Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH TEKNOLOGI REPRODUKSI

Aplikasi Embrio Transfer Di Indonesia Untuk Mendukung


Swasembada Daging Tahun 2026 Dan Lumbung Pangan Dunia Tahun
2045.

Dosen Pengampu : Achadiah Rachmawati.S.Pt,M.Si.

DI SUSUN OLEH :
Nama : Hilmatuzzulfa
Nim : (185050101111147)
Kelas : E

UNIVERSITAS BRAWIJAYA
FAKULTAS PETERNAKAN
MALANG
2021

1
DAFTAR ISI
Daftar Isi………………………………………………………………………….2
Pembahasan………………………………………………………………………3
A. Keunggulan dan Kelemahan……………………………………………...3
B. Peran Transfer Embrio……………………………………………………4
C. Aplikasi Resipien Betina………………………………………………….7
D. Faktor Keberhasilan………………………………………………………10
E. Penyebarluasan Informasi………………………………………………...11

Daftar Pustaka…………………………………………………………………….12

2
PEMBAHASAN

A.Keunggulan dan Kelemahan Transfer Embrio


Transfer Embrio merupakan suatu teknik yang dikenal juga dengan genetic
manipulation. Keuntungan praktis dari transfer embrio adalah untuk meningkatkan
kapasitas reproduksi ternak yang berharga. Untuk beberapa tahun peningkatan  mutu
genetic ternak sapi telah dilakukan dengan metode inseminasi buatan dengan
memanfaatkan sisi pejantan.

Berbeda halnya dengan Transfer embrio dimana dapat mempercepat percepatan dari sisi
betina, namun berjalan sangat lambat karena ternak sapi betina bersifat monotokus dan
mempunyai masa kebuntingan yang cukup panjang.

Transfer embrio adalah suatu teknik dimana embrio (fertilized ova) dikoleksi dari alat
kelamin ternak betina menjelang nidasi dan ditransplantasikan ke dalam saluran
reproduksi betina lain untuk melanjutkan kebuntingan hingga sempurnah, seperti
konsepsi, implantasi/nidasi dan kelahiran. Produksi embrio dapat dilakukan secara in
vivo dan in vitro. Dalam teknik in vivo, hewan betina donor akan menjalani
superovulasi, yakni penyuntikan hormone gonadotropin (FSH, PMSG/CG atau HMG)
guna melipat gandakan produksi sel telur. Sel-sel telur yang diovulasikan tersebut,
setelah mengalami pembuahan dan berkembang menjadi embrio ditampung atau
dikoleksi untuk kemudian ditransfer pada betina resipien.

Di samping ditransfer secara langsung embrio dapat dibekukan atau dimanipulasi guna
menghasilkan kembar identik. Embrio paruh yang dihasilkan dapat ditransfer atau
sebagai bahan untuk menentukan jenis kelamin. Pada teknik in vitro, sumber sel telur
umumnya berasal dari ovarium yang berasal dari hewan yang telah dipotong.
Dibeberapa Negara maju, limbah rumah potong hewan (RPH) tersebut, setelah melalui
serangkaian teknik tertentu teryata terbukti telah secara komersial dapat meyediakan
embrio bagi penyediaan ternak potong.

Dengan bantuan ultrasonografi, teknik “ovum pick-up” telah dapat diterapkan guna
menyediakan oosit ternak unggul yang masih produktif tanpa harus menunggu di
potong. Tujuan Transfer Embrio sendiri yaitu untuk meningkatkan genetik pada
keuturunan, memperbanyak keturunan induk yang unggul, meningkatkan potensi
genetic waktu yang singkat, meningkatkan produksi susu, meningkatkan bibit unggul
untuk disebarkan dan menyelamatkan genetik superior sapi atau organisme.

Keunggulan teknologi transfer embrio dibandingkan inseminasi buatan adalah


Perbaikan mutu genetik pada IB hanya berasal dari pejantan unggul sedangkan dengan
teknologi TE, sifat unggul dapat berasal dari pejantan dan induk yang unggul, Waktu
yang dibutuhkan untuk memperoleh derajat kemurnian genetik yang tinggi (purebred)

3
dengan TE jauh lebih cepat dibandingkan IB dan kawin alam. Dengan teknik TE, seekor
betina unggul mampu menghasilkan lebih dari 20 – 30 ekor pedet unggul per tahun,
sedangkan dengan IB, hanya dapat menghasilkan satu pedet per tahun. Melalui teknik
TE dimungkinkan terjadinya kebuntingan kembar, dengan jalan mentransfer setiap
tanduk uterus (cornua uteri) dengan satu embrio

B.Peran Embrio Transfer

Populasi sapi potong di Indonesia sekitar 13,4 juta ekor (DITJEN BP PETERNAKAN,
2003), yang sebagian besar berupa usaha peternakan rakyat yang dikelola secara
tradisional dan relatif sedikit menggunakan inovasi teknologi. Jumlah sapi yang minim
tersebut jika dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia, sangat berbanding
terbalik. Sehingga dibutuhkan upaya pengembangan sapi potong di Indonesia.

Pemerintah Indonesia sendiri telah melakukan beberapa upaya dalam perbaikan mutu
sapi potong diantaranya dengan meningkatkan kualitas genetik. Akan tetapi hal ini
menemui beberapa kendala, diantaranya seleksi atau upaya perbaikan mutu gentik untuk
mendapatkan breed baru yang unggul memerlukan waktu yang sangat lama, mahal, dan
hasilnya kadang-kadang tidak memuaskan.

Pada negara yang sudah maju perbaikan mutu genetik biasanya dilakukan dengan
memanfaatkan berbagai metode dan cara yang sangat canggih, seperti manipulasi
embrio (MOET, IVF, splitting embryo, cloning, sexing sperma/embrio dan lain-lain),
maupun penggunaan metode seleksi dengan cara best linier unbiased prediction (BLUP)
ataupun memanfaatkan teknologi penciri DNA (quntitative trait loci/QTL)
(DIWYANTO et al., 2000)

Dan di Indonesia sendiri aplikasi Transfer Embrio juga mulai dikembangkan. Menurut
literatur Teknologi fertilisasi in vitro (IVF) saat ini masih dilakukan dengan
memanfaatkan oosit segar, namun kendala yang dihadapi adalah oosit mamalia
memiliki daya tahan hidup yang sangat terbatas sehingga tidak dapat disimpan dalam

4
waktu yang lama pada suhu kamar (Vieira et al., 2002). Produksi embrio dapat
dilakukan secara in vivo maupun in vitro.

Teknologi fertilisasi in vitro (IVF) saat ini masih dilakukan dengan memanfaatkan oosit
segar, namun kendala yang dihadapi adalah oosit mamalia memiliki daya tahan hidup
yang sangat terbatas sehingga tidak dapat disimpan dalam waktu yang lama pada suhu
kamar (Vieira et al., 2002).

Keterbatasan waktu simpan ini dapat diatasi dengan teknik penyimpanan beku atau
kriopreservasi oosit untuk mempertahankan kelangsungan hidup sel sehingga viabilitas
oosit dapat dipertahankan dengan cara mereduksi fungsi dan aktivitas metabolik tanpa
terjadinya kerusakan membran maupun Teknologi rekayasa reproduksi khususnya
kriopreservasi telah cukup banyak dikembangkan untuk spermatozoa dan embrio,
namun sejauh ini keberhasilan kriopreservasin oosit yang telah dilaporkan masih sangat
terbatas dan variatif. Keberhasilan kriopreservasi oosit akan memungkinkan tersedianya
oosit beku sehingga mempermudah pengaturan waktu di dalam produksi embrio in vitro
dan secara umum merupakan upaya penyimpanan dan pemeliharaan plasma nutfah.
Selain itu, keberhasilan kriopreservasi oosit akan memperbaiki teknik penyediaan
embrio sehingga oosit segar tidak diperlukan lagi.

Penggunaan prosedur kriopreservasi oosit secara komersial masih sangat terbatas salah
satu tantangan adalah membuat metode kriopreservasi oosit yang menjamin viabilitas
tinggi. Terdapat dua metode kriopreservasi yaitu metode konvensional dan vitrifikasi.
Kedua metode ini mempunyai kelebihan dan kekurangan. Pada awal studi tentang
kriopreservasi, dilakukan kriopreservasi menggunakan metode konvensional, namun
saat ini metode vitrifikasi lebih sering diaplikasikan. Kelebihan dari metode vitrifikasi
adalah pemadatan cairan tanpa melalui pembentukan kristal es (Shaw et al., 2000).
Metode tersebut sederhana, murah, dan tidak memerlukan alat khusus untuk
menurunkan suhu secara bertahap sehingga mudah diaplikasikan ditempat yang
memiliki kontainer nitrogen cair.

Selama proses kriopreservasi diperlukan suatu krioprotektan. Krioprotektan selain dapat


melindungi sel juga ternyata diduga dapat menimbulkan kerusakan pada sel akibat

5
pengaruh toksisitasnya. Derajat proteksi dari bahan krioprotektan terhadap proses
kristalisasi pada masa pembekuan tergantung dari jenis dan konsentrasi krioprotektan
yang dipakai serta lama paparan (Kasai, 2002). Dari beberapa penelitian tentang
kriopreservasi oosit, diketahui ada bermacam-macam krioprotektan yang dapat
dipergunakan untuk vitrifikasi oosit, namun demikian telah diketahui bahwa etilen
glikol (EG) mempunyai efek toksik yang lebih rendah dibandingkan krioprotektan yang
lain (Gordon, 1994; Hochi et al., 1996). Hasil penelitian Wani et al. (2004)
menunjukkan bahwa tingkat fertilisasi in vitro oosit setelah proses vitrifikasi
menggunakan DMSO sebesar 12,3%. Tingkat fertilisasi oosit menggunakan EG belum
pernah dilaporkan. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan adalah mengkaji pengaruh
konsentrasi EG dan lama paparan terhadap tingkat oosit terfertilisasi.

Teknologi transfer embrio merupakan aplikasi bioteknologi reproduksi ternak melalui


teknik Multiple Ovulation Embrio Transfer (MOET) serta rekayasa genetic untuk
meningkatkan mutu genetik dalam waktu yang lebih singkat dan jumlah yang lebih
banyak. Teknik produksi embrio dapat dilaksanakan dengan beberapa cara seperti cara
konvensional atau invivo dan metode invitro serta Oocyt Pick Up (OPU).

Produksi embrio dengan cara invivo ialah salah satu teknik produksi embrio dimana
pembentukan embrio berlangsung di dalam alat reproduki betina sedangkan metode
invitro adalah sebaliknya yaitu proses pembentukan embrionya berlangsung di luar alat
reproduksi. Dan untuk pengembangan dan peningkatan produksi dalam rangka
penekanan biaya produksi dapat diterapkan teknik kloning Embrio. Embrio yang
digunakan untuk transfer embrio dapat berupa embrio segar atau embrio beku (freezing
embrio).

Embrio beku efisien untuk dipakai karena dapat disimpan lama sebagai stock dan dapat
dibawa ke daerah-daerah yang membutuhkan.Sedangkan embrio segar hanya dapat di
transfer pada saat produksi dilokasi yang berdekatan dengan donor. Peningkatan mutu
genetik dengan ketersediaan anak keturunan yang banyak maka diarahkan kepada : 1.
Transfer Embrio Jenis Sapi Potong.

6
Untuk menghasilkan bibit yang akan menghasilkan bibit dasar dengan pertambahan
bobot badan > 1,5 kg/hari dan mencapai berat > 400 kg pada umur 1,5 tahun. Yang
telah di produksi antara lain Simenthal, Limousin, Brangus, Brahman, Angus dan
Crossing Simenthal dan Brahman 2. Transfer Embrio Sapi Perah. Untuk menghasilkan
bibit dasar (Fondation stock) dengan kriteria dari induk produksi susu > 7000 kg laktasi
dan untuk pejantan mewariskan produksi susu > 10.000 kg laktasi. Bangsa yang telah di
produksi adalah FH.

C.Aplikasi Embrio Pada Resipien Lokal Betina

Seleksi Resipien

Resipien yang adalah masih muda dan terbebas dari penyakit dengan tingkat fertilitas
yang tinggi dan mempunyai sifat keibuanyang baik juga, mempunyai pertumbuhan yang
baik dan mudah dalam melahirkan anak.. bangsa ternak tidak terlalu menjadi
permasalahan,umumnya jenis persilangan menunjukan tingkat fertilitas yang cukup
baik.

Manajemen kesehatan resipien

Kesehatan dan kodisi reproduksi resipien harus di uji pada saat seleksi.deteksi yang
dilakukan terutama terhadap abnormalitas saluran reproduksi, kondisi kebuntingan dan
kesehatan ternak. Bila calon resipien didatangkan dari luar, maka harus dikarantina
sebelum digunakan sebagai resipien. Selama periode ini, resipien harus diamati setiap
hari terhadap tanda-tanda penyakit, peningkatan suhu tubuh dan infeksi yang
mempunyai korelasi yang tinggi terhadap fertilitas.

Sikronisasi dan Deteksi Estrus

Deteksi Estrus

Ciri lain yang menandakan estrus adalah:

Turunnya selera makan


Penurunan produksi susu secara tajam
Perubahan tingkah laku, gelisah
Keluarnya lender bening dari vagina

Sinkronisasi Estrus Resipien

7
Cara yang paling umum dilakukkan untuk sinkronisasi estrus adalah dengan injeksi
PGF2α atau analognya (estrumate). Jika resipien yang telah disinkronisasikan
mempunyai CL yang baik pada saat transfer embrio, maka tingkat kebuntingan yang
diperoleh akkan sama dengan resipien yang estrus alami.

Metode Injeksi PGF2α

Injeksi tunggal PGF2α dengan palpasi rectal

Resipien yang berada pada pertengahan siklus estrus dan menunjukan CL pada ovarium
akan berespon baik terhadap PGF2α pertama kali resipien diseleksi dengan palpasi
rectal. Resipien yang memiliki CL dikelompokan ke dalam satu kelompok dan
diinjeksikan dengan PGF2α  (15-25 mg) atau estrumate (500 mg). Estrus  akan muncul
48-96 jam kemudian.

Injeksi ganda PGF2α tanpa palpasi rectal

Seluruh resipien diinjeksi dengan PGF2α tanpa memperhatikan keberadaan CL pada


ovarium. Ulangi injeksi PGF2α 11 hari kemudian. Estrus akan muncul 48-96 jam
kemudian.Resipien yang tidak respon terhadap injeksi PGF2α yang pertama akan
berada pada posisi pertengahan siklus pada injeksi yang ke dua dan kembali akan
menunjukan gejalah estrus. Resipien yang tidak respon terhadap injeksi PGF2α ke dua
karena pada saat itu mereka berada pada posisi pertengahan siklus estrus. Dengan
metode ini seluruh resipien akan mengalami estrus. Resipien harus diinjeksikan dengan
PGF2α satu hari lebih cepat dari pada donor, karena pengaruh perlakuan superovulai
pada donor dengan hormone gonadotropin menyebabkan sebagian besar donor akan
menjadi estrus 36-60 jam setelah injeksi PGF2α.

Persiapan dan prosedur Transfer


 Material
Peralatan :
 Transfer gun
 Plastic sheath
 Outer sheath
 Gunting
 Plastic straw
 Straw cutter
 Disposable syringe (5-10 ml) dengan jarum suntik
 Cervix expander

Obat :
 Kapas dicelupan ke dalam ethyl alcohol 70%

8
 Kertas tisu dibasahi dengan densifektan (benzalkonium    chloride
 Xylocaine 2% (lidocaine HCL)
 Padrine (prifinum bromide :anticonvulsivant)

 Pemasukan embrio ke dalam straw


Persiapan straw :
 Straw dicuci dengan air murni tanpa membasahi sumbat kapas,  keringkan dan
sterilisasi dengan gas ethylene oxide atau dengan cahaya ultra viole. Sterilisasi
dengan gas ethylene harus  sudah dilakukan 2 minggu sebelum straw digunakan,
karena residu gas tersebut dapat memberikan pengaruh yang merusak terhadap
embrio.
 Straw dipotong 1-2 cm untuk menyesuaikan dengan transfer gun.
 Straw dicuci beberapa kali dengan medium tanpa membasahi sumbat kapas.
 Masukan medium (M-PBS) sehingga mengisi straw lebih kurang 2-3 cm.
 Diikuti dengan pemasukan udara sepanjang lebih kurang 0.5 cm dari straw.
 Kemudian medium yang mengandung embrio dimasukan ke dalam straw dengan
syringe tuberculin 1 ml mendekati sumbat kapas, diikutii denga udara dan
medium berikutnya. Medium terakhir akan membasahi sumbat kapas yang
berada pada unjung straw.

Persiapan transfer gun


 Straw yang telah berisi embrio ditempatkan dalam transfer gun dan ditutup
dengan outher sheath. Hindarkan dari kontaminasi.
 Jika resipien berada berdekatan dengan lab transfer embrio cara di atas dapat
dilakukan secara langsung. Tetapi apabila lokasi resipien berjauhan dengan lab,
maka straw harus ditutupi dan dibawah dengan hati-hati, dan dijaga agar tetap
berada pada posisi horizontal.

Persiapan resipien

Pemeriksaan resipien untuk terakhir kalinya dilakukan 1 hari atau beberapa saat
menjelang transfer. Jika pemeriksaan dilakukan dengan palpasi rectal, maka jangan
meyentuh atau meraba bagian ovarium dan uterus secara kasar.Kendalikan resipien di
dalam kandang jepit dan keluarkan seluruh feses yang berada dalam rectum.Lakukan
epidural anastesi dengan 3 ml xylocaine.Bagian vulva dan rectal dicuci dengan air
hangat dan diusap dengan kertas tisu yang dicelupkan dengan desinfektan dan terakhir
dengan kapas beralkohol.

Sinkronisasi antara tahap perkembangan embrio dengan siklus estrus resipien

9
Jika tahap perkembangan embrio dan siklus estrus resipien berbeda, maka harus
disinkronkan sebaik mungkin. Sebagi contoh, pada hari ke 7 pembilasan transfer embrio
segar dapat dilakukan. Jika hari ke 6-8 tersedia resipien, maka tahap morula dan
blastosis awal ditransfer pada hari ke 6, tahap kompak morula dan blastosis awal
ditransfer hari ke 7 dan expanded blastosis ditransfer hari  ke 7 dan expanded blastosis
ditransfer hari ke 8.

Prosedur transfer

 Pada saat teknik menempatkan tangannya di dalam rectum, vulva dibuka dan
transfer gun yang telah ditutupi cover sheath dimasukan ke dalam vagina oleh
seorang asisten.
 Gun harus masuk melewati cervix hingga masuk ke salah satu tanduk uterus
dimana ovariumnya mengandung CL (ipsilateral). Tanduk uterus ditinggikan
dan diluruskan di depan unjung gun.
 Ujung gun harus dimasukan 5-10 cm melewati external bifurcation.
 Sangat penting diperhatikan adalah jangan sampai melukai bagian dinding
uterus selama proses transfer embrio. Jika terdapat tekanan dari uterus, jangan
dipaksa, tunggu hingga relaks.
 Jika posisi yang diinginkan sudah diperoleh, maka embrio ditempatkan pada
posisi tersebut.
 Bila cervix terlalu sempit dan sulit dimasuki gun, maka dapat dibantu dengan
menggunakan expander cervix yang berukuran kecil.

D.Faktor Yang Mempengaruhi Keberhasilan Transfer Embrio

Tiga faktor penting yang harus diperhatikan guna keberhasilan pelaksanaan transfer
embrio adalah :
a. Kualitas embrio yang akan di transfer; umur,kwalitas, jenis embrio (bela/segar)
metode pembekuan adanyakontaminasi atau infeksi pada embrio.
b. Tingkat keterampilan petugas dalam mentranfer antara lain kemampuan
mendeposisikan embrio secara tepat (sepertiga apexcornua uteri) dan cepat,
tidak terjadi luka pada uterus, dan sapi tenang/tidak stres.
c. Respon sapi resipien terhadap sinkronisasi, kondisi pakan yang digunakan,
kondisi tubuh dengan BCS (Body Condition Skor) sedang (2,8-3,5) tidak
ditemukan peradangan, kondisi ovarium dan CL normal dan penjagaan sapi
jangan sampai stress.

10
   Faktor lain yang mempengaruhi keberhasilan Transfer embrio
 Kualitas Embrio.
 Medium Transfer.
 Sinkronisasi estrus donor dengan resipien.
 Infeksi
  Penempatan embrio dalam uterus.
 Metode non operasi dan teknisi.
  Resipien, dara atau induk.
  Status nutrisi resipien.

Keberhasilan Transfer embrio juga tergantung dari sinkronisasi estrus antara donor dan
resipien. Donor dan resipien harus mempunyai panjang siklus estrus yang normal.
Tingkat keberhasilan akan lebih tinggi jika perbedaan estrus resipien dan donor
maksimal 1 hari. Standing heat adalah indikasi sapi estrus ditandai sapi akan diam jika
dinaiki sapi lain. Walaupun pengamatan secara langsung dengan mata adalah metode
deteksi estrus yang terbaik, namun saat ini terdapat peralatan yang dapat membantu
deteksi estrus seperti heat mount detector atau paint stick.

E.Penyebarluasan Informasi Transfer Embrio

Penyebarluasan informasi transfer embrio kepada peternak dilakukan menggunakam du


acara melalui komunikasi secara langsung dan tidak langsung. Adapun komunikasi
secara langsung di lakukan dengan :
 Penyampaian menggunakan metode survei. Survei dilakukan dengan kuantitatif
atau berdasarkan data perhitungan peternak yakni seberapa paham peternak
mengetahui tentang transfer embrio ini,
 Penyampaian secara sosialisasi. Suatu metode menjelaskan kepada peternak
tentang istilah lebih detail mengenai transfer embrio.

Adapun komunikasi secara tidak langsung dapat dilakukan dengan :


 Penyampaian melalui media social. Zaman saat ini masih banyak kecanggihan
teknologi seiring pesatnya. Banyak peternak sudah menggunakan media social
sebagai tempat promosi dan identifikasi. Melalui media social,pihak surveyer
dapat menjelaskan kepada peternak melalui media social dengan berbagai fitur.
 Penyampaian juga dapat dilakukan dengan menggunakan media cetak seperti
koran dan sumber website lainnya.

11
DAFTAR PUSTAKA

Laswardi,T 1995. Penerapan Metode Transfer Langsung Pada Kriopreservasi Embrio


Sapi Perah.Jurnal Ilmu Peternakan.Vol 2(2):23-35.

Soehadji. 1995. Pengembangan Bioteknologi peternakan. Keterkaitan penelitian,


pengkkajian dan Aplikasi. Lokakarya Nasional I Bioteknologi Peternakan. Kerjasama
Kantor menristek dengan Departemen pertanian. Bogor.

Supriatna, I. 1993. Metode-metode dasar pembekuan embrio mamalia. Mata kulia Inti
Dalam Pelatihan Tugas teknisi. Dr. Bina  prod. Peternakan. Balai pembibitan Ternak
dan hijaun makanan, purwokerto.

Supriatna, I dan F.H. Pasarribu. 1992. In Vitro Fertilisasi, Transfer Embrio dan
Pembekuan Embrio. Depdikbud, DIKTI dan PAU IPB Bogor.

Toelihere, M.R. 1981. Fisiologis Reproduksi pada Ternak. Angkasa. Bandung.

Wahjuningsih,2010. Pengaruh Konsentrasi Etilen Glikol dan Lama Paparan Terhadap


Tingkat Fertilisasi In Vitro Oosit Sapi.Jurnal Kesehatan Peternakan. Vol 4(2)56-67

12
13

Anda mungkin juga menyukai