Anda di halaman 1dari 13

Kerusakan Lingkungan Akibat Penambangan Pasir Secara Besar-besaran di Riau

Selasa, Januari 05, 2010

Diterbitkan oleh Ichwan Dwi

Penambangan pasir laut menimbulkan kerusakan lingkungan yang serius. Hal yang paling gampang
dideteksi adalah:

1) Hilangnya sebuah pulau karang di alur pelayaran antara Selat Panjang - Tanjung Balai Karimun.
Seorang masyarakat yang seringkali menggunakan jasa transportasi laut tersebut, mengaku
bahwa setahun yang lalu pulau tersebut masih ditumbuhi oleh dua tiga pohon keras dan ilalang.
Dan sekarang, pulau tersebut hampir tidak terlihat lagi, khususnya pada saat titik terendah pasang
surut laut. Di jalur pelayaran yang sama pula, kita bisa menyaksikan puluhan kapal pengeruk
beroperasi setiap harinya. Berjejer seperti noktah hitam di pinggir langit.

2) Kondisi tersebut bertambah parah dengan keruhnya perairan laut sekitar maupun bau busuk yang
terkadang menyengat. Tidak lagi bisa kita lihat birunya air dan harumnya udara laut. Semua
berganti dengan warna keruh dan bau busuk yang cukup menyengat. Ini terjadi hampir di seluruh
perairan Kepulauan Riau, khususnya di mana kapal keruk melakukan aktivitas penambangan.
Metode pengambilan pasir dilakukan dengan melakukan pengerukan sebagaimana halnya
buldozer meluluhlantakkan apa yang dilaluinya. Selain itu dengan menggunakan pipa penyedot
dengan kekuatan yang besar. Ia akan menyedot apapun yang ada di ujung pipa tersebut.
Walaupun metode kedua berbeda, namun hasil yang ditimbulkan tetap saja sama. Pasir yang ada
akan tersedot habis ke atas dan sesampainya di atas dipisahkan. Pasir masuk ke bak
penampungan dan lumpur dibuang kembali ke laut. Yang patut dicermati, adalah pasir yang
tersedot tersebut kemudian meninggalkan lubang. Berdasarkan efek gravitasi kemudian pasir
yang di atasnya akan menutup kembali lubang tersebut. Biasanya, secara alami, pasir yang ada
memang akan mengisi kekosongan tersebut. Namun, ini terjadi secara alami sehingga
perpindahan pasir dari satu tempat mengisi tempat yang lain tidak akan terlalu terasa
perubahannya. Namun, apabila proses yang terjadi merupakan sebuah percepatan, maka hasilnya
akan berbeda. Pasir yang di atasnya, secara otomatis, turut menyedot dan membuat pantai
menjadi curam. Akibat lebih jauh, gerusan ombak dengan leluasa menghajar apa yang ada di
pinggir pantai. Bisa anda bayangkan bagaimana proses pemindahan pasir yang terjadi secara
drastis dari hari ke hari, bulan ke bulan, dan dari tahun ke tahun. Sungguh sebuah realita yang
memprihatinkan betapa negeri ini sedang menderita. Lalu apakah yang dapat kita wariskan pada
generasi mendatang jika keadaan yang demikian terus berlanjut dan semakin tidak terkendali.
Ditambah lagi bahwa proses penambangan pasir ilegal ini mengalami peningkatan yang maha
dahsyat dalam kurun waktu 2 tahun terakhir ini.

3) Di sejumlah tempat, abrasi pantai yang terjadi sudah mencapai 35 meter. Bahkan, abrasi juga
sudah menelan sebuah pulau, yang dikenal dengan nama Pulau Karang, tempat di mana nelayan
biasanya berteduh dari hembusan angin yang terkadang tidak bersahabat. Di Desa Parit,
Kecamatan Karimun, abrasi pantai sudah berada di tepi rumah salah seorang nelayan. Abrasi
sejauh 24 meter tersebut, bisa dilihat pada titik N 00º57 310.10 E 103º2601.90. Kemudian pada titik
N 00º55023.50 E 103º28019.90, di mana abrasi dan lumpur yang ditinggalkan kapal keruk turut
mengancam usaha budidaya rumput laut yang diusahakan warga. Demikian juga halnya di Desa
Lubuk Puding. Di Pulau Buru, abrasi pantai juga terjadi pada titik N 00º52032.00 E 103º31040.50
sejauh 17 m. Abrasi juga menghantam dan menghabiskan tiga baris perkebunan kelapa milik
masyarakat di Lubuk Puding. Masih banyak lagi lokasi di mana abrasi telah menggerus pantai yang
ada. Inilah bukti tak terbantahkan bahwa ada penyusutan pulau yang tengah terjadi di Karimun.
Seperti yang telah dikatakan, bahwa abrasi pantai telah mengalami percepatan dalam 2-3 tahun
belakangan ini. Tingginya aktivitas penambangan pasir dianggap menjadi penyebab dari kondisi
tersebut. Belum adanya penelitian yang menyeluruh terhadap berbagai dampak yang ditimbulkan
dari penambangan pasir, khususnya terhadap lingkungan, membuat hubungan sebab akibat ini
bersifat asumsi. Akan tetapi, berdasarkan laporan langsung dari nelayan setempat dan
berdasarkan logika berpikir, hal ini bisa diketengahkan dalam melakukan penilaian hubungan
sebab akibat yang terjadi dari suatu aktivitas penambangan pasir dan percepatan abrasi yang
terjadi.

4) Kerusakan lingkungan bukan saja terjadi pada pantai akibat abrasi. Lumpur yang ikut tersedot dan
dimuntahkan kembali ke laut merupakan penyebab utama keruhnya perairan di Karimun.
Berbagai jasad renik yang ikut tersedot, secara otomatis, ikut menjadi penyebab munculnya bau
busuk yang mengganggu. Dalam kondisi perairan yang sedemikian rupa, pertanyaan yang muncul
adalah, ”Adakah kehidupan yang mampu bertahan di dalamnya?”. Jawabannya adalah ”Tidak ada
satupun” dan ini dibuktikan dengan semakin berkurangnya hasil tangkapan nelayan. Bila sebelum
maraknya penambangan, seorang nelayan mampu membawa pulang 30 kg-50 kg udang sehari,
kini untuk waktu yang sama jumlah tangkapannya menjadi 5 kg-15 kg. Dengan catatan, hal itu
bersifat untung-untungan. Keruhnya perairan sekitar juga menyebabkan terhambatnya
pertumbuhan karang yang ada.

5) Sulitnya sinar matahari menembus kedalaman laut tertentu menyulitkan karang dalam melakukan
aktivitas fotosintesis sehingga menghambat pertumbuhan karang tersebut. Penyedotan pasir
juga menyebabkan hilangnya sejumlah padang lamun di samping menghancurkan karang-karang
yang ada. Hilangnya sejumlah padang lamun dan terumbu karang, secara pasti, turut menjadi
penyebab beremigrasinya sejumlah ikan tangkapan nelayan ke lain tempat. Tentu saja, tidak ada
yang suka untuk tinggal dan menetap di kondisi perairan yang sedemikian kotor dan berbau.
Belum lagi polusi suara yang ditimbulkan oleh kapal-kapal pengeruk tersebut.

6) Seorang nelayan mengaku pernah melakukan penyelaman sedalam lebih dari 7 meter dan masih
mendengar dengan jelas kebisingan yang ditimbulkan oleh kapal pengeruk yang berjarak sejauh
500 meter dari lokasi penyelaman. Hal yang paling mengerikan daripada itu semua adalah
kekhawatiran musnahnya sejumlah pulau kecil yang bertebaran di perairan Karimun. Aktivitas jual
beli tanah air tersebut, dituding sebagai salah satu faktor utama yang mempercepat proses
tersebut. Ketakutan tersebut bukannya tidak beralasan. Ada sejumlah bukti yang bisa
diketengahkan di sini, di mana ada beberapa pulau yang nyaris hilang selain pulau yang memang
sudah hilang sama sekali. Lepas pantai Desa Moro, ada sebuah pulau karang yang dulunya
dijadikan nelayan untuk tempat berteduh manakala badai datang menerpa. Pulau tersebut
ditumbuhi oleh beberapa tetumbuhan keras dan ilalang dengan kontur tanah yang meninggi pada
bagian tengahnya, sehingga dapat digunakan sebagai tempat untuk beristirahat barang sejenak
dan untuk melindungi diri dari amukan angin yang datang tanpa terduga, mengingat letaknya di
selat yang cukup sempit. Tapi, kini itu semua tiada lagi, yang tinggal di pulau tersebut hanya
tunggul kayu yang mencuat ke atas. Tidak ada lagi tanah di mana bisa ditambatkan perahu, tidak
ada lagi!

DAMPAK PENAMBANGAN PASIR


Penambangan Pasir laut pada umumnya mengakibatkan dampak negatif terhadap komponen
lingkungan. Salah satu dampak negatif yang ditimbulkan adalah peningkatan kekeruhan yang
disebabkan oleh peningkatan konsentrasi padatan tersuspensi .Penelitian dengan maksud dan tujuan
untuk mengetahui konsentrasi dan penyebaran padatan tersuspensi yang merupakan limbah (slurry)
dari penambangan pasir laut. Penelitian dilakukan dengan bantuan perangkat lunak yang
berdasarkan pada model hidrodinamik. Penelitian dilakukan dengan simulasi pada perubahan
kecepatan arus 0,2 m/detik, 0,8 m/detik dan 1,4 m/detik.

Kerusakan lingkungan tersebut akan dapat berdampak bagi masyarakat, baik untuk jangka pendek
atau jangka panjang. Sekilas atau dalam jangka pendek mungkin hanya akan terlihat sebagai
pemandangan buruk yang tidak enak untuk dilihat dan dirasakan. Namun, dalam jangka panjang
tentu akan terasa lebih buruk lagi. Misalnya, akan mudah merembesnya air laut ke dalam sumber-
sumber air tanah di daratan (intrusi air laut), sehingga air tanah kita menjadi terasa payau. Bisa juga
terjadinya longsoran tebing-tebing kolam bekas galian, yang mana hal ini bukan hanya akan dapat
membahayakan keselamatan masyarakat, namun juga dapat mengakibatkan permukaan tanah
menjadi lebih rendah dari ketinggian permukaan air laut.

Hasil penelitian menunjukan bahwa penambangan pasir laut yang dilakukan pada kecepatan arus
rendah yaitu 0,2 m/detik akan mencapai konsentrasi padatan tersuspensi sebesar kurang lebih 217
mg/lt pada jarak 5 km, sedangkan pada kecepatan arus tinggi yaitu 1,4 m/detik konsentrasi padatan
tersuspensi pada jarak 5 km adalah sebesar kurang lebih 538 mg/It. Berdasarkan basil simulasi
penambangan lebih baik dilakukan pada saat kecepatan arus rendah, oleh karena padatan
tersuspensi akan mempunyai kesempatan mengendap pada wilayah penambangan sebelum
mencapai pantai terdekat, sehingga diharapkan konsentrasi padatan tersuspensi di pantai akan
mencapai atau mendekati nilai baku mutu yaitu sebesar 200 mg/It.

Penambangan Pasir Laut Harus Perhatikan Zonasi Wilayah Pesisir dan Laut
yang Merupakan Bagian Integral dari Rencana Tata Ruang Laut
Dari aspek dampak hidro-oseanografi, bahwa kriteria ‘aman’ bagi zona penambangan pasir adalah
ambang jarak 1 mil laut dari garis pantai dan kedalaman laut 5 meter.

Kajian hidro-oseanografi yang dilakukan setelah kegiatan penambangan dihentikan, belum dapat
menyatakan apakah kondisi kekeruhan perairan laut yang ada sebagai dampak kegiatan
penambangan pasir laut, karena sungai-sungai yang bermuara di perairan laut Riau juga memberikan
kontribusi suspensi yang cukup besar terhadap proses kekeruhan perairan laut. Untuk itu diperlukan
kajian tersendiri lebih lanjut.

Dari kajian hidro-oseanografi, secara teoritis bahwa proses alami sedimentasi pasir laut hanya
mampu menutup cekungan bekas penambangan setebal 8 meter dalam satu tahun.

Pada segmen-segmen garis pantai tertentu dimana mempunyai potensi dampak abrasi aktif, perlu
dilakukan tindakan mitigasi bencana. Selain itu, masih perlu dikaji lebih lanjut mengenai proses abrasi
yang ada, apakah terjadi sebagai proses`alami atau akibat dampak penambangan pasir laut.

Dari sisi ekonomi, Pulau Nipa memiliki potensi market-demand yang besar untuk pengembangan
investasi.

Potensi sumberdaya hayati di wilayah perairan laut Riau, secara umum kondisinya masih relatif baik.
Pada beberapa kawasan perairan dinilai masih cukup layak untuk budidaya perikanan, sehingga perlu
dijaga kelestariannya

Posisi KP sebagian besar bertumpang-tindih dengan zona penangkapan ikan nelayan tradisional.

Hasil-hasil kajian menjadi masukan untuk melakukan penajaman / evaluasi


zonasi. Diperlukan kebijakan yang tegas dan selekti
 dimana zona-zona yang memang terdapat potensi sebaran deposit pasir laut agar dapat
dilakukan penambangan. Sedangkan pada zona-zona yang memang berpotensi perikanan
dan zona konservasi lainnya agar secara tegas dilarang untuk penambangan.
 Diusulkan perlu adanya program rehabilitasi pantai dan pulau-pulau kecil yang mengalami
degradasi / kerusakan lingkungan.
 Perlu diusulkan agar 50% dari pendapatan pengusahaan pasir laut dapat dikembalikan lagi ke
desa / masyarakat setempat yang terkena dampak penambangan pasir laut, untuk tujuan
peningkatan kesejahteraan dan perbaikan lingkungan.
 Salah satu sasaran CD (Community Development) yang terpenting adalah upaya untuk
memperbaiki ‘tata niaga’ perikanan, bagaimana mengubah pola 'patron-klien' menjadi
'kemitraan'.

Pengertian Abrasi

Abrasi adalah suatu proses perubahan bentuk pantai atau erosi pantai yang disebabkan oleh
gelombang laut, arus laut dan pasang surut laut. Abrasi yang terjadi terus menerus akan
menimbulkan kerusakan lingkungan. Menurut berita dari koran “ Pikiran Rakyat” tanggal 31 Mei 2004
bahwa sedikitnya 40 kilometer kawasan pantai di Kabupaten Indramayu terus digerus abrasi.
Kerusakan akibat gerusan air laut yang tersebar di tujuh wilayah kecamatan di Indramayu itu sangat
memprihatinkan.

Proses Terjadinya Abrasi

Abrasi dapat terjadi karena:

1. Faktor Alam, dan


2. Faktor manusia.

Proses terjadinya abrasi karena faktor alam disebabkan oleh angin yang bertiup di atas lautan yang
menimbulkan gelombang dan arus laut sehingga mempunyai kekuatan untuk mengikis daerah
pantai. Gelombang yang tiba di pantai dapat menggetarkan tanah atau batuan yang lama kelamaan
akan terlepas dari daratan.

Gambar Proses Terjadinya Abrasi di Pantai

Gambar di atas menunjukkan skema arah gelombang laut yang mengikis pantai. Abrasi terjadi ketika
angin yang bergerak di laut menimbulkan gelombang dan arus menuju pantai. Arus dan angin
tersebut lama kelamaan menggerus pinggir pantai. Gelombang di sepanjang pantai menggetarkan
tanah seperti gempa kecil. Kekuatan gelombang terbesar terjadi pada waktu terjadi badai sehingga
dapat mempercepat terjadinya proses abrasi. Contoh abrasi karena faktor alam, misalnya adalah
Pura Tanah Lot di pulau Bali yang terus terkikis
Selain faktor alam, abrasi juga disebabkan oleh faktor manusia, misalnya penambangan pasir.
Penambangan pasir sangat berperan banyak terhadap abrasi pantai, baik di daerah tempat
penambangan pasir maupun di daerah sekitarnya karena terkurasnya pasir laut akan sangat
berpengaruh terhadap kecepatan dan arah arus laut yang menghantam pantai.

Dampak Abrasi

Dampak negatif yang diakibatkan oleh abrasi antara lain:

1. Penyusutan lebar pantai sehingga menyempitnya lahan bagi penduduk yang tinggal di
pinggir pantai
2. Kerusakan hutan bakau di sepanjang pantai, karena terpaan ombak yang didorong angin
kencang begitu besar.
3. Kehilangan tempat berkumpulnya ikan ikan perairan pantai karena terkikisnya hutan bakau

Usaha Pencegahan Abrasi

Ada beberapa usaha yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya abrasi, diantaranya yaitu:

Penanaman kembali hutan bakau

1. Pelarangan penggalian pasir pantai


2. Pembuatan pemecah gelombang
3. Pelestarian terumbu karang

Yaitu melalui rehabilitasi lingkungan pesisir yang hutan bakaunya sudah punah, baik akibat
dari abrasi itu sendiri maupun dari pembukaan lahan tambak.

Perlu peraturan baik tingkat pemerintah daerah maupun pusat yang mengatur pelarangan
pasir pantai secara besar besaran yang tidak memperhatikan kelestarian lingkungan.

Pemecah gelombang perlu dibuat di pesisir-pesisir karena dapat mengurangi kekuatan


gelombang yang menerjang pantai. Gambar Pemecah Gelombang.

Terumbu karang juga dapat berfungsi mengurangi kekuatan gelombang yang sampai ke
pantai. Oleh karena itu perlu pelestarian terumbu karang dengan membuat peraturan untuk
melindungi habitatnya.

INTISARI: Sejak tahun 2003, Pemerintah Daerah Kabupaten Serang mengusahakan


penambangan pasir laut di wilayahnya dalam merespon permintaan pasir urug untuk
pembukaan lahan baru ke arah pesisir di berbagai wilayah, khususnya Jakarta. Pada satu sisi,
penambangan pasir laut dapat dilihat sebagai sumber pendapatan daerah, namun di sisi lain
penambangan pasir laut di Kabupaten Serang, khususnya di Desa Lontar di duga telah
mengakibatkan terjadinya kerusakan lingkungan, sehingga merugikan masyarakat setempat.
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pengaruh kegiatan penambangan pasir laut terhadap
perubahan lingkungan dan kehidupan masyarakat di Desa Lontar, Kecamatan Tirtayasa,
Kabupaten Serang, Banten. Penelitian ini menggunakan metode pendekatan kualitatif. Data-
data yang digunakan meliputi data sekunder berupa peta, citra satelit, dan dokumen
pendukung, serta data primer. Teknik pengumpulan data primer dilakukan melalui in-depth
interview terhadap masyarakat Desa Lontar, dan instansi-instansi pemerintah yang terkait
dalam kegiatan penambangan pasir laut. Analisa data dilakukan secara spasial dan deskriptif.
Hasil penelitian menunjukkan tiga hal utama. Pertama , penambangan pasir laut mempengaruhi
daratan pesisir Desa Lontar melalui adanya perubahan parameter oseanografi, khususnya arah
arus, yang semakin mengintenfsifkan proses abrasi di sepanjang pantai Desa Lontar. Hal ini juga
terlihat dari perbedaan luas wilayah yang terabrasi di Desa Lontar pada periode sebelum
penambangan pasir laut (rata – rata 2,4 ha per tahun) dengan periode penambangan pasir laut
(rata – rata 6,6 ha per tahun). Abrasi yang terjadi pada masa penambangan pasir laut telah
mengganggu lahan masyarakat yang meliputi area pemukiman, sawah, dan tambak. Pola abrasi
yang terjadi di pantai Desa Lontar pada periode penambangan pasir laut cenderung bergerak
semakin ke arah timur, yaitu ke arah pemukiman nelayan, sedangkan pada periode sebelum
penambangan pasir laut, abrasi hanya terjadi di sekitar Tanjung Pontang yang secara alami
sudah mengalami proses abrasi sebelumnya. Kedua, masyarakat memiliki persepsi bahwa
penambangan pasir laut memberikan dampak negatif bagi kehidupan masyarakat Desa Lontar,
karena adanya kerusakan lingkungan laut dan pantai, yang telah mempengaruhi kondisi
perekonomian dan lin gkungan perumahan mereka. Ketiga , lemahnya penegakkan hukum (law
enforcement), khususnya terhadap Amdal yang telah dibuat, menyebabkan pengawasan dan
pengendalian penambangan pasir laut kurang optimal. Kasus yang terjadi di Desa Lontar ini tidak
lepas dari lemahnya pengelolaan lingkungan hidup, yang terkait dengan kegiatan penambangan
pasir laut, yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Serang. Lemahnya pengelolaan
lingkungan ini sangat berhubungan dengan penyelenggaraan pemerintahan yang ada, terutama
masalah kurangnya integritas moral dan komitmen pemerintah terhadap lingkungan hidup.
Upaya – upaya pengawasan dan pengendalian penambangan pasir laut yang ketat perlu
dilakukan Pemerintah Daerah Kabupaten Serang, khususnya mengenai aspek legal dalam
pengelolaan penambangan pasir laut. Selain itu, juga diperlukan kelembagaan dalam kegiatan
penambangan pasir laut yang lebih bertanggung jawab dan berkomitmen tinggi terhadap
lingkungan agar tercipta sistem pengawasan dan pengendalian penambangan pasir laut yang
lebih efektif, yang pada akhirnya dapat meminimasi dampak lingkungan yang terjadi akibat
penambangan pasir laut. Kata kunci: Penambangan Pasir Laut, Abrasi, degradasi lingkungan,
Persepsi masyarakat.

Penambangan Pasir Laut


Pertimbangan Ekologi dan Abrasi/Erosi Pantai
Mulia Purba

BELAKANGAN ini, perbincangan tentang penambangan dan ekspor pasir laut menjadi hangat
kembali. Pemicunya adalah siaran pers dari Menteri Kelautan dan Perikanan Rokhmin Dahuri yang
menginformasikan bahwa ada permintaan negara tetangga Malaysia untuk mengimpor pasir laut
dari Indonesia.

TENTUNYA, realisasi permintaan ini akan tergantung hasil evaluasi dari

TP4L (Tim Pengendali dan Pengawas Pengusahaan Pasir Laut) yang diketuai

oleh Menteri Kelautan dan Perikanan sendiri. Hari-hari berikutnya,

diberitakan ketidaksetujuan berbagai pihak atas keinginan negara

tetangga ini dengan berbagai alasan ditinjau dari sudut pandang yang

beragam pula.

Namun, pada intinya dapat dikatakan, penolakan dibukanya kembali ekspor

pasir laut ini terfokus pada kerusakan lingkungan dan tidak adanya

manfaat langsung yang dirasakan masyarakat setempat terhadap kegiatan

yang ada di sekitar mereka.

Tulisan ini mencoba menelaah berbagai pertimbangan ekologi dan kerusakan

lingkungan yang diakibatkan kegiatan penambangan pasir laut.

Abrasi/erosi pantai

Salah satu fungsi pasir laut yang terdapat di dasar perairan pesisir

adalah meredam energi gelombang sebelum mengempas ke pantai. Bila dasar

perairan pesisir dikeruk (ditambang) untuk mengambil pasir lautnya,

dasar perairan akan menjadi lebih dalam ataupun lereng dasar perairannya

menjadi lebih curam.


Akibatnya adalah tingkat energi gelombang yang mengempas di pantai akan

menjadi lebih tinggi karena peredaman oleh dasar perairan telah

berkurang. Hal ini berdampak pada makin intensifnya proses abrasi/erosi

pantai.

Peran dasar perairan sebagai peredam energi gelombang dapat kita lihat,

misalnya, hantaman gelombang yang lebih ganas di pantai barat Sumatera

dengan dasar perairan yang lebih curam dibandingkan dengan pantai timur

di mana dasar perairan pesisirnya lebih landai sehingga sebagian besar

energi gelombang telah diredam oleh dasar perairan yang landai dan

dangkal.

Persyaratan yang harus dipertimbangkan adalah pada kedalaman berapa

penambangan pasir dapat dilakukan sehingga fungsi dasar perairan untuk

meredam energi gelombang dapat dipertahankan. Dengan kata lain, proses

hantaman gelombang di pantai tidak meningkat akibat adanya penambangan

pasir laut di perairan pesisir pantai tersebut.

Pada buku-buku oseanografi fisik maupun coastal engineering terdapat

metode untuk menghitung kedalaman di mana energi gelombang mulai

diredam. Faktor penentu antara lain kecepatan dan arah utama tiupan

angin yang menentukan karakter gelombang yang merambat ke arah pantai,

batimetri dan lereng dasar perairan.

Setelah ditemukan kedalaman aman dari segi peredaman gelombang, maka

masih harus dipertimbangkan adanya longsoran dasar perairan akibat

penambangan pasir.

Dengan mempertimbangkan lereng yang aman terhadap longsoran, maka dapat


ditetapkan kedalaman yang aman untuk kegiatan penambangan pasir laut.

Tentunya kedalaman aman ini semakin menjauhi pantai.

Habitat organisme bentos

Seperti diketahui, salah satu kekayaan ekosistem pesisir terletak pada

lapisan yang tidak terlalu tebal yang terdapat di permukaan dasar

perairan pesisir. Lapisan tipis ini dapat berupa hasil dekomposisi bahan

organik seperti dedaunan dari berbagai jenis vegetasi pantai yang dengan

bercampur sedimen halus sampai kasar.

Habitat ini merupakan tempat di mana jasad renik berperan melakukan

proses dekomposisi terhadap bahan organik sehingga menjadi makan alami

bagi larva, juvenil sebelum mereka tumbuh dewasa dan dapat berkelana ke

habitat lain sesuai dengan karakter biologisnya.

Oleh karena itu, lapisan tipis ini sangat kritis dalam kehidupan makhluk

kecil dan lemah tersebut sehingga tempat ini disebut nursery ground

(tempat pengasuhan).

Bila masa larva dan juvenil ini gagal, dapat dipastikan rekrutmen akan

gagal dan akibatnya populasi yang menjadi dewasa juga mengalami

kegagalan, yang berarti hasil tangkapan akan anjlok. Selain itu,

berbagai organisme bentos yang hidup dan mencari makan di habitat

tersebut juga akan hilang.

Lokasi-lokasi demikian tentunya harus dilindungi dari kegiatan

penambangan pasir, karena selain akan mematikan jasad renik, larva,

juvenil serta organisme bentos lainnya juga merusak habitat yang kritis
bagi rantai kehidupan organisme laut tersebut.

Kerusakan habitat ini sangat jauh jangkauannya karena untuk memulihkan

ke kondisi yang terbentuk selama bertahun-tahun sebelum terjadinya

penambangan tidak dapat dipulihkan dalam waktu yang singkat.

Perlindungan pesisir

Dengan mempertimbangkan faktor-faktor di atas, maka perlu dibuat garis

khayal yang sejajar garis pantai sehingga terbentuk suatu zona penyangga

perlindungan perairan pesisir untuk melindungi perairan pesisir dan

pantai dari kerusakan akibat kegiatan penambangan pasir laut. Ke dalam

zona ini tercakup daerah yang lebih sempit di sekitar pantai seperti

inter-tidal zone, coastal wetland maupun jenis ekosistem lainnya yang

tergolong daerah vital dan kritis karena merupakan daerah pemijahan dan

nursery ground berbagai jenis organisme laut.

Zona penyangga perlindungan perairan difokuskan pada wilayah yang belum

mempunyai pengaturan khusus. Lokasi seperti Taman Nasional, Taman Wisata

Alam, Cagar Alam, Suaka Margasatwa, Kawasan Perlindungan Mamalia Laut,

Instalasi Kabel, dan Pipa Bawah Laut. Tidak perlu lagi karena sudah ada

pengaturan khusus.

Hal yang krusial adalah penentuan lebar zona penyangga perlindungan

perairan pesisir ini. Pertimbangan pertama yakni kedalaman yang aman

dari segi peredaman energi gelombang dan longsoran dasar perairan dapat

dihitung bila data karakter gelombang dan lereng dasar perairan pesisir

tersedia. Bila data angin tersedia, karakter gelombang dapat dihitung.


Pertimbangan kedua, apakah ke sebelah laut lepas dari zona aman

peredaman gelombang dan longsoran dasar perairan masih merupakan habitat

organisme bentos, larva, juvenil dan jasad renik dan seberapa jauh

jaraknya ke arah laut lepas? Pada daerah yang landai, habitat organisme

bentos ini dapat mencakup zona yang lebar dari garis pantai.

Dengan demikian penentuan zona ini tidak dapat digeneralisasi, misalnya,

dengan menyebutkan penambangan pasir laut tidak dapat dilaksanakan pada

jarak tertentu dari garis pantai atau pada kedalaman kurang dari sekian

meter. Akan tetapi, penentuannya harus mempertimbangkan kedua faktor

yang telah diuraikan di atas, sehingga jarak ataupun kedalaman perairan

yang aman akan bervariasi dari satu lokasi ke lokasi lainnya tergantung

dari kondisi perairan pesisir yang bersangkutan.

Kasus Provinsi Riau

Dalam suatu survei di perairan Riau Kepulauan, penulis menyaksikan

abrasi/erosi pada berbagai lokasi di pantai karena adanya penambangan

pasir tanpa mempertimbangkan zona penyangga perlindungan pantai, di mana

akibat penambangan yang terlalu dekat ke pantai, abrasi/erosi meningkat

akibat hantaman gelombang. Selain itu para nelayan juga mengeluh karena

hasil tangkapan menurun karena rusaknya habitat berbagai jenis organisme

laut.

Bila diperhatikan dengan saksama, perairan Riau, terutama perairan Riau

Kepulauan yang ditempati oleh rangkaian kepulauan dan pulau-pulau dengan

dasar perairan yang landai dan garis pantai yang umumnya ditumbuhi

mangrove, maka secara umum dapat dikatakan bahwa penambangan pasir laut

seharusnya tidak dilakukan di antara kepulauan dan pulau-pulau yang ada


serta antara pulau-pulau tersebut dengan pantai Sumatera. Lebar

selat-selat tersebut relatif sempit sehingga penambangan pasir akan

mengakibatkan longsoran pada dasar perairan sehingga lereng dasar

perairan dapat menjadi curam ke arah pantai.

Selain itu, dengan mempertimbangkan ekosistem mangrove dan tanaman

pesisir lainnya yang tumbuh pada hampir sebagian besar wilayah pesisir,

dasar perairan yang landai, banyaknya sungai yang bermuara ke perairan

ini dari Pulau Sumatera yang membawa sedimen lumpur dan pasir, maka

sebagian besar dasar perairan berpotensi sebagai habitat organisme

bentos, larva, juvenil yang merupakan kekayaan hayati yang harus

dilindungi. Kalau diteliti dengan cermat mungkin ada beberapa

kantong-kantong yang aman pada selat yang agak lebar, tentunya setelah

dilakukan studi yang cermat.

Selain pertimbangan ekologis yang saksama masih banyak pertimbangan

lainnya, misalnya, lembaga yang dapat menjamin dan mengawasi secara

ketat bahwa penambangan dilakukan pada daerah yang diizinkan dan tidak

merambah ke daerah yang dilarang, konsistensi kebijakan pemerintah yang

telah

menghentikan ekspor pasir laut ke negara tetangga Singapura, sebelum

kegiatan penambangan dan ekspor pasir laut ini dibuka kembali.

Ir Mulia Purba, MS,PhD Dosen Oseanografi Fisik Dep. Ilmu dan Teknologi

Kelautan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB, Bogor.

Anda mungkin juga menyukai