b. ArcGlobe, merupakan salah stu aplikasi yang memiliki tampilan seperti googleearth yang
memiliki fungsi sebagai tampilan dalam permukaan bumi dengan menggunakan vitra digital. c.
ArcCatalog, merupakan aplikasi yang memiliki fitur untuk membuat data vector dan
mengelompokkannya sesuai fungsi yang diinginka. Dengan kemampuan tools untuk menjelajah
informasi, mengatur data, membagi data dan mendokumentasikan data spasial maupun data-data
yang berkaitan dengan informasi geografis.
d. ArcScene, merupakan aplikasi yang memiliki fitur serupa dengan ArcMap, tetapi
kelebihannya terdapat fitur 3D yang digunakan dimana worksheetnya dapat diolah dengan
tampilan X,Y, dan Z.
e. Arcgis Online, merupakan suatu wadah aplikasi pemetaan berbasis cloud storage yang
dikelola oleh ESRI dan dapat memudahkan penggunanya untuk membuat, membagikan dan
mengakses peta, data serta aplikasinya dimana saja.

14. Webgis
Webgis Merupakan pengembangan dari aplikasi SIG berbasis web yang terintegrasi satu
sama lain. Webgis memiliki fitur yang bisa mendukung dalam menampilkan dan menganalisis
data untuk bisa diakses secara bebas (Geosriwijaya.com).
Adapun keuntungan dari penggunaan Webgis diantaranya:
a. Pengguna (user) tidak memerlukan software khusus untuk bisa mengakses informasi Webgis,
yaitu cukup dengan menggunakan internet browser yang bisa diakses melalui desktop.
b. Tersedianya peta-peta informasi secara digital yang disusun atas struktur dan managemen
data yang baik sehingga bisa dimengerti dan dipahami secara mudah.
c. Mendukung dalam perencanaan makro, pengambilan kebijakan, dan tata kelola dari
pemerintahan.
d. Membantu dalam mencari lokasi tertentu dengan mengetikan keyword dengan mudah dan
cepat.
e. Mencari informasi berupa geografi, demografi, dan psikografi.

15. Manfaat Arcgis


Arcgis memiliki kemampuan tinggi dalam pembuatan peta digital dan analisis spasial. Manfaat
lain dari Arcgis yaitu:
a. Mengetahui persebaran penduduk.
b. Mengetahui sebaran hutan produksi.
c. Mengetahui daerah rawan bencana.
d. Mengetahui indeks potensi sosial.
e. Mengetahui sebaran pertambangan.
f. Mengetahui daerah-daerah yang berpotensi tsunami.
g. Mengetahui sebaran daerah ktitis (Wahana computer, 2015).
2.2. Hasil Penelitian yang Relevan
Pemetaan ini merujuk pada beberapa hasil penelitian terdahulu sebagai sumber referensi
dan bahan acuan terhadap sistem yang akan dibuat. Hasil penelitian di bawah ini sangat relevan
dengan penelitian akan penulis lakukan baik dari segi rancangan maupun objek penelitian
meskipun di terapkan pada sistem yang berbeda, yaitu:
1. Penelitian Yongki Kurniawan (2017) dengan judul Pemetaan Daerah Rawan Longsor di
Kecamatan Sumber Jaya Kabupaten Lampung Barat. Hasil penelitian menunjukan lokasi titik
rawan longsor terletak pada pekon simpang sari dan pekon sindang pagar, masin masing
terdapat 5 titik longsor. Tingkat rawan longsor terbagi menjadi 2 kelas yakni kurang rawan
(44,70km2 atau 36,05%) dan atau (79,30 km2 atau 63,95%).
2. Penelitian Sari Mulyaningsi (2014) dengan judul Sistem Informasi Geografis Pemetaan
Daerah Rawan Tanah Longsor di Kabupaten Gunung Kidul Berbasis WEB. Hasil penelitian
adalah telah di buat suatu aplikasi “SIG Pemetetaan Daerah Rawan Longsor di Kabupaten
Gunung Kidul” berbasis web yang mampu memberikan informasi kepada masyarakat tentang
tingkat kerawanan tanah longsor di masing-masing daerah, jalur evakuasi, kejadian tanah
longsor dan memberikan informasi mengenai mitigasi (pencegahan dan penanggulangan)
terhadap bencana tanah longsor.
3. Penelitian Muh Lukman Sutrisno (2011) dengan judul Aplikasi Sistem Informasi Geografi
untuk Penentuan Tingkat Kerentanan Longsor Lahan di Kecamatan Imogiri Kabupaten Bantul.
Populasi penelitian ini merupakan satuan unit lahan hasil overlay dari peta bentuk lahan, peta
penggunaan lahan dan peta kemiringan lereng dengan tingkat ketelitan 90% sehingga di peroleh
36 titik sampel. Hasil penelitian ini adalah tingkat kerentanan longsor di Kecamatan Imogiri
bervariasi, yang terdiri dari tingkat yaitu rendah, sedang, tinggi dan sangat tinggi.
4. Penelitian Fheni Fuzi Lestari (2008) dengan judul Penerapan Sistem Informasi Geografi
Dalam Pemetaan Daerah Rawan Longsor di Kabupaten Bogor. Hasil penelitian adalah
Kecamatan Nanggung memiliki daerah rawan longsor seluas 10.963,46 ha dan daerah sangat
rawan longsor seluas 8.221,73 ha. Sementara itu, kecamatan pajiman memiliki daerah rawan
longsor seluar 3.823,66 ha. Daerah kurang rawan longsor tersebar luas terutama disekitar
kecamatan babakan madan yaitu 4.201,35 ha.
5. Penelitian Anjas Anwar (2012) dengan judul Pemetaan Rawan Longsor di Lahan Pertanian
Kecamatan Sinjai Barat, Kabupaten Sinjai dengan hasil validasi di lapangan dengan
membandingkan peta rawan dan faktor aman lereng didapatkan bahwa nilai tingkat kerawanan
longsor di kecamatan sinjai barat berbanding terbalik dengan faktor aman lereng dengan nilai R
2 (0.89).

2.3. Kerangka Pikir

Untuk mengetahui persebaran Lokasi Rawan Longsor di Kecamatan Bastem


Utara agar pemerintah dapat menanggulangi daerah mana saja yang rentan
terjadi longsong sehingga masyarakat dapat berantisipasi.

Kurang nya pengetahuan tentang geografi pemetaan, sehingga tidak ada


pemetaan rawan longsor di kecamatan Bastem Utara dan kurang maksimal
dalam penanganannya.

Dengan adanya peta persebaran longsor ini bertujuan agar dapat memberikan
kemudahan bagi pemerintah dan masyarakat untuk mengetahui lokasi yang
rentan terjadi longsor sehingga dapat menanggulanginya dan masyarakat
juga dapat berantisipasi.

Peta menampilkan titik persebaran lokasi rawan longsor di Kecamatan


Bastem Utara berbasis Webgis Arcgis Online.
BAB 3
METODE PENELITIAN

3.1. Jenis dan Desain Penelitian


3.1.1. Jenis Penelitian
Penelitian ini memiliki kaitan yang erat terhadap tujuan penelitian. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui tingkat kerentanan longsor di Kecamatan Bastem Utara
Kabupaten Luwu dan untuk penentuan tingkat zonasi kerentanan longsor menggunakan
Sistem Informasi Geografis (SIG) Berbasis Webgis Arcgis Online. Penelitian ini merupakan
penelitian deskriptif kuantitatif yaitu penelitian yang lebih mengarah pada pengungkapan
suatu masalah atau keadaan sebagaimana adanya dan mengungkapkan fakta-fakta yang ada,
walaupun terkadang diberikan interpretasi dan analisis (Tika dan Pabundu, 2005) dan bentuk
deskripsinya dengan angka atau numerik (statistik).
Penelitian ini berusaha untuk mendeskripsikan distribusi spasial daerah rentan longsor
di Kecamatan Bastem Utara. Menentukan distribusi spasial daerah rentan longsor di
Kecamatan Bastem Utara menggunakan Arcgis. Peta kerentanan longsor didapatkan dengan
melakukan overlay (tumpang susun) beberapa peta yaitu : peta kemiringan lereng, peta curah
hujan, peta jenis tanah, peta geologi, peta penggunaaan lahan dan peta administrasi.

3.1.1. Desain Penelitian


a. Halaman Depan Sistem

Gambar 2. Halaman Depan Sistem Yang Akan Dibuat


b. Halaman Utama Sistem

Gambar 3. Halaman Utama Sistem Yang Akan Dibuat


3.2. Tempat dan Waktu Penelitian
3.2.1. Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Bastem Utara Kabupaten Luwu Sulawesi Selatan.
3.2.1. Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan maret sampai april 2022.

DAFTAR PUSTAKA
Ananto, K. S. 1991. Konservasi Sumberdaya Tanah dan Air. Kalam Mulia. Jakarta.

Arifin, S. dan Ita, C. 2006. Implementasi Pengindraan Jauh dan SIG untuk Inventarisasi Daerah
Rawan Bencana Longsor. Pengindraan Jauh LAPAN. Vol 3, hal 80-81.

Aziz, T. Lukman dan Rachman, R. 1977. Peta Tematik. Disertasi tidak diterbitkan. Yogyakarta:
Program Pascasarjana Fakultas Teknik Sipil dan Pembangunan-UGM.

Badan Geologi, 2006. Gerakan Tanah. Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi.

Barus, B. 1999. Pemetaan Bahaya Longsoran Berdasarkan Klasifikasi Statistik Perubahan


Tunggal Menggunakan SIG Studi Kasus daerah ciawi-Puncakpacet Jawa Barat.
Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan. 2(1):1410-7333.

Bringker, Russel. C. P, R.W. Elementary Survaying. Atau Dasar-Dasar. Pengukuran Tanah,


Terjemah. Tjoko Walijatun. Erlangga. Jakarta

Dwikorita Karnawati. 2005. Bencana Alam Gerak Massa Tanah di Indonesia dan Upaya
Penanggulangannya. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada.

Djauhari, N. 2006 . Geologi Lingkungan . Graha Ilmu. Yogyakarta.

Firdaus, H.S., Sukojo, B.M., 2015. Pemetaan Daerah Rawan Longsor dengan Metode
Penginderaan Jauh dan Operasi Berbasis Spasial, Studi Kasus Kota Batu Jawa
Timur. J. Geosaintek 1, 25–34.

Hardiyatmo, H.C., 2012, Penanganan Tanah Longsor dan Erosi, Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta.

Hardiyatmo. H. C. 2009. Mekanika Tanah. GMUP. Yogyakarta.

Karwati, D. 2005. Bencana Alam Gerakan Massa Tanah di Indonesia dan Upaya
Penanggulangannya. GMUP. Yogyakarta.

Karnawati, D. 2001. Bencana Alam Gerakkan Tanah Indonesia Tahun 2000 (Evaluasi dan
Rekomendasi). Jurusan Teknik Geologi. Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada.
Yogyakarta.

Karnawati, D. 2003. Himbauan Untuk Antisipasi Longsoran Susulan. Tim Longsoran Teknik
Geologi UGM Yogyakarta. Tidak Diterbitkan.

Purwantrianani. 2009. Penentuan Sebaran Daerah Rentan Longsor Lahan Menggunakan Sistem
Informasi Geografis di Kecamatan Kandangan Kabupaten Temanggung Profinsi
Jawa Tengah. Disertasi tidak diterbitkan. Yogyakarta: Program Pascasarjana Fakultas
Teknik-UNY.

Surono. 2003. Potensi Bencana Geologi di Kabupaten Garut. Prosiding Semiloka Mitigasi
Bencana Longsor di Kabupaten Garut. Pemerintah Kabupaten Garut.

Sandy, I M. 1972. Esensi Kartografi. Direktorat Jenderal Agraria. Jakarta.

Sinaga, Maruli S. 1995. Pengetahuan Peta. GMUP. Jakarta.

Sitanala Arsyad. 2010. Konservasi Tanah dan Air. IPB Press. Bogor.

Susanto dan Rachman. 2007. Dasar-Dasar Ilmu Tanah Konsep dan Kenyataan. Kanisius.
Yogyakarta.

Susetyo, B, D dan Perdana, P, A. 2017. Uji Ketelitian surface Model (DMS) sebagai Data
Dasar dalam Pembentukan Kontur Peta Rupa Bumi Indonesia (RBI).
Researchgate.Net. Bogor.

Wesley, L.D. 1977. Mekanika Tanah. Badan Penerbit Pekerjaan Umum. Jakarta.

Worosuprojo, S. 2008. Pengelolaan Sumberdaya Lahan Berbasis Dalam Pembangunan


Berkelanjutan di Indonesia. GMUP. Yogyakarta.

Yayasan I. 2005. Paduan Umum Penanggulangan Bencana Berbasis Masyarakat. Yayasan


Idep. Bali.

Anda mungkin juga menyukai