Anda di halaman 1dari 62

BAB VIII

TRANSFER EMBRIO
8.1. Transfer Embrio dalam Industri Ternak Sapi
Seperti telah diketahui, bahwa banyak teknik untuk mengembangkan
peternakan. Salah satu teknik yang sedang aktual pada tahun 1990-an telah dicoba
untuk usaha meningkatkan produksi ternak baik dari segi kuantitas maupun kualitas
adalah transfer embrio (TE).
Kalau kita ditinjau di Negara-negara industri seperti Amerika (USA), Kanada dan
Jerman Barat, di tahun 1984 sekitar lebih dari 10.000 kebuntingan pada sapi dihasilkan
melalui metode TE. Di Negara-negara Jerman Barat saja yang program TE mulai
diperkenalkan tahun 1974, pada tahun 1985 dapat diproduksi 6.400 ekor anak sapi
melalui metode ini. Sejak tahun 1974, mereka bekerja dalam setiap satu kesatuan yaitu
tim TE. Tim TE ini sebagian besar bekerja sama dengan stasiun-stasiun IB daerah
dalam rangka peningkatan mutu ternak. Pada tahun 1977, negara-negara Hongaria,
Cekoslawakia dan Yugoslavia dimana program ini telah berjalan dengan dasar
komersil.
Sampai saat ini sering metode TE dikaitkan dengan metode mutahir yang
disebut metode bioteknik. Secara pengertian sempit, bioteknik dalam peternakan
terdefenisi sebagai proses biologis yang terkontrol dan terarah dari fungsi-fungsi tubuh
untuk tujuan perencanaan dan pengendalian suatu proses biologis yang alamiah dalam
produksi ternak.
Dalam TE terdapat suatu rangkaian mata rantai dari berbagai metode-metode
bioteknologi reproduksi yang sangat berarti dan terikat erat satu dengan yang lain.
Mata rantai metode bioteknologi reproduksi ini antara lain superovulasi, sinkronisasi
berahi, IB, pembekuan embrio dan produksi kembar identik, sebetulnya boleh dikatakan
lanjutan dari metode TE.
Dari segi pengembangan hewan ternak terutama ternak sapi, TE mendapat arti
penting sejak tahun 1980an. Pada garis besarnya pelaksanaan TE secara praktis
ditujukan untuk memperbesar jumlah keturunan dari bibit betina unggul yang mutunya
juga sedang ditingkatkan. Karena adanya beberapa kemungkinan untuk mempercepat
usaha-usaha pengembangan ternak. Dalam perencanaan terarah dari genetic suatu

77
populasi dapat dikatakan bahwa pengembangan mutu populasi ternak sapi dapat
dipercepat, bila hanya bibit ternak sapi unggul yang terbaik dari suatu peternakan
digunakan untuk penghasil keturunan melalui metode TE.
Di dalam beberapa media dan symposium sering diajukan banyak masalah
mengenai TE, misalnya apakah TE dapat dijadikan dalam salah satu usaha untuk
meningkatkan dan mengembangkan peternakan (di Indonesia), dan mungkin lebih
penting lagi menciptakan lapangan kerja baru (terutama untuk dokter hewan dan
sarjana peternakan).
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, tidaklah mudah, pertu uraian
yang mendasar mengenai pelaksanaan, biaya dan kegunaan dari TE itu sendiri dalam
usaha peningkatan peternakan. Masalah ini akan lebih kompleks lagi pada negara-
negara yang sedang berkembang dan tergantung pada negara-negara industri (negara
produsen dan pemasok peralatan dan obatan-obatan TE). Jadi masalahnya ditambah
lagi dengan kebijakan politik ekonomi dari negara produsen, yang akan memberikan
pengaruh atau dampak negatif terhadap stabilitas harga peralatan dan obat-obatan TE
itu sendiri. Selain itu juga tergantung dari bentuk dan sistem peternakan setempat
(apakah peternakan rakyat, peternakan sedang atau peternakan besar). Hal-hal ini
akan mempengaruhi dan menciptakan cara pelaksanaan dan organisasi tim TE itu
sendiri.
Secara ringkas akan kita bahas dan analisa permasalahan dalam setiap mata
rantai dan metode bioteknologi reproduksi yang ada dalam jajaran mata rantai TE dari
segi teknis pelaksanaannya. Rangkaian pelaksanaan TE yang sering timbul atau sering
dipakai dalam kegiatan rutinnya, pada pokoknya dibagi dua yaitu rangkaian primer TE
yang terdiri atas : superovulasi donor, sinkronisasi berahi resipien, pembilasan, koleksi
dan klasifikasi embrio serta pemindahan embrio, sedangkan rangkaian sekunder TE
(tidak mutlak dilakukan) terdiri dari pembekuan embrio, cloning dan produksi kembar-
identik (mikromanipulasi).

78
8.1.1 Faktor-Faktor yang Berpengaruh dalam Pelaksanaan Transfer Embrio
Kompetensi Akhir : Setelah mempelajari isi pokok bahasan ini, mahasiswa
mampu menjelaskan pelaksanaan rangkaian primer dalam program TE,
menjelaskan pelaksanaan rangkaian sekunder dalam program TE, menjelaskan
manfaat dan peranan TE dalam meningkatkan produksi ternak di masa
mendatang.
8.1.1.1. Rangkaian Primer
Dalam pelaksanaan TE faktor yang sangat menentukan adalah superovulasi,
diharapkan akan diperoleh seoptimal mungkin sel telur yang terbuahi (embrio). Hasil
koleksi embrio yang pernah tercatat berkisar antara 0 sampai dengan 70 sel telur.
Rata-rata per ekor donor diperoleh 12 sel telur. Faktor yang mempunyai peranan dan
menentukan superovulasi adalah bukannya jumlah (kuantitas) embrio yang terseleksi,
tetapi adalah mutu (kualitas) embrio itu sendiri. Dalam seleksi dan klasifikasi embrio
akan diberi suatu penilaian apakah embrio dapat ditransfer (transferable embryo) atau
tidak (untransferable embryo) atau embrio diragukan untuk ditransfer. Hanya embrio
dengan nilai cukup atau sangat baik dapat ditransfer. Juga harus dapat diperhitungkan
bahwa rata-rata 15%-20% dari sel telur yang terkoleksi tidak terbuahi (unfertilized ova)
dan sekitar 15%-20% terdiri dari sel telur telah rusak (degenerasi) atau embrio tidak
berkembang lebih lanjut (retarded). Jadi dari keseluruhan embrio yang terkoleksi,
praktis 30%-40% merupakan embrio yang tidak dapat ditransfer (untransferable
embryo) ke resipien.
Biasanya embrio akan dikoleksi dari donor dengan jalan pembilasan pada hari
ke-6, 7, atau 8 (umumnya pada hari ke-7 dari suatu siklus berahi). Pada hari ke-7,
penyebaran sel te!ur yang terovulasi dalam saluran kelamin betina sebagai berikut :
10% masih berada dalam saluran telur (tuba Fallopii), 70% berada sekitar 10 cm
tersebar di daerah tanduk rahim (apex cornua uteri) dan 20% tersebar sekitar dekat
cabang badan rahim (bifurkatio uteri). Praktis sebetulnya dengan metode pembilasan
yang lazim tanpa bedah akan diperoleh kurang dari 90% sel telur yang terovulasi. Rata-
rata akan diperoleh dengan pembilasan yang biasa sekitar 70% dari sel telur yang
terovulasi (Foote dan Onuma, 1970).

79
Pada dasarnya dapat diketahui, bahwa 25%-30% dari sapi yang dijadikan donor,
tidak atau kurang bereaksi (dengan kata lain kurang dari 5 ovulasi) terhadap pemberian
hormon untuk superovulasi.
Di negara Republik Federal Jerman, pada tahun 1985 dari 12 stasiun IB atau
Institut yang melaksanakan TE (yang tercatat), tim TE telah melakukan superovulasi
dan membilas sebanyak 1485 ekor sapi. Rata-rata embrio yang dapat ditransfer 4,8.
Persentase kebuntingan yang berasal dari embrio segar, yang langsung ditransfer ke
resipien sebesar 58,4% (5884 resipien bunting). Kalau ambil mudahnya dari setiap ekor
sapi donor yang disuperovulasi akan diperoleh rata-rata 3-4 ekor anak sapi dari setiap
pembilasan. Rata-rata setiap pembilasan dapat diperoleh 8-9 embrio normal yang
dapat ditransfer. Jadi per tahun dapat dihasilkan 9-12 ekor anak sapi dari seekor sapi
bibit unggul.
Dalam penyiapan sapi donor untuk superovulasi, paling baik dimulai pada
pertengahan siklus berahi dengan penyuntikan hormon gonadotropin disertai luteolitik
hormon. Hormon gonadotropin yang biasa tersedia, terdapat dalam 2 preparat yang
berbeda yaitu: 1) equine chorionic gonadotrophin (eCG) dengan daya kerja yang cukup
lama (waktu paruh 40-120 jam) dan follicle stimulating hormone (FSH) dengan
pengaruh kerja yang singkat (waktu paruh ± 5 jam). Selain itu dapat juga digunakan
human menopause gonadotropin (hMG) (Alcivar et al., 1984).
PMSG kini berubah nama menjadi equine chorionic gonadotropin (eCG)
misalnya dalam bentuk perdagangan dengan nama Intergunan dan Brumegon. Untuk
superovulasi cukup diberikan dalam satu kali dosis. Untuk menghindari waktu paruh
yang lama, dapat diberikan lagi anti eCG, berdasarkan hasil lapang dapat menunjang
perbaikan hasil superovulasi. Saat ini anti eCG masih tersedia sebagai preparat
penelitian.
Hormon gonadotropin yang paling sering digunakan dewasa ini adalah FSH-P
(Burn-Biotec), untuk superovulasi. Pemberian FSH-P sebanyak 40-50 mg, kalau tidak
dengan dosis tetap terbagi merata dalam delapan kali suntikan, atau dengan turun
bertahap secara kontinyu, dimulai dengan dosis awal yang tinggi 8 mg dan direduksi
terus sampai 3 mg pada pemberian hari terakhir. Interval pemberian 12 jam.

80
Perbedaan signifikan dari dua macam pemberian FSH-P ini tidak dapat
diharapkan (Donaldson, 1984).
Akhirnya untuk superovulasi dapat juga, digunakan pergonal. Pergonal ini adalah
hMG. Diberikan selama 4 hari berturut-turut, terbagi dalam 8 kali penyuntikan pagi dan
sore. Hasil superovulasi dengan hMG dinilai sebagai lebih dari rata-rata. Akan tetapi
pemakaian hMG masih sangat terbatas karena harganya yang mahal (Medowan et al.,
1983).
Superovulasi dengan preparat FSH dan eCG merupakan pemberian preparat
yang perlu dipikirkan dan dipertimbangkan lebih lanjut. Berdasarkan pengalaman
lapang yang ada, tampaknya penggunaan FSH lebih menguntungkan terhadap siklus
berahi berikutnya dan juga terhadap kesediaan menerima konsepsi pada hewan yang
telah disuperovulasi (Elsden et al., 1978).
Koleksi embrio dapat dilakukan secara bedah dan tanpa bedah. Koleksi embrio
dengan cara tanpa bedah tidak berbahaya, murah dan dalam pelaksanaannya hampir
tidak ada problem, bahkan dapat dilakukan dalam kandang. Untuk pencucian kedua
tanduk rahim sapi, paling cocok menggunakan kateter karet, yang tersedia di pasaran
dalam berbagai macam tipe. Pada prinsipnya, semua macam kateter karet, bagian
depannya (sebelum ujung) memiliki balon manset yang dapat diberi udara dari luar,
yang berfungsi selain memfiksir juga mencegah mengalirnya kembali medium pembilas
ke arah badan rahim. Penggunaan jenis kateter ini berbeda-beda di beberapa negara.
Misalnya di Jerman Barat operator lebih senang menggunakan kateter karet model
Neustadt a.d Aisch karena penggunaannya yang praktis. Kateter ini dapat dipakai
untuk 12 kali pembilasan. Di Amerika lebih sering digunakan kateter Foley yang hanya
sekali dipakai.
Sebagai medium pembilas untuk koleksi embrio digunakan modifikasi phospate
buffered saline (PBS) + 1 % fetal calf serum (FCS). Medium ini dapat diramu sendiri
atau dapat dibeli dalam kemasan yang telah jadi. Media ini dapat disimpan dalam
lemari pendingin dan tahan sampai dua minggu.
Seleksi dan klasifikasi embrio, dapat dilaksanakan setelah medium pembilas
yang diperoleh kembali yang telah dibiarkan mengendap atau dengan cara
penyaringan menggunakan suatu filter khusus. Medium yang telah mengendap dipipet

81
sebanyak 5 ml atau sisa medium yang tersaring dituangkan ke dalam gelas khusus
yang digunakan untuk pemeriksaan embrio.
Pemeriksaan, pencarian, seleksi dan klasifikasi embrio dilakukan di bawah
stereomikroskop dengan pembesaran 20-40 kali. Adanya sumber cahaya yang difus
akan mempermudah pencarian embrio.
Peranan yang menentukan dalam hasil transfer dikemudian hari adalah sifat-sifat
kualitatif dari embrio yang terkoleksi. Penentuan kualitas embrio kadang-kadang sulit,
dan sebenarnya sebagai patokan tanda-tanda kualitas baru dapat dibuktikan dalam
perkembangan in vitro atau in vivo. Tanda-tanda kualitas ini mempunyai arti yang
penting terutama didalam penilaian embrio beku yang telah dicairkan. Seleksi atas
dasar penilaian morfologis telah terbukti dapat dipakai dalam penentuan kualitas
embrio. Hal ini dapat dengan jelas dilihat dari hasil-hasil yang diperoleh di berbagai
stasiun transfer.
Sebagai sapi resipien dapat dipakai sapi dara atau sapi induk, dengan syarat
harus sehat dan subur. Terutama yang lebih baik adalah tersedianya sapi dara, dengan
umur antara 15 sampai 18 bulan dengan berat badan sedikitnya 300 kg. Sapi dara
sebagai resipien mempunyai keuntungan, karena ditinjau dari segi higienis dan teknis
pelaksanaan kerja pemindahan embrio itu sendiri.
Sapi-sapi resipien ini harus sinkron siklusnya dengan siklus berahi sapi donor.
Untuk itu dapat diberikan 1-2 kali penyuntikan PGF2α, dan tergantung dari keadaan
siklus berahi dari resipien itu sendiri. Perlu diperhatikan aplikasi PGF 2α pada resipien
harus diberikan 12 sampai 24 jam sebelum aplikasi PGF2α pada donor, karena berahi
pada donor akibat pemberian gonadotropin 24 jam lebih awal daripada resipien.
Penyimpangan ± 24 jam dari siklus berahi yang telah disinkronisasikan antara donor
dan resipien tidak menimbulkan perbedaa hasil transfer yang nyata.
Metode pemindahan embrio dulu dilakukan secara bedah pada resipien dalam
keadan berdiri setelah mendapat lokal anastesi. Dalam tahun-tahun terakhir ini telah
berkembang dengan pesat pemindahan embrio tanpa bedah, sehingga banyak tim TE
menolak metoda dengan bedah. Untuk pemindahan embrio tanpa bedah sering
digunakan alat transfer (transfer gun) model Hannover. Penggunaan kanul ini mirip
dengan penggunaan alat IB.

82
8.1.1.2. Rangkaian Sekunder
Pada tahun 1972 di Inggris telah berhasil usaha membekukan embrio hewan
menyusui. Embrio mencit berumur 4 hari telah dibekukan, ditransfer pada seekor
induk dan telah, tumbuh menjadi seekor mencit yang sehat. Begitu pula seekor anak
sapi pertama yang berasal dari embrio beku telah dilahirkan di Inggris. Dengan
lahirnya anak sapi dari embrio beku yang telah dicairkan dan ditransferkan secara
bedah berarti telah diperoleh metode pengawetan embrio dalam jangka panjang
melalui metode pembekuan.
Akan tetapi metode-metode yang tertulis dan telah dipublikasikan tentang teknik
pembekuan embrio hewan menyusui saat ini belum menunjukkan hasil yang
memuaskan. Yang banyak dicoba dengan teknik pembekuan adalah embrio dari
hewan laboratorium, misalnya mencit dan tikus. Embrio ini dapat merupakan model
dari suatu penelitian. Model penelitian ini pada garis besarnya ditinjau dari dua segi
yaitu, 1) finansial dan waktu, 2) dari segi bentuk anatomi dan fungsi fisiologis yang
mirip dengan embrio hewan besar seperti sapi. Sejak berhasilnya penelitian pertama
untuk membekukan embrio mencit, diusahakan dan dikembangkan metode
pembekuan melalui perubahan metode, untuk meningkatkan daya tahan hidup dari
embrio yang dibekukan dan untuk menyederhanakan seluruh proses dari metode
pembekuan embrio, terutama diarahkan untuk menciptakan metode yang matang dan
dapat diterapkan di lapang.
Pengawetan embrio melalui metode pembekuan, saat ini dapat dilakukan
dengan menggunakan berbagai teknik. Semua teknik pembekuan ini meliputi: adaptasi
embrio di dalam pemberian pelindung terhadap pengaruhpengaruh negatif pembekuan
baik sifat fisik maupun fisiologis sebelum proses, penyesuaian antara kecepatan
pembekuan dan pencairan serta pengenceran medium pembeku selama dan setelah
pencairan. Adanya kombinasi yang cocok antara medium pembeku dengan kecepatan
pembekuan dan pencairan serta pengenceran yang sesuai dari medium pembeku
setelah pencairan mempunyai arti penting di dalam meningkatkan daya tahan hidup
embrio yang telah dicairkan. Dari hasil pengalaman kerja beberapa peneliti (tim kerja
TE), dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan pembekuan embrio dapat merupakan
rangkaian primer TE dan tidak dapat dipisahkan dari rangkaian program TE.

83
Kalau dilihat dari hasil pembilasan, sel telur sapi yang telah diperoleh berkisar
antara 0 sampai 70 sel telur. Sampai saat ini belum ada orang yang dapat meramalkan
dan menentukan, beberapa jumlah embrio dapat terkoleksi dan dikemudian hari, pada
awal pemberian hormon untuk superovulasi, sehingga tidak dapat disiapkan dengan
pasti berapa jumlah resipien yang harus disediakan. Sesuai dengan rata-rata jumlah sel
telur yang umumnya dapat terkoleksi, biasanya dipersiapkan 10 ekor resipien dan hal
ini pun harus diperhitungkan berapa resipien yang benar-benar dapat dipakai sebagai
resipien (biasanya resipien dengan kualitas baik sekitar 5-6 ekor). Jika kita 46
mendapat sel telur melebihi dari jumlah resipien mau tidak mau kita harus
rnembekukannya.
Seperti telah diketahui bahwa pada umumnya pemilikan ternak sapi di Indonesia
merupakan peternakan sapi rakyat. Peternakan rakyat umumnya memiliki 3-4 ekor sapi.
Mereka hanya dapat mungkin menyediakan 1-2 ekor sebagai resipien. Di negara-
negara yang maju seperti Jerman Barat, sistem peternakan umumnya adalah
peternakan sapi perah sedang (sekitar 20-25 ekor sapi yang berlaktasi) dan mereka
dapat menyediakan resipien rata-rata 10 ekor.
Jika mereka dalam satu tahun menginginkan dilakukan dua kali program TE,
rnaka program pembekuan embrio merupakan program yang tidak dapat dielakkan
dalam pelaksanaan TE. Sehingga sampai saat ini hampir semua stasiun transfer yang
bergerak dalam bidang komersil, selalu menggunakan usaha pengawetan embrio
melalui metode pembekuan. pengawetan embrio dengan sendirinya merupakan bagian
integral dari program TE yang tidak dapat dipisahkan dalam kegiatan pelaksanaannya.
Angka hasil transfer dengan embrio beku sapi masih saja terletak 10%-20%
lebih rendah dari hasil transfer dengan embrio segar. Dengan adanya kemungkinan
pengenceran satu kali pada embrio beku yang telah dicairkan di dalam medium
pengencer yang mengandung sukrosa, telah mengarahkan pada penemuan baru
metode transfer untuk embrio beku. Metode ini dapat disebut metode satu tahap (one
step method) untuk transfer embrio beku. Embrio yang berada di dalam medium
pembeku yang mengandung glyserol dalam jerami plastik dibekukan dan dicairkan
bersama-sama dengan medium pengencer. Dengan jalan menggoyangkan jerami
plastik terjadi pencampuran antara medium pembeku yang berisi embrio dengan

84
medium pengencer. Setelah waktu tunggu tertentu, jerami plastik dimasukkan ke dalam
ujung transfer gun. Pelaksanaan transfer pada resipien berjalan tidak lebih lama
seperti pada IB.
Metode satu tahap untuk transfer embrio beku, memungkinkan dilakukannya
program TE di peternakan-peternakan sapi terutama di peternakan rakyat, karena
metode ini tidak banyak menggunakan peralatan laboratorium yang pada umumnya
sangat rumit. Selain itu embrio beku dapat dicairkan kapan, saja dalam waktu-waktu
tertentu, sesuai dengan tersedianya resipien, misalnya pada sapi yang mendapat
berahi alam. Dalam hal ini tidak perlu adanya sinkronisasi ataupun pengeluaran biaya
tambahan untuk penyuntikan PGF 2a untuk menimbulkan berahi pada resipien. Akan
tetapi sampai saat ini metode ini belum siap untuk dilakukan di lapang.
Untuk pembekuan embrio terdapat beberapa alat pembeku automatis yang
terkendali oleh komputer. Peralatan ini tersedia di pasaran (luar negeri) yang harganya
cukup tinggi. Alat pembeku ini juga memerlukan nitrogen cair dalam kerjanya
membekukan embrio. Ada juga peralatan yang ditawarkan di pasaran, harganya cukup
memadai dan bekerja dengan sistem lemari es. Alat ini memerlukan alkohol dalam
kerjanya. Sampai saat ini belum memungkinkan untuk mengambil penilaian akhir
terhadap kedua jenis alat ini. Beberapa peneliti lain mencoba membekukan embrio
mencit, dengan metode untuk pembekuan sperma sapi, tanpa menggunakan peralatan
tersebut di atas dan hasilnya adalah sama. Berdasarkan data yang ada timbul
pendapat, bahwa perkembangan di bidang pembekuan embrio belum tertutup. Paling
tidak pengawetan embrio melalui metode pembekuan akan terus memberikan impuls
terhadap pelaksanaan TE, terutama di dalam pembentukan bank-bank embrio dan juga
penyediaan bahan genetik (reservasi gen) yang dalam kebutuhan dapat djperoleh atau
tersedia dengan cepat.
Dalam pelaksanaan rutin TE di lapangan, secara praktis kadangkala terjadi,
bahwa jumlah embrio yang terkoleksi lebih kecil dari jumlah resipien yang tersedia.
Misalnya dari suatu pembilasan diperoleh 2 embrio, sedangkan telah tersedia 6 ekor
resipien. Secara teoritis selain mentransfer 2 embrio segar dapat juga mentransfer 4
embrio beku. Jalan pemecahan lain yang merupakan alternatif yang dapat dipakai
yaitu dengan jalan membagi dua embrio menjadi empat. Metode ini disebut bedah

85
mikro atau mikromanipulasi untuk memproduksi kembar identik. Paling sedikit masih
dapat dimanfaatkan sisa dari resipien yang tidak ditransfer dan telah tersedia.
Teknik untuk produksi kembar identik termasuk dalam metode mikromanipulasi.
Untuk tujuan ini dipergunakan mikromanipulator. Sejak tahun 1988 metode ini sudah
dilakukan untuk memproduksi anak sapi kembar identik dalam program TE komersil.
Pelaksanaan operasi pembelahan embrio dilakukan dengan penuh konsentrasi,
ketelitian dan keterampilan yang tinggi, untuk menghindari kerusakan atau matinya
embrio yang mempunyai nilai genetik tinggi. Selain harga manipulator yang mahal, juga
diperlukan pendidikan khusus dalam penguasaan teknik ini oleh operator.
Mikromanipulasi ini sebaiknya dilakukan oleh seorang operator yang terampil dan
terbiasa menggunakan alat ini. Perubahan pasangan alat atau pecahnya jarum gelas
akan memakan waktu yang lama dalam menyelesaikan operasi pembelaan embrio.
Untuk penghematan waktu biasanya alat ini hanya dioperasikan di laboratorium saja,
jarang operasional dibawa ke lapangan, Pada umumnya alat ini masih digunakan untuk
keperluan penelitian, sedikit sekali untuk tujuan komersil.
8.1.1.3. Program TE sebagai Faktor Komplemen Program IB
Jika ditinjau ke belakang, pertama kali program IB dijalankan di tahun
limapuluhan, telah banyak memberantas penyakit menular dan sekaligus meningkatkan
produksi ternak. Hal ini sangat mendukung tersedianya bahan pangan yang berasal
dari hewan untuk penduduk dan menunjang kesehatan masyarakat. Jaminan
pengamanan makanan dan pemeliharaan kesehatan masyarakat merupakan latar
depan dari penelitian metode-metode baru reproduksi.
Disamping kemungkinan-kemungkinan penggunaan praktis TE telah banyak
membawa pengetahuan-pengetahuan i1miah di bidang biologi reproduksi.
Pertumbuhan set telur, peristiwa pembuahan dan perkembangan sigot dalam minggu
pertama setelah pembuahan pada hewan menyusui banyak menunjukkan kesamaan-
kesamaan biologi, karenanya dapat dilakukan penelitian pada hewan laboratorium
sebagai model penelitian dan merupakan pembanding yang mempunyai arti penting.
Dalam kaitan ini dapat kita simak, bahwa pembuahan in vitro yang berhasil pada sel
telur manusia dan dilanjutkan dengan transfer adalah baru dimungkinkan oleh
penelitian-penelitian terdahulu oleh peneliti-peneliti dari bidang kedokteran hewan.

86
Pada tahun 1992, di dunia telah lebih dari 300 bayi dilahirkan dari tindakan terapeutis
kedokteran, sering sumbangan i1mu pengetahuan dari kedokteran hewan terlupakan.
Di negara-negara yang sudah berkembang, TE merupakan kegiatan rutin dalam
pengembangan industri peternakan. Organisasi pelaksanaan TE merupakan kerja
sama antara tim TE, stasiun IB, persatuan peternak setempat dan dokter hewan
daerah. Tim TE ini umumnya merupakan pegawai dari stasiun IB setempat atau
kadangkala dari kalangan perguruan tinggi. Akhir-akhir ini dokter-dokter hewan swasta
pun mencoba membuka praktek TE.
Ternak sapi yang akan disuperovulasi, merupakan ternak sapi bibit yang
mempunyai nilai mutu genetik unggul dan terbaik dari persatuan peternak setempat.
Jika tidak, keturunannya tidak akan diakui. Superovulasi, sinkronisasi resipien dan IB
pada donor biasanya dilakukan oleh dokter hewan daerah, sedangkan pembilasan,
koleksi dan evaluasi, transfer dan pembekuan embrio dilakukan oleh tim TE. Tim TE ini
sebenarnya berfungsi sebagai otak penggerak yang mengorganisasi dari seluruh
proses pelaksanaan TE. Jika ditelaah lebih lanjut, bahwa pelaksanaan TE tidak
terlepas dari kegiatan IB; TE ini akan menjadi kegiatan rutin dan bukan kegiatan sesaat
jika dimasukkan ke dalam kegiatan rutin IB. Dari segi pelaksanaan, TE mirip
pelaksanaan IB, bahkan stasiun IB sudah memiliki peralatan, bahan dan personel yang
terampil.
Untuk mendapatkan bukti yang dapat dipertanggungjawabkan, keturunan sapi
hasil TE harus menjalani pemeriksaan darah. Dari hasil test darah dapat ditentukan
dengan pasti asal-usul yang pasti dari keturunan tersebut. Test darah ini dilakukan oleh
laboratorium tertentu dari suatu perguruan tinggi.
Banyak sudah penelitian-penelitian tentang TE sejak puluhan tahun belakangan
ini baik yang dilakukan di negara-negara tropis maupun sub tropis, yang telah
dipublikasi. Untuk pelaksanaan TE di negara yang sedang berkembang, dapat
digunakan metode-metode yang telah rutin dijalankan. Transfer teknologi TE ini harus
disesuaikan dengan bentuk industri peternakan setempat dan berkembang saat ini.
Dalam konteks tersebut tidaklah perlu dilakukan penelitian-penelitian awal lagi tentang
TE. Biaya yang ada untuk penelitian dapat sekaligus dijalankan bersama-sama
kegiatan rutin dari suatu stasiun IB. Adalah sangat disayangkan bila suatu kegiatan

87
berhenti karena masa kerja penelitian telah berakhir. Salah satu alternatif yang
mungkin dijalankan adalah memasukkan kegiatan TE ini dalam kegiatan IB; karena ke-
giatan IB yang rutin telah menyebar luas, terutama seluk beluk sistem pengembangan
IB ini telah dikuasai oleh stasiun-stasiun IB daerah, dengan perkataan lain TE menjadi
program komplemen dan lanjutan dari program pelaksanaan IB.
8.2. Endokrinologi Dan Superovulasi Ternak Sapi
Kompetensi Akhir : Setelah mempelajari isi pokok bahasan ini, mahasiswa
mampu menjelaskan aspek-aspek endokrinologi dan superovulasi donor dalam
kegiatan TE, menjelaskan dan menyiapkan berbagai media baik untuk
pembilasan maupun media untuk transfer embrio serta menjelaskan dan
mengetahui prosedur tahapan pelaksanaan pemilihan donor, pemeliharaan
kesehatan donor, dan superovulasi pada donor.
Didalam tubuh terdapat suatu kelenjar yang tidak memiliki alveoli dan
pembuluh penyalur disebut kelenjar endokrin. Sel-sel khusus didalam kelenjar
endokrin dapat menghasilkan zat organik yang dirembeskan kedalam peredaran
darah dalam jumlah sangat kecil dan dapat merangsang sel-sel tertentu untuk
berfungsi. Zat organik yang diproduksi dan disekresikan oleh kelenjar endokrin
disebut hormon sedangkan organ lain yang sel-selnya dirangsang oleh hormon
untuk berfungsi disebut target organ.
Kelenjar endokrin yang memiliki fungsi utama mengontrol proses
reproduksi dan menjamin kesinambungan pelestarian keturunan individu disebut
endokrin reproduksi. Kelenjar endokrin yang termasuk kedalam golongan
kelenjar endokrin reproduksi diantaranya hipotalamus, hipofisis, gonad (testes
dan ovaria) dan plasenta. Secara kolektif kelenjar-kelenjar ini bekerja sama
secara konser dan membuat suatu putaran interkoneksi (interconnecting loop)
yang dikenal sebagai poros hipotalamohipofisagonadal (hypota/
amopituitarygonadal axis).
Pengaturan fungsi endokrin melalui peredaran darah disebut pengaturan
humoral yang mencakup pengaturan sintesa, produksi dan penambahan atau
sebaliknya mengurangi atau menghentikan sama sekali sekresi hormon. Proses ini
disebut umpan bank (feed back mechanism). Jika sekresi hornon meningkat disebut

88
umpan balik positif, tetapi jika sekresi hormon dihambat disebut umpan balik
negatif.
Kelenjar hipofisis anterior mensekresi follicle stimulating hormone (FSH),
luteinizing hormone (LH), prolactin (PRL) dan beberapa macam hormon lainnya.
FSH dan LH bertungsi merangsang pertumbuhan dan pematangan folikel serta
menstimulir ovulasi, sedangkan PRL diantaranya mengatur laktasi. Kelenjar
hipofisis sering disebut master gland, tetapi saat ini dapat dibuktikan hahwa
hipofisis merupakan pembantu hipotalamus yang melaksanakan perintah-perintah
yang diberikan oleh hipotalamus.
Hipofisis anterior melalui suatu jaringan pembuluh-pembuluh darah yang
disebut system porta pembuluh darah dihubungkan dengan eminentia mediana
dari hipotalamus. Releasing Factor (RF) yang disekresii oleh neuron-neuron
hipotalamus melalui sistem porta ditranspor ke sel-sel hipofisis anterior. Dalam
siklus kelamin FSH-RF dan LH-RF juga disebut sebagai Gonadotropin Releasing
Hormone (GnRH) yang memiliki rumus kimia dekapeptide. FSH-RF dan LH-RH
dapat merangsang pelepasan sekresi FSH dan LH oleh hipofisis anterior.
Gonadotropin FSH dan LH memiliki target organ ovarium. Sekresi FSH
terjadi secara ritmis selama empat sampai lima hari sebelum berahi. Menjelang
fase luteal berakhir konsentrasi FSH dalam plasma meningkat dan secara sinergis
dengan LH akan merangsang pertumbuhan folikel, dan dalam waktu dua sampai
empat hari kemudian, folikel akan mencapai stadium folikel tertier yang matang
dan siap ovulasi (folikel de Graaf). Selama interval waktu yang pendek tersebut,
dibawah pengaruh FSH dan estradiol 17 beta (E 2), timbul pembentukan reseptor-
reseptor untuk kedua macam hormon tersebut pada sel-sel granulosa folikel dan
pada saat yang bersamaan juga terjadi induksi pembentukan reseptor untuk LH.
Sel-sel teka interna folikel membentuk estrogen C 19-steroid dibawah
pengaruh LH, yang didalam sel-sel granulosa dibawah pengaruh FSH dillbah
menjadi estrogen C18-steroid. Dengan meningkatnya produksi E 2 akan menstimulir
sekresi LH. Tampaknya LH akan saling mempengaruhi secara timbal balik dengan
produksi E2. Pada saat tersebut respons reseptor LH dan E 2 akan menurun bahkan
respons reseptor FSH hilang sama sekali. Reaksi ini menyebabkan pertumbuhan

89
folikel terhenti. Dalam waktu bersamaan, LH menginduksi pembentukan reseptor
untuk PRL dan juga terjadi awal proses luteinisasi sebelum ovulasi. PRL
menginduksi kembali reseptor LH didalam jaringan luteal, dalam jangka waktu 48
jam.
Dari hasil penelitian akhir-akhir ini dapat diperlihatkan bahwa folikel
preovulasi mensekresi suatu hormon yang disebut inhibin. Sekresi FSH dari
hipofisis anterior dapat dihambat oleh inhibin. Jadi jika ada folikel yang
berkembang menjadi matang, akan terjadi penghambatan sekresi FSH melalui
mekanisme ini sehingga tidak ada perkembangan dan pertumbuhan dari folikel
yang lainnya.
Dalam folikel preovulasi, hubungan sel antara ovum dengan sel-sel kumulus
dan diantara sel-sel kumulus terdiri dari gap junction yang akan putus karena
pengaruh LH. Sel-sel kumulus sekitar ovum dapat menghasilkan
plasminogenaktifator yang berperanan penting pada proses rupturnya folikel waktu
ovulasi.
Kesinambungan produksi progesteron oleh korpus luetum tidak tergantung
pada PRL akan tetapi tergantung dari LH level. Konsentrasi dasar LH dalam
plasma sekitar 1.0 ng/ml. Selama fase luteal, sekresi FSH berjalan terus dengan
fluktuasi ritmis dan menimbulkan suatu gelombang pembentukan pertumbuhan
folikel bahkan dapat dilihat pada grafik fluktuasi pembentukan pertumbuhan folikel
bahkan dapat dilihat pada, grafik fluktuasi plasma E2. Konsentrasi progesteron
menghambat pelepasan sekresi LH, meskipun kadang-kadang terjadi sedikit
kenaikan konsentrasi LH pada pertengahan siklus kelamin. Biasanya folikel yang
tumbuh di pertengahan siklus kelamin ini disebut parasiklus folikel. Parasiklus
folikel ini tidak dapat diovulasi, bahkan sebaliknya akan berdegenerasi dan
menjadi folikel atretik, karena kekurangan reseptor-reseptor FSH, LH dan E 2
sehingga tidak ada stimulasi yang definitif.
Jika proses kebuntingan tidak terjadi, endometrium akan menghasilkan PGF 2α
karena tidak ada hambatan dari tropoblast. Dari sini PGF 2α masuk kedalam pembuluh-
pembuluh vena uterus yang beberapa sentimeter sebelum bermuara di V. cava
caudalis berjalan paralel, berhimpitan dan kontak dengan arteri-arteri ovaria. Pada

90
trayek yang bersinggungan ini terjadi pertukaran PGF 2α dari V. uterina kedalam A.
ovarica melalui mekanisme "counter current" sehingga terjadi potong kompas
menghindari sirkulasi umum dari peredaran darah, langsung dapat mencapai ovaria
dan menyebabkan korpus luteum regresi. PGF 2α mempunyai aktifitas kerja luteolisis.
Proses ini terjadi sekitar 17 hari setelah estrus dan ditandai dengan penurunan
konsentrasi progesteron dengan tajam. Blokade pelepasan sekresi GnRH oleh
progesteron secara tidak langsung dinetralisir oleh luteolisis PGF 2α dan siklus berlanjut
dengan fase folikuler berikutnya.
Panjang siklus kelamin sapi berkisar dari 18-24 hari (21 hari). Setiap selang
waktu siklus, level hormon reproduksi dalam plasma darah naik dan turun sesuai
dengan pola regular dan tetap (mengikuti ritme dan fluktuasi yang regular). Pola
tersebut merupakan hasil dari sejumlah interaksi diantara organorgan endokrin dan
hormon-hormonnya. Peningkatan level suatu hormon dapat menstimulir atau
sebaliknya menghambat produksi salah satu atau lebih dari hormon lainnya.
Suatu aspek yang penting dari endokrinologi reproduksi ternak sapi adalah
superovulasi. Setiap satu siklus kelamin sapi hanya mengovulasikan satu ovum.
Beberapa puluh tahun yang lalu, telah ditemukan bahwa aplikasi hormon dengan
aktifitas seperti FSH akan menstimulir pertumbuhan dan pematangan beberapa folikel
pada ovarium, sehingga dapat terjadi ovulasi dalam jumlah yang besar. Preparat
hormon yang paling umum digunakan untuk menginduksi respon superovulasi adalah
ekstrak hipofisis dari babi atau domba yang berisi FSH dan equine chorionic
gonadotropin (eCG), suatu hormon dengan aktifitas seperti FSH yang diperoleh dari
serum kuda bunting.
Sejumlah metode yang berbeda telah berhasil digunakan untuk superovulasi
sapi. Secara umum, aplikasi hormon superovulasi dimulai empat sampai lima hari
sebelum onset estrus yang diharapkan (Hofmann, 1981). Superovulasi dengan eCG,
hanya diperlukan satu kali suntikan, karena waktu paruhnya (half life), yaitu yang
dibutuhkan sampai konsentrasi menjadi separuh dari konsentrasi semula, cukup lama.
Waktu paruh eCG pada sapi sekitar dua sampai lima hari (Allen dan Stewart, 1978).
FSH memiliki waktu paruh yang pendek, sehingga perlu penyuntikan berulang selama
periode superovulasi. PGF2α dapat dipakai dalam lanjutan superovulasi supaya dapat

91
menentukan secara tepat waktu estrus. Tipe skema superovulasi pada ternak sapi
yaitu dimulai penyuntikan FSH mulai 9 hari sampai 13 hari setelah estrus dan
menyuntik PGF2α pada hari ke empat dari FSH program. Sapi diharapkan estrus dalam
jangka waktu 36 sampai 60 jam kemudian.
8.2.1. Persiapan dan Penyediaan Media
Dalam pelaksanaan program TE secara menyeluruh ada beberapa tahapan
kerja yang dilakukan diantaranya pemanenan embrio, isolasi dan evaluasi embrio,
pemindahan embrio, penyimpanan embrio baik dalam jangka pendek maupun jangka
panjang. Kegiatan-kegiatan ini memerlukan berbagai macam, media, misalnya pada
saat pemanenan embrio diperlukan medium pembilas untuk membilas bagian saluran
kelamin yang mengandung ova atau embrio supaya dapat dikeluarkan dan dikoleksi,
begitu juga pada waktu pemindahan embrio ke resipien diperlukan medium transfer
atau pada proses penyimpanan embrio jangka panjang dengan cara pembekuan
(long storage cryopreservation) diperlukan medium krioprotektan. Media-media ini
mempunyai komposisi bahan yang disesuaikan dengan tujuan dari kegiatan yang
bersangkutan.
Pada prinsipnya media yang digunakan ini merupakan simulasi dari cairan
fisiologis alamiah tempat tinggal embrio di dalam saluran reproduksi hewan betina.
Secara garis besar media memiliki fungsi mekanis, fisik dan biokimiawi. Ketiga fungsi
ini harus memberikan lingkungan yang optimal untuk menjamin, kelangsungan hidup
(viabilitas) embrio dan dapat berkemhang secara in vitro.
Media buatan yang merupakan simulasi dari cairan fisiologis alamiah embrio disebut
media sintetis. Walaupun puluhan tahun penelitian telah dilakukan untuk memperoleh
media sintetis yang menyerupai media alam, sampai saat ini usaha· tersebut belum
berhasil.
Media sintetis yang optimal harus memiliki komposisi yang terdiri dari beberapa
faktor diantaranya, garam anorganik dan ion, osmolaritas, pH, substrat energi, protein
dan asam-asam amino, makromolekul, vitamin dan mineral (trace element) (Kane,
1978). Media sintetis merupakan tempat perkembangbiakan mikroorganisme yang
dapat merubah lingkungan media, bahkan dapat mengganggu secara langsung pada
embrio sehingga perkembangan embrio in vitro terhambat. Untuk mengatasi hal ini

92
perlu penambahan antibiotik atau antimikotik. Antibiotik yang dipakai dapat bersifat
bakteriostatik ataupun bakterisid, akan tetapi tidak menimbulkan efek negative baik
berupa kerusakan mekanis atau mengganggu metaholisme embrio. Selain media
sintetis bebas dari kontaminan mikrooragnisme, juga harus bebas dari kontaminan
kimia organik maupun anorganik (kaporit, detergen). Untuk pelarut bahan-bahan
komposisi media gunakan air murni bebas mineral terlarut, bebas pirogen, bebas
mikroorganisme dan bebas partikel. Seandainya jenis air tersebut tidak ada gunakan
air yang telah disuling berulang-ulang misalnya aquatridest.
Media yang dipakai dalam kegiatan TE pada ternak sapi pada umumnya adalah
PBS yang dapat dimodifikasi sesuai dengan tujuannya, misal modifikasi menurut
Whittingham atau Whitten. PBS ini dapat dibeli dalam bentuk jadi, yang dikemas secara
komersil. Larutan PBS dapat pula diramu atau dibuat sendiri.
Bahan-bahan susunan PBS adalah sebagai berikut:
Komponen I

NaCl 8000 mg/l


KCl 200 mg/l
MGCl2.6H2O 100 mg/l
CaCl2 (anhydrous) 100 mg/l
Komponen II
Na2HPO4.12H2O 1000 mg/l
Na2H2PO4 150 mg/l
K2.H2 PO4 200 mg/l
Bahan-bahan modifikasi yang dapat ditambahkan kedalam larutan PBS
Komponen III
Glukose 1000 mg/l
Na-pyruvat 36 mg/l
Komponen IV (Antibiotik atau Antimikotik)
Penisilin 20 mg/l
Streptomisin SO4 40 mg/l
Menyediakan bermacam-macam anti-biotik merupakan suatu tindakan yang

93
tepat. Kadang-kadang terjadi resistensi mikroorganisme terhadap streptomisin dan
penisilin. Alternatif yang paling baik adalah menggantinya dengan antibiotik yang lain
misal gentamisin (50 mg/l). Kontaminasi fungi juga dapat terjadi, untuk mengatasi hal ini
dapat diberi antimikotik (fungizone) amphotericin B (5-10 mg/l) atau mycostatin (100
mg/l). Pemberian antimikotik anti fungal ini jarang dipakai, karena sifatnya yang toksik.
Antibiotik lain yang mungkin dapat dipakai diantaranya (masih perlu pengkajian): tylosin
tartrat, neomycin, kanamycin, novobiocin dan mycostatin. Kanamycin juga dapat
dipakai untuk mencegah kontaminasi mycoplasma (0,3 mikron).
Pelarut yang dipakai adalah air yang telah dideionisasi dan didestilasi (deionized-
distilled water). Air yang telah dideionisasi sebaiknya didestilasi dua kali, kemudian
dipurifikasi sehingga diperoleh air dengan resistensi final 18 megaohm/cm. Jika jenis air
ini tidak dapat diperoleh, dapat dipakai aquabidest.
Pembuatan medium PBS yang dimodifikasi adalah sebagai berikut:
a) Komponen I larutkan dalam 350 ml air
b) Komponen II larutkan dalam 350 ml air
c) Larutan I dan II campurkan
d) Tambahkan komponen III keda!am campuran larutan I dan II
e) Campuran komponen I, II, dan III ditambah air sampai dengan satu liter
f) Saring dengan filter membran selulosa dengan pori-pori 0,2 mikron
g)Tambahkan komponen IV kedalam media yang telah disaring
Media yang telah selesai dibuat kemas kedalam botol-botol steril dalam satuan satu
liter. Diberi label secukupnya dan disimpan di refrigerator pada temperature 4-8 oC.
Penyimpanan ini sebaiknya tidak lebih dari dua minggu.
Media yang akan dipakai sebaiknya selalu dalam keadaan segar, atau baru
dibuat. Sebelum pemakaian, media diberi serum dari fetal sapi yang telah diinaktifkan
(heat inactivated Fetal Calf Serum). Untuk media pembilas, larutan PBS diberi satu
persen h.i. FCS, sedangkan media transfer diberi 20% h.i. FCS. Media yang telah jadi
ini harus memiliki pH 7,2-7,4 dengan osmolaritas 280 mosmol.

94
8.3. Prosedur dan Pelaksanaan Transfer Embrio

8.3.1. Pemilihan Donor


Dalam pemilihan dan penentuan seekor ternak untuk dijadikan donor haruslah
memiliki beberapa kriteria seleksi. Nilai seekor donor akan tergantung dan sesuai
dengan konsep seleksi donor dari suatu sistem baku penilaian yang berbeda. Ternak
sapi secara intristik bernilai dari daging, susu, dan produk lain yang dihasilkannya,
selain itu dapat pula dipengaruhi oleh situasi pasar. Dimasa lalu dan sampai saat ini,
kelangkaan dan promosi memberikan nilai tambah atau pengaruh yang positif terhadap
harga pasar daripada nilai genetik dari ternak itu sendiri. Seharusnya nilai genetik
(kemampuan untuk menurunkan sifat-sifat yang diinginkan pada ternak) merupakan
pertimbangan atau kriteria yang terpenting .
Sampai saat ini, TE secara ekonomis hanya layak untuk sapi bibit unggul,
meskipun biaya pelaksanaan telah tereduksi secara nyata dengan adanya kemajuan-
kemajuan dalam beberapa metoda TE seperti teknik pemanenan dan pemindahan
embrio tanpa bedah, angka kebuntingan yang naik dalam teknik pengelolaan embrio
beku.
Saat ini bibit unggul yang elite dan top 10% dari populasi, secara ekonomis
dapat dijadikan sebagai donor. Untuk mendapat donor yang terbaik, digunakan konsep
seleksi yang didasarkan pada tiga kriteria pokok, yaitu 1) memiliki genetik unggu!
(genetic superiority) 2) memiliki kemampuan reproduksi (reproductive ability) 3)
pemasaran keturunannya memiliki nilai pasar (market value of progeny). Keunggulan
genetik penting karena merupakan tujuan dasar dari TE yaitu meningkatkan kontribusi
gen yang unggul dari pihak induk sapi dengan sejarah reproduksi yang baik seperti
beranak teratur dan tidak pernah mengalami kesulitan melahirkan. Akhirnya nilai pasar
mempunyai peranan yang berarti jika biaya program TE paling sedikit dapat diatasi
oleh harga pasar dari keturunannya. TE merupakan bisnis yang mahal dan banyak
peternak penghasil embrio tidak mampu menjalankan program TE dengan donor-donor
tertentu yang keturunannya kelak memiliki prospek penjualan yang lebih rendah
daripada keuntungan yang diharapkan.
Ditinjau dari sudut kriteria keunggulan genetik, Induk sapi potong yang akan
dijadikan donor, diperlukan pengukuran mengenai sifat-sifat maternal breeding value,

95
weaning breeding value dan yearly breeding value. Pengukuran sifat-sifat tersebut
diarahkan untuk menghasilkan rata-rata pertumbuhan pre dan pasca penyapihan lebih
besar serta menghasilkan lebih banyak daging pejantan sapi pedaging secara obyektif
menentukan keunggulan genetik nilai prestasi induk dari penjantan bibit.
Untuk menentukan sapi perah sebagai donor diperlukan data keunggulan
genetik melalui :
Cow index (CI)
Index ini meliputi performance ternak sapi itu sendiri, prakiraan prestasi
(predicted difference) dari bapaknya dan CI dari induk sapi tersebut. CI ini di Amerika
dihitung oleh United States Department of Agriculture (USDA) pada test resmi, dan
ternak harus memiliki nomor registrasi yang sah. Sapi elite Holstein yang dapat
dijadikan kandidat potensial adalah sapi dengan CI + 800 Ibs susu (99%) dapat juga
dengan index + 300 Ibs susu (90%). Sekarang peringkat CI berdasarkan produksi susu
diganti dengan CI berdasarkan peringkat jumlah produksi susu yang dikonversi
kedalam satuan uang (dolar). Ternak sapi dengan peringkat 90% (top 10% breed)
memiliki CI $38 atau lebih tinggi. Jika sapi tadi berperingkat top 1 % dari Holstein, maka
ternak tadi akan memiliki CI $96. USDA menggunakan tingkat penyaringan (screening
level) untuk menentukan sapi elite. Sapi terpilih harus memiliki prestasi rata-rata·
bangsa, atau lebih tinggi untuk persentase lemak susu, persentase protein dan atau
persentase solids non fat (SNF).
Ternak sapi yang terpilih sebagai donor direkomendasikan telah mengalami fase
laktasi sekali dan lebih disukai dua kali atau lebih. Semakin lengkap data yang
diperoleh dari donor dan induknya, semakin akurat angka CI, karena angka
pengulangan (repeatability) meningkat.
Keserasian Tipe
Donor harus memiliki keserasian tipe yang tinggi, lebih disenangi memiliki score
85 atau lebih. Direkomendasikan juga sebaiknya sapi berumur lebih dari 5 tahun dan
diklasifikasikan sekali setelah 5 tahun karena score terse but permanent. Kelenjar susu
(mammary system) harus sangat baik atau lebih baik dan memiliki score penilaian
linear diatas 30. Donor harus memiliki score linear 20-30 untuk kaki dan bagian
belakang. Semakin tinggi score seluruh klasifikasi, semakin banyak kode linear score

96
ideal kategori (Thompson et al., 1983) maka transmisi genetik untuk keserasian tipe
akan semakin kuat. Parameter untuk beberapa sifat yang digunakan dalam sistem
linear untuk program klasifikasi bangsa atau sistem score dari organisasi AI adalah
sebagai berikut :
8.3.2. Kesehatan dan Makanan
Donor yang potensial harus dalam keadan sehat. Ternak sapi yang kurang sehat
biasanya tidak berespons terhadap superovulasi, karena sistem reproduksi sangat
sensitif terhadap gangguan dalam fungsi tubuh secara umum. Di beberapa negara,
sesuai dengan peraturan kesehatan hewan yang berlaku, donor harus divaksinasi
misalnya dengan infectious bovine rhinotracheitis (IBR), bovine diarrhea (BVD),
parainfluenza III (PI3), penyakit Klostridia atau leptospirosis. Kesehatan populasi ternak
juga dilindungi melalui peraturan karantina yang ketat, test darah dan vaksinasi.
Programkesehatan ternak harus memenuhi persyaratan dan peraturan yang berlaku.
Sebagai tambahan, pelaksanaan TE haruslah familiar dengan regulasi penggolongan
tipe darah dari suatu ras ternak, pejantan dan keturunan yang dihasilkan. Data tersebut
haruslah diinformasikan kepada peternak pemilik donor. Umumnya persatuan peternak
pemilik donor menghendaki identifikasi donor dengan tato dan atau surat keterangan
(registration paper) sebelum TE dilaksanakan.
Baik obesitas maupun kondisi ternak yang jelek akan menurunkan tingkat
kesuburan. Karenanya donor harus diberi makan untuk memperoleh atau sebaliknya
menurunkan berat badan supaya mendapatkan kondisi tubuh yang optimum. Air bersih
dan segar, garam mineral pelengkap dan konsentrat harus tersedia.
Donor harus mendapat rasio ransum yang baku. Beberapa donor memerlukan
makanan yang agak berlebihan, sedangkan yang lainnya memerlukan pengurangan
makanan. Ternak yang tua, penakut dan yang lemah sebaiknya dikandangkan terpisah.
Nutrisi ternak dimonitor secara cermat. Induk dan pedet dikandangkan bersama dan
memperoleh makanan setiap saat.
8.3.3. Penentuan dan Penetapan Siklus Kelamin Donor
Penentuan estrus merupakan faktor kunci keberhasilan TE. Siklus kelamin donor
dikatakan akurat jika program superovulasi yang dijadwalkan sesuai dengan estrus
yang diantisipasi. Siklus kelamin normal memiliki keteraturan dalam interval panjang

97
siklus. Jika interval siklus kelamin bervariasi, pemberian hormon superovulasi yang
ceroboh akan menyebabkan tidak sinkron dengan pola hormonal sapi normal. Dengan
perkataan lain, jika siklus kelamin abnormal program superovulasi dapat gagal.
Prediksi tipe siklus kelamin donor adalah sangat penting, paling sedikit satu
siklus kelamin normal harus diamati sebelum donor masuk program superovulasi.
Transportasi dapat merubah siklus kelamin seeara temporer, makanan dan kondisi
manajemen yang berbeda dapat merubah data estrus terdahulu, meskipun data
tersebut berguna akan tetapi tidak dapat digunakan sebagai pedoman tindakan awal
dari superovulasi. Jika terjadi ketidakteraturan siklus kelamin, donor harus dimonitor
lebih lama lagi dan pemeriksaan lengkap dibuat untuk menentukan penyebab
abnormalitasnya. Beberapa donor dapat dibandingkan bersama. Siklus kelamin tidak
dapat dimonitor selama periode karantina tanpa adanya ternak pelacak berahi (teaser
animal).
Superovulasi Donor
Ternak sapi termasuk hewan menyusui unipara, poliovulasi maupun kelahiran
kembar jarang terjadi. Selama masa produktivitasnya setiap induk sapi rata-rata
melahirkan empat ekor pedet, walaupun pada ternak sapi dewasa kelamin jumlah
folikel primer di kedua ovaria sekitar 100.000. Reservoir oosit ini begitu besarnya dan
tidak pernah atau belum dapat digunakan secara maksimal. Banyak usaha melalui
metoda-metoda biologis untuk memobilisasi potensial berupa oosit dalam kedua
ovaria untuk dikonversi menjadi pedet.
Pada masa kini dengan menggunakan metoda bioteknik telah berhasil
memobilisasi potensi oosit dan meningkatkan daya gunanya, walaupun usaha ini
belum membuahkan hasil konversi yang maksimal. Salah satu metoda biologis yang
telah digunakan dalam usaha meningkatkan jumlah ovulasi untuk memperoleh hasil
berupa ova yang fertil, viabel dengan jumlah yang lebih banyak dari jumah ova yang
diovulasikan secara alam. Mobilisasi oosit sering mendapat sebutan ilmiah dengan
stimulasi atau superovulasi. Pemberian hormon gonadotropin eksogen akan
menimbulkan proses pertumbuhan, perkembangan, pematangan dan ovulasi dari
sejumlah besar folikel ternak sapi. Superovulasi dapat dilakukan melalui beberapa cara
yang berbeda, diantaranya perbedaan dalam pemberian dosis, preparat dan prosedur

98
pelaksanaannya.
Pada waktu lahir kedua ovaria pedet mengandung seribu kali lebih banyak oosit
daripada oosit yang akan matang dan diovulasikan. Folikel-folikel dengan oosit yang
dikandungnya secara tetap dan berkesinambungan mengalami degenerasi selama
aktivitas reproduksi seekor ternak. Folikel yang berdegenerasi ini akan menjadi folikel
atretik. Proses ini secara rutin biasanya terjadi pada pertengahan siklus kelamin yaitu
antara D8-D12 atau stadium bifase. Pada pertengahan siklus kelamin biasanya
tumbuh beberapa folikel dengan diameter lebih kecil dari 5-8 mm. Folikel-folikel ini
disebut parasiklus folikel yang tidak dapat ovulasi tetapi akan berdegenarasi dan
menjadi atretik. Parasiklus folikel ini dapat ovulasi jika diberi hormon eksogen.
Parasiklus folikel yang tadinya tidak dapat matang dan ovulasi, potensi biologisnya
dengan superovulasi akan dikembangkan dan ditingkatkan.
Mekanisme kerja hormon superovulasi masih belum jelas, tetapi mungkin
mengembalikan viabilitas beberapa folikel dari degenerasi. Hormon gonadotropin yang
disuntikkan selama fase luteal dalam suatu siklus kelamin akan menstimulir
pematangan sejumlah besar folikel. Pemberian hormon tersebut harus dimulai
sebelum level progesteron menurun (Chupin dan Procureur, 1982, Greve et al., 1984).

Sebelum superovulasi dimulai, siklus kelamin donor harus diamati paling sedikit
satu siklus normal. Jika panjang interval siklus kelamin tidak teratur atau abnormal,
pengamatan dilakukan lebih lanjut dalam siklus-siklus berikutnya. Jika panjang siklus
agak tidak teratur, harus dilakukan pemeriksaan ginekologis yang lengkap untuk
mengetahui apakah terdapat hal-hal patologis dari saluran reprocluksi.
Dalam dekade tahun 1970-an, hormon standar untuk superovulasi adalah eCG,
dan sampai saat ini masih banyak digunakan di banyak negara dengan nama eCG.
Diawal 1980, ada beberapa tim TE yang menggunakan hMG untuk superovulasi pada
sapi. Hasil yang ditimbulkan oleh hMG adalah baik, akan tetapi pemakaian praktis di
lapangan secara ekonomis belum layak dan secara teknis pelaksanaan masih sedikit
rumit karena waktu paruhnya (half life) yang pendek (Critser, et al., 1982, Lauria, et al.,
1982). Sebagai tandingan di kelas yang paralel adalah FSH. Superovulasi dengan
FSH menghasilkan lebih banyak corpora lutea dan viabel embrio, daripada eCG.
Selain itu eCG menimbulkan respons yang sangat bervariasi pada seekor ternak sapi

99
walaupun dosis yang diberikan identik. Beberapa ternak sapi tampak tidak berespons
(refractory) setiap saat pemberian eCG, yang lainnya kadang-kadang berespons
(refractory intermittenly) dan sebagian lain lagi responsnya berkelebihan (over
respons) disertai pembesaran ovarium sampai ukuran kepalan tangan atau ukuran
jeruk. Respons dengan 20-30 ovulasi pada sebuah ovarium adalah spektakuler, tetapi
jarang diperoleh embrio yang viabel atau kualitas embrio jelek. Dengan ovarium yang
sangat membesar tersebut akan terjadi kesulitan pengambilan ova oleh fimbriae
saluran telur, sehingga tidak jarang hasil koleksi atau pembilasan sangat rendah.
Produksi progesteron yang ekstrim dari multiple corpora lutea dan folikel yang
luteinisasi mungkin merubah kecepatan transportasi sperma atau ova dalam saluran
telur. Tampaknya respons yang ideal diasosiasikan dengan ovaria yang berukuran
sebesar telur ayam, setiap ovarium memiliki 5-10 ovulasi.
Dari beberapa penelitian superovulasi berespons sangat baik jika superovulasi
dimulai hari ke-9 dan ke-14. FSH menstimulir pertumbuhan dan pematangan folikel.
Waktu paruh FSH pada sapi antara dua sampai lima jam. Pemberian pada donor
dilakukan secara berulang dalam delapan kali suntikan (dua sampai 6 mg per
suntikan). Interval penyuntikan adalah setengah hari (12 jam), biasanya diberikan pada
pagi dan petang setiap hari selama empat hari. Pemberian berulang ini akan menjamin
konsentrasi FSH yang cukup dalam darah untuk menstimulir perkembangan folikel.
Penyuntikan PGF2α dalam kombinasi dengan FSH adalah untuk mengetahui interval
antara akhir pemberian gonadotropin dengan timbulnya estrus (Donaldson, 1983). Jika
PGF2α diaplikasikan pada ternak sapi yang disuperovulasi maka estrus timbul dua hari
kemudian, sedangkan yang tidak disuperovulasi biasanya terjadi dalam tiga hari.
Perbedaan ini mungkin terjadi akibat adanya level estrogen yang tinggi pada sapi yang
disuperovulasi. Sebagai contoh, jika aplikasi FSH dalam superovulasi dimulai pada D10
dan diikuti aplikasi PGF 2α pada D13, biasanya donor akan berahi pada D15. PGF 2α
memiliki kelebihan berupa fleksibilitas dalam pengaturan estrus donor, atau
menghindari hari libur ataupun memperbaiki kemanjuran superovulasi.
FSH diperjualbelikan dalam bentuk serbuk kering beku liofilisasi (lyophilization,
freeze dried) yang dikemas dalam botol kecil (vial). Tiap vial berisi 50 mg FSH.
Penjualan FSH ini disertai dengan pelarut 10 ml NaCl fisiologis steril yang dikemas

100
dalam vial yang terpisah. Stok FSH berbentuk kering beku dan cairan pelarut NaCl
fisologis terpisah disimpan dalam temperatur 4°C dan tahan berbulan-bulan. Serbuk
kering FSH baru dilarutkan jika hendak dipakai dalam superovulasi. Konsentrasi lima
mg per ml FSH merupakan volume yang praktis dan mudah ditangani. FSH dalam
bentuk larutan disimpan dalam refrigerator (4°C) untuk pemakaian singkat, akan tetapi
jika terpaksa dipakai dalam jangka waktu yang tidak dekat simpan pada -20°C.
Beberapa tim TE mempersiapkan dan menyimpan FSH yang telah dicairkan pada
temperatur 4°C refrigerator dalam kemasan spoit hypodermik, disposable, dengan
diberi label yang jelas terbaca. Molekul FSH dapat dengan mudah diinaktifkan oleh
mikroorganisme (Murphy et al., 1984). Penggunaan berulang spoit hypodermal atau
jarum hypodermal jika tidak steril benar sebaiknya dihindari.
Penambahan LH dalam FSH adalah tidak penting. Beberapa tahun yang lalu,
produksi preparat FSH tersedia dalam bentuk campuran dengan LH. Perbandingan
kombinasi FSH-LH adalah lima berbanding satu. Mungkin dalam sederetan preparat
FSH mengandung terlalu banyak LH untuk respons yang optimal. Pada ternak sapi
yang disuperovulasi, LH eksogen tidak diperlukan untuk menginduksi ovulasi (Chupin
et al., 1984). Pada umumnya LH surge endogenous terjadi dengan sendirinya karena
superovulasi tadi, akan tetapi beberapa tim menyuntik GnRH pada awal estrus. Dalam
beberapa kasus, folikel-folikel mungkin ovulasi selama periode waktu 24 jam. Jika hal
ini terjadi, kemungkinan banyak ova yang tidak terfertilisasi. Beberapa cara
superovulasi dengan berbagai macam preparat gonadotropin serta kombinasinya
terlihat pada Tabel 1.

101
Tabel 4. Penggunaan Berbagai Macam Hormon Gonadotropin untuk
Superovulasi Sapi
Jenis Hormon
Siklus Kelamin hari ke eCG eCG+Anti FSH hMG
eCG
S D10 P FSH
U S eCG eCG FSH
P D11 P FSH
E S FSH
R D12 P FSH
O S FSH
V D13 P PG PG FSH+PG hMG+PG
U S FSH+PG hMG+PG
L
A
S
I
D14
D0S D15 P IB IB IB IB
S IB(+eCG) IB+Anti eCG IB+hMG IB+hMG
D1S D16 IB IB IB IB
D7S D22 Panen Panen Panen Panen
Pada awal program superovulasi sebelum penyuntikan hormon dilakukan
pemeriksaan ginekologis ulang, terutama untuk memonitor ukuran ovaria. Melalui
palpasi rektal pada hari pertama superovulasi (D10) dapat diketahui kedua ukuran
ovaria juga sekaligus struktur fungsionalnya, seperti ada tidaknya korpus luteum dan
folikel. Jika, kedua ovaria berukuran sama besar, korpus luteum tidak terpalpasi, dan
terdapat folikel besar (>2,5 cm), maka superovulasi harus ditunda sampai siklus
kelamin berikutnya. Jika folikel tadi adalah siste atau diduga akan menjadi siste, dapat
disuntik GnRH, tetapi jika folikel tadi mengandung lutein (luteinized folikel) maka ternak
harus disuntik dengan PGF2α.

102
Pada hari kelima superovulasi atau lima hari setelah penyuntikan FSH, ukuran
ovaria dicatat kembali untuk mengetahui dan menentukan respons dari folikel.
Menduga jumlah folikel pada kedua ovaria tidak dapat diperoleh dengan tepat,
meskipun demikian ukuran kedua ovaria adalah merupakan indikator yang terbaik
untuk mengetahui respons ovarium terhadap hormon superovulasi.
Palpasi kedua ovaria pada waktu estrus (D0) dan ovulasi (beberapa jam setelah
estrus), sangat tidak dianjurkan. Akan tetapi palpasi ovaria sehari atau dua hari
sebelum pemanenan embrio (flushing, collection) pada D7 kerap kali berguna untuk
menentukan respons dan mengambil keputusan apakah pemanenan dilakukan atau
tidak. Pada waktu pemanenan, ovarium sangat membesar, corpora lutea mudah
terpalpasi dalam ternak sapi yang responsif. Sering, ovaria dalam ternak sapi yang
tidak responsif menjadi lebih kecil atau lebih keras pada waktu pemanenan,
dibandingkan dengan waktu pertama kali FSH disuntikkan. Kadang-kadang donor
menunjukkan gejala estrus setelah satu atau dua hari setelah penyuntikan FSH yang
pertama. Jika ternak tersebut dikawinkan (IB), jarang menghasilkan ova yang
terfertilisasi, sehingga dalam hal ini semen beku yang mahal jangan digunakan. Selain
itu jika estrus timbul melebihi dua hari dari estrus yang dijadwalkan, maka jarang
dilakukan pemanenan embrio.
Dalam penggunaan berulang dari gonadotropin yang juga merupakan protein,
adalah kemungkinan terjadinya reaksi anaphylaxis. Respons imunologis karena
penyuntikan berulang dari gonadotropin dapat membatasi berapa kali donor dapat
disuperovulasi. Baik FSH maupun eCG adalah protein dan karenanya mempunyai
potensi untuk menginduksi anaphylaxis. Antigenisitas ini menunjukkan bahwa
penyuntikan berulang dapat menstimulir terbentuknya anti gonadotropin, yang mungkin
dapat mereduksi respons berikutnya atau mungkin mengganggu gonadotropin
endogen. Akan tetapi dalam kenyataannya beberapa tim TE di beberapa negara yang
sudah maju industri TE-nya, belum pernah menghadapi masalah tersebut dan data
mengenai adanya reaksi anti gonadotropin sangat jarang diperoleh. Sepanjang
pengetahuan, hormon tersebut sebaiknya digunakan secara hati-hati. Kemungkinan
kelainan endokrin dapat dikurangi, jika donor diberi kesempatan untuk bunting setelah
beberapa kali superovulasi. Setiap donor dapat dilakukan tiga kali superovulasi/tahun.

103
8.4. Pengelolaan Resipien
Kompetensi Ahkir : setelah mengikuti kuliah mahasiswa dapat menjelaskan
aspek-aspek yang berhubungan dengan resipien yang meliputi pemilihan
resipien, kesehatan serta persiapan dan jumlah resipien.
8.4.1. Pemilihan Resipien
Ada beberapa faktor dalam seleksi ternak untuk mendapatkan suatu kelompok
resipien, yaitu 1) keseimbangan diantara kualitas baku, 2) kelayakan ekonomis dan 3)
kemudahan untuk memperoleh ternak resipien (availability). Resipien yang ideal adalah
umur yang masih muda jika mungkin masih dara, bebas penyakit, sehat dengan
kesuburan yang terjamin dan mempunyai kemampuan membesarkan anak (mothering
ability). Resipien tumbuh dengan baik sejak pedet, dapat bunting dan pernah
melahirkan tanpa kesulitan. Ras ternak sapi tidak menunjukkan perbedaan yang
bermakna walaupun ternak bastar (keturunan silang) umumnya lebih subur. Sapi tua, di
atas 10 tahun sebaiknya tidak digunakan karena kemampuan pemeliharaan
kebuntingan sudah menurun, walaupun faktor umur bukan merupakan faktor yang
penting untuk resipien. Ternak yang liar tidak diharapkan untuk menjadi resipien, jika
ditinjau dari aspek penanganan walaupun keberhasilan TE tidak terpengaruhi.
Kadang-kadang membentuk suatu populasi resipien ideal secara ekonomis tidak
menguntungkan. Biaya tambahan yang dikeluarkan untuk pembelian dan alokasi
resipien yang ideal dalam pembentukan populasi resipien tidak dapat mengembangkan
keberhasilan TE itu sendiri. Sebagian besar ternak yang ditawarkan untuk dijual, selain
terlalu muda, kesuburan tidak terjamin, juga umumnya merupakan afkiran dari program
pemuliaan karena tidak dapat bunting selama program perkawinan terdahulu. Dalam
persentase kecil, sapi-sapi dara mungkin banyak mengalami kesulitan melahirkan,
akan tetapi berdasarkan pertimbangan bahwa induk-induk sapi ditolak karena tidak
subur, maka biasanya sapi dara merupakan prospek yang lebih baik. Selain itu kasus
peradangan traktus genitalis pada sapi dara lebih kecil dari induk sapi atau sapi yang
pernah melahirkan.
Pembelian sapi dara bunting akan melengkapi sumber resipien yang subur untuk
program yang direncanakan. Sapi dara yang bunting tersebut, dengan pengelolaan
yang baik kelak akan dapat dipakai sebagai resipien yang baik dan siap pakai dalam

104
program TE 60 hari post partus. Pendekatan ini memerlukan program terencana,
sumber makanan yang murah dan informasi mengenai data perkawinan yang menjamin
kelahiran pedet tidak diperpanjang berbulan-bulan.
8.4.2. Kesehatan
Jika mungkin, peternak membeli ternak dalam jumlah yang banyak (kelompok)
dari populasi ternak komersial. Kelompok ternak ini harus diperiksa secara teliti
terhadap kesehatan dan status reproduksinya. Sesuai dengan prosedur pemeriksaan
ditujukan untuk menentukan abnormalitas dari saluran reproduksi, kebuntingan dini dan
penyakit yang mungkin masih dalam masa inkubasi selama periode pembelian. Di
beberapa negara pada prinsipnya melalui prosedur yang sama. Salah satu contoh
prosedur pemeriksaan adalah sebagai berikut (Colorado-USA).
1. Isolasi ternak yang baru datang sehingga tidak ada kontak dengan ternak yang
ada, makanan, maupun persediaan air yang ada.
2. Periksa setiap ternak terhadap gejala penyakit, umur. dan kondisi badan.
Palpasi rektal untuk penentuan kemungkinan kebuntingan, perlekatan (adhesio),
freemartin, dan abnormalitas saluran reproduksi yang lainnya (seperti uterus atau
ovaria infantile, folikel siste, dan sebagainya). Ternak yang abnormal sebaiknya
segera dijual. Dalam beberapa contoh, ternak yang bunting dapat digugurkan tanpa
banyak kehilangan waktu. Periksa apakah ternak telah divaksinasi.
3. Test setiap ternak terhadap brucellosis, tuberculosis, anaplasmosis dan blue
tongue. Reaktor harus segera diafkir. Ternak yang dicurigai tuberculosis harus
ditahan 10 hari dan ditest kembali menggunakan test servikal komparatif. Sampel
darah harus diidentifikasikan secara tepat dan setiap ternak harus diberi identifikasi
yang jelas dan permanen.
4. Ternak yang baru datang divaksinasi (ISR, SVD, Leptospirosis),- five antigen dan
seven clostridial diseaseselectroid-7).
5. Sebulan kemudian lakukan test ulang terhadap brucellosis, tuberculosis
anaplasmosis dan blue tongue dan lakukan palpasi rektal kembali terhadap
kemungkinan tidak terdeteksinya kebuntingan dan abnormalitas. Vaksinasi booster
terhadap penyakit klostridia juga diberikan pada saat tersebut. Semua ternak yang
abnormal dan positif harus dijual. Ternak yang bunting harus dijual, jika bunting

105
kurang dari sepuluh hari dapat digugurkan.
6. Sebelum ditransportasi ke lain daerah, perlu diketahui persyaratan kesehatan yang
berlaku di daerah yang bersangkutan.
Semua ternak yang dijadikan resipien dan dikelompokkan kedalam populasi
resipien harus mempunyai peluang yang baik untuk TE dan harus memenuhi
persyaratan kesehatan baik regional maupun internasional. Di USA hampir semua
negara bagian hanya mengijinkan pemasukan ternak sapi jika ternak tersebut telah
divaksinasi terhadap brucellosis. Persyaratan internasional lebih kompleks dan berubah
baik oleh suasana politik maupun kesehatan.
Selain itu persyaratan karantina mengharuskan observasi yang ketat terhadap
resipien setiap hari. Faktor-faktor yang harus diobservasi diantaranya gejala penyakit,
luka, kenaikan temperatur tubuh dan infeksi yang dapat menimbulkan abortus yang
semuanya bekorelasi tinggi dengan infertilitas dan beberapa diantaranya.
8.4.3. Persiapan dan Jumlah Resipien
Besar jumlah resipien yang diperlukan akan tergantung dari jumlah donor yang
diprogram. Pada umumnya populasi sekitar 200 ternak yang telah dikarantina dan
paling sedikit tercatat mengalami dua kali siklus kelamin normal, dapat dijadikan
sebagai populasi resipien. Berpedoman bahwa satu siklus 20 hari, maka rata-rata lima
persen dari populasi atau 10 ekor akan berahi setiap hari. Tidak seluruhnya akan
terdeteksi seperti diatas, mungkin dalam beberapa hari akan lebih banyak atau lebih
sedikit yang berahi. Dalam satu hari dapat saja terjadi 20 ekor resipien berahi. Sistem
ini dapat digunakan oleh manajer membuat program TE untuk tidak lebih dari lima atau
enam ekor donor per minggu, karena kecukupan resipien yang terpilih dapat disediakan
untuk lebih dari 95% embrio. Jika donor yang diprogram lebih per satuan waktu, maka
diperlukan lebih banyak lagi resipien kecuali jika sinkronisasi estrus dijalankan dalam
populasi resipien. Dalam rangka penyediaan stok 200 yang siap pakai diperlukan
sekitar 100 ekor ternak yang harus masuk dalam kandang isolasi resipien untuk
program karantina, sehingga penyediaan stok pengganti resipien terjamin (a steady
flow of replacement).

106
8.5. Penentuan Berahi Resipien dan Donor

8.5.1. Siklus Kelamin (Siklus Berahi)


Kompetensi Akhir : setelah mengikuti kuliah mahasiswa dapat menjelaskan
aspek-aspek yang berhubungan dengan penentuan fase berahi resipien dan
donor, gejala-gejala berahi, efisiensi deteksi berahi, pelaksanaan teknik
deteksi berahi pada resipien dan donor, identifikasi, sinkronisasi resipien
dengan donor.
Interval rata-rata siklus kelamin ternak sapi adalah 21 hari dan dibagi kedalam
empat fase yaitu proestrus, estrus, metestrus dan diestrus. Estrus atau fase berahi
dimulai jika produksi estradiol mencapai puncak. Fase ini didefenisi sebagai hari ke-0
(D0) dari siklus kelamin. Pad a saat tersebut ternak sapi akan diam berdiri jika dinaiki
oleh sapi lain (standing heat). Fase berahi berlangsung sekitar 15 sampai 18 jam.
Ovulasi terjadi pada D1 dini setelah fase berahi berakhir. Fase berahi akan
dilanjutkan oleh fase metestrus yang biasanya dikarakterisir dan diawali dengan
pengeluaran lendir bercampur darah (metestrus bleeding). Fase ini dari D2 sampai D3.
Perdarahan metestrus terjadi pada sekitar 90% sapi dara dan 50% sapi induk.
Perdarahan metestrus adalah fisiologis normal dan tidak berkorelasi dengan konsepsi.
Selama metestrus, CL tumbuh, berkembang dan akan mulai memproduksi progesteron
kira-kira pada D4 yang merupakan awal fase diestrus.
Fase terlama adalah diestrus yang berawal D4 dan berakhir pada D16. Selama
fase diestrus CL berfungsi dan menghasilkan progesteron yang berpengaruh terhadap
uterus dan memelihara kebuntingan jika konsepsi terjadi, akan tetapi jika konsepsi
gagal maka CL menjadi tidak berfungsi dan produksi progesteron berhenti pada D16
sampai D18 dari siklus kelamin. Kejadian ini akan diikuti dengan fase proesterus.
Pada fase proestrus terjadi perkembangan folikel dengan cepat dan
memproduksi estradiol. Peningkatan sekresi estradiol akan disertai gejala-gejala
berahi.
8.5.2. Gejala-Gejala Berahi
Ternak yang berahi atau mendekati berahi cenderung berkumpul bersama. Jika
ada pejantan disekitarnya maka ternak yang berahi berusaha mendekat sedekat
mungkin pada pejantan. Biasanya ternak menjadi gelisah, tidak mau diam. Pada sapi

107
perah sering ditandai dengan penurunan produksi susu. Tanda lain menyentuh dan
menggesek-gesekkan tubuh, menanduk ternak lain, mencium vulva ternak yang lain
atau menyandarkan dagu pada bagian belakang ternak yang lainnya. Tanda lain
adalah nose to nose posture dengan ternak lain yang estrus atau mendekati estrus.
Vulva menjadi lembab, membengkak, warna selaput lendir menjadi berwarna merah
jambu (pinker). Sekresi lendir jernih transparan, keluar dari vulva. Sekresi lendir ini
dapat berlangsung beberapa hari, dapat sebelum, selama, ataupun setelah estrus.
Ternak sapi yang mendekati estrus akan mempunyai interes menaiki sapi lain
yang estrus, akan tetapi tidak mau jika dinaiki ternak lain. Jika ternak sapi tersebut
telah mau dinaiki, artinya berdiri diam jika dinaiki ternak sapi yang lain, maka dapat
ditetapkan bahwa ternak yang diam berdiri waktu dinaiki (standing heat) benar-benar
dalam keadaaan berahi (estrus). Berahi yang berada pada puncaknya, ternak sapi
akan memberi posisi kopulasi sewaktu dinaiki.
Jika tanah peternakan berlumpur dan basah maka bagian flank sapi berahi
akan menjadi kotor karena jepitan kaki depan ternak sapi lain pada waktu menaiki
sapi yang berahi. Sapi yang berahi kadang-kadang berbaring, tetapi jika diganggu
biasanya yang tercepat atau yang pertama bangun. Pada sapi perah dapat menjadi
lebih nervous, sering menendang dan menunjukkan sifat yang menyimpang dari
biasanya.
8.5.3. Efisiensi Deteksi Berahi
Efisiensi deteksi estrus tergantung dari pengamatan estrus setiap hari dan
lamanya setiap pengamatan estrus. Pengamatan yang terus-menerus
menghasilkan deteksi sekitar 98%-100% ternak sapi yang estrus. Pengamatan
selama satu jam dengan frekuensi dua atau tiga kali selama satu hari sudah
dianggap baik dan sekitar 81%-91 % ternak sapi estrus akan terdeteksi.
Pengamatan tidak tetap dan sambil lalu selama aktivitas rutin seperti waktu
pemerahan dan memberi makan ternak akan memberikan hasil yang tidak
memuaskan karena hanya 50% dari ternak sapi teramati estrusnya selama
aktivitas tersebut.
Sekitar 60% dari ternak sapi, estrus di pagi hari sedangkan 40% estrus di
sore hari. Pengamatan baik pada waktu pagi maupun sore hari akan menghasilkan

108
deteksi sekitar 85% sapi akan teramati estrusnya. Pengamatan di siang hari akan
menambah nilai 6%-7% yang teramati. Pagi hari pengamatan dilakukan pada jam
6.00. Menurut laporan yang ada pengamatan jam 6.00 pagi lebih baik dari pada
jam 7.00 karena akan meningkatkan efisiensi deteksi estrus sebanyak 14%.
8.5.4. Pelaksanaan Teknik Deteksi Berahi Resipien dan Donor
Deteksi estrus harus dilakukan seteliti mungkin supaya dapat menentukan
secara jelas waktu fertilitas maksimum yang merupakan waktu terbaik untuk
mengawinkan atau menginseminasi. Untuk memperoleh ketelitian dan ketepatan
deteksi yang tinggi diperlukan keterampilan dan kemampuan mengenali dan
menginterpretasikan tanda-tanda estrus.
Program TE yang berhasil memerlukan ketepatan deteksi estrus. Keadaan
fisiologi dari saluran reproduksi berubah dengan nyata pada setiap fase yang
berbeda dalam satu siklus kelamin. Sebagai contoh pada D1 (sehari setelah
estrus), keadaan lingkungan saluran telur (oviduct) merupakan milieu yang ideal
untuk ovum yang baru difertilisasi, tetapi lingkungan dalam uterus pada hari yang
sama merupakan melieu yang lethal.
Ternak yang fase berahinya meragukan memiliki tanda-tanda antara lain
gelisah, bekas lendir yang mengering dan melekat pada rambut bagian belakang
sekitar perianal, menggesek-gesek badan, menaiki ternak lain, mencium-cium
bagian perianal ternak lain, menaik-naikkan ekornya sendiri, keluar lendir jernih dari
vulva, vulva bengkak dengan selaput lendir berwarna rose. Tidak setiap ternak sapi
yang menunjukkan gejala tersebut dikategorikan "meragukan". Tetapi sebaiknya
diamati dan diobservasi lebih lanjut dan lebih intensif untuk dapat diketahui dan
dicatat sebagai "standing heat" atau "meragukan".
Satu sampai tiga hari setelah estrus, sering terjadi perdarahan metestrus
(metestrous bleeding), sering terlihat dengan tanda-tanda adanya lendir bercampur
darah yang melekat pada pangkal ekor ataupun bagian belakang ternak.
Perdarahan ini merupakan tanda yang baik, yang menunjukkan ternak memiliki
siklus kelamin yang normal dan selalu dicatat baik pada donor maupun resipien,
apalagi jika standing estrus-nya tidak teramati selama observasi.
Sebagai alat bantu yang lain untuk mendapatkan deteksi estrus yang tepat

109
adalah pencatatan dengan menggunakan kalender. Jika estrus terdeteksi, nomor
donor sebaiknya dicatat pada kalender 18 hari kemudian. Jadi donor-donor yang
berahi 18-24 hari yang lalu dapat diobservasi secara terencana dan lebih teliti.
Hasil pengamatan segera dicatat sebagai data dasar (base data), kemudian
sebaiknya ditransfer lagi ke buku catatan yang telah dipersiapkan dalam form
tabulasi harian dan kartu data individu setiap ternak. Setiap waktu data ditransfer,
sebaiknya diperiksa oleh orang kedua atau staf yang lain. Alat atau metoda lain
sebagai deteksi estrus berguna, selama alat tersebut dapat mendukung deteksi
visual. Dalam program TE, penggunaan pejantan sebagai detektor, baik yang
telah divasektomi maupun dengan penis yang di-block atau dideviasi, tidak
dianjurkan karena prosedur tersebut tidak menjamin sterilitas total. Selain itu
pejantan dapat menyebarkan penyakit kelamin. Jika ternak pengusik atau pelacak
(teaser), sebagai alternatif pilihan maka gunakan ternak betina yang diberi
androgen.
8.5.5. Identifikasi
Dalam pengelolaan kesehatan populasi ternak, dalam deteksi estrus dan
disetiap tahapan program TE, pengelola harus mampu memilih dan menentukan
salah satu dari ratusan ekor ternak, dan menjamin sepenuhnya bahwa ternak
yang terpilih tadi secara nyata berdasarkan fakta adalah benar. Jadi diperlukan
suatu sistem yang permanen maupun temporer.
Ear tags yang benar dan mudah terbaca dipasang dikedua telinga pada saat test
darah pertama merupakan teknik identifikasi yang baik. Di beberapa negara, masih
digunakan identifikasi dengan menggunakan besi panas. Selain itu juga dapat
menggunakan tato, biasa digunakan juga untuk kartu data individu. Persatuan
peternak (breed association) memerlukan identifikasi permanen untuk pencatatan
pedet hasil TE. Jadi, untuk mencatat suatu rangkaian transfer, tanda tambahan
seperti nomor tato yang jelas terbaca pada telinga direkomendasikan pada saat TE.
8.5.6. Sinkronisasi Resipien dengan Donor
Jumlah donor yang dipakai dalam program TE tergantung dari besar kecilnya
peternakan dan tersedianya ternak bibit unggul yang memenuhi persyaratan untuk
dijadikan donor. Peternakan yang besar, dapat saja menyediakan donor, satu,

110
sepuluh, dua puluh atau bahkan lebih dan resipiennya disediakan dari peternakan
yang bersangkutan. Sinkronisasi estrus dapat dilakukan dengan PGF 2a atau
analognya atau dengan synchromate B. Angka kebuntingan (pregnancy rate)
dalam program TE untuk kelompok resipien yang berahinya diinduksi (resipien
memiliki corpus luteum dan disuntik PGF 2α dengan kelompok resipien yang
menunjukkan berahi alam adalah sama. Untuk sinkronisasi estrus resipien pada
umumnya dapat dilakukan dengan tiga cara :
a) Penyuntikan PGF2α, hanya pada kelompok resipien tidak bunting yang memiliki
corpora lutea. Estrus timbul antara 48-96 jam kemudian, mayoritas estrus
sekitar 60 jam kemudian.
b) Seluruh resipien yang tidak bunting baik memiliki corpora lutea maupun tidak,
suntik dengan PGF2α. Ulangi kembali penyuntikan PGF2α 11 hari kemudian.
Gejala estrus akan timbul dengan puncaknya antara 2 dan 3 hari kemudian.
Resipien-resipien yang berespons dari penyuntikan pertama akan berada dalam
pertengahan siklus kelamin pada penyuntikan kedua. Sedangkan resipien-
resipien yang tidak berespons dalam penyuntikan pertama karena berada
sekitar D1 sampai D5, pada penyuntikan kedua akan berada diantara
pertengahan sampai akhir siklus kelamin.
c) Implantasikan synchromate B dan suntik dengan preparat pelengkap intra
muskular. Sembilan hari kemudian keluarkan implant secara sempuma.
Sebagian besar resipien akan estrus dalam 2-3 hari kemudian (rata-rata 45
jam).
Rata-rata donor yang subur dalam siklus kelamin teratur, untuk pertamakali
disuperovulasi akan menghasilkan sekitar tujuh transferable embryo embrio layak
transfer), sehingga diperlukan penyediaan resipien sekitar tujuh atau delapan ekor
untuk setiap donor. Untuk memperoleh tujuh atau delapan ekor resipien yang siap
ditransfer, harus dipersiapkan sekitar 20 ekor calon resipien. Dari kelompok calon
ini melalui palpasi rektal dapat ditentukan 12 ekor (60%) yang memiliki korpus
luteum. Jika dari 12 ekor ini disuntik PGF2α akan diperoleh rata-rata delapan ekor
yang benar-benar cocok dan sinkron dengan donor.
Dalam prosedur pelaksanaan superovulasi, siklus kelamin donor dan

111
resipien akan sinkron jika kelompok resipien disuntik PGF2α sehari sebelum donor
disuntik dengan PGF2α, karena pengaruh pemberian gonadotropin terdahulu pada
donor akan menyebabkan donor akan estrus dalam waktu 36-60 jam (rata-rata 42
jam) setelah penyuntikan PGF2α, sedangkan resipien estrus sekitar 48-96 jam
kemudian (rata-rata 60 jam).
Sekitar 70%-80% donor yang fertil akan berespons terhadap gonadotropin
pada program superovulasi yang pertama (Hasler et al., 1983). Jika tiga sampai
lima donor disuperovulasi pada waktu yang bersamaan, variabilitas respons
terhadap superovulasi yang timbul akan berimbang dengan terpakainya resipien
yang sudah dipersiapkan. Sering tidak diperoleh dari embrio dari hanya seekor
donor yang disuperovulasi, akibatnya resipien yang telah dipersiapkan tidak
terpakai. Kegagalan semacam ini adalah mahal. Seorang operator yang
berpengalaman mampu melakukan lokalisasi, pembilasan, koleksi, klasifikasi dan
mentransfer embrio tanpa bedah dari lima ekor donor dalam waktu enam sampai
delapan jam, jika cukup tersedia asisten yang membantu dalam pelaksanaan,
terutama pada saat pemanenan (pembilasan), koleksi dan transfer embrio.
8.6. Inseminasi
Kompetensi Akhir : setelah mengikuti kuliah mahasiswa dapat menjelaskan aspek-
aspek yang berhubungan pemilihan pejantan (service sire) untuk inseminasi donor,
pelaksanaan inseminasi buatan pada donor, waktu inseminasi ternak sapi yang tidak
disuperovulasi dan inseminasi ternak sapi donor.
Salah satu cara yang digunakan dalam program peningkatan mutu genetik
(genetic improvement programme) ternak sapi adalah melalui metoda lB. Penggunaan IB
telah lama dilakukan oleh banyak negara untuk tujuan upgrading populasi ternak sapi.
IB yang dipakai dalam program kawin silang (cross breeding programme), jika ditinjau
dari segi waktu yang dibutuhkan untuk memperoleh derajat kemurnian genetik yang
tinggi (purebred), akan diperlukan waktu sampai sepuluh tahun. Transfer embrio
memerlukan satu generasi untuk memperoleh bangsa yang murni. Pada umumnya
donor dapat diketahui kualitasnya dari nilai CI dan kesesuaian tipe, sedangkan
pejantan IB (service sire) dapat dievaluasi nilai genetiknya lebih banyak dan lebih tepat
dari donor, sehingga pemilihan pejantan yang akan dipakai dalam menginseminasi

112
donor adalah sangat penting untuk memperoleh keturunan dengan potensi genetik
tertinggi dan dapat dijadikan stok bibit yang potensial.
8.6.1. Pemilihan Pejantan Untuk Inseminasi Donor
Dalam usaha peternakan sapi perah, dipergunakan suatu nilai indeks untuk
memilih pejantan IB. Nilai indeks ini disebut Total Performance Index (TP1) yang
merupakan kombinasi dari kemampuan pejantan untuk menurunkan sifat-sifat produksi
susu (Predicted Difference for Milk, PDM), persentase lemak susu (PD % Fat) dan tipe
(PD Type) kepada anak betinanya. Perbandingan kombinasi antar PDM, PD % Fat dan
PD Tipe adalah 3:1 :1. Ketiga sifat yang diturunkan tersebut merupakan sifat-sifat yang
penting dimiliki oleh seekor sapi perah.

113
Tabel 5. Contoh pelaksanaan sinkronisasi estrus antara donor dan resipien
Siklus
Waktu Contoh I Contoh II
Kelamin
Donor Resipien Donor Resipien
DO P Berahi alam PGF2a Berahi alam
S atau buatan atau buatan
D10 P FSH im FSH im
S FSH im FSH im
D11 P FSH im FSH im
S FSH im FSH im

P FSH im PGF2a FSH im Siang


D12
S FSH im FSH im PGF2a (khs

P FSH+ PGF2a FSH+ PGF2a yang ber


D13
S FSH + PGF2a FSH +
D14 P/S PGF2a
D15 Estrus Estrus Estrus Estrus
Catatan :
Donor dan resipien akan berahi pada D15. Donor di IB-1 12 jam kemudian
setelah standing estrus, di IB-2 24 jam kemudian setelah standing estrus. Masing-
masing inseminasi dengan satu dosis semen beku. Resipien yang estrus tidak
diinseminasi.
TPI merupakan figur setiap pejantan yang diperoleh melalui formula baku.
Sejumlah 100 ekor pejantan yang mampu menurunkan sifat-sifat tersebut dengan
peluang (repeatability) 50% ke atas disusun mulai peringkat tertinggi sampai terendah
dalam suatu daftar. Populasi pejantan ini disebut 'The Top 100 TPI Bulls", sebagai contoh
dapat dilihat pada Tabel 2. Daftar "The Top 100 TPI Bulls" ini merupakan alat yang
populer untuk membuat keputusan (breeding decision) bagi peternak sapi perah di
Amerika. Prosedur mengambil keputusan dalam pemilihan pejantan yang akan dipakai :
a) Evaluasi produksi donor, tentukan kelebihan dan kekurangan dari sifat fungsional
donor (trait profiles untuk susu, % lemak SUSU, final score dan linear traits).
b) Penentuan kontribusi genetik untuk donor diperoleh dari populasi pejantan yang
tersedia baik yang berbentuk semen beku maupun dalam status pejantan hidup.

114
Pejantan (service sire) harus memiliki TPI yang tinggi.
c) Dan populasi pejantan yang tersedia misal dari "The Top 100 TPI Bulls' pilih
pejantan secara individual yang memiliki produksi tertinggi dan dapat memperbaiki
sifat-sifat linier yang lemah dan merupakan prioritas tertinggi untuk diperbaiki.
8.6.2. Pelaksanaan Inseminasi Buatan
Pelaksanaan IB pada donor pada prinsipnya hampir sama dengan IB pada
ternak sapi yang tidak disuperovulasi. Meskipun demikian, inseminasi donor perlu
mendapat perhatian khusus terutama yang menyangkut seluruh kegiatan pada waktu
inseminasi. Untuk mengetahui faktor-faktor yang berperan dan memerlukan perhatian
khusus pada waktu inseminasi donor, akan diuraikan terlebih dahulu mengenai
pelaksanaan kegiatan waktu inseminasi pada ternak yang disuperovulasi.
8.6.3. Waktu Inseminasi Ternak Sapi yang Tidak Disuperovulasi
Menurut hasil penelitian akhir-akhir ini, dalam pengamatan berahi, dapat
ditunjukkan bahwa ternak sapi yang berahi tidak mau dinaiki oleh pejantan sampai fase
akhir berahi, walaupun mau dinaiki oleh ternak sapi betina yang lain di awal fase
berahi. Waktu terbaik untuk mengawinkan dengan teknik IB, tidak dalam waktu yang
tepat bersamaan dengan berahi atau beberapa saat setelah berahi berakhir. Alasan ini
logis jika dibandingkan dengan kawin secara alam. Pada kawin secara alam, semen
dideposit di vagina bagian depan sedangkan pada IB semen dideposit pada pangkal
uterus dekat dengan bagian akhir serviks (posisi 4).
Perkawinan dengan IB sebaiknya dilakukan selama selang periode 12 jam, yaitu
selang mulai dari enam jam sebelum berahi sampai enam jam setelah berahi berakhir
(kira-kira enam jam sebelum ovulasi). Sapi yang berahi harus diperlakukan dan
ditangani secara baik, setiap tindakan jangan sampai menimbulkan nervositas
ataupun stress pada ternak sapi itu sendiri. Peralatan IB harus dijaga sesteril
mungkin.
Sistem pagi-sore untuk waktu IB memberi hasil yang agak baik (CR agak
lebih tinggi), jika sistem tersebut mengikuti hasil pengamatan berahi yang teliti.
Ternak sapi yang berahi pada pagi hari dikawinkan pada sore hari, sedangkan
yang berahi sore hari dikawinkan pada pagi hari berikutnya.
Perkawinan yang dilakukan lebih awal dari periode yang ada dalam sistem

115
akan menghasilkan CR rendah karena fertilitas dan viabilitas sperma telah
menurun. Perkawinan yang dilakukan lebih akhir dari periode juga akan
menurunkan CR, karena sperma memerlukan waktu tertentu dalam saluran
kelamin betina untuk memperoleh kapasitasi membuahi ovum dengan perkataan
lain sperma harus mengalami proses kapasitasi sebelum sperma dapat melakukan
fertilisasi ovum. Pada kawin yang terlalu akhir, mungkin ovum telah berdegenerasi
pada saat sperma telah kapasitasi.

116
8.7. Penggunaan dan Pengembangan Metode TE Dimasa Depan
Bila dikaji, banyak penemuan dan penelitian ilmiah dalam bidang TE yang dapat
digunakan untuk meningkatkan populasi ternak dan memecahkan berbagai masalah
dan kendala di dunia kedokteran. Penggunaan yang potensial dari metode TE adalah
sebagai berikut :
In Vitro Fertilisasi (IVF)
Di bidang kedokteran umum, dapat dijumpai kasus adanya pasangan usia subur
tidak memiliki keturunan. Jika sebagai terapi jalan keluar harus menggunakan metode
TE, maka tindakan IVF biasanya tidak dapat dihindari. Untuk itu pasien wanita akan
mendapatkan stimulasi ovari dengan pemberian hormone (misalnya hMG dan
Clomifen). Setelah ovum masak dalam folikel akan dilakukan pungsi (ova pick up). Ova
ini akan dibuahi dengan spermatozoa suami yang telah berkapasitasi. Sigot yang
dihasilkan ditransfer kembali kepada resipien.
Dalam mengatasi timbulnya pemborosan ova, misalnya di rumah potong hewan
dapat dilakukan IVF. Ova yang terkoleksi dapat dibuahi in vitro setelah melalui proses
tertentu. Jika ova berasal dari bibit unggul dapat dilakukan TE pada resipien yang
cocok. Akan tetapi jika ova berasal dari bibit biasa, dapat digunakan untuk kepentingan
penelitian.
Pemupukan Oosit atau Embrio Secara In Vitro
Salah satu syarat berhasilnya TE adalah umur embrio yang ditransfer harus
sesuai dengan siklus resipien. Begitu pula salah satu syarat berhasilnya IVF adalah sel
telur harus matang (ovum). Jadi untuk tujuan tersebut diperlukan pemupukan. Oosit
dapat dipupuk in vitro menjadi ovum. Sedangkan untuk penyesuaian umur embrio,
dapat dilakukan pemupukan. Selain sistem pemupukan in vitro dari oosit atau embrio
dapat digunakan untuk tujuan medis. Sering dilakukan penelitian mengenai daya kerja
dan efek obat pada maupun pengaruh obat terhadap perkembangan daya tumbuh
embrio.
Sampai saat ini dalam program keluarga berencana (KB) masih dicari obat yang
efektif untuk kontrasepsi. Tentu dengan adanya sistem pemupukan oosit in vitro, dapat
diuji efektivitas suatu obat terhadap kemampuan kontrasepsinya. Juga dapat dilakukan
penelitian mengenai, pengaruh obat-obat penghambat pertumbuhan seperti

117
antikanker, anti imun dan obat-obat yang bersifat teratogenik.
Peningkatan Keturunan (Progeny) dari Bibit Betina Unggul
Rata-rata reproduksi yang rendah dari sapi perah akan membatasi pendaya
gunaan bibit betina unggul. Biasanya seekor induk seumur hidupnya diharapkan
melahirkan empat ekor pedet melalui perkawinan yang konvensional. Melalui metode
TE, mungkin diperoleh beberapa pedet dalam sekali perkawinan, sehingga intensitas
seleksi dapat ditingkatkan. Melalui anak jantan, seekor induk sapi dapat mempengaruhi
genetik dari beberapa ribu ternak sapi keturunannya. Penggunaan selektif metode TE
pada bibit betina unggul untuk mencari pejantan telah banyak disarankan oleh
beberapa pakar genetika diantaranya Bradford dan Kennedy (1980). TE dapat
digunakan untuk meningkatkan produksi susu, dengan jalan mengunakan donor ternak
sapi yang memiliki genetik unggul dari suatu perusahaan. Sedangkan resipien diperoleh
dari betina yang kurang produktif. Sebagai program perbaikan genetik dapat diatasi
dengan perkawinan selektif donor dengan tiga atau empat pejantan unggul.
Pengembang Biakan Bangsa Sapi yang Exotic
Mengimpor ternak.sapi dalam jumlah besar kedalam negeri (dari suatu tempat
ke tempat lain yang berbeda) akan menimbulkan berbagai kesulitan. Faktor-faktor yang
dapat mempersulit diantaranya, tidak ekonomis (mahal), perbedan iklim, daya tahan
terhadap beberapa penyakit yang berbeda pada lingkungan yang baru dan stress.
Untuk mengatasi kesulitan tadi dapat dilakukan impor ternak dalam jumlah kedl yang
dikembang biakkan dengan cara TE. Keturunan yang diperoleh melalui metode ini akan
cepat beradaptasi dengan lingkungan dan stress penyakit karena keturunan ini melalui
periode kebuntingan penuh dalam induk ternak asli pribumi.
Reduksi Interval Generasi
Salah satu penggunaan yang potensial dari metoda TE (dalam taraf penelitian)
adalah penyingkatan interval generasi dan progeny test dari betina prepuber sebagai
induk prospektif dari pejantan. Hal ini dapat diperoleh dengan melakukan superovulasi
dari ternak sapi betina prepuber dan mentransfer embrio yang diperoleh darinya
kepada resipien dewasa kelamin. Beberapa peneliti berhasil dengan superovulasi
pada sapi prepuber dan peneliti lainnya bahkan memperoleh sukses sampai terjadi
kebuntingan yang berasal dari embrio yang diperoleh dari sapi prepuber akan tetapi,

118
fertilitas dan rata-rata koleksi (recovery rates) pada sapi prepuber yang disuperovulasi
adalah sangat rendah.
Kembar
Grup Cambridge adalah grup yang pertama mendemonstrasikan kebuntingan
kembar dengan angka konsepsi (pregnant rate) yang tinggi (>70%). Kebuntingan
kembar diperoleh dengan mentransfer setiap tanduk rahim dengan satu embrio.
Kemudian grup Irlandia berhasil menginduksi kembar melalui TE, terutama mempunyai
nilai proporsi ekonomik dalam industri ternak sapi potong, karena dapat meningkatkan
panen pedet tanpa penanaman modal yang besar. Grup Irlandia menggunakan dua
metoda dalam produksi kembar. Metoda pertama resipien di IB dan seminggu
kemudian di TE, tentu pada tanduk uteri yang kontralateral. Sedangkan metoda kedua
adalah TE pada setiap tanduk uteri dengan satu embrio. Satu faktor pembatas pada
peternakan sapi perah, yaitu sekitar 95% dari sapi-sapi dara berasal dari kelahiran
kembar dengan pedet jantan adalah freemartin dan karenanya steril.
Pengawetan Embrio Dalam Jangka Waktu Lama (Longterm Storage of
Embryos)
Metode TE yang rutin dipakai dalam kegiatan produksi peternakan sering
mendapatkan problema-problema yang hanya dapat diatasi dengan metoda
pengawetan embrio melalui metoda pembekuan. Metoda ini telah memperoleh arti
yang penting telah memperbanyak perbendaharaan sistem serta memperluas dimensi
yang baru dalam metoda TE. Metoda pembekuan antara lain memungkinkan pilihan
termin yang bebas untuk panen pedet, penyediaan resipien yang tidak tergantung pada
status donor dan penyederhanaan ekspor-impor material genetic yang berharga mahal
di seluruh dunia.
Selain itu dengan adanya pengawetan embrio melalui pembekuan dapat
didirikan bank embrio sebagai reservasi material genetik dan sebagai cadangan suatu
populasi ternak. Dari data yang ada dapat ditarik kesimpulan, bahwa perkembangan di
bidang pembekuan belum tertutup. Paling tidak, program pengawetan embrio melalui
metoda pembekuan akan terus memberikan impuls terhadap pelaksanaan TE,
terutama dalam memperluas pengetahuan di bidang kriobiologis melalui penelitian-
penelitan pembekuan embrio.

119
Transportasi Internasional
Dahulu sebelum metoda pembekuan embrio, secara ilmiah belum dapat dijamin,
dapat dipakai sebagai suatu teknik pengawetan embrio, maka embrio ditransportasi
melalui penyimpanan dalam media in vitro ataupun disimpan dalam tuba Fallopii dari
kelinci.
Dengan adanya teknik pembekuan embrio, maka embrio beku berbagai bangsa
sapi ditawarkan keseluruh penjuru dunia untuk dijual. Keuntungan yang dapat diperoleh
melalui metoda pembekuan embrio untuk transportasi interkontinental adalah, reduksi
biaya transport, kontrol seleksi genetik dari embrio beku, mengurangi resiko penyakit
exotic, adaptasi yang cepat dari keturunan terhadap lingkungan negara pengimpor dan
minimal penipisan bibit unggul dari negara pengekspor. Akan tetapi juga terdapat
pembatasan ekspor impor embrio beku, yaitu adanya kemungkinan penyebaran
penyakit seperti Foot and Mouth Disease, Blue Tongue dan lain sebagaimva.

Manipulasi Embrio
Produksi Kembar Identik
Pada umumnya produksi kembar identik dipakai untuk tujuan penelitian. Metode
TE telah memungkinkan pembuatan kembar monosigotik. Produksi kembar identik ini
diperoleh dengan mikrosurgeri, memisahkan blsatomer, memasukkan masing-masing
belahan embrio kedalam zona pelusida kosong dan diinkubasi sampai blastomer tadi
menjadi embrio individual dan akhimya ditransfer ke resipien. Kembar identik dan
quadruplets telah berhasil dilakukan pada biri-biri dan sapi.
Seleksi Kelamin Embrio (Sexing of Embryos)

Kemungkinan lain adalah kmampuan lain untuk pra penentuan jenis kelamin dari
pedet, sehingga peternak dapat menyeleksi pejantan atau sapi dara. Keberhasilan
prapenentuan jenis kelamin dan transfer embrio sapi berumur 2 minggu,
memungkinkan melakukan sex kontrol melalui TE. Ada tiga metoda untuk pra
penentuan jenis kelamin embrio mamalia.
- Identifikasi sex kromatin
Sex kromatin adalah suatu bentuk kondensasi dari salah satu x kromoson dan
hanya terlihat dalam sel yang memiliki lebih dari satu X kromoson (betina). Untuk

120
mengamati sebagian kecil dari embrio (9-15 hari) diperlukan penyayatan jaringan
menggunakan teknik mikrosurgeri dan diperiksa ada tidaknya sex kromatin. Untuk
sapi teknik ini tidak dapat diandalkan.
- Karyotyping atau analisa sex kromoson
Dalam metoda ini, sebagian kecil embrio diambil secara mikrosurgeri dan diproses
untuk diperiksa karyotypenya. Untuk sapi, tampaknya metoda ini agak dapat dipakai
walaupun secara praktis masih memerlukan pertimbangan khusus.
- Deteksi H-Y antigen
H-Y antigen adalah protein yang dihubungkan dengan jenis kelamin embrio,
ditentukan ada atau tidaknya H-Y antigen, dengan menggunakan antibodi berlabel.
Absennya H-Y antigen pada membran sel menunjukkan pra penentuan jenis kelamin
adalah betina.
Chimera
Chimera adalah organisme yang berasal dari gabungan dua jenis organisme
dengan konstitusi genetik (genotipe) yang berbeda. Ada dua metode yang dapat
dilakukan untuk memperoleh chimera. Pertama adalah tukar silang blastomer atau
inner cell mass dua embrio dari jenis organisma yang memiliki genotipe berbeda.
One Sperm Injection

Usaha ini merupakan metoda yang baru dijajagi. Tujuannya adalah untuk
penghematan sei gamet dan memilih atau menentukan jenis kelamin dari sigot. Ovum
yang "telah masak", difertilisasi dengan satu sperma (sperma X atau sperma Y yang
telah dikapasitasi. Fertilisasi ini dilakukan dengan jalan penyuntikan menggunakan
mikropipet kedalam vitelus ovum.
Transfer Gen
Pada tahun 1983, para sarjana di Universitas Pensylvania dan Washington
telah berhasil setapak lebih jauh. Mereka telah dapat memindahkan gen hormon
pertumbuhan yang berasal dari manusia kedalam embrio tikus. Setelah dewasa
tikus itu menjadi dua kali lebih besar dari tikus normal (supermouse). Selain itu juga
Nature, suatu jurnal i1miah, melaporkan keberhasilan transfer gen untuk hormon
pertumbuhan dari tikus ke mencit, yang menghasilkan giant mice.
Aplikasi praktis dari transfer gen ini dapat dilakukan jika identifikasi gen

121
sudah dikuasai. Gen-gen penyebab defek dapat diperbaiki selama perkembangan
embrional. Secara teoritis, jika gen produksi susu dapat diisolasi, maka usaha
peningkatan produksi susu dapat dilakukan dengan metoda ini.
Kloning
Kloning merupakan salah satu bioteknologi mutakhir yang sangat bermanfaat
untuk memultiplikasi genotip hewan yang memiliki keunggulan tertentu dan preservasi
hewan yang hampir punah. Walaupun keberhasilan produksi hewan kloning lewat
transfer inti sel somatik telah dicapai pada berbagai spesies, seperti domba, sapi,
mencit, kambing babi, kucing, dan kelinci, efisiensinya sampai sekarang masih sangat
rendah yakni kurang dari 1 persen, dengan sekitar 10 persen yang lahir hidup (Han et
al., 2003). Transfer inti melibatkan suatu seri prosedur yang kompleks termasuk kultur
sel donor, maturasi oosit in vitro, enukleasi, injeksi sel atau inti, fusi, aktivasi, kultur in
vitro reconstructed embryo, dan transfer embrio. Jika salah satu dari tahap-tahap ini
kurang optimal, produksi embrio atau hewan kloning dapat terpengaruh.
Sejarah tentang hewan kloning telah muncul sejak awal tahun 1900, tetapi
contoh hewan kloning baru dapat dihasilkan lewat penelitian Wilmut et al. (1997), dan
untuk pertama kali membuktikan bahwa kloning dapat dilakukan pada hewan mamalia
dewasa.
Hewan kloning tersebut dihasilkan dari inti sel epitel ambing domba dewasa yang
dikultur dalam suatu medium, kemudian ditransfer ke dalam ovum domba yang
kromosomnya telah dikeluarkan, yang pada akhirnya menghasilkan anak domba
kloning yang diberi nama Dolly.
Kloning domba pertama sebenarnya telah dilaporkan 18 tahun yang lalu oleh
Willadson (1986) yang menggunakan blastomer-blastomer embrio sebagai donor inti.
Dan hal inilah yang menjadi precursor bagi kegiatan-kegiatan transplantasi inti hewan-
hewan domestik termasuk domba Dolly. Produksi domba identik oleh Willadson (1986)
mencetuskan berbagai perbaikan dalam teknik-teknik kloning pada berbagai spesies
hewan. Hewan-hewan kloning yang dihasilkan dari transplantasi inti sel somatik telah
dilaporkan pada mencit, sapi, kambing, domba, dan babi (Wakayama et al., 1998; Kato
et al., 1998; Keefer et al., 2000; Wilmut et al., 1997; Polejaeva et al., 2000). Penelitian-
penelitian yang melibatkan spesies-spesies lain terus dilakukan, dan dari informasi

122
yang dihimpun menunjukkan bahwa berbagai spesies hewan dapat dikloning lewat
transplantasi inti.
Walaupun hewan kloning yang dihasilkan lewat transplantasi inti sangat tidak
efisien, fakta bahwa hewan kloning dari berbagai spesies telah diproduksi oleh
sejumlah laboratorium menunjukkan begitu besarnya keinginan untuk memproduksi
atau mengkloning hewan dengan genotip-genotip spesifik. Disamping itu, ada juga
permintaan untuk mengkloning hewan-hewan yang bergenetik unggul; sedangkan
keinginan untuk mereplikasi genotip spesifik dari hewan-hewan kesayangan masih
bersifat individual. Spesies hewan lainnya yang menjadi target kloning adalah hewan-
hewan yang sudah hampir
punah, hewan steril, infertile, ataupun hewan mati.
3.1. Keberhasilan Kloning Pada Berbagai Spesies Hewan Salah satu faktor yang
mempengaruhi keberhasilan kloning adalah spesies.
Walaupun pendekatan dasar transplantasi inti adalah sama, material-material
spesifik dan metode yang digunakan untuk kloning satu spesies hewan tidak secara
otomatis berlaku pada spesies lain. kloning hewan lewat transplantasi inti melibatkan
beberapa tahap penting termasuk: 1) penyediaan ovum yang sudah matang, 2)
pengeluaran kromosom yang terdapat dalam ovum (enucleation), 3) transfer inti sel
hewan yang dikloning ke dalam ovum enuklease, 4) aktivasi embrio yang baru
terbentuk sehingga menginisiasi perkembangan embrionik, 5) kultur embrio in vitro, dan
6) transfer embrio yang dikloning ke induk resipien. Teknik-teknik yang diperlukan untuk
menyempurnakan tahapan-tahapan ini agak berbeda antara spesies dan juga efesiensi
setiap tahap bervariasi antara spesies hewan.
3.1.1. Kloning pada sapi Jumlah laboratorium yang bekerja pada kloning embrio sapi di
seluruh dunia lebih banyak dibandingkan dengan pada spesies lainnya.

Keberhasilan sejumlah laboratorium untuk mengkloning sapi disebabkan karena


banyaknya program penelitian yang difokuskan pada transfer inti sapi. Maturasi oosit in
vitro, fertilisasi in vitro, dan kultur embrio in vitro, telah terlaksana dengan baik pada
ternak sapi, dan setiap kegiatan tersebut merupakan tahapan penting dalam proses
kloning. Dengan adanya berbagai tahapan kegiatan tersebut menyebabkan sejumlah
besar oosit dari rumah potong hewan dapat diakses untuk digunakan dalam penelitian

123
dengan biaya yang relatif rendah. Dan dengan demikian, memberikan cukup percobaan
dan cukup embrio yang ditransfer untuk memproduksi kloning pada ternak sapi.
Bervariasinya efisiensi kloning sapi lewat transplantasi inti mungkin disebabkan
oleh terbatasnya jumlah eksperimen yang terkontrol, sehingga sulit untuk menentukan
penyebab dari variasi yang timbul dan analisis interaksi antara variabel sulit ditentukan.
Beberapa penyebab variasi yang mungkin mempengaruhi keberhasilan transplantasi
inti adalah genotip, tipe sel donor inti yang digunakan, perlakuan sel donor sebelum
transfer inti, sumber ova resipien, teknik-teknik yang dikerjakan, dan laboratorium yang
melaksanakan pekerjaan tersebut. Persentase embrio transfer inti yang berkembang
menjadi stadium kompak morula atau blastosis sangat bervariasi yakni berkisar antara
< 5% hingga > 65%.
Tingkat kelahiran hidup per embrio yang ditransfer juga sangat bervariasi yakni
berkisar antara 0% hingga 83%, sedangkan tingkat kematian anak berkisar antara 0% -
100% yang terjadi pada minggu pertama setelah lahir (Hill et al., 2000; Wells et al.,
1998; Kubota et al., 2000). Kloning pada ternak sapi juga telah dilakukan oleh
Westhusin et al. (2001) dengan menggunakan seekor sapi Brahman jantan yang
bernama Chance, yang berumur sekitar 21 tahun. Fibroblast diambil dari biopsy kulit,
dikultur dengan metode standar kultur jaringan, kemudian dibekukan dan disimpan
dalam nitrogen cair. Ketika transfer inti dilakukan dengan menggunakan sel-sel
fibroblast Chance, 28 % dari untaian fusi (53 dari 190) yang dikultur, berkembang
menjadi blastosis. 26 blastosis ditransfer ke 11 ekor sapi betina resipien dan
menghasilkan 6 kebuntingan, 3 diantaranya mengalami kematian embrio pada hari ke-
90 kebuntingan dan hanya 1 ekor yang lahir hidup dan telah bertumbuh menjadi sapi
dewasa. Yang menjadi catatan penting bahwa selama minggu pertama setelah lahir,
anak sapi tersebut memerlukan monitoring dan terapi yang intensif untuk mengobati
lung dysmaturity dan pulmonary hypertension, termasuk pemberian type 1 insulin-
dependent diabetes.
Percobaan kedua dan ketiga menggunakan fibroblast dari biopsy kulit dua ekor
sapi betina berumur sedang, satu ekor sapi Brangus dan satu ekor sapi Charolais yang
diseleksi berdasarkan performans terbaik. Setelah transfer inti dan kultur, jumlah embrio
yang berkembang hingga stadium blastosis adalah 16%. 37 blastosis Charolais

124
ditransfer ke 13 resipien. Lewat pemeriksaan kebuntingan pada hari ke-30 ternyata 6
diantaranya dinyatakan bunting, tetapi hanya 4 ekor yang dapat mempertahankan
kebuntingannya hingga hari ke-60.
Dari keempat ekor induk sapi tersebut, salah satu diantaranya mengalami
keguguran, dua ekor digunakan untuk tujuan penelitian (fetusnya dikeluarkan) dan satu
ekor menghasilkan anak betina kembar dua yang kemudian keduanya mati setelah
berumur 7 sampai 10 hari. 43 blastosis yang berasal dari sapi Brangus ditransfer ke 14
resipien dan menghasilkan 3 kebuntingan, tetapi tidak ada yang bertahan hidup
melewati hari ke-90 kebuntingan (Westhusin et al., 2001).
Pada percobaan lain, Feng et al. (1996) menggunakan fibroblast sapi Black Angus
jantan yang secara genetik resistant terhadap brucellosis. Sapi tersebut mati dan tidak
ada semen beku yang tersedia untuk menghasilkan keturunan baru. Dari pasangan
oositfibroblast yang berdifusi dan dikultur, 44% berkembang menjadi blastosis. 39
blastosis ditransfer ke 20 resipien dan menghasilkan 10 kebuntingan ketika dilakukan
pemeriksaan pada hari ke-35, dua diantaranya bertahan hingga hari ke-130 dan ke-250
kebuntingan.
3.1.2. Kloning pada domba
Walaupun mamalia pertama yang dikloning dari sel-sel somatik adalah domba,
namun setelah itu tidak ada domba lagi yang dilaporkan sebagai hasil transfer inti
menggunakan inti sel somatik domba dewasa. Hal ini mungkin disebabkan oleh karena
banyak peneliti yang lebih tertarik untuk memproduksi hewan transgenic dan lebih suka
menggunakan sel-sel fetus dibandingkan sel-sel somatik hewan dewasa. Teknik yang
digunakan untuk mengkloning domba adalah sama dengan yang dilaporkan pada sapi,
tetapi dengan suatu pengecualian yakni kebanyakan peneliti domba telah
menggunakan oosit yang matang in vivo. Efisiensi kloning domba sama dengan sapi
dalam hal produksi embrio kloning dan tingkat kelahiran hidup (Campbell et al., 1996).
Masalah lain yang timbul pada kloning domba adalah terjadinya keguguran fetus
selama kebuntingan dan abnormalitas anak yang dilahirkan cukup tinggi.
3.1.3. Kloning pada kambing
Kambing Kloning telah dihasilkan dengan menggunakan sel-sel somatik hewan
dewasa dan sel-sel fetus sebagai donor inti untuk transplantasi ke dalam ovum

125
enuklease (Baguisi et al., 1999). Seperti pada domba, kebanyakan peneliti telah
menggunakan sel-sel fetus untuk memproduksi keturunan transgenic. Teknik kloning
kambing sama dengan yang digunakan pada domba dan sapi, dimana ovum resipien
diperoleh dari oosit yang dimatangkan secara in vitro dan in vivo. Setelah dikultur
selama satu hingga dua hari, embrio ditransfer ke betina resipien pada stadium 2 – 4
sel. Walaupun tingkat kelahiran hidup sama dengan sapi dan domba, tetapi tingkat
abnormalitas dan kematian baik pada fetus mapun anak yang lahir tidak sama.
3.1.4. Kloning pada mencit
Awalnya, kloning mencit terlihat lebih sulit dilaksanakan dibandingkan dengan
sapi, domba dan kambing, dengan tingkat kelahiran hidup hanya sekitar satu persen.
dari embrio yang ditransfer dapat lahir hidup (Ogura et al., 2000). Penyebab rendahnya
tingkat kelahiran tersebut belum diketahui secara jelas, apakah karena pengaruh
spesies, teknik yang dikerjakan atau hal lainnya belum jelas. Teknik transfer inti yang
umum dikerjakan pada spesies lain meliputi electrofusi ovum resipien dengan inti sel
donor. Mencit kloning pertama dihasilkan lewat injeksi langsung inti sel. Metode injeksi
langsung telah secara kontinyu digunakan sebagai metode yang umum untuk penelitian
pada mencit. Metode terbaru yang lebih efisien untuk kloning mencit telah dilakukan
oleh Baguisi dan overstrom (2000) dengan menggunakan metode enuclease kimiawi
yang dikombinasikan dengan injeksi langsung inti donor untuk menghasilkan anak yang
hidup. Metode-metode baru ini memerlukan percobaan tambahan pada spesies lain
untuk menentukan efektivitasnya.
3.1.5. Kloning pada babi
Seperti pada mencit, produksi babi kloning sangat sulit dan tidak efisien dengan
dengan daya hidup embrio yang ditransfer hanya sekitar satu persen. Dalam tulisan ini,
ada dua percobaan kloning babi yang telah menghasilkan anak yang hidup. Pada
laporan pertama oleh Polejaeva et al. (2000), kegiatan transfer inti pertama
dilaksanakan dengan mengoleksi ovum yang matang in vivo dan dileburkan dengan
sel-sel granulosa yang matang untuk menghasilkan embrio transfer inti. Hari berikutnya,
kegitan transfer inti kedua dilakukan dengan menggantikan dua pronukleus yang ada
dalam zygot hasil fertilisasi normal dengan pseudo-pronuclei yang diambil dari embrio
hasil transfer inti. Embrio kemudian ditransfer ke betina resipien dalam dua jam setelah

126
pelaksanaan transfer inti yang kedua. Sebanyak 401 embrio transfer inti ganda
ditransfer ke tujuh resipien, dan 185 embrio transfer inti tunggal ditransfer ke tiga
resipien. Dari hasil percobaan ini menunjukkan bahwa hanya satu resipien yang
mendapat transplantasi inti menjadi bunting dan melahirkan 5 ekor anak. Pada laporan
kedua oleh Onishi et al. (2000), inti fibroblast fetus diinjeksi ke dalam oosit matang in
vivo, kemudian embrio yang dihasilkan ditransfer ke dalam oviduct betina resipien
setelah kultur jangka pendek. Hanya satu ekor anak babi betina yang lahir dari hasil
transfer 110 embrio kloning ke empat betina resipien.
3.1.6. Kloning pada spesies lain
Walaupun produksi hewan kloning lewat transfer inti sel-sel somatik telah
dilaporkan pada beberapa spesies terdahulu, masih ada sejumlah spesies lain yang
dikloning dan masih terus diteliti. Spesies-spesies tersebut termasuk kucing, anjing,
kuda, kelinci, tikus, dan beberapa hewan buas. Di antara hewan-hewan tersebut,
kloning anjing menjadi fokus penelitian dari salah satu laboratorium di Texas. Anjing
merupakan hewan yang unik dan menantang untuk diteliti karena banyak mekanisme
yang mengontrol reproduksi belum dimengerti dengan baik. Teknik-teknik reproduksi
yang repeatable dan efisien pada anjing seperti teknik superovulasi, sinkronisasi estrus,
produksi embrio in vitro, belum biasa dilaksanakan. Salah satu penghambat kemajuan
kloning anjing adalah terbatasnya persediaan ovum yang matang untuk digunakan
sebagai resipien transfer inti. Disisi lain, upaya mengembangkan metode yang
repeatable untuk menghasilkan oosit yang dimatangkan in vitro yang dikoleksi dari
anjing anestrus memiliki tingkat keberhasilan yang sangat rendah. Oleh karena itu,
seperti pada babi, mereka berupaya menggunakan ovum yang matang in vivo.
Untuk memperoleh ovum yang matang in vivo, serangkain kegiatan
dilaksanakan, yang dimulai dengan menentukan saat ovulasi pada anjing lewat
observasi visual untuk mendeteksi proestrus dan vaginal cytology untuk mendeteksi
estrus, pengukuran kadar luteonizing hormone (LH) serum untuk mendeteksi LH surge,
dan uji progesterone untuk mengkonfirmasi validitas LH surge. Setelah ovulasi, ovum
dikoleksi dengan teknik pembedahan dengan memflushing oviduct dengan medium
koleksi embrio (TL Hepes solution). Ovum yang berada pada metaphase II yang
ditandai oleh adanya polarbody diseleksi dan digunakan untuk transfer inti. Dari 17

127
koleksi diperoleh 109 oosit (6,4 per donor) tetapi hanya 63 (3,7 per donor) yang
memiliki kualitas yang layak untuk transfer inti. 61 dari oosit tersebut dienuclease dan
43 berhasil berdifusi dengan inti sel anjing dewasa. Setelah electrofuse, ovum anjing
diaktifkan dengan menempatkannya ke dalam medium fusi yang ada dalam
electrofusion chamber dan kemudian menggunakan electrical pulse seperti yang
digambarklan oleh Kato et al. (1998). Selanjutnya diinkubasi selama lima jam dalam 10
µg/ml cycloheximide (Sigma) dan 5 µg/ml cytochalasin B (Sigma). Pasangan fusi
kemudian dicuci tiga kali dan ditempatkan dalam system co-cultur B2-vero cell
monolayer selama dua sampai tiga hari dalam 5% CO2 pada suhu 39oC. Jumlah
embrio yang membelah adalah 10 embrio, lima diantaranya ditransfer ke tiga ekor
anjing betina resipien tetapi tidak ada yang berhasil bunting (Westhusin et al., 2000).
3.2. Variasi Efisiensi Kloning
Efek Tipe Sel Donor Inti Spesies hanyalah merupakan salah satu varibel yang
mempengaruhi tingkat keberhasilan kloning untuk mereproduksi genotip yang spesifik.
Variable lainnya yang berpengaruh adalah tipe sel donor yang digunakan untuk nuclear
tranfer. Dalam kasus dimana hewan dewasa dijadikan target untuk kloning, sel-sel yang
tersedia untuk digunakan sebagai donor inti mungkin terbatas. Sebagai contoh, sel-sel
granulosa dapat dengan mudah dihasilkan dari sapi betina lewat aspirasi folikel dengan
bantuan alat ultrasound; sebaliknya, untuk menghasilkan sel-sel granulosa dari kucing
atau anjing memerlukan lebih banyak prosedur invasive. Bagaimanapun, penggunaan
tipe-tipe sel tertentu (sel granulosa, sel cumulus, sel uterus, dan sel oviduct) dari kucing
dan anjing mungkin tidak tersedia kalau hewan tersebut sudah mandul.
Banyak tipe sel yang telah digunakan sebagai donor untuk transfer inti. Oleh
karena kurangnya eksperimen yang terkontrol dan terdapat banyak variable yang
mempengaruhi efisiensi kloning, maka pengaruh tipe sel menjadi tidak jelas. Walaupun
demikian, ada suatu indikasi bahwa tipe sel dan stadium siklus sel donor pada saat
transfer inti (metaphase terhenti atau bersamaan dengan aktivasi ooplasma) dapat
mempengaruhi efisiensi kloning, dengan stadium G0/G1 menjadi stadium terbaik.
3.2.1. Sel Donor Embrio
Blastomer embrio merupakan tipe sel pertama yang digunakan untuk
memproduksi anak hasil transfer inti pada mamalia. Wiladson (1986) melaporkan

128
produksi anak domba hasil transfer inti dari embrio stadium 8 – 16 sel ke dalam ovum
resipien enuclease. Setelah percobaan tersebut, banyak eksperimen yang diadakan
dengan menduplikasi prosedur fusi blastomer ke oosit atau zygot enuklease pada sapi,
kambing, babi, kelinci dan mencit.
Setelah blastomer berdifusi dengan sitoplasma, inti sel yang akan ditransfer
direprogramkan secara efektif untuk menghasilkan tingkat produksi embrio yang tinggi.
Dari embrio-embrio yang ditransfer, diperoleh angka kebuntingan sekitar 25% -35%.
Tidak seperti kloning dengan sel-sel somatik (fetus atau hewan dewasa), sebagian
besar dari kebuntingan tersebut dapat dipertahankan. Selain memiliki ukuran tubuh
yang lebih besar pada saat lahir, anak hasil kloning yang dihasilkan dari blastomer
embrio (sebagai donor inti) memiliki tingkat kematian dan abnormalitas yang rendah.
Salah satu kelemahan dari penggunaan embrio sebagai donor inti adalah terbatasnya
jumlah sel yang tersedia untuk kloning, dengan mengurangi kemungkinan untuk
menghasilkan anak kloning dalam jumlah besar per genotip.
Walaupun blastomer-blastomer embrio telah secara sukses menghasilkan
kelahiran hidup, penggunaan inner cell mass (ICM) dan tropektoderm sebagai donor inti
terlihat kurang efisien. Fusi atau injeksi ICM ke dalam oosit enuklease hanya
menghasilkan 5 sampai 7 % blastosis yang terbentuk dan setelah transfer ke betina
resipien hanya kurang dari 1% yang lahir hidup (Keefer et al., 1994). ICM dan
tropektoderm juga telah digunakan sebagai donor inti dalam eksperimen kloning mencit.
Penggunaan sel-sel ICM dan tropektoderm mengindikasikan bahwa sitoplasma
enuclease mampu mereprogramkan sel-sel yang sudah berdiferensiasi.
Bagaimanapun, tipe sel-sel ini masih memberikan kegunaan yang terbatas sebagai
suatu metode untuk menghasilkan sejumlah besar anak kloning.
Kultur stem cell dan primordial germ cell embrio mencit telah menimbulkan ide
untuk menggunakan kedua tipe sel tersebut sebagai sumber inti donor. Wakayama, et
al. (1999) secara sukses menggunakan dua stem cell embrio mencit yang berbeda
untuk memproduksi anak kloning. Pada mencit, hasil dengan stem cell embrio sama
dengan eksperimen sebelumnya menggunakan sel-sel somatik (masing-masing yakni
2,4% vs 1,2%).

129
Keberhasilan penggunaan stem cell memungkinkan kultur jangka panjang dan
modifikasi genotip sebelum kloning. Kemajuan ini sangat besar, tetapi masih kurang
efisien untuk memproduksi anak kloning dalam jumlah besar. Campbell et al. (1996)
untuk pertama kali mempublikasikan laporan pengunaan embryonic disc cell sebagai
karyoplast dalam eksperimen transfer inti. Rataan lambing rate yang dihasilkan pada
eksperimen ini adalah dua persen. Tiga dari lima ekor anak domba yang lahir hidup
mengalami kematian sesaat setelah lahir. Wells et al. (1997) secara efektif berhasil
mengulangi eksperimen ini. Cell line dari embrio domba dikultur selama 6 – 18
passage. Setelah itu diikuti starvasi serum untuk mengaktifkan sel-sel donor. 75 dari
386 embrio berkembang ke stadium blastosis in vitro, dan 2 dari 37 resipien (5%)
menjadi bunting. Walaupun masih belum efisien, sel-sel embrio yang dikultur ini mampu
berkembang hingga periode fetus.
3.2.2. Sel Donor Somatik
Berbagai tipe sel somatik yang telah digunakan sebagai donor untuk transfer inti
telah menghasilkan kelahiran hidup (Colman, 2000). Fibroblast fetus sapi telah
digunakan sebagai donor inti secara luas disebabkan karena sel-sel ini dapat
bertumbuh dengan cepat dan sifatnya stabil dalam kultur. Sel-sel ini dapat dipanen
dengan mudah dari fetus pada umur kebuntingan 40 – 60 hari. Di bawah kondisi kultur
standar, populasi sel dapat mencapai dua kali lipat setelah dikultur selama 17 sampai
24 jam, bahkan dapat mencapai 60 kali lipat sebelum mencapai senescence. Sekitar
0,5 – 2% dari embrio hasil transfer inti fetal fibroblast domba, sapi, kambing dan babi
dapat berkembang hingga kelahiran hidup. Walaupun fetal fibroblast memiliki jumlah
penggandaan sel potensil yang terbatas dalam kultur in vitro, kloning dari senescent
fibroblast untuk menghasilkan fetus kloning menyebabkan pembentukan kembali
telomere.
Memang kebanyakan tipe sel yang digunakan berasal dari hewan dewasa.
Laporan pertama kloning dari sel-sel dewasa melibatkan sel-sel epitel ambing yang
berasal dari domba (Wilmut et al., 1997). Walapun, belum ada laporan lagi tentang
penggunaan berbagai tipe sel domba dewasa, sapi telah dihasilkan dari sel-sel ambing
dalam cara yang sama (Zakhartchenco et al., 1999). Sel-sel somatik dewasa dan

130
berbagai tipe jaringan dari banyak spesies lain juga telah digunakan untuk produksi
anak kloning.
Dermal fibroblast merupakan sumber yang paling umum digunakan sebagai sel
donor. Sel-sel ini mudah dipanen dari kedua jenis kelamin dan dikultur menggunakan
kondisi kultur jaringan standar. Setelah transfer inti, yang berkembang hingga stadium
blastosis berkisar antara 21 hingga 60% (Kubota, et a., 2000; Hill et al., 2000) Tingkat
pertumbuhan yang cenderung rendah dari fibroblast yang dimatangkan dalam kultur,
mayoritas dari se-sel tersebut berada pada fase G0/G1 dari siklus sel pada saat
diberikan.
Dengan demikian kebutuhan untuk menginduksi quiescence pada dermal
fibroblast matang menjadi berkurang (Hill et al., 2000; Kato et al., 1998). Setelah
ditransfer ke betina resipien, embrio transfer inti dari sel-sel dermal mampu
berkembang menjadi anak sapi hidup.
Bagaimanapun, tingkat perkembangan masih rendah yakni hanya 1 – 5% dari
embrio yang dikultur yang berhasil lahir dalam keadaan hidup. Sumber fibroblast lain
juga telah digunakan. Shiga et al. (1999), menggunakan fibroblast dari jaringan otot
sapi sebagai karyoplast. Secara keseluruhan, sekitar 4% dari embrio transfer inti dapat
berkembang, dan 3 dari 4 anak sapi yang lahir, mati sesaat setelah lahir. Ogura et al.
(2000); Wakayama dan Yanagimachi (1999) menggunakan fibroblast dari ujung ekor
mencit, dan setelah itu electofuse atau injeksi karyoplast-karyoplast ini ke dalam
enucleated oocytes. Hanya 1 – 2% embrio transfer inti yang berhasil lahir.
Sel-sel cumulus dan mural granulose juga telah digunakan secara luas sebagai
karyoplast untuk transfer inti pada sapi, mencit, kambing dan babi (Wells et al., 1998;
Kato et al., 1998; Wakayama et al., 1998; Keefer et al., 2000; Polejaeva et al., 2000).
Wells et al. (1998) telah memproduksi anak sapi kloning dengan menggunakan sel-sel
quiescent mural granulose sebagai donor nuclear. Sekitar 27.5% dari embrio yang
dikultur berhasil berkembang menjadi blastosis, dan hanya 10% dari blastosis tersebut
yang lahir hidup setelah transfer, atau sekitar 2,8% dari embrio kloning yang survive.
Kato et al. (1998) melaporkan bahwa 41% dan 17,3% dari embrio transfer inti yang
direkonstruksi dari sel-sel cumulus dan sel-sel oviduct, masing-masing bertumbuh
menjadi anak yang lahir hidup.

131
Data-data ini sudah diulang, dan mengindikasikan kemungkinan perbaikan
potensi perkembangan dari embrio transfer inti. Sel-sel cumulus yang diinjeksi ke dalam
oosit mencit enuclease menstimulasi tingkat perkembangan embrio yang tinggi, tetapi
setelah transfer ke resipien hanya sekitar 0,9% yang berkembang (Wakayama et al.,
1998). Hasil penelitian lain pada kambing menunjukkan bahwa 2% - 13% cloned
embryo yang berasal dari sel-sel granulosa-cumulus kambing menghasilkan anak hidup
(Keefer et al., 2000); sedangkan Polejaeva et al. (2000) melaporkan bahwa hanya 1,2
% cloned embryo babi yang berasal dari sel-sel granulose yang bertahan hidup.
Penting dicatat bahwa laporan yang paling pertama yang menggunakan sel-sel
granulose sebagai karyoplast dilakukan oleh Collas dan Barnes,1994.
Studi terbaru mengindikasikan bahwa sel-sel sertoli yang belum matang mampu
menunjang perkembangan embrio kloning pada tikus. Ogura et al. (2000)
menggunakan selsel sertoli segar atau yang dikultur yang berasal dari testis mencit
immature sebagai karyoplast. Sekitar 2,5% dari embrio tersebut berhasil berkembang.
Tanpa melihat tipe sel yang yang digunakan, jumlah embrio kloning yang mampu
bertahan hingga kelahiran hidup masi rendah yakni kurang dari 3 persen. Dan yang
lebih mengherankan adalah data-data tersebut tidak terlalu bervariasi antar tipe sel
yang digunakan sebagai karyoplast. Hal ini menunjukkan bahwa yang paling
berpengaruh terhadap keberhasilan kloning adalah teknik transfer inti dengan
memasukan inti sel somatik ke dalam sitoplasma oosit. Penelitian lanjutan harus
dititikberatkan pada pengaruh tipe sel donor dan kondisi kultur sel terhadap efisiensi
produksi kloning lewat transfer inti.
3.3. Variasi Efisiensi Kloning : Pengaruh Modifikasi Genetik
Seperti yang didiskusikan sebelumnya, efisiensi kloning tidak hanya dipengaruhi
oleh spesies tetapi juga dipengaruhi oleh tipe sel. Dalam kenyataannya, banyak genotip
yang ditargetkan untuk kloning sudah dimodifikasi secara genetic. Pada umumnya, sel-
sel somatik dikoleksi dan dikultur untuk menghasilkan sufficient cell, dan sel-sel
ditransfeksi secara genetic dengan elektroporasi atau transformasi liposome. Setelah
penambahan DNA, sel-sel seleksi untuk diferensiasi transfected cells vs non-
transfected cells. Seleksi ini dapat berakhir antara 3 hingga 12 hari. Setelah seleksi,
coloni hidup ditumbuhkan hingga jumlah selnya cukup untuk passage, pembekuan,

132
dan/atau analisis DNA. Pada poin ini, sel-sel disimpan hingga analisis DNA dapat
mengidentifikasi line yang mengandung event yang diinginkan. Walaupun mungkin ada
beberapa modifikasi terhadap prosedur ini, namuin secara umum, semua sel transgenic
mengalami seleksi dan tingkat ekspansi tertentu sebelum digunakan untuk tujuan
kloning.
Ada dua variable yang dimasukkan dalam prosedur yang baru saja digambarkan
yakni cell passage dan seleksi kimiawi. Sementara tidak ada analisis yang detail pada
pengaruh seleksi kimiawi terhadap clonabilitas sel-sel somatik yang telah dikerjakan,
eksperimen sebelumnya dengan stem cell embrio mencit mengindikasikan bahwa
kebanyakan sistem seleksi kimiawi, seperti sistem-sistem yang didasarkan pada
neomycin dan puromycin, tidak terlihat memiliki efek yang mengganggu terhadap sel.
Pengaruh negatif dari transgenic adalah peningkatan dalam jumlah cell passage yang
diperlukan untuk mengidentifikasi sel-sel yang dimodifikasi secara tepat sebelum
kloning. Untuk saat ini, tipe sel yang lebih baik adalah fibroblast fetus. Sel-sel ini dapat
dikoleksi dalam jumlah yang banyak, dan mampu mengalami sejumlah pembelahan sel
sebelum mengalami senescence. Keunggulan lainnya dari fibroblast fetus adalah dapat
dimanipulasi dengan mudah secara genetic dengan elektroporasi atau lipofeksi.
Sekalipun fibroblast fetus dapat mereplikasi dengan baik dalam kultur dan
menghasilkan transgenic colonies dengan efisiensi yang tinggi, perbedaan colonal yang
nyata antara transgenic lines yang dihasilkan oleh original cell line atau fetus yang
sama dapat diidentifikasi. Hasil penelitian Schniecke et al. (1997) merupakan contoh
yang baik tentang efek potensil genetic transfection terhadap efisiensi kloning.
Walaupun jumlahnya kecil sehingga membuat interpretasi menjadi sulit, mereka
mengamati suatu penurunan efisiensi kloning antara sel nontransgenik (kontrol) yang
digunakan pada passage 2 – 3 (20% anak domba hidup) dan sel transgenik yang
digunakan pada passage 5 -7 (13,6%) atau 7 - 9 (10,5% dan 4,8%). Persentase anak
hidup diekspresikan sebagai persentase anak domba per embrio yang ditransfer. Ketika
cell line yang sama digunakan untuk eksperimen target gen yang memerlukan analisis
DNA yang lebih kompleks, efisiensi kloning menjadi lebih randah yakni 7,1 persen, 2,3
persen, 0 persen, dan 5,2 persen untuk empat clone yang diuji (McCreath et al., 2000).

133
Perbedaan clonal yang disebabkan karena peningkatan jumlah passage
mungkin ada hubungannya dengan instabilitas kromosom akibat pemendekan telomere
dan mungkin juga akibat rekombinasi mitosis. Penelitian sebelumnya
mendemonstrasikan suatu korelasi nyata antara panjang telomere dan instabilitas
kromosom, dimana tingkat rearrangement kromosom yang tinggi akan menyebabkan
penurunan panjang telomere (Hande et al., 1999).
Ketika pemendekan telomere diidentifikasi sebagai salah satu penyebab utama
senescence dalam kultur sel-sel somatik, setiap passage sel mengalami pemendekan
telomere hingga titik dimana panjang telomere tidak cukup untuk mempertahankan
stabilitas kromosom.
Pada titik ini rearrangements akan terjadi (Hande et al., 1999). Dengan demikian, ketika
menghasilkan transgenic cell line, peningkatan jumlah passage yang diperlukan untuk
mengintrodusir penyimpangan kromosom pada beberapa clonal cell line, akan
menyebabkan rendahnya frekuensi keberhasilan kloning dari sel-sel tersbut. Setiap
clonal cell line memiliki perbedaan proporsi sel yang membawa kromosom abnormal,
yang tergantung pada jumlah passage. Kejadian pertama menghasilkan sejumlah besar
proporsi sel dengan abnormalitas kromosom.
Sementara pengaruh jumlah passage terhadap clonabilitas sel dapat
menjelaskan tentang peningkatan abnormalitas kromosom akibat pemendekan
telomere, perbedaan clonal antara sel-sel transgenic yang telah mengalami jumlah
passage yang sama lebih sulit untuk dijelaskan. Salah satu kemungkinannya adalah
loss of heterozygocity (LOH) yang disebabkan karena rekombinasi mitosis, konversi
gen, mutasi atau kehilangan kromosom. LOH akan menghasilkan deleterious recessive
allel dan menimbulkan suatu frekuensi kloning yang rendah. Walaupaun semua
mekanisme yang disebutkan di atas dapat menyebabkan LOH, data terbaru
menunjukkan bahwa rekombinasi mitosis pada sel-sel somatik (fibroblast)
menyebabkan 88% dari kejadian LOH pada suatu uji loci spesifik (Shao et al., 1999).
Hal ini dapat menjelaskan mengapa derivat-derivat dari clonal cell line yang sama dan
jumlah passage yang sama memiliki respek yang berbeda terhadap efisiensi kloning. Itu
merupakan proses rekombinasi mitosis yang secara random menghasilkan tingkat dan
tipe (bagian) LOH yang berbeda sepanjang kromosom, beberapa diantaranya tidak

134
memiliki efek terhadap viabilitas sel atau kloning, dan lainnya akan memiliki efek yang
signifikan. Ketika instabilitas cromosom dihubungkan dengan pemendekan telomere,
masalah-masalah yang dihubungkan dengan rekombinasi mitosis akan lebih buruk
dalam sel yang telah mengalami sejumlah besar pembelahan mitosis.
Pendek kata, proses transfeksi genetic dari sel-sel somatik yang dipersiapkan
sebagai nuclear donor akan menurunkan efisiensi kloning akibat jumlah passage yang
tinggi. Beberapa dari masalah ini mungkin diatasi oleh penggunaan sel-sel yang
telomernya tidak mengalami pemendekkan seperti stem cells, dengan aktivasi buatan
dari gen telomerase, dan atau oleh penggunaan sel-sel yang memiliki tingkat
rekombinasi mitosis yang rendah.
Ringkasan
Walaupun pada kenyataannya bahwa hewan kloning yang berasal dari sel-sel
somatik telah berhasil diproduksi pada berbagai spesies hewan (domba, sapi, kambing,
babi, kelinci dan mencit), masih banyak masalah yang belum terpecahkan dengan
bioteknologi ini.
Transfer inti sel somatik menunjukkan beberapa penyimpangan perkembangan,
termasuk tingginya angka abortus selama kebuntingan awal dan meningkatnya angka
kematian anak setelah lahir. Produksi hewan kloning masih sangat rendah dengan
tingkat efisiensi kurang dari 1% dan hanya sekitar 10 persen yang lahir hidup.
Walaupun demikian, keberhasilan mengkloning berbagai spesies hewan oleh sejumlah
laboratorium telah menimbulkan minat dalam mereproduksi hewan dengan genotip
yang diinginkan. Selain itu, terjadi peningkatan permintaan untuk mengkloning hewan-
hewan yang memiliki keunggulan genetik, hewanhewan kesayangan, dan spesies
hewan yang hampir punah. Ada beberapa variabel yang mempengaruhi tingkat
keberhasilan kloning diantaranya adalah spesies, tipe sel donor inti, modifikasi genetik,
ovum resipien, perlakuan terhadap sel-sel donor sebelum transfer inti, dan teknik
transfer inti.

135
DAFTAR PUSTAKA

Baguisi, A., E. Behboodi, D.T. Melican, J.S. Pollock, M.M. Destrempes, C. Commuso,
J.Jl. Williams, S.D. Nims, C.A. Porter, P. Midura, M.J. Palacios, S.L. Ayres, R.S.
Denniston, M.L. Hayes, C.A. Ziomek, H.M. Meade, R.A. Godke, W.G. Gavin,
E.W. Overstrom, and Y. Echelard. 1999. Production of goats by somatic cell
nuclear transfer. Nat Biotechnology, 17 : 456 – 461.

Baguisi,A., and E.W. Overstrom. 2000. Induced enucleation in nuclear transfer


procedures to produce cloned animals. Theriogenology, 53 : 209.

Campbell, K.H., J. McWHir, W.A. Ritchie, and I. Wilmut. 1996. Sheep cloned by nuclear
transfer from a cultured cell line. Nature, 380 : 64 – 66.

Collas, P. and F. Barnes. 1994. Transplantasi inti by microinjection of inner cell mass
and granulose cell nuclei. Molecular Reproduction and Development. 38 : 264 –
267.

Collman, A. 2000. somatic cell nuclear transfer in mammals : progress and applications.
Kloning, 1 : 185 – 200.
Feng, J., Y. Li, M. Hashad, E. Schurr, P. Gross, L.J. Adams, and J.W. Templeton. 1996.
Bovine natural desease resitance associated macrophage protein (NRAMP1)
gene. Genome Research, 6 : 956 -964.

Han, Y.M., Y.K. Kang, D.B. Koo, K.K. Lee. 2003. Nuclear reprogramming of cloned
embryos produced in vitro. Theriogenology, 59 : 33 – 44.

Hande, M.P., E. Samper, P. Lasdorp, M.A. Blasco. 1999. Telomere length dynamic and
chromosomal instability in cells derived from telomere null mice. The Journal of
Cell Biology, 144 : 589 – 601.

Hill, J.R., Q.A. Winger, C.R. long, C.R. Looney, J.A. Thompson, M.E. Westhusin. 2000.
Development rates of male bovine nuclear transfer embryos derived from adult
and fetal cells. Biology of Reproduction, 62 : 1135 – 1140.

Kato, Y., T. Tani, Y. Sotomaru, K. Kurokawa, J. Kato, H. Doguchi,H. Yasue, and Y.


Tsunoda. 1998. Eight calves cloned from somatic cells of a single adult. Science,
282 : 2095 -2098.
Keefer, C.L., S.L. Stice, D.L. Mathews. 1994. Bovine inner cell mass as donor nuclei in
the production of nuclear transfer embryos and calves. Biology of Reproduction,
50 : 9935 – 9939.

Keefer, C.L., R. Keyston, B. Bhatia, A. Lazaris, I. Begin, N. Kafidi, A. Bilodeau, B.


Wang, T.Tao, D. Laurin, F.J. Zhou, B.R. Downey, H. Baldassarre, and C,N,
Karatzas. 2000. Efficient production of viable goat offspring following nuclear
transfer using adult somatic cells. Biol. Reprod Suppl. 1, 62 : 192.

136
Kubota, C., H. Yamakuchi, J. Todoroki, K. Mizoshita, N. Tabara, M. Barber, and X.
Yang. 2000. Six cloned calves produced from adult fibroblast cell after long-term
culture. PNAS, 97 : 990 – 995.

McCreath, K,J., J. Howcroft, K.H. Campbell, A. Colman, A.E. Scheike, and A.J. Kind.
2000. Production of gene-targeted sheep by nuclear transfer from cultures
somatic cells. Nature, 405 : 1066 – 1069.

Ogura, A., K. Inoune, N. Ogunuki, A. Noguchi, K. Takano, R. Nagano, O. Suzuki, J.


Lee, F. Ishino, and J. Matsuda. 2000. Production of male cloned mice from fresh,
cultured, and cryopreserved immature sertoli cells. Biol. of Reprod, 62 : 1579 –
1584.

Ogura, A., K. Inoue, K. Takano, T. Wakayama, and R. Yamagimachi. 2000. Birth of


mice after transfer by electrofusion using tail tip cells. Mol Reprod Dev, 57 : 55 -
59.

Onishi, A., M. Iwamoto, T. Akita, S. Mikawa, K. Takeda, T. Awata, H. Hanada, and


A.C.F. Perry. 2000. Pig kloning by microinjection of fetal fibroblast nuclei.
Science, 289 : 1188 – 1190.

Polejaeva, I.A., S. Chen, T. Vaught, R.Page, J. Mullins, S. Ball, Y. Dal, J. Boone, S.


Walker, D. Ayatres, A. Colman, and K. Campbell. 2000. Cloned pig produced by
nuclear transfer from adult somatic cells. Nature, 407 : 86 -90.
Schnieke, A.E., A.J. Kind, W.A. Ritchie, K. Mycock, A.R. Scott, M. Ritchie, I. Wilmut, A.
Colman, and K.H. Kampbell. 1997. Human factor IX transgenic sheep produced
by transfer of nuclei from transfected fetal fibroblasts. Science, 278 : 2130 –
2133.

Shao, C., L. Deng, O. Henegariu, L. Liang, N. Raikwar, A. Sohota, P.J. Stambrook, and
J.A. Tischfield. 1999. Mitotic recombination produces the majority of recessive
fibroblast variants ini heterozygous mice. Proc Natl Acad Sci., 96 : 9230 – 9235.

Shiga, K., T. Fujita, K. Hirose, Y. Sasae, and T. Nagai. 1999. Production of calves by
transfer of nuclei from cultured somatic cell obtained from Japanese black bulls.
Theriogenology, 52 : 527 – 535.

Wakayama, T., A.C. Perry, M. Zuccotti, K.R. Johnson, and R. Yanagimachi. 1998. Full-
term development of mice from enucleated oocytes injected with cumulus cell
nuclei.Nature, 394 : 369 – 374.

Wakayama, T., I. Rodriguez, A. Perry, R. Yanagimachi, and P. Mombaerth. 1999. Mice


cloned from embryonic stem cells. PNAS, 96 : 14984 – 14989.

137
Wakayama, T., and R. Yanagimachi. 1999. Kloning of male mice from adult tail-tip cells.
Nat Genet, 22 : 127 – 128.
Wells, D.,T. Misica T. Misica, A.Day, and R. Tervit. 1997. Productions of cloned lambs
from an established embryonic cell line: A comparison between in vivo-matured
cytoplast. 57 : 385 – 393.

Wells, D.,T. Misica T. Misica, A.Day, and R. Tervit. 1998. Production of cloned calves
following nuclear transfer with cultured adult mural granulose cells. Bio of
Reprod, 60 : 996 -1005.

Westhusin, M.E., C.R. Long, T. Shin, J.R. Hill, C.R. looney, J.H. Pryor, and J.A.
Piedrahita. 2001. Kloning to reproduce desired genotypes. Theriogenology, 55 :
35 – 49.
Willadson, S.M. 1986. Transplantasi inti in sheep embryos. Nature (London), 320 : 63 –
65.
Wilmut, I., A.E. Schnieke, J. McWhir, A. Kind, and K. Campbell. 1997. Viable offspring
derived from fetal and adult mammalian cells. Nature, 385 : 810 – 813.

138

Anda mungkin juga menyukai