DI SUSUN OLEH :
Nama : Hilmatuzzulfa
Nim : (185050101111147)
Kelas : E
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
FAKULTAS PETERNAKAN
MALANG
2021
1
DAFTAR ISI
Daftar Isi………………………………………………………………………….2
Pembahasan………………………………………………………………………3
A. Keunggulan dan Kelemahan……………………………………………...3
B. Peran Transfer Embrio……………………………………………………4
C. Aplikasi Resipien Betina………………………………………………….7
D. Faktor Keberhasilan………………………………………………………10
E. Penyebarluasan Informasi………………………………………………...11
Daftar Pustaka…………………………………………………………………….12
2
PEMBAHASAN
Berbeda halnya dengan Transfer embrio dimana dapat mempercepat percepatan dari sisi
betina, namun berjalan sangat lambat karena ternak sapi betina bersifat monotokus dan
mempunyai masa kebuntingan yang cukup panjang.
Transfer embrio adalah suatu teknik dimana embrio (fertilized ova) dikoleksi dari alat
kelamin ternak betina menjelang nidasi dan ditransplantasikan ke dalam saluran
reproduksi betina lain untuk melanjutkan kebuntingan hingga sempurnah, seperti
konsepsi, implantasi/nidasi dan kelahiran. Produksi embrio dapat dilakukan secara in
vivo dan in vitro. Dalam teknik in vivo, hewan betina donor akan menjalani
superovulasi, yakni penyuntikan hormone gonadotropin (FSH, PMSG/CG atau HMG)
guna melipat gandakan produksi sel telur. Sel-sel telur yang diovulasikan tersebut,
setelah mengalami pembuahan dan berkembang menjadi embrio ditampung atau
dikoleksi untuk kemudian ditransfer pada betina resipien.
Di samping ditransfer secara langsung embrio dapat dibekukan atau dimanipulasi guna
menghasilkan kembar identik. Embrio paruh yang dihasilkan dapat ditransfer atau
sebagai bahan untuk menentukan jenis kelamin. Pada teknik in vitro, sumber sel telur
umumnya berasal dari ovarium yang berasal dari hewan yang telah dipotong.
Dibeberapa Negara maju, limbah rumah potong hewan (RPH) tersebut, setelah melalui
serangkaian teknik tertentu teryata terbukti telah secara komersial dapat meyediakan
embrio bagi penyediaan ternak potong.
Dengan bantuan ultrasonografi, teknik “ovum pick-up” telah dapat diterapkan guna
menyediakan oosit ternak unggul yang masih produktif tanpa harus menunggu di
potong. Tujuan Transfer Embrio sendiri yaitu untuk meningkatkan genetik pada
keuturunan, memperbanyak keturunan induk yang unggul, meningkatkan potensi
genetic waktu yang singkat, meningkatkan produksi susu, meningkatkan bibit unggul
untuk disebarkan dan menyelamatkan genetik superior sapi atau organisme.
3
dengan TE jauh lebih cepat dibandingkan IB dan kawin alam. Dengan teknik TE, seekor
betina unggul mampu menghasilkan lebih dari 20 – 30 ekor pedet unggul per tahun,
sedangkan dengan IB, hanya dapat menghasilkan satu pedet per tahun. Melalui teknik
TE dimungkinkan terjadinya kebuntingan kembar, dengan jalan mentransfer setiap
tanduk uterus (cornua uteri) dengan satu embrio
Populasi sapi potong di Indonesia sekitar 13,4 juta ekor (DITJEN BP PETERNAKAN,
2003), yang sebagian besar berupa usaha peternakan rakyat yang dikelola secara
tradisional dan relatif sedikit menggunakan inovasi teknologi. Jumlah sapi yang minim
tersebut jika dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia, sangat berbanding
terbalik. Sehingga dibutuhkan upaya pengembangan sapi potong di Indonesia.
Pemerintah Indonesia sendiri telah melakukan beberapa upaya dalam perbaikan mutu
sapi potong diantaranya dengan meningkatkan kualitas genetik. Akan tetapi hal ini
menemui beberapa kendala, diantaranya seleksi atau upaya perbaikan mutu gentik untuk
mendapatkan breed baru yang unggul memerlukan waktu yang sangat lama, mahal, dan
hasilnya kadang-kadang tidak memuaskan.
Pada negara yang sudah maju perbaikan mutu genetik biasanya dilakukan dengan
memanfaatkan berbagai metode dan cara yang sangat canggih, seperti manipulasi
embrio (MOET, IVF, splitting embryo, cloning, sexing sperma/embrio dan lain-lain),
maupun penggunaan metode seleksi dengan cara best linier unbiased prediction (BLUP)
ataupun memanfaatkan teknologi penciri DNA (quntitative trait loci/QTL)
(DIWYANTO et al., 2000)
Dan di Indonesia sendiri aplikasi Transfer Embrio juga mulai dikembangkan. Menurut
literatur Teknologi fertilisasi in vitro (IVF) saat ini masih dilakukan dengan
memanfaatkan oosit segar, namun kendala yang dihadapi adalah oosit mamalia
memiliki daya tahan hidup yang sangat terbatas sehingga tidak dapat disimpan dalam
4
waktu yang lama pada suhu kamar (Vieira et al., 2002). Produksi embrio dapat
dilakukan secara in vivo maupun in vitro.
Teknologi fertilisasi in vitro (IVF) saat ini masih dilakukan dengan memanfaatkan oosit
segar, namun kendala yang dihadapi adalah oosit mamalia memiliki daya tahan hidup
yang sangat terbatas sehingga tidak dapat disimpan dalam waktu yang lama pada suhu
kamar (Vieira et al., 2002).
Keterbatasan waktu simpan ini dapat diatasi dengan teknik penyimpanan beku atau
kriopreservasi oosit untuk mempertahankan kelangsungan hidup sel sehingga viabilitas
oosit dapat dipertahankan dengan cara mereduksi fungsi dan aktivitas metabolik tanpa
terjadinya kerusakan membran maupun Teknologi rekayasa reproduksi khususnya
kriopreservasi telah cukup banyak dikembangkan untuk spermatozoa dan embrio,
namun sejauh ini keberhasilan kriopreservasin oosit yang telah dilaporkan masih sangat
terbatas dan variatif. Keberhasilan kriopreservasi oosit akan memungkinkan tersedianya
oosit beku sehingga mempermudah pengaturan waktu di dalam produksi embrio in vitro
dan secara umum merupakan upaya penyimpanan dan pemeliharaan plasma nutfah.
Selain itu, keberhasilan kriopreservasi oosit akan memperbaiki teknik penyediaan
embrio sehingga oosit segar tidak diperlukan lagi.
Penggunaan prosedur kriopreservasi oosit secara komersial masih sangat terbatas salah
satu tantangan adalah membuat metode kriopreservasi oosit yang menjamin viabilitas
tinggi. Terdapat dua metode kriopreservasi yaitu metode konvensional dan vitrifikasi.
Kedua metode ini mempunyai kelebihan dan kekurangan. Pada awal studi tentang
kriopreservasi, dilakukan kriopreservasi menggunakan metode konvensional, namun
saat ini metode vitrifikasi lebih sering diaplikasikan. Kelebihan dari metode vitrifikasi
adalah pemadatan cairan tanpa melalui pembentukan kristal es (Shaw et al., 2000).
Metode tersebut sederhana, murah, dan tidak memerlukan alat khusus untuk
menurunkan suhu secara bertahap sehingga mudah diaplikasikan ditempat yang
memiliki kontainer nitrogen cair.
5
pengaruh toksisitasnya. Derajat proteksi dari bahan krioprotektan terhadap proses
kristalisasi pada masa pembekuan tergantung dari jenis dan konsentrasi krioprotektan
yang dipakai serta lama paparan (Kasai, 2002). Dari beberapa penelitian tentang
kriopreservasi oosit, diketahui ada bermacam-macam krioprotektan yang dapat
dipergunakan untuk vitrifikasi oosit, namun demikian telah diketahui bahwa etilen
glikol (EG) mempunyai efek toksik yang lebih rendah dibandingkan krioprotektan yang
lain (Gordon, 1994; Hochi et al., 1996). Hasil penelitian Wani et al. (2004)
menunjukkan bahwa tingkat fertilisasi in vitro oosit setelah proses vitrifikasi
menggunakan DMSO sebesar 12,3%. Tingkat fertilisasi oosit menggunakan EG belum
pernah dilaporkan. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan adalah mengkaji pengaruh
konsentrasi EG dan lama paparan terhadap tingkat oosit terfertilisasi.
Produksi embrio dengan cara invivo ialah salah satu teknik produksi embrio dimana
pembentukan embrio berlangsung di dalam alat reproduki betina sedangkan metode
invitro adalah sebaliknya yaitu proses pembentukan embrionya berlangsung di luar alat
reproduksi. Dan untuk pengembangan dan peningkatan produksi dalam rangka
penekanan biaya produksi dapat diterapkan teknik kloning Embrio. Embrio yang
digunakan untuk transfer embrio dapat berupa embrio segar atau embrio beku (freezing
embrio).
Embrio beku efisien untuk dipakai karena dapat disimpan lama sebagai stock dan dapat
dibawa ke daerah-daerah yang membutuhkan.Sedangkan embrio segar hanya dapat di
transfer pada saat produksi dilokasi yang berdekatan dengan donor. Peningkatan mutu
genetik dengan ketersediaan anak keturunan yang banyak maka diarahkan kepada : 1.
Transfer Embrio Jenis Sapi Potong.
6
Untuk menghasilkan bibit yang akan menghasilkan bibit dasar dengan pertambahan
bobot badan > 1,5 kg/hari dan mencapai berat > 400 kg pada umur 1,5 tahun. Yang
telah di produksi antara lain Simenthal, Limousin, Brangus, Brahman, Angus dan
Crossing Simenthal dan Brahman 2. Transfer Embrio Sapi Perah. Untuk menghasilkan
bibit dasar (Fondation stock) dengan kriteria dari induk produksi susu > 7000 kg laktasi
dan untuk pejantan mewariskan produksi susu > 10.000 kg laktasi. Bangsa yang telah di
produksi adalah FH.
Seleksi Resipien
Resipien yang adalah masih muda dan terbebas dari penyakit dengan tingkat fertilitas
yang tinggi dan mempunyai sifat keibuanyang baik juga, mempunyai pertumbuhan yang
baik dan mudah dalam melahirkan anak.. bangsa ternak tidak terlalu menjadi
permasalahan,umumnya jenis persilangan menunjukan tingkat fertilitas yang cukup
baik.
Kesehatan dan kodisi reproduksi resipien harus di uji pada saat seleksi.deteksi yang
dilakukan terutama terhadap abnormalitas saluran reproduksi, kondisi kebuntingan dan
kesehatan ternak. Bila calon resipien didatangkan dari luar, maka harus dikarantina
sebelum digunakan sebagai resipien. Selama periode ini, resipien harus diamati setiap
hari terhadap tanda-tanda penyakit, peningkatan suhu tubuh dan infeksi yang
mempunyai korelasi yang tinggi terhadap fertilitas.
Deteksi Estrus
7
Cara yang paling umum dilakukkan untuk sinkronisasi estrus adalah dengan injeksi
PGF2α atau analognya (estrumate). Jika resipien yang telah disinkronisasikan
mempunyai CL yang baik pada saat transfer embrio, maka tingkat kebuntingan yang
diperoleh akkan sama dengan resipien yang estrus alami.
Resipien yang berada pada pertengahan siklus estrus dan menunjukan CL pada ovarium
akan berespon baik terhadap PGF2α pertama kali resipien diseleksi dengan palpasi
rectal. Resipien yang memiliki CL dikelompokan ke dalam satu kelompok dan
diinjeksikan dengan PGF2α (15-25 mg) atau estrumate (500 mg). Estrus akan muncul
48-96 jam kemudian.
Obat :
Kapas dicelupan ke dalam ethyl alcohol 70%
8
Kertas tisu dibasahi dengan densifektan (benzalkonium chloride
Xylocaine 2% (lidocaine HCL)
Padrine (prifinum bromide :anticonvulsivant)
Persiapan resipien
Pemeriksaan resipien untuk terakhir kalinya dilakukan 1 hari atau beberapa saat
menjelang transfer. Jika pemeriksaan dilakukan dengan palpasi rectal, maka jangan
meyentuh atau meraba bagian ovarium dan uterus secara kasar.Kendalikan resipien di
dalam kandang jepit dan keluarkan seluruh feses yang berada dalam rectum.Lakukan
epidural anastesi dengan 3 ml xylocaine.Bagian vulva dan rectal dicuci dengan air
hangat dan diusap dengan kertas tisu yang dicelupkan dengan desinfektan dan terakhir
dengan kapas beralkohol.
9
Jika tahap perkembangan embrio dan siklus estrus resipien berbeda, maka harus
disinkronkan sebaik mungkin. Sebagi contoh, pada hari ke 7 pembilasan transfer embrio
segar dapat dilakukan. Jika hari ke 6-8 tersedia resipien, maka tahap morula dan
blastosis awal ditransfer pada hari ke 6, tahap kompak morula dan blastosis awal
ditransfer hari ke 7 dan expanded blastosis ditransfer hari ke 7 dan expanded blastosis
ditransfer hari ke 8.
Prosedur transfer
Pada saat teknik menempatkan tangannya di dalam rectum, vulva dibuka dan
transfer gun yang telah ditutupi cover sheath dimasukan ke dalam vagina oleh
seorang asisten.
Gun harus masuk melewati cervix hingga masuk ke salah satu tanduk uterus
dimana ovariumnya mengandung CL (ipsilateral). Tanduk uterus ditinggikan
dan diluruskan di depan unjung gun.
Ujung gun harus dimasukan 5-10 cm melewati external bifurcation.
Sangat penting diperhatikan adalah jangan sampai melukai bagian dinding
uterus selama proses transfer embrio. Jika terdapat tekanan dari uterus, jangan
dipaksa, tunggu hingga relaks.
Jika posisi yang diinginkan sudah diperoleh, maka embrio ditempatkan pada
posisi tersebut.
Bila cervix terlalu sempit dan sulit dimasuki gun, maka dapat dibantu dengan
menggunakan expander cervix yang berukuran kecil.
Tiga faktor penting yang harus diperhatikan guna keberhasilan pelaksanaan transfer
embrio adalah :
a. Kualitas embrio yang akan di transfer; umur,kwalitas, jenis embrio (bela/segar)
metode pembekuan adanyakontaminasi atau infeksi pada embrio.
b. Tingkat keterampilan petugas dalam mentranfer antara lain kemampuan
mendeposisikan embrio secara tepat (sepertiga apexcornua uteri) dan cepat,
tidak terjadi luka pada uterus, dan sapi tenang/tidak stres.
c. Respon sapi resipien terhadap sinkronisasi, kondisi pakan yang digunakan,
kondisi tubuh dengan BCS (Body Condition Skor) sedang (2,8-3,5) tidak
ditemukan peradangan, kondisi ovarium dan CL normal dan penjagaan sapi
jangan sampai stress.
10
Faktor lain yang mempengaruhi keberhasilan Transfer embrio
Kualitas Embrio.
Medium Transfer.
Sinkronisasi estrus donor dengan resipien.
Infeksi
Penempatan embrio dalam uterus.
Metode non operasi dan teknisi.
Resipien, dara atau induk.
Status nutrisi resipien.
Keberhasilan Transfer embrio juga tergantung dari sinkronisasi estrus antara donor dan
resipien. Donor dan resipien harus mempunyai panjang siklus estrus yang normal.
Tingkat keberhasilan akan lebih tinggi jika perbedaan estrus resipien dan donor
maksimal 1 hari. Standing heat adalah indikasi sapi estrus ditandai sapi akan diam jika
dinaiki sapi lain. Walaupun pengamatan secara langsung dengan mata adalah metode
deteksi estrus yang terbaik, namun saat ini terdapat peralatan yang dapat membantu
deteksi estrus seperti heat mount detector atau paint stick.
11
DAFTAR PUSTAKA
Supriatna, I. 1993. Metode-metode dasar pembekuan embrio mamalia. Mata kulia Inti
Dalam Pelatihan Tugas teknisi. Dr. Bina prod. Peternakan. Balai pembibitan Ternak
dan hijaun makanan, purwokerto.
Supriatna, I dan F.H. Pasarribu. 1992. In Vitro Fertilisasi, Transfer Embrio dan
Pembekuan Embrio. Depdikbud, DIKTI dan PAU IPB Bogor.
12
13