Anda di halaman 1dari 8

TINJAUAN PUSTAKA

Keracunan Besi Pada Tanaman Padi


Besi (Fe) merupakan salah satu unsur hara esensial bagi tumbuhan. Dalam
tanaman besi berfungsi sebagai penyusun klorofil, kofaktor enzim, dan berperanan
dalam perkembangan kloroplas. Besi juga berperan pada transfer elektron dalam
respirasi (Shartini 2004). Kekurangan besi menyebabkan terhambatnya
pembentukan klorofil dan fungsi beberapa enzim menjadi tidak sempurna. Besi
merupakan unsur hara mikro yang dibutuhkan tanaman dalam jumlah yang sangat
sedikit, konsentrasi besi dalam jaringan tanaman dinyatakan normal pada kisaran
100 – 200 ppm. Apabila kadar besi dalam tanah berada pada konsentrasi lebih
dari 300 ppm, kondisi ini dapat menyebabkan keracunan pada tanaman padi
Tanaka dan Yoshida (1972).
Keracunan besi pada tanaman padi dapat diamati dengan melihat beberapa
gejala pada daun diantaranya gejala daun yang berkarat (bronzing) dan berwarna
coklat gelap, serta sistem perakaran tanaman yang kurang berkembang (Yamauchi
& Peng 1995). Becker dan Asch (2005) mengemukakan bahwa keracunan besi
pada tanaman padi adalah akibat dari penyerapan Fe2+ secara berlebih dari dalam
tanah dan umumnya terjadi pada lahan yang tergenang. Beberapa hasil penelitian
juga melaporkan bahwa keracunan besi umum terjadi pada tanah sulfat masam
dan tanah rawa, seperti tanah pasang surut dan lebak. Tanah-tanah tersebut banyak
mengandung senyawa pirit (FeS2). Adanya oksidasi pirit merupakan penyebab
utama munculnya permasalahan di lahan sulfat masam dan pasang surut (Widjaja
1999).
Pirit dibentuk pada waktu lahan digenangi oleh air yang masuk pada
musim kemarau. Pada saat kondisi lahan basah atau tergenang, pirit tidak
berbahaya bagi tanaman. Akan tetapi, bila terkena udara (teroksidasi), pirit
berubah bentuk menjadi zat besi dan zat asam belerang yang dapat meracuni
tanaman. Terjadinya oksidasi pirit akan memasamkan tanah sehingga pH tanah
turun sampai di bawah 3,0 dan menghasilkan besi ferro (Fe2+) yang bersifat
racun bagi tanaman padi (Hadi 2004). Pirit yang terdapat pada lapisan tanah
yang tidak terlalu dalam pada tanah sulfat masam dengan kandungan besi yang
4

cukup tinggi tidak berbahaya bagi tanaman apabila tidak terekspos ke


permukaan tanah dan tidak memgalami oksidasi. Oleh karena itu pirit di dalam
tanah diupayakan tetap stabil dengan cara penerapan teknologi pengolahan tanah
konservasi, yaitu suatu teknologi pengolahan tanah yang dapat mengendalikan
dan mengkonservasi pirit yang terdapat pada lapisan tanah sehingga dapat
digunakan sebagai lahan produksi pangan (Simatupang 2006).
Tanaman padi memiliki suatu kecenderungan untuk menyerap besi lebih
tinggi dibanding hampir semua tanaman, dan Fe2+ adalah jenis besi yang umum
terdapat di dalam tanaman padi. Setelah besi masuk ke dalam sel-sel kortek akar,
besi yang teroksidasi dapat masuk ke dalam tanaman melalui xilem melalui
simplas setelah melewati Pita Kaspari. Menurut Yoe et al. (1987) Fe2+ dapat
masuk ke xilem baik secara simplas maupun apoplas atau melalui bagian akar
yang rusak setelah akar mengalami kerusakan karena penarikan bibit dari
persemaian. Dalam xilem, Fe2+ diangkut mengikuti aliran transpirasi menempuh
jarak yang sangat panjang menuju ruang-ruang antar sel. Di dalam sel daun, Fe2+
bertindak sebagai katalisator pembentukan beberapa jenis oksigen aktif seperti
superoksida, radikal hidroksida, dan H2O2 (Marschner 1995). Reaksi akan terus
meningkat jika besi terdapat secara berlebihan, dan besi sendiri dapat menjadi
sangat reaktif sebagai perferil radikal atau dapat menyebabkan terjadinya
peroksidasi lipid (Peterson 1991). Kelebihan besi dalam daun menyebabkan
terjadinya reaksi oksidasi senyawa fenol membentuk polifenol dan akan
terakumulasi di daerah kloroplas pada daun. Radikal bebas pada akhirnya akan
mengoksidasi klorofil sehingga aktifitas fotosintesis terhambat (Monteiro &
Winterbourn 1988)
Keracunan besi pada tanaman dapat mengganggu proses-proses
metabolisme dan menyebabkan kerusakan tanaman padi yang ditandai oleh daun
yang berkarat (bronzing), struktur daun kaku dan berwarna coklat gelap serta
kurang berkembangnya sistem perakaran. Gejala visual dari keracunan besi adalah
akibat adanya akumulasi oksidasi polifenol membentuk bronzing pada daun
tanaman padi. Gejala bronzing kelihatan secara penuh pada daun-daun yang
bertindak sebagai sumber fotosintesis dimulai dengan adanya noda coklat kecil
yang terus menyebar dari ujung daun ke pangkal daun. Gejala lebih lanjut yang
5

terlihat adalah ujung daun menguning dan mengering, diikuti dengan laju
respirasi yang sangat tinggi yang pada akhirnya seluruh daun menjadi kekuningan
dan berwarna coklat yang disebut karat, atau daun akan berwarna coklat ungu,
kaku dan keras, merupakan suatu kondisi yang menunjukkan tingkat keracunan
besi yang sangat parah (Yamanouchi & Yoshida 1981).
Keracunan besi yang terjadi pada tanaman padi yang dimulai sejak fase
vegetatif akan berpengaruh terhadap pertumbuhan tinggi tanaman. Tanaman akan
menjadi kerdil dan perkembangan fase reproduktif terhambat, akibatnya tanaman
menghasilkan sedikit malai dan bulir kopong (Abu et al. 1989). Berkaitan dengan
hal tersebut Ayodate (1979) mengemukakan bahwa keracunan besi pada varietas
yang sangat peka menyebabkan umur panen mundur selama 20 – 25 hari atau
bahkan tanaman tidak akan menghasilkan bunga. Tanaman padi memiliki
kemampuan untuk mempertahankan besi di dalam akar, meskipun demikian besi
juga dapat ditranspor ke bagian atas tanaman. Varietas toleran besi mengangkut
lebih sedikit besi dari akar ke daun dan dideposit pada jaringan daun tua
(Audebert & Sahrawat 2000).

Mekanisme Toleransi Keracunan Besi pada Tanaman Padi

Tanaman padi mampu mengembangkan mekanisme penghindaran dan


toleransi baik secara morfologis maupun fisiologis untuk bertahan hidup pada
kondisi tanah dengan kelarutan besi yang tinggi. Hal ini umum dilakukan oleh
varietas padi toleran terhadap cekaman besi (Gunawardena 1982). Terdapat empat
mekanisme toleransi tanaman padi terhadap kelebihan besi, yaitu : 1) Oksidasi
besi pada permukaan akar (Ando 1983), 2) Pengeluaran besi dari sel akar
(Tadano 1976), 3) Penyimpanan besi pada jaringan akar (Tadano 1976), dan 4)
Toleransi jaringan daun terhadap kelebihan besi (Yamanouchi & Yoshida, 1981)
Oksidasi besi dipermukaan akar merupakan mekanisme penghindaran
terhadap kelebihan Fe2+. Besi harus melewati penghalang oksidatif di daerah
rizosfer sebelum diserap oleh akar. Oksigen yang berasal dari atmosfer akan
berdifusi melalui aerenkim daun, batang dan akar sehingga menyebabkan rizosfer
menjadi lebih oksidatif. Hasil oksidasi terhadap ion Fe2+ di daerah rizosfer
membentuk plak (Fe2O3) dan terakumulasi di permukaan akar (Ando 1983).
6

Pembentukan plak di permukaan akar bukan hanya mengurangi ion Fe2+ terlarut,
akan tetapi juga menjadi sebuah penghalang agar konsentrasi Fe2+ di sekitar akar
tidak meningkat. Tanaman padi yang tumbuh pada tanah sulfat asam dapat
mempertahankan kemampuan tumbuh tanpa kerusakan akar, karena adanya
kemampuan mengoksidasi Fe2+ oleh akar (Tinh 1999). Kemampuan terhadap
kekuatan oksidasi akar pada tanaman untuk merubah ion Fe2+ menjadi Fe3+
merupakan suatu mekanisme toleransi tanaman padi terhadap keracunan Fe
(Suhartini 2004). Beberapa varietas padi memiliki perbedaan sifat toleransi
terhadap kadar Fe tinggi. Hal ini disebabkan oleh perbedaan struktur morfologi
akar yang erat kaitannya dengan pergerakan oksigen dari bagian atas tanaman ke
bagian akar.
Di dalam tanaman dengan sistem perakaran yang baik, ion besi ditranspor
melalui xilem melewati membran sel endodermis akar setelah melalui pita
kaspari. Kelebihan besi akan dikurangi dan dikeluarkan dari membran sel akar
(Tadano 1976). Pada varietas-varietas toleran, kelebihan Fe2+ akan dikeluarkan
dari sel akar dan dideposit pada apoplas dari sel akar. Hasil analisis cairan xilem
dari tanaman padi menunjukkan sekitar 87 % dari Fe terdapat pada apoplas akar
akan tetapi tidak ditemukan di dalam xilem (Yamanouchi & Yoshida 1981).
Kelebihan besi kemungkinan disimpan di tempat penyimpanan yang
spesifik dari sel-sel kortek akar atau disimpan di jaringan khusus tanaman antara
akar dan daun (batang). Pada tanah dengan konsentrasi besi yang tinggi,
kandungan besi tertinggi ditemukan di bagian akar tanaman. Selain itu pada
bagian batang tanaman padi juga ditemukan sebagian besar besi yang immobil
(Tanaka et al. 1966). Pada varietas padi yang bersifat toleran terhadap cekaman
besi, besi lebih sedikit ditranspor dari akar ke daun. Hal ini merupakan suatu
indikasi tentang mekanisme penghindaran tanaman padi terhadap cekaman besi
secara fisiologis (Audebert & Sahrawat 2000).
Toleransi jaringan daun terhadap keracuan besi digunakan untuk
membedakan sifat toleransi tanaman padi terhadap keracunan besi. Di dalam
simplas daun, Fe2+ akan mengkatalis pembentukan berbagai jenis oksigen aktif
dan senyawa radikal. Mekanisme toleransi menunjukkan kekuatan kumpulan Fe2+
dalam struktur symplast dapat mengontrol reaksi oxidation/reduction seperti
7

fytoferritin. Formasi fitoferritin diduga sebagai mekanisme perlindungan penting


terhadap konsentrasi Fe2+ yang tinggi di dalam simplas daun (Bienfait 1985).
Becker dan Asch (2005) menyatakan bahwa untuk menghindari cekaman besi
tanaman padi juga dapat mendeposit besi aktif (Fe2+) pada daun-daun tua yang
sudah tidak aktif sebagai daun fotosintetik, atau mendetoksifikasi Fe2+ di dalam
sel-sel daun melalui reaksi enzimatik di dalam simplas daun.
Mekanisme penghindaran terhadap keracunan besi dari tanaman padi juga
dapat dilakukan dengan cara menaikkan pH rhizosfer. Terdapat perbedaan antar
varietas dalam pelepasan ion OH- dari akar. Varietas yang akarnya lebih banyak
mengeluarkan ion OH- akan mampu menaikkan pH daerah perakaran dan akan
menyerap sedikit ion Fe. Varietas-varietas yang demikian lebih toleran terhadap
keracunan Fe. Sebaliknya, varietas yang sedikit mengeluarkan ion OH- cenderung
menyerap besi lebih banyak.

Varietas Padi Toleran Besi

Upaya mendapatkan varietas padi toleran besi telah dilakukan untuk


mengetahui potensi hasil dari galur galur padi introduksi dan galur galur padi hasil
persilangan antara varietas lokal dengan unggul pada kondisi lingkungan pasang
surut sulfat masam, serta memilih galur galur yang menunjukan potensi hasil
tinggi, bentuk biji kecil dan ramping, umur pendek, dan batang yang kokoh.
Hasil akhir suatu program pemuliaan adalah menghasilkan varietas unggul
baru. Varietas unggul tersebut selain adaptif pada kondisi lingkungan setempat
juga dapat diterima petani.
Sumber keragaman genetik yang dapat digunakan untuk mendapatkan padi
toleran besi cukup tersedia, sehingga perbaikan varietas untuk tujuan tersebut
dapat dilakukan. Salah satu pendekatan adalah melalui teknik kultur anter. Teknik
kultur anter ini dapat ditempuh untuk mempercepat siklus pemuliaan. Hal ini
didukung oleh tersedianya bahan genetik toleran Fe yang memiliki daya
regenerasi dan induksi kalus yang tinggi. Disamping itu, seleksi populasi
persilangan berdasarkan pengetahuan akan gen yang terlibat dalam toleransi
keracunan Fe dapat dilakukan. Terdapat dua gen toleransi Fe atau lebih yang
bersifat epistatis atau duplikat gen. Pola pewarisan sifat toleran keracunan Fe
8

dipengaruhi oleh gen aditif, dominan, dan interaksi gen nonalelik. Seleksi yang
lebih efektif pada generasi lanjut dapat meningkatkan derajat homozigositas
sehingga diharapkan dapat diperoleh genotipa dengan derajat toleransi (Suhartini
2004).
Sejumlah varietas padi untuk lahan rawa pasang surut telah dilepas.
Perbaikan varietas diarahkan agar varietas unggul baru memiliki karakter toleran dan
dapat tumbuh baik pada kondisi keracunan Fe dan pH rendah, memiliki potensi hasil
tinggi, tahan hama/penyakit penting seperti wereng coklat, blas, dan hawar daun
bakteri. Sebelum tahun 1991 telah dilepas dua varietas padi lahan rawa pasang
surut, yaitu Musi dan Kapuas. Varietas Musi toleran salinitas dan Kapuas toleran
Fe. Varietas Lematang (B5332-13d-MR-1-1) dan Sei Lilin (IR112288-BB-69-1)
dilepas pada tahun 1991 keduanya toleran keracunan Fe (Budiarti et al 2006).
Pada tahun 2001 telah dievaluasi plasma nutfah padi dari berbagai daerah di
Indonesia untuk sifat toleransi terhadap keracunan besi. Hasil evaluasi terhadap 200
aksesi plasma nutfah tanaman padi menunjukkan bahwa gejala keracunan Fe telah
dapat diamati pada umur 4 MST atau 55 hari sejak tabur n. Terdapat 37 aksesi
menunjukkan sifat peka terhadap keracunan Fe dengan skor bronzing daun 7, 112
aksesi menunjukkan sifat toleran terhadap keracunan Fe dengan skor bronzing daun
1-3, dan 46 aksesi menunjukan sifat moderat terhadap keracunan Fe dengan skor
bronzing daun 5 (Suhartini 2004). Beberapa varietas padi yang toleran terhadap
keracunan Fe dengan skor 1-3 serta menunjukkan pertumbuhan yang baik pada
kondisi kelebihan Fe adalah varietas Pulu Todori, Pulu Denni, dan Batu Genjah.
Dari data katalog plasma nutfah Balai Besar Biogen Badan Litbang
Pertanian, Departemen Pertanian tahun 2004 diperoleh informasi bahwa telah
dilepas beberapa varietas padi yang bersifat toleran terhadap keracunan besi
antara lain: varietas Pranum, Merah, Kencana Putih, Cangkara, Indel, Rojolele
(Reg. 7823), Balaplele, Umbangkara, Karundeng, Seribu Halus, Langkara,
Palihara, Sitopas, Rantai Ubi, Kari, Sidawat, Padi Kuda, Kalinci, IR1552. Pada
tahun 2006 telah dilepas varietas padi rawa pasang surut toleran keracunan besi,
antara lain : Banyuasin, Batanghari, Dendang, Indragiri, Punggur, Martapura,
Margasari, Siak Raya, Air tenggulung, Lambur, dan Mendawak (Suprihatno et al.
2006). Pada Januari 2009 telah dilepas varietas-varietas padi lahan pasang surut
9

toleran keracunan besi yaitu varietas Inbrida Padi Rawa (Inpara) 1, Inpara 2, dan
Inpara 3 (Anonim 2009).

Metode Analisis Respon Fisiologis Tanaman Padi terhadap Keracunan Besi

Penggunaan varietas adaptif di lahan pasang surut merupakan salah satu


teknologi yang murah dan mudah diadopsi oleh petani. Penggunaan varietas yang
tidak adaptif di lahan pasang surut memerlukan input produksi yang lebih tinggi,
seperti pemberian amelioran dan pupuk yang lebih tinggi. Hasil penelitian Noor
dan Jumberi (1998) menunjukkan bahwa untuk mendapatkan hasil biji yang sama
pada lahan pasang surut sulfat masam, varietas yang peka terhadap keracunan besi
seperti IR-64 memerlukan pemberian kapur 0.5 ton/ha lebih banyak dibandingkan
varietas yang cukup toleran terhadap keracunan besi seperti Kapuas.
Sampai saat ini untuk mencari varietas padi toleran keracunan Fe adalah
metode penapisan plasma nutfah yang dilakukan adalah dengan menyeleksi
plasma nutfah padi secara langsung di lahan dengan kadar Fe tinggi (200 ppm)
seperti yang dilaksanakan di daerah Tamanbogo, Lampung. Untuk memperoleh
ketepatan seleksi dilakukan metode stripe check, yaitu menempatkan tanaman
pembanding peka (IR64) dan toleran (Mahsuri) memanjang sejajar dengan plot-
plot bahan yang diuji, memanjang sejajar dengan plot-plot bahan yang diuji,
sehingga homogenitas lahan berkeracunan Fe dapat diketahui, pengamatan gejala
dapat dilakukan pada stadia awal pertumbuhan hingga stadia primordial
(Suhartini 2004). Metode lainnya yang sudah dilakukan adalah dengan metode
asidifikasi rhizosphere, yaitu melalui pengukuran perubahan pH daerah perakaran.
Metode ini masih perlu dimantapkan dengan menggunakan lebih banyak
varietas/galur yang sudah diketahui toleransinya di lapang (Gunawardena et al.
1982).
Sampai saat ini, seleksi toleransi tanaman padi terhadap cekaman besi
didasarkan pada gejala bronzing daun dan produksi biji total tetapi tidak
berdasarkan mekanisme resistansi atau sifat toleransi tanaman padi. Seleksi
tanaman padi menggunakan medium Yoshida sampai dengan konsentrasi 2000
ppm selama tiga hari setelah penambahan besi sulfat telah digunakan untuk
membedakan varietas padi toleran atau sensitif terhadap cekaman besi. Varietas
10

yang mengalami gangguan pertumbuhan secara fisiologi maupun morfologi pada


percobaan kultur hara juga mengalami penghambatan yang sama pada percobaan
menggunakan media tanah. Hal ini sesuai dengan pendapat yang dikemukakan
oleh Kpongor (2005) bahwa pertumbuhan awal tanaman padi dengan medium
Yoshida sampai dengan konsentrasi 2000 ppm digunakan untuk menunjukkan
gejala keracunan, yaitu dengan melihat bercak pada daun dalam penetapan nilai
skor bronzing daun. Selain lebih sederhana perlakuan dengan konsentrasi Fe yang
cukup tinggi pada kultur hara dapat dilakukan untuk dapat mempelajari tingkat
keracunan besi dalam waktu yang singkat, biaya yang lebih rendah, serta dapat
melakukan seleksi berbagai varietas dalam waktu bersamaan.

Anda mungkin juga menyukai