Anda di halaman 1dari 31

LAPORAN

PRAKTIKUM BIOTEKNOLOGI
PEMBUATAN PENGENCER DAN KUALITAS SPERMATOZOA DOMBA

Oleh:

Astri Retno Dwi Ramadhani 16030204044

Dian Nur Khayati 16030204063

Ni Made Dinda Arsarini 16030204083

Pendidikan Biologi B 2016

JURUSAN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA

SURABAYA

2018
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pemanfaatan pengawet semen mulai berkembang setelah ditemukannya
gliserol oleh Polge pada tahun 1949 (Royere et al., 1996) dengan kemasan yang
digunakan pertama kali berbentuk pellet. Kemasan semen lain yang berkembang
selanjutnya adalah ampul, mini (0,25 ml) dan medium (0,5 ml) straw, minitub (0,25
dan 0,3 ml), macrotub (5 ml) serta kemasan plitplat (5ml) yang digunakan pada semen
beku babi. Kemasan yang sekarang populer dan digunakan secara universal adalah
kemasan straw 0,25 dan 0,5 ml Cassou (IMV, Prancis) dan minitub 0,25; 0,3 dan 0,5
ml (Minitub, Jerman). Di Indonesia saat ini terdapat dua balai inseminasi buatan
(BIB) nasional dan beberapa balai inseminasi buatan daerah (BIBD), yang
menggunakan dua kemasan straw, yaitu ministraw dan minitub.Untuk menghasilkan
semen beku yang berkualitas tinggi dibutuhkan bahan pengencer semen yang mampu
mempertahankan kualitas spermatozoa selama proses pendinginan, pembekuan,
maupun pada saat thawing (Aboagla dan Terada, 2004). Karena itu, bahan pengencer
semen beku harus mengandung sumber nutrisi, buffer, bahan anti cold shock,
antibiotik, dan krioprotektan yang dapat melindungi spermatozoa selama proses
pembekuan dan thawing.
Agar kualitas dan fertilitas sperma tetap tinggi, maka dalam proses
penyimpanan perlu ditambahkan suatu larutan atau bahan pengencer (extender) dan
bahan pengawet (cryoprotectant) ke dalam sperma. Penambahan bahan-bahan
tersebut bertujuan untuk memperpanjang daya tahan hidup spermatozoa, sehingga
dapat digunakan dalam waktu yang relatif lama.
Upaya optimalisasi pengolahan semen agar diperoleh kualitas semen yang
optimal dapat dilakukan melalui pemilihan jenis pengencer semen. Toelihere (1993)
menyatakan bahwa pengencer harus dapat menyediakan zat-zat makanan, mencegah
perubahan pH, mencegah pertumbuhan kuman, melindungi sperma dari cekaman
dingin serta memperbanyak volume semen. Syarat bahan pengencer adalah harus
dapat menyediakan nutrisi bagi kebutuhan spermatozoa selama penyimpanan, harus
memungkinkan sperma dapat bergerak secara progresif, tidak bersifat racun, menjadi
penyanggah bagi sperma, dapat melindungi dari cekaman dingin (cold shock) baik
untuk semen beku maupun semen cair (Solihati dan Kune, 2011).
Kualitas semen yang dihasilkan dapat diketahui dengan melakukan
pemeriksaan semen. Pemeriksaan semen terdiri dari dua cara yaitu secara
makroskopis dan mikroskopis. Pemeriksaan makroskopis antara lain volume, warna,
bau semen, pH, konsistensi. Pemeriksaan secara mikroskopis terdiri dari gerakan
massa, gerakan individu, konsentrasi dan morfologi spermatozoa (Toelihere dan
Taurin, 1979).
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penanganan semen agar daya hidup
sel spermatozoa tidak cepat menurun, yaitu menghindari panas suhu yang berlebihan,
berhubungan dengan udara terlalu lama, terkena sinar matahari secara langsung dan
menghindari goncangan yang berlebihan (Toelihere, 1993). Daya hidup spermatozoa
di luar tubuh sangat rendah dan mudah mengalami kematian (Partodiharjo, 1992).

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana cara melakukan sterilisasi peralatan untuk penyimpanan spematozoa
domba?
2. Bagaimana cara membuat pengencer dasar tris domba?
3. Bagaimana cara melakukan teknik pengambilan spermatozoa domba?
4. Bagaimana cara melakukan uji kualitas semen segar domba?
5. Bagaimana cara melakukan proses pengenceran semen domba?
6. Bagaimana cara melakukan teknik penyimpanan spermatozoa domba?
7. Bagaimana cara melakukan evaluasi spermatozoa domba?

C. Tujuan
1. Mengetahui cara melakukan sterilisasi peralatan untuk penyimpanan spematozoa
domba.
2. Mengetahui cara membuat pengencer dasar tris domba.
3. Mengetahui cara melakukan teknik pengambilan spermatozoa domba.
4. Mengetahui cara melakukan uji kualitas semen segar domba.
5. Mengetahui cara melakukan proses pengenceran semen domba.
6. Mengetahui cara melakukan teknik penyimpanan spermatozoa domba.
7. Mengetahui cara melakukan evaluasi spermatozoa domba.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA

A. Semen Domba
Kisaran volume semen per ejakulat domba yaitu 0,2-1,2 ml. Semen domba
memiliki konsistensi yang kental karena volume ejakulat yang rendah namun
konsentrasi spermatozoa yang tinggi (Hafez dan Hafez, 2000). Kandungan semen
domba yaitu fruktosa, sorbitol, asam sitrat, air, natrium, kalium, kalsium, magnesium,
glycerylphosphorylcholine (GPC), protein, chlorida, insitol, ergothioneine dan
plasmalogen. Semen domba memiliki kandungan GPC dan plasmalogen yang banyak
dibandingkan dengan ternak lain yaitu memiliki kandungan GPC sebanyak 1650
mg/100 ml semen dan plasmalogen sebanyak 380 mg/100 ml semen (Toelihere,
1993). Plasmalogen atau lemak terdapat pada leher, badan dan ekor sperma.
Plasmalogen berfungsi sebagai sarana respirasi bagi sperma dan ditutup oleh selubung
protein berbentuk keratin (Salisbury dan Van Denmark, 1985).

B. Spermatozoa
Spermatozoa normal tersusun atas kepala dan ekor dimana pada bagian ekor
dibagi ke dalam mid-piece, main-piece, dan end-piece. Komponen terpenting dari
spermatozoa adalah kepala yang meliputi nucleus, yang berisi kode genetik. Post
nuclear cap yang melindungi bagian posterior nucleus dan akrosom. Titik dimana
bersatunya ekor dan kepala berisi centriol proximal dan disebut daerah implant.
Bagian kepala penting saat penetrasi pada oocyte yang menyampaikan muatan kode
genetik. Sedangkan ekor merupakan bagian metabolis yang menghasilkan energi dan
yang menyediakan mekanisme pergerakan atau motilitas (Bearden et al., 2004; Pineda
dan Dooley, 2003).
Mid-piece merupakan bagian tebal dari ekor dengan panjang 8µ-10 µ pada
sapi, lokasi hanya pada sebelah posterior mitochondrial sheath, yang terbentuk dari
mitokondria spermatid. Mitochondrial sheath mengandung enzim yang mengubah
fruktosa dan substrat energi lainnya menjadi senyawa kompleks yang dapat digunakan
oleh spermatozoa. Main-piece dan end-piece tidak memiliki selubung pelindung. Ciri-
ciri utama dari ekor adalah axial filament. Axial filament merupakan fibril-fibril yang
sangat kecil yang dimulai dari centriol proximal dan melintasi seluruh ekor.
Kontraksi fibril ini dikarenakan adanya gerakan ekor yang mendorong spermatozoa
maju. Kontraksi dimulai dari centriol proximal dengan tahapan yang teratur yang
mengelilingi garis tepi fibril dan dengan ritmik turun ke ekor (Bearde et al., 2004).
Pemeriksaan semen secara mikroskopis meliputi gerakan massa, gerakan
individu atau motilitas, konsentrasi, persentase hidup dan mati, dan abnormalitas.
Gerakan massa adalah gerakan dari beberapa spermatozoa bersama-sama sehingga
membentuk suatu gelombang. Gerakan massa mencerminkan daya gerak dan
konsentrasi spermatozoa. Semen yang memenuhi syarat untuk inseminasi buatan
adalah yang gerakan massanya membentuk gelombang-gelombang yang besar dan
banyak dan bergerak cepat (+++/sangat baik) serta yang membentuk gelombang tipis,
jarang dan gerakan lamban (++/baik). Gerakan individu dari setiap spermatozoa
adalah penting. Karena pergerakan yang baik memungkinkan spermatozoa dapat
mencapai sel telur di dalam saluran oviduk dalam waktu yang relatif singkat, sehingga
memungkinkan terjadinya pembuahan. Gerakan individu atau motilitas spermatozoa
dapat dibedakan dalam beberapa tipe, yaitu :
1. Gerakan maju = P (Progresif)

2. Gerakan berputar, bergetar = O (Oscilatory), V (Vibratoris)

3. Gerakan melingkar = C (Circular)

4. Gerakan mundur = R (Reverse)

5. Spermatozoa yang tidak ada gerakan = N (Necrospermia).

Persentase motilitas spermatozoa dibawah 40% menunjukkan nilai semen


yang kurang baik dan sering berhubungan dengan infertilitas. Kebanyakan pejantan
yang fertil mempunyai 50% sampai 80% spermatozoa yang motil aktif progresif.
Pemeriksaan motilitas spermatozoa merupakan satu-satunya cara penentuan kualitas
semen sesudah pengenceran. Menurut cara Rusia konsentrasi semen yang dapat
digunakan dalam inseminasi buatan adalah Densum (D) umumnya kental yaitu bila
letak spermatozoa sedemikian rapatnya sehingga jarak antara kepala spermatozoa
yang satu dengan yang lain kurang dari panjang satu kepala spermatozoa. Semi
Densum (SD), jarak antara satu kepala spermatozoa yang satu dengan yang lain lebih
dari panjang satu kepala spermatozoa. Rarum (R) semen ini encer, jarak antar kepala
spermatozoa yang satu dengan yang lainnya demikian besarnya sehingga hampir sama
dengan seluruh panjang satu spermatozoa. Azoospermia (A) semen sangat encer, tidak
terdapat atau hanya sedikit sekali mengandung spermatozoa di dalam semen.
Persentase yang hidup adalah jumlah spermatozoa hidup (transparan) yang terhitung
dalam persen dengan perbesaran 400 kali (Hardijanto dkk., 2008).
Spermatozoa yang hidup mempunyai lapisan lipoid pada dinding sel sehingga
dapat melindungi masuknya zat warna ke dalam spermatozoa. Spermatozoa yang
hidup tidak akan terwarnai oleh zat warna. Spermatozoa yang telah mati karena rusak
atau hilangnya lapisan lipoid tersebut, maka zat pewarna sangat mudah menembus
masuk ke dalam spermatozoa sehingga akan berwarna merah-keunguan. Semakin
meningkat jumlah spermatozoa yang abnormal di dalam semen, semakin rendah
kesuburan semen ternak tersebut (Hardijanto dkk., 2008).
Spermatozoa yang cacat, walaupun dapat membuahi sel telur, namun biasanya
berakhir dengan kematian anak sebelum dilahirkan. Bentuk–bentuk spermatozoa yang
abnormal terutama pada semen yang rendah kesuburannya antara lain : tidak berekor,
ekor menggulung, lehernya patah, dan kepala atau ekor ganda. Tidak berekor dan ekor
menggulung adalah bentuk abnormalitas yang banyak dijumpai pada semen yang
diambil dari ejakulasi pertama dan kedua setelah domba istirahat lama. Oleh karena
itu dianjurkan untuk tidak memakai semen dari ejakulasi – ejakulasi awal setelah
masa istirahat, karena mempunyai kesuburan yang rendah, sehingga semen demikian
akan menghasilkan angka kebuntingan yang rendah (Hardijanto dkk., 2008).

C. Pengencer Semen
Semen yang telah ditampung harus segera mungkin untuk diencerkan dengan
pengencer semen karena semen yang dibiarkan pada suhu ruang tanpa diencerkan
akan menyebabkan kematian pada spermatozoa dengan cepat hanya dalam kurun
waktu sekitar kurang dari 2 jam (Rizal dan Herdis, 2008). Syarat dari pengencer yang
digunakan yaitu bahan tidak bersifat toksik terhadap spermatozoa, mengandung
sumber energi, bersifat isotonis, mengandung buffer, melindungi dari pengaruh
pendinginan secara cepat, menghambat pertumbuhan bakteri, meningkatkan volume
sehingga bisa digunakan beberapa kali inseminasi buatan dan dapat melindungi
spermatozoa dari semen beku. Pengenceran semen dapat dilakukan dengan
menambahan bahan-bahan tertentu yang mampu memberikan makanan sebagai
sumber energi bagi spermatozoa dan dapat memperpanjang daya hidup spermatozoa
di luar tubuh (Rosmaidar et al., 2013).
Bahan-bahan yang ada dalam pengencer adalah gula sederhana (misal glukosa,
laktosa atau rafinosa) sebagai sumber energi bagi spermatozoa. Kuning telur
digunakan untuk melindungi dari cold shock. Pada saat pendinginan dari suhu tubuh
sampai dengan 50C, substansi tersebut juga digunakan sebagai nutrisi spermatozoa
(Susilawati, 2011). Pengencer Tris dipilih karena terdiri dari bahan seperti fruktosa
sebagai penghasil energi paling besar, asam sitrat sebagai penyangga seperti Tris
(hydroxymethyl) aminomethane (C4H11NO3) dan antibiotic untuk mencegah
perkembangan mikroorganisme (Rizal dan Herdis, 2008).
Hasil penelitian Solihati et al. (2008) menunjukkan bahwa pengencer Tris
kuning telur memiliki persentase hidup spermatozoa cukup tinggi yaitu 57% selama 3
hari penyimpanan, karena sumber energi tertinggi dihasilkan oleh fruktosa yang
cukup menyebabkan spermatozoa tetap bergerak, karena fruktosa berperan
menghasilkan energi berupa ATP yang mengandung fosfat organik kaya energi dan
akan digunakan untuk kontraksi fibril-fibril serta menghasilkan gerak spermatozoa.
Hartanti et al. (2012) menambahkan bahwa persentase daya hidup spermatozoa
menggunakan pengencer Tris kuning telur lebih tinggi walaupun dalam berbagai
interval pengamatan setelah pengenceran, karena pengencer Tris kuning telur dapat
mengendalikan larutan penyanggah dalam mempertahankan pH larutan sehingga
kondisi sperma tidak dalam keadaan asam akibat adanya asam laktat dari hasil proses
metabolisme sel dalam jangka waktu penyimpanan yang lama.

D. Krioprotektan
Krioprotektan adalah zat kimia non elektrolit yang berfungsi mereduksi
pengaruh letal selama proses kriopreservasi sel, diantaranya baik yang berupa efek
larutan maupun pembentukan kristal es ekstra atau intraseluler sehingga dapat
menjaga viabilitas sel setelah kriopreservasi (Supriatna dan Pasaribu, 1992).
Krioprotektan dibagi menjadi dua yaitu krioprotektan ekstraseluler (sukrosa, laktosa,
protein, lipoprotein, kuning telur, susu) dan krioprotektan intraseluler (gliserol, etilen
glikol). Krioprotektan ekstraseluler adalah krioprotektan yang tidak dapat menembus
membran plasma sel karena memliki berat molekul yang besar sedangkan
krioprotektan intraseluler yaitu krioprotektan yang dapat menembus membran plasma
karena memiliki sifat mudah larut dalam lemak (Rizal dan Herdis, 2008).

E. Gliserol
Gliserol merupakan komponen utama lipid yang mengandung 3 atom karbon
(C) dan 3 gugus OH. Gliserol mempunyai sifat yang larut dalam lemak, sehingga
dapat langsung masuk ke sel menembus membran plasma (Rizal dan Herdis, 2008).
Gliserol dapat masuk ke dalam sel spermatozoa untuk mengikat sebagian air bebas,
sehingga kristal-kristal es yang terbentuk di dalam medium pengencer pada waktu
pembekuan dapat dicegah (Azizah dan Arifiantini, 2009).
Gliserol juga menjaga keseimbangan elektrolit intra dan ekstraseluler sehingga
proses biokimia yang terjadi di dalam sel spermatozoa tetap berlangsung dan
mengurangi kematian sel spermatozoa yang berlebihan (Tambing et al., 2000).
Konsentrasi gliserol yang dimasukkan kedalam pengencer untuk pembekuan semen
domba dibatasi oleh sifat toksiknya. Gliserol juga dapat merusak struktur membran
spermatozoa selama proses pembekuan, menyebabkan cekaman osmotik dan
menimbulkan efek negatif terhadap antibiotik di dalam pengencer (Toelihere, 1993).
Penambahan gliserol ke dalam pengencer adalah esensial untuk pembekuan
semen. Gliserol dapat berdifusi ke dalam sel spermatozoa dan dapat dimetabolisier
dalam proses-proses yang menghasilkan energi dan membentuk fruktosa. Gliserol
akan memasuki siklus perombakan fruktosa pada triosa fosfat dan selanjutnya akan
dirombak menjadi asam laktat untuk dioksidasi lebih lanjut. Fruktosa yang tersedia ini
akan menyebabkan spermatozoa tetap bergerak, karena fruktosa berperan
menghasilkan energi berupa ATP yang mengandung fosfat anorganik (Pi) kaya energi
dan akan digunakan untuk kontraksi fibril-fibril serta menghasilkan gerak
spermatozoa (Toelihere,1993). Penambahan gliserol 5% pada domba Garut dapat
memperbaiki kualitas sperma setelah pembekuan dibandingkan dengan konsentrasi
3% dan 7% (Rizal et al., 2002).
Berdasarkan hasil penelitian Tambing et al. (2000) bahwa penambahan
gliserol 6% dalam pengencer Tris berhasil melindungi spermatozoa dari berbagai
cekaman dingin (cold shock) selama proses kriopreservasi semen, sehingga mampu
mempertahankan kualitas semen beku (motilitas, daya hidup, membran plasma utuh
dan tudung akrosom utuh spermatozoa) dibandingkan pemberian 5% dan 7% gliserol
pada kambing peranakan etawah. Sari et al. (2014) menambahkan bahwa penambahan
gliserol 7% dalam pengencer CEP-D paling baik dalam mempertahankan motilitas
spermatozoa sapi brahman dengan nilai motilitas sebesar 38,75% dibandingkan
dengan konsentrasi 0%, 3%, 5% dan 6% yang masing-masing memiliki motilitas 3%;
25%; 26,25% dan 32,50%. Mumu (2009) berpendapat bahwa pada perlakuan kadar
gliserol sebagai krioprotektan dalam pengencer Tris-kuning telur pada konsentrasi
3%, 5 %, dan 7% masih dapat melindungi sperma selama proses pembekuan dan
mampu mempertahankan kualitas spermatozoa berupa persentase motilitas maupun
persentase hidup spermatozoa pada sapi simental.

F. Uji Kualitas Semen


Kualitas semen dapat diukur secara makroskopik maupun mikroskopik.
Evaluasi makroskopis meliputi volume, warna, bau, kekentalan dan pH semen.
Evaluasi mikroskopis meliputi gerakan massa, motilitas spermatozoa, konsentrasi,
persentase hidup dan mati spermatozoa dan abnormalitas spermatozoa (Susilawati,
2011).
1. Pemeriksaan makroskopis
Pemeriksaan makroskopis meliputi volume, warna, bau, kekentalan dan pH semen.
a. Volume, volume semen dapat dinilai dengan melihat skala pada tabung
penampung semen (Arifiantini, 2012). Volume semen domba dewasa berkisar
antara 0,5-2 ml, sedangkan yang masih muda berkisar antara 0,5-0,7 ml
(Susilawati, 2011). Volume semen dipengaruhi oleh bangsa, ukuran badan, umur
ternak, pakan, frekuensi penampungan semen dan lain-lain (Rizal dan Herdis,
2008). Menurut hasil penelitian Ihsan (2011) bahwa setiap ejakulat pada ternak
kambing mampu mengeluarkan semen sebesar 0,6 ml – 1,5 ml atau sekitar 0,95 ml
untuk setiap ejakulasi. Rizal et al. (2012) menambahkan bahwa volume semen
pada domba Garut memiliki rata-rata volume semen segar sebesar 0,77 ml. Pada
jenis domba yang lain dilaporkan volume semen segar rata-rata 1,66 ml pada
domba St. Croix (Feradis, 1999).
b. Warna, warna semen domba yang normal adalah krem atau putih susu. Warna
semen yang kekuningan disebabkan oleh pigmen riboflavin yang dibawa oleh
suatu gen autosomal resesif dan tidak berpengaruh terhadap fertilitas. Warna merah
biasanya disebakan karena semen tercampur dengan darah akibat adanya perlakuan
pada saluran reproduksi pejantan (Rizal dan Herdis, 2008). Warna semen
dipengaruhi oleh sekresi kelenjar aksesoris, terutama dari kelenjar vesikularis.
Warna semen juga dipengaruhi oleh pakan (Arifiantini, 2012). Menurut penelitian
Tambing et al. (2000) bahwa semen kambing peranakan etawah yang baik memliki
warna putih sampai krem. Hasil penelitian Feradis (1999) pada domba St.Croix
didapatkan warna semen rata-rata krem, konsistensi kental dan konsentrasi 3.785
juta/ml. Rizal et al. (2012) menambahkan bahwa warna semen pada domba Garut
yaitu putih susu.
c. Bau, bau dapat dinilai dengan cara mengibaskan tangan di atas tabung penampung
(Arifiantini, 2012). Umumnya bau semen dikategorikan sebagai bau khas (Rizal
dan Herdis, 2008).
d. Konsistensi, konsistensi dikatakan encer apabila semen segera kembali ke dasar
tabung, konsistensi sedang apabila semen segera kembali ke dasar tabung dengan
kecepatan yang lebih lambat dibandingkan yang pertama dan konsistensi kental
apabila semen kembali ke dasar tabung secara perlahan dan menyisakan sebagian
semen di pinggiran tabung (Arifiantini, 2012). Semen yang digolongkan baik
adalah yang memiliki konsistensi antara sedang dan kental (Rizal dan Herdis,
2008). Menurut penelitian Sujoko et al. (2009) umumnya konsistensi semen domba
yaitu kental.
e. pH, nilai pH semen yang normal adalah sekitar 7 (netral). pH dipengaruhi oleh
konsentrasi spermatozoa yang terkandung didalamnya. Semakin tinggi konsentrasi
spermatozoa, semakin rendah pH semen (Rizal dan Herdis, 2008). Terjadinya
penurunan dan kenaikan pH disebabkan oleh akumulasi asam laktat, sedangkan
peningkatan pH dapat disebabkan oleh banyaknya spermatozoa yang mati sehingga
membentuk amoniak (Handarini, 2005). Sujoko et al. (2009) menegaskan dari hasil
penelitian-penelitian terdahulu bahwa pH normal semen segar domba yaitu 6,73.
f. Pemeriksaan mikroskopis
Pemeriksaan makroskopis meliputi gerakan massa, motilitas spermatozoa,
konsentrasi, persentase hidup spermatozoa dan abnormalitas spermatozoa.
g. Gerakan massa, gerakan massa digolongkan sangat baik (+++) jika terlihat adanya
gelombang besar, banyak, gelap, tebal dan aktif seperti gumpalan awan hitam
dekat waktu hujan yang bergerak secara cepat berpindah-pindah tempat, baik (++)
bila terapat gelombang-gelombang kecil tipis, jarang, kurang jelas dan bergerak
lamban, kurang baik (+) jika tidak terlihat gelombang melainkan gerakan-gerakan
individual aktif progresif dan buruk (0) bila hanya sedikit ada gerakan-gerakan
individual (Arifiantini, 2012). Gerak massa spermatozoa dikatakan sangat baik
apabila terlihat adanya gelombang besar, tebal dan aktif (Susilawati, 2011).
Menurut penelitian Tambing et al. (2000) bahwa pada semen segar kambing
peranakan etawah memiliki gerakan massa +++.
h. Motilitas, gerakan individu adalah penilaian gerakan spermatozoa secara
individual, baik kecepatan atau perbandingan antara yang berferak aktif progresif
dengan gerakan-gerakan spermatozoa yang lainnya (Arifiantini, 2012). Gerakan
individu spermatozoa yaitu progresif atau gerak maju yang merupakan gerak
terbaik, gerak mundur dan gerak melingkar sering merupakan tanda-tanda cold
shock, gerakan berayun atau berputar-putar ditempat sering terlihat pada semen
yang tua dan berhenti bergerak atau mati (Susilawati, 2011). Semen segar yang
baik dan memenuhi syarat untuk diproses menjadi semen beku harus memenuhi
persentase spermatozoa motil minimum 65-70% (Rizal dan Herdis, 2008).
Menurut penelitian Tambing et al. (2000) bahwa pada semen segar kambing
peranakan etawah memiliki motilitas sebesar 74,29%.
i. Konsentrasi, konsentrasi spermatozoa adalah jumlah sel spermatozoa yang terdapat
di dalam satu milliliter semen (Rizal dan Herdis, 2008). Penilaian konsentrasi
spermatozoa tiap milliliter semen sangat penting, karena faktor ini dipakai sebagai
kriteria penentu kualitas semen dan menentukan tingkat pengencerannya.
Konsentrasi normal domba berkisar antara 3,5 x 109 – 6 x 109 spermatozoa/ml
(Susilawati, 2011). Dalam penelitian Tambing et al. (2000) bahwa pada semen
segar kambing peranakan etawah memiliki konsentrasi sebesar 2,80 x 109.
j. Persentase hidup, persentase hidup ditandai oleh kepala berwarna putih (tidak
menyerap zat warna) sedangkan yang mati kepalanya berwarna merah atau merah
muda karena menyerap zat pewarna (Rizal dan Herdis, 2008). Viabilitas semen
segar domba sebesar 84,5±2,74% (Herdis, 2005). Menurut penelitian Akhdiat
(2012) bahwa persentase hidup spermatozoa domba yaitu 87,96%, hasil tersebut
dipertegas oleh penelitian dan Ariantie et al. (2014) yaitu 85,37%. Umumnya
semen segar yang telah ditambahkan pengencer akan mengalami penurunan secara
perlahan. Menurut penelitian Susilawati et al. (2002) bahwa persentase hidup
spermatozoa yang ditambahkan Tris Aminomethan kuning telur dan disimpan
dalam waktu yang lama dapat mencapai 76,84%, hasil tersebut kemudian
dipertegas oleh penelitian Akhdiat (2012) bahwa persentase hidup spermatozoa
yaitu 63,25% , ternyata dapat digunakan untuk IB.
k. Abnormalitas, kelainan morfologi spermatozoa digolongkan sebagai abnormalitas
primer dan abnormalitas sekunder. Abnormalitas primer disebabkan oleh
ketiaksempurnaan proses produksi spermatozoa di dalam tubuli seminiferi dan
proses pematangan di dalam epididimis sedangkan abnormalitas sekunder
disebabkan oleh kerusakan pada saat penampungan dan evaluasi semen (Rizal dan
Herdis, 2008). Semen domba yang fertil secara normal tidak boleh mengandung
lebih dari 15% spermatozoa abnormal (Ax et al., 2000). Abnormalitas spermatozoa
dipengaruhi oleh stress panas, temperatur dan kelembaban (Susilawati, 2011).
Ariantie et al. (2014) menegaskan persentase abnormalitas spermatozoa domba
yaitu 6,40%.
BAB III
METODE PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat Penelitian


Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 23 sampai 28 November 2018 di
Laboratorium Kultur Jaringan Jurusan Biologi, FMIPA, Universitas Negeri
Surabaya

B. Alat dan Bahan


a. Alat:
1) Gelas obyek
2) Gelas penutup
3) Tabung sentrifus plastik
4) Aluminium foil
5) Pipet steril
6) Stik gelas
7) Mikropipet ukuran
8) Mikrotip
9) Hemositometer
10) Cawan petri
11) Rak tabung reaksi
12) Water bath
13) Hand counter
14) Mikroskop cahaya
15) Pembakar bunsen
16) Gelas beker ukuran 50, 100, 250 ml
17) Kertas saring
18) Syringe/jarum suntik ukuran 5, 10 ml
b. Bahan:
1) Semen segar dari jenis hewan domba
2) Alkohol 70%
3) Kipas
4) Tris
5) Asam sitrat
6) Glukosa
7) Fruktosa
8) Penisilin-streptomisin
9) Kuning telur segar
10) Deionize water/air untuk infus
11) Pewarna eosin negrosin

C. Prosedur Kerja
1. Sterilisasi peralatan
- Membersihkan semua peralatan dari bahan-bahan yang menempel dengan
menggunakan air mengalir.
- Merendam semua peralatan dengan sabun tidak berbau (teepol) semalam.
- Menggosok dan membilas dengan air mengalir sebanyak 5x.
- Merebus dengan air panas selama 5 menit.
- Membilas dengan air DO/aquabides steril sebanyak 2x.
- Mengeringkan.
- Melakukan sterilisasi kering untuk peralatan dari gelas di dalam oven.
- Melakukan sterilisasi basah atau di UV untuk peralatan dari plastik.
2. Pembuatan pengenceran dasar tris
- Menimbang tris 3,025 g; asam sitrat 1,7 g; glukosa 0,180 g; fruktosa 0,180
g; penisilin 0,1 g; streptomisin 0,1 g.
- Mencampurkan semua bahan kimia ke dalam gelas beker, menambahkan
air do sebanyak 75 ml, lalu menggoyang-goyangkan gelas beker untuk
membantu homogenisasi.
- Jika semua sudah larut, menambahkan lagi air do sampai larut
menunjukkan volume 100 ml.
- Mensterilisasi dengan menggunakan membrane milipor di laf.
- Menyimpan pengencer dasar tris dalam lemari es.
3. Suplementasi kuning telur
- Mengeluarkan pengencer dasar tris dari lemari es, membiarkan dalam
suhu ruang supaya suhunya naik dan mudah untuk dicampur dengan
kuniing telur.
- Mengambil telur yang masih baru, membersihkan kotoran yang menempel
pada cangkang dengan sabun dan air mengalir.
- Mensterilisasi telur dengan cara dengan menggunakan alkohol 70%.
- Memecahkan telur pada bagian tengah dengan menggunakan pisau atau
pinset.
- Mengambil bagian kuning telurnya saja, usahakan utuh tidak pecah,
menggulingkan pada kertas saring untuk menghilangkan sisa putih telur.
- Memasukkan kuning telur pada cawan petri steril.
- Mengambil kuning telur dengan cara disedot menggunakan jarum suntik.
- Mengambil pengencer dasar tris sebanyak 20 ml, menghomogenkan
dengan cara dikocok-kocok.
- Menyimpan dalam lemari es selama 3 hari, mengambil bagian supernatan
untuk pengencer.
4. Proses pengenceran semen
- Menyiapkan tabung reaksi steril yang sudah dibungkus dengan aluminium
foil.
- Mengambil semen segar dengan menyemprotkan larutan PBS/pengencer
tris ke saluran epididimis, kemudia epididimis dipencet untuk
mengeluarkan semen, menyimpan dalam tabung reaksi plastik steril dalam
keadaan hangat (suhu 37ºC),
- Menghitung segera konsentrasi spermatozoa dengan menggunakan
hemositometer.
- Melakukan pengamatan motilitas spermatozoa dari semen segar.
- Melakukan proses pengenceran dengan menggunakan prinsip pengenceran
: V1M1 = V2M2
- Dalam proses pengenceran, terlebih dahulu mengambil semen segar
dengan menggunakan mikropipet sesuai ukuran hasil hitungan, kemudian
menambahkan pengencer sesuai dengan hasil hitungan, melakukan
pengenceran pada suhu hangat.
- Menentukan konsentrasi spermatozoa sebesar 25 x 106 setelah dilakukan
pengenceran.
5. Pengamatan motilitas spermatozoa
- Melakukan pengambilan spermatozoa dengan menggunakan stik gelas
terlebih dahulu mengaduk-aduk agar spermatozoa dapat terbawa.
- Meneteskan semen pada gelas obyek.
- Memanaskan sebentar dengan cara dilewat-lewatkan di atas bunsen.
- Mengamati motilitas spermatozoa di bawah mikroskop.
6. Pengamatan viabilitas spermatozoa
- Melakukan pengambilan semen dengan menggunakan stik gelas.
- Meneteskan pada gelas obyek.
- Mengambil pewarna eosin negrosin, meneteskan pada gelas obyek yang
sama dengan semen.
- Mengambil gelas obyek yang lain.
- Mencampurkan semen dengan pewarna eosin negrosin dengan salah satu
ujung gelas obyek.
- Membuat hapusan antara semen eosin negrosin dengan menggunakan
ujung gelas obyek.
- Mengamati di bawah mikroskop viabilitas spermatozoa yang ditandai
dengan spermatozoa yang masih hidup tidak berwarna, spermatozoa yang
sudah mati berwarna biru keunguan.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil
Tabel 1. Hasil pengamatan motilitas dan viabilitas spermatozoa domba

No. Tanggal Perlakuan Motilitas (%) Viabilitas (%)

Telur Ayam Negeri 0 77 0 83


Hari-0
Telur Ayam Kampung 0 79 0 85
1.
23-11-2018
Telur Puyuh 0 80 0 88

Telur Ayam Negeri 27 20 35 30


Hari-1
2. Telur Ayam Kampung 30 22 43 33
24-11-2018
Telur Puyuh 38 27 47 45

Telur Ayam Negeri 0 0 0 0


Hari-2
3. Telur Ayam Kampung 0 0 0 0
26-11-2018
Telur Puyuh 0 0 0 0

Telur Ayam Negeri 0 0 0 0


Hari-3
4. Telur Ayam Kampung 0 0 0 0
27-11-2018
Telur Puyuh 0 0 0 0

Telur Ayam Negeri 0 0 0 0


Hari-4
5 Telur Ayam Kampung 0 0 0 0
28-11-2018
Telur Puyuh 0 0 0 0

B. Analisis
Dari hasil pengamatan praktikum pembuatan pengenceran dan kualitas
spermatozoa domba, pada pengamatan hari ke-0 dihasilkan persentase motilitas
telur ayam negeri yaitu pada pengamatan pertama yang dilakukan pada pagi hari
sebesar 0% dan pada pengulangan kedua yang dilakukan pada sore hari sebesar
77%, kemudian menghasilkan persentase viabilitas pada pengulangan pertama
yang dilakukan pada pagi hari sebesar 0% dan pada pengulangan kedua yang
dilakukan pada sore hari sebesar 85%. Kemudian pada hasil pengamatan pada
telur ayam kampung dihasilkan persentase motilitas telur ayam kampung yaitu
pada pengulangan pertama yang dilakukan pada pagi hari sebesar 0% dan pada
pengulangan kedua yang dilakukan pada sore hari sebesar 79%, kemudian
menghasilkan persentase viabilitas pada pengulangan pertama yang dilakukan
pada pagi hari sebesar 0% dan pada pengulangan kedua yang dilakukan pada
sore hari sebesar 85%. Kemudian pada hasil pengamatan pada telur puyuh
dihasilkan persentase motilitas telur puyuh yaitu pada pengulangan pertama
yang dilakukan pada pagi hari sebesar 0% dan pada pengulangan kedua yang
dilakukan pada sore hari sebesar 80%, kemudian menghasilkan persentase
viabilitas pada pengulangan pertama yang dilakukan pada pagi hari sebesar 0%
dan pada pengulangan kedua yang dilakukan pada sore hari sebesar 88%.
Pada pengamatan hari ke-2 dihasilkan persentase motilitas telur ayam
negeri yaitu pada pengamatan pertama yang dilakukan pada pagi hari sebesar
27% dan pada pengulangan kedua yang dilakukan pada sore hari sebesar 20%,
kemudian menghasilkan persentase viabilitas pada pengulangan pertama yang
dilakukan pada pagi hari sebesar 35% dan pada pengulangan kedua yang
dilakukan pada sore hari sebesar 30%. Kemudian pada hasil pengamatan pada
telur ayam kampung dihasilkan persentase motilitas telur ayam kampung yaitu
pada pengulangan pertama yang dilakukan pada pagi hari sebesar 30% dan pada
pengulangan kedua yang dilakukan pada sore hari sebesar 22%, kemudian
menghasilkan persentase viabilitas pada pengulangan pertama yang dilakukan
pada pagi hari sebesar 43% dan pada pengulangan kedua yang dilakukan pada
sore hari sebesar 33%. Kemudian pada hasil pengamatan pada telur puyuh
dihasilkan persentase motilitas telur puyuh yaitu pada pengulangan pertama
yang dilakukan pada pagi hari sebesar 38% dan pada pengulangan kedua yang
dilakukan pada sore hari sebesar 27%, kemudian menghasilkan persentase
viabilitas pada pengulangan pertama yang dilakukan pada pagi hari sebesar 47%
dan pada pengulangan kedua yang dilakukan pada sore hari sebesar 45%.
Sedangkan pada hasil pengamatan hari ke-3, hari ke-4, dan hari ke-5
tidak menghasilkan persentase motilitas dan persentase viabilitas dari telur ayam
negeri, telur ayam kampung, dan telur puyuh. Hasil dari persentase motilitas dan
hasil dari persentase viabilitas yang dilakukan pada pengulangan pertama dan
pengulangan kedua yaitu pagi dan sore hari menghasilkan persentase sebesar
0%. Berdasarkan hasil pengamatan didapatkan hasil bahwa motilitas dan
viabilitas lebih besar pada perlakuan telur burung puyuh.

C. Pembahasan
Upaya optimalisasi pengolahan semen agar diperoleh kualitas semen
yang optimal dapat dilakukan melalui pemilihan jenis pengencer semen.
Toelihere (1993) menyatakan bahwa pengencer harus dapat menyediakan zat-zat
makanan, mencegah perubahan pH, mencegah pertumbuhan kuman, melindungi
sperma dari cekaman dingin serta memperbanyak volume semen. Syarat bahan
pengencer adalah harus dapat menyediakan nutrisi bagi kebutuhan spermatozoa
selama penyimpanan, harus memungkinkan sperma dapat bergerak secara
progresif, tidak bersifat racun, menjadi penyanggah bagi sperma, dapat
melindungi dari cekaman dingin (cold shock) baik untuk semen beku maupun
semen cair (Solihati dan Kune, 2011).
Kualitas semen yang dihasilkan dapat diketahui dengan melakukan
pemeriksaan semen. Pemeriksaan semen terdiri dari dua cara yaitu secara
makroskopis dan mikroskopis. Pemeriksaan makroskopis antara lain volume,
warna, bau semen, pH, konsistensi. Pemeriksaan secara mikroskopis terdiri dari
gerakan massa, gerakan individu, konsentrasi dan morfologi spermatozoa
(Toelihere dan Taurin, 1979). Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam
penanganan semen agar daya hidup sel spermatozoa tidak cepat menurun, yaitu
menghindari panas suhu yang berlebihan, berhubungan dengan udara terlalu
lama, terkena sinar matahari secara langsung dan menghindari goncangan yang
berlebihan (Toelihere, 1993). Daya hidup spermatozoa di luar tubuh sangat
rendah dan mudah mengalami kematian (Partodiharjo, 1992).
Berdasarkan hasil praktikum pembuatan pengencer dan kualitas
spermatozoa domba, volume semen domba yang dihasilkan sebanyak 2 ml.
Semen domba memiliki volume yang rendah namun konsentrasi yang tinggi
(Aku et al. 2007). Perbedaan volume ini terjadi karena adanya perbedaan
individu, umur, ukuran tubuh, perubahan kesehatan reproduksi dan frekuensi
penampungan. Semen domba pH-nya sekitar 7. pH normal ialah 7,2-7,8. pH> 8
menunjukan adanya radang akut kelenjar kelamin atau epydimitis. pH< 7,2
menunjukan adanya gangguan atau aplasia pada vesicula seminalis atau ductus
ejaculatorius. pH dapat berubah 1 jam sesudah ejakulasi. Konsistensi semen
domba sangat kental dengan konsentrasi 4,356 per 0,25 ml. Hasil ini sesuai
dengan penelitian Hastono et al. (2001) pada tiga jenis domba persilangan garut
St.Croix yaitu kental. Konsistensi atau kekentalan atau viscositas merupakan
salah satu sifat semen yang erat kaitannya dengan kepadatan atau konsentrasi
sperma di dalamnya. Semakin kental semen maka dapat diartikan semakin tinggi
konsentrasi sperma. Konsistensi atau derajat kekentalan dapat dilihat dengan
cara menggoyangkan tabung penampung berisi semen segar secara perlahan.
Semen dengan konsistensi kental akan terlihat pada saat memiringkan tabung
gelas penampung dan selanjutnya kembali pada posisi normal, maka proses
kembalinya larutan semen tersebut ke posisi tegak akan lama, dibandingkan
dengan semen dengan konsistensi encer. Semen sapi dan domba mempunyai
konsistensi kental berwarna krem dengan konsentrasi 1000 juta hingga 2000 juta
sel spermatozoa per ml semen, sedangkan semen kuda dan babi mempunyai
konsistensi encer.
Semen domba berbau amis seperti domba. Semen yang normal umumnya
memiliki bau amis khas disertai bau dari hewan itu sendiri. Bau busuk bisa
terjadi apabila semen mengandung nanah yang disebabkan oleh adanya infeksi
organ atau saluran reproduksi hewan jantan. Semen berwana putih krem. Hasil
ini sesuai dengan pendapat Ax et al. (2000), Qomariyah et al. (2001) dan Rizal
et al. (2003) bahwa warna semen domba berwarna putih susu atau krem. Warna
tersebut merupakan warna normal. Warna semen domba yang normal adalah
seperti susu atau krem keputih-putihan dan keruh. Derajat kekeruhan tergantung
atas konsentrasi spermatozoa yang dikandung. Semakin keruh biasanya jumlah
sperma per ml semen itu semakin banyak Adanya ketidak normalan dari warna
semen, yang diakibatkan karena kandungan bakteri tertentu seperti
Pseudomonas aeruginosa sehingga menyebabkan warna semen domba menjadi
hijau kekuning-kuningan. Selain itu warna kecoklatan karena adanya darah yang
telah mengalami dekomposisi (Partodiharjo, 1990).
Motilitas merupakan daya gerak spermatozoa yang dinilai segera setelah
penampungan semen. Penilaian motilitas digunakan sebagai ukuran
kesanggupan spermatozoa dalam membuahi sel telur atau ovum. Motilitas
spermatozoa dipengaruhi antara lain oleh penurunan suhu yang mendadak (cold
shock) atau peningkatan suhu yang berlebihan. Untuk memperoleh hasil yang
lebih tepat, sebaiknya semen dievaluasi pada suhu antara 37o- 40oC dengan
meletakkan gelas objek di atas meja pemanas (heating table) atau menggunakan
mikroskop yang dilengkapi pemanas elektrik. Motilitas sperma segar domba
yang didapat dari hasil penelitian adalah 90%. Hasil ini sesuai dengan pendapat
Gundogan et al. (2010) yang menyatakan bahwa kisaran normal motilitas
sperma domba adalah lebih dari 70%. Hal ini juga dibenarkan oleh Herdis et al.
(2005) yang menyatakan bahwa motilitas sperma segar domba berkisar antara
72 sampai 76%. Melling dan Alder (1998) menyatakan bahwa motilitas sperma
secara langsung berhubungan dengan fertilitas. Motilitas sperma domba 70
sampai 90% atau lebih cocok untuk IB.
Gerakan massa spermatozoa merupakan petunjuk derajat keaktifan
bergerak sperma, dan ini apat dijadikan sebagai indikator tingkat atau presentase
sperma hidup dan aktif dalam semen. Gerakan masa spermatozoa dalam suatu
kelompok dapat dievaluasi dengan adanya kecenderungan bergerak bersama-
sama ke satu arah dan membentuk gelombang-gelombang yang tebal dan tipis,
bergerak cepat atau lamban tergantung dari konsentrasi sperma hidup yang
terkandung di dalamnya. Gerakan masa sperma tersebut dapat dilihat dengan
bantuan mikroskop dengan pembesaran 10 x 10. Dengan meneteskan satu tetes
ke atas permukaan gelas objek dan selanjutnya dilihat di bawah mikroskop.
Penilaian yang diperoleh didasarkan atas skor yang tertera pada tabel 2.
dibawah:
Tabel 2. Penilaian semen berdasarkan gerakan massa spermatozoa

Skore Kelas Keterangan


Padat, gelombang yang terbentuk besar-besar dan
bergerak sangat cepat. Tidak tampak sperma
Sangat bagus
5
secara individual. Contoh semen tersebut
mengandung 90% atau lebih spermatozoa aktif
Gelombang yang terbentuk hampir sama dengan
semen yang memiliki skor 5, tetapi gerakannya
Bagus sedikit lebih lambat. Contoh semen tersebut
4
mengandung 70%-85% atau lebih spermatozoa
aktif
Gelombang yang terbentuk berukuran kecil-kecil

Cukup yang bergerak atau berpindah tempat dengan


3
lambat. Contoh semen tersebut diperkirakan
mengandung 45 - 65% atau lebih spermatozoa aktif
Tidak ditemukannya adanya gelombang tetapi
terlihat gerakan spermatozoa secara individual.
2 Kurang Baik
Contoh semen tersebut diperkirakan mengandung
20 – 40% atau lebih spermatozoa aktif
≤10% ; Gerakan individual sperma (sedikit sekali

1 Buruk gerakan individual sperma atau tidak ada gerakan


sama sekali (mati).

Berdasarkan karakteristik semen segar yang diperoleh dapat dikatakan


bahwa semen segar yang dihasilkan memiliki kuantitas dan kualitas yang baik,
sehingga memenuhi syarat untuk diproses lebih lanjut, baik dalam bentuk semen
cair maupun semen beku.
Prinsip pengenceran semen bertujuan untuk menambah volume semen
dari setiap ejakulasi dan memberi zat-zat makanan yang dibutuhkan untuk
mempertahankan daya tahan hidup dan fertilitas sperma. Selain itu, pengenceran
juga dapat memberi perlindungan terhadap sperma dari terjadinya kejutan dingin
(cold shock), mencegah tumbuhnya kuman dan juga sebagai penyanggah dalam
menjaga kestabilan pH (Toelihere, 1993) disamping itu pengencer harus
mempunyai sifat-sifat seperti plasma semen yaitu harus dapat menciptakan
keadaan yang memungkinkan sperma tahan terhadap kondisi buatan yang
berhubungan dengan penyimpanan. Kemampuan spermatozoa untuk bertahan
hidup lebih lama di dalam suatu medium pengencer sangat dipengaruhi oleh
sifat fisik dan kimiawi pengencer yang digunakan. Beberapa bahan pengencer
yang biasa atau umum digunakan adalah tris, kuning telur, disamping itu perlu
juga ditambahkan gliserol atau etilen glikol atau dhimethylsulfuroxide (DMSO).
Pengencer tris dan kuning telur dipergunakan secara luas sebagai media
buffer di dalam pengencer, guna memperpanjang daya hidup sperma pada suhu
5oC sampai dengan -196oC (Bearden dan Fuguay, 1984). Keuntungan dari
pengencer tris adalah sperma dapat dicampur langsung dengan seluruh volume
pengencer secara perlahan-lahan. Peranan dasar tris dalam bahan pengencer
semen adalah dapat mempertahankan daya hidup spermatozoa dan dapat
menurunkan tingkat kerusakan akrosom. Sedangkan peranan kuning telur adalah
sebagai sumber energi bagi spermatozoa karena mengandung glukosa.
Penambahan antibiotika ke dalam pengencer penting untuk dilakukan karena
berguna untuk menahan atau membunuh pertumbuhan bakteri organisme yang
dapat merusak sperma, serta dapat memperbaiki fertilitas. Penambahan
antibiotika tersebut berguna untuk meningkatkan motilitas dan daya tahan hidup
sperma (Salisbury dan Vandemark, 1985).
Pada praktikum ini kuning telur yang digunakan dimanipulasi menjadi 3
yaitu kuning telur ayam negeri, kuning telur ayam kampung dan kuning telur
burung puyuh. Penambahan kuning telur ke dalam pengencer ini selain
dimaksudkan sebagai sumber protein juga sekaligus berfungsi sebagai
cryoprotectan karena menurut Toelihere (1981) fungsi kuning telur ayam yang
terletak pada kandungan lipoprotein dan lechitin-nya yang dapat bekerja
mempertahankan dan melindungi integritas selubung pada lipoprotein
spermatozoa terutama selama proses pembekuan dan pencairan kembali.
Lipoproteini akan melindungi spermatozoa dari luar sel yaitu dengan jalan
melekatkan diri pada membran plasma spermatozoa sehingga spermatozoa
terbungkus oleh lipoprotein. Masrizal (1991) mengatakan bahwa lipoprotein
adalah komponen utama didalam kuning telur mempunyai daya tarik menarik
dengan membran plasma spermatozoa. Kesanggupan penempelan lipoprotein
pada membran plasma ini ditentukan oleh lipid yang terdapat didalamnya. Lipid
yang terdapat didalam lipoprotein untuk menempel pada membran spermatozoa
sehingga dapat melindunginya.
Berdasarkan Tabel 1 diperoleh data pengamatan semen dengan perlakuan
kuning telur yang berbeda. Kuning telur yang digunakan yaitu kuning telur
ayam negeri, kuning telur ayam kampung dan kuning telur puyuh. Data yang
diamati yaitu motilitas dan viabilitas sperma domba. Pengamatan dilakukan dua
kali dalam sehari. Pada hari ke-0 pengamatan hanya dilakukan satu kali yaitu
pada sore hari. Pada hari ke-0 perlakuan kuning telur ayam negeri diperoleh
motilitas 77% dan viabilitas 85%, perlakuan kuning telur ayam kampung
diperoleh motilitas 79% dan viabilitas 85%, perlakuan kuning telur puyuh
diperoleh motilitas 80% dan viabilitas 88%. Persentase yang dimiliki semen
tanpa pengencer menunjukkan angka yang lebih tinggi dibandingkan dengan
semen yang menggunakan pengencer tris kuning telur. Hal ini diduga karena
pada semen segar atau semen tanpa pengencer masih mengandung nutrisi yang
dibutuhkan oleh spermatozoa untuk bertahan hidup sampai waktu tertentu,
sedangkan setelah diberi pengencer persentase hidupnya rendah karena
dimungkinkan spermatozoa mengalami adaptasi terhadap perbedaan kondisi
pada pengencer.
Pada hari ke-1 perlakuan kuning telur ayam negeri pengamatan pertama
diperoleh motilitas 27% dan viabilitas 35%, pada pengamatan kedua diperoleh
motilitas 20% dan viabilitas 30%. Perlakuan ayam kampung pengamatan
pertama diperoleh motilitas 30% dan viabilitas 43%, pada pengamatan kedua
diperoleh motilitas 22% dan viabilitas 33%. Perlakuan telur puyuh pengamatan
pertama diperoleh motilitas 38% dan viabilitas 47%, pada pengamatan kedua
diperoleh motilitas 27% dan viabilitas 45%. Rerata motilitas dan viabilitas
spermatozoa setelah pemisahan pada semua medium perlakuan menurun lebih
rendah dibanding motilitas dan viabilitas hari ke-0. Penurunan motilitas terjadi
karena spermatozoa hasil pemisahan telah mengalami perlakuan yang
membutuhkan banyak energi untuk tetap menormalkan kondisi fisiologisnya,
hal ini pada akhirnya mengakibatkan motilitas menjadi menurun dan bahkan
tidak bergerak sama sekali atau mati (Susilawati, 2014; Afiati, 2004).
Pengamatan pada hari ke-2 tidak dilakukan karena bersamaan dengan
hari minggu atau libur. Pada pengamatan ke-3 spermatozoa pada semua
perlakuan mengalami kematian. Hal ini ditandai dengan tidak ada motilitas saat
pengamatan, selain itu persentase spermatozoa yang hidup yang diketahui
dengan teknik pewarnaan eosin (Toelihere, 1993). Spermatozoa yang hidup
ditandai oleh kepala berwarna putih, sedangkan yang mati ditandai oleh kepala
berwarna merah. Pada waktu semen segar bercampur dengan zat warna, sel-sel
spermatozoa yang hidup tidak atau sedikit sekali menghisap warna (berwarna
putih), sedangkan sel-sel yang mati akan mengisap warna (merah) karena
permeabilitas dinding sel meningkat saat mati. Penurunan viabilitas spermatozoa
selama penyimpanan lebih disebabkan oleh meningkatnya jumlah spermatozoa
rusak dan mati akibat keterbatasan energi. Solihati et al (2008); Pareira et al.,
(2010) menyatakan viabilitas akan menurun akibat suhu dingin, ketersedian
energi dalam pengencer makin berkurang dan menurunnya pH karena terjadi
peningkatan asam laktat hasil metabolisme, adanya kerusakan membran plasma,
dan akrosom. Tingkat kandungan asam laktat akan berkorelasi nyata dengan
daya gerak spermatozoa dan memperpendek daya tahan hidup spermatozoa
(Tambing et al., 2000). Suyadi dan Susilawati (1992) menambahkan bahwa
kadang-kadang spermatozoa yang masih hidup akan mengambil warna sebagian
dari ekor sampai setengah badan. Pengambilan zat warna oleh spermatozoa juga
dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor lain seperti sekresi kelenjar assesoris, pH,
suhu, kesalahan teknik pada waktu pembuatan preparat dan umur semen sesudah
pengambilan semen. Penyerapan warna dipengaruhi oleh kondisi membran
spermatozoa yang apabila fungsi permeabilitas tidak befungsi, maka pewarna
bisa masuk tanpa terkontrol, sedangkan bila membran bagus, sperma tidak dapat
menyerap warna sehingga tampak transparan.
Pada hari ke-2 sampai hari ke-4 tidak terdapat motilitas dan viabilitas
spermatozoa domba. Hal tersebut diduga karena spermatozoa sudah tidak
mampu bertahan hidup karena pengaruh lingkungan di luar tubuh dan jumlah
produksi asam laktat yang tinggi yang menyebabkan spermatozoa mati. Sugiarti
et al. (2004) menyatakan bahwa keadaan penyimpanan dalam jangka waktu
yang lama menyebabkan penurunan kualitas spermatozoa akibat adanya asam
laktat hasil proses metabolisme sel yang menyebabkan kondisi medium menjadi
semakin asam. Kondisi ini dapat bersifat racun terhadap spermatozoa yang
akhirnya menyebabkan kematian sperma.
Nilai viabilitas pada semua hasil pengamatan diperoleh lebih tinggi
daripada nilai motilitas. Mesang-Nalley et al. (2007) menyatakan bahwa nilai
persentase viabilitas spermatozoa ini biasanya sedikit lebih tinggi dari
persentase motilitas. Hal ini disebabkan karena spermatozoa yang tidak motil
progresif, tetapi sebenarnya masih hidup sehingga tidak akan menyerap warna
dari larutan eosin yang digunakan.
Dari ketiga perlakuan pengencer kuning telur didapat hasil yang berbeda
antar perlakuan. Nilai motilitas dan viabilitas dari yang terendah sampai
tertinggi yaitu pada perlakuan kuning telur ayam negeri, kuning telur ayam
kampung dan kuning telur puyuh. Kuning telur puyuh menghasilkan motilitas
dan viabilitas tertinggi saat digunakan sebagai suplementasi. Hal ini dikarenakan
kuning telur puyuh mengandung 15,7%-16,6% protein, 31,8%-35,5% lemak,
0,2%-1,0% karbohidrat dan 1,1% abu. Ditambahkan juga oleh Bambang
(2003) bahwa kandungan protein telur puyuh sekitar 13,1%, kandungan
lemaknya 11,1%, kadar kolesterol kuning telur puyuh sebesar 2138,17
mg/100 g, sedangkan kandungan kolesterol kuning telur ayam hanya 1274,5
mg/100 g. Dilihat dari nilai gizinya, telur puyuh mengandung 13.6% protein dan
8.2% lemak (Nugroho & Mayun, 1986). American Heart Asosiation (2002)
menyatakan Tingginya kadar High Density Lipoprotein (HDL) di dalam produk
tepung kuning telur puyuh ini menambah nilai lebih pada produk ini karena
menjadi produk yang ramah bagi tubuh. Selanjutnya dikemukakan oleh
Vishwanath & Shannon (2000) bahwa komponen spesifik dari kuning telur yang
bertanggung jawab sebagai agen krioprotektif : phosphatidylcholine (lesitin),
fraksi low density lipoprotein (LDL), dan ekstrak lipid, sehingga menyebabkan
membran plasma tetap stabil saat melalui zona temperatur kritis. Dengan
terlindunginya membran plasma maka motilitas spermatozoa akan berlangsung
selama proses preservasi.

.
BAB V
KESIMPULAN

A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil pengamatan praktikum pembuatan pengenceran dengan
suplementasi telur ayam negeri, telur ayam kampung dan telur burung puyuh
didapatkan hasil yang berbeda. Nilai motilitas dan viabilitas dari yang terendah
sampai tertinggi yaitu pada perlakuan kuning telur ayam negeri, kuning telur
ayam kampung dan kuning telur puyuh. Kuning telur puyuh menghasilkan
motilitas dan viabilitas tertinggi saat digunakan sebagai suplementasi. Hal ini
dikarenakan kuning telur puyuh mengandung protein sekitar 13,1%,
kandungan lemaknya 11,1%, kadar kolesterol kuning telur puyuh sebesar
2138,17 mg/100 g, sedangkan kandungan kolesterol kuning telur ayam
hanya 1274,5 mg/100 g. Komponen spesifik dari kuning telur yang
bertanggung jawab sebagai agen krioprotektif : phosphatidylcholine (lesitin),
fraksi low density lipoprotein (LDL), dan ekstrak lipid, sehingga menyebabkan
membran plasma tetap stabil saat melalui zona temperatur kritis. Dengan
terlindunginya membran plasma maka motilitas spermatozoa akan berlangsung
selama proses preservasi.
DAFTAR PUSTAKA

Abdillah. 1999. Pengaruh beberapa pengencer semen, lama penyimpanan semen dan
waktu inseminasi terhadap fertilitas spermatozoa ayam buras. Tesis Program
Pascasarjana IPB Bogor.
Aboagla EM, Terada T. 2004. Effect of Egg Yolk During the Freezing Step of
Cryopreservation on the Viability of Goat spermatozoa. Theriogenology 62 :
1160-1172.
Aku AS, Sandiah N, Sadsoeitoeboen PD, Amin MR, Herdis. 2007. Manfaat Lesitin
Nabati pada Preservasi dan Kriopreservasi Semen. Journal Animal
Production 9(1) : 49-52
Arifiantini, I., T.L. Yusuf,dan D. Yanti. 2005. Kaji banding kualitas semen beku sapi
Friesian Holstein menggunakan pengencer dari berbagai Balai inseminasi
buatan di Indonesia. J. Animal Production 7 (3) : 168–176.
Arifiantini, I., T. Wresdiyati,dan E.F. Retnani. 2006. Pengujianmorfologi
spermatozoa sapi Bali (Bossondaicus) menggunakanpewarnaan "Williams". J.
Indonesian Tropical Animal Agriculture 31 (2) : 105-110.
Ax, R.L. , M.R. Dally, B.A. Didion, R.W. Lenz, C.C. Love, D.D. Varner, B. Hafez,
and M.E. Bellin. 200. Semen Evaluation. In : B. Hafez/ E.S.E.
Bearden, H. J. and J. W. Fuquay. 1997. Applied Animal Reproduction. 4th edn.
Prentice-Hall, Inc. New Jersey.
Direktorat Gizi Depkes RI. 1996. Daftar Komposisi Bahan Makanan. Bhatara
Karya Aksara, Jakarta
Gundogan, M., D. Yeni, F. Avdatek and A. F. Fidan. 2010. Influence of sperm
concentration on the motility, morphology, membrane and DNA integrity
along with oxidative stress parameters of ram sperm during liquid storage. J.
Anim. Reprod. Sci. 122:200-207.
Hastono, I., Inounu, & N. Hidayat. 2001. Karakteristik semen dan tingkat libido
domba persilangan. Prosiding Seminar Teknologi Peternakan dan Veteriner ke-
19. Balai Penelitian Ternak, Bogor. pp: 106-112.
Hafez (eds.). Reproduction in Farm Animal. 7th Ed. Lippicott Williama & Wilkins.
Philadelphia, Baltimore, New York, London, Buenos Aries. Hong Kong,
Sydney, Tokyo. pp : 376 – 389.
Hafez, B. 2000. Technique for Determining Spermatozoa Concentration Using a
Haemocytometer. p. 481-495. in Hafez, Band E.S.E. Hafez (eds).
Reproduction in Farm Animal. 7 th ed. Lippincott & Wilkins, Philadelphia.
Hartanti, A. W. & Karja, N. W. K. (2014). Karakteristik Frozenthawed Spermatozoa
Domba Garut yang Dikriopreservasi dalam Pengencer yang Mendapat
Imbuhan Orvus ES Paste. Jurnal Veteriner. 15, 454-460.
Ihsan, M. N. 2011. Penggunaan telur itik sebagai pengencer semen kambing.
Jurnal Ternak Tropika 12: 10-14.
Mesang-Nalley, W. M., R. Handarini, dan B. Purwantara. 2007. Viabilitas
spermatozoa rusa Timor (Cervus timorensis) di dalam pengencer tris kuning
telur dengan sumber karbohidrat berbeda yang disimpan pada suhu ruang.
Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 12: 311-317.
Partodihardjo. 1992. Ilmu Reproduksi Hewan. Mutiara Sumber Widya, Jakarta.
Rizal & Herdis. (2010). Peranan Antioksidan dalam Meningkatkan Kualitas Semen
Beku. Wartazoa, Vol. 20 No. 3 th 2010.
Salisbury, G. W., N. L. Vandermark., dan R. Djanuar. 1985. Fisiologi Reproduksi
dan Inseminasi Buatan pada Sapi. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Solihati, N., dan P. Kune. 2011. Pengaruh jenis pengencer terhadap motilitas dan
daya tahan hidup spermatozoa semen cair sapi Simmental.
http://pustaka.unpad.ac.id/wpcontent/uploads/2009/03/pengaruh_jenis_penge
ncer_terhadap_motilitas.pdf.Diakses tanggal 28 November 2018.
Sugiarti, T., E. Triwulanningsih, P. Situmorang, R.G. Sianturi, dan D.A.
Kusumaningrum. 2004. Penggunaan katalase dalam produksi semen dingin
sapi. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner.
PuslitbangPeternakan, Bogor. hlm. 215–220.
Susilawati, T. (2011). Spermatology. Universitas Brawijaya Press. Malang. 102.
Suherlan N. E., Soeparna & K. Hidajat. (2015). Pengaruh Penambahan Berbagai
Tingkat DMF (Dimethylformamide) sebagai Agen Krioprotektan terhadap
Keutuhan Membran Plasma dan Recovery Rate Semen Beku Domba Lokal.
Universitas Padjajaran. Sumedang. 1-12.
Tambing, S. N., Toelihere, M.R., Yusuf, T .L. & Sutama, I. K. (2000). Pengaruh
Level Gliserol dalam Pengencer Tris terhadap Kualitas Semen Beku
Kambing Peranakan Etawah. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner. 5:1-8.
Toelihere, M. 1981. Inseminasi Buatan pada Ternak. Angkasa, Bandung
Toelihere, M. R. dan M. B. Taurin. 1979. Semen Beku. Edisi Ketiga. Departemen
Reproduksi Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Toelihere, M. R. 1993. Inseminasi Buatan pada Temak. Angkasa, Bandung.
LAMPIRAN

Memasukkan bahan-bahan Penambahan DO Homogenisasi pengencer


pengencer dasar tris dasar tris

Pengencer dasar tris yang Pengecekan konsentrasi


Pemisahan kuning telur
sudah disuplementasi semen segar domba

berbagai jenis telur

Pengamatan spermatozoa Pengamatan spermatozoa Pengamatan spermatozoa


domba (telur puyuh) domba (telur ayam horn) domba (telur ayam
kampung)
Semen diletakkan dalam
waterbath untuk menjaga Pengamatan viabilitas
Pewarnaan eosin-negrosin
suhunya spermatozoa (telur puyuh)

Anda mungkin juga menyukai