Anda di halaman 1dari 7

REKLAMASI PULAU SERANGAN

PULAU SERANGAN

Perkembangan industri pariwisata memberikan dampak terhadap perubahan dan


perkembangan tata ruang di Bali. Berdasarkan hasil survei Parwata (2014), perubahan
fungsi lahan di Bali melebihi 1000 Ha/tahun. Angka ini akan terus mengalami peningkatan
seiring dengan kebutuhan terhadap fasilitas hunian dan bangunan fungsi publik. Tingginya
harga tanah/lahan di Denpasar salah satu penyebab dilakukannya berbagai jenis
pemanfaatan lahan termasuk membuat lahan baru di atas air laut dengan cara reklamasi.
Pengembangan lahan ke arah laut melalui reklamasi yang paling terkenal dilakukan di Bali
adalah reklamasi Pulau Serangan.

Pulau Serangan pasca reklamasi mengalami perubahan kuantitas dan kualitas fisik,
lingkungan sosial, ekonomi dan budaya warga serangan. Sejak dilakukan reklamasi tahun
1996, luas Pulau Serangan mencapai empat kali lipat dari luas sebelumnya. Perencanaan
awal reklamasi ini dilakukan dengan tujuan meningkatkan manfaat sumber daya lahan
utamanya untuk meningkatkan ekonomi masyarakat dan pemerintah daerah dengan cara
membangun fasilitas megawisata seperti tempat rekreasi air, hotel berbintang, marina dan
terminal yatch, beach club house, lapangan golf, villa, resort, lagoon dan fasilitas megah
lainnya.

Sasaran proyek reklamasi tersebut adalah menyelamatkan kondisi fisik Pulau Serangan
dari kerusakan lebih parah, peningkatan sosial ekonomi penduduk, pelestarian
peninggalan budaya dan peningkatan apresiasi budaya warga Serangan. Akibat kondisi
politik dan keuangan investor, pada tahun 1998 proyek reklamasi tersebut terhenti dan
baru dapat menyelesaikan 60% dari rencana pengerukan dan reklamasi, Hingga saat ini
kegiatan reklamasi belum berjalan sesuai rencana investor dan pemerintah daerah.

Adanya reklamasi perluasan Pulau Serangan ini justru menyebabkan menyempitnya garis
pantai yang bisa dinikmati oleh masyarakat Pulau Serangan karena pascareklamasi,
hampir 75% garis pantai berada di wilayah kepemilikan PT. BTID ( Bali Turtle Island
Develpment ). Fenomena ini tentunya menimbulkan kontradiksi dengan maksud
perencanaan perluasan Pulau Serangan yang diharapkan mensejahterakan masyarakat
Pulau Serangan, pada kenyataannya justru mempersempit wilayah kekuasaan masyarakat
lokal Pulau Serangan.

(Reklamasi Pulau Serangan)


DAMPAK EKOLOGI
a. Kerusakan Terumbu Karang
Dengan adanya reklamasi di Pulau Serangan para penduduk sekitar yang dulu
berprofesi sebagai nelayan mulai kesulitan untuk mendapatkan ikan sehingga banyak
yang beralih profesi menjadi penggali terumbu karang sehingga terumbu karang yang
dulu banyak terdapat di perairan pulau serangan perlahan mulai rusak, hal ini juga
diperparah oleh pengerukan oleh PT. BTID dimana pada diperkirakan 60 % dari 10
hektar terumbu karang di sekitar lokasi proyek rusak berat. Di luar area pengerukan
ditemukan terumbu karang yang berlubang-lubang. Kerusakan itu ditemukan di sisi
utara dan sisi selatan pulau serangan. Akibat dari rusaknya termbu karang ini adalah
mulai hilangnya jenis ikan yang langka seperti ikan Bali Stoides, padahal ikan ini hanya
dapat ditemukan di perairan Pulau Serangan.

Selain terumbu karang, hutan bakau merupakan ekosistem yang penting sekali, sebagai
tempat fauna laut untuk mencari makanan dan berlindung, sebagai pelindung dari
bahaya abrasi, dan sebagai saringan untuk lumpur dari sungai. Di Pulau Serangan,
kehilangan habitat hutan bakau dinilai tidak bermasalah, asalkan penanaman kembali
terjadi, Namun, melihat sejarah hutan bakau di daerah Serangan, penanaman kembali
sering tidak terjadi. Misalnya, dulu di daerah Serangan (dari Sanur sampai Nusa Dua)
ada mangrove seluas 1373,5 ha. Sekarang ada 708,33 ha, dengan kerusakan yang sudah
mencapai lebih dari 600 ha.

Yang diambil BTID 80,14 ha, dengan perjanjian akan menanam kembali bakau itu,
akan tetapi memang belum terjadi. BTID juga menjanji akan melakukan rebiosasi, atau
kompensasi hilangnya hutan bakau setengah di Karangasem dan setengah di Jembrana,
tetapi ini juga belum terjadi. Rebiosasi tidak ada untungan karena kehilangan fungsi
hutan bakau, yang ada di daerah asalnya. Penurunan ikan karang yang dilaporkan
penduduk Serangan justru sebagian disebabkan oleh kehilangan ekosistem ini di Pulau
Serangan.
b. Endapan lumpur
Pengerukan yang dilakukan oleh PT. BTID dengan kedalaman lebih dari 40
meter dengan lebar 15 m dengan bentuk menyerupai kanal di dasar laut memanjang
dari sisi timur laut serangan hingga ke arah barat lalu membelok ke arah selatan, akibat
dari pengerukan ini adalah timbulnya endapan lumpur dengan tebak kurang lebih 1 m
di beberapa tempat. Persoalan ini merembet ke Pelabuhan Benoa yang terletak di sisi
barat daya dari pulau serangan. Beberapa jalur keluar masuk kapal dari pelabuhan
ditemukan pendangkalan akibat endapan lumpur.

c. Perubahan Arus Laut


Pengerukan dan penimbunan Pulau Serangan sudah menyebabkan perubahan
arus laut sekitarnya. Walaupun pengembangan Pulau Serangan disebut “aman terhadap
pengaruh arus dan gelombang” karena telah diuji melalui Modelling Test oleh
konsultan Australia, kegiatan pengerukan dan penimbunan BTID belum dipantau untuk
mengecek kalau sesuai Amdal. Kalau hasil ‘aman’ Modelling Test itu memang benar,
maka BTID sudah melanggar Amdal, karena sekitar Pulau Serangan sudah terjadi
abrasi pantai.

Menurut pakar lingkungan Made Mangku, di sebelah selatan pulau, arus dari laut lepas
masuk Teluk Benoa, dan dipercepatkan dan diperkuatkan karena kegiatan reklamasi
menyempitkan jarak antara Tanjung Benoa dan Pulau Serangan. Akibatnya, arus ini
menyebabkan abrasi di sebelah Tanjung Benoa, yang merupakan sebelah yang lebih
lemah karena sebelah Serangan diperkuatkan oleh reklamasi, dan dengan
mengurangkan pantai dari 100m sampai 50m, sudah mengancam 3 tempat ibadah.

Di sebelah utara, arus laut masuk daerah di sebelah utara pulau, hanya sedikit bisa
beredar (karena jalan penghubung menghambatkan peredaran air), maka arus itu keluar
lagi melewati Pantai Mertasari, akibatnya terjadi abrasi di pantai itu. Pasir dari Pantai
Mertasari mengisi lubang dari pengerukan dan hilang. Menurut Dr. Merta dari Unud,
abrasi yang terjadi di sejumlah pantai saat ini meningkat sampai 10 kali dibandingkan
beberapa tahun silam.
Selain abrasi, akibat pemotongan arus laut ada penumpukan lumpur dan sampah di
daerah hutan bakau di sebelah barat Pulau Serangan. Dulu, pada waktu air pasang, air
laut di belakang Pulau Serangan bisa keluar lagi karena ada sirkulasi air laut. Sekarang,
walaupun ada alur untuk air laut di bawah jembatan, alur itu hanya sempit dan
kebanyakan air tidak bisa keluar, maka sampah dan lumpur yang dibawanya
ditempatkan di hutan bakau dan di pelabuhan.

d. Abrasi pantai
Pulau Serangan berada di selat kecil antara Denpasar dan Tanjung Benoa. Ada
pula pelabuhan terbesar di Bali di sini, Pelabuhan Benoa. Semula arus laut bisa berputar
di sini. Namun, begitu selat ditimbun,arus pun menerjang daerah lain, Berturut-turut
abrasi parah terjadi di sekitar Pulau Serangan seperti Sanur, dan Mertasari. Pantai-
pantai di Sanur pernah hancur karena kuatnya abrasi.

Akibat reklamasi pada saat itu, ada perubahan arus yang memutar ke arah Sanur,
mengikis pantai-pantainya sampai habis. Tak hanya sampai di Sanur, arus juga bergerak
ke Ketewel, ke Pantai Lebih dan seluruh pesisir di bagian tenggara Pulau Bali.
Reklamasi di Serangan mengakibatkan abrasi besar-besaran yang bahkan terus terjadi
hingga kini.

Abrasi merupakan dampak yang paling mudah dilihat mata. Namun, di balik itu juga
ada berbagai kehancuran lingkungan lain seperti hancurnya terumbu karang tempat
ikan hias, hilangnya pekerjaan nelayan, tercerabutnya tradisi lokal, dan masalah sosial
lain.

e. Banjir rob
Sistem hidrologi gelombang air laut yang jatuh ke pantai akan berubah dari
alaminya. Berubahnya alur air akan mengakibatkan daerah diluar reklamasi akan
mendapat limpahan air yang banyak sehingga kemungkinan akan terjadi abrasi,
tergerus atau mengakibatkan terjadinya banjir atau rob karena genangan air yang
banyak dan lama.
SOLUSI MENGATASI DAMPAK EKOLOGI
Kerusakan lingkungan yang telah dan sedang terjadi harus dikaji dan solusi harus dicarikan
untuk mencegah kerusakan lebih lanjut. Pada tingkat pemerintah, yang diperlukan adalah
Amdal kawasan regional, seperti Rencana Kawasan Bali yang dirumuskan pada tahun
1969, tetapi yang benar-benar diselenggarakan. Evaluasi terhadap Amdal yang telah
dikeluarkan harus dilakukan untuk mengecek kalau ada pelanggaran, dan sangsi untuk
pelanggaran itu harus ditetapkan. Sebuah Strategi Pengelolaan Zona Pesisir yang Terpadu
direkomendasikan untuk pembangunan dan restorasi lingkungan di zona Teluk Benoa –
Pulau Serangan.

Untuk masalah abrasi, pakar lingkungan Made Mangku mengajukan solusi, yaitu bahwa
setengah reklamasi di sebelah selatan pulau dibongkar agar tidak terjadi abrasi lagi dan
jembatan ditambah 100m lagi biar sirkulasi air laut lebih ‘sempurna’ seperti dulu, Untuk
memperbaiki ekosistem penting, hutan bakau harus ditanam kembali di beberapa lokasi.

Ekosistem terumbu karang susah untuk memperbaiki karena laju pertumbuhannya pelan
sekali. Pemantauan terumbu karang Serangan baru saja dilakukan oleh Yayasan Bahtera
Nusantara untuk Dinas Lingkungan Hidup Denpasar, untuk mengecek kondisinya. Dengan
data itu, kebijakan bisa dirumuskan untuk pengelolaannya, dengan demikian mencegah
kerusakan lebih lanjut. Untuk penyu, sayanglah juga kerusakan habitatnya di Pulau
Serangan susah untuk dikembalikan. Akan tetapi, dengan bantuan dari pihak tertentu
(seperti WWF Wallacea Bali), taman penyu yang ada di Serangan dapat dikembangkan
menjadi usaha pelestarian dan penetasan penyu yang lebih menurut nilai konservasi.

Namun, semua solusi ini perlu uang yang cukup besar, yang pada saat ini dengan
penurunan ekonomi Indonesia akibat krisis moneter mungkin susah ditemui untuk
kebutuhan lingkungan seperti ini. Akan tetapi, kerusakan menjadi semakin parah, dan itu
masyarakat Serangan yang berdampak, maka pemerintah daerah dan BTID seharusnya
berdua bertanggung jawab atas permasalahan ini.
DAFTAR PUSTAKA

https://gustavesp.wordpress.com/2009/02/17/reklamasi-pantai-serangan-bali/ diakses
pada tanggal 30 April 2018
http://nawarsyarif.blogspot.co.id/2015/08/dampak-reklamasi-pantai-terhadap.html
diakses pada tanggal 01 Mei 2018
Parwata I wayan, dkk. 2015. Perubahan Tata Ruang Pesisir Pasca Reklamasi di Pulau
Serangan. TEMU ILMIAH IPLBI. Universitas Warmadewa Denpasar.
Woinarski Lisa. 2002. Pulau Serangan:Dampak Pembangunan pada Lingkungan dan
Masyarakat(Study Lapangan). Universitas Muhammadiyah Malang.
https://satudeako.wordpress.com/2011/01/19/pulau-serangan/ diakses pada tanggal 01
Mei 2018.

Anda mungkin juga menyukai