Anda di halaman 1dari 23

Terdapat beberapa teori kekerasan, yang berparadigma sosial dan

kultural, diantaranya sebagai berikut:

A. Teori Kekerasan Simbolik (Pierre Bourdieu 1930-2002)

Terjadinya berbagai bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak

dalam keluarga atau rumah tangga tidak bisa dilepaskan dari adanya

kekerasan simbolik, yang menjadi dasar bagi terbentuknya jenis-jenis

kekerasan lain seperti kekerasan fisik, psikis, ekonomi, dan seksual.

Penyebab tidak teridentifikasinya kasus KDRT, adalah faktor

keengganan korban untuk melaporkan tindak kekerasan yang dialaminya

dalam rumah tangga atau keluarga, karena perempuan atau anak

menganggap urusan rumah tangga adalah wilayah domestik yang bersifat

privat. Serta sudah menjadi keharusan istri untuk menutup aib suaminya1.

Pengetahuan perempuan dan anak seperti ini termasuk kekerasan

simbolik yang membuatnya selalu pasrah dengan apa yang dilakukan suami

atau orangtua terhadapnya

Tokoh sentral dalam gagasan teori ini adalah Pierre Bourdieu2 seorang

sosiolog asal Perancis, ia memandang kekuasaan dalam konteks teori

masyarakat, yaitu kekuasaan sebagai budaya dan simbolis dibuat, dan terus-
1
Ita Musarrofa, “Mekanisme Kekerasan terhadap Perempuan dalam Rumah Tangga
Perspektif Teori Kekerasan Simbolik Pierre Bourdieu” Asy-Syir’ah, Vol.49 No.2.
Desember 2015, hal. 459.
2
Pierre Bourdieu lahir pada 1 Agustus 1930 di Denguin, Prancis. Ia meninggal pada
23 Januari 2002 di Paris, Prancis (Wikipedia Indonesia). Ia dikenal sebagai seorang
intelektual publik yang lahir dari pengaruh pemikiran Emile Zola dan Jean-Paul Sartre.
Konsep-konsep yang ia kembangkan amat berpengaruh di dalam analisis-analisis sosial
maupun filsafat di abad 21. Sebelum meninggal, ia mengajar di lycée di Moulins (1955–58),
University of Algiers (1958–60), University of Paris (1960–64), École des Hautes Études en
Sciences Sociales (dari 1964), dan Collège de France (1982)
menerus kembali dilegitimasi melalui interaksi agen dan struktur. Cara

utama ini terjadi adalah melalui apa yang disebutnya “habitus” atau norma

disosialisasikan atau kecenderungan bahwa perilaku panduan dan berpikir.

Habitus adalah kebiasaan masyarakat yang melekat pada diri seseorang

dalam bentuk disposisi abadi, atau kapasitas terlatih dan kecenderungan

terstruktur untuk berpikir, merasa dan bertindak dengan cara determinan,

yang kemudian membimbing mereka3. Jadi Habitus tumbuh dalam

masyarakat secara alami melalui proses sosial yang sangat panjang,

terinternalisasi dan terakulturasi dalam diri masyarakat menjadi kebiasaan

yang terstruktur secara sendirinya. Habitus dibuat melalui proses sosial,

bukan individu yang mengarah ke pola yang abadi dan ditransfer dari satu

konteks ke konteks lainnya, tetapi yang juga bergeser dalam kaitannya

dengan konteks tertentu dan dari waktu ke waktu. Habitus tidak tetap atau

permanen, dan dapat berubah di bawah situasi yang tak terduga atau selama

periode sejarah panjang4.

Bourdieu dalam bukunya juga mengatakan bahwa Habitus bukanlah

hasil dari kehendak bebas, atau ditentukan oleh struktur, tapi diciptakan oleh

semacam interaksi antar waktu: disposisi yang keduanya dibentuk oleh

peristiwa masa lalu dan struktur, dan bentuk praktik dan struktur saat ini dan

3
Navano,2006. Hal :16 diakses dari http://www.powercube.net/other-forms-of-
power/bourdieu-and-habitus/  tanggal 02 April 2015.
4
Ibid. hal : 16. Diakses dari
http://www.powercube.net/other-forms-of-power/bourdieu-and-habitus/  tanggal 24 April
2013.
juga, penting, bahwa kondisi yang sangat persepsi kita ini5. Dalam pengertian

ini habitus dibuat dan direproduksi secara tidak sadar.

Perspektif teoritis Pierre Bourdieu, seorang sosiolog asal Perancis,

dalam membongkar mekanisme terjadinya kekerasan terhadap perempuan

dalam rumah tangga. Bourdieu menggagas perkakas teoritik, seperti teori

habitus, modal, arena, kekerasan serta kekuasaan simbolik yang dapat

digunakan dalam membongkar mekanisme kekerasan terhadap perempuan

dalam rumah tangga. Terjadinya berbagai bentuk kekerasan terhadap

perempuan dalam rumah tangga, menurut teori Bourdieu, tidak bisa

dilepaskan dari adanya kekerasan simbolik yang menjadi dasar bagi

terbentuknya jenis-jenis kekerasan lain, seperti kekerasan fisik, psikis,

ekonomi, dan seksual. Kekerasan simbolik adalah kekerasan dalam

bentuknya yang paling halus. Kekerasan ini bekerja melalui simbol-simbol

bahasa untuk menggiring mereka yang didominasi mengikuti makna yang

diproduksi berdasarkan kepentingan mereka yang mendominasi. Praktik

kekerasan ini terjadi disebabkan habitus perempuan yang menempatkannya

sebagai makhluk kelas dua di masyarakat serta kemiskinan perempuan akan

komposisi empat modal yang seharusnya bisa dimainkan di dalam arena

rumah tangga, yaitu modal ekonomi, budaya, sosial dan modal simbolik.

Kekerasan yang bekerja pada level pengetahuan ini, tidak akan membuat

perempuan mengadukan praktik kekerasan yang dialaminya dalam rumah

5
Bourdieu, Pierre. 1996. Distinction : a social critique of the judgement of taste.
Cetakan ke-8, translated by Richard Nice. Cambridge. Harvard University Press.
tangga. Sebaliknya, perempuan akan menerima dan menganggap kekerasan

yang dialaminya sebagai ladang pahala.

Budaya Patriarki dan misoginis atau kedudukan perempuan dalam

struktur sosial masyarakat. Dalam adat budaya timur, khususnya Indonesia,

perempuan selalu menjadi subordinat dari laki – laki dalam berbagai hal.

Posisi subordinat dalam masyarakat ini terbentuk secara alami dan

terinternalisasi dalam waktu yang lama. Sehingga sudah menjadi asumsi

umum bahwa perempuan berada dibawah laki-laki. Seaktif apapun peranan

perempuan diluar baik dalam berbagai ranah seperti politik, bisnis, hukum,

maupun ekonomi, saat kembali ke rumahnya tetap kedudukan perempuan

menjadi istri rumah tangga, laki-laki yang menjadi pemimpin keluarga. Ini

menjadi kebiasaan dalam kultur masyarakat Indonesia, dimana tabu bagi

perempuan untuk melakukan tugas laki-laki, termasuk dalam terjun dalam

arena politik.

Selain konsep habitus, kelanjutan dari pemikiran Bourdieu adalah

mengenai modal (capital) yaitu hal yang memungkinkan kita untuk

mendapatkan kesempatan-kesempatan di dalam hidup. Ada banyak jenis

kapital, seperti kapital intelektual (pendidikan), kapital ekonomi (uang), dan

kapital budaya (latar belakang dan jaringan). Kapital bisa diperoleh, jika

orang memiliki habitus yang tepat dalam hidupnya 6 Dimensi modal disini

beragam, mungkin itu modal sosial, modal budaya, maupun modal ekonomi.

6
Wattimena, Reza AA.  2012. Berpikir Kritis bersama Pierre Bourdieu. (online).
(diakses dari http://rumahfilsafat.com/2012/04/14/sosiologi-kritis-dan-sosiologi-reflektif-
pemikiran-pierre-bourdieu/ tanggal 24 April 2013).
Kekerasan simbolik pada dasarnya adalah pemaksaan kategori-kategori

pemikiran dan persepsi terhadap agen-agen sosial terdominasi, yang

kemudian menganggap tatanan sosial itu sebagai sesuatu yang “adil”, ini

adalah penggabungan struktur tak sadar, yang cenderung mengulang

struktur-struktur tindakan dari pihak yang dominant. Pihak yang terdominasi

kemudian memandang posisi pihak yang dominant ini sebagai yang “benar”.

Memahami kekuasaan dan kekerasan simbolik meniscayakan

pemahaman kita akan peran bahasa sebagai sistem simbol. Selain berperan

sebagai alat komunikasi dalam memahami dan menyampaikan pikiran serta

perasaan antar manusia, bahasa memiliki peran laten yang seringkali tidak

disadari, yaitu sebagai praktik kekuasaan. Dengan menggunakan simbol-

simbol bahasa, ideologi yang terdapat dibaliknya dapat disemaikan

perlahan-lahan secara tidak kentara. Tidak hanya terdiri dari sekumpulan

kata-kata yang bermakna bagi pemahaman, lebih jauh bahasa dapat

dijadikan sebagai instrumen kekerasan untuk mendapatkan legitimasi dan

memperebutkan kesempatan mendefinisikan realitas.

Dominasi terhadap simbol merupakan kekuasaan yang dapat membuat

orang mengenali dan mempercayai, memperkuat dan mengubah pandangan

mengenai dunia. Seseorang atau kelompok dengan kekuasaan simbolik

dapat mengendalikan simbol dan mengonstruksi realitas melalui tata simbol

tersebut. Kekuatan kekuasaan simbolik merupakan kekuatan magis yang

dapat membuat individu, kelompok atau masyarakat patuh mengikuti

mobilisasi simbolik tersebut. Ketika mereka menerima begitu saja, tidak


menyadari pemaksaan yang ditanamkan lewat simbol tersebut, maka pada

saat itu praktik kekuasaan simbolik bekerja. Kekuasaan simbolik adalah

kekuasaan yang bekerja melalui simbol-simbol bahasa untuk menggiring

mereka yang didominasi mengikuti makna yang diproduksi berdasarkan

kepentingan yang mereka yang mendominasi7.

Dalam menyembunyikan dominasinya, kekuasaan simbolik

menggunakan cara-cara yang sangat halus agar tidak dikenali. Karena

begitu halusnya praktik dominasi yang dijalankan, korban tidak

menyadari bahwa yang terjadi adalah praktik kekuasaan alih-alih

menolak, korban bahkan menerima praktik dominasi tersebut. Pada saat

seperti itu, korban mengalami apa yang diistilahkan Bourdieu dengan

kekerasan simbolik8.

Kekerasan simbolik adalah kekerasan dalam bentuknya yang paling

halus, kekerasan yang dikenakan kepada agen-agen sosial tanpa

mengundang resistensi, sebaliknya malah mengundang konformitas. Bahasa,

makna, dan sistem simbolik para pemilik kekuasaan ditanamkan dalam

benak individu-individu lewat suatu mekanisme yang tersembunyi dari

kesadaran. Dengan kata lain, kekerasan simbolik adalah pengenaan sistem

simbolisme dan makna terhadap suatu kelompok atau kelas dengan suatu

cara yang mereka alami sebagai legitimated9. Legitimasi mengaburkan relasi

7
Pierre Bourdieu, Language and Symbolic Power (Cambridge: Polity Press, 1991),
hlm. 165
Pierre Bourdieu, Masculine Domination (Stanford Calif: Stanford University
8

Press, 2001), hlm.1.


9
Pierre Bourdieu, Outline of Theory of Practice (Cambridge: Cambridge
University Press, 1990), hlm. 192.
kuasa yang memungkinkan pengenaan tersebut menjadi sukses. Semua itu

tercapai melalui proses misrecognition (pengakuan secara salah), yaitu

proses di mana relasi kuasa dirasakan tidak untuk apa adanya secara

objektif, tetapi dalam bentuk yang membuat relasi kuasa itu legitimeted di

mata orang -orang yang melihatnya10 Misrecognition dapat pula dipahami

sebagai mekanisme penyembunyian kekerasan menjadi sesuatu yang

diterima sebagai ‗yang memang sudah seharusnya demikian‘.Karena sudah

mendapatkan legitimasi secara sosial, kekerasan simbolik yang mengambil

bentuk sangat halus ini tidak mendapat penolakan dari korbannya.

Mekanisme kekerasan simbolik berjalan dengan dua cara, yaitu

eufemisasi dan sensorisasi. Eufemisasi membuat kekerasan simbolik tidak

tampak, bekerja secara halus, tidak dapat dikenali, dan dipilih secara ‗tidak

sadar‘. Bentuk kekerasan simbolik dapat berupa kepercayaan, kewajiban,

kesetiaan, sopan santun, dan lain-lain. Sementara, mekanisme sensorisasi

menjadikan kekerasan simbolik tampak sebagai bentuk dari pelestarian

semua bentuk nilai yang dianggap sebagai moral kehormatan, seperti

kesantunan, kesucian, kedermawanan, dan sebagainya yang biasanya

dipertentangkan dengan moral rendah, seperti kekerasan, kriminal,

ketidakpantasan, asusila, dan sebagainya11.

Eufemisasi dan sensorisasi sebagai mekanisme kekerasan simbolik

bekerja melalui bahasa. Bahasa menjadi sangat efektif digunakan untuk

mengontrol pelaku sosial yang lain dalam rangka menciptakan dunia yang
10
Richard Jenkins, Pierre Bourdieu (London dan New York: Routledge,
1992),hlm. 66.
11
Ibid., hlm. 38-39
diinginkan. Dengan memiliki kekuasaan simbolik, pelaku sosial memiliki

kekuasaan untuk memberikan nama dan membuat definisi seperti benar/salah

dan baik/buruk12. Berikut bagan teori kekerasan simbolik Pierre Bourdieu13

12
Ibid.
13
1)Kekerasan simbolik tidak merujuk pada kekerasan fisik, 2)Kekerasan simbolik
merupakan konsekuensi logis dari arena kuasa simbol yang menjadi dasar relasi sosial
saat ini, 3)Modal yang paling utama adalah modal simbolik, 4)Simbol bisa menjadi
instrumen kekerasan dalam relasi sosial, 5) Subjek adalah sosok yang mengalami
kecemasan eksistensial dan membanggakan apa yang dimiliki menjelaskan apa yang ia
takuti untuk kehilangan, 6)Arena adalah logika bagaimana kita bersosial hanya untuk
menegaskan kuasa kita atas orang lain, 7)Ketika kita merasakan kenikmatan dalam
memamerkan sesuatu disana kekerasan simbolik itu terjadi.
B. Teori Konflik Dan Kekerasan (Ralf Dahrendrof, 1929-2009)

Keluarga merupakan pranata yang pertama dan utama dalam masyarakat.

Oleh karena itu, konflik dalam keluarga merupakan suatu keniscayaan. Konflik di

dalam keluarga dapat terjadi karena adanya perilaku oposisi atau ketidaksetujuan

antara anggota keluarga. Prevelensi konflik dalam keluarga berturut-turut adalah

konflik orang tua-anak dan konflik pasangan. Walaupun demikian, jenis konflik

yang lain juga dapat muncul, misalnya menantu-mertua, atau dengan saudara ipar.

Penulis tertarik membahas masalah sosiologi tentang konflik yang terjadi dalam

keluarga akhir-akhir ini dan penyebab konflik serta model penyelesaiannya14.

Dalam teori konflik ini dijelaskan bahwa sebenarnya berorientasi bahasan

struktur dan institusi sosial. Komunikasi sesama pasangan suami istri itu sangatlah

penting karena dari situlah akan menciptakan sebuah keluarga yang utuh dan

harmonis. Konflik yang intens dan berlanjut antarpasangan suami istri yang dipicu

oleh berbagai hal sering membuat pasangan tersebut memilih jalan pintas untuk

bercerai, dan faktor komunikasi sebagai kendala utama penyebab terjadinya

konflik yang timbul.

Pada umumnya hubungan antara anggota keluarga merupakan jenis

hubungan yang sangat dekat atau memiliki intensitas yang sangat tinggi.

Keterikatan antara suami-istri, orangtua-anak, atau sesama saudara berada dalam

tingkat tertinggi dalam hal kelekatan, afeksi, maupun komitmen. Ketika masalah

yang serius muncul dalam sifat hubungan yang demikian, perasaan posesif yang
14
George, Ritzer, Teori Sosiologi Dari Teori Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan
Mutakhir Teori Sosial Postmodern (Bantul: Kreasi Wacana Offset, 2014), hal. 214.
selama ini dibangun secara mendalam dapat berubah menjadi perasaan negatif

yang menimbulkan konflik. Pengkhianatan terhadap hubungan kasih sayang,

berupa perselingkuhan atau kekerasan dalam keluarga, dapat menimbulkan

kebencian yang mendalam sedalam cinta yang tumbuh sebelum terjadinya

pengkhianatan.

Hubungan dalam keluarga merupakan hubungan yang bersifat kekal.

Orangtua akan selalu menjadi orangtua, demikian juga saudara. Tidak ada istilah

mantan orangtua atau mantan saudara. Oleh karena itu, dampak yang dirasakan

dari konflik keluarga sering kali bersifat jangka panjang. Bahkan seandainya

konflik dihentikan dengan mengakhiri hubungan, misalkan berupa perceraian atau

pergi dari rumah, sisa-sisa dampak psikologis dari konflik tetap membekas15.

Oleh karena sifat konflik normatif, artinya tidak bisa dielakkan, maka

vitalitas hubungan dalam keluarga sangat tergantung respon masing-masing

terhadap konflik. Frekuensi konflik mencerminkan kualitas hubungan, artinya

pada hubungan yang berkualitas frekuensi konflik lebih sedikit. Kualitas

hubungan dapat mempengaruhi cara individu dalam membingkai persoalan

konflik. Keluarga yang memiliki interaksi hangat menggunakan pemecahan

masalah yang konstruktif, adapun keluarga dengan interaksi bermusuhan

menggunakan pemecahan masalah yang destruktif.

15
George, Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda (Jakarta: Rajawali
Pers, 2014), hal. 142.
Konflik selalu ada di tempat kehidupan yang bersama, bahkan dalam

hubungan yang sempurna sekalipun konflik tidak dapat dapat dielakkan dan

konflik semakin meningkat dalam hubungan yang serius16.

Perselisihan, pertentangan dalam sebuah konflik sangatlah menimbulkan

saling ketidakcocokan terhadap pasangan suami istri. Dinamika kehidupan dalam

lingkup rumah tangga semakin hari semakin kompleks dan pasangan suami istri

dituntut untuk menghadapi kondisi tersebut dengan segenap upaya yang bisa

dikerahkan oleh kedua belah pihak. Konflik yang timbul dari upaya penyelesaian

masalah ketika tidak terpecahkan dan terselesaikan akan mengakibatkan

ketidakharmonisan hubungan dalam rumah tangga juga menganggu hubungan dan

komunikasi dengan anak, terkait juga dengan pola asuh dan proses internalisasi

nilai pendidikan Islam dalam keluarga17.

Setiap ikatan perkawinan dan rumah tangga yang dibangun oleh pasangan

suami istri akan senantiasa dihadapkan dengan problematika tertentu yang secara

langsung akan menimbulkan konflik, maka demikian pula halnya dengan suami-

istri yang tinggal bersama atau suami-istri yang tinggal terpisah dalam menjalani

kehidupannya. Pertanyaan yang sering muncul adalah apa yang menyebabkan

konflik dalam keluarga? Dan bagaimana model penyelesaian konflik di dalam

rumah tangga?

16
Eva Meizara Puspita Dewi, “Konflik Perkawinan dan Model Penyelesaian Konflik
Pada Pasangan Suami Istri” Jurnal psikologi keluarga, Universitas Negeri Makassar, April 2016,
hal. 35.
17
Sindung Haryanto, Spektrum Teori Sosial dari Klasik Hingga Postmodern (Jogjakarta:
Ar-ruzz Media, 2012), hal. 149.
Fenomena pernikahan beda suku sebagai salah satu bentuk perubahan,

karena perkembangan zaman. Gejala itu kebanyakan terjadi di beberapa kota

besar di Indonesia. Dengan meningkatnya mobilisasi ke kota-kota besar, maka

kemungkinan bertemunya individu-individu dengan latar belakang etnik yang

beragam juga semakin besar. Tidak dapat dipungkiri, hal ini juga memperbesar

timbulnya perkawinan beda suku.

Komunikasi interpersonal tidak hanya dibutuhkan oleh masyarakat, akan

tetapi di dalam sebuah keluarga membutuhkan komunikasi dengan baik supaya

semakin berkembang pola adaptasi terhadap keluarganya. Pernikahan merupakan

salah satu bentuk interaksi antara manusia yang sifatnya paling intim dan setiap

individu yang menikah sangat mengharapkan bahwa pernikahan mereka langgeng

dan bertahan sampai akhir hayat.

Pada dasarnya, teori ini tidak lebih dari sekedar serangkaian pertanyaan

yang sering kali menentang secara langsung pendapat-pendapat fungsionalis.

Bagi para fungsionalis, keluarga adalah sesuatu yang statis, atau paling-paling,

dalam kondisi ekuilibilium yang terus bergerak, namun bagi Dahrendorf dan para

teoritisi konflik, setiap keluarga tunduk pada proses-proses perubahan. Kalau para

fungsionalis menitikberatkan pada keteraturan masyarakat, para teoritisi konflik

melihat pertentangan dan konflik pada setiap sistem sosial.

Individu tidak harus menginternalisasikan harapan-harapan ini atau

menyadarinya agar bisa bertindak berdasarkan sebagaimana yang diharapkan.

Namun, karena kondisi yang ada tidak pernah ideal, maka berbagai faktor turut

mencampuri proses ini. Teori ini dimana manusia adalah makhluk sosial yang
mempunyai andil dalam terjadinya disintegrasi dan perubahan sosial. Ia

menyebutkan otoritas tidak terletak dalam individu tapi dalam posisi. Sumber

struktur sosial yang berpotensi untuk mendominasi atau ditundukkan.

Teori konflik juga berpendapat, bahwa konflik yang terjadi di dalam

keluarga tidak semata-mata menunjukkan fungsi negatifnya saja, tetapi dapat pula

menimbulkan dampak positif, misalnya meningkatkan solidaritas dan integrasi

suatu kelompok atau sistem. Kalangan konflik teori mengakui bahwa kesatuan

keluarga merupakan faktor penting dalam upaya meredam konflik. Katup

peredam ini dapat bersifat kelembagaan maupun berwujud tindakan-tindakan atau

kebiasan-kebiasaan.

Dahrendrof menekankan tidak hanya hubungan antara kewenangan yang sah

dan posisi tertentu dan peranan, tetapi juga posisi-posisi dalam keluarga yang

pengaruhnya ditentukan oleh penggunaan paksaan. Dalam hal ini, ia

mencontohkan, seperti posisi-posisi yang secara tipikal berfungsi untuk

"mengoordinasikan asosiasi-asosiasi secara imperatif". Ia mendefinisikan hal

tersebut sebagai bagian-bagian institusi yang terorganisasi dengan tujuan tertentu.

Hal ini dapat ditemukan pada negara sebagai keluarga yang terorganisasi secara

politis demikian pula dalam organisasi-organisasi ekonomi dan kultural, seperti

perusahaan, sekolah, dan tempat ibadah.

Aspek terakhir teori Dahrendrof adalah mata rantai antara konflik dan

perubahan sosial. Konflik menurutnya memimpin ke arah perubahan dan

pembangunan. Dalam situasi konflik, golongan yang terlibat melakukan tindakan-

tindakan untuk mengadakan perubahan dalam struktur sosial. Kalau konflik itu
terjadi secara hebat maka perubahan yang timbul akan bersifat radikal. Begitu

pula kalau konflik itu disertai oleh penggunaan kekerasan maka perubahan

struktural akan efektif.

Teori konflik ini ternyata terlalu mengabaikan keteraturan dan stabilitas

yang memang ada dalam keluarga di samping konflik itu sendiri. Keluarga selalu

dipandangnya dalam kondisi konflik. Mengabaikan norma-norma dan nilai-nilai

yang berlaku umum yang menjamin terciptanya keseimbangan dalam masyarakat.

Keluarga seperti tidak pernah aman dari pertikaian dan pertentangan18.

Oleh karena konflik merupakan aspek konflik normatif dalam suatu

hubungan, maka keberadaan konflik tidak otomatis berdampak negatif terhadap

hubungan maupun individu yang terlibat dalam hubungan. Konflik dalam

keluarga yang tidak terkelola dengan efektif akan menjadi gejala atau faktor yang

menyumbang akibat yang negatif pada individu maupun keluarga secara

keseluruhan.

Pengelolaan konflik secara destruktif dapat terjadi karena hal-hal sebagai

berikut:

1. Persepsi negatif terhadap konflik

Individu yang menganggap konflik sebagai hal yang negatif akan cenderung

menghindari konflik atau menggunakan penyelesaian semu terhadap konflik.

Individu yang demikian biasanya sering gagal mengenai pokok masalah yang

18
I.B Wirawan, Teori-Teori Sosial Dalam Tiga Paradigma (Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2012), hal. 41.
menjadi sumber konflik, karena perhatiannya sudah berfokus pada konflik sebagai

problem.

2. Perasaan marah

Sebagaimana konflik merupakan aspek normatif dalam suatu hubungan,

marah sebenarnya juga merupakan hal yang alamiah dirasakan individu yang

terlibat konflik. Mengumbar atau mendendam marah sama buruknya bagi

kesehatan hubungan maupun mental individu.

3. Penyelesaian oleh waktu

Sebagai upaya menghindari munculnya persaan negatif dalam menghadapi

konflik, misalnya marah, sedih, takut, sering kali individu memilih mengabaikan

masalah yang menjadi sumber konflik. Harapannya adalah masalah tersebut akan

selesai dengan sendirinya oleh berjalannya waktu.

Berikut bagan teori konflik dan kekerasan Ralf Dahrendrof


Menurut Ralf Dahrendfof Konflik dalam keluarga bisa terjadi karena

ketegangan antara orangtua dan anak, suami-isteri, kakak-adik, laki-laki-

perempuan, majikan-pembantu dan lain sebagainya19. Komunikasi suami-istri

sangat penting karena dari situlah akan menciptakan sebuah keluarga yang utuh

dan harmonis. Konflik yang rumit dan berlanjut. Sering membuat pasangan

tersebut memilih untuk bercerai.

Keterikatan keluarga, baik suami-istri, orangtua-anak, sesama saudara

berada dalam tingkat tertinggi (kelekatan, keintiman, afeksi, komitmen,

persaudaraan) ketika masalah serius muncul dalam hubungan tersebut, maka

perasaan posesif dapat berubah menjadi perasaan negatif yang menimbulkan

konflik. Penghianatan, perselingkuhan, miskomunikasi, kesalahpahaman dan

kekerasan dalam keluarga atau rumah tangga dapat menimbulkan kebencian yang

sangat dalam.

Pengelolaan konflik sosial dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu:

penguasaan diri yakni ketika salah satu pihak berupaya memaksakan kehendaknya

baik dilakukan secara fisik maupun psikis. Kemudian, Penyerahan yaitu ketika

salah satu pihak secara sepihak menyerahkan kemenangan pada pihak lain,

pengacuhan ketika salah satu pihak tidak melakukan apa-apa sehingga cenderung

membiarkan terjadinya konflik. penarikan ketika salah satu pihak menarik diri

dari keterlibatan dengan konflik, tawar-menawar, ketika pihak-pihak yang

berkonflik saling bertukar gagasan, dan melakukan tawar-menawar untuk

menghasilkan kesepakatan yang menguntungkan masing-masing pihak, dan


19
Nasarudin Umar, Argumen Kesetaraan Gender: Perspektif al-Qur’an,
(Jakarta: Paramadina, 2001, h. 61-64)
campur tangan pihak ketiga. Ketika ada pihak yang tidak terlibat konflik menjadi

penengah untuk menghasilkan persetujuan pada pihak-pihak yang berkonflik.

Dari berbagai cara tersebut hanya negoisasi dan pelibatan penengah yang

merupakan cara penanganan konflik yang bersifat konstruktif.

C. Teori Relasi Kuasa (Michel Foucault 1926-1984)

Kekuasaan merupakan satu dimensi dari relasi. Dimana ada relasi, disana

ada kekuasaan, dan kekuasaan selalu teraktualisasi lewat pengetahuan, karena

pengetahuan selalu punya efek kuasa. Hal ini berarti, di dalam suatu relasi antar

individu maka pengetahuan akan dirinya dan orang lain di saat bersamaan dapat

menciptakan kekuasaan.

Bahwa Relasi Kuasa adalah relasi yang bersifat hirarkis, ketidaksetaraan

atau ketergantungan status sosial, budaya, pengetahuan atau pendidikan atau

ekonomi yang menimbulkan kekuasaan pada satu pihak terhadap pihak lainnya

dalam konteks relasi antar gender sehingga merugikan pihak yang memiliki posisi

lebih rendah.

Ada 2 unsur penting dalam pengertian relasi kuasa di atas yaitu:

1. Sifatnya hirarkis yang meliputi posisi antar individu yang lebih

rendah atau lebih tinggi dalam suatu kelompok atau tanpa

kelompok.

2. Kedua adalah ketergantungan, artinya seseorang bergantung

pada orang lain karena status sosial, budaya, pengetahuan,

pendidikan dan ekonomi.


Pandangan teoritis Michel Foucault20. terhadap sejarah seksualitas yang

bersilang-sengkarut dengan sejarah kekuasaan. Dalam teorinya, Foucault

menjelaskan bahwa pemahaman tentang seksualitas adalah bagian dari sejarah

yang panjang. Seksualitas haruslah dipandang berdasarkan konsepsi sejarah dari

tubuh manusia yang berakar pada rezim kekuasaan dan politik terhadap

seksualitas. Lalu Foucault mengajukan konsep bahwa seksualitas merupakan

agregasi relasi sosial yang dia sebut sebagai apparatus of sexuality yang secara

sosial dan historis sangat spesifik21 namun sejarah yang dimaksudkan Foucault

bukan sekedar kajian cermat tentang berbagai peristiwa, melainkan juga suatu

silsilah, nalar, kebenaran dan pengetahuan. Sejarah dibangun diatas satu episteme,

yaitu himpunan berbagai kaidah yang melandasi dan mengatur produksi wacana

pada suatu masa tertentu22. Secara ringkas menurut Foucault, pengetahuan tentang 

kebenaran bisa diteliti sedemikian rupa melalui sejarah panjang kekuasaan.

Karena bagi Foucault, kebenaran bukanlah poros kanonis sebagaimana tradisi

filsafat Plato23 melainkan kebenaran adalah perkara bagaimana suatu wacana

tampil sebagai yang dominan atas wacana-wacana yang lain.

Kebenaran semacam itulah yang kemudian direprodusir oleh kekuasaan

untuk mengatur segala sesuatu untuk semakin menghujamkan eksistensi

kekuasaannya. Kemudian lahirlah adagium Foucault yang termasyhur itu “power


20
Paul-Michel Foucault (lahir di Poitiers, 15 Oktober 1926 – meninggal di Paris, 25 Juni
1984 pada umur 57 tahun) adalah seorang filsuf Perancis, sejarawan ide, teori sosial, ahli bahasa
dan kritikus sastra. Teori-teorinya membahas hubungan antara kekuasaan dan pengetahuan, dan
bagaimana mereka digunakan untuk membentuk kontrol sosial melalui lembaga-lembaga
kemasyarakatan, terutama penjara dan rumah sakit. Meskipun sering disebut sebagai pemikir post-
strukturalis dan postmodernis, Foucault menolak label-label ini dan lebih memilih untuk
menyajikan pemikirannya sebagai sejarah kritis modernitas. Pemikirannya telah sangat
berpengaruh bagi kedua kelompok akademik dan aktivis.
21
Renai edisi Juni-September 2004, hal. 14
22
Michel Foucault, Sejarah Seksualitas: Seks dan Kekuasaan, (terj.Rahayu S. Hidayat).,
(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1997), 102.
23
Ibid., 10-11.
is knowledge, knowledge is power”. Dalam interpretasi yang bebas, bagi Foucault 

kekuasaan itu adalah perkara bagaimana bisa menguasai pengetahuan akan

kebenaran, dan sebaliknya, pengetahuan tentang kebenaran ini akan mereprodusir

kekuasaan. Ini bertolak belakang dengan gagasan klasik tentang kekuasaan yang

lebih menekankan pada aspek fisik represif. Berikut bagan teori kekerasan Michel

Foucault.

D. Teori Budaya Kekerasan (Emile Durkheim 1858-1917)

Teori fakta sosial Durkheim menjelaskan bahwa anak sebagai individu

yang lemah selalu diposisikan terbawah dalam masyarakat. Seperti kasus

kekerasan terhadap anak terjadi dalam keluarga diantara, 1) Pewarisan

kekerasan antar generasi, 2) Kekerasan terhadap anak dalam keluarga sulit

diungkap ke ruang public 3) Latar belakang budaya (Adanya hubungan

kedudukan dalam masyarakat yang selalu menempatkan anak dalam posisi

terbawah). Sehingga semua yang dia lakukan harus sesuai dengan apa yang
diperintahkan dan diajarkan oleh orang dewasa/orangtua dalam keluarga.

Ketika anak melakukan sesuatu yang diluar aturan orang dewasa tersebut, maka

anak tersebut akan mendapat sanksi dari perbuatannya24.

Teori budaya kekerasan (culture of violence theory), yang terjadi pada

masyarakat plural. Beberapa subkultur membangun norma yang membolehkan

penggunaan kekerasan fisikal lebih besar daripada kultur dominan. Kekerasan

semacam ini semakin sering terjadi pada masyarakat yang penuh kekerasan

daripada masyarakat yang damai. Relasi tidak setara yang mendukung dominasi

patriarki dan misoginis dalam keluarga dan menggunakan kekerasan untuk

memperkuat dominasi patriarki dan misoginis adalah contohnya25. Teori ini juga

melahirkan teori lain yang menyatakan bahwa pornografi dan tayangan kekerasan

di televisi bisa memperkuat “budaya kekerasan” terhadap perempuan26.

Sebagai gejala sosial budaya, tindak kekerasan terhadap anak tidak muncul

begitu saja dalam situasi yang kosong atau netral. Ada kondisi budaya tertentu

dalam masyarakat, yakni berbagai pandangan, nilai dan norma sosial, yang seolah

memudahkan terjadinya atau mendorong dilakukannya tindak kekerasan terhadap

anak tersebut. Hal inilah yang dimaksud dengan latar belakang budaya terjadinya

kekerasan terhadap anak.

Emile Durkheim berpendapat bahwa sosiologi adalah ilmu yang

memepelajari apa yag dimaksud fakta sosial (fait social). Menurut Durkheim
24
Sandhi Praditama, “Kekerasan Terhadap Anak Dalam Keluarga Perspektif Fakta Sosial”,
(Skripsi tidak diterbitkan, Jurusan Pendidikan Sosiologi Antropologi Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan, Universitas Sebelas Maret, Surakarta 1984), 45.
25
Sana Loue, Intimate Partner Violence: Societal, Medical, Legal and Individual
Responses. NewYork:KluwerAcademic/PleniumPublishers, 2001.
http://wost201h_domviol.tripod.com/groupactionproject/id4.html diunduh pada 1 Mei 2019.
26
Hastaning Sakti dan Ganjar Triana Budi Kusuma, Antara Dua Sisi, Sebuah Kajian
Psikolog tentang Bahaya Free Sex dan Video Porno, (Yogyakarta: Sahabat Setia, 2006), 89.
fakta sosial merupakan cara bertindak, berpikir, dan berperasaan, yang berada di

luar inidividu, dan mempunyai kekuatan memaksa yang mengendalikannya 27. Ada

tiga karakteristik fakta sosial, yaitu : 1) bersifat eksternal, bahwa cara bertindak,

berpikir, dan berperasaan yang memperlihatkan sifat patut dilihat sebagai sesuatu

yang berada di luar kesadaran individu, 2) bersifat memaksa individu, individu

dipaksa dibimbing, diyakinkan, didorong, atau dengan cara tertentu dipengaruhi

oleh berbagai tipe fakta sosial dalam lingkungan sosialnya. Tipe fakta sosial ini

mempunyai kekuatan memaksa individu terlepas dari kemauan individu itu

sendiri. 3) bersifat umum dan tersebar, dengan kata lain, fakta sosial itu

merupakan milik bersama, bukan sifat individu perorangan, tetapi benar-benar

bersifat kolektif, dan pengaruhnya terhadap individu merupakan hasil dari sifat

kolektifnya.

Nilai, norma, dan kebiasaan yang berkembang di masyarakat, tanpa sadar

selalu menempatkan anak hanya sebagai objek bagi orang dewasa, dan bahkan

seolah orangtua berhak melakukan apapun terhadap anak-anaknya, dengan alasan

karena mereka yang melahirkan, membesarkan, dan membiayai anaknya. Ketika

seoarang anak berani membantah atau bahkan melawan orangtua, selain dicap

sebagai anak durhaka, tidak jarang kemudian orangtua memperlakukan anak-

anaknya secara kasar, memaki atau bahkan memukul dengan harapan anak akan

jera dan kembali ke sikapnya sebagai anak yang patuh. Anak-anak yang menjadi

korban tindak kekerasan dan perlakuan kasar dari orangtua atau orang dewasa

lainnya hanya akan bersikap pasrah dan tidak mampu untuk berbuat apa-apa.

27
Bagong Suyanto, Masalah Sosial Anak, (Jakarta: Kencana, 2010), hlm 9.
Seorang anak yag dipukul orangtuanya, pasti tidak berani melawan.

Ketidakseimbangan hubungan antara anak-anak dengan orang dewasa diperkuat

dengan ketidakseimbangan kultural yang ditanamkan oleh orang dewasa kepada

anak-anak28.

Dengan kata lain melalui ketidakseimbangan ini, orang dewasa atau

orangtua sadar atau tidak sadar telah membangun ketidakseimbangan kultural

(ketidakseimbangan secara budaya) dalam hubungan mereka dengan anak, yang

menguntungkan orang dewasa. Hasilnya adalah anak-anak menerima hubungan

yang tidak seimbang antara mereka dengan orang dewasa atau orangtua di

sekelilingnya.

Disini anak tanpa sadar telah mereproduksi hubungan asimetris yang

merugikan. Inilah realita yang terjadi di dalam keluarga dan masyarakat saat ini,

dan ini pula gambaran nyata kondisi kultural yang menyebabkan kekerasan

terhadap anak akan terjadi kapanpun dan dimanapun selama pemahan kutural

tersebut terus berkembang dan hidup dalam masyarakat. Berikut bagan teori fakta

sosial budaya kekerasan Emile Durkheim.

28
Sumjati, Manusia dan Dinamika Budaya, (Yogyakarta: Fakultas Sastra UGM, 2001), hlm
45.

Anda mungkin juga menyukai