Anda di halaman 1dari 10

NAMA: TINA VIDYA MARISKA

NIM: B1D021045
KELAS: 3 A1
MATA KULIAH: TEKNIK
ANALISA LABORATORIUM

Teknik Analisa Daya Cerna Bahan Pakan Ruminansia

Pasokan bahan makanan secara terus menerus menentukan keberhasilan proses


produksi hewan. menanggapi permintaan dalam hal ini, petani menghadapi masalah pasokan
pakan yang tidak mencukupi. Mengikuti pola iklim tropis yaitu musim kemarau dan musim
hujan. Pada musim pertumbuhan produksi pakan Indonesia melebihi permintaan ternak,
sedangkan pada musim kemarau, petani kesulitan persediaan makanan. Masalah ini terjadi
hampir di seluruh wilayah Indonesia.

Pakan ternak bervariasi dengan bahan pakan rumput berserat tinggi legum diubah
menjadi produk sampingan pertanian, yaitu jerami untuk pakan ternak. Kandungan serat
rendah pada biji-bijian dan produk sampingan penggilingan. Variabilitas yang cukup besar
dalam kualitas pakan membuat pakan lebih bergizi oleh karena itu, diperlukan suatu metode
untuk mengukur kualitas pakan secara akurat metode untuk mengukur kualitas pakan ternak
terus berkembang Metode pengukuran saat ini bahan pakan selalu digunakan untuk
menentukan ketersediaan nutrisi pakan ternak. Metode yang digunakan umumnya secara in
vitro, insacco dan in vivo. Penerimaan ketiga metode ini di Indonesia sangat tinggi Saat ini,
selain metode konvensional, kami sedang mengevaluasi pakan.Selain memperhatikan sifat
anthelmintik yaitu ketersediaan nutrisi bagi ternak, pada saat yang sama, bahan pakan ini
memiliki sifat anti bakteri cacing/anti parasite.

Evaluasi pakan serat dan biji-bijian selalu dilakukan dengan mempertimbangkan


tujuan untuk mengetahui nilai gizi dan ketersediaan ternak evaluasi jelaskan pakan yang
memberikan informasi tentang konsumsi pakan, nilai komposisi energi, protein, lemak dan
karbohidrat, struktur tubuh, kandungan mineral vitamin, kandungan antinutrisi.

Kecernaan adalah deskripsi kemampuan hewan untuk gunakan pakan ternak.


Kemampuan ternak untuk mencerna zat diet tergantung pada spesies dan usia hewan. nilai
kecernaan tinggi menunjukkan bahwa ternak secara efektif memanfaatkan bahan pakan yang
ada hewan ruminansia (sapi, kerbau, kambing, domba) adalah hewan ternak empat
kompartemen lambung, yaitu lumen, reticle, omassum dan Abomasum. Lumen dan retikulum
adalah organ pencernaan fermentatif yang didalamnya terdapat banyak mikroorganisme
seperti. bakteri, protozoa, jamur. Nutrisi disimpan dalam rumen disederhanakan dengan
fermentasi mikroba menjadi produk sederhana pemilik menggunakan asam lemak yang
mudah menguap.

Ada berbagai cara untuk mengetahui daya cerna pakan yang diberikan kepada ternak,
diantaranya adalah secara in-vitro, in-vivo dan in-sacco. Metode in-vitro relative murah dan
mudah dilakukan, sedangkan metode in-vivo dan insacco relative mahal dan sulit dilakukan
karena ada beberapa kendala diantaranya membutuhkan ternak. Metode in-vivo merupakan
metode penentuan kecernaan pakan menggunakan hewan percobaan dengan menganalisa
pakan dan feses. Dengan metode in-vivo dapat diketahui kencernaan bahan pakan yang
terjadi di dalam seluruh saluran pencernaan ternak, sehingga nilai kecernaan pakan yang
diperoleh mendekati nilai sebenarnya. Koefisien cerna yang ditentukan secara in-vivo
biasanya 1% sampai 2% lebih rendah dari pada nilai kecernaan yang diperoleh secara in-
vitro.
A. In-Vitro
Fertilisasi atau pembuahan merupakan fusi dua macam gamet untuk membentuk
sel tunggal (zigot), yang melibatkan penggabungan sitoplasma dan penyatuan bahan
nukleus atau materi genetik. Pada saat ini telah dimungkinkan memproduksi embrio di
luar saluran reproduksi hewan atau ternak , dengan melakukan fertilisasi sel gamet betina
(oosit) dengan sel gamet jantan (spermatozoa) di laboratorium yang dikenal sebagai
fertilisasi in vitro (FIV). Kemajuan yang sangat pesat dalam bidang biologi reproduksi
berdampak pada makin bkembangnya bioteknologi dan manipulasi sel seperti pembekuan
sel gamet baik spermatozoa, oosit maupun embrio, produksi embrio melalui FIV, kloning,
sinkronisasi siklus estrus induk resipien yang semuanya bertujuan untuk meningkatkan
manfaat dari teknologi transfer embrio. Salah satu permasalahan utama dari implementasi
transfer embrio adalah ketersediaan embrio dari hewan terseleksi superior dengan kualitas
genetik tinggi yang relatif sangat terbatas jumlahnya pada hampir semua spesies hewan.
Di masa datang, jika teknologi produksi embrio in ritro telah makin baik dan berkembang
maka kebutuhan embrio ini akan bisa dicukupi dengan baik.

Teknik fertilisasi in vitro (FIV) dapat menggunakan oosit yang berasal dari hewan
yang masih hidup maupun dari oosit hewan yang dipotong, sehingga teknik fertilisasi in
vitro (FIV) ini dapat menjadi alternatif produksi embrio dalam pelaksanaan transfer
embrio (TE). Manfaat lain dari teknologi fertilisasi in vitro (FIV) adalah membuka
peluang yang lebih besar untuk mengembangkan teknik manipulasi gamet dan embrio
seperti produksi kloning (Gordon, 1994).

Oosit yang digunakan untuk maturasi in ritro yang selanjutnya digunakan untuk
FIV biasanya diperoleh dari saluran oviduct segera setelah terjadi ovulasi , namun
demikian juga memungkinkan diperoleh dari koleksi dari folikel ovarium induk Pada
skala percobaan MIV di laboratorium , maka sumber oosit immmature yang banyak
digunakan adalah dengan melakukan aspirasi atau isolasi dari antral folikel ovarium atau
ternak yang di potong di Rumah Potong Hewan (RPH) . Pada perkembangan sekarang
yang ada saat ini juga telah memungkinkan memanfaatkan oosit hasil kultur folikel secara
in vitro atau yang dikenal sebagai in ritro growth (IVG) sel oosit

Oosit berukuran kecil pada fase primordial dan oosit primer pada umumnya tidak
mempunyai kemampuan untuk melanjutkan meiosis. Oosit mempunyai kemampuan
untuk meiotic resumption saat ukurannya telah mencapai lebih dari 80 % dari ukuran
diamater akhirnya , mereka kemudian secara bertahap mampu berkembang mencapai
metafase II saat diameternya telah melebihi 90 % dari ukuran maksimalnya. Dalam
ovarium, oosit yang mencapai ukuran penuh tidak akan melanjutkan meiosis hingga ada
pelepasan atau stimulasi gonadothrophin

Selama masa panjang pertumbuhannya, oosit mensintesa dan mengakumulasikan


protein spesifik dan mRNA yang dibutuhkan untuk resumption meiosis dan diikuti oleh
maturasi. Jika bisa dilakukan pengaturan pertumbuhannya dengan baik, oosit immature
dalam ovarium dapat menyediakan sumber oosit mature untuk keperluan program
fertilisasi in ritro maupun untuk sumber sitoplasma resipien dalam transfer nukleus sel
somatik guna memproduksi stem cell. Pada mamalia seperti mencit, babi, sapi dan
manusia, meiosis lengkap tergantung pada fertilisasi yang memacu perkembangan sampai
fase anafase II dan interfase pertama dengan pembentukan pronukleus jantan dan betina.

Penerapan bioteknologi ini membutuhkan oosit dalam jumlah yang banyak,


selanjutnya oosit yang diperoleh dimatangkan secara in vitro (in-vitro maturation) untuk
kepentingan fertilisasi in vitro. Keberhasilan fertilisasi in vitro memerlukan kesiapan
yang memadai dari oosit dan sperma secara biologis dan kondisi kultur yang mendukung
efektifitas metabolis dari gamet jantan dan betina. Berbagai aspek kondisi kultur seperti
medium, waktu inseminasi dan kapasitası, sistem kultur. terus di indentikasi untuk
meningkatkan keberhasilan fertilisasi in-vitro (Bracket dan Zuelke, 1993).

Menurut Herdis (2000), embrio yang dihasilkan dari teknologi fertilisasi in vitro
dapat di transfer ke ternak resipien untuk membantu percepatan peningkatan populasi
ternak. Dengan teknik fertilisasi in vitro, pemanfaatan oosit dari hewan yang dipotong
merupakan cara produksi embrio yang ekonomis karena dengan cara ini oosit hewan yang
dipotong dapat dimanfaatkan untuk dijadikan bakal bibit, hal ini tentu akan terasa sekali
nilai tambahnya. Dalam pemanfaatan oosit hewan yang mati belum semua potensi yang
ada dapat dimanfaatkan karena terbatasnya daya hidup oosit, sementara teknologi
penyimpanan ovarium yang dapat mempertahankan viabilitas oosit dalam waktu yang
cukup lama atau selama transportasi belum tersedia.
Untuk meningkatkan fertilisasi dan fleksibilitas produksi embrio in-vitro dapat
dilakukan diluar laboratorium, beberapa penelitian mencoba untuk menggantikan sumber
atau peranan CO, 5 % dalam mempertahankan pH medium. pH medium dapat
dipertahankan dengan menambahkan suatu penyangga seperti Hepes. Menurut Jaswandi
(2002), bahwa hasil pematangan dan fertilisasi in vitro oosit domba dengan penambahan
penyangga Hepes dalam medium dapat memberikan kondisi optimal. Dengan demikian
penggunaan straw perlu dikaitkan dengan penambahan penyangga Hepes dalam medium
serta waktu inkubasi sehingga efek sinergis penggunaannya dapat dicapai secara optimal.

Komposisi gas udara merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi
perkembangan oosit embrio dalam inkubasi. Tingkat maturasi dan fertilisasi oosit serta
pertumbuhan embrio terbaik diperoleh pada gas CO, 2,5-5 % dan 0,5 % di udara
(Pinyopummint dan Bavister, 1995). Sedangkan menurut Thompson (1996),
perkembangan embrio sapi tidak mutlak tergantung terhadap CO, 5 % hal ini terlihat pada
embrio sapi yang mampu berkembang sampai tahap blastosis bila medium ditambah
dengan penyangga zwitter ionic pada udara tanpa CO, 5 %. Freshney (1987)
mengemukakan bahwa kultur sel dalam tempat terbuka membutuhkan inkubasi dengan
CO, 5 % di membutuhkan udara.

Keadaan ini dapat dimanfaatkan sebagai dasar dalam manipulasi CO, 5 % pada
sistem inkubasi. Proses fertilisasi in vitro pada sistim inkubasi tanpa gas CO, dilapangan
dirasakan sangatlah efisien dibandingkan sistem inkubasi CO, 5 % karena keterbatasan
CO, dilapangan sangat menghambat proses fertilisasi in-vitro. Untuk itu diperlukan
teknologi yang memungkinkan proses produksi embrio dapat dilakukan selama
transportasi atau di luar laboratorium. Kendala utama dalam produksi embrio di luar
laboratorium atau selama transportasi adalah keberadaan CO, dan tempat fertilisasi. Oleh
karena itu perlu dilakukan kajian mengenai penggunaan sistem inkubasi CO₂ dan sistem
inkubasi tanpa CO, dan waktu fertilisasi yang tepat terhadap tingkat fertilisasi sapi in-
vitro.

B. In-Vivo
Teknik in vivo adalah pengukuran kecernaan bahan pakan dengan menggunakan
ternak secara langsung. Cara mengetahui nilai kecernaan secara in vivo dengan melihat
pengaruhnya terhadap performa produksi ternak melalui pertambahan bobot badan
maupun kecernaannya. Pencernaan ruminansia terjadi secara mekanis, fermentative, dan
hidrolisis. Dengan metode In vivo dapat diketahui pencernaan bahan pakan yang terjadi
di dalam seluruh saluran pencernaan ternak, sehingga nilai kecernaan pakan yang
diperoleh mendekati nilai sebenarnya. Koefisien cerna yang ditentukan secara In vivo
biasanya 1 % sampai 2 % lebih rendah dari pada nilai kecernaan yang diperoleh secara In
vitro. Teknik evaluasi pakan secara in vivo umumnya digunakan untuk alternatif terakhir,
karena pertimbangan biaya, waktu dan tenaga karena teknik ini menggunakan sejumlah
ternak sehingga banyak biaya dan tenaga yang perlu untuk pengumpulan parameter dan
pemeliharaan.

Kecernaan In-vivo merupakan suatu cara penentuan kecernaan nutrient


menggunakan hewan percobaan dengan analisis nutrient pakan dan feses. Pengukuran
kecernaan secara in vivo dapat diterapkan oleh berbagai temak ruminansia seperti domba
dan sapi. Penetapan kecernaaan secara in vivo dilakukan dengan menggunakan metode
koleksi total atau total collection. Pengukuran tingkat kecernaan umumnya dilakukan
dalam dua periode yaitu periode pendahuluan, dan periode pengumpulan data. Selain itu
periode lainya yaitu pengadaptasian. Pengadaptasian dilakukan untuk mengadaptasikan
ternak dengan kondisi pakan, peralatan dan kandang untuk penelitian. Periode
pendahuluan dilakukan untuk menghilangkan pengaruh pakan sebelumnya. embiasakan
pakan yang dicobakan dan memperkecil keragaman konsumsi temak yang dilakukann
dengan mencatat konsumsi ransum dan feses ternak. Periode pengumpulan data yaitu
parmeter yang digunakan adalah pemberian pakan, sisa pakan, dan feses atau urin yang
dikeluarkan. Percobaan kecernaan dibedakan menjadi dua periode , yaitu periode pe
ndahuluan dan periode koleksi . Periode pendahuluan berlangsung selama 7 hari sampai
10 hari dan periode koleksi selama 5 hari sampai 15 hari.

Metode In vivo
1. Dosimetri in vivo, yaitu metode pamantauan dosis secara langsunng pada pasien yang
sedang menjalani radioterapi baik dengan meletakan dosimeter diatas kulit pasien
maupun dalam rongga-rongga alami yang ada pada manusia seperti pada rongga
osefagus, rectum, vagina dan lain-lain.
2. Scracth: Epicutaneus Tes Ini merupakan teknik yang paling awal ditemukan oleh
Charles Blackley pada tahun 1873. Pemeriksaan ini didasari dengan membuat laserasi
superficial kecil dari 2 mm pada kulit pasien dan diikuti dengan menjatuhkan antigen
konsentrat.
3. Prick: Epicutaneus Teknik ini pertama kali dijelaskan oleh Lewis dan Grant pada tahun
1926. Hal ini digambarkan dimana satu tetesan konsentrat antigen ke dalam kulit
kemudian jarum steril 26 G melalui tetesan tadi ditusukkan ke dalam kulit bagian
superficial sehingga tidak berdarah. Variasi dari tes ini adalah dengan menggunakan
applikator sekali pakai dengan delapan mata jarum yang bisa digunakan, Digunakan
secara simultan dengan 6 antigen dan control positif (histmin) dan kontrol negative
(glyserin).
4. Intradermal test Tes intradermal atau tes intrakutan secara umum biasa digunakan
ketika terdapat kenaikan sensitivitas merupakan tujuan pokok dari pemeriksaan
(misalnya ketika skin prick test memberikan hasil negatif walaupun mempunyai
riwayat yang cocok terhadap paparan). Tes intradermal lebih sensitive namun kurang
spesifik dibandingkan dengan skin prick test terhadap sebagian besar alergen, tetapi
lebih baik daripada uji kulit lainnya dalam mengakses hipersensitivitas terhadap
Hymenoptera (gigitan ngga) dan penisilin atau alergen dengan potensi yang rendah.
5. Pacth Test/Tes pacth merupakan metode yang digunakan untuk mendeteksi zat yang
memberikan alergi jika terjadi kontak langsung dengan kulit. Metode ini sering
digunakan oleh para ahli kulit untuk mendiagnosa dermatitis kontak yang merupakan
reaksi alergi tipe lambat, dimana reaksi yang terjadi baru dapat dilihat dalam 2-3 hari.

Kelebihan dan Kekurangan metode in vivo Menurut Sudirman (2013), sistem analisis
kecernaan secara in vivo merupakan suatu metode konvensional yang telah lama lazim
diterapkan untuk mengevaluasi nilai kecernaan pakan. Walaupun hasilnya valid,
evaluasi atau uji nilai pakan dengan metode in vivo masih memiliki keterbatasan
apabila diterapkan secara rutin, tingginya biaya operasional (banyak temak, tenaga
kerja, fasilitas, pakan, waktu) dan sulit diaplikasikan ketika ketersediaan pakan yang
akan diuji terbatas jumlahnya, sehingga dapat dikembangkan metode in vitro (yang
pada dasarnya meniru sistem kecernaan pakan di dalam saluran pencernaan ternak
ruminansia.

C. In-Sacco
Pengertian in sacco adalah metode untuk memperoleh informasi dasar tentang
nilai nutrisi pakan (kecernaan) dan untuk melihat kemampuan ekosistem rumen dalam
mencerna pakan umen dalam mencerna pakan dengan cara dengan cara menempatkan
kantong nylon berisi sampel pakan dalam rumen selama waktu tertentu. In sacco adalah
metode In sacco adalah metode untuk menilai tingkat degreda untuk menilai tingkat
degredasi pakan dengan dengan menempatkannya dalam kantong nilon dan di
inkubasikan di dalam rumen melalui canula fistula rumen.

Evaluasi protein pakan adalah zat makanan yang sanga makanan yang sangat di
butuhkan oleh ternak ruminansia. Metode yang digunakan ruminansia. Metode yang di
gunakan secara luas dalam menghitung kebutuhan protein pada ternak adalah melalui
metode protein kasar dengan pendekatan kecernaannya. Adanya aktivitas mikroba dalam
rumen menyebabkan pendekatan tersebut kurang tepat untuk ternak ruminansia karena
tidak dapat menggambarkan secara lengkap penggunaan protein di dalam tubuh ternak
dan kondisi yang sesungguhnya, di dalam rumen. Pemberian pakan pada ternak
ruminansia terdapat dua hal yang perlu mendapat perhatian yaitu kebutuhan nutrisi untuk
perkembangan mikroba rumen dan kebutuhan kebutuhan untuk ternak itu sendiri yang
banyak tergantung pada produk-produk hasil fermentasi dari zat makanan dari pakan
yang lolos degradasi di dalam rumen.

RDP merupakan bagian dari protein kasar pakan yang didegradasi oleh mikroba
rumen menjadi peptida dan amonia sebagian besar di antaranya akan di konversi menjadi
protein kasar mikroba. Besarnya proporsi protein pakan yang terdegradasi di dalam
rumen dapat di tentukan dengan metode in sacco. kelebihan metode tersebut di antaranya
lebih sederhana, dapat menghitung kecepatan degrasi dan sampel yang di inkubasikan
dapat dalam yang di inkubasikan dapat dalam  jumlah banyak. Degradasi protein pakan di
dalam rumen sangat bervariasi menurut asal dan jenis pakan , umur pemotongan,
perlakuan kimia dan fisik.

UDP adalah protein pakan yang lolos dari aksi mikroba di dalam rumen dan
masuk ke dalam usus halus dan akan di cerna secara enzimatis. Nitrogen (N) yang di
gunakan mikroba rumen adalah nitrogen hasil perombakan protein kasar dan hasil siklus
urea. Estimasi jumlah (N) terdegrasi yang di butuhkan oleh ternak di perkirakan sama
dengan (N). Mikroba yang di hasilkan di dalam rumen yang besarnya proposional dengan
jumlah energi yang tersedia dari hasil fermentasi yaitu sebesar tersedia dari hasil
fermentasi yaitu sebesar 1,25 g N/MJ ME. Untuk estimasi energi yang tersedia dalam
Untuk estimasi energi yang tersedia dalam mendukung mendukung sintesis protein
tersebut sintesis protein tersebut dapat di gunakan konsumsi bahan organik yang
terfermentasi di dalam rumen. kebutuhan RDN ( g /hari ).

Beberapa perlengkapan dalam metode in sacco

Jumlah kantong yang dapat di inkubasikan untuk setiap ‘ run ‘ sebanyak 40 – 60 kantong
untuk ternak sapi dan 8 – 10 kantong untuk ternak sapi dan 8 – 10 kantong untuk ternak
kambing atau domba yang di inkubasikan dalam waktu yang bersamaan.
Ukuran sampel harus di sesuaikan dengan ukuran kantong dan berhubungan erat dengan
total luas permukaan kantong yang di maksudkan agar sampel pakan dapat bergerak
bebas di dalam kantong, meskipun bukan satu konsensus , jumlah mg sampel per cm2
( kantong atau luas seluruhnya) sangat di sarankan jumlah 3 – 5 gram dari bahan kering .
Kantong dengan ukuran lebih kecil namun tidak boleh kecil , dari 2 gram . Namun
Orskov, (1992) mengemukakan bahwa berat sampel yang di masukan kedalam kantong
dapat berbed masukan kedalam kantong dapat berbeda untuk tiap bahan yaitu 2 gram
untuk jerami, 3 gram untuk hay dan rumput kering, 5 gram untuk konsentrat dan 10 – 15
gram untuk hijauan segar. Ukuran partikel sampel yang di masukkan Ukuran partikel
sampel yang di masukkan kedalam nylon tidak menunjukan perbedaan yang nyata
terhadap kehilangan bahan kering selama 72 jam masa inkubasi (Rodriquez, 1968).
Seperti Seperti yang di teliti kempton dan Hiscox bahwa laju degrasi hijauan Iucerne
(Medicago sativa) di potong – potong sepanjang 0,5 – 1 cm atau tanah dengan ukuran 40
mm tidak menunjukan perbedaan yang nyata , terhadap kehilangan bahan kering setelah
13,5 jam di inkubasikan dalam rumen, tetapi Orskov (1992), menyatakan bahwa sebelum
di masukkan kedalam kantong sampel harus di giling dulu sehingga sampel mempunyai
ukuran kurang lebih 2,5 – 3 mm. .
DAFTAR PUSTAKA

B., H., & S. E, H. E. (2000). Reproduction in Farm Animal . USA: Lea Febiger.
H., D. Y. (2012). Bioteknologi Sel Gamet dan Kloning Hewan. Malang: Universitas
Brawijaya Press.
L., S. F., R., S., Jaswandi, & Z., U. (2011). Pengaruh Fertilasi dan Sistem Inkubasiyang
Berbeda terhadap Tingkat Fertilasi Sapi Lokal Secara In Vitro . Jurnal Peternakan
Indonesia, 28.

Anda mungkin juga menyukai