PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pada masa ini sebagian besar permasalahan yang dihadapi dalam bidang peternakan di
Indonesia adalah masih rendahnya produktifitas dan mutu genetik ternak. Keadaan ini terjadi
karena sebagian besar peternakan di Indonesia masih merupakan peternakan konvensional,
dimana mutu bibit, penggunaan teknologi dan keterampilan peternak relatif masih rendah.
Permintaan akan daging di Indonesia akan bertambah terus secara nyata dengan
bertambahnya penduduk dan pendapatan. Usaha membentuk bangsa sapi potong baru
memerlukan waktu yang lama. Selama beberapa tahun impor ternak hidup untuk meningkatkan
produksi ternak potong mengalami banyak hambatan dan tidak optimal. Oleh karena itu
teknologi transfer embrio (TE) menawarkan jalan untuk meningkatkan dan mengembangkan
produksi daging secara berkelanjutan.
Penerapan teknologi transfer embrio (TE) atau alih janin merupakan alternatif untuk
meningkatkan populasi dan mutu genetik sapi secara cepat. Teknologi TE pada sapi merupakan
generasi kedua bioteknologi reproduksi setelah inseminasi buatan (IB). Pada prinsipnya teknik
TE adalah rekayasa fungsi alat reproduksi sapi betina unggul dengan hormon superovulasi
sehingga diperoleh ovulasi sel telur dalam jumlah besar. Sel telur hasil superovulasi ini akan
dibuahi oleh spermatozoa unggul melalui teknik IB sehingga terbentuk embrio yang unggul.
Embrio yang diperoleh dari ternak sapi donor, dikoleksi dan dievaluasi, kemudian ditransfer ke
induk sapi resipien sampai terjadi kelahiran.
Aplikasi TE di Indonesia dimulai pada awal dasawarsa 1980-an. Saat ini penelitian dan
penguasaan teknologi telah dilakukan dan dikembangkan oleh berbagai institusi, seperti
BALITNAK, Balai Embrio Ternak, LIPI dan beberapa Perguruan Tinggi seperti IPB, UGM,
Brawijaya, Airlangga dll. Keberhasilan teknologi TE di Indonesia masih sangat beragam dan
dampaknya untuk perkembangan maupun peningkatan produktivitas ternak masih sangat
minimal. Program untuk mengembangkan dan memanfaatkan teknologi TE masih belum
terfokus dengan baik. Padahal teknologi ini merupakan salah satu wahana yang sangat penting
dalam rangka meningkatkan produktivitas ternak.
Berdasarkan latar belakang di atas, tentunya sebagai seorang calon dokter hewan sangat
perlu mendapatkan pengetahuan mengenai salah satu teknologi dibidang reproduksi ternak.
TRIB | Transfer Embrio pada Sapi
Salah satu dari teknologi tersebut yaitu transfer embrio pada ternak. Pada makalah ini akan di
bahas mengenai teknologi reproduksi transfer embrio pada sapi. Diharapkan melalui pembahasan
tersebut dapat menambah wawasan pembaca mengenai transfer embrio mulai dari pengertian,
tujuan, manfaat, maupun teknik teknik dalam transfer embrio.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarakan latar belakang diatas, dapat dirumuskan suatu permasalahan yang akan
dibahas pada makalah ini yaiut antara lain :
a. Apakah pengertian dari transfer embrio ?
b. Apakah tujuan dari dilakukan transfer embrio pada sapi ?
c. Bagaimaanakah langakah dan teknik dalam melakukan transfer embrio pada sapi?
d. Apakah kelebihan dan Kekurangan dari transfer embrio ?
1.3 Tujuan dan manfaat
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka dapat diketahui bahwa tujuan dan manfaat
dari makalah ini adalah :
a. Dapat mengetahui pengertian dari transfer embrio.
b. Dapat mengetahui tujuan dari dilakukan transfer embrio pada sapi.
c. Dapat mengetahui langkah dan teknik dalam melakukan transfer embrio pada sapi.
d. Dapat mengetahui Kelebihan dan Kekurangan dari transfer embrio.
BAB II
ISI
2.1 Pengertian Transfer Embrio
Transfer Embrio merupakan suatu teknik yang dikenal juga dengan genetik manipulasi.
Keuntungan praktis dari transfer embrio adalah untuk meningkatkan kapasitas reproduksi ternak
yang berharga. Untuk beberapa tahun peningkatan mutu genetic ternak sapi telah dilakukan
dengan metode inseminasi buatan dengan memanfaatkan sisi pejantan.
Berbeda halnya dengan Transfer embrio dimana dapat mempercepat percepatan dari sisi
betina, namun berjalan sangat lambat karena ternak sapi betina bersifat monotokus dan
mempunyai masa kebuntingan yang cukup panjang.
Transfer embrio adalah suatu teknik dimana embrio (fertilized ova) dikoleksi dari alat
kelamin ternak betina menjelang nidasi dan ditransplantasikan ke dalam saluran reproduksi
betina lain untuk melanjutkan kebuntingan hingga sempurnah, seperti konsepsi, implantasi/nidasi
dan kelahiran.
Produksi embrio dapat dilakukan secara in vivo dan in vitro. Dalam teknik in vivo, hewan
betina donor akan menjalani superovulasi, yakni penyuntikan hormone gonadotropin (FSH,
PMSG/CG atau HMG) guna melipat gandakan produksi sel telur. Sel-sel telur yang diovulasikan
tersebut, setelah mengalami pembuahan dan berkembang menjadi embrio ditampung atau
dikoleksi untuk kemudian ditransfer pada betina resipien.
Di samping ditransfer secara langsung embrio dapat dibekukan atau dimanipulasi guna
menghasilkan kembar identik. Embrio paruh yang dihasilkan dapat ditransfer atau sebagai bahan
untuk menentukan jenis kelamin. Pada teknik in vitro, sumber sel telur umumnya berasal dari
ovarium yang berasal dari hewan yang telah dipotong. Dibeberapa Negara maju, limbah rumah
potong hewan (RPH) tersebut, setelah melalui serangkaian teknik tertentu teryata terbukti telah
secara komersial dapat meyediakan embrio bagi penyediaan ternak potong. Dengan bantuan
ultrasonografi, teknik ovum pick-up telah dapat diterapkan guna menyediakan oosit ternak
unggul yang masih produktif tanpa harus menunggu di potong.
2.2 Tujuan Transfer Embrio
Tujuan dari Transfer Embrio diantaranya adalah:
1. Meningkatkan mutu genetik ternak.
TRIB | Transfer Embrio pada Sapi
dalam mendeteksi estrus. Pada saat ini telah banyak metode sinkronisasi estrus yang
dikombinasikan
dengan
sinkronisasi
ovulasi
dengan
pemberian
hormone
GnRH
D. Superovulasi
stimulating hormon (FSH). Target organ superovulasi adalah ovarium dimana terdapat folikel
yang didalamnya mengandung oosit (Solihati, 2006).
Langkah kunci dalam pelaksanaan transfer embrio adalah tersedianya sel telur atau
embrio dalam jumlah yang banyak. Untuk meningkatkan jumlah sel telur yang diovulasikan
setiap siklusnya maka perlu dilakukan induksi superovulasi (Siregar
Karena waktu paruh FSH sangat singkat maka pengulangan injeksi sangat diperlukan.
Total dosis yang dibutuhkan untuk seekor donor adalah 36 mg FSH diinjeksikan dengan
cara dosis menurun selama 4 hari.
Dosis optimum FSH untuk superovulasi dipengaruhi oleh bangsa sapi donor, misalnya
untuk
sapi
jenis
Japanese
Black
dibutuhkan
20(4,4,3,3,2,,2,1,1)
hingaga
28(5,5,4,4,3,3,2,2,1,1) mg FSH.
-
Interval waktu antara injeksi siang dan malam adalah 8-12 jam.
48 jam setelah injeksi FSh yang petama (haru ketiga dari skedul), harus diberikan
prostaglandin atau 750 g cloprostaglandin, dosisnya dibagi dua yaitu 20 mg
diinjeksikan siang dan 10 mg diinjeksikan malam, akan memberikan hasil yang lebih
baik.
superovulasi pada ternak. Beberapa factor berikut adalah yang dapat mempengaruhi respon
ovarium selama superovulasi:
1. Hormon gonadotropin
2. Donor
Bangsa
Kondisi kesehatan
Kondisi nutrisi
Muslim
10
Penelitian terbaru terhadap dinamika folikel dalam ovarium ternak menunjukan bahwa
pada umumnya folikel dalam ovarium ternak menunjukan bahwa pada umunya dalam satu siklus
terdapat 2 atau 3 gelombang folikel, yang dicirikan oleh profil FSH. Pada saat gelombang
tertinggi menunjukan terdapat folikel dominan dalam ovarium. Seleksi folikel dominan diikuti
dengan pertumbuhan sejumlah folikel yang kecil. Dalam perlakuan superovulasi, keberadaan
folikel dominan pada saat pemberian hormone gonadotropin menyebabkan respon yang kurang
baik. Saat ini, banyak dilakukan penelitian untuk mengoptimalisasikan respon superovulasi.
E. Inseminasi Buatan
11
munculnya estrs pertama. Biasanya dua kali inseminasi cukup untuk estrus yang normal dan
menghasilkan embrio dengan menghasilkan peroehan embrio yang jelek.
2. Hal yang harus diperhatikan selama inseminasi
Jangan disentuh ovarium pada saat estrus dan ovulasi. Palpasi rectal pada ovarium selama
ternak yang disuperovulasi estrus dapat menyebabkan rusaknya folikel yang sedang berkembang.
Inseminator harus menagani alat kelamin betina dengan betina bagian atas sangat sensitife
terhadap stres.
3. Kualitas semen beku
Kualitas semen juga sangat penting dalam menghasilkan embrio dengan kualitas yang
baik. Semen beku dengan tingkat fertilisasi sperma yang telah diketahui dapat digunakan dalam
rangkaian superovulasi.
Inseminasi Buatan umumnya dilakukan pada donor 12 24 jam pasca standing heat
karena dari hasil penelitian dihasilkan laju fertilitas yang cukup tinggi. Adapun
pelaksanaan IB dilakukan 2 kali sebagai berikut :
Yang perlu diperhatikan adalah biasanya efek atau pengaruh superovulasi tersebut
memberikan kepekaan yang tinggi sehingga faktor kebersihan (hygiene) harus diperhatikan
dalam artian prosedur dilakukan dengan aseptik.
F. Pemanenan Embrio
1. Medium, Alat, dan Obat:
a.
Serum Albumin (BSA) atau 1-2% Calf Serum (CS) yang telah diinaktivasi ditambahkan sebagai
sumber protein kedalam medium. Embrio di dalam medium yang tidak mengandung protein
akan lengket ke permukaan pelastik atau kaca seperti petri dishes (cawan petri)
Dulbeccos Phosphate Buffered Saline (D-PBS) atau Lacto-Ringers solution
Ditambah:
Protein
12
Cervix expander.
Kochers forceps.
Intrauterine injector.
Plastic gloves.
Cervical forceps.
Vagina scope.
c.
Obat
Cotton-alcohol (kapas dicelup dengan 70% Ethylalcohol).
2% xylocaine.
13
Sapi donor dijepit dalam kandang jepit. Kaki depan lebih tinggi dari pada kaki belakang
sehingga saluran reproduksi lebih mudah diakses/dikendalikan.
Palpasi dan tentukan panjang saluran reprodksi, lokasi dan kondisinya. Juga estimasi
dan catat jumlah CL dan folikel yang tidak diovulasikan pada ovarium.
Hangatkan lebih kurang 1000 ml medium flushing (pembilasan) untuk setiap donor
dalam water bath sebelum digunakan.
Botol medium disambungkan dengan inflow tube dan diarahkan ke foley catheter.
Outflow tube disambungkan dengan inflow tube menggunakan Y-atau T-connector.
Baik inflow maupun outflow tube diisi dengan medium sebelum pemanenan dimulai.
TRIB | Transfer Embrio pada Sapi
14
Ballon catheter dibilas dengan medium pemanenan dan sebuah inner stylet difiksir ke
chateter sebelum digunakan. Fiksasi stylet dilakukan dengan tube connector atau
kochers forceps.
b. Anastesi Epidural
Pangkal ekor dijepit, dicuci dengan sabun antiseptic, kemudian lap/hapuss dengan
cotton-alcohol, dan anatesi epidural diberikan antara sacrum terakhir dan coccygeal
pertama tulang belakang dengan 5 ml 2% Xylocaine. Posisi injeksi yang tepat akan
menghindari efek negatife.
Feses harus dikeluarkan dari rectum sebelum pemberian anastesis lokal untuk mencegah
masuknya udara dalam jumlah banyak maka dapat dikeluarkan dengan pompa vakum.
Setelah anastesi afektif dilakukan pangkal ekor diikat dan difiksir ke tubuhnya.
Hal ini adala alternative untuk anastesi dengan Xylocaine. Injeksi 20 ml prifinum
Bromide (padrin: parasympathicolytic) intravena atau intramuscular dapat menghalagi
tekanan yang ekstrim terhadap rectum dan akan memudahkan penanganan uterus.
Vulva dan rectum dicuci dengan air hangat dan dibersihkan dengan kertas tisu (yang
diberi desinfektan) dan ikut dengan kapas yang di beri alcohol.
Kateter foley dengan ukuran 18-20 G (tergantung pada uukuran cervix) dengan inner
stylet dimasukan dengan perlahan ke dalam vagina dank e dalam lumen cervix hingga
badan uterus dengan palpasi rectal seperti saat IB.
15
Segera setelah kateter masuk pada posisi yang benar, seorang asisten menginjeksikan 10
ml udara ke dalam balon, kemudian secara perlahan ditambahkan udara sesuai dengan
total volume hingga teknisi merasa bahwa tanduk uterus sudah cukup gembung.
Penambahan 3-6 ml udara biasanya sudah cukup. Balon harus ketat sehingga medium
tidak dapat mengalir ke luar antara balon dan dinding tanduk uterus.
d. Prosedur pembilasan
Saat memutar, inner stylet dikeluarkan secara perlahan sehingga tidak mengenaii balon.
Sebelum kateter balon di hubungkan dengan inlet tube, isi dengan medium. Outlet tube
(pengeringan) di tutup dengan clamp, dan inlet tube dibuka.
Setelah tanduk uterus diisi dengan medium, hentikan aliran. Setelah clamp outlet
dibuka, teknisi maraba dan memanipulasi uterus sehingga diperoleh sel telur yang
terdapat dalam lipatan-lipatan endometrium uterus. Jangan menyentuh uterus jika outlet
tube dalam kondisi tidak terbuka. Mmemanipulasi uterus yang berisi larutan medium
dapat menyebabkan embrio kembali ke tuba fallopi.
Volume medium pembilassan bervariasi antara 20-50 ml. tergantung pada ukuran
tanduk uterus dan posisi balon. Selama pembilasan pertama medium yang dimasukan
hanya 20-30 ml dan secara bertahap ditingkatkan hingga 40-50 ml.
TRIB | Transfer Embrio pada Sapi
16
Medium yang telah bercampur dengan sel telur kemudian dialirkan ke luar tanduk
uterus. Proses tersebut diulang 8-10 kali hingga total medium pembilasan yang
digunakan 400-500 ml.
Pengisian uterus dengan medium menggunakan syringe pada ujung keteter foley untuk
mendorong medium masuk kedalam uterus tidak boleh terlalu cepat karena dapat
merusak endometrium uterus.
Untuk membilas tanduk uterus harus menggunakan kateter secara berulang sebaliknya
dihindari jika sterilitasnya tidak terjamin.
Injeksi donor dengan 15-25 mg PGF2 atau 500-750 g atau analog PGF2 (estrumate)
untuk mencegah kebuntingan dan mengembalikan kondisi reproduksi ternak kepada
keadaan awal.
G. Koleksi Embrio
Koleksi embrio dilakukan dengan cara tanpa operasi (non surgical) pada hari ke-7 setelah
perkawinan. Sapi ditempatkan dalam nostal, pangkal ekor dijepit, dibersihkan dengan sabun dan
dibilas dengan alkohol 70%. Selanjutnya, sapi dianestesi epidural yang diberikan pada vertebrae
antara sacrumterakhir dan coccygea pertama dengan 2 ml lidokain klorida 2%. Feses dikeluarkan
dari rektum. Pembuka serviks (servical expander) dimasukkan ke dalam vagina dan ditempatkan
pada bagian lumen serviks untuk memanipulasi serviks sehingga lintasan balon kateter terbuka.
Kateter Foley 2 jalur dan batang pengeras anti karat dimasukkan dengan hati-hati ke dalam
vagina dan ke dalam lumen serviks bagian depan, terus ke badan uterus yang dituntun dengan
palpasi rektal seperti pada pelaksanaan inseminasi buatan. Kateter tersebut dimasukkan ke
kornua uterus secara bergantian. Kemudian balon dikembangkan dengan udara sampai lengket
sehingga medium tidak dapat keluar di antara balon dan dinding uterus.
17
Medium flushing ditempatkan ke dalam botol yang dihubungkan dengan pipa penyalur
(untuk saluran medium). Pipa dari botol dihubungkan dengan pipa inflow (saluran menuju
uterus) pada kateter Foley dengan penghubung Y. Setelah kornua uterus menggelembung terisi
50 ml medium flushing, pipa aliran dibuka dan ditampung pada botol 1000 ml. Proses ini diulang
sampai 250 ml untuk satu kornua uterus. Selanjutnya, medium diperiksa di bawah mikroskop
untuk evaluasi kualitas embrio.
H. Evaluasi Embrio
Evaluasi embrio merupakan factor penentu yang sangat penting untuk keberhasilan
transfer embrio. Seluruh embrio yang diperoleh harus dievaluasi secara individu di bawah
mikroskop dngan pembesaran 100 - 200 x untuk melihat tahap perkembangan sel,, morfologi dan
kualitas embrio.
1. Tahap perkembangan
Tahap perkembangan embrio yang diproleh harus sama dengan jumlah hari perlakuan
superovulasi. Sebagai contoh: embrio yang diperoleh 3 hari setelah donor mengalami estrus
seharusnya mempunyai tahap perkembangan pada 4-8 sel, 8-16 sel pada hari ke-4, morula pada
haro ke-5-6, morula akhir atau blastosis pada hari ke-7 dan expanded blastosis pada hari ke-8.
Tipe morfologi setiap tahap perkembangan embrio adalah sebagai berikut:
Morula
Biasanya embrio menyerupai bola (bll of cell). Individu blastomer sulit dibedakan satu
dengan yang lainnya. Masa sel embrio menempati sebagian besar ruangan perivitelin.
Campact Morula
Individu blastomer terlah bersatu membentuk massa yang kompak, massa embrio
menempati 60-70@ ruang perivitelin dimana ruangannya lebih besar daripada tahap morula.
Blastocyst
Perbedaan lapisan tropoblas bagian luar dan bagian inner cell mass yang lebih kompak
berwarna lebih gelap dapat dilihat dengan jelas. Blastokol terlihat memenuhi ruang perivitelin.
Expanded blastocyst
18
Hatched Blastocyst
Embrio yang diperoleh pada tahap perkembangan ini dapat mengalami proses haching atau
secara sempurna terlepas dari zona pelusida. Hatcing blastocyst berbentuk seperti bola dengan
blastokol yang masih baik ataupun collaps. Indentifikasi embrio pada tahap ini aakan sulit jika
operator belum berpengalaman
Excelent
dan
Gambar Evaluasi Embrio
Embrio dievaluasi menggunakan mikroskop dengan pembesaran 70x. Evaluasi embrio
GOOD
dilakukan menurut cara yang mengklasifikasikan embrio menjadi 4 kelas, yakni A, B, C, dan D.
Kelas A, embrio bagus sekali, bentuk blastomer jelas, seragam, dan tidak dijumpai adanya
penonjolan-penonjolan blastomer. Embrio kategori ini dapat ditransfer dan dibekukan. Kelas B,
embrio bagus, bentuk blastomer jelas, ada penonjolan-penonjolan blastomer dan bentuk irreguler
sampai dengan 25%. Embrio kategori ini dapat ditransfer dan dibekukan. Kelas C, embrio
kualitas sedang, bentuk blastomer banyak yang irreguler, dan banyak penonjolan-penonjolan
sampai 50%. Embrio kategori ini dapat ditransfer, tetapi tidak dapat dibekukan. Kelas D, embrio
kualitas jelek, bentuknya irreguler, abnormalitas sel-sel blastomer melebihi 60%, termasuk
embrio yang mengalami degenerasi, dan ova yang tidak mengalami fertilisasi. Embrio kategori
ini tidak dapat ditransfer dan tidak dapat dibekukan.
H. Kriopresrvasi atau Pembekuan Embrio
setelah dilaporkan oleh wilmut dan Rowson pada 1973 bahwa embrio sapi mampu
bertahan dalam suhu beku dan prinsp kerja serta cara kerja teknik pembekuannya telah dilakukan
juga pada domba oleh wiladsen pada tahun 1997, maka industry TE didukung oleh pemanfaatan
teknik pembekuan mengalami kemajuan yang amat pesat. Tiga alasan utama pemanfaatan
TRIB | Transfer Embrio pada Sapi
19
pembekuan embrio adalah (1) pendayagunaan sumber data resipien yang tersedia, (2)
menyederhanakan transportasi embrio, (3) mengawetkan cadangan genetis yang unggul atau
yang terancam punah. Embrio beku terbukti dapat menjadi alternative bagi tataniaga bibit ternak
hidup antara Negara atau antara pulau dan impor semen beku.
Bagi Indonesia, embrio beku diantisipasi dapat menjadi alternative bagi pengiriman ternak
antara pulau. Hal ini akan mengatasi hambatan kesehatan hewan bila antara sumber dan
penerima bibit komoditas ternak terdapat perbedaan status penyakit menular yng mudah terbawa
oleh hewan hidup, di samping menghemat biaya pemesanan , pengangkutan dan karantina ternak
antar pulau.
Teknik pembekuan embrio telah secara luas dilaukan di berbagai Negara. Untk Negaranegara eropa transfer embrio beku lebih banyak diharapkan daripada embrio segar. Perbandingan
kurang lebih sama degan 70:30. Teknik pembekuan ini dpat pula membantu mengatasi
keterbatasan atau kelebihan resipien. Dengan perbedaaan angka kebuntingan yang relative tidak
banyak (sekitar 5-10% lebih rendah) disbanding transfer embrio secara langsung, teknik
pembekuan telah lama menjadi subsitusi transfer secara langsung.
Di samping terhadap embrio utuh, pembekuan embrio juga dapat dilakukan bagi embrio
yang telah dibelah (embrio paruh) melalui metode splitting (pembelahan mikro). Namun
demikian, karena angka kebuntingan nya masih relatife rendah dan teknik splitting menuntut
keahlian serta memakan waktu, maka efisiensi pembekuan embrio paruh masih relative rendah.
Oleh karena itu, teknik pembekuan tidak dianjurkan untuk diterapkan pada embrio paruh. Hal
yang sama juga tidak atau belum dianjurkan bagi embrio yang dihasilkan dari pembuahan in
vitro.
Teknik yang dikembangkan melalui beberapa penelitian mengacu pada dua aspek: (1)
efisiensi teknik pembekuan, yakni dengan menetapkansistem baku yang banyak dianut sampai
saat ini yang terbukti memiliki viabilitas cukup tinggi, (2) memangkas konsumsi waktu dan
teknik pengenceran krioprotektan pasca thawing, dalam rangka menghemat waktu dan bahan
serta penyerdehanaan proses. Dari pengembangan prosdur yang berlaku, teknik baru yakni
vitrifikasi dan metode pengenceran satu tahap (one-step delution) menjanjikan efisiensi waktu,
tenaga dan biaya dengan hasil yang relatife baik. Dengan metode satu tahap embrio dapat
diproses, dithawing dan ditransferkan secara sederhana mendekati prosedur inseminasi buatan.
20
I.
Kualitas Embrio.
Medium Transfer.
Infeksi.
21
b.
Seleksi Resipien
Resipien yang adalah masih muda dan terbebas dari penyakit dengan tingkat
fertilitas yang tinggi dan mempunyai sifat keibuanyang baik juga, mempunyai
pertumbuhan yang baik dan mudah dalam melahirkan anak.. bangsa ternak tidak terlalu
menjadi permasalahan,umumnya jenis persilangan menunjukan tingkat fertilitas yang
cukup baik.
c.
d.
22
2.
e.
Material
Peralatan :
Transfer gun
Plastic sheath
Outer sheath
Gunting
TRIB | Transfer Embrio pada Sapi
23
Plastic straw
Straw cutter
Cervix expander
Obat :
b.
Straw dicuci dengan air murni tanpa membasahi sumbat kapas, keringkan dan
sterilisasi dengan gas ethylene oxide atau dengan cahaya ultra viole. Sterilisasi
dengan gas ethylene harus sudah dilakukan 2 minggu sebelum straw digunakan,
karena residu gas tersebut dapat memberikan pengaruh yang merusak terhadap
embrio.
Straw dicuci beberapa kali dengan medium tanpa membasahi sumbat kapas.
Masukan medium (M-PBS) sehingga mengisi straw lebih kurang 2-3 cm.
Diikuti dengan pemasukan udara sepanjang lebih kurang 0.5 cm dari straw.
Straw yang telah berisi embrio ditempatkan dalam transfer gun dan ditutup
dengan outher sheath. Hindarkan dari kontaminasi.
TRIB | Transfer Embrio pada Sapi
24
Jika resipien berada berdekatan dengan lab transfer embrio cara di atas dapat
dilakukan secara langsung. Tetapi apabila lokasi resipien berjauhan dengan lab,
maka straw harus ditutupi dan dibawah dengan hati-hati, dan dijaga agar tetap
berada pada posisi horizontal.
d.
Persiapan resipien
Pemeriksaan resipien untuk terakhir kalinya dilakukan 1 hari atau beberapa saat
menjelang transfer. Jika pemeriksaan dilakukan dengan palpasi rectal, maka jangan
meyentuh atau meraba bagian ovarium dan uterus secara kasar.
Kendalikan resipien di dalam kandang jepit dan keluarkan seluruh feses yang
berada dalam rectum.
Bagian vulva dan rectal dicuci dengan air hangat dan diusap dengan kertas tisu
Pada saat teknik menempatkan tangannya di dalam rectum, vulva dibuka dan
transfer gun yang telah ditutupi cover sheath dimasukan ke dalam vagina oleh
seorang asisten.
Gun harus masuk melewati cervix hingga masuk ke salah satu tanduk uterus
dimana ovariumnya mengandung CL (ipsilateral). Tanduk uterus ditinggikan dan
diluruskan di depan unjung gun.
TRIB | Transfer Embrio pada Sapi
25
Sangat penting diperhatikan adalah jangan sampai melukai bagian dinding uterus
selama proses transfer embrio. Jika terdapat tekanan dari uterus, jangan dipaksa,
tunggu hingga relaks.
Jika posisi yang diinginkan sudah diperoleh, maka embrio ditempatkan pada
posisi
tersebut.
Bila cervix terlalu sempit dan sulit dimasuki gun, maka dapat dibantu dengan
menggunakan
expander
cervix
yang
berukuran
kecil.
untuk
mengetahui
apakah
pada
ovarium
terdapat
dengan
bantuan
tangan
operator
melalui
palpasi
rektal
akan
menuntun Transfer Gun memasuki tanduk uterus bagian ipsilateral dengan Korpus Luteum.
Embrio didesposisikan ke dalam tanduk uterin.
2. Teknik transfer embrio pada Domba dan Kambing
Pada Domba dan Kambing umumnya transfer embrio dilakukan dengan cara
pembedahan atau laparotomy dibawah anesthesia umum atau local. Dengan
melakukan
penyayatan midventral, embrio dapat ditransfer disertai satu sedikit medium lansgung ke
dalam oviduct, dimana ujung dari pipet kapiler yang mengandung embrio disisipkan melalui
infundibulum untuk mendesposisikan embrio ke dalam ampulla.
transfer embrio di arahkan langsung ke uterus, maka tanduk uterus ditusuk dengan jarum
tumpul, selanjutnya pipet kapiler disisipkan ke dalam lumen uterus. Proses tersebut dapat
dilakukan dengan teknik laparoscopy.
26
masih terbatas
2. Jika di lihat dari produksi embrio secara in vivo juga mengalami kerugian yaitu Harga
hormon yang tinggi dan respons donor yang masih bervariasi sehingga sistim produksi
ini sebaiknya dilakukan pada kondisi terbatas yaitu untuk meningkatkan populasi dari
ternakternak donor yang berpotensial tinggi. (Situmorang dan Endang, 2004)
27
BAB III
PENUTUP
3.1Kesimpulan
Transfer Embrio merupakan suatu teknik yang dikenal juga dengan genetik manipulasi
dimana embrio (fertilized ova) dikoleksi dari alat kelamin ternak betina menjelang nidasi dan
ditransplantasikan ke dalam saluran reproduksi betina lain untuk melanjutkan kebuntingan
hingga sempurnah, seperti konsepsi, implantasi/nidasi dan kelahiran. Tujuan dilakukan
transfer embrio diantaranya adalah meningkatkan mutu genetik ternak, mempercepat
peningkatan populasi ternak, berpotensi mencegah berjangkitnya penyakit hewan menular
yang ditularkan lewat saluran
penerapan teknologi ini secara ekonomis masih terbatas dan jika di lihat dari produksi embrio
secara in vivo juga mengalami kerugian yaitu Harga hormon yang tinggi dan respons donor
yang masih bervariasi sehingga sistim produksi ini sebaiknya dilakukan pada kondisi terbatas
yaitu untuk meningkatkan populasi dari ternakternak donor yang berpotensial tinggi.
28
DAFTAR PUSTAKA
Hernawan, Elvia. 2003. Peningkatan Kinerja Reproduksi Pada fase Kebuntingan Melalui
Teknik Superovulasi pada Ternak Domba. Bogor : Institut Pertanian Bogor
I Nyoman Sumandia, Dosen FKH Universitas Udayana, Bali
Polmer situmorang dan Endang Triwulangsih,2004, Aplikasi dan Inovasi Teknologi Transfer
Embrio (TE) untuk Pengembangan Sapi Potong, Balai Penelitian Ternak, PO Box
221, Bogor, 16002
Sianturi, 2010, Effectivity of Some Method of Estrous Siyncronization and Artificial
Insemination for Swamp Buffalo in Banten, Balai Penelitian Ternak, Bogor
Siregar, T.N., N. Areuby, G. Riady, dan Amiruddin. 2004. Efek pemberian PMSG terhadap
respons ovarium dan kualitas embrio kambing lokal prepuber. dalam
Media
Kedokteran Hewan 20 (3) Aceh : Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala. hal
108-112.
Soehadji. 1995. Pengembangan Bioteknologi peternakan. Keterkaitan penelitian, pengkkajian
dan Aplikasi. Lokakarya Nasional I Bioteknologi Peternakan. Kerjasama Kantor
menristek dengan Departemen pertanian. Bogor.
Solihati, N. Tita, D.L. Kundrat, H. Rangga, S. dan Lia, J.N. 2006. Perlakuan Superovulasi
Sebelum Pemotongan Ternak. dalam Jurnal Ilmu Ternak. (Desember, VI) No.2.
Bandung : Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran.
Supriatna, I dan F.H. Pasarribu. 1992. In Vitro Fertilisasi, Transfer Embrio dan Pembekuan
Embrio. Depdikbud, DIKTI dan PAU IPB Bogor.
Supriatna, I. 1993. Metode-metode dasar pembekuan embrio mamalia. Mata kulia Inti Dalam
Pelatihan Tugas teknisi. Dr. Bina prod. Peternakan. Balai pembibitan Ternak dan hijaun
makanan, purwokerto.
Triwulanningsih, endang, 2001, Produksi Embrio In Vitro dengan Modifikasi Waktu dan
Hormon Gonadotropin Selama Pematangan Oosit, Balai Penelitian Ternak, Bogor.
Toelihere, M.R. 1981. Fisiologis Reproduksi pada Ternak. Angkasa. Bandung.
Yusuf Tuty L.,1990, Pengaruh Prostaglandin F2alfa Gonadotropin Terhadap Aktivitas Estrus dan
Superovulasi Dalam Rangkaian Kegiatan Tanransfer Embrio Pada Sapi Fries Holand,
Bali dan Peranakan Ongole, IPB, Bogor.
TRIB | Transfer Embrio pada Sapi
29