Anda di halaman 1dari 5

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Gambaran Umum Spermatozoa


Spermatozoa terdiri dari kepala, leher, badan, dan ekor. Sebagian besar kepala sperma
berisi inti. Dua pertiga bagian inti di selimuti tutup akrosom. Jika terjadi terjadi pembuahan maka
tutup akrosom pecah, dari akrosomnya keluar enzim-enzim yang terpenting ialah hialurodinase
dan protease mirip tripsin. (Yatim, 1994: 239).
Kepala mengandung lapisan tipis sitoplasma, dan sebuah inti berbentuk lonjong yang
hampir mengisi seluruh bagian kepala itu. Inti di selaputi oleh selabung perisai, di depan atau di
belakang. Di depan di sebut tudung depan atau akrosom. Di belakang di sebut tudung belakang.
Ke tudung belakang melekat sentriol depan dan filament poros (Yatim, 1994: 238).
Leher adalah tempat persambungan ekor dengan kepala. Persambungan itu berbentuk
semacam sendi peluru pada rangka. Dalam leher pula lah terdapat sentriol (Yatim, 1994: 239).
Badan mengandung filament poros. Mitokondria dan sentriol belakang berbentuk cincin.
(Jadi sentriol yang terdapat 2 buah pada setiap sel umumnya, pada sperma letaknya terpisah dan
berbeda bentuk (Yatim, 1994: 240).
Ekor dibedakan atas tiga bagian yaitu bagian tengah, bagian utama, bagian ujung. Ekor
memiliki teras yang disebut aksonema, yang terdiri dari Sembilan doublet mikrotubul dan dua
singlet mikrotubulsentral. Ini sama dengan sitoskeleton yang dmiliki flagella (Yatim, 1994: 241).
Pada bagian tengah ekor di sebuah luar serat padat ada cincin mtokondria yang bersusun
rapat dengan arah spiral. Pada bagian utama di sebuah luar serat padat tak ada cincin mitokondri,
tetapi di gantikan oleh seludung serat. Seludung ini tipis dan berbentuk tulang rusuk, sedang di
bagian tengah atas-bawah menebal menonjol. Serat padat di tentang ini bergabung dengan
penebalan tengah itu (Yatim, 1994: 241).
B.

Kualitas Spermatozoa Manusia


1. Konsentrasi Sperma
Penilaian konsentrasi spermatozoa atau jumlah spermatozoa per milliliter semen
sangat penting, karena factor inilah menggambarkan sifat-sifat semen dan dipakai sebagai
salah satu kriteria penentuan kualitas semen. Menurut Toelihere (1985) untuk

menentukan konsentrasi spermatozoa, dapat digunakan metoda menghitung jarak antar


kepala sperma (estimasi) di bawah mikroskop pada perbesaran 45x10, dengan penilaian:
a). Densum (D) atau padat, jika jarak antara dua kepala spermatozoa kurang dari panjang
1 kepala spermatozoa; konsentrasi sperma berkisar 1000-2000 juta sel per ml semen.
b). semi densum (SD) atau sedang, bila jarak antara kepala spermatozoa sama dengan
panjang 1-1,5 kepala spermatozoa; konsentrasi spermatozoa berkisar antara 500-1000
juta sel per ml semen.
c). Rarum (R) atau jarak, jarak antara kepala sperma melebihi panjang 1,5 kepala sperma;
konsentrasinya berkisar 200500 juta sel per ml semen.
d). Ologspermia (OS) atau sedikit spermatozoa, bila jarak tersebut memiliki panjang
seluruh spermatozoa dengan konsentrasi kurang dari 200 juta sel per ml semen.
e). Aspermia (A) atau tidakada sperma, bila sama sekali tidak terdapat spermatozoa
dalam semen.
2. Motilitas Sperma
Motilitas atau daya gerak spermatozoa yang dinilai segera sesudah penampungan
semen, digunakan sebagai ukuran kesanggupan membuahi suatu contoh semen. Sewaktu
penampungan harus diperhatikan ejakulasi tidak mengalami cold shock atau penurunan
suhu secara mendadak yang nantinya dapat mempengaruhi motilitas sperma. Motilitas
spermatozoa di dalam suatu contoh semen ditentukan secara keseluruhan atau sebagai
rata-rata dari suatu populasi sperma (Hafez, 1987).
Ada beberapa tipe motilitas spermatozoa, yaitu:
Tipe A: apabila bergerak cepat dan lurus ke depan.
Tipe B: apabila bergerak cepat tapi tidak lurus.
Tipe C: Bila bergerak lamban, berbelok-belok.
Tipe D: bila bergerak setempat atau tidak bergerak sama sekali.
Factor-faktor yang mempengaruhi motilitas sperma yaitu umur sperma, maturasi
sperma, penyimpanan energy (ATP), gen aktif, biofisik, dan fisiologik, cairan suspensI
dan adanya rngsangan hambatan. Selain itu, penurunan motilitas sperma juga dapat
disebabkan oleh aktivitas pergerakan dan mempertahankan hidupnya sehingga pada
kondisi tertentu cadangan zat makanan berkurang dalam larutan dan menyebabkan
kematian spermatozoa (Kusuma, 1999 dalam Siahaan, 2009).
3. Viabilitas Sperma
Perbedaan afinitas zat warna antara sel-sel sperma yang mati dan yang hidup
dipergunakan untuk menghitung jumlah spermatozoa yang hidup secara objektif pada
waktu smeen segar dicampur dengan zat warna (eosin 20%). Sel-sel sperma yang hidup,
tidak atau sedikit sekali menghisap warna sedangkan yang mati akan mengambil warna

karena permeabilitas dinding sel meningkat sewaktu mati. Pewarnaan diferensial


dilakukan untuk mengetahui presentase sel-sel spermatozoa yang mati dan yang hidup
(Hafez, 1987).
Semakin berkurangnya cadangan makanan dan makin tidak seimbangnya larutan
elektrolit akibat dari metabolism spermatozoa menyebabkan spermatozoa mengalami
kelelahan dan mati (Kusuma, 1999 dalam Siahaan, 2009).
C.

Pengenceran Sperma Manusia


Pengenceran semen dilakukan untuk mempertahankan kesuburan sel sperma dan

meningkatkan volume semen sehingga dapat digunakan pada kesempatan lain (Murtidjo, 1995).
Pengencer semen yang baik harus sesuai dengan fungsinya, menekan pertumbuhan bakteri,
melindungi cold shock dan lain-lain yang dapat memperpanjang daya hidup sperma. Untuk
penyimpanan semen dianjurkan pengencer jangan terlalu encer dan harus ditambah unsur
pelindung ke dalam pengencer yang mengandung zat aktif seperti lipoprotein (Hafiz, 1974).
Semen harus terhindar dari panas yang berlebihan, air, atau bahan-bahan kimia yang bersifat
membunuh jasad-jasad renik (disinfektansia), berhubungan dengan udara terlalu lama, sinar
matahari langsung dan goncangan atau pengocokan yang keras.
Pengenceran semen yang dilakukan harus memenuhi suatu kadar tertentu agar efektif
digunakan. Tujuan penentuan kadar pengencer adalah agar setiap satuan volume semen yang
diinseminasikan pada hewan betina harus mengandung spermatozoa yang cukup untuk
memberikan fertilitas yang tinggi tanpa harus membuang-buang spermatozoa yang berlebihan.
Sesuai dengan tinjauan ini maka kadar pngencera tergantung pada volume ejakulat, konsentrasi,
dan presentase spermatozoa yang hidup dan motil progresif (Toelihere, 1985).
D.

Penyimpanan Sperma
Sperma yang telah diencerkan harus segera disimpan apabila tidak langsung digunakan.

Untuk menyimpan spermatozoa dalam periode lebih lama dapat dilakukan dengan mengencerkan
semen dengan bahan pengencer yang mengandung zat makanan untuk spermatozoa dan juga
mempunyai sifat melindungi spermatozoa. Kombinasi antara suhu penyimpanan, komposisi
bahan kimia pengencer, krioprotektan, dan control kebersihan merupakan hal yang sangat
penting untuk menjaga kelangsungan hidup spermatozoa menjadi lebih lama (Ismaya, 2009).
Menurut Ismaya (2009) ada dua bentuk penyimpanan sperma, yaitu bentuk cair dan beku.
1. Sperma Cair.

Metode utama penyimpanan sperma cair adalah menyimpan sperma pada suhu 0-5 0C.
Spermatozoa yang disimpan pada suhu dingin, biasanya mengalami cold shock. Untuk
mengurangi terjadinya cekaman dingin dapat dilakukan dengan pendinginan secara gradual atau
menambahkan lipid ke dalam pengencer. Lipid mampu menahan/mengurangi pengaruh cekaman
dingin terhadap spermatozoa. Sampai sekarang bahan yang dasar yang digunakan untuk
pengenceran sperma yaitu tris dengan komposisi sebagai berikut: 3,63 g tris: 0,50 g fruktosa:
1,99 g asam sitrat: 14 ml kuning telur: 100.000 IU penisilin: 100 mg streptomisisn, lalu bahanbahan tersebut ditambahkan air ditilasi hingga 100 ml. Keuntungan penggunaan sperma cair
adalah satu juta spermatozoa za ir sebanding dengan menggunakan 15 juta spermatozoa beku
pada proses inseminasi untuk mendapatkan fertilitas yang sama pada ternak sapi. Fertilitas
sperma cair dapat dipertahankan hingga 3-5 hari apabila disimpan dalam terperatur 10 oC-210C,
sesudah itu mengalami penurunan fertilitas 3%-6% setiap harinya.
2. Sperma beku
Bahan pengencer yang diguanakn untuk sperma beku secara umum harus memiliki
penyangga (buffer) yang mampu menahan pH sperma, mempertahankan osmolitasnya, dan dapat
mencegah kerusakan spermatozoa akibat pembekuan. Bahan-bahan yang diguanakan pengencer
antara lain berbasis pada:gula-sitrat, air susu segar/krem, laktosa-kuning telur, sakarosa, rafinosa,
dan tris.
Proses pembekuan sperma pada hewan dan manusia meliputi kecepatan pendinginan,
pembekuan, dan pencairan kembali. Pembekuan sperma dapat merusak spermatozoa baik
kerusakan secara fungsional maupun secara fisik. Kerusakan fisik dapat berupa kerusakan pasma
dan membrane akrosom, akrosom, mitokondria, dan aksonema.

DAFTAR PUSTAKA
Hafez, E.S.E. 1987. Reproduction in Farm Animal. 4th Edition, Lea and Febbiger, Philadelphia.
Ismaya. 2009. Konservasi Spermatozoa: Perkembangan, hasil, dan potensi di Masa Datang.
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Siahaan, Lely Damai. 2009. Pengujian Berbagai Level Kombinasi Pengencer Susu KambingKuning Telur dan Lama Penyimpanan Terhadap Kualitas Sperma Entok. Skripsi.
Universitas Sumatera Utara.

Toelihere, M.R. 1985. Inseminasi Buatan Pada Ternak. Angkasa, Bandung.


Yatim, Wildan. 1994. Reproduksi dan Embriologi. Tarsito : Bandung

Anda mungkin juga menyukai