Anda di halaman 1dari 19

BAB IV

ANALISIS

Pada bab ini, penulis akan menjelaskan bagaimana praktisi BDSM di


Indonesia ini memaknai dirinya sebagai praktisi BDSM melalui rangkaian proses
fenomena yang dijalankan mereka sebagai bentuk flow of desire nya. Penjelasan ini akan
menuntun kita kepada keinginan dan kebutuhan hidup praktisi yang memutuskan untuk
mencari tahu dan berinteraksi dengan praktisi BDSM lainnya, pencarian identitas, dan
memperbanyak intensitas kejadian tentang BDSM itu sendiri agar bisa beradaptasi.
Fenomena yang dihadapi praktisi ini menimbulkan perdebatan dengan lingkungan
sekitar yang masih menganggap praktik BDSM sebagai salah satu prilaku menyimpang.
Perdebatan dan pertentangan yang diperoleh praktisi ini akan memaksa mereka untuk
memberi respon dan beradaptasi.

4.1 Becomings: Memandang BDSM sebagai Fenomena Sosial


Hal menarik yang peneliti temukan dalam mengkaji data tentang praktik
BDSM di Indonesia ini adalah adanya perbedaan pola pikir dan konsepsi masyarakat
dalam mengartikan BDSM ini. Sebagian besar masyarakat Indonesia memandang
bahwa BDSM merupakan bentuk gangguan seksual karena merasa kekerasan dalam
aktivitas seks itu bukanlah hal yang normal. Kekerasan seperti sadisme dan masokis
dianggap terlalu tabu dalam dunia hubungan seksual. Sedangkan, disisi lain mereka
yang sudah masuk ke dalam kelompok atau komunitas BDSM ini memiliki
pandangan yang 180 derajat berbeda. Dimana, kekerasan yang terdapat dalam BDSM
itu adalah bentuk seni dan memiliki prinsip kehati-hatian. Praktiksi juga melakukan
tindakan tersebut dengan mengedepankan konsensus antar pihak terlibat. Sehingga,
anggapan tentang kekerasan itu tidaklah normal dianggap keliru oleh komunitas
BDSM itu sendiri.

“Kayak kemaren tuh awkarin yang bikin kayak so called “sex education” yang
isinya misleading semua. Apa lagi soal bdsm yang masih disebutnya sebagai
ganggungan sexual dan dia ngomongin dinamikanya aja udah salah banget
gitu.”
(Aksa, Catatan Lapangan 29 Oktober 2020)
Pertentangan ini rupanya dirasakan sendiri oleh praktisi yang menjadi bagian
komunitas BDSM itu. Mereka mendengar dan menyaksikan langsung tentang
pertentangan konsepsi yang datang dari lingkungannya. Artinya, mereka secara sadar
bahwa memang apa yang ada dalam dirinya itu ditentang oleh norma dan sudut
pandang masyarakat mayoritas. Namun, pertentangan tersebut tidak membuat praktisi
berhenti dan tunduk terhadap struktur ini. Mereka memandang BDSM sebagai
fenomena sosial yang terjadi pada diri mereka. Mereka tidak dapat menghindari hal
tersebut karena itu merupakan bagian dari kehidupannya. Satu hal yang mereka
lakukan adalah beradaptasi dan mencoba berdamai dengan lingkungannya, dengan
cara memberi edukasi tentang konsep BDSM yang benar seperti apa.

4.1.1 BDSM : Interaksi Antara Manusia – Non-Manusia


Seperti yang dikonsepkan Deleuze tentang Becoming sebagai fenomena
hidup yang pasti terjadi pada seseorang, sama halnya dengan BDSM yang
merupakan bentuk becoming praktisi dari yang awalnya tidak mengetahui
identitasnya sebagai praktisi BDSM, kemudian berubah menjadi mengetahui
identitas tersebut. Proses becoming ini tidak akan terlepas dari perubahan dan
perbedaan karena adanya pencarian dan penciptaan sesuatu yang kreatif. Kreatif
yang dimaksud disini adalah terobosan atau kondisi baru yang unik, yang
sebelumnya belum pernah diciptakan (Suryosumunar, 2019). Perubahan dan
perbedaan ini terjadi ketika manusia mulai melakukan interaksi dengan unsur-
unsur non manusia untuk mendapatkan ilmu dan pengetahuan tentang keinginan
atau desire terhadap sesuatu. Perubahan dan perbedaan ini akan terus melekat
dalam waktu yang permanen seperti yang diungkapkan Wilmer dan Zukauskaite
(2015) yakni:

“becoming is not only a temporal characteristic, referring to temporal


change or duration; it also implies a difference in kind, which is the result
of this change. Thus, becoming is always a difference and a
multiplicity.”1
(Wilmer dan Zukauskaite, 2015: 5 dalam Suryosumunar, 2019)

Dalam penelitian ini, interaksi antar manusia dan non-manusia berhasil


menciptakan kreativitasnya. Terlihat pada kedua informan penelitian ini yang
1
Suryosumunar, John AZ (2019) Perspektif Gilles Deleuze terhadap Proses Imitasi dalam Masyarakat
Konsumeris di Era Revolusi Industri 4.0, Jurnal Pendidikan Nilai dan Pembangunan Karakter: 46
https://waskita.ub.ac.id/index.php/waskita/article/view/82
keduanya melakukan interaksi dengan unsur-unsur seperti buku bacaan, artikel,
tontonan, dan alat-alat BDSM yang mereka beli. Interaksi tersebut secara sadar
maupun tidak sadar akan menimbulkan kreativitas bagi mereka karena terdapat
ilmu dan pengetahuan baru yang tidak pernah mereka ketahui sebelumnya. Ilmu
dan pengetahuan itu terkait definisi BDSM itu sendiri, ciri-ciri BDSM, spektrum
yang ada dalam BDSM, value yang ada dalam BDSM, cara menggunakan
barang BDSM nya, dan berbagai dimensi lain di BDSM itu. Kreativitas ini akan
membawa kedua informan ini kepada perubahan dan perbedaan. Misalnya, pada
informan AB yang awalnya hanya sekedar tertarik jika melihat tokoh
perempuan yang sedang diikat dalam anime, kemudian berubah menjadi
mengklaim BDSM sebagai hobi dan preferensi seksualnya. Itu semua terjadi
setelah melalui proses interaksinya dengan tontonan anime yang bergenre
BDSM dan barang BDSM seperti bondage tape dan tali, borgol, ball gag, dan
whip.

Begitu juga dengan informan Aksa yang berinteraksi dengan buku


filsafat, komik, artikel berbahasa inggris, dan konten edukasi di facebook.
Interaksi ini akan memperkaya pengetahuan dan kreativitas informan Aksa
terkait BDSM, sehingga peluang untuk mengeksplor lebih jauh itu sangat besar.
Informan Aksa yang awalnya belum berani mengklaim dirinya sebagai bagian
dari BDSM itu, kemudian menjadi lantang dalam mengatakan bahwa BDSM
adalah gaya hidupnya. Perubahan dan perbedaan yang ditemukan pada kedua
informan ini lah yang disebut sebagai proses becoming. Bahwasanya terdapat
pola teratur ketika manusia mulai menciptakan kreativitas melalui interaksinya
dengan unsur non-manusia, agar mereka tahu dan kaya akan suatu pengetahuan.
Kreativitas ini akan menarik mereka kepada perubahaan dan perbedaan.

4.1.2 Intensitas Prapersonal : Sebuah Peralihan Identitas


Dalam konsep Deleuze dan Guattari, untuk mendalami suatu fenomena
etnografi, kita harus memperhatikan faktor affect. Affect dalam konsep ini tidak
diartikan sebagai pengaruh atau mempengaruhi, melainkan sebagai intensitas
prapersonal yang berkaitan dengan proses peralihan atau perubahan identitas
manusia ke suatu identitas lain (Huang, 2009). Intensitas prapersonal yang
didefinisikan oleh Deleuze dan Guattari itu berarti suatu gangguan atau
kekuaasaan yang mempengaruhi atau dipengaruhi. Semakin besar gangguan
atau kekuasaan, maka semakin besar pula peluangnya untuk mengubah identitas
manusia menjadi identitas baru (Huang, 2009). Manusia yang mencapai titik ini
berarti mereka dikatakan telah mengalami deteritorialisasi (Huang, 2009, pp. 3-
4)
Pengalaman informan AB dan informan Aksa sebagai subjek fenomena
yang memiliki identitas sebagai orang pada umumnya ini dapat dikatakan telah
mengalami yang namanya deteritorialisasi. Hal ini dipertimbangkan dari
perubahan identitas kedua informan yang awalnya memiliki identitas sebagai
orang biasa yang hanya tertarik dengan BDSM, berubah identitas menjadi
praktisi BDSM. Seperti yang diutarakan Deleuze dan Guattari, peralihan itu
dipengaruhi oleh dorongan dari dalam diri manusia itu sendiri. Jadi, ketika
informan AB dan informan Aksa beralih identitas menjadi seorang praktisi
BDSM, itu merupakan dorongan yang berasal dari dalam diri mereka sendiri.
Mereka terdorong oleh keinginan positif mereka untuk berubah ke satu identitas
baru. Dalam kutipan ini Deleuze dan Guattari menjelaskan:
“Deleuze and Guattari also apply their concept of becoming-animal
to reinterpret Freud’s cases such as Wolf-Man or little Hans. While
Freud sees Wolf-Man’s fear of wolves as triggered by the traumatic
primal scene, Deleuze and Guattari suggest that actually he is
“fascinated by several wolves watching him.” It is the “wolfing”
or“the non-familial, non-individual (or pack-like) wandering of the
wolves which attracts the wolf-man.” Likewise, defying Freud’s
analysis that the horse with blinders represents Hans’s father and the
heavily loaded horse, the pregnant mother, Deleuze and Guattari see
in Hans the reality of a becoming-animal that “is affect in itself, the
drive in person, and represents nothing”2
(Deleuze dan Guattari dalam Huang (2009: 4)

Analogi yang dibangun oleh Deleuze dan Guattari ini digunakan untuk
menekankan poin dari konsep affect bahwa sebenarnya manusia yang
mengalami deteritorialisasi itu dipengaruhi oleh keinginan mereka sendiri.
Tidak ada kepentingan lain yang diwakilkan oleh manusia ketika mereka
beralih identitas. Seperti yang diutarakan langsung oleh informan AB ketika
membahas tentang siapa orang yang mempengaruhi ketertarikan dia pada
BDSM. Ia dengan lugas mengatakan bahwa Ia tidak mendapat pengaruh dari
siapapun, termasuk keluarganya sebagai lingkungan terdekat. Pengakuan ini
2
Tsung –Huei Huang (2009) Anthropomorpism or Becoming-animal? Ka-shiang Liu’s Hill of Stray Dogs as a Case
in Point, Journal of Global Cultural Studies, 4 https://journals.openedition.org/transtexts/279?file=1
mendukung konsep affect ini jika peralihan identitas manusia itu murni dari
dalam diri manusia itu sendiri dan tidak mewakilkan keinginan dan
kepentingan orang lain.

4.1.3 Intensitas Kejadian-Kejadian sebagai Penyusun Fenomena


BDSM dikatakan sebagai suatu fenomena dapat juga kita lihat dari
intensitas kejadian atau peristiwa yang terjadi. Menurut Deleuze, seorang
peneliti harus memperhatikan intensitas peristiwa yang terjadi di dalam suatu
fenomena agar peneliti dapat memberi penilaian dan eksplorasi lebih dalam dan
menyeluruh tentang fenomena tersebut. Peristiwa-peristiwa yang terjadi
merupakan pondasi dari satu fenomena. Dalam konsep becoming, Deleuze
menekankan. Jika kita berbicara tentang perkembangan istilah BDSM di era
modern, masyarakat mengartikannya melalui beberapa konsep seperti Fetish,
Kinks, Master-Slave, permainan satu malam, tren budaya populer, atau gaya
hidup. Selain itu, beberapa orang juga mengartikan BDSM sebagai bentuk
umum dari sadomasokisme karena seringkali melibatkan adegan kekerasan.

Pemahaman BDSM di era modern ini dilatarbelakangi oleh peristiwa


masa lampau yang sudah lebih dulu membahas BDSM itu sendiri. Seperti
penggunaan istilah fetishm di era modern ini, sebenarnya dilatarbelakangi oleh
peristiwa di Eropa yang mempercayai benda-benda material itu memiliki
kekuatan yang dapat mempengaruhi fisik manusia dari luar. Begitu juga
penggunaan istilah master – slave di era modern, juga dilatarbelakangi oleh
peristiwa ketika perempuan di Era Victorian itu seringkali dijadikan budak
dengan penampilan yang diatur oleh tuannya, mulai dari pakaian, gerakan, dan
gestur tubuhnya. Peristiwa-peristiwa yang melatarbelakangi penggunaan konsep
BDSM modern ini memunculkan peristiwa baru lagi, yang mana ialah BDSM
era modern itu sendiri. Dengan arti lain, satu peristiwa menciptakan satu
peristiwa lainnya.

Istilah dalam BDSM modern ini kemudian diserap oleh sebagian


masyarakat Indonesia yang bergabung dalam kelompok atau komunitas BDSM.
Orang-orang yang tergabung dalam komunitas ini awalnya tentu berangkat dari
ketidaktahuan, sehingga mereka terpacu untuk mencari tahu tentang
ketertarikannya selama ini. Walaupun media yang digunakan untuk menambah
wawasannya ini berbeda-beda, namun orang yang tergabung dalam komunitas
BDSM itu memiliki satu tujuan yang sama yakni untuk meningkatkan
pengetahuan. Dengan membaca, mereka bisa mengetahui istilah-istilah BDSM
modern tersebut dan memperdalam hingga dimensi teknisnya, misalnya isitlah
shibari atau teknik mengikat, mereka mempelajari bagaimana cara mengikat
yang benar agar tidak membahayakan partner nya.

Setelah mempelajari istilah dari BDSM modern ini, kedua informan


mulai beranjak kepada peristiwa lainnya yaitu mencari orang-orang yang
memiliki ketertarikan yang sama dengan diri mereka. Kedua informan AB dan
informan Aksa sama-sama menyasar kepada komunitas BDSM di media sosial
seperti di Facebook dan Line. Dalam peristiwa itu, mereka sering berinteraksi
dan berkumpul dengan sesama anggota komunitas, baik itu untuk membahas
BDSM ataupun cerita kehidupan sehari-hari. Interaksi yang dibangun oleh
kedua informan baik AB maupun Aksa, membuat mereka mendapat kesempatan
untuk melakukan praktik seks BDSM bersama partner. Praktik seks BDSM ini
menjadi peristiwa baru yang dialami informan AB dan informan Aksa.

Rangkaian peristiwa yang dialami informan AB dan informan Aksa ini


menandakan bahwa tingginya intensitas peristiwa terkait BDSM yang berhasil
menyusun fenomena BDSM itu sendiri. Seperti yang dikonsepkan Deleuze
dalam becoming, bahwa konsep becoming berguna untuk menelaah fenomena
sosial seperti BDSM ini, dimana fenomena sosial itu pada hakikatnya sudah
terjadi, namun masih belum selesai hingga detik ia dibicarakan. Fenomena
tersebut dikatakan sudah terjadi karena terdapat tanda-tanda seperti rangkaian
peristiwa-peristiwa yang menyusunnya. Dalam studi kasus BDSM sebagai
fenomena sosial pun memiliki hakikat yang sama, yakni BDSM ini telah terjadi
ditandai dengan peristiwa di masa lampau, peristiwa BDSM modern, peristiwa
terlibatnya informan AB dan informan Aksa ke dalam BDSM di Indonesia, dan
peristiwa lain yang sudah berhasil menyusun fenomena BDSM ini. Karena suatu
fenomena sosial itu akan terus berjalan, maka begitu juga peristiwa-peristiwa
yang dialami kedua informan dalam fenomena BDSM ini akan terus bertambah
juga.

4.1.4 Unsur Subjektifitas sebagai yang Membangunnya


Konsep becoming ditekankan pada cara seseorang memberi arti pada
peristiwa dan pengalamannya terkait satu fenomena tertentu. Seseorang
menceritakan narasi pribadinya tentang titik demi titik yang terjadi dalam
hidupnya. Karena memang apa yang diceritakan adalah narasi pribadi, artinya
cerita-cerita pengalaman dan juga makna yang diberikan seseorang ini akan
berbeda dari orang lainnya. Dengan kata lain, terdapat subjektifitas yang
membangun pengalaman dan makna tentang fenomena serupa yang mereka
alami (Ortner, 2015). Dalam kasus BDSM sebagai fenomena sosial, para
praktisi BDSM termasuk informan AB dan informan Aksa ini menaruh
subjektifitas dalam memberi makna dan membentuk narasi pribadi tentang
pengalamannya masing-masing. Subjektifitas disini tidak hadir untuk
menyalahkan satu narasi yang berbeda dengan yang lainnya, tetapi hadir
sebagai sudut pandang yang memperkaya satu fenomena tertentu.

“by subjectivity I will mean the ensemble of modes of perception, affect,


thought, desire, fear, and so forth that animate acting subjects. But I will
always mean as well the cultural and social formations that shape,
organize, and provoke those modes of affect, thought and so on”3
(Sherry Ortner, 2015)

Jika kita membahas studi kasus fenomena BDSM, informan AB dan


informan Aksa secara jelas menyampaikan subjektifitasnya mengenai
rangkaian peristiwa yang pernah mereka alami. Contohnya ketika memaknai
BDSM bagi diri mereka sendiri, informan AB memaknainya dengan hobi dan
preferensi seksual, sedangkan informan Aksa memaknainya sebagai gaya
hidup. Informan AB memaknai BDSM dengan makna hobi dan preferensi
seksual berdasarkan apa yang ia alami dan rasakan selama ini, misalnya dia
gemar membaca komik dengan nuansa BDSM dan menemukan itu sangat
membuat dia bahagia dan puas. Selain itu, dia juga gemar mengoleksi barang-
barang BDSM karena merasa barang itu dapat menjadi media eksplorasi dan
pengembangan ilmu informan AB terhadap BDSM.

“BDSM itu seperti hobinya yang lain yang membutuhkan proses belajar
yang menyenangkan karena dia sendiri sudah mempunyai ketertarikan
significant terhadap BDSM. Semua itu dia lakukan for the sake of life.”

(AB, Catatan Lapangan15 Oktober 2020)

3
Ortner (2015) Subjectivity and Cultural Critique, diakses pada 2 Oktober 2021
https://www.researchgate.net/publication/228344709_Subjectivity_and_Cultural_Critique
Informan AB memandang hasratnya atas BDSM itu sebagai bagian dari
hidupnya sebab hidup itu tentang proses mengeksplorasi hal-hal baru agar kita
bisa keluar dari rasa bosan dan kejenuhan permasalahan hidup sehari-hari.
Menurut saya, informan AB dapat menjelaskan bahwa tidak ada yang aneh dari
apa yang dilakukan dan pemikirannya. Semua penjelasan dan justifikasi AB
memang lah sangat subjektif, namun menurutnya dia hanya ingin menjadi
dirinya sendiri dan tidak mau diganggu oleh keinginan orang lain atau
ekspektasi orang lain atas dirinya. Hal tersebut bisa saja menggambarkan
tentang resistensi AB ketika dia harus bernegosiasi dengan orang lain jika
dilihat lebih lanjut.

Lain halnya dengan narasi pribadi informan Aksa yang menceritakan


BDSM ini sebagai sebuah life-style atau gaya hidup. Hal ini dikarenakan
informan Aksa berpersepsi bahwa ketika praktisi BDSM sudah menghabiskan
hampir seluruh waktunya untuk mencari tahu tentang BDSM, maka itu sudah
dapat dikatakan sebagai gaya hidup. Termasuk dirinya, BDSM sudah menjadi
gaya hidup informan Aksa karena Ia menilai dirinya hampir menghabiskan
seluruh waktu untuk mempelajari BDSM. Persepsi informan Aksa ini jauh
berbeda dengan persepsi informan AB yang melihatnya sebagai kegemaran
belaka. Hal ini dikarenakan subjektifitas manusia tadi sehingga muncul persepsi
dan interpretasi yang berbeda juga.

Subjektifitas ini hadir karena pos-pos pengalaman yang mereka alami


itu berbeda-beda, mulai dari isi, ruang, dan waktunya. Selain itu, rangkaian
pengalaman yang mereka lewati pun tentu akan diinterpretasikan sesuai dengan
cara berpikir masing-masing informan. Hal ini disebabkan oleh setiap manusia
diciptakan dengan persepsi, pemikiran, ketakutan, dan hasrat yang berbeda satu
sama lain. Oleh karena itu, fenomena dalam sudut pandang antropologi
dikatakan sebagai konsep yang sangat kompleks karena bisa menelaah setiap
manusia walaupun masing-masing memiliki subjektifitasnya.

4.2 The Unfinished: Fleksibilitas Manusia dalam Fenomena


4.2.1 Kemampuan Adaptasi
Dalam cerita informan AB dan informan Aksa, terlihat bahwa keduanya
telah melalui berbagai interaksi-interaksi bersama lingkungan yang beragam
pula. Dalam cerita informan AB, ia merupakan anak yang lahir di keluarga yang
tidak memiliki rekam jejak prilaku kekerasan dalam rumah tangga atau pernah
terlibat kasus kekerasan dengana orang lain. Informan AB tumbuh dan besar di
lingkungan keluarga yang tenang-tenang saja, sehingga interaksi yang terjalin
pun tidak menimbulkan pengaruh pada mental atau pola pikir informan AB.
Setelah keluarga, lingkungan terdekat informan AB selanjutnya ialah
lingkungan SMP. Dalam lingkungan ini, informan AB mulai memiliki
ketertarikan pada komik yang menampilkan unsur BDSM. Walaupun
ketertarikan itu tidak muncul dari teman sepermainannya, melainkan dari bacaan
yang ada di sekitarnya, akan tetapi pengaruh kepada preferensi AB atas BDSM
itu sangat besar. Lalu, berlanjut ke lingkungan SMA dan perkuliahan yang bisa
dibilang lebih ekstrim lagi karena mulai mengasosiasikan ketertarikannya itu
dengan seks. Interaksi yang dibangun informan AB pun lebih intim jika
dibandingkan dengan interaksi di lingkungan SMP nya. Dikatakan lebih intim
karena Ia mulai mempelajari teknik memakai barang BDSM, yang mana
sebelumnya ia sekedar menonton saja. Tiba pada lingkungan terakhirnya, saat Ia
sudah berinteraksi dengan praktisi BDSM lain yang ada domisilinya, dimana Ia
menemui banyak orang, benda, dan pengaruh-pengaruh setiap harinya.
Lingkungan BDSM ini menjadi tempat informan AB belajar tentang hal yang
tidak bisa Ia dapatkan ketika ia sekadar menonton film porno, membaca komik,
atau artikel saja. Misalnya, informan AB baru bisa mempraktikan BDSM ke
dalam hubungan seksual ketika Ia bertemu kembali dengan kenalan lamanya
yang ternyata memiliki ketertarikan yang sama dengan informan AB.

Sama halnya dengan informan AB, informan Aksa juga telah melewati
berbagai interaksi dengan beragam lingkungan pula hingga akhirnya Ia
mencapai titiknya saat ini. Seperti informan AB, informan Aksa juga tumbuh
besar di keluarga yang tenang dan tidak tempramen. Sehingga interaksi yang
muncul diantara mereka pun tidak menjadi penyebab munculnya ketertarikan
Aksa pada dunia BDSM. Namun, sejak kecil Aksa sudah mulai berinteraksi
dengan hal yang berbau masokisme, misalnya bermain dengan lelehan lilin atau
tidak merasa sakit ketika di suntik. Interaksi ini menjadi pembenaran di masa
dewasa Aksa ketika Ia sudah mengenal istilah BDSM. Berlanjut ke lingkungan
SMP dan SMA nya, informan Aksa lebih banyak berinteraksi dengan bacaan
BDSM, seperti manga dan artikel internet. Interaksi ini membawa warna baru di
perjalanan Aksa karena Ia bisa mengetahui konsep BDSM di era modern itu
seperti apa. Berkat interaksi ini juga, Aksa bisa menyadari permainannya di
masa kecil rupanya memiliki kaitan dengan BDSM itu sendiri. Setelah melalui
waktu tersebut, informan Aksa kemudian dihadapkan dengan lingkungan
komunitas dan lingkungan rumah tangganya. Di titik ini, informan Aksa terlihat
begitu mengeksplor hal-hal kreatif baru yang tidak bisa Ia temukan di bacaan
atau tontonan. Mulai dari ilmu baru, dan juga pengalaman baru.

“Mungkin kalo mau aku jelasin prosesnya itu karena makin aku ngobrol
sama temen-temen komunitas itu aku juga jadi tau dan sadar banyak hal
juga gitu. Trus juga gobloknya aku dulu aku tuh gak bisa bahasa inggris
juga dulu. Trus dulu karena aku bener-bener pengen bgt belajar tentang
bdsm ini kan kebanyakan artikelnya bahasa inggris gitu atau bahasa
jepang jadi aku di situ baru beajar bahasa ingris. Dari situ ketika aku
udah mulai banyak baca dan interaksi juga sama komunitas luar negeri
juga aku mulai ngerti kriteria, deskripsi, alasan, dan peresaan orang yang
menjadi sub itu kayak gimana.”
(Aksa, Catatan Lapangan 29 Oktober 2020)

Interaksi-interaksi yang dialami kedua informan penelitian di masing-


masing lingkungannya sangat jelas menggambarkan suatu pola, yaitu di setiap
lingkungan baru yang mereka datangi, akan selalu ada hal baru dan respon baru
yang mereka dapatkan, dimana hal tersebut belum pernah mereka temukan di
riwayat kehidupan terdahulunya. Kemudian, terlihat jelas juga bahwa
walaupun dalam setiap lingkungan itu mereka dihadapkan dengan sesuatu yang
baru, kedua informan AB dan informan Aksa ini secara fleksibel bisa
mengikuti ritme lingkungan tersebut. Padahal, jika ingin ditarik ke belakang,
kedua informan ini tidak dibekali dengan pengalaman atau ilmu yang setara
dengan lingkungan baru tersebut. Pola ini menjadi keunikan dari manusia itu
sendiri, yang bisa menjadi sangat luwes dengan lingkungan baru karena
kemampuan adaptasi yang manusia punya. Kemampuan ini membuktikan
bahwa manusia ini sejujurnya bukanlah sesuatu yang monoton dan padat,
melainkan sesuatu yang lentur dan memiliki ruang untuk bergerak.
“Organisms respond to different environments by changing how they
act, look or function.When these responses improve the chances of
survival, we call them adaptive plasticity. But observing adaptive
plasticity does not prove that the response evolved because it improved
survival. Being plastic is only selected for if individuals experience
environmental variation, so that in slow changing environments
plasticity may be selected against”4
(Rago et. al., 2019)

Selain itu, kedua informan AB dan Aksa juga sama-sama pernah berada
dalam lingkungan yang mempunyai nilai bertentangan dengan desire mereka
terkait BDSM ini. Informan AB mendapatkannya dari lingkungan pertemanan
yang masih menganggap BDSM sebagai prilaku menyimpang. Sedangkan,
informan Aksa mendapat pertentangan dari Ibunya yang juga berpikir demikian.
Ketika menghadapi lingkungan tersebut, pola yang ditemui oleh kedua informan
penelitian yaitu mereka bertindak dengan memberi penjelasan dan pemahaman
terhadap orang-orang di lingkungan tersebut terkait konsepsi BDSM dari sudut
pandang mereka. Alih-alih takut dengan ujaran yang diberikan lingkungannya
tersebut, informan AB dan informan Aksa justru semakin berusaha untuk
meyakinkan mereka agar kedua informan dapat diterima di lingkungan tersebut.
Usaha yang dibangun informan AB dan informan Aksa ini merupakan bentuk
adaptive plasticity manusia yang dilakukan dengan cara mengatur bagaimana
mereka bertindak atau berperilaku (Rago A, 2019). Pada akhirnya, setelah
berusaha untuk adaptasi dengan lingkungan seperti itu, informan AB dan
informan Aksa bisa diterima oleh orang-orang di dalam lingkungan tersebut.
Karena pada hakikatnya, pengaruh itu bersifat tidak solid, tidak kaku, dan dapat
bergeser apabila terus ditekan oleh manusia.

“to the ways in which power itself is shifting and contingent—less a solid,
stable entity than a product of manipulation, sys-tematic falsehood, and
ongoing struggle, and constantly punctured and put to flight by people’s
becomings.”5
(Biehl and Locke, 2017)

4
Rago A, Kouvaris K, Uller T, Watson R (2019) How adaptive plasticity evolves when selected against. PLoS
Comput Biol 15(3): e1006260. https://doi.org/10.1371/journal. pcbi.1006260
5
Biehl and Locke, Unifinished The Anthropology of Becoming, Duke University Press, Durham & London,2017,
6 https://www.dukeupress.edu/Assets/PubMaterials/978-0-8223-6945-5_601.pdf
Seperti yang dijelaskan pada bagian sebelumnya, interaksi manusia
dengan non-manusia ini mampu menciptakan kreativitas karena manusia bisa
menghasilkan terobosan yang unik, dimana belum pernah di temukan di waktu
sebelumnya. Manusia yang berinteraksi dengan lingkungannya ini memiliki
sifat plastis atau lentur yang berarti mereka bisa beradaptasi dengan
bermacam-macam sistem atau lingkungan yang terbentuk dari manusia itu
sendiri, benda-benda, dan juga kekuatan. Selama proses penyesuaian dengan
lingkungan yang beragam ini, manusia memunculkan sesuatu yang baru,
dimana hal tersebut bertentangan dengan kondisi sistem sebelumnya. Cara
manusia beradaptasi dengan lingkungan atau sistem yang bervariasi ini ialah
dengan mengatur bagaimana mereka berperilaku, bagaimana penampilan
mereka, dan bagaimana mereka menempatkan perannya. Dengan cara
tersebut, manusia bisa bertahan dengan variasi lingkungan yang dihadapinya
(Biehl & Locke, 2017)

4.2.2 Waktu, Ruang, dan Hasrat: Mendorong atau Membatasi Gerakan


Waktu dalam kajian etnografi menekankan bahwa mereka berjalan
sangat dinamis dan tidak kaku. Arti dari penekanan ini adalah jika suatu
fenomena, baik yang telah berlalu ataupun yang sedang terjadi saat ini yang
berada dalam waktu dipandang sebagai suatu ketidakpastian yang bisa
berubah dan memunculkan cerita baru setiap saat. Ruang sendiri diartikan
sebagai suatu keadaan atau peristiwa yang mengenai tokoh atau subjek dalam
suatu fenomena. Ruang ini memungkinkan manusia untuk lebih terbatas atau
lebih terdorong pergerakannya. Dengan kata lain, keadaan yang dialami
manusia dalam hidupnya itu akan menuju ke arah entah pembatasan atau
dorongan untuk menambah pengalaman mereka sendiri. Terakhir, Hasrat
disini berarti keinginan atau kemauan dari dalam diri manusia. Jika banyak
pendekatan yang mengartikan hasrat dengan konotasi negatif, maka Deleuze
melihatnya sebagai salah satu proses kreatif manusia, dimana manusia bisa
menyerap nilai-nilai dalam kehidupan secara tidak sadar. Ketiga dimensi ini,
baik waktu, ruang, dan hasrat merupakan implikasi dari konsep becomings
Deleuze (Biehl & Locke, 2017, pp. 5-6).

Jika kita analisis studi kasus fenomena BDSM yang dialami informan
AB dan informan Aksa ini, peristiwa-peristiwa panjang yang mereka lewati
saat pertama kali mengenal istilah BDSM lewat bacaan komiknya hingga
kepada pencapaian identitas mereka sekarang itu terdapat perubahan yang
tidak pernah ditebak sebelumnya. Dari satu garis waktu di masa lalu ke garis
waktu di masa sekarang itu, informan AB dan informan Aksa tidak pernah
menebak akan melewati peristiwa-peristiwa seperti sekarang. Hal ini
dikarenakan waktu berjalan secara dinamis dan penuh dengan ketidakpastian
tentang apa yang akan terjadi pada manusia itu di garis waktu mendatang.
Sebut saja informan AB tidak pernah menebak dirinya akan mempunyai hobi
dan preferensi seksual BDSM saat ia menjalani masa kanak-kanaknya.
Perubahan terjadi saat ia berada di waktu SMP tanpa pernah memastikan di
waktu tersebut lah dia akan mulai tertarik dengan tontonan bernuansa BDSM.
Begitu pula yang terjadi pada informan Aksa yang tidak pernah menebak
tentang peristiwa yang dia alami saat ini karena waktu berjalan dengan penuh
ketidakpastian. Informan Aksa tidak pernah membayangkan sebelumnya
bahwa masa kecilnya yang suka memainkan lilin dan tidak takut dengan
suntik itu ternyata memiliki kaitan dengan masokisme dalam BDSM sampai
dia akhirnya tiba di garis waktu SMP nya yang membaca buku mitologi
Yunani itu.

Ide-ide dan berbagai konsep bagi Deleuze adalah berada dalam


dunia virtual, yang akan dapat dipahami apabila telah muncul pada
dimensi actual. Hubungan dari yang virtual dengan yang actual
adalah suatu asas perbedaan, dimana pengaktualisasian yang virtual
adalah suatu bentuk proses pembedaan (diferensiasi)6.
(Deleuze dalam Suryosumunar, 2019:55)

Dimensi kedua ialah ruang. Dimensi ini menentukan manusia apakah


mereka dapat menambah pengalamannya atau justru menghambat
pengalamannya. Dimensi ini mempengaruhi subjek yang mengalami
fenomena, tidak lain ialah manusia itu sendiri. Ruang itu tidak stagnan dan
kaku, melainkan dipenuhi oleh keinginan, pengaruh, dan hasrat. Keinginginan,
pengaruh, dan hasrat ini ada yang mendorong manusia untuk menambah
pengalamannya, dan ada juga yang menghambar manusia untuk mencoba
pengalaman baru (Biehl & Locke, 2017, p. 6). Dalam studi kasus informan AB
dan informan Aksa, kehidupan mereka juga tidak terlepas dari keinginan,
6
John Abraham Ziswan Suryosumunar, Perspektif Gilles Deleuze terhadap Proses Imitasi dalam Masyarakat
Konsumeris Di Era Revolusi Industri 4.0, WASKITA, 2019, 55.
pengaruh, dan juga hasrat atau desire. Keputusan kedua informan AB dan
informan Aksa untuk terjun ke dunia BDSM itu merupakan bentuk desire itu.
Hasrat yang timbul dari dalam diri mereka mengarahkan mereka untuk
penasaran, mencari tahu, mencoba-coba, memahami, hingga akhirnya terlibat
aktif dalam suatu pengalaman baru yaitu BDSM.

“Desire is not conscious and rational, but consists partly of the


subconscious.”7

(Cameron and Kulick (2003) dalam Carlstom (2018:407))

Dalam cerita informan AB, desire itu ditunjukan ketika ia mulai tertarik
dengan dunia BDSM dan mulai mengasosiasikannya ke dalam hubungan
seksual. Muncul hasrat di benar informan AB untuk memberi barang-barang
BDSM untuk sekadar mengoleksi dan mempelajarinya. Hasrat ini tidak pernah
direncanakan oleh informan AB sebelumnya. Hasrat itu muncul secara tidak
sadar dalam pikiran informan AB. Karena Ia merasa hasrat tersebut rasional,
maka Ia membelinya. Sama seperti yang dikemukakan Cameron dan Kulick
(2003) dalam Carlstorm (2018) bahwa desire atau hasrat itu muncul secara
tidak sadar dan rasional di pikiran manusia. Artinya, seorang subjek tidak
pernah berencana untuk memiliki hasrat tertentu di waktu tertentu pula. Semua
itu datang secara tiba-tiba dan di bawah alam sadar subjek itu sendiri. Sama
halnya dengan informan Aksa ketika memiliki hasrat untuk mencari komunitas
BDSM yang ada di Indonesia agar ia memiliki tempat untuk belajar dan
berbagi cerita. Hasrat itu muncul di luar kesadaran informan Aksa dan juga
tidak pernah direncanakan sebelumnya.

“Trus dulu karena aku bener-bener pengen bgt belajar tentang bdsm
ini kan kebanyakan artikelnya bahasa inggris gitu atau bahasa jepang
jadi aku di situ baru beajar bahasa ingris. Dari situ ketika aku udah
mulai banyak baca dan interaksi juga sama komunitas luar negeri
juga aku mulai ngerti kriteria, deskripsi, alasan, dan peresaan orang
yang menjadi sub itu kayak gimana.”
(Aksa, Catatan Lapangan 29 Oktober 2020)

7
Charlotta Carlström (2018) BDSM, becoming and the flows of desire, Culture, Health, and Sexuality, 407
Cerita kedua informan ini menunjukan suatu pola yang sama yaitu
informan sebagai subjek suatu fenomena itu dipengaruhi oleh hasrat yang
muncul secara tidak sadar dan di luar kendali mereka yang mampu menambah
pengalaman baru kedua informan dalam fenomena BDSM. Pola ini sejalan
dengan konsep becoming Deleuze yang merumuskan dimensi ruang sebagai
dimensi yang mendorong manusia untuk menambah pengalaman hidupnya.
Pengalaman hidup ini akan terus bertambah selama pengaruh-pengaruh
dimensi ruang itu tetap menimpa manusia sebagai subjek fenomena. Pengaruh
seperti desire ini tidak dimaknai sebagai sesuatu yang kurang dari diri manusia,
namun lebih diartikan sebagai bentuk kreativitas alami yang dimiliki manusia
itu sendiri.

4.2.3 Ketidakpastian Masa Depan


Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya pada bagian dimensi waktu
bahwasanya waktu itu berjalan dengan dinamis. Artinya, waktu itu tidak kaku
dan stagnan pada satu peristiwa tertentu di garis waktu yang sama. Melainkan,
waktu itu terus berjalan dengan ketidakpastiannya tentang apa yang akan
terjadi di garis waktu selanjutnya. Indikator pertama yang harus diperhatikan
dalam waktu yang dinamis ini adalah manusia akan dihadapkan pada moment
of surprise, contohnya terjadi pada informan AB dan informan Aksa yang
menghadapi moment of surprise setiap mendapatkan pengalaman baru yang
berbeda dari pengalaman-pengalaman sebelumnya. Indikator lain dari waktu
yang dinamis itu bahwasanya setiap momen yang dilewati manusia itu
merupakan hasil keterkaitan antara lingkungan, kehidupan sosial, dan biologis.

“Trus misalnya di suntik nih, aku ngeliat temen aku tuh takut banget
ampe nangis sedangkan aku malah suka rasanya di suntik. Nah di situ
tuh kan aku belum tau kan itu namanya apa atau hal itu tuh bakal
ngedorong aku ke mana. Nah dari buku itu aku mulai kenal istilah itu
dan cari tau terus”
(Aksa, Catatan Lapangan 29 Oktober 2021)

Terkait momen yang telah diceritakan kedua informan AB dan Aksa,


peneliti dengan yakin mengatakan bahwa semua perjalanan kedua informan
dalam dunia BDSM ini merupakan moment of surprise. Peneliti
mempertimbangkan alasan bahwasanya, baik AB dan Aksa, tidak pernah
memastikan dan menjamin tentang pengalaman masa depan yang akan mereka
hadapi kelak. Seperti yang muncul dalam kutipan diatas tentang informan
Aksa yang tidak pernah tahu dan menyangka kalau kegemaran masa kecilnya
bermain lilin itu ternyata mendorong diri Aksa ke dalam BDSM itu sendiri.
Dari kutipan tersebut kita dapat menyimpulkan kalau semuanya penuh dengan
ketidakpastian dan ini menjadi daya tarik sendiri bagi pendekatan antropologi.
Waktu yang dinamis ini memungkinkan peneliti untuk terus mengembangkan
teorinya.

4.3 Keterkaitan antara Lingkungan, Biologis, dan Kehidupan Sosial


Sempat disinggung juga pada bagian sebelumnya bahwa moment of surprise ini
merupakan hasil keterkaitan antara lingkungan, biologis, dan kehidupan sosial. Unsur-
unsur ini disebut sebagai figure of surprise yang tidak diketahui sebelumnya, tidak dapat
diprediksi, dan dapat mempengaruhi pemikiran manusia. Figure of surprise ini
mencakup pelaku-pelaku dari kehidupan, misalnya sahabat, masyarakat, orang tua,
komunitas, lingkungan pendidikan, dan sebagainya. Pelaku-pelaku ini dapat
mempengaruhi pemikiran dan perilaku manusia lainnya terkait pengalaman yang akan
muncul di masa depan.

“Keterkaitan antara waktu dengan peristiwa atau pengalaman itu


meliputi empat hal yaitu perkembangan, kesinambungan, pengulangan,
dan perubahan”8
(Ningrum 2007: 9)

Dalam studi kasus informan AB dan informan Aksa inipun pengalamannya


sedikit banyak mendapat pengaruh dari orang tua, pasangan, partner, teman
sepermainan, anggota komunitas, dan lingkungan pendidikannya. Sebut saja informan
Aksa yang sebelum sampai ke pengalaman BDSM nya, ia banyak dipengaruhi oleh
anggota komunitas jejepangannya dalam hal cosplay. Karena dipengaruhi dan didukung
oleh komunitasnya ini, akhirnya Aksa semakin nyaman dan berani untuk
mengekspresikan dirinya karena merasa diterima oleh mereka. Semakin banyak
pengetahuan dan pengalaman informan Aksa tentang cosplay, maka hal itu dapat
mengantarkan Aksa kepada pengalaman BDSM yang juga melibatkan cosplay dalam
praktiknya.

8
Luluk Masruroh (2020) KEHIDUPAN MANUSIA DALAM RUANG DAN WAKTU, hal. 9, diakses pada 8
Oktober 2021 http://repositori.kemdikbud.go.id/21747/1/X_Sejarah_KD-3.1_Final.pdf
“Ya karena berawal dari suka culture jepang jadi tau culturenya gimana dan
lebih digging apa yang aku suka apa yang enggak. Plus ada dukungan circle
juga karena kayak circle jejepangan tuh lebih bisa nerima orang-orang yang
aneh. Soalnya dari dulu juga kayak selalu dianggep aneh sama orang yang di
luar jejepangan, jadi kalo misal ada yang aneh di dalem circle sekalipun kita
udah yang gk kaget karena ya udah aja gitu.”
(Aksa, Catatan Lapangan 29 Oktober 2020)

Sama halnya dengan informan AB yang mengatakan bahwa kecenderungannya


dalam memilih spektrum D/s dan berperan sebagai dominannya itu dipengaruhi oleh
perannya dalam kehidupan sosial dan lingkup pertemanannya yang sering menjadi
negosiator atau mediator. Pengaruh ini mendorong informan AB ke dalam
pengalamannya sebagai dominan. Perannya sebagai negosiator ini tidak pernah
direncanakan atau dibayangkan sama sekali oleh informan AB bisa membawa dia ke
dalam pengalaman sebagai dominan ini. Ia baru menyadari ketika sudah berada pada
pengalaman atau momen itu bahwasanya dominan dalam BDSM itu adalah tentang
cara praktisi bargaining with partner agar mereka menurut dengan apa yang dominan
katakan. Dari sini terlihat pola yang sama antar kedua informan bahwasanya
pengalaman BDSM yang mereka jalani adalah sebuah fenomena sosial yang memiliki
waktu sangat dinamis. Waktu dinamis ini merujuk kepada moment of surprise yang
merupakan kaitan antara lingkungan, kehidupan sosial, dan biologis manusia.
DAFTAR PUSTAKA

Biehl and Locke


2017 “Unifinished The Anthropology of Becoming, Duke University Press,
Durham & London, Hal. 6” Diakses kembali pada
https://www.dukeupress.edu/Assets/PubMaterials/978-0-8223-6945-
5_601.pdf

Carlström, C.
2018 “BDSM, becoming and the flows of desire. Culture, Health & Sexuality: An
International Journal for Research, Intervention and Care, Hal. 408.”
Huang T.H
2009 “Anthropomorpism or Becoming-animal? Ka-shiang Liu’s Hill of Stray Dogs
as a Case in Point, Journal of Global Cultural Studies, Hal. 4” diambil
kembali dari https://journals.openedition.org/transtexts/279?file=1
Masruroh Luluk
2020 KEHIDUPAN MANUSIA DALAM RUANG DAN WAKTU, hal. 9,
diakses pada 8 Oktober 2021
http://repositori.kemdikbud.go.id/21747/1/X_Sejarah_KD-3.1_Final.pdf
Ortner
2015 “Subjectivity and Cultural Critique”, diakses kembali pada
https://www.researchgate.net/publication/228344709_Subjectivity_and_Cult
ural_Critique
Rago A, et. al.
2019 “How adaptive plasticity evolves when selected against. PLoS Comput Biol
15(3): e1006260” Diakses kembali pada https://doi.org/10.1371/journal.
pcbi.1006260

Suryosumunar, J.AZ

2019 “Perspektif Gilles Deleuze terhadap Proses Imitasi dalam Masyarakat


Konsumeris di Era Revolusi Industri 4.0”, Hal 46.” Diambil kembali dari
https://waskita.ub.ac.id/index.php/waskita/article/view/82

Anda mungkin juga menyukai