Anda di halaman 1dari 8

Kekerasan Simbolik dalam Cerpen Impianku

Karya Etik Nurhalimah

A. Pendahuluan
1. Latar Belakang
Kehidupan sosial masyarakat Indonesia tidak lepas dari kekerasan simbolik, dan bahkan
disetiap aspek kehidupan masyarakat kekerasan simbolik ini hadir dengan bentuk-bentuknya
sendiri. Kekerasan simbolik ini justru lebih merugikan dari pada kekerasan fisik, kekrasan
simbolik ini hadir dan melekat dalam setiap tindakan masyarakat dan cenderung memaksakan
kehendak pihak legitimasi (Arismunandar, 2009: 9), kekrasan simbolik juga cendering tidak
disadari oleh masyarakat sehingga susah untuk di identifikasi.

Seperti yang disebutkan sebelumnya bahwa kekerasan simbolik lebih merugikan


dibandingkan dengan kekerasan fisik. Jika melihat kekerasan fisik yang terjadi di mayarakat
Indonesia tentu sangat banyak jumlahnya, bagaimana kasusnya dengan kekerasan simbolik
yang cenderung tidak disadari, mungkin jumlahnya jauh lebih banyak dan tentunya lebih
merugikan. Untuk itu sebagai warga negara Indonesia perlu untuk menyadari bentuk
kekerasan-kekerasan ini agar masyarakat tidak dirugikan secara sepihak, kekerasan simbolik
tidak hanya di wilayah negara Indonesia tetapi juga pada warga negara Indonesia yang bekerja
di luar negeri, banyak bentuk-bentuk kekerasan fisik yang menimpa mereka, seperti disiram
air panas, disetrika, bahkan sampai mengalami kekerasan seksual, dan ternyata kekerasan fisik
ini terlabat di sadari dan di antisipati sebelumnya, lalu bagaimana dengan kekerasan simbolik
yang cenderung tidak disadari, apakah mereka juga mengalaminya?

Karya sastra sebagai cerminan kehidupan masyarakat, dimana karya sastra ini lahir dari
ekspresi pengarang melihat kehidupan sosial yang ada. Sehingga melalui karya sastra bisa
dilihat kehidupan masyarakat dan tentunya bentuk kekerasan simbolik yang terjadi di
dalamnya. Sehingga melalui cerpen Impianku karya Etik Nurhalimah dan dengan
menggunakan konsep kekerasan simbolik yang dikemukakan sosiolog Pierre Bourdieu, akan
dilihat bagaimana bentuk-bentuk kekerasan simbolik dalam masyarakat, dimana dalam
analisisnya difokuskan kepada masyarakat sosial yang ada di dalam cerpen Impianku karya
Etik Nurhalimah ini.

Dalam cerpen Impianku karya Etik Nurhalimah menceritakan tentang kehidupan buruh
migran bernama Aminah yang bekerja di Taiwan. Dia mempunyai impian untuk
menyelesaikan pendidikan dan membahagiakan oran tuanya, namun pada kenyataannya dia
hanya seorang buruh migran yang bekerja melayani tuannya untuk membiayai kehidupan
keluarganya dikampung. Aminah sebagai anak sulung meninggalkan kampungnya dan bekerja
sebagai buruh migran demi menghidupi keluarganya yang hidup dalam kemiskinan, dalam
kehidupannya sebagai buruh migran dia mengabdikan hidupnya untuk melayani keluarga
tuannya. Melalui pekerjaannya inilah Aminah berhasil menyelamatkan keluarganya dari
kemiskinan dan bahkan membiayai adik-adiknya dari mereka sekolah, menikah dan punya
anak.
Kekerasan simbolik menurut Bourdieu adalah penerapan simbol yang besifat memaksa
dengan sedemikian rupa terhadap kelompok atau individu, sehingga dianggap sebagai sesuatu
yang sah, kesuksesan paksaan tersebut dipengaruhi oleh kedudukannya dalam relasi kekuasaan
(Jenkins dalam Clararissa, 2017: 2). Kekuasaan di peroleh melalui akumulasi modal simbolis,
yaitu modal ekonomi, sosial dan budaya, yang kemudian menghasilkan kekuatan simbolik.
Kekuatan simbolis inilah yang membuat wacana beserta simbolinya membentuk kenyataan
yang diakui dan diyakini, wacana dan simbol ini kemudian yang membentuk habitus individu
dan melegitimasi kedudukannya dalam arena. Habitus menurut Bourdieu adalah suatu sistem
skema dari presepsi dan pengetahuan dari tingkah-laku, kesadaran, dan penilaian struktur yang
diperoleh melalui pengalamnya dalam posisinya di kehidupan sosial (Bourdieu, 1989: 19). Dan
Arena bukanlan sebagai dunai sosial secara luas, arena ini cenderung lebih kecil dengan aturan-
aturan tertentu yang disepakati tiap anggotanya, contohnya arena politik, seni, agama dan
sebagainya (Ningtyas, 2015: 155).
2. Rumusan Masalah

Berdasarka uraian dari latar belakang di atas penulis merumuskan rumusan masalah
sebagai berikut:

 Bagaimana bentuk kekerasan simbolik yang ada dalam cerpen Impianku karya Etik
Nurhalimah?

B. Pemikiran Bourdieu

Bourdieu merupakan seorang sosiologi Prancis yang hidup dalam tradisi strukturalisme
Ferdinan de Saussure yang hampir sebagian besar mempengaruhi pemikiran sosial prancis
pada tahun 1960, tetapi Bourdieu memiliki pemikiran yang berbeda dengan pemikir-permikir
yang strukturalis (Ningtyas, 2007: 154). Bourdieu secara jelas menolak pemikiran
strukturalsime dengan mengemukakan pemikirannya constructivis strukturalism atau
structuralis constructivism yang kemudian difenisikan secara berbeda bahwa structuralism
yang dia maksudkan berbeda dengan strukturalis Saussure bahwa dalam dunia sosial mapun
dalam sistem simbolik, objek dari struktur memiliki kesadaran dan keinginan independen yang
mampu untuk menuntun dan mengatur tindakan atau representase mereka, dan constructivism
dengan dua asal konsep pemikiran, yang pertama tenatng scema presepsi, pemikiran dan
tingkah laku yang dikonstruksi atau disebut dengan Habitus dan yang kedua struktur sosial
yang menurut Bourdieu sangat istimewa yang disebut dengan Field (arena) dan grup yang
kususnya di sebut dengan klas sosial (Bourdieu, 1989:14). Dengan kata lain pemikiran
Bourdieu menolak strukturalisme bahwa manusia mempunyai kesadaran dan kekuatan untuk
bernegosiasi dengan struktur, dan sesungguhnya manusia dibangun dan dibentuk melalui yang
namanya habitus dan field atau arena.

Dalam banyak tulisannya Bourdieu mencoba mendamaikan antara materi dan simbolik,
keasadaran dan ketidak sadaran, kebebasan manusia dan struktur yang mengikat, dengan kata
lain Boudie mencoba mempertemukan antara konsep dan praktek kehidupan, antara pikiran
dan tindakan, serta ide dan realitas konkrete, atau lebih disederhanakan sebagai penghapus dari
pemisahan antara bykektif dan obyektif, dimana habitus sebagai subyektif dan arena sebagai
obyektif, hubungan habitus dan arena ini merupakan hubungan dialektif yang saling
mempengaruhi, arena sebagai tempat bagi individu untuk mengadopsi penegetahuan kedalam
habitusnya yang memungkinkan mereka untuk membentuk arena, dengan kata lain habitus
membentuk struktur-stuktur arena dan arena sebagai media untuk membentuk habitus
(Arismunandar, 2009: 7-8).
a. Habitus

Dalam interaksinya dengan struktur manusia dibentuk sehingga mehirkan habitus.


Dalam pemikirannya Bourdieu merumuskan habitus sebagai suatu sistem skema dari presepsi
dan pengetahuan dari tingkah-laku, kesadaran, dan penilaian struktur yang diperoleh melalui
pengalamnya dalam posisinya di kehidupan sosial (Bourdieu, 1989: 19). Habitus inilah yang
menjadi skema penilaian dalam pemosisikan seseorang dalam kelas sosial, dimana habitus ini
ditempa atau dibentuk dalam kelas sosialnya sehingga melalui habitusnya seseorang menyadari
posisinya dalam struktur dan dengan sadar menerima posisnya tersebut. Sehingga faktanya
kemudian melalui habitus ini tidak ada yang lebih baik dalam mengklasifikasi seseorang selain
dirinya sendiri (Boudrieu, 1989: 19).
b. Arena

Konsep arena menurut boudieu merupakan sebuah arena sosial dimana manusia
bergerak dan berjuang, dalam mengejar sumberdaya yang di diinginkan (Arismunandar,
2009:5). Arena bukanlan sebagai dunai sosial secara lua, arena ini cenderung lebih kecil dengan
aturan-aturan tertentu yang disepakati tiap anggotanya, contohnya contohnya arena politik,
politik, seni, agama dan sebagainya (Ningtyas, 2015: 155).

Secara spesifik Bourdieu mendefenisikan arena sebagai tempat individu atau manusia
memperoleh simbol yang secara sitematis menyatukan mereka, dimana dalam arena terdapat
sistem simbol yang mengikat mereka dalam satu kesatuan dan kemudian membuat mereka
berbeda dengan yang lainnya, sehingga arena cenderung berfungsi sebagai ruang simbolik,
ruang yang membedakan cara hidup dan status berdasarkan simbol. (Bourdieu, 1989: 20).
Inilah yang kemudian menjadika arena sebagai ajang untuk perjuangan simbolik dengan tujuan
untuk memperoleh kekuasaan dalam arenanya.
c. Modal

Untuk memperoleh kekuasaan dalam arena setiap individu perlu memiliki yang
namanya modal, modal yang diamksudkaan bukan sekedar modal yang dipahami secra
ekonomi melainkan modal sebagai sebuah proses dimana segala bentuk tindakan adalah selalu
sebagai modal (Arismunandar, 2009: 8). Secara spesifik modal kemudian diklasifikasikan
menjadi modal ekonomi, modal sosial, modal budaya, dan modal simbolik sebagai akumlasi
dari berbagai modal yang ada untuk memperolah pengakuan dan penerimaan atas legitimasinya
di arena (Bourdieu, 1989: 17). Modal simbolik inilah yang menjadi sumber kekuasaan dalam
arena, sehingga melahirkan kekuasaan simbolik yang membuat orang lain secara suka rela
masuk dalam sistem kekusaan simbolik, (Ningtyas, 2015: 156) a inilah yang kemudian
melahirkan kekerasan simbolik.
d. Kekerasan Simbolik

Upaya untuk memperoleh legitimasi dalam arena individu perlu mengakumulasi modal
simbolik untuk menetapkan kekuasaan simboliknya, ketika pemilik modal simbolik
menetapkan kekuasaan simboliknya maka dia berhadapan dengan individu dengan modal
simbolik yang rendah, karena itulah individu dengan kekusaan simboliknya berusaha
mengubah tindakan-tindakan yang kemudian melahirkan kekerasan simbolik. Kekerasan
simbolik tercipta melalui media bahasa atau sistem simbolik, untuk kemudian diterima oleh
individu yang lain sebagai suatu kewajaran. Sebagaimana Kekerasan simbolik yang
didefenisikan oleh Bourdieu sebagai penerapan simbol yang besifat memaksa dengan
sedemikian rupa terhadap kelompok atau individu sehingga dianggap sebagai sesuatu yang sah,
kesuksesan paksaan tersebut dipengaruhi oleh kedudukannya dalam relasi kekuasaan (Jenkins
dalam Clararissa, 2017: 2). Kekerasan simbolik ini dimanipulasi sedemikian rupa sehingga
tidak disadari dan diterima begitu saja dengan suka rela untuk memperoleh dan
mempertahankan posisinya dalam arena, dengan kata lain didalam arenanya kekerasan
simbolik ini tidak bisa dihindari.

Adanya pengakuan, kesediaan dan keterlibatan terhadap simbolik yang ada dalam
kekerasan simbolis terjadi dikarenakan oleh adanya doxa, doxa ini lahir dari wacana dominan
sebagai hasil dari akumulasi modal yang dimiliki atau kekuasaan simbolik. Dengan kata lain
doxa merupakan wacana dari pihak legitimate yang menyatakan wacananya dan
memberlakukan wacananya sebagai wacana universal (Boudieu dalam Widarmanto, 2000: 2).
Dalam penerapannya Doxa ini cenderun diterima atau didukung (orthodoxa) dan adapula
perlawanan terhadap doxa tersebut (heterodoxa) (Ningtyas, 2015: 156).

Kekuasaan simbolik membuat kekerasan simbolis yang terjadi melalui prinsip simbol
berupa bahasa, cara berpikir, cara bekerja dan bertindak sebagai sesuatu diterima dengan baik,
hal ini justru dirasakan bukan sebagai kekerasan sehingga bisa terjadi secara efektif. Kekerasan
ini menimbulkan kepatuhan yang tidak disadari sebagai paksaan dengan dibumbui harapan-
harapan. Kekerasan simbolik ini dilakukan melalui penyesuaian untuk menyembunyikan
kekerasan dan mengubahnya menjadi sesuatu yang diterima karena di anggap sebagai sesuatu
yang seharusnya seperti itu, dengan kata lain kekerasan ini bersifat halus yang diproduksi oleh
pelakunya tanpa mengundang resistensi dan justru mengundang persetujuan dan pengakuan
dari korbannya.

Dalam mekanismenya kekerasan simbolik berjalan dengan dua cara, yaitu eufemisasi
dan sensorisasi. Eufemisasi membuat kekerasan simbolik tidak tampak, bekerja secara halus,
tidak dapat dikenali, dan dipilih secara tidak sadar dalam hal ini kekerasan simbolik dapat
berupa kepercayaan, kewajiban, kesetiaan, sopan santun, dan lain -lain. Sementara, mekanisme
sensorisasi menjadikan kekerasan simbolik tampak sebagai bentuk dari pelestarian semua
bentuk nilai yang dianggap sebagai moral kehormatan, seperti kesantunan, kesucian,
kedermawanan, dan sebagainya yang biasanya dipertentangkan dengan moral rendah, seperti
kekerasan, kriminal, ketidakpantasan, asusila, dan sebagainya (Mussarofa, 2015: 15). Dengan
kata lain mekanisme eufmisasi cenderung bersifat menghaluskan kekerasan simbolik
sedangkan mekanisme sensorasi cenderung melibatkan nilai moral.
C. Kekerasan Simbolik dalam Cerpen Impianku Karya Etik Nurhalimah

Seperti yang dipahami oleh Bourdieu bahwa individu atau setiap orang hidup dalam
ruang multidimensional, artinya terdapat lebih dari satu dimensi atau ruang yang mengelilingi
setiap individu atau seseorang. Hal tersebut tergambar dalam cerpen Impianku ini, tokoh
utama yang hidup di dimensi perantauan atau tempat kerja yang didalamnya ada dimensi
tempat kerja, keluarga, dan masyarakat sosial perantauan, sehingga kekerasan simbolik yang
terbentukpun sifatnya berlapis, yaitu terjadi dalam keluarga, masyarakat dan tempat kerja
dalam hal ini buruh migran.

Di tempat kerja sebagai buruh kekerasan simbolik terjadi melalui eufemisasi dimana
Amina (yang kemudian meyebut dirinya Aku) merasa kewajiban melayani tuannya yang
menampilkan perbedaan kedudukan dengan tuannya :

Sementara mereka makan, aku membersihkan dapur dan perabotan. Selama bekerja di sini,
aku tidak pernah makan bersama. Selalu menunggu mereka selesai. Dan hasilnya, hanya
tersisa beberapa helai sayuran, kepala, dan duri ikan. Yang tidak layak untuk dimakan.
Untung ada sebotol sambal terasi yang kubeli saat libur. Sedikit memberi rasa dan
menemani gumpalan nasi putih di dalam mangkuk.

Sebenarnya ingin sekali aku memisahkan makanan sebelum kutaruh di meja. Tetapi apa yang
harus disisakan? Semua menu jumlahnya sedikit. Jika kuambil duluan, akan ketahuan. Dan
tidak pantas untuk disajikan. Hanya sabar yang bisa kulakukan.

Kewajiban melayani tuannya sebagai bentuk kekerasan simbolik terjadi pada Aku
sebagai buruh yang lebih mendahulukan keperluan majikannya. Hal ini terjadi karena buruh
menghormati majikan untuk mendahulukan majikannya dan berkewajiban melayani
kepentingan majikannya, hal ini terlihat bagaimana Aku melayani makanan majikannya dan
untuk makanpun majikan harus lebih didahulukan, inilah kemudian yang melanggengkan
perbedaan kedudukan diantara keduannya. Majikannya sebagai pihak dominan dengan modal
simbolik membayar Aku sehingga melahirkan kewajiban bagi Aku untuk melayani
majikannya, bayaran atau gaji marni merupakan bentuk kamuflase atau penghalusan yang
bermuara pada mekanisme eufimisme melahirkan kekerasan simbolik berupa kewajiban untuk
melayani tuannya. Kekerasan simbolik yang lainnya yang tercipta melalui mekanisme ini
adalah pembatasan hak sosial dan pendidikan Aku:

Ransel hitam yang kutenteng telah penuh dan sesak. Terjejal beberapa ikat sayuran, buah, dan
ikan, serta bumbu-bumbu dapur lainnya. Sesegera mungkin kulangkahkan kaki menuju
apartemen Yonglun Li, Taipei, tempat aku bekerja. Karena untuk berbelanja pun, nenek
memberiku tenggat waktu. Tidak boleh terlalu lama. Nenek paling tidak suka jika aku
bercakap-cakap dengan sesama pekerja Indonesia. Di benaknya, jika sesama pekerja
berbincang-bincang, pasti tengah membahas majikan masing-masing. Padahal semua tidak
benar. Kami sama-sama saling menyapa.
Nenek sebagai ibu dari majikan membatasi hak sosial Aku untuk berinteraksi dengan
teman sesama pekerjannya, ini bertujuan untuk melanggengan kedudukan mereka sebagai
majikan agar mereka tidak dijadikan bahan pembicaraan oleh para pekerja atau buruh yang
lain, dan Aku yang berkewajiban melayani dan melaksanaan perkataan majikannya menerima
hal tersebut.

“Siapa kamu? Istriku bukan! Adikku bukan! Kok di sini mau sekolah,” maki tuan, ketika
dahulu aku berpamitan hendak berkuliah. “Saya menggajimu untuk menjaga nenek, jadi
kerjakan tugasmu sebaik mungkin. Tidak usah aneh-aneh.”

Majikan membatasi hak pendidikan Aku untuk bersekolah, dengan kamuflas atau
penghalusan melalaui gaji untuk melahirkan kewajiban terhadap Aku untuk hanya melayani
majikan dan meninggalkan pendidikan. Ini menunjukan keunggulan majikan dalam hal modal
simbolik untuk membatasi pendidikan Aku, sehingga Aku tidak mempunyai jalan lain selain
menuruti majikannya. Hal ini dipertegas oleh majikannya dalam kutipan diatas. Kekerasan
simbolik melalui maknisme ini terjadi selain melalui penghalusan juga karena adanya doxa
tentang buruh dimana buruh dibayar untuk sepenuhnya bekerja melayani tuannya. Sehingga
tokoh Aku ini dapat dikatakan orthodoxa.

Setelah melihat lebih dalam kelatar belakang Aku dapat ditemukan bentuk kekerasan
simbolik yang tidak hanya terjadi ditempat kerja tetapi juga terjadi dalam arena keluarga dan
masyarakatnya, bentuk kekerasan simbolik ini terjadi melalui mekanisme sensorasi yang
dilakukan oleh keluarga dan masyarakat:
Aku masih teringat, bagaimana seluruh saudara dan tetangga mencibir kita, lantaran emak
berusaha mencari pinjaman uang untuk membeli beras saat adikku yang bungsu masih bayi.
Kala itu, bapak belum pulang dari buruh panjat kelapa. Sedangkan kami seharian belum
makan. Saat itu, emak tidak bisa bekerja mencuci baju di rumah tetangga, karena baru
melahirkan.
“Makanya kalau gak punya uang jangan beranak terus. Sudah tahu hidupnya susah, anak
malah dibanyakin,” kata Bude Yati, tetangga sebelah kami yang waktu itu menjual sayuran
keliling.
Berkat jerih payahku, alhamdulilah tetangga yang dahulu mencibir mulai berpikir. Jika
manusia mau berusaha, pasti ada jalan keluarnya. Sepuluh tahun bukan waktu yang singkat
untukku berkelana sebagai buruh migran. Mulai dari Singapura, Hong kong, dan kini Taiwan-
lah destinasi terakhirku.
Dalam kutipan diatas dapat dilihat dalam kehidupan masyarakat terdapat mekanisme
sensorisme kekerasan simbolik melalui penggambaran nilai moral dimana kegiatan meminjam
dan meminta merupakan sesuatu yang tidak baik dan dicibir oleh masyarakat sedangkan yang
baik dan dipuji adalah setiap keluarga wajib untuk berusaha membiayai keluarganya sendiri,
nilai moral inilah yang kemudian dilihat oleh tokoh Aku, ketika kedua orang tuanya yang
kekusahan bekerja dan belum mencukupi untuk mebiayai keluarga, maka Aku sebagai anak
sulung secara iklas bekerja untuk keluarganya untuk menjaga kehormatan keluaragnya dimata
keluarga dan masyarakat. Keiklasannya sebagai anak sulung terlihat dari perjuangannya
membiayai adik-adiknya dari mereka bersekolah sekolah sampai menikah dan bahkan punya
anak walaupun di sendiri meninggalkan impiannya untuk menyelesaikan sekolah dan bahkan
meninggalkan kesempatannya untuk berkeluarga dan punya anak.

Namaku Aminah, anak sulung dari empat bersaudara. Berasal dari Desa Sidodadi, Sekampung
Udik. Sebuah desa kecil yang mengajarkanku arti kehidupan, ketegaran, dan perjuangan.
Wanita seusiaku–yang sudah kepala tiga–bila di kampung telah memiliki anak dua ataupun
tiga. Karena jika lewat tujuh belas tahun, bisa dikelompokkan menjadi perawan tua.
Sedangkan aku? Entah berapa kali lebaran dan takbir berkumandang, selalu di perantauan.
Mulai dari membantu menyekolahkan ketiga adik-adikku, hingga kini mereka telah menikah,
dan punya anak.
D. Kesimpulan

Dalam cerpen Impianku karya Etik Nurhalimah terdapat bentuk-bentuk kekerasan


simbolik ditempat kerja sebagai buruh berupa kewajiban melayani tuannya, pembatasan hak
untuk bersosial dan bahkan tidak diperbolehkan untuk menyelesaikan pendidikan. Bentuk-
bentuk kekerasan simbolik ini terjadi melalu mekanisme eufemisasi yaitu penhalusan melalui
pemberian gaji atau upah terhadap tokoh Aku yang membuatnya menghormati dan
berkewajiban untuk melayani majikannya. Doxa yang hadir melalui kekerasan simbolik ini
iyalah doxa tentang buruh dimana buruh dibayar untuk semata bekerja melayani tuannya atau
majikannya. Kekerasan simbolik ini juga terjadi di lingkungan masyarakat tempatnya tinggal
sebelum bekerja sebagai buruh, dalam hal ini kekerasan simbolik terjadi mekanisme sensorasi
yaitu penanaman nilai moral oleh masyarakat bahwa yang baik dan terpuji adalah setiap
keluarga harus berusaha mebiayai keluarganya tidak hanya dengan meminjam dan meminta
pada keluarga lain atau masyarakat karena menghasilkan nilai buruk dan cibiran, inilah yang
kemudian melahirkan kekerasan simbolik berupa keihklasannya sebagai anak sulung untuk
membiayai adik-adik dan mengangkat keluarganya dari nilai buruk atau cibiran masyarakat
dan juga kemiskinan sehingga Aku ikhlas untuk melepaskan pendidikan dan kesempatannya
untuk berkeluarga.
Etik Nurhalimah pada kenyataannya merupakan seorang buruh migran Indonesia yang
bekerja di Taiwan sehingga melalui cerpen ini secara tidak langsung Etik mencoba
menggambarkan kehidupan sosial para buruh. Dimana dalam kehidupan tersebut tidak hanya
terdapat kekerasan fisik tetapi juga banyak terdapat bentuk-bentuk kekerasan simbolik.
Referensi

Arismunandar, Satrio (2009). Pierre Bourdieu dan Pemikirannya Tentang Habitus, Doxa, dan
Kekerasan Simbolik. Jakarta: Universitas Indonesia.

Bourdieu, Pierre (2012). Arena Produksi Kultural Sebuah Kajian Sosiologi Budaya. Bantul,
Jogyakarta: Kreasi Wacana.

Bourdieu, Pierre (1989). Sosial Space and Symbolic Power. Sociological Theory, Volume 7,
Issue 1 (Spring, 1989), 14-25.

Clararissa Hilga (2017). Kekerasan Simbolik Dalam Novel Merahnya Merah Karya Iwan
Simatupang Kajian Teori Pierre Bourdieu.
https://www.academia.edu/20015344/KEKERASAN_SIMBOLIK_DALAM_NOVE
L_MERAHNYA_MERAH_KARYA_IWAN_SIMATUPANG_Kajian_Teori_Pierre_
Bourdieu. Diakses 5 Desember 2017.

Mussarofa, Ita (2015). Mekanisme Kekerasan Terhadap Perempuan Dalam Rumah Tangga
Perspektif Teori Kekerasan Simbolik Pierre Bourdieu. Asy-Syir’ah, Jurnal Ilmu
Syari’ah dan Hukum, Vol. 49, No. 2, Desember2015.

Widarmanto, Tjahjono (2016). Kekerasan Simbolik Dalam Karya-Karya Oka Rusmini Dan
Pramoedya Ananta Toer. Konfrensi Nasinal Bahasa dan Sastra III.
https://www.google.com/search?client=firefox-
b&q=jurnal+kekerasan+simbolik+menurut+bourdieu+pdf&oq=jurnal+kekerasan+sim
bolik+menurut+bourdieu+pdf&gs_l=psy-
ab.3...2096.6965.0.7222.11.7.0.0.0.0.1604.2762.7-1j1.2.0....0...1.1.64.psy-
ab..10.0.0....0.7tP4Xv29P8Y. Diakses 5 Desember 2017.

Ningtyas, Eka (2015). Pierre Bourdieu, Language and Symbolik Power. Yogyakarta: Jurnal
Poetika Vol. III No. 2, Desember 2015.

Anda mungkin juga menyukai