Anda di halaman 1dari 27

UNIVERSITAS DIPONEGORO

ANALISIS PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN DAERAH


ALIRAN SUNGAI BODRI TERHADAP KERENTANAN
BANJIR DI KABUPATEN KENDAL

PROPOSAL TUGAS AKHIR

ILYA DEWANTI TISNASUCI

21110116140062

FAKULTAS TEKNIK

DEPARTEMEN TEKNIK GEODESI

SEMARANG

MEI 2019

i
HALAMAN PENGESAHAN

Proposal Tugas Akhir ini diajukan oleh :

NAMA : ILYA DEWANTI TISNASUCI

NIM : 21110116140062

Jurusan/Program Studi : TEKNIK GEODESI

Judul Skripsi :

ANALISIS PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN DAERAH


ALIRAN SUNGAI BODRI TERHADAP KERENTANAN
BANJIR DI KABUPATEN KENDAL

Semarang, Mei 2019

Menyetujui

Dosen Pembimbing Dosen Pembimbing

Abdi Sukmono, S.T., M.T. Ir. Sawitri Subiyanto, Msi.


NIP. 198811182014041002 NIP. 196603231999031008

i
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................. I-1
I.1 Latar Belakang ....................................................................................... I-1
I.2 Rumusan Masalah .................................................................................. I-2
I.3 Manfaat dan Tujuan Penelitian............................................................... I-2
I.4 Batasan Penelitian .................................................................................. I-2
I.5 Ruang Lingkup Penelitian ...................................................................... I-2
I.5.1 Wilayah Penelitian .......................................................................... I-3
I.5.2 Alat dan Bahan Penelitian ............................................................... I-3
I.6 Metodologi Penelitian ............................................................................ I-3
I.7 Sistematika Penulisan Tugas Akhir ........................................................ I-4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................... II-1
II.1 Penginderaan Jauh ................................................................................ II-1
II.2 Penutupan Lahan .................................................................................. II-3
II.3 Sistem Klasifikasi Penutupan Lahan .................................................... II-4
II.4 Daerah Aliran Sungai (DAS) ............................................................... II-4
II.5 Banjir .................................................................................................... II-5
II.6 Kerentanan Banjir ................................................................................. II-7
II.7 Pemanfaatan Penginderaan Jauh Untuk Identifikasi Banjir ................. II-7
II.8 Transformasi Tasseled-Cap .................................................................. II-9
II.9 Siklus Hidrologi DAS .......................................................................... II-9
II.9.1 Presipitasi (Curah Hujan) .............................................................. II-9
II.9.2 Air Larian .................................................................................... II-10
II.9.3 Koefisien Air Larian (C) ............................................................. II-10
II.10 Debit Aliran .................................................................................... II-10
II.11 Metode Rasional ............................................................................. II-13
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ...................................................... III-1
III.1 Diagram Alir Penelitian ................................................................... III-1
........................................................................................................................ III-1
III.2 Data dan Peralatan Penelitian .......................................................... III-2
III.3 Pengolahan Data .............................................................................. III-2
III.3.1 Perisapan ...................................................................................... III-2
III.3.2 Koreksi Atmosferik ...................................................................... III-2

ii
III.3.3 Cropping Citra.............................................................................. III-3
III.3.4 Klasifikasi Tutupan Lahan ........................................................... III-3
III.3.5 Perhitungan Koefisien Run Off .................................................... III-3
III.3.6 Perhitungan Curah Hujan Rata-rata ............................................. III-3
III.3.7 Perhitungan Debit Puncak ............................................................ III-3
BAB IV JADWAL PENELITIAN ................................................................. IV-1

iii
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Pertambahan penduduk yang semakin cepat mengakibatkan peningkatan
aktivitas penduduk yang akan mengakibatkan suatu daerah menjadi terus
berkembang. Perkembangan suatu daerah yang didukung oleh meningkatnya
aktivitas penduduk yang berlangsung sangat cepat dapat mengakibatkan semakin
berkurangnya persedian lahan, air dan sumber daya lainnya. Berkaitan dengan
pemanfaatan lahan maka perlu adanya keseimbangan lingkungan yang ada,
demikian pula dengan pemanfaatan lahan di wilayah Daerah Aliran Sungai (DAS).
Menurut UU. No. 7, Tahun 2004, tentang Sumber Daya Air bahwa Daerah
Aliran Sungai (DAS) adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan
dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan,
dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara
alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai
dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan.
Perubahan penggunaan lahan di daerah DAS yang tidak memperhatikan
kaidah-kaidah konservasi, dapat mengakibatkan berkurangnya daya serap air yang
akan menyebabkan meningkatkan jumlah air larian yang masuk kedalam sungai.
Hal ini merupakan salah satu penyebab meningkatnya besar debit puncak / debit
maksimum suatu daerah aliran sungai. Apabila nilai debit puncak suatu sungai
terlalu besar maka air sungai akan meluap dan dapat menyebabkan terjadinya banjir
di wilayah daerah aliran sungai tersebut.
Perubahan penggunaan lahan DAS Bodri, dimana adanya perluasan kawasan
dan perubahan lahan menjadi kawasan permukiman yang akan mengurangi
kawasan peresapan air hujan dan mengakibatkan terjadinya peningkatan debit
aliran sungai Bodri bagian hilir. Beberapa tahun terakhir ini banjir yang diakibatkan
oleh meluapnya sungai Bodri Kabupaten Kendal yang disebabkan oleh curah hujan
yang tinggi dan meningkatnya besar debit maksimum yang melebihi kapasitas
sungai. Tingkat kejadian banjir di sungai Bodri Kabupaten Kendal dari tahun ke
tahun semakin meningkat, akibat dari debit maksimum sungainya yang semakin
meningkat pula. Oleh karena itu kiranya perlu dilakukan analisis permasalahan di

I-1
wilayah DAS Bodri, dalam hal ini khususnya analisis pengaruh perubahan tutupan
lahan DAS Bodri terhadap kerentanan banjir Kabupaten Kendal.
I.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimana klasifikasi dan berapa besar perubahan tutupan lahan di


kawasan DAS Bodri tahun 2009 dan 2019?
2. Berapa besar pengaruh perubahan tutupan lahan lahan di DAS Bodri
terhadap kerentanan banjir di Kabupaten Kendal?

I.3 Manfaat dan Tujuan Penelitian


1. Mengetahui dan mengidentifikasi klasifikasi tutupan lahan Kawasan
DAS Bodri tahun 2009 dan 2019.
2. Mengetahui berapa besar perubahan lahan yang terjadi di Kawasan
DAS Bodri pada tahun 2009 dan 2019.
3. Menganalisis pengaruh perubahan tutupan lahan Kawasan DAS Bodri
terhadap kerentanan banjir di Kabupaten Kendal.

I.4 Batasan Penelitian


Batasan dalam penelitian ini adalah :
1. Identifikasi tutupan lahan Kawasan DAS Bodri dilakukan dengan
menggunakan Citra Landsat pada tahun 2009 dan 2019.
2. Klasifikasi tutupan lahan yang dipakai adalah klasifikasi penutupan lahan
berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) 7645:2010 dengan
beberapa penyesuaian di lapangan. Klasifikasi terbagi menjadi 7 kelas
yaitu, hutan, kebun campuran, ladang, perairan, perkebunan,
permukiman, dan sawah.
3. Pada penelitian ini digunakan data curah hujan dari stasiun hujan
Ketapang Kendal, stasiun hujan Kali Gading Boja, dan stasiun hujan
Tempuran Singorojo.

I.5 Ruang Lingkup Penelitian


Ruang lingkup penelitian ini adalah sebagai berikut :

I-2
I.5.1 Wilayah Penelitian

Dalam penelitian ini yang dijadikan sebagai daerah penelitian


adalah Daerah Aliran Sungai Bodri Kabupaten Kendal, Provinsi Jawa
Tengah.

I.5.2 Alat dan Bahan Penelitian

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah :


a. Komputer Desktop
b. ENVI Classic
c. ArcGIS 10.5 untuk pengolahan dan layout hasil.
d. Microsoft Office untuk pengolahan laporan
e. Citra Landsat 8 wilayah DAS Bodri daerah Kendal tahun 2009
dan 2019
f. Peta Rupa Bumi Skala 1:25.000
g. Data Curah Hujan
h. Data kejadian banjir

I.6 Metodologi Penelitian


Berikut ringkasan penelitian yang dilakukan, sebagai berikut :

1. Tahap Persiapan
Pada tahap ini dilakukan pencarian studi literatur mulai dari buku, jurnal,
laporan dan skripsi terdahulu yang berkaitan dan mendukung
dilakukannya penelitian, serta melakukan persiapan data yang
dibutuhkan dalam penelitian
2. Tahap Pelaksanaan
Pelaksanaan dilakukan dengan cara mengumpulkan data Citra Landsat 8
OLI pada waktu yang telah ditentukan. Kemudian dari data yang
diperoleh dilakukan pengolahan.
3. Tahap Analisa Data
Analisis data dilakukan dengan menganalisis perubahan klasifikasi
tutupan lahan dan pengaruhnya terhadap kerentanan banjir di Kabupaten
Kendal.
4. Tahap Akhir

I-3
Pada tahap ini dilakukan pembuatan laporan sebagai wujud akhir dari
penelitian yang dilakukan

I.7 Sistematika Penulisan Tugas Akhir


Sistematika penulisan laporan penelitian ini diharapkan dapat memberikan
gambaran dari struktur laporan agar lebih jelas dan terarah. Adapun sistematikanya
adalah sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Menjelaskan latar belakang penelitian, perumusan masalah, maksud


dan tujuan, ruang lingkup penelitian, metodologi penelitian dan
sistematika penulisan tugas akhir.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Memuat penjelasan mengenai teori-teori yang mendukung penelitian


yang akan dilakukan.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

Uraian secara rinci metode yang akan digunakan mulai dari persiapan,
pengumpulan data, pengolahan data, analisis, penyajian data hingga
pembuatan laporan.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Bab ini membahas mengenai analisis sebaran segmen dan karakteristik


segmen batas berdasarkan topografi wilayah.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Memuat kesimpulan dari keseluruhan hasil penelitian dan saran-saran


untuk peneliti selanjutnya agar lebih baik dalam melaksanakan
penelitian.

I-4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Penginderaan Jauh


Menurut Lindgren dalam Sutanto (1986) penginderaan jauh adalah teknik
yang dikembangkan untuk perolehan dan analisis informasi tentang bumi,
informasi tersebut berbentuk radiasi elektromagnetik yang dipantulkan atau
dipancarkan dari permukaan bumi. Mather (1987) mengatakan bahwa penginderaan
jauh terdiri atas pengukuran dan perekaman terhadap energi elektromagnetik yang
dipantulkan atau dipancarkan oleh permukaan bumi dan atmosfer dari suatu tempat
tertentu di permukaan bumi. Adapun menurut Lilesand et al. (2004) mengatakan
bahwa penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi
tentang suatu objek, daerah, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh
dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan objek, daerah, atau fenomena yang
dikaji.
Berdasarkan pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa penginderaan jauh
adalah teknik yang digunakan untuk memperoleh data tentang permukaan bumi
yang menggunakan media satelit ataupun pesawat terbang. Jenis data penginderaan
jauh, yaitu citra. Citra adalah gambaran rekaman suatu objek atau biasanya berupa
gambaran objek pada foto. Sutanto (1986) menyebutkan bahwa terdapat beberapa
alasan yang melandasi peningkatan penggunaan citra penginderaan jauh, yaitu
sebagai berikut.
1. Citra menggambarkan objek, daerah, dan gejala di permukaan bumi dengan
wujud dan letaknya yang mirip dengan di permukaan bumi.
2. Citra menggambarkan objek, daerah, dan gejala yang relatif lengkap, meliputi
daerah yang luas dan permanen.
3. Dari jenis citra tertentu dapat ditimbulkan gambaran tiga dimensi apabila
pengamatannya dilakukan dengan stereoskop.
4. Citra dapat dibuat secara cepat meskipun untuk daerah yang sulit dijelajahi
secara terestrial.
Menurut Estes dan Simonett dalam Sutanto (1999) mengatakan bahwa
interpretasi citra adalah perbuatan mengkaji foto udara atau citra dengan maksud

II-1
untuk mengidentifikasi objek dan menilai arti pentingnya objek tersebut. Di dalam
pengenalan objek yang tergambar pada citra, ada tiga rangkaian kegiatan yang
diperlukan, yaitu deteksi, identifikasi, dan analisis. Deteksi ialah pengamatan atas
adanya objek, identifikasi ialah upaya mencirikan objek yang telah dideteksi
dengan menggunakan keterangan yang cukup, sedangkan analisis ialah tahap
mengumpulkan keterangan lebih lanjut.
Interpretasi citra dapat dilakukan secara visual maupun digital. Interpretasi
visual dilakukan pada citra hardcopy ataupun citra yang tertayang pada monitor
komputer. Menurut Howard dalam Suharyadi (2001) interpretasi visual adalah
aktivitas visual untuk mengkaji gambaran muka bumi yang tergambar pada citra
untuk tujuan identifikasi objek dan menilai maknanya.
Prinsip pengenalan objek pada citra secara visual bergantung pada
karakteristik atau atribut yang tergambar pada citra. Karakteristik objek pada citra
digunakan sebagai unsur pengenalan objek yang disebut unsur-unsur interpretasi.
Menurut Sutanto (1999) unsur-unsur interpretasi meliputi sebagai berikut.
1. Rona atau warna (tone/color). Rona adalah tingkat kegelapan atau kecerahan
objek pada citra, sedangkan warna adalah wujud yang tampak oleh mata.
Rona ditunjukkan dengan gelap – putih. Pantulan rendah, ronanya gelap,
pantulan tinggi ronanya putih.
2. Bentuk (shape) adalah variabel kualitatif yang memberikan konfigurasi atau
kerangka suatu objek. Bentuk merupakan atribut yang jelas sehingga banyak
objek yang dapat dikenali berdasarkan bentuknya saja, seperti bentuk
memanjang, lingkaran, dan segi empat.
3. Ukuran (size) adalah atribut objek yang antara lain berupa jarak, luas, tinggi,
kemiringan lereng, dan volume.
4. Kekasaran (texture) adalah frekwensi perubahan rona pada citra atau
pengulangan rona terhadap objek yang terlalu kecil untuk dibedakan secara
individual.
5. Pola (pattern) adalah hubungan susunan spasial objek. Pola merupakan ciri
yang menandai objek bentukan manusia ataupun alamiah.
6. Bayangan (shadow) adalah aspek yang menyembunyikan detail objek yang
berada di daerah gelap.

II-2
7. Situs (site) adalah letak suatu objek terhadap objek lain di sekitarnya.
8. Asosiasi (association) adalah keterkaitan antara objek yang satu dan objek
lainnya.
Lo (1976) mengemukakan bahwa pada dasarnya kegiatan penafsiran citra
terdiri atas dua tingkat, yaitu tingkat pertama yang berupa pengenalan objek melalui
proses deteksi dan identifikasi. Adapun tingkat kedua yang berupa penilaian atas
pentingnya objek yang telah dikenali tersebut. Tingkat pertama berarti perolehan
data, sedangkan tingkat kedua berupa interpretasi atau analisis data.
Sutanto (1999) mengemukakan bahwa interpretasi citra pada dasarnya terdiri
atas dua kegiatan utama, yaitu 1) penyadapan data dari citra dan 2) penggunaan data
tersebut untuk tujuan tertentu. Penyadapan data dari citra berupa pengenalan objek
yang tergambar pada citra serta penyajiannya ke tabel, grafik, dan peta tematik.
Urutan pekerjaannya dimulai dari menguraikan atau memisahkan objek yang rona
atau warnanya berbeda, diikuti oleh delineasi atau penarikan garis batas bagi objek
yang memiliki rona atau warna sama. Objek yang telah dikenali jenisnya kemudian
diklasifikasikan sesuai dengan tujuan interpretasi dan digambarkan pada peta.
II.2 Penutupan Lahan
Penutupan lahan merupakan istilah yang berkaitan dengan jenis kenampakan
yang ada di permukaan bumi (Lillesand, 1994). Ada juga yang menyebutkan bahwa
penutupan lahan menggambarkan konstruksi vegetasi dan buatan yang menutup
permukaan lahan. Konstruksi tersebut seluruhnya tampak secara langsung dari citra
penginderaan jauh (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Secara umum ada tiga kelas data
yang mencakup penutupan lahan, yaitu:
1. Struktur fisik yang dibangun oleh manusia
2. Fenomena biotik seperti vegetasi alami, tanaman pertanian dan kehidupan
binatang
3. Tipe pembangunan Menurut Lo (1995) satu faktor penting untuk menentukan
kesuksesan pemetaan penggunaan lahan dan penutupan lahan terletak pada
pemilihan skema klasifikasi yang tepat dirancang untuk suatu tujuan tertentu.
Skema klasifikasi yang baik harus sederhana di dalam menjelaskan setiap
kategori penggunaan dan penutupan lahan. Anderson (1971) dalam Lo (1995)
menganggap bahwa pendekatan fungsional atau pendekatan berrorientasi

II-3
kegiatan akan lebih sesuai digunakan untuk citra satelit ruang angkasa,
sebagai skema klasifikasi tujuan umum.
Penutupan lahan berkaitan dengan jenis kenampakannya di permukaan
bumi, seperti bangunan, danau, vegetasi (Lillesand dan Kiefer, 1990). Perubahan
penggunaan lahan dari non terbangun menjadi terbangun seperti dari tegalan atau
hutan menjadi permukiman dll dapat menyebabkan berkurangnya kemampuan
lahan untuk meresapkan air hujan.
II.3 Sistem Klasifikasi Penutupan Lahan
Penetapan klasifikasi penutupan lahan dalam standar ini bertujuan untuk
mengakomodasikan kelas penutupan lahan yang pendetailan kelasnya bervariasi
antar pihak-pihak yang berkepentingan. Kelas penutupan lahan dalam standar ini
merupakan kelas-kelas umum yang melibatkan banyak sektor. Standar penutupan
lahan ini mengacu pada Land Cover Classification System United Nation – Food
and Agriculture Organization (LCCS-UNFAO) dan ISO 19144-1 Geographic
information Classification System – part 1 : Classification System Structure, dan
dikembangkan sesuai dengan keadaan tutupan lahan di Indonesia.
II.4 Daerah Aliran Sungai (DAS)
Daerah Aliran Sungai (DAS) secara umum didefinisikan sebagai suatu
hamparan wilayah/kawasan yang dibatasi oleh pembatas topografi (punggung
bukit) yang menerima, mengumpulkan air hujan, sedimen dan unsur hara serta
mengalirkannya melalui anak-anak sungai dan keluar pada sungai utama ke
laut atau danau. Linsley (1991) menyebut DAS sebagai “A river of drainage
basin in the entire area drained by a stream or system of connecting streams
such that all stream flow originating in the area discharged through a single
outlet”. Sementara Artikel Direktorat Kehutanan dan Konservasi
Sumberdaya Air (2006) menyebutkan bahwa “A watershed is a geographic
conserve soil and maximize the utilization of surface and subsurface water for
crop production, and a watershed is also an area with administrative and
property regimes, and farmers whose actions may affect each other’s
interests”.
Dari definisi di atas, dapat dikemukakan bahwa DAS merupakan ekosistem,
dimana unsur organisme dan lingkungan biofisik serta unsur kimia

II-4
berinteraksi secara dinamis dan di dalamnya terdapat keseimbangan inflow
dan outflow dari material dan energi. Selain itu pengelolaan DAS dapat
disebutkan merupakan suatu bentuk pengembangan wilayah yang menempatkan
DAS sebagai suatu unit pengelolaan sumber daya alam (SDA) yang secara umum
untuk mencapai tujuan peningkatan produksi pertanian dan kehutanan yang
optimum dan berkelanjutan (lestari) dengan upaya menekan kerusakan seminimum
mungkin agar distribusi aliran air sungai yang berasal dari DAS dapat merata
sepanjang tahun.
Dalam pendefinisian DAS pemahaman akan konsep daur hidrologi sangat
diperlukan terutama untuk melihat masukan berupa curah hujan. Konsep daur
hidrologi DAS menjelaskan bahwa air hujan langsung sampai ke permukaan tanah
untuk kemudian terbagi menjadi air larian, evaporasi dan air infiltrasi, yang
kemudian akan mengalir ke sungai sebagai debit aliran.
Dalam mempelajari ekosistem DAS, dapat diklasifikasikan menjadi daerah
hulu, tengah dan hilir. DAS bagian hulu dicirikan sebagai daerah konservasi,
DAS bagian hilir merupakan daerah pemanfaatan. DAS bagian hulu
mempunyai arti penting terutama dari segi perlindungan fungsi tata air, karena
itu setiap terjadinya kegiatan di daerah hulu akan menimbulkan dampak di
daerah hilir dalam bentuk perubahan fluktuasi debit dan transport sedimen
serta material terlarut dalam sistem aliran airnya. Dengan perkataan lain
ekosistem DAS, bagian hulu mempunyai fungsi perlindungan terhadap
keseluruhan DAS. Perlindungan ini antara lain dari segi fungsi tata air, dan
oleh karenanya pengelolaan DAS hulu seringkali menjadi fokus perhatian
mengingat dalam suatu DAS, bagian hulu dan hilir mempunyai keterkaitan
biofisik melalui daur hidrologi (Asdak, 2002)
II.5 Banjir
Menurut Schwab at.al (1981) banjir adalah luapan atau genangan dari sungai
atau badan air lainnya yang disebabkan oleh curah hujan yang berlebihan atau salju
yang mencair atau dapat pula karena gelombang pasang yang membanjiri
kebanyakan pada dataran banjir. Menurut Hewlet (1982) banjir adalah aliran atau
genangan air yang menimbulkan kerugian ekonomi bahkan menyebabkan
kehilangan jiwa. Dalam istilah teknis banjir adalah aliran air sungai yang mengalir

II-5
melampaui kapasitas tampung sungai, dan dengan demikian, aliran air sungai
tersebut akan melewati tebing sungai dan menggenangi daerah di sekitarnya.
Berdasarkan pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa banjir adalah
bencana alam yang sebabkan peristiwa alam seperti curah hujan tinggi yang sering
menimbulkan kerugian baik fisik maupun material. Kodoatie dan sugiyanto (2002)
menyebutkan bahwa banjir terdiri atas dua peristiwa, pertama banjir terjadi di
daerah yang tidak biasa terkena banjir, dan kedua banjir terjadi karena limpasan air
dari sungai karena debitnya yang besar sehingga tidak mampu dialirkan oleh alur
sungai.
Dibyosaputro (1984) mengatakan penyebab banjir dan lamanya genangan
bukan hanya disebabkan oleh meluapnya air sungai, melainkan oleh kelebihan
curah hujan dan fluktuasi muka air laut khususnya dataran aluvial pantai, unit-unit
geomorfologi seperti daerah rawa, rawa belakang, dataran banjir, pertemuan sungai
dengan dataran aluvial merupakan tempat-tempat yang rentan banjir.
Kelebihan air yang menggenangi suatu daerah yang biasanya kering terjadi
sebagai akibat kapasitas sungai tidak mampu menampung air yang mengalir di
atasnya atau berlebihnya air hujan lokal. Kelebihan air hujan lokal yang
menyebabkan banjir dapat disebabkan oleh dua hal, yaitu telah jenuhnya tanah
ditempat tersebut dan masih tingginya ketinggian muka ait di dalam alur sungai.
Kejenuhan tanah yang tinggi akan menyebabkan tingkat penyerapan tanah
(infiltrasi) jadi rendah sehingga aliran permukaan (surface runoff) menjadi tinggi.
Tingginya aliran permukaan sebagai akibat hujan berlebih tersebut dapat ditampung
oleh badan sungai. Akibat air berlebih (banjir) sebagai akibat luapan air sungai
ataupun hujan lokal maka akan menyebabkan terbentuknya bentukan banjir dan
dalam skala yang lebih luas lagi masuk dalam kelas bentukan asal fluvial.
Banjir merupakan bencana alam (natural hazard) yang paling merusak.
Bencana ini melanda daerah yang cekung sampai datar yang terletak di dataran
rendah. Penanggulangan banjir dapat dibedakan secara fisik (struktural measures)
dan non fisik(non struktural measures). Secara fisik antara lain pembuatan cek dam,
tanggul dan bendungan, sedangkan non fisik berupa pemetaan daerah rentan,
bahaya ataupun beresiko terhadap banjir.

II-6
II.6 Kerentanan Banjir
Kerentanan banjir (flood susceptibility) adalah tingkat kemudahan suatu
daerah untuk terkena banjir (Dibyosaputro,1984). Daerah yang sangat terpengaruh
adanya banjir adalah daerah dengan relief datar dan landai seperti dataran alluvial,
teras sungai erosional, teras marin, dan dataran nyaris.
Bentuk lahan yang berbukit jarang mengalami banjir karena memiliki
kemiringan lereng yang relatif curam sehingga sebagian besar air hujan langsung
mengalir menjadi aliran permukaan. Akan tetapi, aliran permukaan ini tidak
menyebabkan banjir karena hanya mengalir ke daerah-daerah yang lebih rendah.
Selain itu, sebagian kecil air hujan mengalami infiltrasi masuk ke dalam tanah.
Penentuan tingkat kerentanan banjir dapat dilakukan melalui survei terestrial
maupun teknik penginderaan jauh. Untuk daerah yang luas dan memiliki medan
yang sulit pemanfaatan survei akan memerlukan waktu yang lama dan biaya yang
mahal. Sutanto (1995) untuk memantau daerah yang sering mengalami banjir
diperlukan suatu alat yang memiliki keterandalan dalam perekaman secara cepat
sehingga memungkinkan perekaman ulang daerah yang sama dalam periode waktu
yang pendek.
II.7 Pemanfaatan Penginderaan Jauh Untuk Identifikasi Banjir
Data penginderaan jauh dapat berupa foto udara dan citra satelit. Foto udara
memiliki kelebihan resolusi spasialnya yang halus sehingga objek berukuran kecil
(tergantung skala foto) dapat direkam, kenampakan objek seperti wujud sebenarnya
di lapangan, serta secara teknik penggunaannya mudah hanya memerlukan
peralatan yang sederhana. Sedangkan kelemahan foto udara adalah resolusi
temporalnya rendah, cakupan liputannya sempit, biayanya lebih mahal
jika dibandingkan dengan luasan yang sama dengan citra satelit.
Citra satelit memiliki kelebihan, data yang direkam dalam bentuk digital
sehingga memudahkan pengolahannya maupun interpretasinya, resolusi
temporalnya tinggi, biayanya relatif murah dibandingkan dengan luas liputannya,
sedangkan kelemahannya memiliki resolusi spasial yang kasar, skalanya kecil,
kenampakan objek secara garis besardan penggunaanya memerlukan software
khusus dan komputer.

II-7
Mengidentifikasi tempat-tempat banjir pada citra satelit
dengan menggunakan transformasi Tasseled-Cap yang menghasilkan indeks
kecerahan tanah Soil Brighness Index (SBI). Indeks kecerahan tanah
menggambarkan kelembapan tanah permukaan. Pada tanah yang lembap warnanya
abu-abu gelap dan semakin cerah untuk tempat-tempat yang kandungan air tanah
permukaannya rendah. Selain memperhatikan tingkat kecerahan juga
dipertimbangkan pula asosiasinya dengan bentuk permukaan, pola vegetasi dan
sungai.
Pada foto udara tempat-tempat banjir dapat diinterpretasi berdasarkan
kenampakan bentuk lahan, biasanya pada bentuk lahan bentukan fluvial dan marin.
Berdasarkan rona gelap atau cerah (gelap biasanya di daerah lembap), vegetasi
(vegetasi rawa bertekstur halus atau hutan rawa) yang berasosiasi dengan bentuk
lahan, petunjukpetunjuk banjir (adanya kenampakan pola-pola khusus akibat
banjir) dan kenampakan penyesuaian manusia terhadap banjir misalnya
tanggul.
Indikator banjir yang dapat dikenali melalui teknik interpretasi adalah bentuk
lahan. Ciri daerah yang rentan banjir adalah memiliki tingkat kelembapan tanah
yang lebih tinggi daripada daerah yang tidak rentan terhadap banjir. Indikator
tersebut melalui tubuh perairan, kenampakan bentuk lahan, kelembapan tanah,
vegetasi air, dan buatan manusia untuk menanggulangi banjir. Indikator banjir
tersebut, misalnya bentuk lahan dataran aluvial di daerah sasaran banjir akan
memiliki tingkat kerentanan banjir yang tinggi. Namun tingkat kelembapan tanah
di dataran aluvial yang sering menjadi sasaran banjir lebih tinggi daripada yang
terdapat di daerah bukan sasaran banjir.
Ciri daerah rentan banjir pada citra foto udara dan citra satelit dapat dikenali
melalui indikator banjir (Dibyosaputro, 1984). Penggunaan foto udara dapat
memperkirakan luas dan pola penyebaran banjir asalkan dataran rendah itu
dipetakan secara geomorfologis rinci sehingga ada hubungan timbal balik yang erat
tentang kedalaman dan lama genangan maupun sumber air banjir antara satuan
bentuk lahan dan kerentanan banjir.
Kondisi kerentanan banjir dapat dipetakan walaupun foto udaranya diambil
tidak pada saat banjir dengan memperlihatkan adanya kenampakan hasil banjir

II-8
yang dilengkapi informasi dari penduduk tentang banjir dan analisis imbangan air
pada daerah tersebut. Peta kerentanan banjir yang diperoleh dari pengenalan
indikator banjir pada foto udara dan citra satelit baru menunjukkan kemudahan
suatu daerah untuk menjadi sasaran banjir.
II.8 Transformasi Tasseled-Cap
Mengidentifikasi tempat-tempat banjir pada citra satelit
dengan menggunakan transformasi Tasseled-Cap yang menghasilkan indeks
kecerahan tanah Soil Brighness Index (SBI). Indeks kecerahan tanah
menggambarkan kelembapan tanah permukaan. Pada tanah yang lembap warnanya
abu-abu gelap dan semakin cerah untuk tempat-tempat yang kandungan air tanah
permukaannya rendah. Selain memperhatikan tingkat kecerahan juga
dipertimbangkan pula asosiasinya dengan bentuk permukaan, pola vegetasi dan
sungai.
Transformasi SBI merupakan transformasi untuk mengetahui nilai kecerahan
tanah yang dapat digunakan untuk mengetahui tingkat kelembaban tanah.
Transformasi ini merupakan trasformasi kelembaban tanah yang baik dibanding
dengan transformasi NDVI, disamping itu transformasi SBI menggunakan
beberapa saluran (multispektral) untuk transformasinya sehingga cocok
digunakan untuk transformasi pada citra Landsat 8.
II.9 Siklus Hidrologi DAS
Menurut Chay Asdak (2010), siklus hidrologi merupakan gerakan perputaran
air di permukaan bumi, yaitu perjalanan air dari permukaan laut ke atmosfer
kemudian ke permukaan tanah dan kembali lagi ke laut dan tidak pernah berhenti.
Siklus hidrologi adalah sirkulasi air yang tidak pernah berhenti dari atmosfer ke
bumi dan kembali ke atmosfer melalui kondensasi, presipitasi, evaporasi dan
transpirasi. Pemanasan air laut oleh sinar matahari merupakan faktor utama dalam
proses siklus hidrologi dapat berjalan secara terus menerus. Air berevaporasi,
kemudian jatuh sebagai presipitasi dalam bentuk hujan, salju ataupun kabut.
II.9.1 Presipitasi (Curah Hujan)
Curah hujan adalah jumlah air yang jatuh di permukaan tanah datar
selama periode tertentu yang diukur dengan satuan tinggi milimeter (mm)
di atas permukaan horizontal. Dalam penjelasan lain curah hujan juga

II-9
dapat diartikan sebagai ketinggian air hujan yang terkumpul dalam
tempat yang datar, tidak menguap, tidak meresap dan tidak mengalir.
Indonesia merupakan negara yang memiliki angka curah hujan yang
bervariasi dikarenakan daerahnya yang berada pada ketinggian yang
berbeda-beda. Curah hujan 1 (satu) milimeter, artinya dalam luasan satu
meter persegi pada tempat yang datar tertampung air setinggi satu
milimeter termpat yang datar tertampung air setinggi satu milimeter atau
tertampung air setinggi 1 liter
Menurut Linsley (1996: 49), jenis-jenis hujan berdasarkan intensitas
curah hujan, yaitu:
1. hujan ringan, kecepatan jatuh sampai 2,5 mm/jam;
2. hujan menengah, dari 2,5-7,6 mm/jam.
3. hujan lebat, lebih dari 7,6 mm/jam.
II.9.2 Air Larian
Air larian adalah bagian dari curah hujan yang mengalir diatas permukaan
tanah menuju ke sungai, danau dan lautan. Air hujan yang jatuh ke permukaan tanah
ada yang langsung masuk ke dalam tanah, sebagian lagi tidak sempat masuk ke
dalam tanah dan oleh karenanya mengalir di atas permukaan tanah ke tempat yang
lebih rendah. Ada juga bagian air hujan yang telah masuk ke dalam tanah, terutama
pada tanah yang hampir atau telah jenuh, air tersebut keluar ke permukaan tanah
lagi dan lalu mengalir ke bagian yang lebih rendah. Kedua fenomena air larian
permukaan tersebut disebut air larian (Asdak, 2010).
II.9.3 Koefisien Air Larian (C)
Koefisien air larian (C) adalah bilangan yang menujukkan perbandingan
antara besarnya air larian terhadap besarnya curah hujan (Asdak, 2010).
II.10 Debit Aliran
Debit aliran adalah jumlah air yang mengalir dalam satuan volume per
waktu. Debit adalah satuan besaran air yang keluar dari Daerah Aliran
Sungai (DAS). Satuan debit yang digunakan adalah meter kubir per detik
(m3/s). Debit aliran adalah laju aliran air (dalam bentuk volume air) yang
melewati suatu penampang melintang sungai per satuan waktu (Asdak,
2002). Debit adalah suatu variabel yang menyatakan banyaknya air yang mengalir

II-10
pada suatu sungai atau saluran dan biasanya diukur dalam satuan
m3/detik. Perhitungan debit dapat dilakukan melalui persamaan (1).
Q = v . A . k .................................................................................................(1)
Dengan
Q = Debit (m3/s)
v = Kecepatan (m/s)
A = Luas Penampang Basah (m2)
k = Koefisien pelampung
Adapun nilai koefisien Pelampung dapat ditentukan dari persamaan YB
Prancis (Karama, 1996) :
k =1− 0,116.( 1−  − 0,1) .........................................................................(2)
Sedangkan

=𝑑……………...........................................................................................(3)

Dengan
h = kedalaman pelampung sampai dasar
d = Kedalaman air sungai dari permukaan ke dasar
Pada dasarnya debit air yang dihasilkan oleh suatu sumber air ditentukan
oleh beberapa faktor - faktor yaitu :
1. Intensitas hujan
Karena curah hujan merupakan salah satu faktor utama yang memiliki
komponen musiman yang dapat secara cepat mempengaruhi debit air,
dan siklus tahunan dengan karakteristik musim hujan panjang (kemarau
pendek), atau kemarau panjang (musim hujan pendek). Musim
penghujan dapat menyebabkan bertambahnya debit air pada suatu sungai
atau saluran.
2. Pengundulan Hutan
Fungsi utama hutan dalam kaitan dengan hidrologi adalah sebagai
penahan tanah yang mempunyai kelerengan tinggi, sehingga air hujan
yang jatuh di daerah tersebut tertahan dan meresap ke dalam tanah untuk
selanjutnya akan menjadi air tanah. Air tanah di daerah hulu merupakan
cadangan air bagi sumber air sungai. Oleh karena itu hutan yang terjaga
dengan baik akan memberikan manfaat berupa ketersediaan sumbersumber air

II-11
pada musim kemarau. Sebaliknya hutan yang gundul akan
menjadi malapetaka bagi penduduk di hulu maupun di hilir. Pada musim
hujan, air hujan yang jatuh di atas lahan yang gundul akan menggerus
tanah yang kemiringannya tinggi. Sebagian besar air hujan akan menjadi
aliran permukaan dan sedikit sekali infiltrasinya. Akibatnya adalah
terjadi tanah longsor dan atau banjir bandang yang membawa kandungan
lumpur.
3. Pengalihan hutan menjadi lahan pertanian
Risiko penebangan hutan untuk dijadikan lahan pertanian sama besarnya
dengan penggundulan hutan. Penurunan debit air sungai dapat terjadi
akibat erosi. Selain akan meningkatnya kandungan zat padat tersuspensi
(suspended solid) dalam air sungai sebagai akibat dari sedimentasi, juga
akan diikuti oleh meningkatnya kesuburan air dengan meningkatnya
kandungan hara dalam air sungai. Kebanyakan kawasan hutan yang
diubah menjadi lahan pertanian mempunyai kemiringan diatas 25%,
sehingga bila tidak memperhatikan faktor konservasi tanah, seperti
pengaturan pola tanam, pembuatan teras dan lain-lain, maka akan
menyebabkan erosi pada daerah hulu dan sedimentasi pada daerah
hilirnya yang berdampak pada peningkatan nilai TSS.
4. Intersepsi
Intersepsi adalah proses ketika air hujan jatuh pada permukaan vegetasi
diatas permukaan tanah, tertahan bebereapa saat, untuk diuapkan
kembali (hilang) ke atmosfer atau diserap oleh vegetasi yang
bersangkutan. Proses intersepsi terjadi selama berlangsungnya curah
hujan dan setelah hujan berhenti. Setiap kali hujan jatuh di daerah
bervegetasi, ada sebagian air yang tak pernah mencapai permukaan tanah
dan dengan demikian, meskipun intersepsi dianggap bukan faktor
penting dalam penentu faktor debit air, pengelola daerah aliran sungai
harus tetap memperhitungkan besarnya intersepsi karena jumlah air yang
hilang sebagai air intersepsi dapat mempengaruhi neraca air regional.
Penggantian dari satu jenis vegetasi menjadi jenis vegetasi lain yang

II-12
berbeda, sebagai contoh, dapat mempengaruhi hasil air di daerah
tersebut.
5. Evaporasi dan Transpirasi
Evaporasi transpirasi juga merupakan salah satu komponen atau
kelompok yang dapat menentukan besar kecilnya debit air di suatu
kawasan DAS. Mengapa dikatakan sebagai salah satu komponen
penentu debit air, karena melalui kedua proses ini dapat membuat air
baru, sebab kedua proses ini menguapkan air dari permukan air, tanah
dan permukaan daun, serta cabang tanaman sehingga membentuk uap air di
udara. Dengan adanya uap air di udara maka akan terjadi hujan, dan
dengan adanya hujan tadi maka debit air di DAS akan bertambah juga.
Hidrograf aliran merupakan perubahan karakteristik yang berlangsung
dalam suatu DAS oleh adanya kegiatan pengelolaan DAS dan adanya
perubahan iklim lokal (Asdak, 2002). Aliran sungai berasal dari hujan
yang masuk ke dalam alur sungai berupa aliran permukaan dan aliran air
di bawah permukaan,debit aliran sungai akan naik setelah terjadi hujan
yang cukup , kemudian turun kembali setelah hujan selesai. Grafik yang
menunjukan naik turunnya debit sungai menurut waktu disebut
hidrograf, bentuk hidrograf sungai tergantung dari sifat hujan dan sifat
daerah aliran sungai.
Terdapat tiga macam kemungkinan perubahan laju pertumbuhan debit sungai
yaitu:
1. Laju pertambahan air bawah tanah lebih kecil dari penurunan aliran air bawah
tanah normal,
2. Laju pertambahan air bawah tanah sama dengan laju penurunannya,
sehingga debit aliran menjadi konstan untuk sementara,
3. Laju pertambahan air bawah tanah melebihi laju penurunan normal,
sehingga terjadi kenaikan permukaan air tanah dan debit sungai.
II.11 Metode Rasional
Menurut Gunawan (1991), bahwa pendugaan debit puncak dengan
menggunakan metode rasional merupakan penyederhanaan besaran-besaran
terhadap suatu proses penentuan aliran permukaan yang rumit, akan tetapi metode

II-13
tersebut dianggap akurat untuk menduga aliran permukaan dalam rancang bangun
yang relatif murah, sederhana dan memberikan hasil yang dapat diterima
(reasonable).

II-14
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
III.1 Diagram Alir Penelitian

Mulai

Download Citra Satelit dari Earth Explorer

Citra Landsat 8

Koreksi Atmosferik

Cropping Citra

Klasifikasi Tutupan Lahan

Tidak

Konfusi matriks
dengan overall
accuracy ≥ 80% dan
Kappa Statistic ≥ 0,8

Ya

Perhitungan Luas Tutupan


Lahan

Perhitungan curah hujan


Lahan
Perhitungan Debit
Lahan

III-1
A

Kerentanan Banjir
Lahan
Analisis Perubahan Tutupan Lahan
Lahan
Analisis Perubahan DAS
Lahan
Hasil Analisis Perubahan Tutupan
Lahan Daerah Aliran Sungai Bodri
Terhadap Kerentanan Banjir Di
Kabupaten Kendal

III.2 Data dan Peralatan Penelitian


Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
a. Komputer Desktop
b. ENVI Classic
c. ArcGIS 10.5 untuk pengolahan dan layout hasil.
d. Microsoft Office untuk pengolahan laporan
e. Citra Landsat 8 wilayah DAS Bodri daerah Kendal tahun 2009 dan 2019
f. Peta Rupa Bumi Skala 1:25.000
g. Data Curah Hujan
h. Data kejadian banjir

III.3 Pengolahan Data


III.3.1 Perisapan
Melakukan segala persiapan mengenai penelitian yang akan dilakukan,
seperti melalukan pengecekan ketersediaan data-data yang akan digunakan, survey
lokasi penelitian.
III.3.2 Koreksi Atmosferik
Molekul-molekul air di udara dapat menyebabkan terjadinya atmospheric
scattering (penghamburan atmosfer). Hal ini mempengaruhi perekaman citra dan

III-2
harus dihilangkan atau diminimalkan untuk menghindari terjadinya bias pada
masing-masing spectral band. Histogram adjustment adalah salah satu metode yang
dapat digunakan untuk meminimalkan bias atmosfer yang terjadi.
III.3.3 Cropping Citra
Hal pertama yang perlu dilakukan sebelum cropping data citra satelit adalah
memastikan sistem proyeksi dan datum antara data citra satelit dengan data vektor
yang akan digunakan sebagai pemotong tersebut adalah sama. Kemudian
memotong citra pada bagian yang akan dilakukan penelitian.
III.3.4 Klasifikasi Tutupan Lahan
Pengklasifikasian tutupan lahan pada penelitian ini didasarkan pada
klasifikasi penutupan lahan oleh Badan Standar Nasional Indonesia. Klasifikasi
tutupan lahan ini juga menggunakan metode Digitasi On Screen, dimana digitasi
ini bertujuan untuk membagi tutupan lahan berdasarkan kelas yang sudah
ditentukan dalam klasifikasi yang sesuai dengan Badan Standar Nasional Indonesia.
III.3.5 Perhitungan Koefisien Run Off
Dalam metode rasional, nilai koefisien run off (C) merupakan suatu nilai
koefisien yang sudah diketahui besarnya masingmasing kelas tutupan lahan tersebut
kemudian dilakukan pembobotan sederhana untuk memperoleh nilai
Ctertimbangpada masing-masing sub DAS berdasarkan luas masing-masing kelas
tutupan lahan
III.3.6 Perhitungan Curah Hujan Rata-rata
Pehitungan curah hujan rata-rata dilakukan dengan metode Poligon
Thiessen, yaitu dengan membagi daerah penelitian menjadi beberapa poligon.
III.3.7 Perhitungan Debit Puncak
Perhitungan debit puncak ini menggunakan metode rasional. Perhitungan
ini dilakukan pada masing-masing sub DAS dengan mengalikan besarnya nilai
koefisien run off (Ctertimbang) dengan curah hujan rata-rata dan juga dengan luas
daripada sub DAS.

III-3
BAB IV
JADWAL PENELITIAN
Uraian kegiatan-kegiatan yang akan dilakukan dalam penelitian dalam waktu maksimal empat bulan pada tabel berikut:

Bulan ke-1 Bulan ke-2 Bulan ke-3 Bulan ke-4


No. Tahap Penelitian
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
1 Persiapan
2 Pengumpulan data
3 koreksi atmosferik
4 Cropping Citra
5 Klasifikasi Tutupan Lahan
6 Perhitungan Luas Tutupan
7 Perhitungan Curah Hujan
8 Perhitungan Debit
9 Kerentanan Banjir
Analisis Perubahan Tutupan
10
Lahan
11 Analisis Perubahan DAS
12 Hasil

IV-1
2

Anda mungkin juga menyukai