I. PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan alam yang beraneka ragam.
Keanekaragaman kekayaan alam ini hampir sebagian besar dijumpai di kawasan hutan.
Fungsi hutan yang telah diketahui selama ini adalah fungsi produksi, fungsi hidrologi, fungsi
ilmu pengetahuan, fungsi wisata dan budaya serta pertahanan keamanan. Pemanfaatan
hutan ini ditujukan antara lain untuk peningkatan devisa negara dan meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Melihat pentingnya fungsi dan peranan hutan tersebut maka
diperlukan usaha perlindungan agar hutan tetap terjamin kelestariannya.
Dalam mengelola hutan, pihak pengelola tidak akan lepas dari masalah gangguan
keamanan pada hutan. Pada hutan tanaman, selain gangguan hama penyakit dan
pencurian, kebakaran hutan merupakan masalah yang mengakibatkan kerugian baik secara
ekonomi, sosial maupun ekologi.
Kebakaran hutan dalam waktu singkat dapat mengakibatkan kerugian yang besar
dibandingkan faktor perusak hutan yang lain. Penyebab kebakaran hutan dapat bermacam-
macam baik dari alam maupun karena kegiatan manusia. Kebakaran hutan akibat
perbuatan manusia merupakan penyebab terbesar dari peristiwa kebakaran hutan di
Indonesia. Hal ini berkaitan dengan makin meningkatnya jumlah dan mobilitas penduduk
sehingga kontak antara hutan dan penduduk makin tinggi. Selain itu kebutuhan akan lahan
garapan dan kesempatan kerja juga makin meningkat sehingga menjadikan aksesibilitas
manusia terhadap hutan makin mudah. Para peladang berpindah sering dituduh sebagai
penyebab terjadinya kebakaran di hutan alam, karena pembukaan lahannya dilakukan
dengan jalan membakar areal yang akan ditanam (prescribed burning).
Dalam usaha pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan diperlukan suatu
manajemen pengendalian kebakaran hutan (forest fire management). Salah satu upaya
untuk melakukan pencegahan kebakaran hutan ini yaitu dengan melakukan Penilaian
Bahaya Kebakaran Hutan (Fire Danger Rating). Metode Penilaian Bahaya Kebakaran telah
banyak dikembangkan untuk menilai tingkat bahaya kebakaran. Indeks Kekeringan
Keeetch-Byram (KBDI) baru-baru ini dikembangkan untuk menilai bahaya kebakaran hutan
di Kalimantan Timur. Menurut Deeming (1995) sistem ini dinilai dapat diandalkan sebagai
model yang diusulkan dalam sistem penilaian bahaya kebakaran. Keuntungan KBDI
terletak pada pengumpulan data yang semuanya bisa diperoleh di stasiun klimatologi, yang
berupa rata-rata curah hujan tahunan, curah hujan harian dan temperatur harian
maksimum. Selain itu KBDI dapat dihitung secara manual dan persamaannya diprogram ke
dalam kalkulator atau komputer.
C. Kelembaban Udara
Kelembaban udara berasal dari evaporasi air tanah, badan air dan transpirasi
tumbuh-tumbuhan. Ketika kandungan air di udara sama dengan besarnya penguapan air,
maka terjadilah kondisi jenuh udara. Umumnya kandungan air di udara lebih kecil dari
penguapan yang terjadi, dan kondisi ini disebut udara tak jenuh. Para ahli metereologi
menggambarkan kelembaban udara sebagai Relative Humidity (kelembaban relatif) yang
didefinisikan sebagai rasio antara kandungan air dalam udara pada suhu tertentu dengan
kandungan air maksimum yang dapat dikandung pada suhu dan tekanan yang sama.
Kelembaban nisbi atau kelembaban udara di dalam hutan sangat mempengaruhi
pada mudah tidaknya bahan bakar yang ada untuk mengering, yang berarti mudah
tidaknya terjadi kebakaran (Dirjen PHPA, 1994).
Menurut Suratmo (1985), cuaca atau iklim merupakan faktor yang sangat
menentukan kadar air bahan bakar hutan, terutama peranan air hujan. Di dalam musim
kering kelembaban udara sangat menentukan kadar air bahan bakar.
Menurut Saharjo (1997), kelembaban relatif yang tinggi di pagi hari yaitu sekitar 90
? 95 % ditambah dengan rendahnya kecepatan angin membuat api tidak berkembang
sehingga terkonsentrasi pada satu titik. Sementara siang hari dengan kelembaban relatif
70 ? 80 % dan kadar air bahan bakar cukup rendah (< 30%) membuat proses pembakaran
berlangsung cepat dan bentuk kebakarannya pun tidak satu titik, tapi berubah-ubah karena
pengaruh angin (Saharjo, 1997).
D. Presipitasi
Air yang dikandung udara berada dalam tiga wujud, yaitu sebagai uap air tidak
terlihat dan bereaksi seperti gas lain, sebagai cairan yang berbentuk tetesan pada berbagai
ukuran, sebagai padatan berbentuk kristal-kristal es yang jatuh sebagai salju, hujan batu es
atu hujan bercampur es atau salju (Chandler et. al. 1983).
Daerah dengan curah hujan tinggi berpengaruh terhadap kelembaban dan keadaan
bahan bakar. Bila keadaan bahan bakar tinggi, sulit terjadi kebakaran (Dirjen PHPA, 1994).
Penelitian Triani (1995) yang mengadakan penelitian di KPH Banyawangi selatan
menunjukkan hasil perhitungan indeks kekeringan berkisar 0 ? 800 (menurut Kingston dan
Ramadhan). Pada bulan dengan sedikit curah hujan, indek kekeringan cukup tinggi,
sebaliknya pada bulan dengan curah hujan tinggi, indek kekeringan rendah, bahkan
mencapai angka nol. Hal ini menunjukkan bahwa curah hujan mempengaruhi kadar air
bahan bakar.
Hal yang sama juga dijelaskan dalam Syaufina (1988), bahwa di Semarang, Jawa
Tengah, puncak kebakaran hutan terjadi pada bulan Agustus dan September. Data
observasi selama 5 tahun menunjukkan bahwa kebakaran hutan meningkat seiring dengan
menurunnya curah hujan dan puncak kebakaran hutan terjadi pada bulan-bulan tanpa
curah hujan. Pada saat itu, tanaman jati menggugurkan daun-daunnya, sehingga
ketersediaan bahan bakar menjadi meningkat dalam jumlah sedangkan kadar air yang
menurun secara drastis. Kondisi tersebut membuat bahan bakar menjadi lebih mudah
terbakar.
E. Angin
Menurut Chandler et. al. (1983), angin merupakan salah satu faktor penting dari
faktor-faktor cuaca yang mempengaruhi kebakaran hutan. Angin bisa menyebabkan
kebakaran hutan melalui beberapa cara. Angin membantu pengeringan bahan bakar yaitu
sebagai pembawa air yang sudah diuapkan dari bahan bakar. Angin juga mendorong dan
meningkatkan pembakaran dengan mensuplay udara secara terus menerus dan
peningkatan penjalaran melalui kemiringan nyala api yang terus merembet pada bagian
bahan bakar yang belum terbakar.
Lebih lanjut Deeming (1995) mengemukakan bahwa tiupan angin, akan
memperbesar kemungkinan membesarnya nyala api dari sumbernya (korek api, obor, kilat
dan sebagainya). Sekali nyala api terjadi, maka kecepatan pembakaran, lama penjalaran
dan kecepatan perkembangan api akan meningkat dengan makin besarnya tiupan angin.
Sedangkan menurut Suratmo (1985), angin menentukan arah dan menjalarnya api
dan mempunyai korelasi positif dengan kecepatan menjalarnya api, tetapi besar kecilnya api
ditentukan oleh kadar air bahan bakar.
Di beberapa negara nilai bahaya kebakaran hutan sering digunakan sebagai petunjuk
dalam tindakan pencegahan kebakaran hutan. Nilai bahaya kebakaran hutan dapat dipakai
untuk menentukan kegiatan-kegiatan patroli, deteksi dari udara, pengawasan dan persiapan
dalam menghadapi kemungkinan terjadinya kebakaran (Chandler et. al. 1983).
Pada dasarnya dikenal tiga macam cara penilaian bahaya kebakaran hutan
(Suratmo, 1985), yaitu:
Hasil analisis keadaan klimatologi daerah Samarinda dan Balikpapan selama tahun
1978-1995 menunjukkan bahwa kebakaran hutan besar pada periode 1982-1983, 1991-
1992 dan 1994 terjadi hanya pada saat keadaan curah hujan berada pada kisaran tertentu.
Indeks Kekeringan Keetch Byram (KBDI) dinilai dapat diandalkan sebagai model yang
diusulkan dalam sistem penilaian bahaya kebakaran hutan (Deeming, 1995).
Model KBDI dibuat berdasarkan asumsi-asumsi berikut ini :
* Laju hilangnya kelembaban di daerah kawasan hutan akan bergantung pada kerapatan
vegetasi yang menutupi kawasan tersebut. Pada gilirannya, kerapatan vegetasi yang
menutupi dan kapasitas penguapannya, merupakan fungsi dari nilai rata-rata curah
hujan tahunan. Selanjutnya, vegetasi tersebut pada akhirnya akan menyesuaikan
dengan sendirinya dalam memanfaatkan lebih banyak kelembaban di sekitarnya.
* Hubungan vegetasi dengan curah hujan mendekati kurva eksponensial dimana laju
hilangnya kelembaban merupakan fungsi dari rata-rata curah hujan tahunan. Oleh
karena itu, laju hilangnya kelembaban akan menurun dengan semakin menurunnya
kerapatan vegetasi, dan dengan menurunnya rata-rata curah hujan tahunan.
? Laju hilangnya kelembaban dari tanah ditentukan oleh hubungan evapotranspirasi.
? Hilangnya kelembaban tanah seiring dengan waktu diperkirakan dengan bentuk kurva
eksponensial dimana kelembaban titik layu digunakan sebagai tingkat kelembaban yang
terendah. Oleh karena itu, laju penurunan (drop) yang diharapkan pada kelembaban
tanah terhadap titik layu pada kondisi yang sama, adalah cukup proporsional terhadap
jumlah ketersediaan air dalam lapisan tanah untuk waktu tertentu.
? Kedalaman lapisan tanah pada saat kekeringan berlangsung adalah saat kekeringan
berlangsung adalah saat dimana tanah memiliki nilai kapasitas lapang sebesar 8 inchi.
Meskipun seleksi 8 inchi agak berubah-ubah, namun nilai numerik yang tepat tidak
begitu penting. Kadar kelembaban yang terjadi pada kapasitas lapang 8 inchi tersebut
cukup masuk akal untuk penggunaan pengendalian kebakaran hutan sebab di banyak
negara, permukaan vegetasi menguapkan banyak air seluruhnya terjadi pada musim
panas.
? KBDI hanya memerlukan data-data seperti : Rata-rata curah hujan tahunan, curah
hujan harian dan temperatur harian maksimum yang kesemuanya tersedia di stasiun
pengamat cuaca lapangan terbang.
Kelebihan KBDI sebagai alat untuk menilai tingkat bahaya kebakaran hutan antara
lain (Deeming, 1995) :
1. KBDI dikembangkan di Amerika Serikat pada tahun 1968 dan telah diterapkan
penggunaannya dengan beberapa modifikasi yang dilakukan oleh orang-orang Australia
dan negara lain. Di Indonesia KBDI telah diterapkan oleh IFFM (Integrated Forest Fire
Management), lembaga kerja sama Jerman dan Indonesia, di Kalimantan Timur dengan
KBDI sistem metrik.
2. KBDI hanya membutuhkan data curah hujan 24 jam, temperatur maksimum 24 jam dan
rata-rata curah hujan tahunan yang diperoleh dari stasiun pengamat cuaca.
3. KBDI dapat dihitung secara manual dan persamaan hitungnya cukup mudah untuk
diprogram ke dalam kalkulator maupun komputer.
4. Instrumen yang diperlukan dalam stasiun pengamat cuaca adalah catatan pengukur
curah hujan, termograf dan instrumen pelindung.
5. KBDI harus dihitung setiap saat dilakukan pengamatan cuaca, namun tidak harus
dihitung tiap hari. Oleh karena itu dapat dihitung sekali dalam seminggu.
IV. PENUTUP
Cuaca kebakaran hutan sangat terkait dengan penggunaan nilai bahaya kebakaran (Fire
Danger Rating). Pemahaman tentang cuaca kebakaran hutan akan sangat menunjang
penggunaan Fire Danger Rating dalam upaya pencegahan kebakaran hutan. Faktor-faktor
iklim yang diperlukan dalam penetapan nilai bahaya kebakaran hutan adalah radiasi
matahari, suhu udara, kelembaban udara, presipitasi dan angin.
Upaya penanggulangan kebakaran hutan hendaknya dilalukan secara terpadu antara
pencegahan dan pemberantasan kebakaran. Upaya yang paling efisien adalah kegiatan
pencegahan kebakaran hutan. Salah satunya adalah penerapan sistem peringatan dini
bahaya kebakaran hutan. Fire Danger Rating sangat dianjurkan bisa dikuasai oleh petugas
lapangan untuk dapat mengantisipasi secara dini adanya bahaya kebakaran. Dengan
antisipasi secara dini, kalaupun terjadi kebakaran hutan diharapkan tidak mengakibatkan
kerugian yang besar.
Arba?I M dan Deddy. 1996. Sistem Peringatan Dini dalam Penaggulangan Kebakaran
Hutan. Bapedal Pusat. Jakarta.
Balai Teknologi Reboisasi Banjarbaru Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan 1992.
Mengendalikan Api Lahan. Penerbitan Nomor 3 Januari 1992.
Brown, A.A. and K.P. Davis. 1973. Forest Fire Control Use. Mc Graw-Hill, Inc. USA.
Chandler, C.P. Cheney, L. Trabaud and D. Williams. 1983a. Fire in Forestry Vol. I Forest
Fire Behaviour and Effects. John Wiley and Sons, Inc. Canada.
______1983b. Fire in Forestry Vol. II Forest Fire Management and Organisation. John Wiley
and Sons, Inc. Canada
______ 1994b. Surat Keputusan Dirjen PHPA Nomor 243/Kpts/DJ VI/1994 Tentang
Petunjuk Teknis Pencegahan dan Penanggulangan Kebakaran Hutan di Areal
Pengusahaan Hutan dan Areal Penggunaan Lainnya. Departemen Kehutanan.
Jakarta.
Saharjo,, B.H. 1997. Mengapa Hutan dan Lahan Terbakar. Harian Republika. 29
September 1997.
Schroeder, M.J. and C. C. Buck. 1970. Fire Weather. Agriculture Handbook 360. US
Department of Agriculture Forest Service. USA
Suratmo, F.G. 1985. Ilmu Perlindungan Hutan. Bagian Perlindungan Hutan Fakultas
Kehutanan IPB. Bogor.
Syaufina. L. 1988. Pola Penyebaran Kebakaran Hutan berdasarkan Musim di Jawa Tengah.
Skripsi Mahasiswa Jurusan Manajeman Hutan Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Tidak
Dipublikasikan.
Young R.A. and R.L. Giese. 1991. Introduction to Forest Fire. John Wiley and Sons Inc.
Toronto Canada.