Anda di halaman 1dari 3

KOMPAS.

com – Rokok elektronik atau vape sering kali dianggap lebih sehat, dibandingkan
rokok konvensional berbahan baku tembakau. Namun, ternyata vape pun tak lebih aman
dibandingkan rokok biasa.

Menurut Ketua Umum Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) dr Agus Dwi Susanto,
SpP(K), keduanya sama-sama menyebabkan gangguan kesehatan.

Di dalam rokok elektronik, kata dia, terkandung nikotin, karsinogen, serta bahan toksik atau
mengandung racun lainnya. Bahan-bahan inilah yang berisiko membahayakan kesehatan paru-
paru.

“Jadi tidak benar kalau rokok elektronik lebih aman karena mereka sama-sama ada kandungan
ini, meskipun tidak mengandung tar ternyata rokok elektronik itu ada bahan karsinogen,” ujar
Agus dalam konferensi pers Dukungan Revisi PP 109/2012 dari Organisasi Profesi Kesehatan
yang digelar Komnas Pengendalian Tembakau, Jumat (12/8/2022).

Banyak komponen dalam vape rokok elektronik tidak terdapat pada rokok konvensional, begitu
pula sebaliknya.  Dia menambahkan, bahaya vape atau rokok elektronik ialah dapat
menyebabkan adiksi atau ketagihan.

Hal itu ditunjukkan dari riset yang dilakukan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI),
dan Rumah Sakit Persahabatan tahun 2018 pada 71 subjek laki-laki.  Diikuti sebanyak 34 orang
di antaranya pengguna vape dan 37 lainnya bukan pengguna. Hasilnya menunjukkan, sebanyak
76,5 persen pengguna rokok elektronik reguler mempunyai ketergantungan nikotin.

Prevalensi perokok vape di Indonesia

Berdasarkan data Global Youth Survey tahun 2011, prevalensi pengguna rokok elektronik di
Indonesia meningkat dari 0,3 persen di tahun 2011 menjadi 1,2 persen tahun 2016. Kemudian
10,9 persen pada 2018.

Faktanya, mengutip riset National Academies of Science, Engineering and Medicine yang
dipublikasikan pada Januari 2018, rokok elektronik menyebabkan risiko merusak kesehatan.

Dikatakan oleh Agus, rokok ini juga mengandung dan mengemisikan sejumlah bahan berpotensi
berbahaya maupun toksik.

Vape rokok menghasilkan sejumlah bahan kimia berbahaya seperti asetaldehida, akrolein, dan
formaldehida yang menyebabkan penyakit paru. Selain itu, bahaya vape rokok elektrik ini juga
dapat menyebabkan masalah paru seperti penyakit paru obstruktif kronis (PPOK), asma, serta
kanker paru.

“Oleh karena itu kalau kita lihat secara keseluruhan dampaknya (vape) pada paru mulai dari
iritasi, gejala pernapasan, bronkitis, asma, PPOK, pneumonia, paru-paru bocor, kanker paru,
pneumonitis, dan Evali karena akut menyebabkan sesak napas tiba-tiba,” ucap Agus.

Riset yang dilakukan di Indonesia oleh Universitas Airlangga menemukan, pajanan asap rokok
konvensional menyebabkan kerusakan terhadap paru yang serupa dengan rokok elektronik.
“Jadi kandungannya ini (rokok elektronik) sama persis yang ada dalam rokok konvensional,
yang kemudian menyebabkan terjadinya kerusakan di jaringan paru dengan kandungan rokok
elektornik sebesar 3 miligram,” tambahnya lagi.

Berikut sejumlah bahaya vape atau rokok elektrik terhadap kesehatan, menurut dr Agus. 

Vape sebabkan paru-paru bocor

Dalam satu kasus di Amerika Serikat pada remaja usia 18 tahun, dilaporkan telah mengalami
paru-paru bocor hingga memerlukan pemasangan selang di dada. Pasien itu, kata Agus, memiliki
riwayat penggunaan vaping selama 1,5 tahun.

“Sebenarnya di Indonesia sendiri ada, pasien saya sendiri tahun 2019 laki-laki, 23 tahun, sesak
napas tiga hari, tidak ada riwayat TB (tuberkulosis), tidak ada riwayat asma, dia menggunakan
vaping 1 tahun terakhir dengan 50 hisap per hari datang ke rumah sakit terjadi paru-parunya
bocor,” ungkapnya.

Setelah dilakukan perawatan, dan menyetop kebiasaan menghisap vape rokok pasien akhirnya
dinyatakan sembuh

Vape dapat menyebabkan pnemuonia

Efek buruk vape rokok selanjutnya dialami seorang pasien laki-laki usia 18 tahun di Indonesia,
memiliki keluhan sesak napas dan batuk-batuk sejak 3 minggu.

Muncul demam di awal, dan batuk disertai sedikit bercak darah. Dia tidak memiliki riwayat
tuberkulosis (TB) dan asma, namun pasien diketahui menggunakan vape dalam 3 bulan. Pasien
akhirnya didiagnosis mengalami penumonia atau radang paru.

“Jadi dia mengalami radang paru setelah tiga bulan menggunakan vape, kemudian diminta untuk
berhenti merokok vape, dikasih antibiotik, rawat jalan, sembuh,” tutur Agus.

Demikian pula pada risiko asma yang diterbitkan dalam studi tahun 2019 di Amerika Serikat
pada 32.000 orang dewasa dengan penyakit paru.

Studi menemukan, rokok elektronik meningkatkan risiko penyakit paru termasuk asma 30 persen
lebih besar, dibandingkan yang tidak pernah merokok maupun tidak pernah menggunakan vape.

Risiko asma lebih besar apabila ia menjadi perokok konvensional dan rokok elektronik.

Risiko vape dengan kanker paru

Penelitian tahun 2019 di Taiwan yang dipublikasikan di PNAS pada mencit di laboratorium
menunjukkan, bahaya vape rokok atau rokok elektronik dapat meningkatkan risiko kanker paru.

Hasilnya adalah sembilan dari 40 mencit atau 22,5 persen yang terpapar asap rokok elektronik
dengan kandungan nikotin selama 54 minggu timbul kanker paru jenis adenokarsinoma.
“Ini riset pada binatang percobaan yang harus menjadi perhatian kita bahwa sudah terbukti rokok
elektronik,” imbuhnya.

Risiko vape menyebabkan Evali

Dokter agus menjelaskan Evali adalah penyakit paru-paru yang diakibatkan oleh konsumsi rokok
elektrik atau vape.

Evali tercatat pernah terjadi di Amerika, yang mana paru-paru pasien mengalami kerusakan akut
setelah ia mengonsumsi vape rokok selama beberapa minggu. Pasien juga memerlukan
perawatan di ICU, dan memakai ventilator.

Dalam kesempatan tersebut, Agus turut menyampaikan PDPI mendukung pemerintah untuk
segera melakukan revisi PP 109 tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat
Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan.

sumber berita: https://www.kompas.com/sains/read/2022/08/13/203100623/vape-tak-lebih-


aman-dari-rokok-konvensional-apa-saja-bahaya-vape-rokok-?page=all

Anda mungkin juga menyukai