Anda di halaman 1dari 14

TUGAS MAKALAH BIOTEKNOLOGI REPRODUKSI TERNAK

“Transfer Embrio – In Vitro Fertilization”

ERENS FERNANDO RANTAOLA


O12119059

PROGRAM STUDI PETERNAKAN


JURUSAN PETERNAKAN
FAKULTAS PETERNAKAN DAN PERIKANAN
UNIVERSITAS TADULAKO
2022
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Populasi sapi potong di Indonesia sekitar 13,4 juta ekor (DITJEN BP PETERNAKAN,
2003.) ang sebagian besar berupa usaha peternakan rak)at )angdikelola secara tradisional dan
relati sedikit -enggunakan ino.asi teknologi/ "u-lahsapi )ang ini tersebuut jika dibandingkan
dengan ju-lah penduduk Indonesia,sangat berbanding terbalik/ ehingga dibutuhkan upa)a
pengembangan sapi potong diindonesia.

Pemerintah Indonesia sendiri telah melakukan beberapa upaya dalam perbaikan mutu sapi
potong diantaranya dengan meningkatkan kualitas genetik. Akan tetapi hal ini menemui
beberapa kendala, diantaranya seleksi atau upaya perbaikan mutu gentik untuk mendapatkan
breed baru yang unggul memerlukan waktu yang sangat lama, mahal, dan hasilnya kadang-
kadang tidak memuaskan.

Pada negara yang sudah maju perbaikan mutu genetik biasanya dilakukan dengan
memanfaatkan berbagai metode dan cara yang sangat canggih, seperti manipulasi embrio
(MOET, IVF, splitting embryo, cloning, sexing sperma/embrio dan lain-lain), maupun
penggunaan metode seleksi dengan cara best linier unbiased prediction (BLUP) ataupun
memanfaatkan teknologi penciri DNA (quntitative trait loci/QTL) (DIWYANTO et al., 2000).

Dan di Indonesia sendiri aplikasi Transfer Embrio juga mulai dikembangkan. Menurut
literatur Teknologi fertilisasi in vitro (IVF) saat ini masih dilakukan dengan memanfaatkan oosit
segar, namun kendala yang dihadapi adalah oosit mamalia memiliki daya tahan hidup yang
sangat terbatas sehingga tidak dapat disimpan dalam waktu yang lama pada suhu kamar (Vieira
et al., 2002). Produksi embrio dapat dilakukan secara in vivo maupun in vitro.

Keberhasilan teknologi Transfer Embrio dengan menggunakan embrio baik secara in vivo
maupun in vitro ditunjukkan dengan keberhasilan menghasilkan anak yang dilahirkan dengan
kualitas yang di inginkan. Transfer Embrio dilakukan dengan beberapa tahap yaitu dengan
evaluasi embrio dan klasifikasi dari embrio, maturasi atau pematangan embrio dan beberapa
tahapan lainnya.

.
BAB II
PEMBAHASAN

A. TRANSFER EMBRIO
Teknologi fertilisasi in vitro (IVF) saat ini masih dilakukan dengan memanfaatkan oosit
segar, namun kendala yang dihadapi adalah oosit mamalia memiliki daya tahan hidup yang
sangat terbatas sehingga tidak dapat disimpan dalam waktu yang lama pada suhu kamar (Vieira
et al., 2002).
Keterbatasan waktu simpan ini dapat diatasi dengan teknik penyimpanan beku atau
kriopreservasi oosit untuk mempertahankan kelangsungan hidup sel sehingga viabilitas oosit
dapat dipertahankan dengan cara mereduksi fungsi dan aktivitas metabolik tanpa terjadinya
kerusakan membran maupun Teknologi rekayasa reproduksi khususnya kriopreservasi telah
cukup banyak dikembangkan untuk spermatozoa dan embrio, namun sejauh ini keberhasilan
kriopreservasin oosit yang telah dilaporkan masih sangat terbatas dan variatif. Keberhasilan
kriopreservasi oosit akan memungkinkan tersedianya oosit beku sehingga mempermudah
pengaturan waktu di dalam produksi embrio in vitro dan secara umum merupakan upaya
penyimpanan dan pemeliharaan plasma nutfah. Selain itu, keberhasilan kriopreservasi oosit akan
memperbaiki teknik penyediaan embrio sehingga oosit segar tidak diperlukan lagi.
Penggunaan prosedur kriopreservasi oosit secara komersial masih sangat terbatas salah satu
tantangan adalah membuat metode kriopreservasi oosit yang menjamin viabilitas tinggi.
Terdapat dua metode kriopreservasi yaitu metode konvensional dan vitrifikasi. Kedua metode ini
mempunyai kelebihan dan kekurangan. Pada awal studi tentang kriopreservasi, dilakukan
kriopreservasi menggunakan metode konvensional, namun saat ini metode vitrifikasi lebih sering
diaplikasikan. Kelebihan dari metode vitrifikasi adalah pemadatan cairan tanpa melalui
pembentukan kristal es (Shaw et al., 2000). Metode tersebut sederhana, murah, dan tidak
memerlukan alat khusus untuk menurunkan suhu secara bertahap sehingga mudah diaplikasikan
ditempat yang memiliki kontainer nitrogen cair.
Selama proses kriopreservasi diperlukan suatu krioprotektan. Krioprotektan selain dapat
melindungi sel juga ternyata diduga dapat menimbulkan kerusakan pada sel akibat pengaruh
toksisitasnya. Derajat proteksi dari bahan krioprotektan terhadap proses kristalisasi pada masa
pembekuan tergantung dari jenis dan konsentrasi krioprotektan yang dipakai serta lama paparan
(Kasai, 2002). Dari beberapa penelitian tentang kriopreservasi oosit, diketahui ada bermacam-
macam krioprotektan yang dapat dipergunakan untuk vitrifikasi oosit, namun demikian telah
diketahui bahwa etilen glikol (EG) mempunyai efek toksik yang lebih rendah dibandingkan
krioprotektan yang lain (Gordon, 1994; Hochi et al., 1996). Hasil penelitian Wani et al. (2004)
menunjukkan bahwa tingkat fertilisasi in vitro oosit setelah proses vitrifikasi menggunakan
DMSO sebesar 12,3%. Tingkat fertilisasi oosit menggunakan EG belum pernah dilaporkan. Oleh
karena itu, penelitian ini bertujuan adalah mengkaji pengaruh konsentrasi EG dan lama paparan
terhadap tingkat oosit terfertilisasi.
B. Tujuan Transfer Embrio
Tujuan Transfer Embrio sendiri yaitu untuk meningkatkan genetik pada keuturunan,
memperbanyak keturunan induk yang unggul, meningkatkan potensi genetic waktu yang singkat,
meningkatkan produksi susu, meningkatkan bibit unggul untuk disebarkan dan menyelamatkan
genetik superior sapi atau organisme.
C. Metode Dan Tahapan Transfer Embrio
Teknologi transfer embrio merupakan aplikasi bioteknologi reproduksi ternak melalui teknik
Multiple Ovulation Embrio Transfer (MOET) serta rekayasa genetic untuk meningkatkan mutu
genetik dalam waktu yang lebih singkat dan jumlah yang lebih banyak. Teknik produksi embrio
dapat dilaksanakan dengan beberapa cara seperti cara konvensional atau invivo dan metode
invitro serta Oocyt Pick Up (OPU). Produksi embrio dengan cara invivo ialah salah satu teknik
produksi embrio dimana pembentukan embrio berlangsung di dalam alat reproduki betina
sedangkan metode invitro adalah sebaliknya yaitu proses pembentukan embrionya berlangsung
di luar alat reproduksi. Dan untuk pengembangan dan peningkatan produksi dalam rangka
penekanan biaya produksi dapat diterapkan teknik kloning Embrio. Embrio yang digunakan
untuk transfer embrio dapat berupa embrio segar atau embrio beku (freezing embrio).
Embrio beku efisien untuk dipakai karena dapat disimpan lama sebagai stock dan dapat
dibawa ke daerah-daerah yang membutuhkan.Sedangkan embrio segar hanya dapat ditransfer
pada saat produksi dilokasi yang berdekatan dengan donor. Peningkatan mutu genetik dengan
ketersediaan anak keturunan yang banyak maka diarahkan kepada : 1. Transfer Embrio Jenis
Sapi Potong. Untuk menghasilkan bibit yang akan menghasilkan bibit dasar dengan
pertambahan bobot badan > 1,5 kg/hari dan mencapai berat > 400 kg pada umur 1,5 tahun. Yang
telah di produksi antara lain Simenthal, Limousin, Brangus, Brahman, Angus dan Crossing
Simenthal dan Brahman 2. Transfer Embrio Sapi Perah. Untuk menghasilkan bibit dasar
(Fondation stock) dengan kriteria dari induk produksi susu > 7000 kg laktasi dan untuk pejantan
mewariskan produksi susu > 10.000 kg laktasi. Bangsa yang telah di produksi adalah FH.
Berikut merupakan penjelasan dari masing-masing proses transfer embrio :
1. Pengadaan Sapi Donor dan Sapi Resipien
Seleksi dilakukan dengan tujuan agar hewan yang dijadikan sebagai donor maupun
resipien merupakan hewan yang layak mendapat perlakuan terhadap teknologi transfer embrio.
Calon donor yang akan dipakai harus diseleksi dengan kriteria sbb:
a. Memiliki genetik yang unggul (Genetik Superiority)
b. Mempunyai kemampuan reproduksi yang tinggi (High Reproductivity) sehat secara
serologis bebas dari penyakit hewan menular terutama penyakit-penyakit reproduksi
c. Memiliki nilai pasar tinggi.
d. Sejarah reproduksi diketahui, mempunyai siklus birahi normal dan
kemampuan fertilitas tinggi
Pada calon resipient diberikan persyaratan berikut :
a. Minimal sudah beranak atau dara yang mempunyai performans yang baik mempunyai
berat badan minimal 300 kg
b. Bebas penyakit menular terutama penyakit reproduksi.
c. Sejarah reproduksi tidak menunjukkan gejala infertil, mempunyai siklus normal, tanda
birahi terlihat jelas, intensitas lendir birahi normal dan transparan dan mempunyai
interval birahi antara l8 -24 hari.
d. Sapi resipien tidak harus mempunyai mutu genetik yang baik dan berasal dari bangsa
yang sama, tetapi harus mempunyai organ dan siklus reproduksi normal, tidak pernah
mengalami kesulitan melahirkan (distokia).
2. Super Ovulasi
Sapi merupakan ternak uniparous, dimana sel telur yang terovulasi setiap siklus
berahi biasanya hanya satu buah. Dalam program TE, untuk merangsang terjadinya ovulasi
ganda, maka diberikan hormon superovulasi sehingga diperoleh ovulasi sel telur dalam jumlah
besar. Hormon yang banyak digunakan untuk rekayasa superovulasi adalah hormon
gonadotropin seperti Pregnant Mare’s Serum
Gonadotripin (PMSG) dan Follicle Stimulating Hormone (FSH). Penyuntikan hormon
gonadotropin akan meningkatkan perkembangan folikel pada ovarium (folikulogenesis) dan
pematangan folikel sehingga diperoleh ovulasi sel telur yang lebih banyak. Hormon FSH
mempunyai waktu paruh hidup dalam induk sapi antara 2-5 jam. Pemberian FSH dilakukan
sehari dua kali yaitu pada pagi dan sore hari selama 4 hari dengan dosis 28 – 50 mg (tergantung
berat badan). Perlakuan superovulasi dilakukan pada hari ke sembilan sampai hari ke 14 setelah
berahi.
3. Penyerentakan Birahi
Penyerentakan berahi atau sinkronisasi estrus adalah usaha yang bertujuan untuk
mensinkronkan kondisi reproduksi ternak sapi donor dan resipien. Sinkronisasi estrus umumnya
menggunakan hormon prostaglandin F2a (PGF2a ) atau kombinasi hormon progesteron dengan
PGF2a .
Prosedur yang digunakan adalah:
a. Ternak yang diketahui mempunyai corpus luteum (CL), dilakukan penyuntikan PGF2a
satu kali. Berahi biasanya timbul 48 sampai 96 jam setelah penyuntikan.
b. Apabila tanpa memperhatikan ada tidaknya CL, penyuntikan PGF2a dilakukan dua kali
selang waktu 11-12 hari. Penyuntikan PGF2a pada ternak resipien harus dilakukan satu
hari lebih awal daripada donor. Keadaan ini disebabkan karena pada ternak donor yang
telah diberi hormon gonadotropin, berahi biasanya lebih cepat yaitu 36 – 60 jam setelah
penyuntikan PGF2a, sedangkan pada resipien berahi biasanya timbul 48 – 96 jam setelah
penyuntikan PGF2a
4. Inseminasi Buatan
IB yang baik dilaksanakan 6 sampai 24 jam setelah timbulnya berahi. Berahi pada sapi
ditandai oleh alat kelamin luar (vagina) berwarna merah, bengkak dan keluarnya lendir jernih
serta tingkah laku sapi yang menaiki sapi lain atau diam apabila dinaiki sapi lain. Pada program
TE, IB dilakukan dengan dosis ganda dimana satu straw semen beku biasanya mengandung 30
juta spermatozoa unggul.
5. Koleksi Embrio
Koleksi embrio pada sapi donor dilakukan pada hari ke 7 sampai 8 setelah berahi.
Sebelum dilakukan panen embrio, bagian vulva dan vagina dibersihkan dan disterilkan dengan
menggunakan kapas yang mengandung alkohol 70%. Koleksi embrio dilakukan dengan
menggunakan foley kateter dua jalur 16-20G steril (tergantung ukuran serviks). Pembilasan
dilakukan dengan memasukkan medium flushing Modified Dulbecco Phosphate Buffered Saline
(M-PBS) yang telah dihangatkan di dalam waterbath 37°C. Embrio yang didapat dari pembilasan
bisa langsung di transfer ke dalam sapi resipien atau dibekukan untuk disimpan dan di transfer
pada waktu lain.
6. Transfer Embrio
Terdapat dua metode TE yang digunakan yaitu metode pembedahan dan metode
tanpa pembedahan. Metode pembedahan dilakukan dengan jalan membuatan sayatan di daerah
perut (laparotomi) baik sayatan sisi (flank incici) atau sayatan pada garis tengah perut (midle
incici). Metode tanpa pembedahan dilakukan dengan memasukkan embrio kedalam straw
kemudian ditransfer kedalam uterus resipien dengan menggunakan cassoue gun insemination.
Tiga faktor penting yang harus diperhatikan guna keberhasilan pelaksanaan transfer embrio
adalah :
a. Kualitas embrio yang akan di transfer; umur,kwalitas, jenis embrio (bela/segar) metode
pembekuan adanyakontaminasi atau infeksi pada embrio.
b. Tingkat keterampilan petugas dalam mentranfer antara lain kemampuan mendeposisikan
embrio secara tepat (sepertiga apexcornua uteri) dan cepat, tidak terjadi luka pada uterus,
dan sapi tenang/tidak stres.
c. Respon sapi resipien terhadap sinkronisasi, kondisi pakan yang digunakan, kondisi tubuh
dengan BCS (Body Condition Skor) sedang (2,8-3,5) tidak ditemukan peradangan,
kondisi ovarium dan CL normal dan penjagaan sapi jangan sampai stress
B. In Vitro Fertilization
Fertilisasi adalah proses penyatuan atau peleburan inti sel telur (ovum) dengan inti sel
spermatozoa membentuk makhluk hidup baru yang disebut zigot. Meskipun zigot masih satu
sel tetapi ia disebut mahkluk hidup baru, karena zigot adalah bentuk paling awal dari semua
mahkluk hidup yang berkembang melalui proses fertilisasi. Dari zigot dari satu sel inilah
akan berkkembang menjadi embrio tahap dua sel, empat sel, morula, blastosis, dan akan terus
berkembang dan berdiferensiasi membentuk organ organ tubuh sampai akhirnya menjadi
fetus dan lahir. Setelah mencapai dewasa kelamin (pubertas), maka aktivitas reproduksi akan
di mulai kembali melalui proses gametogenesis dan fertilisasi sehingga membentuk suatu
siklus yang saling berkaitan.

1. Macam macam fertilisasi


Fertilisasi sendiri dapat di bagi menjadi dua macam:
 Fertilisasi eksternal (khas pada hewan hewan akuatik): gamet gametnya
dikeluarkan dari dalam tubuhnya sebelum fertilisasi.
 Fertilisasi internal (khas untuk adaptasi dengan kehidupan didarat): sperma di
masukan kedalam daerah reproduksi betina yang kemudian disusul dengan
fertilisasi. Setelah pembuahan, telur itu membentuk membran fertilisasi untuk
merintangi pemasukan sperma lebih lanjut.
2. Fungsi utama fertilisasi
 Fungsi reproduksi
Fertilisasi memungkinkan pemindahan unsur unsur genetic dari para tetuanya.
Jika pada gametogenesis terjadi reduksi (pengurangan) unsur genetic dari 2n
(diploid) menjadi n (haploid). Maka pada fertilisasi memungkinkan pemulihan
kembali unsur genetiknya, n dari tetua jantan dan n dari tetua betina sehingga
diperoleh individu normal 2n. Tanpa fertilisasi (kecuali pada kasus kasus
tertentu), kesinambungan keturunan suatu spesies tidak akan terjadi.
 Fungsi perkembangan
Fertilisasi menyebapkan gerakan atau rangsangan pada sel telur untuk
menyelesaikan proses pembelahan meiosisnya dan membentuk pronukleus betina
yang akan melabur.
3. Tahap tahap Fertilisasi
a. Kapasitasi spermatozoa dan pematangan spermatozoa
Kapasitasi spermatozoa merupakan tahapan awal sebelum fertilisasi. Sperma yang
dikeluarkan dalam tubuh (fresh ejaculate) belum dapat dikatakan fertil atau dapat
membuahi ovum apabila belum terjadi proses kapasitasi. Proses ini ditandai pula
dengan adanya perubahan protein pada seminal plasma, reorganisasi lipid dan
protein membran plasma, Influx Ca, AMP meningkat, dan pH intrasel menurun.
b. Perlekatan spermatozoa dengan zona pelucida
Zona pelucida merupakan zona terluar dalam ovum. Syarat agar sperma dapat
menempel pada zona pelucida adalah jumlah kromosom harus sama, baik sperma
maupun ovum, karena hal ini menunjukkan salah satu ciri apabila keduanya
adalah individu yang sejenis. Perlekatan sperma dan ovum dipengaruhi adanya
reseptor pada sperma yaitu berupa protein. Sementara itu suatu glikoprotein pada
zona pelucida berfungsi seperti reseptor sperma yaitu menstimulasi fusi membran
plasma dengan membran akrosom (kepala anterior sperma) luar. Sehingga terjadi
interaksi antara reseptor dan ligand. Hal ini terjadi pada spesies yang spesifik.
c. Reaksi okrosom
Setelah reaksi kapasitasi, sperma mengalami reaksi akrosom, terjadi
setelah sperma dekat dengan oosit. Sel sperma yang telah menjalani kapasitasi
akan terpengaruh oleh zat – zat dari korona radiata ovum, sehingga isi
akrosom dari daerah kepala sperma akan terlepas dan berkontak dengan
lapisan korona radiata. Pada saat ini dilepaskan hialuronidase yang dapat
melarutkan korona radiata, trypsine – like agent dan lysine – zone yang dapat
melarutkan dan membantu sperma melewati zona pelusida untuk mencapai ovum.
Reaksi tersebut terjadi sebelum sperma masuk ke dalam ovum. Reaksi akrosom
terjadi pada pangkal akrosom, karena pada lisosom anterior kepala sperma
terdapat enzim digesti yang berfungsi penetrasi zona pelucida.
d. Penetrasi zona pelucida
Setelah reaksi akrosom, proses selanjutnya adalah penetrasi zona pelucida yaitu
proses dimana sperma menembus zona pelucida. Hal ini ditandai dengan adanya
jembatan dan membentuk protein actin, kemudian inti sperma dapat masuk. Hal
yang mempengaruhi keberhasilan proses ini adalah kekuatan ekor sperma
(motilitas), dan kombinasi enzim akrosomal.
e. Bertemunya sperma dan oosit
Apabila sperma telah berhasil menembus zona pelucida, sperma akan
menenempel pada membran oosit. Penempelan ini terjadi pada bagian posterior
(post-acrosomal) di kepala sperma yang mnegandung actin. Molekul sperma yang
berperan dalam proses tersebut adalah berupa glikoprotein, yang terdiri dari
protein fertelin. Protein tersebut berfungsi untuk mengikat membran plasma oosit
(membran fitelin), sehingga akan menginduksi terjadinya fusi.
1.Perjalanan gamet ke tempat pembuahan
Perjalanan Gamet ke tempat pembuahan sperma terbagi menjadi 3 yaitu : Dalam tubuh
jantan,Diluar Tubuh Jantan dan Dalam tubuh betina.

A. Fertilisasi Dalam Tubuh Jantan


 Sperma keluar dari tubulus seminiferus dan masuk ke dalam vas deferens.
Didalam vas deferens,sperma bergerak pelan,dan bias berhari-hari.
 Dari vas defferens sperma masuk ke ductus epididimis. Perjalanan berlangsung
berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan. Sperma mengalami pematangan
fisiologis dan siap untuk dikeluarkan sewaktu-waktu.
 Dari ductus epididimis,sperma masuk ke vas defferens. Sperma bergerak karena
kerutan otot yang disebabkan oleh rangsangan sex yang sangat kuat.
 Vas defferenas pada beberapa jenis hewan berfungsi sebagai penyimpan
mani.Pada pisces dapat disimpan selama 5-6 bulan.
 Pada vas defferens bermuara vesicular seminalis yang memberikan plasma pada
sperma.
 Vas defferens yang telah menerima cairan (plasma) dari vesicular seminalis
disebut dengan Ductus Ejaculatorius.
 Dengan rangsangan yang kuat,sperma dikeluarkan melalui urethra.
Variasi pada hewan:
 Pada banyak hewan vas defferens dipakai sebagai tempat menyimpan mani
(reptilian,aves,amphibian).
 Vesicula seminalis pada mamalia merupakan kelenjar yang menghasilkan cairan
(plasma)
 Pada hewan yang saluran gonadnya pendek (Pisces,amphibian),tubulus
seminiferus berfungsi sebagai gudang mani.
B. Fertilisasi diluar tubuh jantan

 Pada avertebrata ,pisces dan amphibian mani dikeluarkan didekat telur yang
dikeluarkan betina secara serentak (Spawning).
 Sperma bergerak dalam medium air,lalu mebuahi sel telur.
 Pada reptilia,aves dan mammalia ,tidak ada perjalan sperma diluar tubuh jantan
karena pembuahan terjadi didalam tubuh betina
C. Fertilisasi dalam tubuh betina

 Sperma diantarkan ke tubuh betina lewat alat pengantar yang dimasukkan atau
kontak langsung dengan kelamin betina.
 Pada ikan gabus dan Hiu sirip dubur berubah bentuk untuk menyalurkan sperma.
 Pada urodela,reptilia aves dan seluruh mamalia memiliki alat khusus yang disebut
penis.
 Pada ikan gabus dan hiu sirip dubur berubah bentuk untuk menyalurkan sperma.
 Pada urodela,reptilian aves ,cloaca berfungsi sebagai penyalur.
 Pada reptilia beberapa aves dan seluruh mamalia memiliki alat khusus yang
disebut penis.
 Pada itik,kasuari,burung unta,cloaca menjulur panjang coitus.
D. Tempat pembuahan
 Di Posterir Ovid uct : Urodela, Anura
 Di Anterior Oviduct : Reptilia, Aves , Mammalia
 Pada Rongga Perut : Sedikit Aves
 Di folikel Ovarium : Teleostei
 Didalam Kantung Telur Jantan : Tangkur Kuya dan Tangkur Buaya
 Di air : Invertebrata, Pisces, dan Amphibia
E. Perjalanan sperma dalam tubuh betina
1.Jika pembuahan terjadi di anterior Oviduct,perjalanan sperma pendek. Sperma bergerak aktif
untuk mencapai ovum.
2. Jika pembuahan terjadi di posterior oviduct ,sperma bergerak oleh :
 Gerakan berenang sperm sendiri
 Kerutan anti peristaltis saluran kelamin betina.
F. Kecepatan sperma dalam tubuh betina
 Rata-rata beberapa puluh menit
 Pada tikus ,mencit dan domba,sekitar 15 menit
 Manusia, 30 menit sampai 3 JAM
 Kelinci dan Ayam sekitar 1 JAM
 Bagi yang membuahi di Ovarium,perjalanan sperma hanya singkat saja.
G. Ketahanan sperma dalam tubuh betina
 Elasmobaranchii(semacam ikan) bias bertahan beberapa bulan
 Pada ikan Lebiostes dan Gabus : 1 TAHUN
 Urodela dapat berbulan-bulan
 Ayam : 2-3 Minggu
 Mamalia : 1-3 Hari
 Kelinci : 10-14 JAM
 Marmot : 40 JAM
H. Perjalanan ovum
 Setelah Ovulasi telur Jatuh ke Peritonium dan Ditampung oleh Infundibulum
 Pada mamalia, ketika ovulasi berlangsung,infundibulum bergerak dan mengelilingi
ovarium
 Ovum kemudian Bergerak Ke oviduct oleh Kayuhan Cilia dinding Oviduct dan gerakan
dinding otot oviduct
 Jika pembuahan terjadi di luar tubuh ,telur terpencar keluar oleh kerutan dinding uterus
 Ketahanan ovum untuk dibuahi hanya sekitar 24 JAM, jika tidak dibuahi telur akan
berdegenerasi
DAFTAR PUSTAKA

G. Vivi, R. Noviadi,T. Rumiyani. (2017). Respon Inseminator terhadap Penerapan Transfer

Embrio di Kabupaten Lampung Tengah. Jurnal Peternakan Terapan (PETERPAN) Vol.

3 (2):28—34.

M Djunaedia, R Handarini, dan D Zamanti. (2018). EFEKTIVITAS PENYUNTIKAN FSH

SECARA SUBKUTAN DAN INTRAMUSKULAR TERHADAP RESPON

SUPEROVULASI SAPI SIMENTAL. Jurnal Peternakan Nusantara ISSN 2442-

2541Volume 4 Nomor 1.

R Yasyri, R Handarini, M Imron. (2017). KUALITAS EMBRIO HASIL FERTILISASI IN

VITRO MENGGUNAKAN SEMEN BEKU YANG DI THAWING DENGAN SUHU

YANG BERBEDA. Jurnal Peternakan Nusantara ISSN 2442-2541Volume 3 Nomor 1.

Anda mungkin juga menyukai