Anda di halaman 1dari 4

Satu kata yang dapat mendeskripsikan perasaan saya terhadap Faisal Oddang adalah 'kagum'.

Di usianya
yang begitu muda, Faisal dapat menghasilkan karya-karya berbobot yang mengenalkan sejarah dan
sosial-budaya masyarakat Bugis di tanah Sulawesi---yang merupakan tanah kelahirannya. Salah satu
karya Faisal Oddang adalah cerita pendek 'Mengapa Mereka Berdoa kepada Pohon?' yang dimuat pada
Kompas 21 Februari 2016 dan Tanah Air: Cerpen Pilihan Kompas 2016.

'Mengapa Mereka Berdoa kepada Pohon?' mengambil sudut pandang Ustad Syamsuri, seorang pejuang
kemerdekaan (fiktif) asal Bacukiki, berumur 50-an yang kehilangan anak akibat rumah panggungnya
dihancurkan dengan granat oleh Belanda. Ustad Syamsuri digambarkan sebagai sosok penggerak
masyarakat yang berusaha mempertahankan Bacukiki dari Belanda (pasca kemerdekaan). Karya
berbobot ini memaparkan dengan jelas ambisi Faisal Oddang yang ingin mengedukasi pembacanya
dengan realita sosial-budaya masyarakat Sulawesi Selatan yang juga tidak terputus dari faktor sejarah
(fungsi didaktis). Dapat dikatakan bahwa Faisal Oddang memiliki ambisi untuk menjadi bermanfaat bagi
orang lain---terutama bagi bangsanya---melalui karya sastranya.

Cerpen 'Mengapa Mereka Berdoa kepada Pohon?' karya Faisal Oddang, saya selesaikan dalam waktu
sekitar 25 menit. Padahal, cerpen tersebut hanya terdiri dari 1554 kata yang umumnya dapat
diselesaikan dalam kurun waktu 7 menit. Saya akui bahwa karya Faisal Oddang kali ini cukup berat
karena mengambil latar peristiwa sejarah, Korban 40.000 Jiwa. Peristiwa Korban 40.000 Jiwa (Desember,
1946 - Februari 1947) merupakan pembantaian ribuan masyarakat sipil di Sulawesi Selatan oleh pasukan
khusus Belanda, Depot Speciale Troepen (DST)---yang dipimpin oleh Raymond Westerling. Pengambilan
latar sejarah secara sengaja oleh Faisal Oddang bertujuan untuk membawa pembaca 'kembali' ke masa
pasca kemerdekaan yang diiringi dengan pembantaian sadis oleh Belanda.Penggambaran peristiwa
Korban 40.000 Jiwa oleh Faisal Oddang ditunjukkan pada kutipan berikut:

Suasana mulai ricuh, beberapa orang berusaha melarikan diri sebelum tubuh mereka jatuh menimpa
tanah dengan darah yang bercampur air hujan. Puluhan nyawa dicampakkan seketika, kurang dari lima
menit. Ketika pasukan-pasukan DST itu kembali dapat menenangkan situasi, interogasi berlanjut dan
bedil mereka mengantar tubuh-tubuh tak berdosa satu per satu menuju maut. Malam semakin larut
ketika hujan bertambah deras, juga petir yang beberapa kali menyambar disertai badai. Hal itu
membuat beberapa DST kerepotan, dan tentu saja keadaan kembali ricuh. Di dalam gelap itulah, mereka
menembaki kami tanpa iba. Teriakan dan erangan berganti saling sahut, aroma anyir darah menguar
bersama mesiu. Besoknya, hujan reda dan ratusan mayat bergelimpangan di tengah lapangan, kecuali
tubuhku yang hilang karena aku suci bagi orang di Bacukiki. (Mengapa Mereka Berdoa kepada Pohon?
bagian 4)

Faisal Oddang turut 'menghidupkan kembali' otak dari peristiwa sejarah Korban 40.000 Jiwa, yaitu
Raymond Westerling. Diceritakan bahwa Rahing, rekan seperjuangan Ustad Syamsuri menjuluki
Westerling sebagai 'Si Jagal Dari Turki'. Jagal bermakna pembunuh orang tidak bersalah dan Turki
merupakan negara kelahiran Westerling. Bagi saya, 'Si Jagal Dari Turki', julukan yang diberikan Faisal
Oddang untuk Westerling sangat menggambarkan betapa kejamnya Westerling terhadap masyarakat
Sulawesi Selatan. Penggambaran Westerling sebagai sosok pembunuh bertangan dingin oleh Faisal
Oddang juga dapat dilihat dari kutipan berikut:

Tatapannya dingin, ia tidak seperti yang lain; yang menyeringai penuh ejekan kepada kami. Wajahnya
hampir tanpa ekspresi. Mungkin.., mungkin, dia yang Rahing sebut sebagai Si Jagal Dari Turki
itu? Westerling yang dilaknat Allah? Dadaku semakin panas, namun aku kini seperti burung patah sayap
patah paruh. Ia masih menyelidiki wajah kami satu per satu dengan diam. Tangannya memegang
Browning P-35 yang sesekali ia gunakan ujungnya untuk mengangkat dagu jika ada dari kami yang
menunduk. Tiba-tiba pistol itu meletus, suaranya memekakkan telingaku dan bau mesiu sontak menguar
disusul tubuh perempuan rubuh di depanku. (Mengapa Mereka Berdoa kepada Pohon? bagian 4)

Realita historis lainnya yang dipaparkan oleh Faisal Oddang adalah anggota tarekat yang menjelma
sebagai pejuang kemerdekaan. Menurut Imam Khanafi, banyak anggota tarekat yang menjadi pejuang
kemerdekaan, contohnya seperti Syekh Yusuf al-Makassari, Iskandar Muda, Pangeran Diponegoro, dan
Tuanku Imam Bonjol. Ustad Syamsuri dalam 'Mengapa Mereka Berdoa kepada Pohon?' merupakan
anggota tarekat yang kerap kali mengadakan aktivitas mengaji bersama anak-anak Bacukiki. Di lain sisi,
Ustad Syamsuri juga diceritakan sebagai pemimpin Laskar Bacukiki yang berada di bawah Laskar Andi
Makassau (pusat perjuangan masyarakat Parepare melawan penjajah).

Posisi Ustad Syamsuri dapat dilihat melalui kutipan berikut:

Sebagai pimpinan Laskar Bacukikki yang berada di bawah Laskar Andi Makassau sebagai pusat
perjuangan rakyat Parepare, akulah yang menyiapkan tempat, dan selalu akulah yang memimpin rapat.
Itu menjadi alasanku meminta anak-anak mengaji di rumah mereka, selain karena tidak ingin
membahayakannya.  (Mengapa Mereka Berdoa kepada Pohon? bagian 3)

Selain realita-realita historis, terdapat pula realita sosial yang dapat dihayati masyarakat zaman sekarang
sebagai perwujudan fungsi didaktis yang ingin diraih oleh Faisal Oddang. Pada bagian akhir 'Mengapa
Mereka Berdoa kepada Pohon?', masyarakat Bacukiki mengira Ustad Syamsuri meninggal ditembak oleh
Westerling dan tubuhnya (mayatnya) yang tidak ditemukan, diangkat ke langit oleh Allah SWT.
Diceritakan pula bahwa masyarakat Bacukiki menganggap arwah Ustad Syamsuri tumbuh menjadi
pohon asam yang kemudian dijadikan tempat berdoa oleh masyarakat setempat. Dapat dilihat bahwa
melalui 'Mengapa Mereka Berdoa kepada Pohon?', Faisal Oddang memaparkan realita sosial masyarakat
Indonesia yang kerap kali mengaitkan sesuatu dengan hal-hal mistis---dalam kasus ini, masyarakat
Bacukiki membalut spiritualisme Islam dengan animisme-dinamisme.
Pada kenyataannya, Faisal Oddang memberikan plot twist bagi pembacanya. Awalnya, mata saya sudah
berkaca-kaca, termakan kepercayaan bahwa Ustad Syamsuri benar-benar meninggal ditembak
Westerling pada Januari, 1947. Namun, Ustad Syamsuri tidak meninggal ditembak Raymond Westerling
di Bacukiki, melainkan meninggal karena tuberkulosis di Onderafdeling Wajo, pada bulan Februari 1947,
setelah melarikan diri dari Westerling. Di lain sisi, masyarakat Bacukiki yakin betul bahwa Ustad
Syamsuri meninggal dibunuh oleh Westerling di Bacukiki dan arwahnya berubah menjadi pohon asam
yang sakral---padahal mayat Ustad Syamsuri tidak dapat ditemukan. Dari karyanya ini, Faisal Oddong
berusaha menekankan bahwa tradisi itu indah dan unik apa adanya tetapi cerita/kepercayaan rakyat
mengenai kehadiran tradisi tersebut tidak dapat diterima secara bulat-bulat, karena didominasi oleh hal
mistis yang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Faisal Oddang berusaha mengajak
masyarakat untuk menjadi pribadi yang lebih kritis dan tidak percaya begitu saja dengan pernyataan
orang/kelompok lain. Tentu saja Faisal sengaja-tidak sengaja menyindir masyarakat yang terlalu reaktif
dan tidak berpikir kritis terutama di masa serba cepat, masa digitalisasi.

Penggambaran kepercayaan masyarakat Bacukiki mengenai Ustad Syamsuri yang menjelma menjadi
pohon asam dapat dibaca dari kutipan berikut:

Aku tumbuh menjadi pohon. Orang-orang di kampung kami akan tetap percaya bahkan jika harus
didebat hingga mulut berbusa. Mereka mulai memercayainya sejak tahun 1947. Kini, pohon asam itu
sudah besar dan semakin tua. Kira-kira dapat diukur dengan lima orang dewasa melingkarkan lengan
untuk mampu memeluk batangnya. Hampir setiap hari orang merubut di sana mengucapkan doa yang
rupa-rupa jenisnya lantas mengikatkan kain rupa-rupa warnanya dan berjanji membuka ikatan itu
setelah doa mereka terkabul. Jadi jangan heran ketika di ranting, dahan, batang, atau tidak berlebihan
jika kukatakan hampir semua bagian pohon penuh ikatan kain. Ada banyak doa di sana. Demi menjaga
tubuhku, ada pagar beton sedada manusia, berwarna hijau lumut, mengelilingi batang pohon. Para
pedoalah yang membangunnya. (Mengapa Mereka Berdoa kepada Pohon? bagian 1)

Setelah menghayati 'Mengapa Mereka Berdoa kepada Pohon?', saya dapat melihat representasi Faisal
Oddang dalam tokoh Ustad Syamsuri. Ustad Syamsuri digambarkan sebagai tokoh yang memberikan
manfaat bagi masyarakatnya dalam perjuangan kemerdekaan, maupun dalam pendidikan Islam anak-
anak Bacukiki. Dedikasi Ustad Syamsuri bagi bangsa dan rakyatnya sama seperti Faisal Oddang yang
menggunakan 'Mengapa Mereka Berdoa kepada Pohon?'---serta karyanya yang lain---untuk mengenang
perjuangan bangsa Indonesia dan mengedukasi pembacanya.

'Mengapa Mereka Berdoa kepada Pohon?' berhasil membuka mata saya, terutama melalui perkataan
Rahing:

"Sebaik-baiknya manusia adalah orang yang bermanfaat bagi sesamanya," lanjut Rahing terisak, "arwah
Ustad Syamsuri di lapangan ini tumbuh jadi pohon asam, pohon yang penuh manfaat...." (Mengapa
Mereka Berdoa kepada Pohon? bagian 5)
'Mengapa Mereka Berdoa kepada Pohon?' merupakan salah satu karya yang dimanfaatkan oleh Faisal
Oddang sebagai tindak lanjut dari ambisi positifnya dalam mengedukasi pembaca. Faisal Oddang
berusaha mengedukasi pembaca mengenai peristiwa/realita historis dan realita sosial-budaya yang ada
pada masyarakat Indonesia hingga sekarang. Melalui cerpen ini, Faisal Oddang berupaya menjadi
manusia yang bermanfaat bagi sesamanya, terutama bagi bangsanya.

Saya sangat mengapresiasi ambisi dan dedikasi Faisal Oddang dalam mencari data berkualitas bagi
karya-karyanya yang kemudian disalurkan ke anak-anak bangsa. Sungguh ambisi yang begitu mulia.
Alangkah baiknya apabila kita dapat meniru tindakan Faisal Oddang tersebut. Mari kerahkan
kemampuan kita untuk menjadi bermanfaat bagi sesama seperti Faisal Oddang yang berkarya demi
kemajuan pendidikan bangsa.    

Konten ini telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Menggali Ambisi Faisal Oddang di "Mengapa
Mereka Berdoa kepada Pohon?"", Klik untuk baca:

https://www.kompasiana.com/windyphangestu1084/624fa8133794d1784c2c5fe2/menggali-ambisi-
faisal-oddang-di-mengapa-mereka-berdoa-kepada-pohon

Kreator: Windy Phangestu

Kompasiana adalah platform blog, setiap konten menjadi tanggungjawab kreator.

Tulis opini Anda seputar isu terkini di Kompasiana.com

Anda mungkin juga menyukai