dalam keluarga atau rumah tangga tidak bisa dilepaskan dari adanya
privat. Serta sudah menjadi keharusan istri untuk menutup aib suaminya1.
simbolik yang membuatnya selalu pasrah dengan apa yang dilakukan suami
Tokoh sentral dalam gagasan teori ini adalah Pierre Bourdieu2 seorang
masyarakat, yaitu kekuasaan sebagai budaya dan simbolis dibuat, dan terus-
1
Ita Musarrofa, “Mekanisme Kekerasan terhadap Perempuan dalam Rumah Tangga
Perspektif Teori Kekerasan Simbolik Pierre Bourdieu” Asy-Syir’ah, Vol.49 No.2.
Desember 2015, hal. 459.
2
Pierre Bourdieu lahir pada 1 Agustus 1930 di Denguin, Prancis. Ia meninggal pada
23 Januari 2002 di Paris, Prancis (Wikipedia Indonesia). Ia dikenal sebagai seorang
intelektual publik yang lahir dari pengaruh pemikiran Emile Zola dan Jean-Paul Sartre.
Konsep-konsep yang ia kembangkan amat berpengaruh di dalam analisis-analisis sosial
maupun filsafat di abad 21. Sebelum meninggal, ia mengajar di lycée di Moulins (1955–58),
University of Algiers (1958–60), University of Paris (1960–64), École des Hautes Études en
Sciences Sociales (dari 1964), dan Collège de France (1982)
menerus kembali dilegitimasi melalui interaksi agen dan struktur. Cara
utama ini terjadi adalah melalui apa yang disebutnya “habitus” atau norma
bukan individu yang mengarah ke pola yang abadi dan ditransfer dari satu
dengan konteks tertentu dan dari waktu ke waktu. Habitus tidak tetap atau
permanen, dan dapat berubah di bawah situasi yang tak terduga atau selama
hasil dari kehendak bebas, atau ditentukan oleh struktur, tapi diciptakan oleh
peristiwa masa lalu dan struktur, dan bentuk praktik dan struktur saat ini dan
3
Navano,2006. Hal :16 diakses dari http://www.powercube.net/other-forms-of-
power/bourdieu-and-habitus/ tanggal 02 April 2015.
4
Ibid. hal : 16. Diakses dari
http://www.powercube.net/other-forms-of-power/bourdieu-and-habitus/ tanggal 24 April
2013.
juga, penting, bahwa kondisi yang sangat persepsi kita ini5. Dalam pengertian
rumah tangga, yaitu modal ekonomi, budaya, sosial dan modal simbolik.
Kekerasan yang bekerja pada level pengetahuan ini, tidak akan membuat
5
Bourdieu, Pierre. 1996. Distinction : a social critique of the judgement of taste.
Cetakan ke-8, translated by Richard Nice. Cambridge. Harvard University Press.
tangga. Sebaliknya, perempuan akan menerima dan menganggap kekerasan
perempuan selalu menjadi subordinat dari laki – laki dalam berbagai hal.
perempuan diluar baik dalam berbagai ranah seperti politik, bisnis, hukum,
menjadi istri rumah tangga, laki-laki yang menjadi pemimpin keluarga. Ini
arena politik.
kapital budaya (latar belakang dan jaringan). Kapital bisa diperoleh, jika
orang memiliki habitus yang tepat dalam hidupnya 6 Dimensi modal disini
beragam, mungkin itu modal sosial, modal budaya, maupun modal ekonomi.
6
Wattimena, Reza AA. 2012. Berpikir Kritis bersama Pierre Bourdieu. (online).
(diakses dari http://rumahfilsafat.com/2012/04/14/sosiologi-kritis-dan-sosiologi-reflektif-
pemikiran-pierre-bourdieu/ tanggal 24 April 2013).
Kekerasan simbolik pada dasarnya adalah pemaksaan kategori-kategori
kemudian menganggap tatanan sosial itu sebagai sesuatu yang “adil”, ini
kemudian memandang posisi pihak yang dominant ini sebagai yang “benar”.
pemahaman kita akan peran bahasa sebagai sistem simbol. Selain berperan
perasaan antar manusia, bahasa memiliki peran laten yang seringkali tidak
kekerasan simbolik8.
simbolisme dan makna terhadap suatu kelompok atau kelas dengan suatu
7
Pierre Bourdieu, Language and Symbolic Power (Cambridge: Polity Press, 1991),
hlm. 165
Pierre Bourdieu, Masculine Domination (Stanford Calif: Stanford University
8
proses di mana relasi kuasa dirasakan tidak untuk apa adanya secara
objektif, tetapi dalam bentuk yang membuat relasi kuasa itu legitimeted di
tampak, bekerja secara halus, tidak dapat dikenali, dan dipilih secara ‗tidak
mengontrol pelaku sosial yang lain dalam rangka menciptakan dunia yang
10
Richard Jenkins, Pierre Bourdieu (London dan New York: Routledge,
1992),hlm. 66.
11
Ibid., hlm. 38-39
diinginkan. Dengan memiliki kekuasaan simbolik, pelaku sosial memiliki
12
Ibid.
13
1)Kekerasan simbolik tidak merujuk pada kekerasan fisik, 2)Kekerasan simbolik
merupakan konsekuensi logis dari arena kuasa simbol yang menjadi dasar relasi sosial
saat ini, 3)Modal yang paling utama adalah modal simbolik, 4)Simbol bisa menjadi
instrumen kekerasan dalam relasi sosial, 5) Subjek adalah sosok yang mengalami
kecemasan eksistensial dan membanggakan apa yang dimiliki menjelaskan apa yang ia
takuti untuk kehilangan, 6)Arena adalah logika bagaimana kita bersosial hanya untuk
menegaskan kuasa kita atas orang lain, 7)Ketika kita merasakan kenikmatan dalam
memamerkan sesuatu disana kekerasan simbolik itu terjadi.
B. Teori Konflik Dan Kekerasan (Ralf Dahrendrof, 1929-2009)
Oleh karena itu, konflik dalam keluarga merupakan suatu keniscayaan. Konflik di
dalam keluarga dapat terjadi karena adanya perilaku oposisi atau ketidaksetujuan
konflik orang tua-anak dan konflik pasangan. Walaupun demikian, jenis konflik
yang lain juga dapat muncul, misalnya menantu-mertua, atau dengan saudara ipar.
Penulis tertarik membahas masalah sosiologi tentang konflik yang terjadi dalam
struktur dan institusi sosial. Komunikasi sesama pasangan suami istri itu sangatlah
penting karena dari situlah akan menciptakan sebuah keluarga yang utuh dan
harmonis. Konflik yang intens dan berlanjut antarpasangan suami istri yang dipicu
oleh berbagai hal sering membuat pasangan tersebut memilih jalan pintas untuk
hubungan yang sangat dekat atau memiliki intensitas yang sangat tinggi.
tingkat tertinggi dalam hal kelekatan, afeksi, maupun komitmen. Ketika masalah
yang serius muncul dalam sifat hubungan yang demikian, perasaan posesif yang
14
George, Ritzer, Teori Sosiologi Dari Teori Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan
Mutakhir Teori Sosial Postmodern (Bantul: Kreasi Wacana Offset, 2014), hal. 214.
selama ini dibangun secara mendalam dapat berubah menjadi perasaan negatif
pengkhianatan.
Orangtua akan selalu menjadi orangtua, demikian juga saudara. Tidak ada istilah
mantan orangtua atau mantan saudara. Oleh karena itu, dampak yang dirasakan
dari konflik keluarga sering kali bersifat jangka panjang. Bahkan seandainya
pergi dari rumah, sisa-sisa dampak psikologis dari konflik tetap membekas15.
Oleh karena sifat konflik normatif, artinya tidak bisa dielakkan, maka
15
George, Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda (Jakarta: Rajawali
Pers, 2014), hal. 142.
Konflik selalu ada di tempat kehidupan yang bersama, bahkan dalam
hubungan yang sempurna sekalipun konflik tidak dapat dapat dielakkan dan
lingkup rumah tangga semakin hari semakin kompleks dan pasangan suami istri
dituntut untuk menghadapi kondisi tersebut dengan segenap upaya yang bisa
dikerahkan oleh kedua belah pihak. Konflik yang timbul dari upaya penyelesaian
komunikasi dengan anak, terkait juga dengan pola asuh dan proses internalisasi
Setiap ikatan perkawinan dan rumah tangga yang dibangun oleh pasangan
suami istri akan senantiasa dihadapkan dengan problematika tertentu yang secara
langsung akan menimbulkan konflik, maka demikian pula halnya dengan suami-
istri yang tinggal bersama atau suami-istri yang tinggal terpisah dalam menjalani
rumah tangga?
16
Eva Meizara Puspita Dewi, “Konflik Perkawinan dan Model Penyelesaian Konflik
Pada Pasangan Suami Istri” Jurnal psikologi keluarga, Universitas Negeri Makassar, April 2016,
hal. 35.
17
Sindung Haryanto, Spektrum Teori Sosial dari Klasik Hingga Postmodern (Jogjakarta:
Ar-ruzz Media, 2012), hal. 149.
Fenomena pernikahan beda suku sebagai salah satu bentuk perubahan,
beragam juga semakin besar. Tidak dapat dipungkiri, hal ini juga memperbesar
salah satu bentuk interaksi antara manusia yang sifatnya paling intim dan setiap
Pada dasarnya, teori ini tidak lebih dari sekedar serangkaian pertanyaan
Bagi para fungsionalis, keluarga adalah sesuatu yang statis, atau paling-paling,
dalam kondisi ekuilibilium yang terus bergerak, namun bagi Dahrendorf dan para
teoritisi konflik, setiap keluarga tunduk pada proses-proses perubahan. Kalau para
Namun, karena kondisi yang ada tidak pernah ideal, maka berbagai faktor turut
mencampuri proses ini. Teori ini dimana manusia adalah makhluk sosial yang
mempunyai andil dalam terjadinya disintegrasi dan perubahan sosial. Ia
menyebutkan otoritas tidak terletak dalam individu tapi dalam posisi. Sumber
keluarga tidak semata-mata menunjukkan fungsi negatifnya saja, tetapi dapat pula
suatu kelompok atau sistem. Kalangan konflik teori mengakui bahwa kesatuan
kebiasan-kebiasaan.
dan posisi tertentu dan peranan, tetapi juga posisi-posisi dalam keluarga yang
Hal ini dapat ditemukan pada negara sebagai keluarga yang terorganisasi secara
Aspek terakhir teori Dahrendrof adalah mata rantai antara konflik dan
tindakan untuk mengadakan perubahan dalam struktur sosial. Kalau konflik itu
terjadi secara hebat maka perubahan yang timbul akan bersifat radikal. Begitu
pula kalau konflik itu disertai oleh penggunaan kekerasan maka perubahan
yang memang ada dalam keluarga di samping konflik itu sendiri. Keluarga selalu
keluarga yang tidak terkelola dengan efektif akan menjadi gejala atau faktor yang
keseluruhan.
berikut:
Individu yang menganggap konflik sebagai hal yang negatif akan cenderung
Individu yang demikian biasanya sering gagal mengenai pokok masalah yang
18
I.B Wirawan, Teori-Teori Sosial Dalam Tiga Paradigma (Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2012), hal. 41.
menjadi sumber konflik, karena perhatiannya sudah berfokus pada konflik sebagai
problem.
2. Perasaan marah
marah sebenarnya juga merupakan hal yang alamiah dirasakan individu yang
konflik, misalnya marah, sedih, takut, sering kali individu memilih mengabaikan
masalah yang menjadi sumber konflik. Harapannya adalah masalah tersebut akan
sangat penting karena dari situlah akan menciptakan sebuah keluarga yang utuh
dan harmonis. Konflik yang rumit dan berlanjut. Sering membuat pasangan
kekerasan dalam keluarga atau rumah tangga dapat menimbulkan kebencian yang
sangat dalam.
penguasaan diri yakni ketika salah satu pihak berupaya memaksakan kehendaknya
baik dilakukan secara fisik maupun psikis. Kemudian, Penyerahan yaitu ketika
salah satu pihak secara sepihak menyerahkan kemenangan pada pihak lain,
pengacuhan ketika salah satu pihak tidak melakukan apa-apa sehingga cenderung
membiarkan terjadinya konflik. penarikan ketika salah satu pihak menarik diri
Dari berbagai cara tersebut hanya negoisasi dan pelibatan penengah yang
Kekuasaan merupakan satu dimensi dari relasi. Dimana ada relasi, disana
pengetahuan selalu punya efek kuasa. Hal ini berarti, di dalam suatu relasi antar
individu maka pengetahuan akan dirinya dan orang lain di saat bersamaan dapat
menciptakan kekuasaan.
ekonomi yang menimbulkan kekuasaan pada satu pihak terhadap pihak lainnya
dalam konteks relasi antar gender sehingga merugikan pihak yang memiliki posisi
lebih rendah.
kelompok.
tubuh manusia yang berakar pada rezim kekuasaan dan politik terhadap
agregasi relasi sosial yang dia sebut sebagai apparatus of sexuality yang secara
sosial dan historis sangat spesifik21 namun sejarah yang dimaksudkan Foucault
bukan sekedar kajian cermat tentang berbagai peristiwa, melainkan juga suatu
silsilah, nalar, kebenaran dan pengetahuan. Sejarah dibangun diatas satu episteme,
yaitu himpunan berbagai kaidah yang melandasi dan mengatur produksi wacana
pada suatu masa tertentu22. Secara ringkas menurut Foucault, pengetahuan tentang
kekuasaan. Ini bertolak belakang dengan gagasan klasik tentang kekuasaan yang
lebih menekankan pada aspek fisik represif. Berikut bagan teori kekerasan Michel
Foucault.
terbawah). Sehingga semua yang dia lakukan harus sesuai dengan apa yang
diperintahkan dan diajarkan oleh orang dewasa/orangtua dalam keluarga.
Ketika anak melakukan sesuatu yang diluar aturan orang dewasa tersebut, maka
semacam ini semakin sering terjadi pada masyarakat yang penuh kekerasan
daripada masyarakat yang damai. Relasi tidak setara yang mendukung dominasi
memperkuat dominasi patriarki dan misoginis adalah contohnya25. Teori ini juga
melahirkan teori lain yang menyatakan bahwa pornografi dan tayangan kekerasan
Sebagai gejala sosial budaya, tindak kekerasan terhadap anak tidak muncul
begitu saja dalam situasi yang kosong atau netral. Ada kondisi budaya tertentu
dalam masyarakat, yakni berbagai pandangan, nilai dan norma sosial, yang seolah
anak tersebut. Hal inilah yang dimaksud dengan latar belakang budaya terjadinya
memepelajari apa yag dimaksud fakta sosial (fait social). Menurut Durkheim
24
Sandhi Praditama, “Kekerasan Terhadap Anak Dalam Keluarga Perspektif Fakta Sosial”,
(Skripsi tidak diterbitkan, Jurusan Pendidikan Sosiologi Antropologi Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan, Universitas Sebelas Maret, Surakarta 1984), 45.
25
Sana Loue, Intimate Partner Violence: Societal, Medical, Legal and Individual
Responses. NewYork:KluwerAcademic/PleniumPublishers, 2001.
http://wost201h_domviol.tripod.com/groupactionproject/id4.html diunduh pada 1 Mei 2019.
26
Hastaning Sakti dan Ganjar Triana Budi Kusuma, Antara Dua Sisi, Sebuah Kajian
Psikolog tentang Bahaya Free Sex dan Video Porno, (Yogyakarta: Sahabat Setia, 2006), 89.
fakta sosial merupakan cara bertindak, berpikir, dan berperasaan, yang berada di
luar inidividu, dan mempunyai kekuatan memaksa yang mengendalikannya 27. Ada
tiga karakteristik fakta sosial, yaitu : 1) bersifat eksternal, bahwa cara bertindak,
berpikir, dan berperasaan yang memperlihatkan sifat patut dilihat sebagai sesuatu
oleh berbagai tipe fakta sosial dalam lingkungan sosialnya. Tipe fakta sosial ini
sendiri. 3) bersifat umum dan tersebar, dengan kata lain, fakta sosial itu
bersifat kolektif, dan pengaruhnya terhadap individu merupakan hasil dari sifat
kolektifnya.
selalu menempatkan anak hanya sebagai objek bagi orang dewasa, dan bahkan
seoarang anak berani membantah atau bahkan melawan orangtua, selain dicap
anaknya secara kasar, memaki atau bahkan memukul dengan harapan anak akan
jera dan kembali ke sikapnya sebagai anak yang patuh. Anak-anak yang menjadi
korban tindak kekerasan dan perlakuan kasar dari orangtua atau orang dewasa
lainnya hanya akan bersikap pasrah dan tidak mampu untuk berbuat apa-apa.
27
Bagong Suyanto, Masalah Sosial Anak, (Jakarta: Kencana, 2010), hlm 9.
Seorang anak yag dipukul orangtuanya, pasti tidak berani melawan.
anak-anak28.
yang tidak seimbang antara mereka dengan orang dewasa atau orangtua di
sekelilingnya.
merugikan. Inilah realita yang terjadi di dalam keluarga dan masyarakat saat ini,
dan ini pula gambaran nyata kondisi kultural yang menyebabkan kekerasan
terhadap anak akan terjadi kapanpun dan dimanapun selama pemahan kutural
tersebut terus berkembang dan hidup dalam masyarakat. Berikut bagan teori fakta
28
Sumjati, Manusia dan Dinamika Budaya, (Yogyakarta: Fakultas Sastra UGM, 2001), hlm
45.