Anda di halaman 1dari 40

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sejarah Perkembangan Teknologi Manipulasi


Bioteknologi secara sederhana sudah dikenal oleh manusia sejak
ribuan tahun yang lalu. Pada masa ini, bioteknologi berkembang sangat pesat,
terutama di negara-negara maju. Kemajuan ini ditandai dengan ditemukannya
berbagai macam teknologi semisal rekayasa genetika, kultur jaringan,
rekombinan DNA, pengembangbiakan sel induk, kloning, dan lain-lain.
Teknologi ini memungkinkan kita untuk memperoleh penyembuhan penyakit-
penyakit genetik maupun kronis yang belum dapat disembuhkan, seperti
kanker ataupun AIDS.
Penelitian di bidang pengembangan sel induk juga memungkinkan
para penderita stroke ataupun penyakit lain yang mengakibatkan kehilangan
atau kerusakan pada jaringan tubuh dapat sembuh seperti sediakala. Di bidang
pangan, dengan menggunakan teknologi rekayasa genetika, kultur jaringan
dan rekombinan DNA, dapat dihasilkan tanaman dengan sifat dan produk
unggul karena mengandung zat gizi yang lebih jika dibandingkan tanaman
biasa, serta juga lebih tahan terhadap hama maupun tekanan lingkungan.
Penerapan bioteknologi di masa ini juga dapat dijumpai pada pelestarian
lingkungan hidup dari polusi. Sebagai contoh, pada penguraian minyak bumi
yang tertumpah ke laut oleh bakteri, dan penguraian zat-zat yang bersifat
toksik (racun) di sungai atau laut dengan menggunakan bakteri jenis baru.
Kemajuan bioteknologi di berbagai bidang sangat bermanfaat untuk
meningkatkan kualitas maupun kuantitas dari suatu produk. Bioteknologi
mempunyai beberapa arti antara lain:
1. Suatu kumpulan teknik yang memungkinkan pemasukan gen-gen
asing dengan stabil ke dalam jalur bibit suatu organisme.
2. Suatu kumpulan teknik yang memungkinkan individu-individu
memberikan suatu sumbangan yang luar biasa kepada lubuk (pool)
gamet atau zigot dari beberapa populasi tertentu.

1
Dengan demikian pada prinsipnya bioteknologi merupakan
pemanfaatan makhluk hidup (mikroba, tumguhan, hewan) beserta sistemnya,
sehingga menghasilkan bahan atau sumber daya yang memiliki nilai tambah
bagi kesejahteraan umat manusia.
Contoh bioteknologi pada bidang peternakan, khususnya bioteknologi
reproduksi adalah inseminasi buatan (IB), transfer embrio (TE), pemisahan
jenis kelamin, peisahan spermatozoa X dan Y, In Vitro Fertilization (IVF)
atau lebih dikenal dengan bayi tabung, kloning dan sebagainya.
Di Bidang peternakan khususnya sapi, bioteknologi reproduksi mulai
berkembang pesat pada tahun1970-an. Teknologi Inseminasi Buatan berperan
penting dalam rangka peningkatan mutu genetik dari segi pejantan. Sperma
beku dapat diproduksi dan digunakan dalam jumlah banyak cukup dengan
memelihara pejantan berkualitas baik dipusat IB.
Teknologi transfer embrio yang diterapkan secara bersama dengan
teknologi IB dapat mengoptimalkan sekaligus potensi dari sapi jantan dan
betina berkualitas unggul. Kemajuan di Bidang manipulasi mikro, khususnya
pembelian embrio sebelum ditransfer pada resipien sangat bermanfaat bila
ditinjau dari segi eknomi. Sapi jantan lebih menguntungkan untuk usaha
produksi daging., sedangkan sapi betina lebih menguntungkan untuk usaha
produksi susu. Untuk tujuan penentuan jenis kelamin embrio, biopsi dapat
dilakukan pada tahap embrional dan selanjutnya embrio dapat langsung di
transfer pada resipien tau disimpan dengan teknik pembekuan.
Dalam rangka meneruskan keturunan suatu individu, secara alamiah
diperlukan suatu proses perkawinan dimana jantan dan betina mutlai
diperlukan. Jantan akan menghasilkan sel kelamin jantan (sperma) dan betina
akan menghasilkan sel kelamin betina (sel telur). Pada hewan menyusui
proses pembuahan dan perkembangan selanjutnya terjadi di dalam tubuh
induk sampai proses kelahiran.
Program peningkatan produksi dan kualitas pada hewan ternak (dalam
hal ini sapi) berjalan lambat bila proses reproduksi dilakukan secara alamiah.
Dengan rekayasa bioteknologi reproduksi, proses reproduksi dapat

2
dimaksimalkan antara lain dengan teknologi Inseminasi Butana (IB). Transfer
Embrio (TE), pembekuan embrio dan manipulasi embrio. Tujuan utama dari
teknik IB adalah memaksimalkan potensi pejantan berkualitas unggul.
Sperma dari sutau pejantan berkualitas unggul dapat digunakan untuk
beberapa ratus bahkan ribuan betina, meksipun seprma tersebut dikirim
kesuatu tempat yang jauh. Perkembangngan selanjutnya adalah teknologi TE
dimana bukan hanya potensi dari jantan saja yang dioptimalkan, melainkan
potensi betina berkualitas unggul juga dapat dimanfatkan secara optimal.
Pada betina untuk bunting hanya sekali dalam setahun (9 bulan bunting dan
persiapan bunting selanjutnya) dan hanya mampu menghasilkan satu atau dua
anak bila terjadi kembar. Dengan teknik TE betina unggul tidak perlu bunting
tetapi hanya berfungsi menghasilkan embrio yang untuk selanjutnya bias
ditransfer (dititipkan) pada induk titipan (resipien) dengan kualitas yang tidak
perlu bagus tetapi mempunyai kemampuan untuk bunting.
Kematian bukan lagi merupakan berakhirnya proses untuk
meneruskan keturunan. Dengan teknik bayi tabung (IVF), sel telur yang
berada dalam ovarium betina berkualitas unggul sesaat setelah mati dapat
diproses diluar tubuh sampai tahap embrional. Selanjutnya embrio tersebut
ditransfer pada resipien sampai dihasilkan anak. Produksi embrio dalam
jumlah banyak (baik dengan teknik TE maupun bayi tabung) ternyata juga
dapat menghasilkan masalah karena keterbatasan resipien yang siap
menerima embrio. Untuk mengatasi masalah tersebut dikembangkan metode
pembekuan embrio.
Selain berbagai teknik tersebut di atas, potensi dari hasil yang masih
dapat dioptimalkan dengan teknologi manipulasi mikro, penetuan jenis
kelamin tahap embrional, sexing sperma dan teknik kloning.

2.2 Jenis - jenis Teknologi Manipulasi Gamet (Sperma dan Ovum)


2.2.1 Teknik Pemisahan Spermatozoa (X dan Y)
a. Pengertian Pemisahan Spermatozoa (X dan Y)

3
Sexing atau pemisahan sperma adalah kegiatan yang
bertujuan untuk memisahkan spermatozoa yang membawa sifat
kelamin jantan dengan betina. Pemilihan teknologi sexing
spermatozoa merupakan salah satu pilihan yang tepat dalam rangka
peningkatan efisiensi reproduksi ternak yang mampu meningkatkan
efisiensi usaha peternakan baik dalam skala peternakan rakyat
maupun dalam skala peternakan komersial. Salah satu sasaran dalam
bidang reproduksi ternak adalah memproduksi anak yang
mempunyai jenis kelamin sesuai dengan keinginan peternak.
Penerapan teknologi pemisahan spermatozoa masih
terkendala diantaranya adalah penurunan kualitas yang diakibatkan
oleh proses metabolisme yang berlebih yang kemudian menyebabkan
asam laktat yang berdampak pada penurunan pH sehingga berakibat
pada penurunan motilitas spermatozoa (Bearden dan Fuquay, 1984
dan Sonjaya et al., 2005).
Alternatif yang dapat dilakukan untuk mengatasi
permasalahan tersebut adalah dengan penambahan zat tertentu yang
dapat mempertahankan kualitas spermatozoa, diantaranya adalah
kafein. Kafein (1,3,7 Trimetyl 2,6 Dioksipurin) mampu
meningkatkan motilitas pada spermatozoa yang tidak motil seperti
yang terdapat pada testes dengan cara menghambat siklus nukleotida
fospodiesterase dan mempengaruhi level intraseluler dari siklus
AMP (El Gaafary et al., 1990).
Hasil penelitian Lopez dan Alvarino (2000) menunjukan
bahwa penambahan kafein pada semen kelinci yang disimpan selama
96 jam pada konsentrasi 0,2 mM/L dapat meningkatkan motilitas
spermatozoa. Garbers et al. (1971) melaporkan bahwa peningkatan
motilitas spermatozoa sapi dengan pemberian kafein, berhubungan
erat dengan peningkatan kadar cAMP.
Hasil penelitian Hasbi et al. (2011) menjelaskan bahwa
penambahan ekstrak kopi sebelum proses pemisahan dapat

4
mengurangi laju penurunan motilitas spermatozoa selama
penyimpanan. Motilitas dan persentase hidup spermatozoa hasil
pemisahan menurun selama penyimpanan. Motilitas dan persentase
hidup spermatozoa pada medium pemisah 30% (spermatozoa
pembawa kromosom Y) lebih tinggi jika dibandingkan pada medium
pemisah 10% (spermatozoa pembawa kromosom X).
Motilitas adalah persentase spermatozoa yang bergerak maju
kedepan. Motilitas dipengaruhi oleh perbedaan bangsa, waktu
pemeriksaan dan juga ukuran tubuh. Semakin besar motilitas
spermatozoa yang teramati maka semakin banyak jumlah
spermatozoa yang masih bertahan hidup dan mampu bergerak.
Integritas membran plasma spermatozoa sangat dipengaruhi oleh
komposisi plasma semen.
Persentase membran plasma utuh adalah jumlah spermatozoa
dengan keadaan dimana lapisan terluar spermatozoa tetap dalam
keadaan utuh pasca pemisahan. Kerusakan membran plasma
spermatozoa akan mengganggu metabolisme spermatozoa, akibatnya
akan dapat menurunkan motilitas. Hal inilah yang membuat
keduanya sangat berkorelasi (Yu dan Leibo 2002). Gliserol
merupakan salah satu komponen yang berperan dalam menjaga
kestabilan membran. Membran spermatozoa akan tetap stabil saat
berada dalam plasma semen (Yanagimachi disitasi Hafez, 2000).
Persentase spermatozoa dengan tudung akrosom utuh.
Evaluasi parameter ini dapat dilakukan dengan melihat pada bagian
kepala spermatozoa yang menunjukan warna gelap pada bagian atas
kepala spermatozoa. Keutuhan tudung akrosom dapat dipengaruhi
oleh kondisi lingkungan semen, antara lain dengan adanya
penurunan pH semen yang diakibatkan oleh peningkatan jumlah
asam laktat (Samsudewa, 2006). Menurut (Salisbury dan
VanDemark 1985) penurunan pH semen akan meningkatkan ion
hidrogen cairan semi gelatinous sapi sehingga akan menurunkan

5
tekanan osmotik. Peningkatan ini akan menurunkan permeabilitas
membran spermatozoa sehingga menyebabkan plasmolisis sel
spermatozoa. Plasmolisis sel ini akan menyebabkan meluruhnya
tudung akrosom.
b. Teori yang Melandasi Metode Minimum Esensial (MEM) Eagle’s
Metode minimum esensial (MEM), yang dikembangkan oleh
Harry Eagle, merupakan salah satu yang paling banyak digunakan
dari semua media kultur sel sintetis. Medium minimal esensial elang
(MEM) merupakan kultur sel media yang dikembangkan oleh Harry
Elang yang dapat digunakan untuk menjaga sel-sel dalam kultur
jaringan.
Upaya awal untuk menumbuhkan fibroblast mamalia normal
dan subtipe tertentu mengungkapkan bahwa mereka memiliki
kebutuhan nutrisi tertentu yang tidak bisa dipenuhi oleh Medium
Basal Eagle (BME). Penelitian selanjutnya menggunakan sel ini dan
lainnya dalam budaya menunjukkan bahwa penambahan BME bisa
dibuat untuk membantu pertumbuhan lebih banyak jenis sel rewel.
MEM, yang menggabungkan modifikasi ini, termasuk konsentrasi
yang lebih tinggi dari asam amino sehingga media semakin
mendekati komposisi protein dari sel mamalia. MEM telah
digunakan untuk budidaya berbagai macam sel tumbuh dalam mono-
lapisan. Opsional suplementasi non-asam amino esensial dengan
formulasi yang menggabungkan baik Hanks 'atau Eagles' garam telah
memperluas kegunaan dari media ini. Formulasi telah dimodifikasi
lebih lanjut oleh penghapusan opsional kalsium untuk
memungkinkan pertumbuhan sel dalam suspensi.
Kebanyakan formulasi yang ditawarkan di kedua bubuk dan
bentuk cair. Selain itu, formulasi kebanyakan ditawarkan sebagai
media lengkap atau variasi kekurangan yang memungkinkan
pengguna untuk melengkapi dengan komponen umum seperti
bikarbonat, glutamin atau kalsium. Variasi ini memberikan lebih

6
banyak fleksibilitas dan kontrol atas penggunaan akhir dan
kesesuaian medium.
Sebagian besar formulasi yang ditawarkan mengandung
garam yang Earle asli. Namun, sejumlah formulasi mengandung
garam Hanks '. Kedua fosfat dan bikarbonat buffer solusi garam
mengandung ion yang sama: kalsium, magnesium, kalium, natrium,
dan fosfat. Mereka berbeda dalam konsentrasi kalsium, natrium, dan
dalam komponen penyangga. Buffered Hanks 'garam solusi
mengandung konsentrasi jauh lebih rendah natrium bikarbonat
dibandingkan garam tidak Earle yang buffer.
Formulasi MEM asli berisi garam Earle dan sekelompok
asam amino umumnya disebut sebagai asam amino esensial. Mereka
dianggap penting karena sel-sel yang sedang dikembangkan tidak
akan tumbuh tanpa kehadiran mereka. The 12 asam amino esensial
adalah: L-arginin, L-sistin, L-glutamin, L-histidine, L-isoleusin,
leusin L-, L-metionin, L-fenilalanin, L-treonin, L-triptofan, L-tirosin,
dan L-valin.
c. Kelebihan dan Kekurangan dalam Pemisahan Spermatozoa Metode
Minimum Esensial Media (MEM) Eagle’s.
Penggunaan metode minimum esensial media atau pemisahan
kelamin ini pada mamalia bisa sangat akurat dean hasilnya keturunan
akan menjadi normal. Meningkatnya atau menurunnya abnormalitas
tidak bisa dihitung atau diatur tanpa adanya kontrol yang jelas.
Mesikipun proses sexing ini bisa menghilangkan sperma yang mati
dan beberapa sperma yang anuploid, ini tidak sepenuhnya bisa
mengurangi abnormalitas pada perkawinan karena abnormalitas
terjadi pasa sperma yang tidak mengalami proses sexing dan hasilnya
adalah terjadi abortus. Penggunaan sexing dengan metode ini
memiliki kelebihan yaitu bisa dievaluasi secara berkala. Metode ini
bisa dilakukan cepat atau prosesnya tidak memakan waktu lama.

7
2.2.2 Teknologi Preservasi dan Kriopreservasi Gamet
a. Pengertian
Secara teoritis, kriopreservasi berasal dari kata krio yang
berarti beku, dan preservasi yang berarti penyimpanan pada
temperatur rendah. Jadi kriopreservasi merupakan suatu teknik
penyimpanan sel hewan, tumbuhan ataupun materi genetika lain
(termasuk semen dan oosit) dalam keadaan beku melalui reduksi
aktivitas metabolisme tanpa mempengaruhi organel-organel di dalam
sel sehingga fungsi fisiologi, biologi, dan morfologi tetap ada.
Metode kriopreservasi sel spermatozoa dibedakan atas pembekuan
lambat (slow freezing), pembekuan cepat (rapid freezing), dan
pembekuan sangat cepat (ultra rapid freezing). Prinsip yang
terpenting dari kriopreservasi sel spermatozoa ialah pengeluaran air
dari dalam sel (dehidrasi) sebelum membeku intraseluler. Bila tidak
terjadi dehidrasi akan terbentuk kristal es besar dalam sel yang dapat
merusak sel dan bila terjadi dehidrasi yang sangat hebat maka sel
akan mengalami kekeringan sehingga sel mati (Supriatna & Pasaribu
1992).
Perhatian harus difokuskan pada prinsip perpindahan air
keluar masuk membran, baik dehidrasi sebelum deep freezing
maupun dehidrasi pada saat pencairan kembali (thawing). Pada
dasarnya tujuan utama kriopreservasi sel spermatozoa ialah
melestarikan plasma nutfah yang mendekati kepunahan dan
mendukung program teknologi inseminasi buatan (IB) pada ternak.
Keuntungan kriopreservasi sel spermatozoa ialah sel spermatozoa
dapat disimpan dalam waktu yang tidak terbatas dan dapat
digunakan kapan saja bila diperlukan (Toelihere 1985).
Penggunaan glycerol sebagai cryoprotectant merupakan
prosedur teknik pelaksanaan kriopreservasi yang telah ditemukan
sejak tahun 1950. Hingga kini, pemakaian cryoprotectant tersebut
masih digunakan, bahkan tetap dinyatakan sebagai agen

8
cryoprotectant terbaik untuk pembekuan sel. Aplikasi pembekuan sel
untuk dunia veteriner, utamanya penggunaan dalam pembekuan
semen sudah banyak di pakai banyak negara. Di banyak negara, juga
Indonesia alih teknologi ini berperan dalam meningkatkan kapasitas
produksi ternak (dairy product). Ternak yang menjadi konsentrasi
utama dalam aplikasi teknologi ini adalah sapi. Hewan dari spesies
yang berbeda pun dapat menggunakan aplikasi ini, tetapi ada
berbagai macam kendala yang membatasi penggunaan teknologi ini.
Kendalanya, yaitu perbedaan fisiologis dan biokimia spermatozoa di
tiap-tiap spesies, dan adanya variasi mekanisme transport sperma
dalam saluran reproduksi betina (Holt, 2000).
Prinsip biofisika yang diaplikasikan untuk pembekuan sel
dan jaringan hidup, secara linear dapat juga diaplikasikan pada
sperma. Sperma dapat mengalami kerusakan selama kriopreservasi
dan/atau thawing, ketika kristal es intraselullar terbentuk dalam
jumlah yang banyak atau oleh peningkatan konsentrasi larutan
intraselullar dan perubahan lain terkait dengan dehidrasi sel (efek
larutan). Pembekuan spontan merupakan langkah untuk mengurangi
efek larutan, tetapi proses ini dapat meningkatkan pembentukan
kristal es. Pembentukan kristal es yang berlebihan akan
menyebabkan kerusakan mekanis yang berat. Pembekuan bertahap
dapat mengurangi pembentukkan kristal es, tetapi juga dapat
memacu kerusakan yang disebabkan efek larutan (Hafez, 2000).
Selama kriopreservasi terjadi perubahan temperatur dan
osmolalitas yang ekstrem. Aksi tersebut berefek pada struktur
organisasi dan komposisi lipid membran plasma di tiap bagian
penting sperma (Arthur et al., 1996; Moće dan Graham, 2008).
Kerusakan fungsional sperma merupakan konsekuensi perubahan
struktur organisasi dan komposisi lipid di membran plasma.
Kerusakan fungsional sperma berefek pada penurunan motilitas,

9
pergerakan abnormal (circullar movement), dan kematian dini
sperma (Loomis dan Graham, 2008).
b. Aplikasi Kriopreservasi Sperma
Penyimpanan semen dalam jangka waktu yang lama
membutuhkan aplikasi teknologi, berupa kriopreservasi. Namun
demikian, aplikasi dari teknologi ini sering bermasalah dalam
mempertahankan kemampuan hidup sperma terhadap cold shock.
Syarat minimum substansi yang dapat melindungi sperma dari
proses freezing adalah dapat melindungi sperma dari efek cold shock
dan deleterious. Cryoprotectant merupakan substansi tambahan yang
digunakan untuk melindungi sperma dari efek deleterious, sebagai
konsekuensi proses freezing (Arthur et al., 1996).
Saat semen-extender mixture mencapai titik beku, ice crystal
dari air murni mulai terbentuk. Bagian yang tidak membeku
merupakan konsentrasi dari makromolekul dan molekul non-
soluable lipid yang terkandung dalam larutan. Perbedaan gradien
osmotik extra- dan intracelullar berfungsi memelihara stabilitas
membran selama pembekuan. Secara teknis, sel masih dapat
melakukan transport aktif dan pasif selama pembekuan (Arthur et
al.,1996).
Menurut Curry (1995), pada suhu -15oC hingga -20oC sperma
masih dapat melakukan aktivitas metabolisme. Konfirmasi
metabolisme diperoleh berdasarkan aksi menghasilkan panas (latent
heat) di kisaran suhu tersebut. Batas temperatur latent heat yang
diproduksi spermatozoa adalah 7-8oC. Saat supercooling terjadi, sel
akan mengalami dehidrasi berat (Curry, 1995; Arthur et al., 1996).
Hal ini karena sejumlah besar air berpindah menuju unfrozen part
medium extracellular (Arthur et al., 1996).
Awal mula diperkenalkan, aplikasi kriopreservasi semen
memakai fasilitas glass ampoules yang dibekukan dalam campuran
alcohol dan carbon dioxide padat. Suhu akhir yang diperoleh dalam

10
medium tersebut adalah -79oC (Salisbury et al., 1978). Penyimpanan
dalam jangka waktu yang lama pada suhu -79oC memberikan efek
negatif pada sperma. Ini dikarenakan, pada kisaran suhu tersebut
masa hidup sperma berlangsung pendek, tetapi dalam
penggunaannya carbon dioxide dapat memberikan efek positif
mempertahankan metabolisme dan motilitas sperma. Konfirmasi
tersebut mengandung arti bahwa penggunaan carbon dioxide dapat
memperpanjang masa hidup sperma.
Nitrogen cair merupakan medium standar penyimpanan
sperma dalam jangka waktu yang lama, tanpa menimbulkan efek
buruk di sperma. Sampai sekarang, teknis kriopreservasi semen
dengan nitrogen cair mempunyai 2 metode aplikasi. Metode tersebut,
antara lain pembekuan bertahap dan pembekuan spontan (Arthur et
al., 1996; Hafez et al., 2000). Analisis data dilaboratorium
menunjukkan bahwa pembekuan sperma secara bertahap lebih baik
dibandingkan pembekuan sperma secara spontan (Holt, 2000).
Teknis kriopreservasi diawali dengan pemakaian straw atau paillettes
untuk sperma yang sudah diencerkan, kemudian dengan skala suhu
yang bertahap sperma dibekukan (Hafez et al., 2000). Menurut
Arthur (1996), detail pendinginan bertahap secara benar adalah straw
atau paillettes dibekukan terlebih dahulu dengan uap nitrogen cair
selama 10 menit, setelah itu straw atau paillettes siap untuk
dibekukan dalam nitrogen cair. Kisaran suhu untuk uap nitrogen cair
adalah -120oC, sedangkan untuk perendaman dalam nitrogen cair
adalah -196oC (Arthur et al., 1996; Holt, 2000; Hafez, 2000).
c. Teknik Kriopreservasi
Teknik kriopreservasi dapat dibedakan atas teknik lama
(klasik) dan teknik baru :
1. Teknik lama (klasik)
Teknik ini didasarkan pada freeze-induced dehydration,
yaitu dehidrasi yang diinduksi dengan pembekuan pada suhu di

11
bawah titik beku air hingga -40°C. Teknik lama juga disebut
teknik pembekuan lambat atau teknik pembekuan dua tahap.
Teknik pembekuan dua tahap meliputi inkubasi sel pada
krioprotektan dengan total konsentrasi 1-2 M yang menyebabkan
dehidrasi moderat dan diikuti oleh pembekuan lambat, misalnya
dengan kecepatan 1°C per menit hingga suhu -35°C, lalu
pembekuan dalam nitrogen cair dan selanjutnya thawing
(pelelehan) (Ika dan Ika, 2003).
2. Teknik baru
Teknik ini didasarkan pada vitrification, yaitu dehidrasi
yang diinduksi pada suhu di atas titik beku air. Vitrification
(vitrifikasi) adalah fase transisi air dari bentuk cair menjadi
bentuk nonkristalin atau amorf, tembus pandang (glassy) karena
elevasi ekstrim dari larutan yang viskos selama pendinginan.
Teknik vitrifikasi didasarkan pada dehidrasi sel pada suhu non-
freezing (tidak beku), yaitu dengan merendam bahan dalam
larutan krioprotektan dengan total konsentrasi 5-8 M pada suhu 0-
25°C dan diikuti oleh pembekuan dan selanjutnya pelelehan.
Macam-macam teknik baru antara lain (1) vitrifikasi, (2)
enkapsulasidehidrasi, (3) enkapsulasi-vitrifikasi, (4) desikasi, (5)
pratumbuh, (6) pratumbuh-desikasi, dan (7) dropplet-freezing (Ika
dan Ika, 2003).
d. Faktor yang Mempengaruhi Kriopreservasi
Sejumlah faktor yang mempengaruhi keberhasilan
kriopreservasi dengan teknik pembekuan lambat adalah (1)
kecepatan pembekuan, (2) jenis dan konsentrasi krioprotektan, (3)
suhu akhir pembekuan, dan (4) tipe dan keadaan fisiologis bahan
yang akan disimpan. Jika pembekuan terlalu lambat maka sel terlalu
terdehidrasi sehingga konsentrasi zat elektrolit dalam sel menjadi
tinggi. Jika pembekuan terlalu cepat maka sel kurang mengalami
dehidrasi sehingga terjadi formasi es intraseluler yang bersifat letal.

12
Penambahan krioprotektan dapat memelihara keutuhan
membran dan meningkatkan potensial osmotik media sehingga
cairan di dalam sel mengalir keluar dan terjadi dehidrasi.
Krioprotekan yang umum digunakan adalah DMSO, gliserol, PEG,
sorbitol, dan manitol. Senyawa dalam krioprotektan dapat dipisah
menjadi dua, yaitu senyawa yang dapat masuk ke dalam sel
(permeating agent) seperti DMSO, gliserol (pada suhu tertentu) dan
yang tidak dapat masuk ke dalam sel (non permeating agent) seperti
sukrosa dan gula alkohol (manitol, sorbitol) (Ika dan Ika, 2003).
Selama pembekuan dan pelelehan, sel dapat mengalami
kerusakan sebagai akibat dari (1) eksposur bahan pada suhu rendah,
(2) formasi kristal es, (3) sel terdehidrasi, dan (4) formasi radikal
bebas. Eksposur pada suhu rendah dapat menyebabkan inaktivasi
protein yang sensitif terhadap suhu dingin. Sebagian besar formasi es
intraseluler bersifat letal dan pada dasarnya sel dapat mentolelir
formasi es ekstraseluler. Namun demikian, formasi es ekstraseluler
juga dapat merusak sel karena daya mekanis dari kristal es yang
tumbuh, gaya adesi kristal es terhadap membran, interaksi elektris
yang disebabkan oleh perbedaan solubilitas ion pada fase es dan cair,
formasi gelembung udara intraseluler, luka khemis yang
berhubungan dengan peroksidase lipid dan perubahan pH pada
lokasi tertentu (Ika dan Ika, 2003).
Sel yang terdehidrasi terlalu kuat dapat mengalami
plasmolisis yang kuat pula sehingga berakibat terhadap perubahan
pH, interaksi mikromolekuler, dan peningkatan konsentrasi zat
elektrolit. Pada saat pelelehan, kontraksi osmotik dapat
menyebabkan endositotik vesikulasi irreversibel yang
mengakibatkan sel lisis karena bahan membran yang baru tidak
mampu memfasilitasi deplasmolisis (Ika dan Ika, 2003).

13
e. Faktor-Faktor yang Dapat Merusak Spermatozoa Selama
Pemyimpanan
Kejadian yang dapat merusak dan menurunkan viabilitas
spermatozoa selama proses penyimpanan dan pembawa materi
genetik ternak (sel gamet) dengan teknik kriopreservasi yaitu kejutan
dingin (cold shock) dan pembentukan krista-kristal es. Kejutan
dingin terjadi karena adanya penurunan suhu secara mendadak
dibawah suhu 0°C. Berkaitan erat dengan fase pemisahan dan
penurunan sifat-sifat permeabilitas secara selektif dan membran
bioligik sel hidup.
Pengaruh kejutan dingin terhadap pembawa materi genetik
ternak dapat dilihat pada sel spermatozoa dan sel telur (oosit). Pada
sel spermatozoa, kejutan dingin menyebabkan terjadi penurunan
motilitas, pelepasan enzim pada akrosom, perpindahan ion melewati
membran dan penurunan kandungan lipid (fosfolipid dan kolestrol)
yang berperan untuk mempertahankan integritas struktural-membran
plasma (Weitze dan Petzoidt, 1992; White, 1993).
Pembentukan kristal-kristal es berkaitan erat dengan
perubahan tekanan osmotik dalam fraksi yang tidak beku (Watson,
2000). Pengaruh pembentukan kristal-kristal es terhadap pembawa
materi genetik ternak selama proses kriopreservasi dapat dilihat pada
sel spermatozoa dan sel telur. Pada sel spermatozoa dapat
menyebabkan penurunan motilitas dan viabilitas spermatozoa,
peningkatan pengeluaran enzim-enzim intraseluler ke ekstraseluler
dan kerusakan pada organel-organel sel, seperti mitokondria dan
lisosom (Suprianata dan Pasaribu, 1992; Dhani dan Sahni, 1992).
Apabila mitokondria rusak dan rantai oksidasi putus akan
mengakibatkan spermatozoa berhenti bergerak karena tidak ada
pasokan energi dari organel mitokondria. Sumber energi mitokondria
berperan untuk menggertak mikrotubul sehingga terjadi pergesekan

14
diantara mikrotubul sehingga spermatozoa dapat bergerak secara
bebas (motil).
f. Kelebihan dan Kekurangan
Setiap teknik penyimpanan mempunyai kelebihan dan
kekurangan. Pada penyimpanan in vitro jangka pendek dan jangka
menengah diperlukan tindakan subkultur yang berulang-ulang
sehingga kurang efisien dalam hal waktu, tenaga, ruangan, dan
biaya. Tindakan tersebut juga dapat menyebabkan kultur mengalami
kontaminasi dan kehilangan vigoritas dan berpeluang terjadinya
perubahan genetik akibat penggunaan zat penghambat tumbuh dalam
jangka waktu yang relatif lama (Ika dan Ika, 2003).
Dengan teknik kriopreservasi, kekurangan dari metode
penyimpanan in vitro tersebut dapat ditekan seminimal mungkin
karena bahan disimpan dalam ruangan bersuhu sangat rendah. Pada
suhu yang sangat rendah, sel-sel tidak mempunyai aktivitas
metabolik dengan viabilitas yang tetap terpelihara sehingga bahan
dapat disimpan dalam jangka waktu yang sangat lama tanpa
memerlukan tindakan subkultur yang berulang-ulang. Keuntungan
lain dari kriopreservasi sel spermatozoa ialah sel spermatozoa dapat
disimpan dalam waktu yang tidak terbatas dan dapat digunakan
kapan saja bila diperlukan (Ika dan Ika, 2003).
2.2.3 Inseminasi Buatan (IB)
a. Sejarah
Inseminasi Buatan (IB) pada hewan peliharaan telah lama
dilakukan sejak berabad-abad yang lampau. Seorang pangeran arab
yang sedang berperang pada abad ke-14 dan dalam keadaan tersebut
kuda tunggangannya sedang mengalami birahi. Kemudian dengan
akar cerdinya, sang pangeran dengan menggunakan suatu tampon
kapas, sang pangeran mencuri semen dalam vagina seekor kuda
musuhnya yang baru saja dikawinkan dengan pejantan yang dikenal
cepat larinya. Tampon tersebut kemudian dimasukan ke dalam

15
vagina kuda betinanya sendiri yang sedang birahi. Alhasil ternyata
kuda betina tersebut menjadi bunting dan lahirlah kuda baru yang
dikenal tampan dan cepat larinya. Inilah kisa awal tentang IB, dan
setelah itu tidak lagi ditemukan catatan mengenai pelaksanaan IB
atau penelitian ke arah pengunaan teknik tersebut.
b. Inseminasi Buatan
Teknologi modern pada zaman sekarang telah mampu
mengatasi masalah kemandulan (bagi manusia) dan menghasilkan
bibit-bibit unggul (bagi hewan yang dapat menguntungkan manusia),
khususnya dalam bidang bioteknologi. Hal tersebut dapat dilakukan
diantaranya dengan melalui inseminasi buatan.
Dari hasil kemajuan bioteknologi tersbut, sekarang telah
tersedia inseminasi buatan, fertilisasi atau pembuatan in vitro dan
rahim kontrak. Kemajuan bioteknologi tersebut apabila diterapkan
pada dunia hewan, maka akan mendatangkan manfaat dan
keuntungan bagi manusia. Namun, jika kemajuan bioteknologi
diaplikasikan pada manusia, maka akan menghasilkan dampak yang
positif dan dampak yang negatif. Dampak positif dapat diambil dari
orang-orang yang telah menikah, tetapi tidak bisa mempunyai anak,
maka agar keinginan untuk mempunyai anak dapat terwujud, maka
dapat dilakukan dengan melalui bayi tabung atau rahim kontrak.
Sedangkan dampak negatifnya yaitu dapat menimbulkan kekacauan
dalam sistem keturunan manusia.
Maka sejak tahun 1956 dewan gereja di Roma telah
mengutuk kegiatan tersebut dengan alasan bahwa inseminasi buatan
dapat memisahkan tindakan prokreasi (kasih sayang terhadap anak,
dan anak adalah karunia Tuhan yang harus dijunjung tinggi) dan
persatuan cinta. Alasan lainnya yaitu kegiatan inseminasi melibatkan
tindakan masturbasi yang dibutuhkan untuk mengeluarkan sperma.
Inseminasi Buatan adalah salah Bioteknologi dalam bidang
reproduksi ternak yang memungkinkan manusia mengawinkan

16
ternak betina tanpa perlu seekor pejantan. Inseminasi Buatan
merupakan suatu rangkain proses terencana dan terpogram karena
menyangkut kualitas genetik ternak di masa yang akan datang.
Pelaksanaan dan penerapan teknologi Inseminasi Buatan di lapangan
dimulai dengan langkah pemilihan pejantan unggul sehingga akan
lahir anak yang kualitasnya lebih baik dari induknya selanjutnya dari
pejantan tersebut dilakukan penampungan semen, penilaian
kelayakan semen, pengelolahan dan pengawetan semen dalam
bentuk cair dan beku, serta teknik inseminasi ke dalam saluran
reproduksi ternak betina.
c. Teknik Inseminasi Buatan
1. Teknik IUI (Intrauterine Insemination)
Teknik IUI dilakukan dengan cara sperma diinjeksikan
melalui leher rahim hingga ke lubang uterine (rahim).

Gambar 1. Teknik IUI (Intrauterine Insemination)


2. Teknik DIPI (Direct Intraperitoneal Insemination)
Teknik DIPI telah dilakukan sejak awal tahun 1986. Teknik
DIPI dilakukan dengan cara sperma diinjeksikan langsung ke
peritoneal (rongga peritoneum).

17
Gambar 2. Teknik DIPI (Direct Intraperitoneal Insemination)
Teknik IUI dan DIPI dilakukan dengan menggunakan alat
yang disebut bivalve speculum, yaitu suatu alat yang berbentuk
seperti selang dan mempunyai 2 cabang, dimana salah satu ujungnya
sebagai tempat untuk memasukkan / menyalurkan sperma dan ujung
yang lain dimasukkan ke dalam saluran leher rahim untuk teknik
IUI, sedangkan untuk teknik DIPI dimasukkan kedalam peritoneal.
Jumlah sperma yang disalurkan/diinjeksikan kurang lebih sebanyak
0,5–2 ml. Setelah inseminasi selesai dilakukan, orang yang
mendapatkan perlakuan inseminasi tersebut harus dalam posisi
terlentang selama 10–15 menit.
d. Keuntungan dan Kerugian Inseminasi Buatan (IB)
Keuntungan inseminasi buatan (IB) yaitu untuk menghemat
biaya pemeliharaan ternak jantan, dapat mengatur jarak kelahiran
ternak dengan baik. mencegah terjadinya kawin sedarah pada sapi
betina, dengan peralatan dan teknologi yang baik sperma dapat
simpan dalam jangka waktu yang lama, semen beku masih dapat
dipakai untuk beberapa tahun kemudian walaupun pejantan telah
mati, menghindari kecelakaan yang sering terjadi pada saat
perkawinan karena fisik pejantan terlalu besar, dan menghindari
ternak dari penularan penyakit terutama penyakit yang ditularkan
dengan hubungan kelamin.

18
Kerugian inseminasi buatan (IB) yaitu apabila identifikasi
birahi (estrus) dan waktu pelaksanaan IB tidak tepat maka tidak akan
terjadi kebuntingan, akan terjadi kesulitan kelahiran, apabila semen
beku yang digunakan berasal dari pejantan dengan breed/ turunan
yang besar dan diinseminasikan pada sapi betina keturunan / breed
kecil. bisa terjadi kawin sedarah apabila menggunakan semen beku
dari pejantan yang sama dalam jangka waktu yang lama, dan dapat
menyebabkan menurunnya sifat-sifat genetik yang jelek apabila
pejantan donor tidak dipantau sifat genetiknya dengan baik (Soebadi,
1980).

19
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Teknologi Pemisahan Spermatozoa Pada Sapi dengan Metode


Minimum Esensial Media (MEM)
Usaha ternak sapi di Indonesia membutuhkan perhatian khusus
dalam kaitannya dengan upaya mempertahankan dan menunjang
peningkatan populasi; dimana teknologi tepat guna di bidang reproduksi
dan pakan sudah seharusnya bisa diterapkan secara mudah dan efisien.
Sebagai contoh, peternak sapi perah lebih mengharapkan sapi
betina dari suatu kelahiran daripada sapi jantan, sebaliknya peternak sapi
potong lebih mengharapkan kelahiran sapi jantan dari pada sapi betina.
Berbagai penelitian yang telah dilakukan untuk mengontrol jenis kelamin
anak ternak dari suatu kelahiran agar sesuai dengan keinginan peternak.
Penelitian dimulai dengan pengkondisian saluran reproduksi ternak betina
agar lingkungan itu menjadi lebih baik bagi spermatozoa X daripada
spermatozoa Y atau sebaliknya. Selanjutnya pemisahan spermatozoa X
dan spermatozoa Y sebelum dilakukan IB atau IVF (In Vitro Fertilization).
Keberadaan spermatozoa dalam proses pembentukan jenis kelamin
pada kebanyakan makhluk hidup khususnya mamalia, mempunyai arti
penting, karena spermatozoa menentukan jenis kelamin seekor ternak.
Proses ini melibatkan penggabungan antara kromosom seks yang dibawa
oleh spermatozoa dan kromosom seks yang dibawa oleh ovum (sel telur).
Berdasarkan kromosom seks yang dibawanya, spermatozoa pada mamalia
dapat dibedakan atas spermatozoa pembawa kromosom X (spermatozoa
X) dan spermatozoa pembawa kromosom Y (spermatozoa Y).
Dalam suatu perkawinan, apabila spermatozoa Y yang berhasil
membuahi telur, anak yang akan dilahirkan adalah jantan, dengan
komposisi kromosom secara normal yaitu XY. Hal ini terjadi karena dalam
proses pembentukan jenis kelamin, spermatozoa Y yang mengandung gen
Testis Determining Factor (tidak dimiliki oleh spermatozoa X) akan

20
mengarahkan pertumbuhan gonad primordial untuk membentuk testes.
Selanjutnya, testes (sel-sel Sertoli) akan menghasilkan hormon Anti
Mullerian Duct factor yang dapat meregresi pertumbuhan Mullerian duct,
sehingga saluran reproduksi betina (oviduct, uterus, cervix dan vagina)
tidak terbentuk. Selain itu, testes (sel-sel Leydig) juga mensekresikan
hormon testosteron yang menyebabkan maskulinisasi pada foetus dan
membantu dalam proses pembentukan penis dan scrotum serta
merangsang pertumbuhan Wollfian duct untuk membentuk epididymus,
vas deferens, dan seminal vesicle. Sebaliknya jika spermatozoa X yang
berhasil membuahi sel telur, maka akan dilahirkan anak betina dengan
komposisi kromosom yang normal, yaitu XX.
Ketidakhadiran gen testes determining factor akan menyebabkan
gonad primordial berubah menjadi ovarium. Selanjutnya ovarium (sel-sel
granulosa dan sel-sel theca) akan mensekresesikan hormon estrogen yang
merangsang pertumbuhan Mullerian duct untuk membentuk saluran
reproduksi betina (Gilbert, 1988 dalam Saili dkk., 1998).
Upaya pemisahan dilakukan berdasarkan perbedaan kromosom
pada semen pejantan yaitu X dan Y yang dapat menentukan jenis kelamin
anak. Perbedaan spermatozoa diantara keduanya adalah pada berat,
pergerakan, kandungan biokimia, muatan permukaan dan besar
spermatozoa. Metode pemisahan spermatozoa yang dapat dilakukan antara
lain adalah sedimentasi, immunologi, elektroforesis dan metode filtrasi
(Saili et al., 1998). Metode lain yang juga dapat dilakukan antara lain
adalah dengan kolum albumen (Susilawati et al., 2002). Menurut Saili
(1999) penggunaan putih telur dapat sebagai pengganti bahan Bovine
Serum Albumen (BSA). Penggantian bahan ini dapat lebih ekonomis jika
dibandingkan dengan metode pemisahan lain.
Terdapat perbedaan kromosom pada individu ternak jantan dan
betina. Perbedaan ini akan menentukan jenis kelamin anak yang
dilahirkan. Sepasang kromosom umumnya terdiri dari pasangan
kromosom homozigot/sejenis (XX) dan pasangan kromosom yang

21
heterozogot/tidak sejenis (XY). Kromosom heterozigot dibawa oleh ternak
jantan dengan produksi dua macam gamet yang seimbang yaitu gamet
yang membawa kromosom X dan Y, sedangkan kromosom homozigot
dibawa oleh ternak betina yang hanya menghasilkan satu jenis gamet.
Berdasarkan hal itu dapat disimpulkan bahwa kombinasi gamet yang
mungkin terbuahi hanya dua dan hasilnya 50% jantan dan 50% betina
(Pineda, 1989).
Spermatozoa hanya mengandung setengah jumlah DNA pada sel-
sel somatik sebagai hasil pembelahan reduksi selama spermatogenesis,
sehingga terbentuklah dua macam kromosom. Spermatozoa yang
membawa kromosom X disebut spermatozoa X dan spermatozoa yang
membawa kromosom Y disebut spermatozoa Y. Spermatozoa X pada
mamalia jika membuahi sel telur akan menghasilkan embrio betina
sedangkan spermatozoa Y akan menghasilkan embrio jantan (Graves,
1994 dan Toelihere, 1985).
Semua sel tubuh akan didapatkan autosom-autosom yang
berpasangan yang diploid dan satu pasang seks kromosom. Secara primer
jenis kelamin ditentukan oleh kromosom seks. Hewan mamalia dalam
semua sel tubuh betina didapatkan dua kromosom X dan pada hewan
jantan didapatkan satu kromosom X dan satu kromosom Y (Yatim, 1986).
Tahap-tahap dalam pemisahan spermatozoa yaitu sebagai berikut :
1. Penyiapan Semen
Metode penyiapan spermatozoa menurut Toelihere (2001) yaitu
semen sapi ditampung menggunakan vagina buatan, kemudian dibawa ke
laboratorium untuk dievaluasi secara makroskopis (volume, warna,bau,
pH, dan kekentalan) dan mikroskopis(gerakan massa, persentase motilitas,
konsen-trasi, persentase abnormalitas, dan persentase hidup mati).
2. Pemisahan Spermatozoa
Metode pemisahan menurut Saili (1999),yaitu semen sapi yang
ditampung (ejakulat) dicuci dengan penambahan medium BO (Brackett-
Oliphant) dan disentrifugasi pada kecepatan 2500 rpm selama 10 menit.

22
Medium BO ditambahkan kembali pada endapansemen sampai
konsentrasi menjadi 150 juta selper mililiter. Satu mililiter sampel
dimasukkanke dalam tabung yang telah berisi kolom albu-min bertingkat
10% dan 30%, kemudian dibiarkan selama satu jam pada suhu 280 Fraksi
semen bagian atas dipisahkan dari fraksi semen bagian bawah dengan
menyedot masing-masing fraksi menggunakan pipet dan ditampung dalam
tabung centrifuge, kemudian dicuci menggunakan medium BO dengan
sentrifugasi pada kecepatan 2500 rpm selama10 menit.
3. Evaluasi Spermatozoa
Preparat ulas spermatozoa dibuat dari masing-masing fraksi semen
dengan pewarnaan diferensial menggunakan larutaneosin 2%, selanjutnya
pengukuran panjang dan bagian terlebar kepala spermatozoa dilakukan di
bawah mikroskop cahaya pembesaran 10 x100 dengan menggunakan lensa
mikrometer.Jumlah spermatozoa yang dihitung dari masing-masing fraksi
adalah 200 sel spermatozoa, yang berukuran kepala lebih besar dari
kontrol dikategorikan sebagai spermatozoa X, sedangkan bila ukuran
kepala lebih kecil darikontrol dikategorikan sebagai spermatozoa Y
(Saili,1999).

3.2 Penerapan Teknologi Preservasi dan Kriopreservasi Gamet pada


Beberapa Ternak
Terdapat beberapa penerapan teknologi preservasi dan kriopreservasi
yang pernah diuji cobakan pada hewan terutama ternak, antara lain sebagai
berikut.
1. Kriopreservasi Sperma Pada Ikan Nilem
Dalam penelitian ini, membahas “Kriopreservasi Spermatozoa Ikan
Nilem (Osteochilus Hasseltii) Menggunakan Ekstender dan Krioprotektan
Berbeda”. Kriopreservasi sperma ikan memberikan keuntungan terhadap
industri akuakultur (contohnya mempertahankan keragaman genetik induk,
memanfaatkan sperma secara efisien dan sinkronisasi reproduksi secara
buatan) dan konservasi ex-situ (bank gen spesies terancam punah,

23
organisme indigenous dan strain yang bernilai tinggi). Nilem merupakan
model yang mewakili untuk diinvestigasi secara mendasar yang dapat
mendorong terhadap pengembangan suatu prosedur kriopreservasi untuk
ikan yang dibudidayakan secara komersial dan spesies yang terancam
punah pada kelompok Cyprinid. Penelitian kriopreservasi sperma ikan
nilem telah dilakukan untuk mengkaji kombinasi efektif antara dua
ekstender, larutan Ringer atau glukosa, dan tiga krioprotektan, dimethyl
sulfoxide (DMSO), metanol atau gliserol, pada tiga konsentrasi berbeda
yaitu 5%, 10% atau 15% DMSO atau metanol atau 2,5%, 5,0% atau 7,5%
gliserol. Sperma diencerkan dengan ekstender pada rasio 1 : 9 kemudian
krioprotektan ditambahkan sesuai dengan konsentrasi perlakuan. Sampel
dimasukkan ke dalam straw 0,5 mL, diekuilibrasi pada temperatur 4 – 5 oC
selama 20 menit, diuapkan pada jarak 3 cm diatas permukaan nitrogen cair
selama 3 menit, kemudian dimasukkan ke dalam nitrogen cair untuk
disimpan selama 1 minggu. Setelah penyimpanan, sampel diencerkan
kembali (thawing) dalam air dengan temperatur 39 – 40 oC selama 10 – 15
detik dan digunakan untuk membuahi 100 – 200 telur per straw. Persentase
motilitas spermatozoa pre-freezing tidak berbeda nyata (p>0,05) baik
dengan kontrol spermatozoa segar maupun antar perlakuan kecuali Ringer
gliserol 7,5% dan glukosa metanol 15%. Persentase motilitas pre-freezing
tertinggi pada kombinasi Ringer DMSO 5% dan Ringer metanol 5%
(masing-masing 100%) dan terendah pada kombinasi glukosa metanol
15% (77,50±5,00%). Persentase motilitas spermatozoa post-thawing
berbeda nyata (p<0,05) antar perlakuan kombinasi ekstender Ringer tetapi
kombinasi Ringer DMSO 10% tidak berbeda (p>0,05) baik dengan kontrol
spermatozoa segar dalam larutan Ringer maupun dengan spermatozoa pre-
freezing. Persentase motilitas spermatozoa post-thawing tidak berbeda
nyata (p>0,05) antar perlakuan kombinasi ekstender glukosa kecuali antara
glukosa DMSO 5% dengan glukosa gliserol 2,5%. Persentase motilitas
post-thawing tertinggi pada Ringer DMSO 10% (87,50±5,00%) dan
terendah pada glukosa gliserol 2,5% (12,50±5,00%). Derajat penetasan

24
telur yang dibuahi spermatozoa pre-freezing atau post-thawing berbeda
nyata (p<0,05) baik antar perlakuan maupun dengan kontrol. Derajat
penetasan yang dibuahi spermatozoa pre-freezing tertinggi pada glukosa
DMSO 5% (96,56±2,43%) dan terendah pada Ringer metanol 15%
(3,39±2,24%) sedangkan yang dibuahi spermatozoa post-thawing tertinggi
pada Ringer DMSO 15% (54,98±28,61) dan terendah pada glukosa DMSO
15% (6,54±3,31%). Hasil penelitian menunjukkan tidak ada korelasi
signifikan antara persentase motilitas dengan derajat penetasan telur yang
dibuahi spermatozoa post-thawing. Hasil penelitian ini membuktikan
kombinasi ekstender Ringer dengan krioprotektan DMSO efektif untuk
kriopreservasi sperma ikan nilem. Dengan demikian, kriopreservasi
sperma ikan, dengan menggunakan nilem sebagai model, dapat
dikembangkan lebih lanjut untuk diterapkan pada ikan Cyprinid lainnya
(Sunarma, dkk. 2007).
2. Kriopreservasi Pada Domba
Penelitian ini mempelajari kriopreservasi sperma domba
menggunakan ekstender Tris yang diperkaya dengan krioprotektan lesitin
kacang kedelai (Soybean lechitin) melalui pembekuan lambat dan
vitrifikasi telah dilaksanakan dalam empat tahap penelitian. Penelitian 1,
pengaruh pencucian sperma dan kadar lesitin kacang kedelai dalam
ekstender Tris terhadap kualitas spermatozoa domba yang disimpan pada
suhu 5⁰C. Semen dicuci dengan larutan Krebs- Ringer phosphate glucose
dan diencerkan dengan ekstender Tris-lesitin kacang kedelai. Kombinasi
perlakuan pencucian sperma dan kadar lesitin kacang kedelai tidak
berinteraksi secara nyata, namun secara tunggal kadar lesitin kacang
kedelai berpengaruh nyata (P≤0,05) dan perlakuan pencucian tidak
berpengaruh nyata terhadap kualitas spermatozoa selama lima hari
penyimpanan pada suhu 5⁰C. Penelitian 2, pengaruh kadar lesitin kacang
kedelai dalam ekstender Tris terhadap kualitas spermatozoa domba yang
dikriopreservasi melalui metode pembekuan lambat. Kadar lesitin kacang
kedelai dalam ekstender Tris berpengaruh nyata (P≤0,05) terhadap kualitas

25
spermatozoa domba pasca pembekuan lambat. Penelitian 3, vitrifikasi
spermatozoa domba menggunakan ekstender lesitin kacang kedelai dengan
kadar gliserol yang berbeda. Kadar gliserol dalam ekstender lesitin kacang
kedelai berpengaruh nyata (P≤0,05) terhadap kualitas spermatozoa domba
pasca vitrifikasi. Penelitian 4, uji fertilitas sperma beku domba yang
dikriopreservasi menggunakan ekstender lesitin kacang kedelai. Angka
fertilitas domba dari sperma beku hasil pembekuan lambat dengan 3%
lesitin kacang kedelai (FL3) nyata lebih tinggi (P≤0,05) daripada hasil
vitrifikasi (L3G5) dan kontrol (FL0). Kesimpulan, sperma domba yang
diencerkan dengan lesitin kacang kedelai tidak perlu dilakukan pencucian
untuk proses preservasi maupun kriopreservasi. Lesitin kacang kedelai
terbaik diperoleh pada kadar 3% dalam ekstender Tris dengan persentase
motilitas progresif, viabilitas, abnormalitas dan integritas membran
spermatozoa pasca pembekuan lambat masing-masing sebesar 43,79%,
50,85%, 13,72% dan 51,65%. Penggunaan krioprotektan 3% lesitin
kacang kedelai dan 5% gliserol dalam ekstender Tris sangat
memungkinkan pengembangan teknologi vitrifikasi. Sperma beku domba
yang dikriopreservasi dengan metode pembekuan lambat memberikan
hasil inseminasi buatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan sperma
beku hasil vitrifikasi dengan angka kebuntingan (Conception rate) dan
angka kelahiran (Lambing rate) masing-masing sebesar 53,85% (14/26)
dan 53,85% (14/26) (Salmin, 2010).
3. Preservasi Semen Sapi
Semen dengan kualitas rendah umumnya mempunyai ketahanan
yang rendah terhadap proses pembekuan dan thawing. Evaluasi terhadap
konsentrasi, motilitas dan morfologi sperma merupakan kualitas kontrol
dari semen yang siap di kriopreservasi (Curry, 1995).
Penggunaan diluent dalam kriopreservasi harus memenuhi
beberapa syarat, antara lain mampu menjaga stabilitas osmotik, pH dan
derajat ionisasi. Selain itu, diluent semen juga harus menggandung
substrat energi, cryoprotectant dan agen antimicrobial. Utamanya, diluent

26
yang bersifat hiperosmotic sering digunakan dalam aplikasi kriopreservasi.
Tujuan penggunaan hiperosmotic diluent adalah mengurangi tingkat
dehidrasi sel selama kriopreservasi (Curry, 1995; Hafez, 2000).
Kisaran normal pH semen untuk mammalia adalah 6,9-7,1 (Curry,
1995; Arthur et al., 1996). Buffer merupakan substansi tambahan yang
diperlukan untuk mempertahankan stabilitas pH dan tonicity. TES-TRIS
(N-Tris[hydroxymethyl]ethyl-2-aminoethane-sulfonic acid (TES), Tris
[Hydroxymethyl] amino-methane (TRIS) 11.0 gr/L) dan TES-TRIS-egg
yolk-glycerol (TEST-EY-G) merupakan buffer yang diperlukan selama
pembekuan sperma selama kriopreservasi. Tiap larutan buffer mempunyai
tekanan osmotik 350 mOsm. Citrate merupakan substansi lain yang perlu
ditambahkan dalam buffer (Curry, 1995). Fungsi citrate adalah
mempertahankan pH sperma agar tetap netral. Kandungan protein yang
terdapat di produk skim milk mampu menyediakan kapasitas buffering
dalam diluent (Curry, 1995; Arthur et al., 1996).
Secara teknis, diluent merupakan larutan yang mampu menjaga
stabilitas ionik membran plasma untuk tetap normal. Kondisi non-ionik
terbukti dapat memelihara stabilitas membran plasma sel sperma selama
kriopreservasi. Maka, komposisi utama diluent haruslah dari constituent
non-ionic (Curry, 1995).
Metabolisme sperma diperantarai oleh molekul sederhana,
utamanya adalah fruktosa, glukosa, manosa, dan pyruvate. Komponen gula
dan derivatnya tersebut berfungsi sebagai substansi dasar penyedia energi
dan pemelihara gradien ionik antar membran (Curry, 1995; Arthur et al.,
1996).
Saat ini dikenal 2 agen cryoprotectant, yaitu penetrating
cryoprotectant dan non penetrating cryoprotectant. Penetrating
cryoprotectant, seperti glycerol atau dimethyl sulfooxide (DMSO) bekerja
dengan aksi mengurangi tingkat dehidrasi sel, sehingga secara teknis dapat
mengurangi efek kerusakan larutan. Selain itu, penetrating cryoprotectant
bekerja dengan mengikat air, sehingga komponen intracellular tidak dapat

27
diubah menjadi ice crystal. Non penetrating cryoprotectant, seperti
disaccharides atau protein bekerja dengan aksi mempersingkat kejadian
dehidrasi sel selama proses pendinginan cepat (Arthur et al., 1996).
Dalam kriopreservasi sperma, glycerol merupakan cryoprotectant
utama untuk spermatozoa mammalia. Penggunaan glycerol di tiap spesies
mempunyai konsentrasi yang berbeda. Pada sapi, konsentrasi optimal
glycerol dalam diluent adalah 6-9% (v/v) (Curry, 1995).
Kuning telur mempunyai efek cryoprotective pada sperma.
Aktivitas cryoprotective kuning telur diperantarai oleh fraksi lipoprotein
densitas rendah. Fraksi lipoprotein densitas rendah berfungsi sebagai agen
lipid tambahan di membran plasma sel sperma. Seperti glycerol,
konsentrasi optimal kuning telur berbeda di tiap spesies (Curry, 1995).
Sifat biologis semen adalah steril terhadap mikroba. Hadirnya
mikroba dalam semen biasa terjadi selama koleksi semen. Cemaran
mikroba dalam semen berefek pada penurunan fertilitas sperma. Penicillin
(500-1000 IU/ml) dan streptomycin (0,5-1,0 mg/ml) merupakan antibiotik
spektrum luas yang biasa dipakai dalam diluent. Dengan range dosis
tersebut, penicillin dan streptomycin terbukti aman untuk sperma.
Beberapa antibiotik mempunyai efek toxic pada sperma, contohnya
sulfanamide, oxytetracyline dan gentamycin (Arthur et al., 1996; Curry,
1995).
Fungsi penambahan diluent pada semen adalah mengurangi efek
toxic potensial dari cairan seminalis, mensuspensikan sperma dalam
TEST-EY-G freezing diluent, dan meningkatkan volume semen. Pada
sapi, standar densitas spermatozoa pasca penggunaan diluent adalah 2 x
107/ml (Curry, 1995).
Paillettes atau straw merupakan tempat penyimpanan semen–
extender mixture selama pembekuan. Pailletes atau straw tersedia dalam
beberapa ukuran standar, yaitu 0,25 dan 0,5 ml. Supplier utama straw
adalah Instrumen de medicine veternaire (IMV: P’Aigle, France) dan

28
minitub (Tiefeubach bei Laudshut, Germany). Perbedaan warna pada
straw dan seals mempunyai nilai identifikasi spesies (Curry, 1995).
Pendinginan bertahap dengan suhu mula 5oC dapat mengurangi
efek cold shock pada sperma (Curry, 1995). Sensitivitas sperma terhadap
cold shock berbeda di tiap spesies. Beberapa spesies, seperti manusia dan
ayam mempunyai sperma yang relatif resisten terhadap efek cold shock.
Spesies lainnya, seperti sapi, kuda, domba dan kambing mempunyai
sperma yang sensitif terhadap efek cold shock (Darin et al., 1977; Loomis
dan Graham, 2008).
Syarat mencapai tingkat kriosurvival saat pembekuan, sperma
harus sudah melewati periode adaptasi suhu lingkungan atau telah
mendapatkan perlakuan pendinginan dengan suhu mula 5oC. Tujuan
adaptasi pada suhu tersebut (15oC-5oC) adalah memberikan kesempatan
glycerol untuk melakukan penetrasi di membran plasma sel sperma. Selain
itu, tujuan lainnya adalah memberikan batas waktu membran plasma untuk
mencapai periode keseimbangan/stabilisasi membran (Curry, 1995).
4. Kriopreservasi Pada Kuda
Dalam penelitian ini, membahas mengenai “Kriopreservasi Semen
Kuda Menggunakan Berbagai Krioprotektan Pada Pengencer Susu Skim
Trehalosa”, yang dilakukan oleh R.I. Arifiantinl dan I. Supriatna.
Krioprotektan akan melindungi spermatozoa pada saat kriopreservasi.
Secara umum ada dua kelompok yaitu krioprotektan intraseluler yang bisa
masuk/penetrasi ke dalam sel, dapat bekerja di dalam dan di luar sel.
Kelompok kedua adalah krioprotektan ekstraseluler yang bekerja hanya di
luar sel. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji peranan berbagai
krioprotektan yaitu DMF, gliserol dan kombinasi gliserol dan etilen glikol
pada pembekuan semen kuda pada pengencer skim trehalosa. Semen yang
digunakan dalam penelitian ini berasal dari tiga ekor kuda jantan milik
Athena stable, Cinere-Depok. Semen dikoleksi menggunakan vagina
buatan dua kali seminggu. Semen dievaluasi secara makro-dan
mikroskopis. Selanjutnya disentrifugasi, dibuang supernatannya dan pellet

29
(spermatozoa) diencerkan dengan pengencer susu skim yang
disuplementasi dengan 50 mM trehalosa, dengan tiga jenis krioprotektan
dengan konsentrasi spermatozoa 20OxlO6 mrl Semen yang telah
diencerkan dikemas menggunakan minitub 0,3 ml, diekuilibrasi pada suhu
4°C selama dua jam dan dibekukan pada uap nitrogen cair selama 10
menit. Semen beku kemudian disimpan pada kontainer nitrogen cair
dengan suhu -196°C. Setelah 24 jam, semen dithawing dengan suhu 37°C
selama 30 detik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa persentase motilitas
dan viabilitas spermatozoa semen beku menggunakan krioproptektan
DMF dan.gliserol pada pengencer skim trehalosa lebih baik dibandingkan
dengan kombinasi gliserol dengan etilen glikol (Arlfiantini dan Supriatna,
2007).

3.3 Teknologi Manipulasi Gamet dengan Cara Inseminsai Buatan pada


Ternak Sapi
Inseminasi buatan (IB) atau kawin suntik adalah suatu teknik untuk
memasukkan spermatozoa atau semen jantan yang telah dicairkan dan
diproses terlebih dahulu kedalam saluran alat kelamin betina dengan
menggunakan metode dan alat khusus yang disebut ‘insemination gun‘. IB
merupakan salah satu teknik menghasilkan sapi unggul serta perbaikan mutu
genetik. Semen dari seekor sapi jantan dapat dipergunakan untuk
menginseminasi sampai beberapa ekor sapi betina (Wodzicka, 1991).
Aplikasi teknologi IB dengan mengunakan semen pejantan yang telah
diseleksi untuk produksi bibit sapi unggul, diharapkan dapat meningkatkan
produktivitas dan juga perbaikan mutu genetik sapi lokal yang berlipat ganda
dalam waktu relatif singkat (Toelihere, 1985).
Sapi betina yang telah dewasa kelamin dan siap kawin secara alam
atau kawin buatan berumur 32 bulan. Setelah sapi menunjukkan gejala birahi
maka sapi tersebut telah siap untuk di inseminasi. Faktor terpenting dalam
pelaksanaan inseminasi adalah ketepatan waktu pemasukan semen pada
puncak kesuburan ternak betina. Kesuburan ternak betina terjadi pada waktu

30
menjelang ovulasi, yaitu 18 jam sesudah birahi. Waktu terjadinya ovulasi
selalu terkait dengan periode birahi. Pada umumnya ovulasi berlangsung
sesudah akhir periode birahi yang ditandai dengan keluar lendir yang tidak
terputus-putus dan sangat kental dari vulva sapi betina, pada saat inilah waktu
proses inseminasi tepat untuk dilakukan, biasanya 8 sampai 9 jam dari masa
birahi, yang dikarenakan pada saat tersebut servik mulai terbuka lebar.

Gambar 3. Inseminasi Buatan pada sapi


Sapi yang telah di inseminasi tidak dilepas kedalam kelompok, agar
tidak terjadi birahi kembali. Jika sapi dibiarkan berkumpul dalam kelompok,
maka sapi tersebut akan mengeluarkan lendir bersama spermatozoa yang
telah diinjeksi.

Gambar 4. Skema Urutan Pelaksanaan teknik IB pada Sapi

31
Menurut Hafez (1993) Inseminasi Buatan (IB) adalah proses
memasukkan sperma ke dalam saluran reproduksi betina dengan tujuan untuk
membuat betina jadi bunting tanpa perlu terjadi perkawinan alami. Konsep
dasar dari teknologi ini adalah bahwa seekor pejantan secara alamiah
memproduksi puluhan milyar sel kelamin jantan (spermatozoa) per hari,
sedangkan untuk membuahi satu sel telur (oosit) pada hewan betina
diperlukan hanya satu spermatozoa. Potensi yang dimiliki seekor pejantan
sebagai sumber informasi genetik, terutama yang unggul, dapat dimanfaatkan
secara efisien untuk membuahi banyak betina.
Pelaksanaan IB yang dilakukan oleh inseminator biasanya akan
mengenjeksi semen ke dalam cincin keempat, seperti skema pada gambar 4.
untuk memperoleh hasil IB yang baik. Hal ini sesuai dengan pernyataan
Senger (2003) menyatakan Inseminasi lebih baik dilakukan di cornual.
Dari gambar 4 dilakukan pengenjeksian semen dengan dua cara, yaitu
diinjeksi pada bagian servik dan diinjeksi pada bagian cornua. Volume
inseminasi pada kedua gambar tersebut adalah 0,5 ml. Inseminasi cornual
mengurangi kemungkinan kehilangan spermatozoa yang terjadi di servik.

(a) (b) (c)


Gambar 5. Teknik IB dan hasil radiografi Sapi Betina (Senger, 2003)
(a) palpasi rektal sapi betina, (b) pengenjeksian yang dilakukan di servik,
(c) pengenjeksian yang dilakukan di cornua. Rul = uterus kanan ; LUL =

32
uterus kiri; RO= ovarium kanan ; S = Spermatozoa; AIS = insemination
gun; CX = serviks.

33
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Pada masa ini, bioteknologi berkembang sangat pesat, terutama di
negara-negara maju. Kemajuan ini ditandai dengan ditemukannya berbagai
macam teknologi semisal rekayasa genetika, kultur jaringan, rekombinan
DNA, pengembangbiakan sel induk, kloning, dan lain-lain. Kemajuan
bioteknologi di berbagai bidang sangat bermanfaat untuk meningkatkan
kualitas maupun kuantitas dari suatu produk. Perkembangan IPTEK di
bidang reproduksi ternak misalnya telah memberikan dampak
kemajuan di subsektor peternakan terutama dalam meningkatkan
produktivitas ternak. Dengan rekayasa bioteknologi reproduksi, terutama
teknologi manipulasi gamet (ovum dan sperma), proses reproduksi dapat
dimaksimalkan antara lain dengan teknologi prosessing semen (pemisahan
spermatozoa X dan Y), teknologi Preservasi dan Kriopreservasi gamet
(spermatozoa dan ova), dan inseminasi buatan (IB).
Pemanfaatan teknologi sexing spermatozoa merupakan salah satu
pilihan yang tepat dalam rangka peningkatan efisiensi reproduksi ternak
yang mampu meningkatkan efisiensi usaha peternakan baik dalam skala
peternakan rakyat maupun dalam skala peternakan komersial. Sexing atau
pemisahan sperma adalah kegiatan yang bertujuan untuk memisahkan
spermatozoa yang membawa sifat kelamin jantan dengan betina. Salah
satu sasaran dalam bidang reproduksi ternak adalah memproduksi anak
yang mempunyai jenis kelamin sesuai dengan keinginan peternak. Sebagai
contoh, peternak sapi perah lebih mengharapkan sapi betina dari suatu
kelahiran daripada sapi jantan, sebaliknya peternak sapi potong lebih
mengharapkan kelahiran sapi jantan daripada sapi betina. Berbagai
penelitian yang telah dilakukan untuk mengontrol jenis kelamin anak
ternak dari suatu kelahiran agar sesuai dengan keinginan peternak.
Penelitian dimulai dengan pengkondisian saluran reproduksi ternak betina
agar lingkungan itu menjadi lebih baik bagi spermatozoa X daripada

34
spermatozoa Y atau sebaliknya. Selanjutnya pemisahan spermatozoa X
dan spermatozoa Y sebelum dilakukan IB atau IVF (In Vitro Fertilization).
Penerapan teknologi pemisahan spermatozoa masih terkendala
diantaranya adalah penurunan kualitas yang diakibatkan oleh proses
metabolisme yang berlebih yang kemudian menyebabkan asam laktat yang
berdampak pada penurunan pH sehingga berakibat pada penurunan
motilitas spermatozoa. Alternatif yang dapat dilakukan untuk mengatasi
permasalahan tersebut adalah dengan penambahan zat tertentu yang dapat
mempertahankan kualitas spermatozoa, diantaranya adalah kafein.
Penggunaan metode minimum esensial media atau pemisahan kelamin ini
pada mamalia bisa sangat akurat dan hasilnya keturunan akan menjadi
normal. Meningkatnya atau menurunnya abnormalitas tidak bisa dihitung
atau diatur tanpa adanya kontrol yang jelas.
Kriopreservasi adalah suatu penyimpanan gamet dalam waktu lama
yang dilakukan dalam bentuk beku pada suhu -196 oC (dalam nitrogen cair)
dalam media dengan penambahan crioprotectan. Pada saat tersebut sel
dalam keadaan “ditidurkan”, sehingga metabolisme sel terhenti, tetapi
masih mempunyai kemampuan hidup setelah sel tersebut “dibangunkan”
kembali dengan mencairkan dan mengkultur pada kondisi tertentu secara
optimum.
Keuntungan kriopreservasi sel spermatozoa ialah sel spermatozoa
dapat disimpan dalam waktu yang tidak terbatas dan dapat digunakan
kapan saja bila diperlukan. Sejumlah faktor yang mempengaruhi
keberhasilan kriopreservasi dengan teknik pembekuan lambat adalah (1)
kecepatan pembekuan, (2) jenis dan konsentrasi krioprotektan, (3) suhu
akhir pembekuan, dan (4) tipe dan keadaan fisiologis bahan yang akan
disimpan. Namun demikian, aplikasi dari teknologi ini sering bermasalah
dalam mempertahankan kemampuan hidup sperma terhadap cold shock.
Syarat minimum substansi yang dapat melindungi sperma dari proses
freezing adalah dapat melindungi sperma dari efek cold shock dan
deleterious.

35
Terdapat beberapa penerapan teknologi preservasi dan
kriopreservasi yang pernah diuji cobakan pada hewan terutama ternak,
antara lain :
1. Kriopreservasi Sperma Pada Ikan Nilem : Kriopreservasi sperma ikan,
dengan menggunakan nilem sebagai model, dapat dikembangkan lebih
lanjut untuk diterapkan pada ikan lainnya .
2. Kriopreservasi Pada Domba : sperma domba yang diencerkan dengan
lesitin kacang kedelai tidak perlu dilakukan pencucian untuk proses
preservasi maupun kriopreservasi.
3. Preservasi Semen Sapi : dalam kriopreservasi sperma, glycerol
merupakan cryoprotectant utama untuk spermatozoa mammalia.
Penggunaan glycerol di tiap spesies mempunyai konsentrasi yang
berbeda.
4. Kriopreservasi Pada Kuda : hasil penelitian menunjukkan bahwa
persentase motilitas dan viabilitas spermatozoa semen beku
menggunakan krioproptektan DMF dan gliserol pada pengencer skim
trehalosa lebih baik dibandingkan dengan kombinasi gliserol dengan
etilen glikol.
Di Bidang peternakan khususnya sapi, bioteknologi reproduksi
mulai berkembang pesat pada tahun 1970-an. Teknologi Inseminasi
Buatan berperan penting dalam rangka peningkatan mutu genetik dari segi
pejantan. Sperma beku dapat diproduksi dan digunakan dalam jumlah
banyak, cukup dengan memelihara pejantan berkualitas baik dipusat IB.
Tujuan utama dari teknik IB adalah memaksimalkan potensi pejantan
berkualitas unggul. Sperma dari sutau pejantan berkualitas unggul dapat
digunakan untuk beberapa ratus bahkan ribuan betina, meksipun seprma
tersebut dikirim kesuatu tempat yang jauh.
Inseminasi Buatan adalah salah satu bioteknologi dalam bidang
reproduksi ternak yang memungkinkan manusia mengawinkan ternak
betina tanpa perlu seekor pejantan. Inseminasi Buatan merupakan suatu
rangkain proses terencana dan terpogram karena menyangkut kualitas

36
genetik ternak di masa yang akan datang. Inseminasi buatan terdiri dari
dua yaitu Teknik IUI (Intrauterine Insemination) dan Teknik DIPI (Direct
Intraperitoneal Insemination).
Keuntungan Inseminasi Buatan (IB) yaitu untuk menghemat biaya
pemeliharaan ternak jantan, dapat mengatur jarak kelahiran ternak dengan
baik, mencegah terjadinya kawin sedarah pada sapi betina, dengan
peralatan dan teknologi yang baik sperma dapat disimpan dalam jangka
waktu yang lama.
Kerugian Inseminasi Buatan (IB) yaitu apabila identifikasi birahi
(estrus) dan waktu pelaksanaan IB tidak tepat maka tidak akan terjadi
kebuntingan, akan terjadi kesulitan kelahiran, apabila semen beku yang
digunakan berasal dari pejantan dengan breed/ turunan yang besar.

4.2 Saran
Meskipun perkembangan teknologi dalam bidang reproduksi sudah
berkembang pesat, akan tetapi sebagai manusia kita tidak boleh lengah
dalam kemudahan. Kita, khususnya sebagai mahasiswa harus menyikapi
suatu fenomena, kepentingan, dan permasalahan dengan bijaksana. Hal ini
berdasarkan pada tujuan dari bioteknologi itu sendiri, yaitu mendatangkan
keuntungan bukan kerugian.

37
DAFTAR PUSTAKA

Arlfiantini, R.I. Dan I. Supriatna. 2007. Kriopreservasi Semen Kuda


Menggunakan Berbagai Krioprotektan Pada Pengencer Susu Skim
Trehalosa. JITV 12(2): 139-146.

Arthur, G.H., Noakes, D.E., Harold, P., Parkinson, T.J. 1996. Veterinary
Reproduction and Obstetrics. Seventh Edition. W.B. Saunders Company
Ltd. London, England.

Bearden, H.J. and J.W. Fuquay. 1984. Applied Animal Reproduction. 2nd ed.
Reston Publishing Company. Reston, Virginia.

Curry, M.R., 1995. Kriopreservasi of Semen from Domestic Livestocks. In:


Cryopreservasi and Freeze-Drying Protocol. Humana Press Inc., Totowa,
NJ.

Darin-Bennet, A., White I.G. 1977. Influence of Cholesterol Content of


Mammalian Spermatozoa on Susceptbility to Cold-Shock. Cryobiology
14, 466-470.

El-Gaafary, M.N., A.D. Daader, and A. Ziedan. 1990. Effects of caffein on bull
semen quality and sperm penetration into cervical mucus. Anim. Reprod.
Sci., 23 : 13-90.

Graves JAM, 1994. Mammalia Sex-Determining Genes In the Difference


Betwenn the sexes, short, RV and Balaban E (Ed) Camride University
press. London.

Hafez, E.S.E. 2000. Chapter 30: Preservation and Cryopreservation of Gametes


and Embryos. In:Reproduction in Farm Animals. 7th Edition (Ed: B. Hafez
and E.S.E. Hafez), Lippincott William and Wilkins Ltd (Baltimore), pp
431-442.

Holt, W.V. 2000. Basic Aspect of Frozen Storage of Semen. Anim. Reprod. Sci.
62, 3-22.

Ika Roostika Tambunan dan Ika Mariska. 2003. Pemanfaatan Teknik


Kriopreservasi dalam Penyimpanan Plasma Nutfah Tanaman. Balai
Penelitian Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian. Bogor.

Loomis, P.R., Graham, J.K. 2008. Commercial Semen Freezing: Individual Male
Variation in Cryosurvival and The Response of Stalion Sperm to
Customized Freezing Protocol. Anim. Reprod. Sci. 105, 119-128.

38
Pineda MH, 1989. The Biologi of Sex. In Veterinary Endocrinology and
Reproduction. 4ed. Mc. Donald, LE and Pineda, MH (Editors) Lea and
Febiger. Phiadelpia.

Saili, T., M.R. Toelihere, A. Boediono, dan B. Tappa. 1998. Pengendalian jenis
kelamin anak melalui sexing spermatozoa untuk reproduksi ternak. Warta
Biotek, 12 (1-2): 1-5.

Saili, T. 1999. Efektivitas penggunaan albumen sebagai medium separasi dalam


upaya mengubah rasio alamiah spermatozoa pembawa kromosom X dan Y
pada sapi. Tesis. Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Salisbury, G.W., VanDemark, N.L., Lodge, J.R. 1978. Physiology of


Reproduction and Artificial Insemination of Cattle. Second Edition. San
Francisco: Freeman.

Salmin. 2010. Kriopreservasi Sperma Domba Menggunakan Ekstender Tris yang


Diperkaya dengan Krioprotektan Lesitin Kacang Kedelai (Soybean
Lecithin) Melalui Pembekuan Lambat dan Vitrifikasi. Yogyakarta :
Universitas Gadjah Mada.

Samsudewa, D. 2006. Pengaruh Jumlah Spermatozoa Per Inseminasi Terhadap


Kualitas Semen Beku dan Penampilan Kesuburan Pada Kambing
Peranakan Etawah. Universitas Diponegoro. Semarang (Tesis Magister
Ilmu Ternak).

Soebadi .P.1980. llmu Reproduksi Hewan . Penerbit Mutiara Jakarta. Hal.499


-535.

Sonjaya, H., Hasbi, Sutomo dan Hastuti. 2005. Pengaruh penambahan calcium
ionophore terhadap kualitas spermatozoa kambing Boer hasil seksing. J.
Sains & Teknologi, 5 (2): 90-101.

Sunarma, A., Sistina Y., Saleh DM. 2007. Kriopreservasi Spermatozoa Ikan
Nilem (Osteochilus Hasseltii) Menggunakan Ekstender dan Krioprotektan
Berbeda. Universitas Jenderal Soedirman. Purwokerto.

Supriatna I, Pasaribu FH. 1992. In Vitro Fertilization, Transfer Embrio dan


Pembekuan Embrio. Bogor: PAU IPB.

Susilawati, T., P. Hermanto, E. Srianto, dan Yuliani. 2002. Pemisahan


spermatozoa X dan Y pada sapi Brahman menggunakan gradien putih telur
pada pengencer tris dan tris kuning telur. Jurnal Ilmu-Ilmu Hayati, 14 (2):
176-181.

Toelihere MR. 1985. Inseminasi Buatan pada Ternak. Bandung: Angkasa.

39
Weitze, K.F. and R. Petzoldt. 1992. Preservation of semen. Anim. Repord.

Wodzicka, M, I.K. Sutama, I. G. Putu, T.G. Chaniago. 1991. Reproduksi, Tingkah


laku dan Produksi Ternak Di Indonesia. PT Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta.

Yatim W, 1986. Genetika. Penerbit Tarsito. Bandung.

Yu, I. and SP. Leibo. 2002. Recovery motile, membrane intact spermatozoa from
canine epididymides stored for 8 days at 4˚C. Theriogenology. 57 (3) :
1179-1190.

40

Anda mungkin juga menyukai