Draft Skripsi BAB IV - Mutiara
Draft Skripsi BAB IV - Mutiara
ANALISIS
“Kayak kemaren tuh awkarin yang bikin kayak so called “sex education” yang
isinya misleading semua. Apa lagi soal bdsm yang masih disebutnya sebagai
ganggungan sexual dan dia ngomongin dinamikanya aja udah salah banget
gitu.”
(Aksa, Catatan Lapangan 29 Oktober 2020)
Pertentangan ini rupanya dirasakan sendiri oleh praktisi yang menjadi bagian
komunitas BDSM itu. Mereka mendengar dan menyaksikan langsung tentang
pertentangan konsepsi yang datang dari lingkungannya. Artinya, mereka secara sadar
bahwa memang apa yang ada dalam dirinya itu ditentang oleh norma dan sudut
pandang masyarakat mayoritas. Namun, pertentangan tersebut tidak membuat praktisi
berhenti dan tunduk terhadap struktur ini. Mereka memandang BDSM sebagai
fenomena sosial yang terjadi pada diri mereka. Mereka tidak dapat menghindari hal
tersebut karena itu merupakan bagian dari kehidupannya. Satu hal yang mereka
lakukan adalah beradaptasi dan mencoba berdamai dengan lingkungannya, dengan
cara memberi edukasi tentang konsep BDSM yang benar seperti apa.
Analogi yang dibangun oleh Deleuze dan Guattari ini digunakan untuk
menekankan poin dari konsep affect bahwa sebenarnya manusia yang
mengalami deteritorialisasi itu dipengaruhi oleh keinginan mereka sendiri.
Tidak ada kepentingan lain yang diwakilkan oleh manusia ketika mereka
beralih identitas. Seperti yang diutarakan langsung oleh informan AB ketika
membahas tentang siapa orang yang mempengaruhi ketertarikan dia pada
BDSM. Ia dengan lugas mengatakan bahwa Ia tidak mendapat pengaruh dari
siapapun, termasuk keluarganya sebagai lingkungan terdekat. Pengakuan ini
2
Tsung –Huei Huang (2009) Anthropomorpism or Becoming-animal? Ka-shiang Liu’s Hill of Stray Dogs as a Case
in Point, Journal of Global Cultural Studies, 4 https://journals.openedition.org/transtexts/279?file=1
mendukung konsep affect ini jika peralihan identitas manusia itu murni dari
dalam diri manusia itu sendiri dan tidak mewakilkan keinginan dan
kepentingan orang lain.
“BDSM itu seperti hobinya yang lain yang membutuhkan proses belajar
yang menyenangkan karena dia sendiri sudah mempunyai ketertarikan
significant terhadap BDSM. Semua itu dia lakukan for the sake of life.”
3
Ortner (2015) Subjectivity and Cultural Critique, diakses pada 2 Oktober 2021
https://www.researchgate.net/publication/228344709_Subjectivity_and_Cultural_Critique
Informan AB memandang hasratnya atas BDSM itu sebagai bagian dari
hidupnya sebab hidup itu tentang proses mengeksplorasi hal-hal baru agar kita
bisa keluar dari rasa bosan dan kejenuhan permasalahan hidup sehari-hari.
Menurut saya, informan AB dapat menjelaskan bahwa tidak ada yang aneh dari
apa yang dilakukan dan pemikirannya. Semua penjelasan dan justifikasi AB
memang lah sangat subjektif, namun menurutnya dia hanya ingin menjadi
dirinya sendiri dan tidak mau diganggu oleh keinginan orang lain atau
ekspektasi orang lain atas dirinya. Hal tersebut bisa saja menggambarkan
tentang resistensi AB ketika dia harus bernegosiasi dengan orang lain jika
dilihat lebih lanjut.
Sama halnya dengan informan AB, informan Aksa juga telah melewati
berbagai interaksi dengan beragam lingkungan pula hingga akhirnya Ia
mencapai titiknya saat ini. Seperti informan AB, informan Aksa juga tumbuh
besar di keluarga yang tenang dan tidak tempramen. Sehingga interaksi yang
muncul diantara mereka pun tidak menjadi penyebab munculnya ketertarikan
Aksa pada dunia BDSM. Namun, sejak kecil Aksa sudah mulai berinteraksi
dengan hal yang berbau masokisme, misalnya bermain dengan lelehan lilin atau
tidak merasa sakit ketika di suntik. Interaksi ini menjadi pembenaran di masa
dewasa Aksa ketika Ia sudah mengenal istilah BDSM. Berlanjut ke lingkungan
SMP dan SMA nya, informan Aksa lebih banyak berinteraksi dengan bacaan
BDSM, seperti manga dan artikel internet. Interaksi ini membawa warna baru di
perjalanan Aksa karena Ia bisa mengetahui konsep BDSM di era modern itu
seperti apa. Berkat interaksi ini juga, Aksa bisa menyadari permainannya di
masa kecil rupanya memiliki kaitan dengan BDSM itu sendiri. Setelah melalui
waktu tersebut, informan Aksa kemudian dihadapkan dengan lingkungan
komunitas dan lingkungan rumah tangganya. Di titik ini, informan Aksa terlihat
begitu mengeksplor hal-hal kreatif baru yang tidak bisa Ia temukan di bacaan
atau tontonan. Mulai dari ilmu baru, dan juga pengalaman baru.
“Mungkin kalo mau aku jelasin prosesnya itu karena makin aku ngobrol
sama temen-temen komunitas itu aku juga jadi tau dan sadar banyak hal
juga gitu. Trus juga gobloknya aku dulu aku tuh gak bisa bahasa inggris
juga dulu. Trus dulu karena aku bener-bener pengen bgt belajar tentang
bdsm ini kan kebanyakan artikelnya bahasa inggris gitu atau bahasa
jepang jadi aku di situ baru beajar bahasa ingris. Dari situ ketika aku
udah mulai banyak baca dan interaksi juga sama komunitas luar negeri
juga aku mulai ngerti kriteria, deskripsi, alasan, dan peresaan orang yang
menjadi sub itu kayak gimana.”
(Aksa, Catatan Lapangan 29 Oktober 2020)
Selain itu, kedua informan AB dan Aksa juga sama-sama pernah berada
dalam lingkungan yang mempunyai nilai bertentangan dengan desire mereka
terkait BDSM ini. Informan AB mendapatkannya dari lingkungan pertemanan
yang masih menganggap BDSM sebagai prilaku menyimpang. Sedangkan,
informan Aksa mendapat pertentangan dari Ibunya yang juga berpikir demikian.
Ketika menghadapi lingkungan tersebut, pola yang ditemui oleh kedua informan
penelitian yaitu mereka bertindak dengan memberi penjelasan dan pemahaman
terhadap orang-orang di lingkungan tersebut terkait konsepsi BDSM dari sudut
pandang mereka. Alih-alih takut dengan ujaran yang diberikan lingkungannya
tersebut, informan AB dan informan Aksa justru semakin berusaha untuk
meyakinkan mereka agar kedua informan dapat diterima di lingkungan tersebut.
Usaha yang dibangun informan AB dan informan Aksa ini merupakan bentuk
adaptive plasticity manusia yang dilakukan dengan cara mengatur bagaimana
mereka bertindak atau berperilaku (Rago A, 2019). Pada akhirnya, setelah
berusaha untuk adaptasi dengan lingkungan seperti itu, informan AB dan
informan Aksa bisa diterima oleh orang-orang di dalam lingkungan tersebut.
Karena pada hakikatnya, pengaruh itu bersifat tidak solid, tidak kaku, dan dapat
bergeser apabila terus ditekan oleh manusia.
“to the ways in which power itself is shifting and contingent—less a solid,
stable entity than a product of manipulation, sys-tematic falsehood, and
ongoing struggle, and constantly punctured and put to flight by people’s
becomings.”5
(Biehl and Locke, 2017)
4
Rago A, Kouvaris K, Uller T, Watson R (2019) How adaptive plasticity evolves when selected against. PLoS
Comput Biol 15(3): e1006260. https://doi.org/10.1371/journal. pcbi.1006260
5
Biehl and Locke, Unifinished The Anthropology of Becoming, Duke University Press, Durham & London,2017,
6 https://www.dukeupress.edu/Assets/PubMaterials/978-0-8223-6945-5_601.pdf
Seperti yang dijelaskan pada bagian sebelumnya, interaksi manusia
dengan non-manusia ini mampu menciptakan kreativitas karena manusia bisa
menghasilkan terobosan yang unik, dimana belum pernah di temukan di waktu
sebelumnya. Manusia yang berinteraksi dengan lingkungannya ini memiliki
sifat plastis atau lentur yang berarti mereka bisa beradaptasi dengan
bermacam-macam sistem atau lingkungan yang terbentuk dari manusia itu
sendiri, benda-benda, dan juga kekuatan. Selama proses penyesuaian dengan
lingkungan yang beragam ini, manusia memunculkan sesuatu yang baru,
dimana hal tersebut bertentangan dengan kondisi sistem sebelumnya. Cara
manusia beradaptasi dengan lingkungan atau sistem yang bervariasi ini ialah
dengan mengatur bagaimana mereka berperilaku, bagaimana penampilan
mereka, dan bagaimana mereka menempatkan perannya. Dengan cara
tersebut, manusia bisa bertahan dengan variasi lingkungan yang dihadapinya
(Biehl & Locke, 2017)
Jika kita analisis studi kasus fenomena BDSM yang dialami informan
AB dan informan Aksa ini, peristiwa-peristiwa panjang yang mereka lewati
saat pertama kali mengenal istilah BDSM lewat bacaan komiknya hingga
kepada pencapaian identitas mereka sekarang itu terdapat perubahan yang
tidak pernah ditebak sebelumnya. Dari satu garis waktu di masa lalu ke garis
waktu di masa sekarang itu, informan AB dan informan Aksa tidak pernah
menebak akan melewati peristiwa-peristiwa seperti sekarang. Hal ini
dikarenakan waktu berjalan secara dinamis dan penuh dengan ketidakpastian
tentang apa yang akan terjadi pada manusia itu di garis waktu mendatang.
Sebut saja informan AB tidak pernah menebak dirinya akan mempunyai hobi
dan preferensi seksual BDSM saat ia menjalani masa kanak-kanaknya.
Perubahan terjadi saat ia berada di waktu SMP tanpa pernah memastikan di
waktu tersebut lah dia akan mulai tertarik dengan tontonan bernuansa BDSM.
Begitu pula yang terjadi pada informan Aksa yang tidak pernah menebak
tentang peristiwa yang dia alami saat ini karena waktu berjalan dengan penuh
ketidakpastian. Informan Aksa tidak pernah membayangkan sebelumnya
bahwa masa kecilnya yang suka memainkan lilin dan tidak takut dengan
suntik itu ternyata memiliki kaitan dengan masokisme dalam BDSM sampai
dia akhirnya tiba di garis waktu SMP nya yang membaca buku mitologi
Yunani itu.
Dalam cerita informan AB, desire itu ditunjukan ketika ia mulai tertarik
dengan dunia BDSM dan mulai mengasosiasikannya ke dalam hubungan
seksual. Muncul hasrat di benar informan AB untuk memberi barang-barang
BDSM untuk sekadar mengoleksi dan mempelajarinya. Hasrat ini tidak pernah
direncanakan oleh informan AB sebelumnya. Hasrat itu muncul secara tidak
sadar dalam pikiran informan AB. Karena Ia merasa hasrat tersebut rasional,
maka Ia membelinya. Sama seperti yang dikemukakan Cameron dan Kulick
(2003) dalam Carlstorm (2018) bahwa desire atau hasrat itu muncul secara
tidak sadar dan rasional di pikiran manusia. Artinya, seorang subjek tidak
pernah berencana untuk memiliki hasrat tertentu di waktu tertentu pula. Semua
itu datang secara tiba-tiba dan di bawah alam sadar subjek itu sendiri. Sama
halnya dengan informan Aksa ketika memiliki hasrat untuk mencari komunitas
BDSM yang ada di Indonesia agar ia memiliki tempat untuk belajar dan
berbagi cerita. Hasrat itu muncul di luar kesadaran informan Aksa dan juga
tidak pernah direncanakan sebelumnya.
“Trus dulu karena aku bener-bener pengen bgt belajar tentang bdsm
ini kan kebanyakan artikelnya bahasa inggris gitu atau bahasa jepang
jadi aku di situ baru beajar bahasa ingris. Dari situ ketika aku udah
mulai banyak baca dan interaksi juga sama komunitas luar negeri
juga aku mulai ngerti kriteria, deskripsi, alasan, dan peresaan orang
yang menjadi sub itu kayak gimana.”
(Aksa, Catatan Lapangan 29 Oktober 2020)
7
Charlotta Carlström (2018) BDSM, becoming and the flows of desire, Culture, Health, and Sexuality, 407
Cerita kedua informan ini menunjukan suatu pola yang sama yaitu
informan sebagai subjek suatu fenomena itu dipengaruhi oleh hasrat yang
muncul secara tidak sadar dan di luar kendali mereka yang mampu menambah
pengalaman baru kedua informan dalam fenomena BDSM. Pola ini sejalan
dengan konsep becoming Deleuze yang merumuskan dimensi ruang sebagai
dimensi yang mendorong manusia untuk menambah pengalaman hidupnya.
Pengalaman hidup ini akan terus bertambah selama pengaruh-pengaruh
dimensi ruang itu tetap menimpa manusia sebagai subjek fenomena. Pengaruh
seperti desire ini tidak dimaknai sebagai sesuatu yang kurang dari diri manusia,
namun lebih diartikan sebagai bentuk kreativitas alami yang dimiliki manusia
itu sendiri.
“Trus misalnya di suntik nih, aku ngeliat temen aku tuh takut banget
ampe nangis sedangkan aku malah suka rasanya di suntik. Nah di situ
tuh kan aku belum tau kan itu namanya apa atau hal itu tuh bakal
ngedorong aku ke mana. Nah dari buku itu aku mulai kenal istilah itu
dan cari tau terus”
(Aksa, Catatan Lapangan 29 Oktober 2021)
8
Luluk Masruroh (2020) KEHIDUPAN MANUSIA DALAM RUANG DAN WAKTU, hal. 9, diakses pada 8
Oktober 2021 http://repositori.kemdikbud.go.id/21747/1/X_Sejarah_KD-3.1_Final.pdf
“Ya karena berawal dari suka culture jepang jadi tau culturenya gimana dan
lebih digging apa yang aku suka apa yang enggak. Plus ada dukungan circle
juga karena kayak circle jejepangan tuh lebih bisa nerima orang-orang yang
aneh. Soalnya dari dulu juga kayak selalu dianggep aneh sama orang yang di
luar jejepangan, jadi kalo misal ada yang aneh di dalem circle sekalipun kita
udah yang gk kaget karena ya udah aja gitu.”
(Aksa, Catatan Lapangan 29 Oktober 2020)
Carlström, C.
2018 “BDSM, becoming and the flows of desire. Culture, Health & Sexuality: An
International Journal for Research, Intervention and Care, Hal. 408.”
Huang T.H
2009 “Anthropomorpism or Becoming-animal? Ka-shiang Liu’s Hill of Stray Dogs
as a Case in Point, Journal of Global Cultural Studies, Hal. 4” diambil
kembali dari https://journals.openedition.org/transtexts/279?file=1
Masruroh Luluk
2020 KEHIDUPAN MANUSIA DALAM RUANG DAN WAKTU, hal. 9,
diakses pada 8 Oktober 2021
http://repositori.kemdikbud.go.id/21747/1/X_Sejarah_KD-3.1_Final.pdf
Ortner
2015 “Subjectivity and Cultural Critique”, diakses kembali pada
https://www.researchgate.net/publication/228344709_Subjectivity_and_Cult
ural_Critique
Rago A, et. al.
2019 “How adaptive plasticity evolves when selected against. PLoS Comput Biol
15(3): e1006260” Diakses kembali pada https://doi.org/10.1371/journal.
pcbi.1006260
Suryosumunar, J.AZ