BERHENTI MEROKOK
Disusun oleh:
B. TOKSIKOLOGI ROKOK
Rokok mengandung ribuan zat kimia yang berbahaya bagi tubuh, seperti partikel kimia
dan gas berbahaya. Asap rokok meliputi 75% uap air, 20% fase gas/uap air, dan 5%
partikulat. Kandungan fase gas/uap air: karbon monoksida, asetaldehid, aseton, metanol.
hidrogen sianida, akrolein, benzena, amonia, formaldehid, nitrosamin, vinil klorida, dan
nitrogen oksida. Kandungan utama fase partikulat meliputi nikotin, benzoapyrene,
hidrokarbon polisiklik, N-nitrosonornicotine, B-naftilamin, polonium 210, nikel,
kadmium, timbal, dan arsenik. Ukuran partikel yang kecil dapat diabsorbsi melalui
alveolus dan tersebar secara sistemik. Ukuran yang lebih besar dapat menimbulkan jejas
secara langsung pada saluran pernafasan.3
C. MANFAAT BERHENTI MEROKOK
Manfaat berhenti merokok dapat dibagi berdasarkan sisi kesehatan atau medis, segi
sosial ekonomi, dan segi mental atau psikis dari seseorang yang sudah berhenti merokok.
Berikut manfaat berhenti merokok pada ketiga aspek tersebut :4,5
1. Segi kesehatan (medis)
Merokok merupakan suatu perilaku merugikan bagi perokok aktif dan perokok pasif
di sekitarnya. Kerugian tersebut berkaitan dengan berbagai faktor risiko penyakit tertentu.
Diketahui adanya niat dan keberhasilan dalam berhenti merokok akan meningkatkan usia
harapan hidup orang tersebut. Berikut tabel manfaat segi merokok dari segi kesehatan dari
sisi waktu mulai berhenti.
2. Segi ekonomi
Di Indonesia, pengeluaran untuk rokok didapatkan jauh lebih besar dibandingkan
dengan pengeluaran untuk kebutuhan pokok dari masyarakat. Para perokok seringkali
tidak menyisakan dan untuk kebutuhan pokok, kebutuhan mendesak, dan dana masa
depan. Hal ini seringkali terkait dengan ketergantungan perokok terhadap kebiasaan
merokok tersebut. Dengan berhenti merokok, diharapkan ekonomi masyarakat membaik
sehingga dapat menunjang berbagai aspek, seperti informasi, nutrisi, dan pendidikan yang
akan membantu peningkatan kesehatan masyarakat di Indonesia
3. Segi sosial dan kesehatan mental
Masyarakat akan memandang orang yang berhenti merokok sebagai orang yang berhasil
dan berpikiran lebih panjang. Perubahan yang ini akan membuat mantan perokok lebih
dihormati dan lebih dianggap disiplin oleh masyarakat sekitar. Sebaliknya, pasien yang
sulit berhenti merokok akan terkena stigma sosial, sulit berpergian karena sering mencari
area untuk merokok, dan adanya rasa terkekang karena ketergantungan.
Merokok adalah penyebab utama untuk kematian akibat kanker, penyakit kardiovaskular,
dan penyakit paru (Tabel 2). Merokok juga merupakan faktor risiko utama untuk
osteoporosis, kelainan reproduksi, dan cedera berkaitan dengan api dan trauma. 3
Tabel 2. Bahaya Merokok3
1. Kanker
Merokok adalah faktor yang dapat dicegah yang paling banyak menyebabkan kanker,
dengan bertanggung jawab pada lebih dari 30% kematian akibat kanker. Banyak zat kimia
pada asap tembakau bersifat karsinogen, naik itu sebagai inisiator tumor, kokarsinogen,
promotor tumor, atau karsinogen komplit. Kompleks antara karsinogen pada asap
tembakau dan DNA diketahui berperan penting dalam induksi kanker. Merokok diketahui
menginduksi mutasi spesifik pada gen p53 yang berkaitan dengan karsinoma sel skuamosa
pada paru-paru, kepala, dan leher. Kanker paru-paru adalah penyebab utama pada kematian
akibat kanker di Amerika dan utamanya telah dikaitkan dengan merokok. Risiko kanker
paru-paru dan kanker lainnya sebanding dengan jumlah rokok yang dihisap per hari dan
bahkan lebih kuat dengan durasi merokok. Saat ini merokok berkaitan dengan tingkat
adduksi DNA (karsinogen yang berikatan secara kovalen pada DNA) dalam jaringan paru-
paru nontumor atau sel mononuklear. Namun, jumlah aduksi DNA pada mantan perokok
berbanding terbalik dengan usia mulai merokok. Temuan ini menunjukkan bahwa perokok
muda lebih rentan terhadap kerusakan DNA dan persistensi alterasi genetik daripada
mereka yang mulai merokok pada usia yang lebih tua, yang memiliki implikasi substansial
untuk perlunya mencegah perilaku merokok pada remaja. 3
2. Penyakit Paru-paru Kronik
Lebih dari 80% penyakit paru obstruktif di Amerika serikat berkaitan dengan merokok.
Merokok juga meningkatkan risiko infeksi pernapasan, termasuk pneumonia, dan
menghasilkan disabilitas yang lebih besar dari infeksi saluran pernapasan virus. Penyakit
paru-paru dari merokok mencakup sindrom yang tumpang tindih yaitu terdiri dari bronkitis
kronis (batuk dan sekresi lendir), emfisema, dan obstruksi jalan napas. Kondisi patologis
paru-paru yang dihasilkan oleh merokok mencakup hilangnya silia, hiperplasia kelenjar
mukosa, peningkatan jumlah sel goblet di saluran udara utama, peradangan, metaplasia sel
goblet, metaplasia sel skuamosa, lendir menyumbat saluran udara kecil, penghancuran
alveoli, dan berkurangnya jumlah arteri kecil. Mekanisme terjadinya lesi ini bersifat
kompleks dan terdiri dari inflamasi serta lesi langsung oleh oksidan zat kimia, peningkatan
aktivitas elastase (protein yang memecah elastin dan jaringan ikat lainnya), dan penurunan
aktivitas antiprotease. 3
Selain efek asap rokok sendiri yang menyebabkan lesi, adanya karbon monoksida dari
rokok asap memperburuk fungsi pernapasan pada perokok yang memiliki PPOK. Karbon
monoksida mengikat hemoglobin, mengurangi kapasitas untuk membawa oksigen, dan
mengganggu pelepasan oksigen di jaringan. Sehingga paparan karbon monoksida
menghasilkan anemia fungsional.3
Merokok dapat berkontribusi pada perkembangan asma, meskipun hubungan potensial ini
rancu oleh adanya peningkatan angka infeksi paru yang diamati pada perokok. Sebuah
studi longitudinal dari 5800 orang dalam studi nasional Inggris menunjukkan bahwa
merokok secara teratur dikaitkan dengan asma pada pasien yang berusia antara 17 dan 33
([OR] = 4,4). Hubungan antara asma dan merokok dipelajari lebih lanjut pada lebih dari
14.000 orang dewasa Finlandia, dan prevalensi asma lebih tinggi di antara pasien laki-laki
perokok daripada di antara pasien laki-laki yang bukan perokok ([RR] = 1,7), meskipun
tidak ada efek merokok yang diamati pada wanita. Perokok yang masih aktif, dibandingkan
dengan pasien yang tidak pernah dan mantan perokok, menunjukkan skor keparahan asma
yang lebih tinggi, gejala asma yang lebih sering, dan serangan asma yang lebih sering
([OR] = 2,4). Silverman dan rekan kerjanya mengevaluasi 1.847 pasien gawat darurat yang
mengalami asma akut dan menemukan bahwa 35% pasien adalah perokok aktif. Setengah
dari penderita asma merokok ini melaporkan bahwa penggunaan rokok memperburuk
gejala asma mereka.3
Merokok telah dikaitkan dengan beberapa gangguan paru non-neoplastik selain emfisema
dan bronkitis kronis. Penyakit ini termasuk penyakit paru-paru interstitial terkait
bronchiolitis pernafasan, pneumonitis interstitial deskuamatif, histiositosis sel Langerhans,
cryptogenic interstitial fibrosing alveolitis, dan pneumonia eosinofilik. Sembilan puluh
persen pasien dengan histiositosis sel Langerhans adalah perokok. Bronkiolitis dan
pneumonitis interstisial deskuamatif memiliki gambaran histopatologis yang serupa dan
ditandai oleh akumulasi makrofag berpigmen di dalam alveoli. Bronkiolitis respiratorik
(“bronkiolitis perokok”) paling sering merupakan temuan asimptomatik yang dapat
bertahan setelah berhenti merokok. Pneumonitis interstisial deskuamatif sering
memengaruhi perokok pada dekade keempat atau kelima kehidupan mereka, dan gejalanya
lebih sering terjadi pada perokok. Merokok juga mungkin memiliki hubungan dengan
fibrosis paru idiopatik. Merokok ditemukan lebih banyak pada pasien dengan fibrosis paru
idiopatik dibandingkan dengan populasi umum, dan keseluruhan OR untuk merokok
sebagai faktor risiko untuk fibrosis paru idiopatik adalah 1,6.3
3. Infeksi
Merokok adalah faktor risiko utama untuk infeksi saluran pernapasan dan infeksi sistemik
lainnya. Paparan asap rokok aktif dan pasif meningkatkan risiko infeksi. Mekanisme
merokok meningkatkan risiko bersifat multifaktorial dan mencakup perubahan struktural
dan imunologis. Seperti yang disebutkan sebelumnya, merokok menyebabkan perubahan
struktural pada saluran pernapasan. Perubahan ini termasuk peradangan dan fibrosis
peribronchiolar, peningkatan permeabilitas mukosa, gangguan pembersihan mukosiliar,
perubahan kelekatan patogen, dan gangguan epitel pernapasan. Sejumlah komponen asap
rokok, termasuk acrolein, asetaldehida, formaldehida, radikal bebas yang dihasilkan dari
reaksi kimia dalam asap rokok, dan nitrat oksida, dapat berkontribusi terhadap perubahan
struktural yang diamati pada sel epitel saluran napas.3
Mekanisme imunologis mencakup perubahan fungsi sistem seluler dan humoral. Hal ini
termasuk penurunan tingkat sirkulasi imunoglobulin, penurunan respons antibodi terhadap
antigen tertentu, penurunan jumlah limfosit CD4 +, peningkatan jumlah limfosit CD8 +,
penurunan aktivitas fagosit, dan penurunan pelepasan sitokin proinflamasi. Banyak
gangguan imunologis pada perokok sembuh dalam waktu 6 minggu setelah berhenti
merokok, mendukung gagasan bahwa berhenti merokok sangat efektif dalam periode
waktu yang relatif singkat dalam pencegahan infeksi3
Tabel 3. Merokok dan Infeksi 3
4. Penyakit Kardiovaskular
Penyakit kardiovaskular umum ditemukan pada pasien dengan penyakit respiratorik. Hal
ini berkaitan dengan fakta bahwa kedua penyakit umum dan keduanya meningkat seiring
usia dan merokok adalah salah satu faktor risiko utama baik untuk penyakit respiratorik
dan penyakit kardiovaskular.3
Merokok menyumbang sekitar 20% dari kematian kardiovaskular di Amerika Serikat.
Risiko meningkat untuk penyakit arteri koroner, kematian mendadak, penyakit
serebrovaskular, dan penyakit pembuluh darah perifer, termasuk aneurisma aorta. Merokok
mempercepat aterosklerosis dan meningkatkan kejadian iskemik akut. Mekanisme efek
merokok tidak sepenuhnya dijelaskan tetapi diyakini mencakup (1) stres hemodinamik
(nikotin meningkatkan denyut jantung dan secara sementara meningkatkan tekanan darah);
(2) lesi dan disfungsi endotel (terganggunya pelepasan nitrat oksida dan vasodilatasi); (3)
munculnya profil lipid aterogenik (perokok memiliki rata-rata kadar lipoprotein densitas
rendah yang lebih tinggi, lipoprotein densitas rendah lebih teroksidasi, dan kolesterol
lipoprotein densitas tinggi lebih rendah daripada mereka yang tidak merokok); (4)
peningkatan koagulabilitas; (5) aritmogenesis; dan (6) hipoksemia relatif karena efek
karbon monoksida. Seperti disebutkan, karbon monoksida mengurangi kapasitas
hemoglobin untuk membawa oksigen dan mengganggu pelepasan oksigen dari hemoglobin
ke jaringan tubuh, keduanya bersama-sama menghasilkan keadaan "anemia" relatif.
Sebagai kompensasi untuk kapasitas pembawa oksigen yang berkurang, polisitemia
muncul pada perokok, dengan hematokrit sering 50% atau lebih. Polisitemia dan
peningkatan kadar fibrinogen yang ditemukan pada perokok juga meningkatkan viskositas
darah, yang menambah risiko kejadian trombotik. Merokok juga menyebabkan kondisi
peradangan kronis, sebagaimana dibuktikan dengan peningkatan jumlah neutrofil dan
peningkatan kadar fibrinogen dan protein C-reaktif dalam darah perokok. Peradangan
kronis diperkirakan berkontribusi pada atherogenesis.3
5. Penyembuhan Luka/Komplikasi Pasca Operasi
Merokok dikaitkan dengan kejadian buruk pasca operasi dan penyembuhan luka yang
tertunda. Komplikasi pasca operasi dapat dikaitkan dengan gangguan penyerapan sekresi,
perubahan fungsi kekebalan tubuh, dan perubahan sintesis kolagen, serta pengaruh
penyakit yang berhubungan dengan tembakau yang mendasarinya (misalnya, COPD dan
fungsi kardiovaskular yang berubah). Mekanisme yang dapat menunda penyembuhan luka
termasuk vasokonstriksi kulit (mengurangi aliran darah kulit), trombosis lokal, dan
penurunan kapasitas pembawa oksigen.3
6. Efek Samping Lainnya
Merokok dapat meningkatkan risiko ulkus duodenum dan lambung, menunda laju
penyembuhan ulkus, dan meningkatkan risiko kekambuhan setelah pengobatan maag.
Merokok juga dikaitkan dengan gejala refluks esofagus. Merokok menghasilkan penyakit
maag dengan meningkatkan sekresi asam, mengurangi sekresi bikarbonat pankreas,
merusak penghalang mukosa lambung (terkait dengan penurunan aliran darah mukosa
lambung dan/atau penghambatan sintesis prostaglandin), mengurangi tonus sfingter
pilorus, dan meningkatkan risiko infeksi Helicobacter pylori. Merokok adalah faktor risiko
independen untuk pengembangan diabetes mellitus yang tidak tergantung insulin, yang
merupakan konsekuensi dari perkembangan resistensi terhadap efek insulin. Efek nikotin
tampaknya berkontribusi setidaknya sebagian untuk resistensi insulin, dan resistensi
insulin telah dijelaskan pada pengguna tembakau bukan rokok, yang tidak terpapar produk
pembakaran tembakau.3
Salah satu strategi yang dapat dilakukan oleh fasilitas pelayanan kesehatan di Indonesia untuk
dapat membantu para perokok agar dapat berhenti merokok adalah dengan menggunakan
pendekatan 4T. Pendekatan 4T, terdiri atas komponen Tanyakan , Telaah , Tolong dan
Nasehati , serta Tindak lanjut. Pendekatan 4T merupakan merupakan hasil modifikasi dari
pendekatan 5A yang digunakan di luar negeri. 5
Pendekatan 5A memiliki komponen yang kurang lebih sama dengan pendekatan 4T yang
diterapkan di Indonesia yaitu terdiri dari ask (menanyakan terkait penggunaan rokok), advise
(memberikan saran atau nasihat untuk berhenti merokok), assess (menilai besarnya keinginan
untuk berhenti merokok), assist (mendukung proses berhenti merokok), dan arrange
(mengatur perencanaan untuk berhenti merokok dan melakukan evaluasi). 9 Teknik 5R terdiri
atas lima komponen yaitu relevance, risks, rewards, roadblocks, dan repetitions. Teknik 5R
bertujuan untuk memotivasi perokok untuk berhenti merokok apabila dia masih belum ada
keinginan untuk berhenti merokok. Berikut penjelasan dari tiap komponen 5R.9
1. Relevance
Langkah ini bertujuan untuk membuat pasien menyadari betapa relevan berhenti merokok
terhadap keseharian dia. Hal ini akan sangat berdampak terhadap keinginan pasien untuk
berhenti merokok apabila hal ini berkaitan dengan aspek pribadi pasien baik kesehatan,
keluarga, situasi sosial lain, usia, dan lain-lain.
2. Risks
Langkah ini bertujuan untuk membuat pasien menyadari dampak negatif rokok yang
relevan terhadap dirinya. Beberapa risiko yang dapat disampaikan ke pasien antara lain
adalah risiko akut (sesak, memperparah asma, berbahaya terhadap kehamilan, impotensi),
risiko jangka panjang (serangan jantung, stroke, kanker), dan dampak terhadap lingkungan
(kanker pada pasangan yang terpapar, BBLR pada bayi, serta penyakit pada anak seperti
asma dan infeksi paru).
3. Rewards
Melalui langkah ini, pasien diminta untuk menyatakan manfaat-manfaat yang dapat
diperoleh apabila pasien berhenti merokok. Manfaat yang dapat diutarakan meliputi
kesehatan membaik, makanan terasa lebih enak, menghemat pengeluaran, lingkungan
sekitar akan tercium lebih baik, keluarga lebih sehat, dan lain-lain.
4. Roadblocks
Pada langkah ini, pasien diminta untuk mengenali hal-hal yang menjadi halangan baginya
untuk berhenti merokok dan mencoba menemukan solusi terhadap masalah tersebut.
Rintangan yang umum ditemukan pada orang yang ingin berhenti merokok adalah gejala
withdrawal, perasaan takut gagal, berat badan naik, kurangnya dukungan sosial, depresi,
dan lain-lain.
5. Repetitions
Pada langkah ini, praktisi kesehatan melakukan penilaian ulang terhadap kesiapan pasien
untuk berhenti merokok. Apabila masih belum siap, ulangi lagi pada pertemuan berikutnya.
Akhir pertemuan tersebut dengan positif dan ajak pasien untuk datang kembali apabila dia
berubah pikiran.
Pendekatan 5R harus disesuaikan dengan tingkat keinginan pasien untuk berhenti merokok.
Apabila pasien benar-benar tidak ingin berhenti merokok dan merasa berhenti merokok tidaklah
penting, dokter harus lebih fokus pada risks dan rewards. Apabila pasien ingin berhenti merokok
namun dia merasa tidak akan berhasil berhenti merokok, dokter harus lebih fokus pada roadblocks.
Langkah 5A ini dilaksanakan pada orang yang bukan perokok dengan tujuan memberikan
informasi dan pengetahuan mengenai cara-cara menghindari paparan asap rokok agar tidak
menjadi perokok pasif. Langkah-langkah 5A tersebut terdiri atas:9
1. Ask
Tujuan dari langkah ini adalah untuk mengidentifikasi non-perokok yang terpapar oleh
asap rokok. Langkah ini diimplementasikan dengan cara menanyakan pada tiap kunjungan
apakah pasien terpapar asap rokok atau tidak dan pertanyaan ini dijadikan rutinitas setiap
kali pasien berkunjung. Strategi agar langkah ini terimplementasi dengan baik adalah
menanyakan langsung secara sederhana tanpa bertele-tele dan benar-benar ditanyakan di
tiap kunjungan.
2. Advise
Langkah ini bertujuan untuk meyakinkan pasien untuk menghindari paparan asap rokok.
Hal ini dilakukan dengan cara memberikan informasi mengenai bahaya dari paparan asap
rokok pada semua pasien yang terpapar asap rokok dan yakinkan mereka untuk
menghindari asap rokok. Informasi dan nasihat yang diberikan harus jelas, bersifat positif,
dan disesuaikan dengan karakteristik pasien masing-masing sehingga lebih mudah diterima
oleh pasien.
3. Assess
Tujuan dari langkah ini adalah untuk menentukan tingkat komitmen pasien terhadap
pengurangan paparan terhadap asap rokok. Hal ini dilakukan dengan pertama menanyakan
kepada pasien apakah dia bersedia untuk mengurangi paparannya terhadap asap rokok atau
tidak. Setelah itu, nilai dari manakah pasien terpapar asap rokok dan apakah
memungkinkan untuk mengurangi paparan asap rokok pada pasien dari sumber tersebut.
Strategi yang dapat diimplementasikan untuk mengoptimalkan langkah ini antara lain
dengan meminta pasien menyebutkan di mana saja tempat umum yang bisa membuat dia
terpapar asap rokok seperti tempat kerja, rumah pasien, rumah makan, atau tempat lain.
Setelah itu, minta pasien untuk mencoba menilai kemungkinan penurunan paparan asap
rokok di tempat-tempat tersebut.
4. Assist
Langkah ini bertujuan untuk membantu pasien mencoba membuat lingkungan sehari-
harinya bebas dari asap rokok. Hal ini dilakukan dengan membantu pasien membuat
rencana untuk menurunkan paparan asap rokok. Hal ini dapat dilakukan dengan teknik
MADTEA:
Meet: anjurkan pasien jika bertemu dengan temannya, lakukan di tempat yang bebas
dari asap rokok
Ask: minta keluarga pasien dan pengunjung untuk merokok di luar rumah
Declare: anjurkan pasien untuk menyatakan bahwa rumah dan lingkungan pribadinya
bebas dari asap rokok
Talk: minta pasien untuk berbicara dengan keluarga dan kolega mengenai risiko dari
asap rokok
Encourage: minta pasien untuk mendorong teman, keluarga, dan kolega agar berhenti
merokok
Advocate: dorong pasien untuk mengadvokasikan regulasi bebas rokok di lingkungan
kantor dan public
5. Arrange
Jadwalkan kontrol perkembangan pasien untuk setelah sekitar satu minggu untuk
memberikan dukungan apabila dibutuhkan. Langkah ini dapat dilaksanakan baik melalui
telepon, kunjungan langsung, atau email. Hal yang dilakukan memberikan ucapan selamat
pada pasien apabila dia berhasil mengurangi paparan. Selain itu, coba identifikasi masalah
yang dihadapi dan yang akan dihadapi, berikutan dukungan secukupnya, dan rencanakan
kapan follow-up berikutnya.
Lalu, berikut penjelasan pendekatan 4T untuk berhenti merokok yang digunakan di Indonesia.
1. Komponen Tanyakan
Pada komponen tanyakan , pertama pasien akan ditanya apakah pasien merupakan seorang
perokok atau bukan. Pasien juga dapat ditanyakan apakah terdapat anggota keluarga lain
di rumah yang merupakan seorang perokok. Selanjutnya , tanyakan kepada pasien terkait
informasi profil merokok. Pada profil merokok , lakukan identifikasi terhadap tipe pasien
apakah pasien termasuk ke dalam kelompok yang ingin berhenti merokok , pasien yang
tidak mau berhenti merokok , pasien yang baru berhenti merokok, atau pasien yang tidak
pernah merokok. 5
Pada profil merokok juga dapat dilakukan penilaian apakah pasien termasuk kedalam
perokok ringan, sedang, atau berat. Hal tersebut dapat diketahui dengan menggunakan
indeks brinkman yaitu melakukan penghitungan jumlah rokok yang dihisap perhari dikali
dengan lama merokok. 5
Hal selanjutnya yang perlu ditanyakan adalah tingkat motivasi pasien untuk
berhenti merokok. Tingkat motivasi memiliki nilai 1-10 dengan angka 1 menunjukkan
pasien tidak memiliki motivasi sedangkan angka 10 menunjukkan pasienn sangat
termotivasi untuk berhenti merokok. 5
Tabel 6. Tingkat Motivasi untuk Berhenti Merokok5
Tingkat Keterangan
Motivasi
1 Saya sudah memutuskan TIDAK akan berhenti merokok seumur hidup
saya
2 Saya TIDAK PERNAH berpikir untuk berhenti merokok. Saya TIDAK
PUNYA rencana untuk berhenti merokok
3 Saya PERNAH berpikir untuk berhenti merokok, tetapi saya TIDAK
PUNYA rencana
4 TERKADANG saya berpikir untuk berhenti merokok, tetapi saya tidak
punya rencana
5 Saya SERING berpikir untuk berhenti merokok, tetapi saya tidak punya
rencana
6 Saya BERENCANA untuk berhenti merokok dalam 6 bulan kedepan
7 Saya BERENCANA untuk berhenti merokok dalam 30 hari kedepan
8 Saya masih merokok, tetapi saya mau berubah. Saya siap untuk berhenti
merokok
9 Saya sudah berhenti merokok, tetapi saya khawatir akan merokok
kembali. Saya butuh lingkungan tanpa asap rokok
10 Saya sudah berhenti merokok
2. Komponen Telaah
Komponen telaah memiliki tujuan untuk dapat menilai seberapa besar keinginan dan
kesiapan pasien untuk berhenti merokok. Untuk melihat kesiapan dari pasien , maka dapat
dilakukan penilaian menggunakan tahapan berhenti merokok untuk mengetahui saat ini
pasien sedang berada di tahap mana. Tahap berhenti merokok terdiri atas prekontemplasi,
kontemplasi, persiapan, aksi, pemeliharaan, dan kekambuhan. Tahap prekontemplasi
adalah tahap dimana pasien belum berpikir sama sekali untuk berhenti merokok. Tahap
kontemplasi merupakan tahap dimana pasien mulai berpikir bahwa merokok dapat
menimbulkan masalah. Selanjutnya, pada tahap persiapan , pasien sudah mulai mau dan
siap untuk berhenti merokok. Pada tahap aksi , pasien sudah berhenti merokok dan pada
tahap pemeliharaan pasien dapat mempertahankan untuk tetap tidak merokok. Namun ,
apabila pasien gagal mempertahankan untuk tidak merokok, maka terjadilah fase
kekambuhan dimana pasien kembali merokok. 5
Pada saat melakukan komponen telaah, dapat juga dilakukan penilaian secara klinis
menggunakan carbon monoxide analyzer untuk menilai kadar karbon monoksida pada saat
ekspirasi. Metode ini juga dapat digunakan untuk menilai kemajuan dari pasien. Nilai 10-
20 ppm pada carbon monoxide analyzer menunjukkan bahwa pasien merupakan seorang
perokok. Sedanglan nilai <4 ppm menunjukkan pasien bukan perokok. 5
3. Komponen Tolong dan Nasehati
Pada komponen tolong dan nasehati , pasien akan diberikan konseling untuk dapat
memberikan motivasi kepada pasien untuk berhenti merokok. Selain pasien, keluarga
pasien juga dapat diberikan edukasi untuk selalu memberikan dukungan kepada pasien agar
berhenti merokok. Pada komponen ini, pasien juga dibantuk untuk menentukan tanggal
kapan pasien ingin mulai berhenti merokok dan metode apa yang akan dipilih oleh pasien
untuk berhenti merokok. Terdapat beberapa metode pilihan untuk berhenti merokok antara
lain adalah berhenti seketika , metode penundaan , dan meetode pengurangan. Pada metode
penundaan , pasien akan menunda waktu menghisap rokok pertama sebanyak 2 jam setiap
hari dari hari sebelumnya tanpa menghitung jumlah rokok yang dihisap. Sedangkan , pada
metode pengurangan, pasien akan mengurangi jumlah rokok yang dihisap setiap hari secara
berangsur-angsur hingga mencapai tidak merokok lagi pada hari yang sudah ditetapkan. 5
4. Komponen Tindak Lanjut
Komponen tindak lanjut bertujuan untuk melakukan evaluasi terkait metode berhenti
merokok yang telah dijalani oleh pasien. Evaluasi dapat dilakukan setiap dua minggu sekali
selama tiga bulan dan dilanjutkan sebanyak dua kali dengan jarak tiga bulan. Evaluasi yang
dinilai antara lain adalah tingkat motivasi, keberhasilan metode yang diterapkan, jumlah
rokok yang digunakan, kendala saat menjalani metode, gejala putus zat yang muncul, dan
parameter klinis berupa berat badan, kadar karbon monoksida, tekanan darah, dan lain-lain.
5
G. TATALAKSANA FARMAKOLOGI DALAM BERHENTI MEROKOK
Tatalaksana farmakologi lini pertama yang digunakan dalam usaha berhenti merokok,
yaitu terapi pengganti nikotin (nicotine replacement therapy), bupropion, dan
varenicline.3 Tatalaksana untuk kecanduan nikotin termasuk nikotin itu sendiri dapat
menjadi sediaan dikunyah, dihirup, atau dikirim secara transdermal sehingga mampu
menggantikan kadar nikotin dalam rokok. Baru-baru ini, dua agonis parsial nAChR yang
mengandung α4β2 telah dikarakterisasi; sitisin ekstrak-tanaman dan turunan sintetisnya
varenicline. Keduanya bekerja dengan menempati nAChR pada neuron dopamin VTA
dengan menginhibisi nikotin. Varenicline diduga dapat merusak kapasitas perangsang dan
telah dikaitkan dengan proses terbentuknya ide bunuh diri. Di sisi lain, bupropion
antidepresan disetujui untuk nikotin terapi penghentian.11 Saat ini, tatalaksana farmakologi
direkomendasikan untuk ditawarkan kepada klien secara bersamaan dengan tatalaksana
nonfarmakologi, seperti konseling. Hal ini dikarenakan kombinasi antara tatalaksana
farmakologi dengan konseling menunjukkan tingkat keberhasilan yang lebih tinggi
dibanding monoterapi baik farmakologi ataupun konseling.10
Tujuan terapi ini adalah membiasakan perokok terhadap gaya hidup bebas rokok, tanpa
menimbulkan gejala withdrawal yang terlalu berat. Saat ada beragam Nicotine replacement
theraphy yang tersedia diantaranya, yaitu permen karet (polacrilex nikotin), koyo nikotin
transdermal (nicotine patch), nikotin semprot hidung (nasal spray), inhaler
nikotin, dan permen nikotin (lozenges).3
Penggunaan permen karet nikotin sebaiknya diberikan 8-10 potong per hari, dengan
masing-masing dikunyah perlahan selama 20-30 menit. Gaya hidup ini dibiasakan
terus hingga setidaknya 3 bulan atau lebih untuk membangun suatu kebiasaan tanpa
rokok
Satu koyo/patch umumnya bisa bertahan hingga 24 jam. Umumnya juga terdapat
berbagai dosis yang lebih kecil untuk membantu tapering off. Umumnya
pemberian koyo dengan dosis penuh direkomendasikan selama 1-3 bulan pertama,lalu
dilanjutkan tapering off setiap 2-4 minggu. Sebuah studi menunjukkan bahwa
penggunaan patch memiliki tingkat kepatuhan lebih tinggi dibandingkan metode
lain.
Inhaler nikotin 3
Permen nikotin dijual bebas dalam sediaan 2 mg dan 4 mg. Permen ini diletakkan di
area buccal di mana nikotinnya akan diserap perlahan selama sekitar 30 menit.
Perokok umumnya disarankan memilih dosis permennya sesuai dengan berapa lama
waktu yang mereka perlukan setelah bangun untuk memulai rokok pertamanya.
2. Bupropion
Bupropion termasuk kedalam antidepresan unisiklik, dengan karakteristik struktur
aminoketone unisiklik [Gambar 2]. Strukturnya yang unik menghasilkan profil efek
samping yang berbeda daripada kebanyakan antidepresan. Bupropion memiliki fitur minor
menyerupai amfetamin dalam struktur kimia dan, seperti stimulan, serta memiliki sifat
pengaktifan sistem saraf pusat (SSP).11
Farmakokinetik
Bupropion cepat diserap dan memiliki ikatan protein rata-rata 85%. Ini mengalami
metabolisme hati yang luas dan memiliki substansial efek first-pass. Ini memiliki tiga
metabolit aktif termasuk hidroksibupropion; yang terakhir sedang dikembangkan sebagai
antidepresan. Bupropion memiliki eliminasi bifasik dengan fase pertama berlangsung
sekitar 1 jam dan fase kedua berlangsung 14 jam. Sebagai tambahan, bioavailabilitas dari
bupropion adalah 70% dengan t1/2 plasma 11-14 jam, dengan t1/2 metabolit aktif 15-25
jam, dengan volume distribusi 20-30 L/kg. Bupropion memiliki dosis terapeutik 200-450
mg/d.11
Farmakodinamik
Mekanisme aksi bupropion masih kurang dipahami hingga saat ini. Bupropion dan
hidroksibupropion metabolit utamanya sederhana hingga sedang berperan sebagai inhibitor
reuptake norepinefrin dan dopamin dalam studi hewan. Namun, efek ini tampaknya kurang
dari biasanya terkait dengan manfaat antidepresan. Efek yang lebih signifikan dari
bupropion yakni pelepasan katekolamin presinaptik. Pada studi hewan, bupropion secara
substansial meningkatkan presinaptik ketersediaan norepinefrin, dan dopamin pada tingkat
yang lebih rendah. Bupropion sebenarnya tidak memiliki efek langsung pada sistem
serotonin.11
Bupropion dimetabolisme terutama oleh CYP2B6, dan metabolismenya dapat diubah oleh
obat-obatan seperti siklofosfamid, yang merupakan substrat dari 2B6. Metabolit utama
bupropion, hydroxybupropion, adalah inhibitor moderat CYP2D6 dan dapat meningkatkan
kadar desipramine. Bupropion harus dihindari pada pasien yang memakai MAOI.11
Sediaan
Bupropion (generik, Wellbutrin)
Oral: 75, 100 mg tablet; 100, 150, 200 mg tablet sustained-release 12-jam; 150, 300 mg
tablet sustained-release 24-jam. Oral: 25, 50, 75 mg tablet
3. Varenicline
Agen lain yang cukup efektif untuk berhenti merokok adalah varenicline, obat sintetis dengan
aksi agonis parsial di α4β2 nicotinic reseptor. Varenicline merupakan agonist nikotin kerja
langsung, namun penggunaannya dikhususkan untuk penghentian merokok. Varenicline juga
memiliki sifat antagonis yang bertahan karena waktu paruh yang panjang; ini mencegah efek
stimulan nikotin pada reseptor α4β2 presinaptik yang menyebabkan pelepasan dopamin.
Namun, penggunaannya dibatasi oleh efeks samping mual dan insomnia dan juga oleh
eksaserbasi penyakit kejiwaan, termasuk kecemasan dan depresi. Memicu ide bunuh diri juga
telah dilaporkan pada beberapa pasien; ini saat ini sedang dievaluasi. Kemanjuran varenicline
lebih unggul dari itu bupropion, antidepresan. Beberapa kemanjuran bupropion dalam terapi
berhenti merokok berasal dari yang tidak kompetitif antagonism dari reseptor nikotinik di
tempat itu12
Farmakokinetik Varenicline
Varenicline dieliminasi sebagian besar oleh ekskresi ginjal dengan metabolisme
minimal.Organic Cation Transporter 2 (OCT2) terlibat dalam sekresi tubular ginjal,
sebagaimana dibuktikan oleh penghambatan pembersihan ginjal varenicline oleh simetidin,
inhibitor OCT2 yang diketahui. T1/2 obat ini adalah 31.5 jam selama 1- mg dosis dua kali sehari
varenicline pada perokok dewasa yang sehat dan dengan asumsi tubuh rata-rata berat 70 kg.
Bioaviablitas obat ini yakni diatas 87% setelah dosis pertama rejimen dosis ganda. Faktor
akumulasi dari 2,85 ± 0,73 dilaporkan.12
Sediaan
Varenicline (Chantix) Oral: 0.5, 1 mg tablets
Referensi :
1. World Health Organization. WHO report on the global tobacco epidemic, 2017: monitoring
tobacco use and prevention policies [internet]. 2017 [cited 31 Oktober 2019]. Available
from: http://www.who.int/iris/handle/10665/255874.
2. Kemenkes RI Riskedas 2018 [internet].2018[cited 31 Oktober 2019].
Available from: http://www.depkes.go.id/resources/download/info-
terkini/materi_rakorpop_2018/Hasil%20Riskesdas%202018.pdf.
3. Broaddus VC, Mason RJ, Nadel JA. Murray and Nadel’s textbook of respiratory medicine.