Anda di halaman 1dari 10

ANALISIS SOSIAL

Paradigma Ilmu-Ilmu Sosial Dan Perubahan Sosial


Dalam memahami teori perubahan sosial, yang di dalamnya teori pembangunan, perlu
pengenalan terhadap peta paradigm dalam ilmu sosial. Beberapa peta pendekatan yang sudah
dihasilkan oleh para ahli ilmu sosial. Dalam rangka itu, berikut diuraikan beberapa model
paradigm dalam melihat masalah sosial. Pertama model paradigma sosial dari salah seorang
penganut mazhab Frankfurt yaitu Jurgen Habermas. Yang kedua, model pembagian paradigma
dengan mengikuti tokoh pemikir pendidikan kritis asal Brazil, Paulo Freire. Sedangkan model
ke tiga adalah peta paradigma sosilogi yang dibuat oleh Barnel dan Morgan.

Ilmu Sosial Paradigma Dominative Lawan Emansipatoris


Meminjam analisis Habermas yang secara sederhana membagi paradigma ilmu-ilmu
social menjadi tiga paradigma, dapat digunakan untuk memahami suatu sudut perbedaan
paradigma dalam ilmu-ilmu sosial. Menurutnya ilmu sosial dapat dibedakan menjadi tiga
paradigma yang dapat secara sederhana diuraikan sebagai berikut;
1. Instrumental Knowledge.
Dalam perspektif paradigm ‘instrumental’ ini, pengetahuan lebih dimaksudkan
untuk menaklukkan dan mendominasi objeknya. Yang dimaksud Habermas dengan
paradigma pengetahuan instrumental ini sesungguhnya adalah paradigma positivisme.
Positivisme pada dasarnya adalah ilmu sosial yang dipinjam dari pandangan, metode, dan
teknik ilmu alam dalam memahami realitas.
2. Paradigma Interpretative (hermeneutic knowledge)
Latar belakang perkembangan paradigm interpretatif ini dapat ditelusuri dari
pergumulan dalam teori ilmu sosial sebelum tahun 1970 ketika telah mulai berkembang
suatu tradisi besar terutama di bidang filsafat sosial dengan munculnya fenomenologi,
etnometodologi dan teori-teori aksi. Aliran-aliran filsafat sosial ini selain menyatakan
pendiriannya sendiri sering juga menentang aliran sosiologi positivisme. Aliran-aliran ini
dapat dipahami dengan baik dengan mengenali perbedaan-perbedaan anggapan dasarnya
masing-masing. Aliran hermeneutic knowledge atau juga dikenal dengan paradigma
interpretative, secara sederhana dapat dijelaskan bahwa pengetahuan dan khususnya ilmu-
ilmu sosial dan penelitian sosial dalam paradigma ini ‘hanya’ dimaksud untuk memahami
secara sungguh-sungguh. Dasar filsafat paradigm interpretative adalah phenomenology
dan hermeneutics, yaitu tradisi filsafat yang lebih menekankan minat yang besar untuk
memahami. Semboyan yang terkenal dari tradisi ini adalah “biarkan fakta bicara atas

1
nama dirinya sendiri”. Namun dalam paradigma ini pengetahuan tidak dimaksudkan
sebagai proses yang membebaskan. Misalnya saja yang termasuk dalam paradigma ini
adalah ethnography dalam tradisi kalangan antropolog.
3. Critical Emancipatory Knowledge (paradigma kritik)
paradigma ini lebih dipahami sebagai proses katalisasi untuk membebaskan
manusia dari segenap ketidakadilan. Melalui kritik yang mendasar terhadap ilmu sosial
yang mendominasi (instrumental knowledge), paradigma kritis ini menganjurkan bahwa
ilmu pengetahuan terutama ilmu-ilmu sosial tidak boleh dan tidak mungkin bersifat netral.
Paradigma kritis memperjuangkan pendekatan yang bersifat holistik, serta menghindari
cara berpikir deterministik dan reduksionistik. Oleh sebab itu, mereka selalu melihat
realitas social dalam perspektif kesejarahan. Paradigma kritis tidak hanya terlibat dalam
teori yang spekulatif atau abstrak, tetapi lebih dikaitkan dengan pemihakan dan upaya
emansipasi masyarakat dalam pengalaman kehidupan mereka sehari-hari.
Pandangan Paradigma Kritik justru menempatkan rakyat sebagai subjek utama
perubahan sosial. Rakyat harus diletakkan sebagai pusat proses perubahan dan penciptaan
maupun dalam mengontrol pengetahuan mereka. Inilah yang menjadi dasar sumbangan
teoretik terhadap perkembangan participatory research. Kritik terhadap positivisme
dilontarkan karena pengetahuan tersebut menciptakan dominasi yang irasional dalam
masyarakat modern. Ilmu sosial harus mampu memungkinkan setiap orang untuk
memberikan partisipasi dan kontribusinya. Pemikiran tersebut mempengaruhi arah ilmu
sosial kritis yang menekankan pentingnya subjektivitas manusia, pemihakan dan
kesadaran dalam proses membangun teori. Paradigma kritis inilah yang memberikan
legitimasi terhadap ilmu sosial pembebasan, yang tadinya dianggap ‘tidak ilmiah’ tersebut.
Itulah sebabnya paradigma kritik sekaligus merupakan kritik terhadap paradigma dominasi
dan interpretasi.

Dari Paradigma Reformasi ke Transformasi


Freire (1970) membagi ideologi teori sosial dalam tiga kerangka besar yang didasarkan
pada pandangannya terhadap tingkat kesadaran masyarakat.8 Tema pokok gagasan Freire pada
dasarnya mengacu pada suatu landasan bahwa pendidikan adalah “proses memanusiakan
manusia kembali”. Gagasan ini berangkat dari suatu analisis bahwa sistem kehidupan sosial,
politik, ekonomi, dan budaya masyarakat, menjadikan masyarakat mengalami proses
‘dehumanisasi’. Pendidikan, sebagai bagian dari sistem masyarakat, justru menjadi pelanggeng
proses dehumanisasi tersebut. Secara lebih rinci Freire menjelaskan proses dehumanisasi

2
tersebut dengan menganalisis tentang kesadaran atau pandangan hidup masyarakat terhadap
diri mereka sendiri. Freire menggolongkan kesadaran manusia menjadi: kesadaran magis
(magical consciousnees), kesadaran naif (naival consciousnees) dan kesadaran kritis (critical
consciousness). Bagaimana kesadaran tersebut dan kaitannya dengan sistem pendidikan dapat
secara sederhana diuraikan sebagai berikut
Peta kesadaran masyarakat Paulo Freire (1970)
Kesadaran Magis Kesadaran Naif Kesadaran Kritis
Magical Consciousness Naival Consciousness Critical
Consciousness
Perubahan social ditentukan oleh Perubahan social Perubahan
Natural, Supernatural ditentukan oleh: etika, sosialditentukan
kreatifitas, need oleh: sistem sosial,
forachievement ekonomi, politik
&budaya
Berimplikasi pada: Kesadaran Berimplikasi pada: Berimplikasi pada:
Fatalistik Kesadaran Reformatif Kesadaran
Transformatif

Paradigma-Paradigma Sosiologi
Paradigma sosiologi yang dikembangkan oleh Burnell dan Morgan (1979). Burnell dan
Morgan membuat suatu pemetaan paradigma sosiologi yang dapat membantu kita untuk
memahami ‘cara pandang’ berbagai aliran dan teori ilmu-ilmu sosial. Mereka membantu
memecahkan sumber utama keruwetan peta teori ilmu sosial dengan mengajukan peta filsafat
dan teori sosial. Secara sederhana mereka mengelompokkan teori sosial ke dalam empat kunci
paradigma.
1. Paradigma Fungsionalis berakar kuat pada tradisi sosiologi keteraturan. Pendekatannya
terhadap permasalahan berakar pada pemikiran kaum obyektivis. Pemikiran
fungsionalisme sebenarnya merupakan sosiologi kemapanan, ketertiban sosial, stabilitas
sosial, kesepakatan, keterpaduan sosial, kesetiakawanan, pemuasan kebutuhan, dan hal-
hal yang nyata (empirik)
2. Paradigma Interpretatif (Fenomenologi) Paradigma interpretatif sesungguhnya menganut
pendirian sosiologi keteraturan seperti halnya fungsionalisme, tetapi mereka
menggunakan pendekatan objektivisme dalam analisis sosialnya sehingga hubungan
mereka dengan sosiologi keteraturan bersifat tersirat. Mereka ingin memahami kenyataan

3
sosial menurut apa adanya, yakni mencari sifat yang paling dasar dari kenyataan sosial
menurut pandangan subjektif dan kesadaran seseorang yang langsung terlibat dalam
peristiwa sosial bukan menurut orang lain yang mengamati
3. Paradigma Humanis Radikal pandangan dasar yang penting bagi humanis radikal adalah
bahwa kesadaran manusia telah dikuasai atau dibelenggu oleh supra struktur idiologis di
luar dirinya yang menciptakan pemisah antara dirinya dengan kesadarannya yang murni
(alienasi), atau membuatnya dalam kesadaran palsu (false consciousness) yang
menghalanginya mencapai pemenuhan dirinya sebagai manusia sejati. Karena itu, agenda
utamanya adalah memahami kesulitan manusia dalam membebaskan dirinya dari semua
bentuk tatanan sosial yang menghambat perkembangan dirinya sebagai manusia
4. Paradigma Strukturalis Radikal Penganut paradigma strukturalis radikal seperti kaum
humanis radikal memperjuangkan perubahan sosial secara radikal tetapi dari sudut
pandang objektivisme. Pendekatan ilmiah yang mereka anut memiliki beberapa persamaan
dengan kaum fungsionalis, tetapi mempunyai tujuan akhir yang saling berlawanan.
Analisisnya lebih menekankan pada konflik struktural, bentuk-bentuk penguasaan dan
pemerosotan harkat kemanusiaan. Karenanya, pendekatannya cenderung realis, positivis,
determinis, dan nomotetis.

Teori Sosial
Dalam dunia sosiologi, terdapat paradigma antara lain paradigma fakta sosial, definisi
sosial dan perilaku sosial. Dalam ilmu sosial, menurut Ritzer ada tiga paradigma, yaitu
paradigma fakta sosial, paradigma definisi sosial, dan paradigma pertukaran sosial.
1. Paradigma fakta sosial, berakar pada pemikiran Emile Durkheim (Perspektif Durkhemian)
dan mendasarkan pada filsafat positivisme dari August Comte yang menyatakan segala
sesuatu serba terukur dan berkembang mengikuti hukum sebab akibat. Tindakan seseorang
diasumsikan merupakan fungsi dari sistem atau struktur dalam masyarakat.
2. Paradigma definisi sosial, berdasar dari Max Weber. Asumsi dasarnya mengatakan bahwa
tindakan seseorang bukan karena faktor dari luar, melainkan datang dari dorongan diri
sendiri. Tindakan seseorang merupakan hasil dari keinginan, motivasi, harapan, nilai-nilai
serta berbagai bentuk penafsiran manusia sebagai individu terhadap dunia dimana dia
hidup.
3. Paradigma pertukaran sosial, muncul dari gagasan Skinner. Menurut paradigma ini
manusia bertindak berdasarkan stimulus dari luar. Penganut perspektif ini memandang
siapa mendapat apa. Mereka berasumsi bahwa stimulus yang bagus akan menghasilkan

4
respon yang bagus pula, sebaliknya stimulus yang buruk akan menghasilkan respon yang
buruk pula
Selanjutnya akan diuraikan lebih detail dua paradigma yang sangat populer dalam dunia
pendidikan, yaitu paradigma perilaku sosial atau behaviorisme, dan perspektif konstruktivisme.
1. Paradigma Behavioristik
Dalam dunia pendidikan selama ini dikenal paradigma klasik yang disebut dengan
paradigma behavioristik. Paradigma ini muncul terutama pada tahun ( 1930-an. Paradigma
ini dipelopori oleh Pavlov ( 1849-1936 ), Watson ( 1878-1958 ), Skinner dan Thorndike (
1874- 1949 ). Paradigma ini cukup berpengaruh dalam dunia pendidikan sampai pada
tahun 1960- 1970-an di Barat dan bahkan sampai 1990-an di Indonesia. Paradigma
behavioristik atau perilaku sosial ini dapat dilihat dalam berbagai bentuk pengembangan
manajemen pendidikan yang mendasarkan pada pemikiran positivisme empirisme,
teknokrasi dan manajerialisme. Ia merupakan reaksi terhadap model pembelajaran
sebelumnya yang menganut perpektif gestalt yang memfokuskan pada cara kerja
pemikiran kognitif. Perspektif yang dikembangkan oleh Piaget dan Vygotsky ini dianggap
oleh penganut paradigma behavioristik memiliki kelemahan karena tidak memfokuskan
langsung kepada gerakan-gerakan tubuh dan gejala-gejala internal tubuh yang bisa
diamati.
2. Paradigma Kontruktivistik
Paradigma kontruktivistik pada filasafat humanisme dan fenomenologi. Dalam
perkembangannya, paradigma ini juga mengambil sejumlah gagasan yang yang
dikembangkan oleh filsafat rasionalisme dan bahkan juga positivisme, meskipun tidak
sedominan seperti dalam paradigma behavioristik. Paradigma ini dikembangkan oleh
Chomsky dalam linguistik, Simon dalam Computer Scientist, dan Bruner dalam
pengetahuan kognitif dan belakangan beralih ke pendekatan sosial budaya. Dalam
pendidikan dikaitkan dengan nama-nama seperti Piaget dan Vygotsky. Ahli psikkoanalisis
juga bergabung dalam paradigma ini dan menambah perspektif ini menjadi lebih kaya,
sehingga kemudian popularitas paradigma ini menggeser popularitas paradigma
behavioristik pada tahun 1960-an. Paradigma konstruktivisme muncul sebagai reaksi
kelemahan paradigma behavioristik. Penganut paradigma konstruktivisme memandang
pembelajaran berdasar paradigma behavioristik hanya menghasilkan pendidikan atau
pembelajaran yang terfokus pada perilaku yang bisa diamati. Paradigma behavioristik
memiliki kelemahan dalam mencermati perilaku yang sulit diamati seperti afeksi,
pemahaman ( understanding ), cara berfikir dan memandang masalah ( insight ).

5
Dinamika Perubahan Sosial
Ada tiga hal yang berkenaan dengan proses perubahan sosial. Pertama, bagaimana ideas
mempengaruhi perubahan-perubahan sosial. Kedua, bagaimana tokoh-tokoh besar dalam
sejarah menimbulkan perubahan besar di tengah-tengah masyarakat. Ketiga, sejauh mana
peranan gerakangerakan sosial dan revolusi menimbulkan perubahan struktur sosial dan
norma-norma sosial. Dalam Marxisme, yang kita kenal sebagai materialisme sejarah (historical
materialism), ada anggapan bahwa yang merubah sejarah, masyarakat dan bangsa bukanlah ide
atau gagasan, tetapi tehnologi, struktur ekonomi, atau penggunaan alat-alat produksi. Marx
membagi struktur masyarakat ke dalam dua bagian: supratruktur dan infrastruktur. Yang
termasuk infrastruktur suatu kebudayaan misalnya, struktur ekonomi atau tehnologi
kebudayaan itu sendiri; sedangkan suprastrukturnya adalah ideologi, kepercayaan, agama,
ideas, belief, dan lain-lain. Menurut Marx, suprastruktur ditentukan oleh infrastruktur. Ideologi
akan sangat ditentukan oleh ekonomi. Keadaan ekonomi misalnya akan menentukan kesadaran
kelas; bukan sebaliknya. Agama kita sangat ditentukan oleh posisi ekonomi kita ditengah-
tengah masyarakat. Versi-versi keberagaman kita sangat ditentukan oleh letak kita didalam
status sosial ekonomi. Apa yang dirumuskan Marx sebetulnya merupakan antitesis dari; ideas
akan menentukan sejarah. Kekuatan sejarah akan sangat ditentukan oleh ideas (gagasan-
gagasan). Ideologilah yang akan menentukan perubahan ekonomi, sistem sosial dan struktur
politik. Jika ideologi suatu masyarakat berubah, berubah pulalah infrastruktur masyarakat itu.
Berbeda dengan pandangan Marx, teori ini menganggap bahwa ideas-lah yang paling
menentukan prubahan sosial. Teori yang sekaligus menjadi kritik terhadap Marx ini
dikemukakan oleh Max Weber. Suatu masyarakat dikatakan mengalami perubahan sosial jika
sistem sosial juga berubah. Jadi, dalam perkembangan masyarakat itu, individu tidak berperan
apa-apa. Mereka hanyalah pionpion kecil yang digerakkan oleh sistem sosial, politik dan
ekonomi. Dulu, para sosiolog melacak perubahan-perubahan masyarakat pada perubahan-
perubahan institusi; individu sama sekali tidak memegang peranan. Sebagai contoh utamanya
dalam tesis Marx. Namun Weber membalikkan pandangan itu dengan mengatakan bahwa
semua perubahan sosil dimulai dari perubahan tingkah laku manusia, perubahan dari human
actions, perubahan dari tindakan-tindakan manusia yang ada di masyarakat. Karena itu, banyak
ahli menganggap Weber sebagai pendiri dari apa yang kita sebut sebagai sosiologi humanis,
sosiologi yang (kembali) menempatkan peranan manusia dalam perubahan-perubahan sosial.
Kalau kita bicara tentang rekayasa sosial, basis teori yang kita pergunakan adalah humanist
sociology, yakni bahwa kita, sebagai manusia dapat mempengaruhi perubahan sosial. Berbeda
dengan Marx, Weber berpendapat bahwa superstruktur, soft belief system, ideology adalah

6
faktor yang sangat aktif dan efektif dalam mengubah sejarah. Tesis Weber ini terbuksi dengan
munculnya kapitalisme. Kapitalis adalah sebuah sistem sosial yang ditegakkan diatas dasar
pencarian keuntungan dan tindakan-tindakan rasional. Kata Max Weber,kapitalis adalah
pengantar menuju masyarakat modern. Bersamaan dengan lahirnya kapitalisme, lahir pula
institusi-institusi dan pengusahapengusaha baru yang independen. Pandangan baru tentang
pasar (market) juga mulai muncul ke permukaan. Menurut Weber, sebagai sebuah sistem
sosial, kelahiran kapitalisme di Eropa Barat dipengaruhi oleh tindakan-tindakan manusia. Ada
perubahan dalam tingkah laku manusia (human actions) menjelang kelahiran kapitalisme. Ada
sekelompok orang yang perilakunya berbeda dengan kebanyakan orang pada zaman itu.
Kapitalisme muncul karena sekelompok orang—yang disebut Weber sebagai new enterpreneur
(pengusaha-pengusaha baru)—melakukan serangkaian tindakan (human actions). Tindakan itu
didasarkan pada semangat kapitalisme (spirit of capitalism). Semangat kapitalisme terdiri dari
tiga hal; motif memperoleh laba (profit motive), hidup zuhud dan sederhana (ascetic
orientation) semangat misi (ideas of calling).

Bentuk-Bentuk Perubahan Sosial


Setelah mengalami proses perubahan sosial, maka terciptalah bentuk perubahan sosial
baru yang berubah sesuai dengan kondisi yang terjadi. Berikut ini bentuk- bentuk perubahan
sosial yang perlu diketahui:
1. Lambat dan Cepat
a. Evolusi
Evolusi adalah perubahan sosial yang berlangsung lama dan terjadi tanpa
kehendak masyarakat itu sendiri. Perubahan sosial evolusioner selanjutnya dipengaruhi
oleh dorongan masyarakat untuk beradaptasi dengan perkembangan zaman.
b. Revolusi
Revolusi adalah perubahan sosial yang terjadi selama periode yang cepat dan
tidak terencana. Oleh karena itu, revolusi bukanlah evolusi tetapi perubahan sosial.
2. Direncanakan dan tidak direncanakan
a. Perubahan yang Direncanakan
Perubahan sosial ini dikatakan telah direncanakan karena perubahan terjadi
sesuai dengan apa yang diprediksi atau direncanakan oleh pihak yang melakukan
perubahan. Pihak yang melakukan perubahan disebut agen perubahan.
b. Perubahan yang Tidak Direncanakan

7
Perubahan sosial dikatakan tidak direncanakan karena terjadi secara tiba-tiba
atau tanpa perencanaan sebelumnya. Bentuk perubahan sosial yang tidak direncanakan
biasanya diperjuangkan atau diperdebatkan oleh masyarakat yang terkena dampak.
3. Perubahan Besar dan Kecil
a. Perubahan Kecil
Perubahan sosial kecil biasanya terjadi pada elemen perubahan yang tidak
berdampak besar, seperti mode dan gaya hidup.
b. Perubahan Besar
Bentuk perubahan sosial yang besar biasanya menimbulkan kontroversi di
antara orang-orang karena keberadaannya. Selain itu, perubahan sosial yang besar
membutuhkan partisipasi banyak orang, yang menyebabkan reaksi dan perlawanan dari
banyak kelompok. Artinya, perubahan sosial itu penting dan signifikan. Tidak peduli
seberapa besar atau kecil perubahan itu, perubahan sosial tidak bisa dihindari. Setiap
menit selalu ada perubahan sosial yang dibahas dalam teori dan strategi perubahan
sosial berikut ini.

Analisis Sosial
'Analisis Sosial' secara singkat dapat diartikan sebagai 'upaya untuk memperoleh
gambaran yang lebih lengkap tentang suatu situasi sosial dengan menggali hubungan-
hubungan historis dan strukturalnya'. Pengertian ini jelas menunjukkan bahwa tingkatan
realitas yang terutama hendak ditelaah adalah tingkatan, struktur sosial, artinya perhatian tidak
tertuju pada motivasi atau perilaku individual atau interaksi antar individu, melainkan pada
pola-pola tindakan dan jaringan-jaringan interaksi yang disimpulkan dari pengamatan terhadap
keteraturan yang terdapat sepanjang waktu (diakronis) dan di berbagai tempat dalam kurun
waktu yang lama (sinkronis).
Definisi sebagaimana yang telah diuraikan di atas juga bisa menyadarkan kita dari awal
tentang keterbatasan dari upaya ini. Analisis sosial tidak dimaksudkan untuk memberikan
jawaban langsung tentang apa yang harus diperbuat. Yang secara langsung bisa diperoleh
melalui analisis sosial ialah pemahaman tentang konteks permasalahan dan ini memang mutlak
diperlukan untuk menentukan strategi pemecahan masalah, tetapi yang terakhir ini tidak serta
merta menjadi keluaran dari upaya menganalisis masyarakat.
Pada dasarnya semua realitas sosial dapat dianalisis, namun dalam konteks transformasi
sosial, maka paling tidak objek analisa sosial harus relevan dengan target perubahan sosial yang

8
direncanakan yang sesuai dengan perubahan. Secara umum objek sosial yang dapat dianalisis
antara lain:
a. Masalah-masalah sosial, seperti : kemiskinan, pelacuran, pengangguran, kriminilitas.
b. Sistem sosial, seperti : tradisi, usaha kecil atau menengah, sistem pemerintahan, sistem
pertanian.
c. Lembaga-lembaga sosial seperti sekolah layanan rumah sakit, lembaga pedesaan.
Kebijakan publik seperti : dampak kebijakan BBM, dampak perlakuan sebuah UU.
Selanjutnya, agar analisis sosial lebih berguna maka perlu menggunakan beberapa
prinsip sebagai berikut:
a. Partisipatif/pelibatan berbagai pihak untuk mencari kebenaran
b. Menggunakan konsep perubahan struktur dan relasi-relasi kekuatan yang dianggap
problematis oleh masyarakat.
c. Penelisikan sejarah. Argumentasi sejarah sangat penting untuk memberikan gambaran
masa lalu sebuah masyarakat.
d. Persoalan sosial jangan dianggap sesuatu yang given. Persoalan sosial merupakan hasil
dari proses tertentu yang dibentuk oleh kekuatan tertentu dan untuk kepentingan tertentu.
e. Metode kerangka berfikir yang dipakai dalam analisis sosial harus sensitif dengan
instrumen kekuasaan wujudnya bisa macam-macam misalnya justifikasi ilmiah sebagai
alat rekayasa. Harus dilakukan secara terus menerus.

Tahap-Tahap Dalam Analisis Sosial


Langkah-langkah yang perlu dilakukan dalam menganalisis situasi sosial secara
berurutan adalah
1. Penyadaran diri
Langkah pertama yang penting adalah penyadaran diri. Dalam tahap ini seorang
yang hendak melakukan analisis sosial merenungkan motif-motif serta nilai-nilai yang
mendorong dirinya untuk melakukan analisis tersebut. Analisis sosial tidak pernah bebas
nilai; oleh karena itu sebaiknya dalam tahap ini orang melakukan dua hal. Pertama,
sesorang sebaiknya berusaha mengenali motif-motif tersembunyi untuk menanggalkan
pamrih-pamrih pribadi yang mungkin tanpa disadari akan mewarnai upaya analisis yang
akan dilakukan. Kedua, sesorang memilih titik tolak pemihakan yang jelas, misalnya
perwujudan hak asasi bagi mereka yang tak berdaya.
2. Pelukisan situasi

9
Langkah kedua adalah membuat deskripsi situasi. Pada tahap ini kita harus
melakukan beberapa hal. Pertama-tama meletakkan kasus kita dalam konteks
permasalahan sosial. Misalnya kasus penganiayaan si Aminah, pembantu rumah tangga
keluarga Badrun, adalah masalah kedudukan pembantu atau pekerja sektor informal dalam
masyarakat. Contoh lain, kasus si Cecep, buruh PT Dadungkawuk yang dipecat, adalah
masalah lemahnya posisi tawar buruh. Kemudian, setelah konteks permasalahan sosialnya
ditentukan, orang mesti memilih satuan sosial yang mau dilukiskan: bisa lembaga (seperti
sekolah atau perusahaan) atau wilayah geografis (seperti kampung, kota, daerah atau
bangsa). Selanjutnya, kita mengum pulkan keterangan mengenai permasalahan sosial yang
terwakili dalam kasus kita, pada satuan sosial yang telah kita tentukan. Pengumpulan
informasi ini bisa secara impresionistik dengan menampung keterangan berupa kesan-
kesan dari orang-- orang yang kebetulan kita jumpai atau secara sistematik melalui usaha
pengumpulan data yang terencana secara ilmiah.
3. Analisis
Langkah ketiga adalah analisis. Dalam tahap ini kita mencoba menjawab empat
pertanyaan dasar dengan berbekal berbagai informasi yang telah dikumpulkan dan
dipaparkan pada langkah sebelumnya. Keempat pertanyaan itu menyangkut (a) sejarah;
(b) struktur; (c) nilai dan (d) arah kecenderungan situasi. Mengenai keempat hal ini secara
rinci akan diuraikan dalam bagian berikut.
4. Penyimpulan.
Langkah terakhir adalah penyimpulan. Dalam tahap ini dicoba dirumuskah unsur
unsur akar yang paling bertanggungjawab terhadap situasi sosial yang ada. Pertanyaan
dasar yang diajukan ialah (a) manakah unsur-unsur dasar yang paling mempengaruhi
situasi dan (b) demi kepentingan siapa saja unsur-unsur tersebut bekerja.
Melalui empat langkah analisis sosial tersebut diharapkan bisa diperoleh gambaran
yang utuh tentang suatu permasalahan sosial. Gambaran yang utuh itu pada dasarnya mencakup
dinamika sejarah dan keterkaitan strukturalnya. Keduanya perlu dibahas secara lebih rinci.

10

Anda mungkin juga menyukai