Bab Vii Perbedaan Kesetaraan Dan Harmoni Sosial
Bab Vii Perbedaan Kesetaraan Dan Harmoni Sosial
3.3 Memahami arti penting prinsip kesetaraan untuk menyikapi perbedaan sosial demi
terwujudnya kehidupan sosial yang damai dan demokratis
4.2 Menerapkan prinsip-prinsip kesetaraan untuk mengatasi perbedaan sosial dan mendorong
terwujudnya kehidupan sosial yang damai dan demokratis
PERBEDAAN, KESETARAAN,
DAN HARMONI SOSIAL
Konsep
Sosiologi Perbedaan Perbedaan Menciptakan
vertikal Horizontal Harmoni Sosial
tentang dalam
Struktur Masyarakat
Sosial Multikultural
Definisi Definisi
Stratifikasi Diferensiasi
Sosial Sosial
Konsep
Parameter Masyarakat
Nominal Majemuk
dan Bentuk
Diferensisasi dan
Stratifikasi
Graduated Sukubangsa Multikultural
Sosial
Kemudian apalagi yang menjadi unsur pembentuk masyarakat? Apabila merujuk kepada
definisi Emmile Durkheim bahwa, masyarakat bukanlah sekadar kumpulan sejumlah individu.
Lebih dari itu, masyarakat merupakan sistem yang terbentuk oleh asosiasi di antara individu-
individu di dalamnya serta mewakili sebuah realitas tertentu yang memiliki karakteristik
tersendiri … kelompok masyarakat yang berbentuk akan berfikir, berperasaan, dan bertindak
dengan cara yang berbeda dari mereka yang terisolasi (Plummer, 2013), maka unsur-unsur
pembentuk masyarakat juga meliputi realitas tertentu, bahwa masyarakat itu berada pada suatu
tempat dengan nilai dan norma sosial serta lembaga-lembaga sosial dan kebudayaan sebagai
perangkat yang menjaga kelangsungan hidup masyarakat. Singkatnya struktur sosial
merupakan susunan dari unsur-unsur pembentuk masyarakat yang pokok, yaitu (1) kelompok
sosial, (2) kelas sosial, (2) nilai dan norma sosial, serta (3) lembaga-lembaga sosial.
Kalau dalam suatu ruang geografi, seseorang atau sekelompok orang dapat mempunyai alamat
geografi, misalnya tinggal di Jalan Yos Sudarso 7 Yogyakarta, atau di titik koordinat astronomi
pada garis lintang -7.72 dan garis bujur 110.26, maka di ruang sosial yang disebut struktur
sosial itu pun seseorang atau sekelompok orang dapat mempunyai alamat sosial. Misalnya,
apabila menggunakan unsur kelas atau status sosial, dapat diketahui apakah seseorang atau
sekelompok orang tersebut berada pada kelas menengah, kelas atas, atau kelas bawah. Apabila
menggunakan unsur nilai dan norma sosial, dapat diketahui apakah seseorang itu berada pada
posisi orang yang dipandang mulia (superordinat) ataukah justru berada pada posisi sebagai
orang-orang devian (penyimpang) yang secara nilai dan norma dianggap sebagai orang yang
hina. Apabila menggunakan unsur lembaga sosial, dapat diketahui apakah seseorang atau
sekelompok orang tersebut adalah pedagang, karena aktivitas sehari-harinya di lembaga
ekonomi sebagai penjual barang-barang atau jasa teretntu di pasar, atau mungkin berposisi
sebagai guru atau dosen, karena aktivitas sehari-harinya sebagai pengajar di lembaga
pendidikan, mungkin ia seorang politikus, karena aktivitas sehari-harinya di lembaga politik,
dan seterusnya. Itulah struktur sosial, dan dalam struktur sosial tersebut kita semua memiliki
alamat sosial, yang bisa saja sama atau berbeda satu dengan lainnya.
Dari gambaran tentang struktur sosial tersebut, diketahui bahwa anggota masyarakat dapat
dibedakan secara vertikal atau horizontal. Secara vertikal, pada struktur sosial ditemukan kelas-
kelas sosial, atau kelas-kelas ekonomi, misalnya kelas atas, kelas menengah, atau kelas bawah.
Sedangkan secara horizontal dapat ditemukan adanya golongan-golongan atau kelompok-
kelompok sosial, misalnya kelompok-kelompok keagamaan, ada kelompok Islam, Katholik,
Kristen, Hindu, atau Budha. Dapat juga kelompok etnis, misalnya ada kelompok orang-orang
Jawa, Orang Sunda, Orang Madura, Orang Batak, dan seterusnya.
Terdapat dua jenis parameter struktur sosial, yaitu: (1) parameter graduated atau parameter
berjenjang. Misalnya kekuasaan, kekayaan, kehormatan keturunan, usia, tingkat pendidikan,
dan sebagainya, dan (2) parameter nominal atau tidak berjenjang, misalnya sukubangsa,
agama, jenis pekerjaan, perbedaan seksual atau jenis kelamin, aliran, dan semacamnya.
Dalam konsep atau peristilahan sosiologi, konfigurasi struktur sosial berdasarkankan parameter
vertikal (graduated) disebut stratifikasi sosial atau diferensiasi rangking atau tingkatan (rank
differentiation). Sedangkan konfigurasi struktur sosial berdasarkan parameter-parameter
nominal atau tidak berjenjang disebut diferensiasi sosial, bisa berupa diferensiasi custom (cara
hidup, adat, kebiasaan, atau tradisi seperti terwujud dalam diferensisasi agama dan sukubangsa)
atau diferensiasi fungsi (misalnya melakukan aktivitas atau mengerjakan apa dalam
masyarakat, bisa berupa diferensiasi profesi atau pekerjaan, dan diferensiasi gender).
Definisi stratifikasi sosial dan mengapa stratifikasi sosial itu ada dalam
masyarakat
Menurut Weber, para anggota masyarakat dapat dipilah secara vertikal berdasarkan atas
ukuran-ukuran kehormatan, sehingga ada orang-orang yang dihormati dan disegani dan orang-
orang yang dianggap biasa-biasa saja, atau orang kebanyakan, atau bahkan orang-orang yang
dianggap hina. Orang-orang yang dihormati atau disegani pada umumnya adalah mereka yang
memiliki jabatan atau profesi tertentu, keturunan dari bangsawan atau orang-orang terhormat,
atau berpendidikan tinggi.
Istilah yang digunakan dalam sosiologi untuk gejala pemilahan yang demikian, sebagaimana
telah disebut di depan, adalah stratifikasi sosial, yaitu pemilahan warga masyarakat secara
hirarkhis berdasarkan ukuran-ukuran tertentu, antara lain: pendapatan, kekayaan atau
pemilikan uang dan harta benda, kehormatan keturunan, pekerjaan atau profesi, tingkat
pendidikan, dan kekuasaan serta wewenang, menjadi kelas-kelas sosial yang bertingkat.
Stratifikasi sosial merupakan gejala sosial yang memang telah ada sejak lama, sebagaimana
dinyatakan oleh Aristoteles yang hidup pada sekitar 384 SM, bahwa dalam masyarakat selalu
terdapat tiga kelas hirarkhis, yaitu mereka yang kaya, mereka yang miskin, dan mereka yang
berada di antara keduanya. Mengapa dalam masyarakat terdapat stratifikasi sosial? Stratifikasi
sosial terjadi karena dalam masyarakat terdapat sesuatu yang dihargai dan distribusinya tidak
merata. Dalam proses mendapatkan sesuatu yang dihargai (tanah, uang, kekuasaan, pendidikan,
dan sebagainya) terjadi persaingan atau bahkan konflik, sehingga terdapat pihak-pihak yang
dapat memiliki atau menguasai sesuatu yang dihargai tersebut, tetapi ada yang hanya sedikit
saja mendapatkan sesuatu tersebut, atau bahkan ada yang sama sekali tidak mendapatkannya.
Pada masyarakat industri, karena tidak lagi berbasis pada tanah, maka sesuatu yang dihargai
berubah, yaitu modal dan alat-alat produksi. Pemilahannya menjadi antara pemilik alat-alat
produksi dan modal dengan para pekerja atau buruh.
Keterangan gambar:
Stratifikasi sosial masyarajat pertanian Jawa
terdiri atas lapiran teratas kaum cikal bakal dan
keturunannya, mereka adalah para pembuka
desa sehingga memilki kehormatan sosial tinggi
dan pemilikan tanah yang luas. Lapisan
berikutnya adalah para kuli kenceng atau sikep,
mereka memiliki pekarangan dan rumah serta
lahan pertanian. Lapisan ketiga adalah para
kuligundul, yaitu para petani buruh, mereka
tidak memiliki lahan pertanian, tetapi memiliki
lahan pekarangan dan rumah. Lapisan
terbawah adalah para indung tlosor, yaitu
orang-orang yang tidak memiliki lahan
pekaranagan, rumah, apalagi lahan pertanian.
Mereka bekerja sebagai buruh tani dan tinggal
menumpang di rumah kaum cikal bakal atau
kuli kenceng.
Gambar 7.3
Stratifikasi Masyarakat Pertanian Jawa: Berbentuk Kerucut
Keterangan gambar:
Di sebelah ini adalah gambar stratifikasi
masyarakat industri, modern, atau maju.
Terjadi penambahan signifikan pada kelas
menengah karena mengalirnya orang-
orang dari kelas bawah yang semula
bekerja di sektor pertanian berpindah
pekerjaan (mobilitas sosial vertikal)
menjadi pekerja di sektor industri atau
jasa yang membawa dampak
meningkatnya pendapatan secara
signifikan. Jadilah mereka orang kaya
baru (OKB) yang ditinggal di perkotaan
dan bergaya hidup kota.
Pada masyarakat demikian, kelas atas dan
kelas bawah lebih sedikit jumlahnya dari
kelas menengah, maka stratifikasinya
berbentuk intan (diamond)
Gambar 7.5
Stratifikasi Masyarakat Modern: berbentuk intan
Mobilitas sosial adalah perpindahan posisi atau kedudukan orang-orang baik sebagai
individu atau kelompok dalam struktur sosial, bisa naik posisi atau turun posisi (mobilitas
sosial vertikal), atau menempati posisi/kedudukan lain yang sama derajat sosialnya
(mobilitas horizontal). Berlangsungnya mobilitas sosial dapat dialami oleh seseorang atau
sekelompok orang di sepanjang perjalanan hidupnya (mobilitas intragenerasi), atau
berlangsung di antara generasi yang berbeda, misalnya bapaknya seorang petani, tetapi
anaknya menjadi seorang direktur perusahaan (mobilitas sosial antar-generasi).
Gambar 7.6
Stratifikasi Sosial terbuka
Gambar 7.7
Stratifikasi Tertutup
Masyarakat DI Yogyakarta juga dapat dikatakan memiliki stratifikasi campuran. Dalam bidang
kehidupan ekonomi, pendidikan, sosial, dan budaya cenderung bersifat terbuka. Siapa saja
apabila memiliki kompetensi yang diperlukan dapat menjadi apa saja, apakah akan menjadi
pengusaha, rektor perguruan tinggi, bupati, wali kota, pengusaha, pekerja seni, dosen
perguruan tinggi, guru sekolah menengah, dan sebagainya. Namun, sesuai dengan UU
Gambar 7.8
Stratifikasi Sosial Campuran, pada bidang-bidang kehidupan sosial tertentu terbuka,
tetapi di bidang-bidang yang lainnya tertutup
Seorang direktur sebuah perusahaan swasta yang terkenal, misalnya, apakah kedudukan lebih
tinggi dari seorang rektor sebuah universitas atau perguruan tinggi negeri atau swasta? Seorang
artis, apakah lantaran mereka lebih populer kemudian dikatakan kedudukannya lebih tinggi
dari dosen, wartawan, atau pengusaha yang sukses? Ukuran atau kriteria apakah yang kita
gunakan untuk membedakan seseorang termasuk ke dalam suatu lapisan sosial tertentu?
Secara rinci, faktor-faktor yang menjadi determinan stratifikasi sosial memang relatif beragam,
yakni dimensi usia, jenis kelamin, agama, kelompok etnis atau ras, pendidikan formal,
pekerjaan, kekuasaan, status, tempat tinggal, dan dimensi ekonomi. Berbagai dimensi ini,
signifikansi dan kadar pengaruhnya dalam pembentukan stratifikasi sosial sudah tentu tidak
sama kuat dan berbeda-beda tergantung pada tahap perkembangan masyarakat dan konteks
sosial yang berlaku. Pada masyarakat di zaman dahulu, jenis kelamin, usia, serta penguasaan
agama, mungkin sangat dominan sebagai faktor yang mendasari pemilahan anggota
sukubangsa tertentu. Dalam cerita seputar kerajaan, laki-laki pada umumnya dipandang lebih
tinggi derajatnya daripada perempuan, sehingga mereka dinilai lebih layak menyandang gelar
sebagai putra mahkota.
Dalam masyarakat yang makin modern, perbedaan strata yang terbentuk dan berkembang di
masyarakat umumnya tidak lagi atas dasar hal-hal yang bersifat kodrati, seperti perbedaan jenis
kelamin atau usia, tetapi diterminan stratifikasi sosial menjadi semakin kompleks dan tidak lagi
bersifat given (askriptif), melainkan lebib berdasarkan prestasi (achieved).
Akumulasi Dimensi
Selain tiga dimensi stratifikasi sosial di atas sudah tentu masih ada sejumlah dimensi yang lain.
Namun, lepas berapa jumlah dimensi stratifikasi sosial yang ada, satu hal yang perlu dicermati
adalah kemungkinan terjadinya akumulasi dari sejumlah dimensi itu. Artinya, seseorang yang
memiliki aset produksi berlimpah, kaya, dan memiliki banyak perusahaan, biasanya ia
sebelumnya lahir dari keluarga yang berkecukupan, terhormat, memiliki pendidikan yang
tinggi, dan bahkan didukung dengan pemilikan jaringan atau koneksi yang sangat luas.
Seseorang yang berpendidikan pada umumnya lebih berpeluang untuk melakukan mobilitas
sosial vertikal daripada yang kurang atau tidak berpendidikan. Sebagaimana dinyatakan oleh
Beteille, bahwa pendidikan menjadi berharga karena memberikan akses untuk jabatan dengan
bayaran atau gaji yang lebih baik (Kuper dan Kuper, 2000: 1059).
Seseorang yang memiliki kekuasaan politik atau menduduki jabatan tertentu, akan cenderung
lebih besar peluangnya untuk meraih fasilitas dan kebutuhan material. Sebaiknya, untuk orang
miskin, selain tidak memiliki kekuasaan apapun, mereka biasanya juga tidak berdaya dan
mudah dijadikan bahan eksploitasi. Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi dalam
Setangkai Bunga Sosiologi (1964), menyatakan bahwa anggota masyarakat yang posisinya
tinggi akan cenderung mengakumulasikan posisi dalam dimensi yang berlainan.
Profesi
Yang dimaksud profesi adalah pekerjaan-pekerjaan yang untuk dapat melaksanakannya
memerlukan keahlian, misalnya dokter, guru, wartawan, seniman, pengacara, jaksa, hakim, dan
sebagainya. Orang-orang yang menyandang profesi-profesi tersebut disebut kelas profesional.
Di samping kelas profesional, dalam masyarakat terdapat juga kelas-kelas tenaga terampil,
semi terampil, dan tidak terampil yang pada umumnya ditempatkan pada posisi yang lebih
rendah dalam stratifikasi sosial masyarakat.
Pendidikan
Kelas sosial dan pendidikan saling mempengaruhi, sekurang-kurangnya dalam dua hal, yaitu:
(1) pendidikan yang lebih tinggi memerlukan uang (biaya) dan motivasi, dan (2) jenis dan
tinggi-rendahnya pendidikan mempengaruhi jenjang kelas sosial. Orang-orang yang
berpendidikan lebih tinggi memiliki peluang lebih baik untuk menempati kelas sosial yang
lebih tinggi.
Pendidikan tidak hanya memberikan keterampilan kerja sebagai bekal untuk mencari nafkah,
tetapi juga menyebabkan perubahan mental, selera, minat, tujuan hidup, etika, cara berbicara,
dan perubahan dalam keseluruhan hidup seseorang. Dalam masyarakat dapat dilihat perbedaan
dalam hal-hal tersebut antara yang berpendidikan dengan yang tidak berpendidikan. Sehingga
pendidikan tidak saja meningkatkan kompetensi warga masyarakat di bidang-bidang yang
tertentu, melainkan juga meningkat kehormatan sosial atau gengsi pada seseorang.
Sekarang ini pendidikan sudah dianggap sebagai kebutuhan yang harus dipenuhi oleh sebagian
besar anggota masyarakat. Kalau pada tahun 1980an orang-orang cukup puas dan merasa sudah
selesai kalau sudah menyelesaikan pendidikan formal jenjang S-1, mulai tahun 2000an orang
baru merasa puas dan selesai kalau sudah menyelesaikan jenjag S-2 atau bahkan S-3nya.
Keturunan
Keturunan raja atau bangsawan dalam masyarakat dipandang memiliki kedudukan yang tinggi.
Bahkan, pada masyarakat feodal, hampir tidak ada pengakuan terhadap simbol-simbol yang
berasal dari luar istana, termasuk tata kota, arsitektur, pemilihan hari-hari penting, pakaian,
seni, dan sebagainya. Penempatan orang dalam posisi-posisi penting dalam masyarakat akan
selalu mempertimbangkan faktor keturunan, dan keaslian keturunan dipandang sangat penting.
Kasta
Kasta merupakan pemilahan anggota masyarakat yang dikenal pada masyarakat Hinduisme.
Masyarakat dipilah menjadi kasta-kasta, seperti: Brahmana, Ksatria, Weisyia, dan Sudra. Tiga
golongan pertama disebut “tri wangsa”, dan lapisan terbawah, Sudra, disebut “Jaba”.
Kemudian ada juga orang-orang yang karena tindakannya melanggar adat, dihukum
dikeluarkan dari kasta, digolongkan menjadi paria.
Kedudukan dalam kasta sering tampak pada gelar yang melekat pada nama seseorang. Gelar
tersebut diwariskan secara patrilineal (garis ayah atau garis keturunan laki-laki). Gelar-gelar
tersebut antara lain: (1) Ida Bagus, (2) Tjokarda, (3) Dewa, (4) Ngahan, (5) Bagus, (6) I Gusti,
dan (7) Gusti. Gelar pertama adalah gelar seorang Brahmana, gelar kedua sampai dengan
Sebagian besar orang menganggap pemilahan dalam kasta bersifat graduated atau berjenjang,
mengingat orang-orang yang berasal dari kasta yang berbeda akan memiliki gengsi (prestige)
dan hak-hak istimewa (privelege) yang berbeda. Namun, tokoh-tokoh Hinduisme menyatakan
bahwa kasta bukanlah pemilahan vertikal, melainkan hanyalah merupakan catur warna atau
pemilahan horizontal.
Kelas Atas-atas
Kelas atas
Kelas Atas-tengah
orang-orang yang karena
penghasilan atau
kekayaannya dengan leluasa dapat Kelas Atas-bawah
memenuhi kebutuhan-
kebutuhan hidupnya
Kelas Menengah-atas
Kelas Menengah
orang-orang yang karena penghasilan dan Kelas Menengah-tengah
kekayaannya dapat leluasa memenuhi kebutuhan
hidup mendasarnya, tetapi tidak leluasa untuk Kelas Menengah-tengah
kebutuhan-kebutuhan lainnya
Kelas Bawah-bawah
Gambar 7.9
Stratifikasi Sosial Berdasarkan Kriteria Ekonomi
Meskipun seseorang memiliki hak untuk berkuasa, artinya ia memiliki wewenang, tetapi kalau
dalam dirinya tidak memiliki kemampuan untuk mempengaruhi pihak lain, maka ia tidak akan
dapat melaksanakan hak itu dengan baik. Sebaliknya, apabila seseorang memiliki kemampuan
mempengaruhi pihak lain, meskipun ia tidak punya wewenang untuk itu, pengaruh itu dapat
berjalan secara efektif. Untuk lebih memahami hal ini, dapat diperhatikan pengaruh tokoh
masyarakat, seperti seorang tokoh agama atau orang yang dituakan dalam masyarakat.
Sudah beradab-abad menjadi pemikiran dalam dalil politik, bahwa kekuasaan dalam
masyarakat selalu terdistribusikan tidak merata. Gaetano Mosca (1939) menyatakan bahwa
dalam setiap masyarakat selalu terdapat dua kelas penduduk: satu kelas yang menguasai dan
satu kelas yang dikuasai. Kelas pertama yang jumlahnya lebih kecil, menjalankan semua fungsi
politik, memonopoli kekuasaan dan menikmati keuntungan yang diberikan oleh kekuasaan itu,
sedangkan kelas kedua, yang jumlahnya lebih besar, diatur dan dikendalikan oleh kelas
pertama itu.
Vilfredo Pareto, Gaetano Mosca, dan Robert Michells memberikan pengertian bahwa beberapa
asas umum yang menjadi dasar bagi terbentuknya stratifikasi sosial, khususnya yang berkaitan
dengan kekuasaan politik, adalah:
Di dalam masyatakat yang demokratis, pembagian dikotomis antara yang berkuasa dan tidak
berkuasa tidak sesederhana yang dikemukakan Mosca dan kawan-kawannya. Biarpun kelas
berkuasa jumlah orangnya selalu lebih sedikit, tetapi pada umumnya distribusi kekuasaan lebih
terfragmentasi ke berbagai kelompok-kelompok. Dalam masyarakat yang demokratis,
kelompok elite tidak memiliki otonomi sebagaimana pada masyarakat diktator. Kekuasaan
elite dalam masyarakat demokratis selalu dapat dikontrol oleh kelompok-kelompok yang ada
di luar kelompok elite, dan jumlahnya lebih dari satu.
Tipe Kasta, dalam tipe ini terdapat batas antar kelas yang jelas dan tegas, kedudukan
orang-orang dalam suatu lapisan sosial diwariskan secara biologis. Mobilitas sosial pada
masyarakat dengan tipe stratifikasi kekuasaan demikian sangat rendah
Tipe Oligharki, dalam tipe ini keadaannya mirip dengan pada tipe kasta, hanya kalau pada
tipe kasta kedudukan sosial diwariskan secara keturunan, pada tipe oligharki kedudukan
sosial dipertahankan berdasarkan ideologi atau kekuaran partai politik tertentu.
Tipe demokratis, pada tipe ini batas antar kelas tidak masif sebagaimana pada tipe kasta
atau oligharki, sehingga mobilitas sosial dapat berlangsung secara leluasa, orang dari
lapisan bawah karena perjuangan atau prestasinya dapat menaiki tangga-tangga stratifikasi
sosial masyarakat. Pemimpin politik dalam tipe demokratis dapat berasal dari lapisan
bawah masyarakat. Orang biasa dapat menjadi pemimpin karena banyak yang memilihnya
dalam pemilihan umum.
Kekuasaan dalam masyarakat berdasarkan sumbernya dapat dibedakan menjadi tiga macam,
yaitu: (1) kekuasaan tradisional, (2) kekuasaan kharismatik, dan (3) kekuasaan legal-rasional.
Kekuasasan tradisional adalah kekuasaan yang sumbernya berasal dari tradisi masyarakat,
misalnya raja. Kekuasaan kharismatik bersumber dari kewibawaan atau kualitas diri
seseorang, dan kekuasaan legal rasional bersumber dari adanya wewenang yang didasarkan
pada pembagian kekuasaan dalam birokrasi, misalnya pemerintahan.
Mengapa dominasi?
Dominasi dapat terjadi karena unsur-unsur kekuasaan seperti kharisma, tradisi dan legal
rasional dimiliki oleh seseorang. Dalam batas-batas tertentu, Sultan Yogyakarta memiliki
ketiga unsur kekuasaan tersebut, yaitu kekuasaan tradisional, bahwa beliau adalah raja pewaris
kekuasaan dari raja sebelumnya, secara legal-rasional beliau adalah Gubernur DIY, dan
merupakan sosok yang berwibawa.
Hegemoni
Jika pada dominasi penguasaan atas pihak lain masih memerlukan kekuatan yang memaksa,
termasuk pengginaan senjata, pada hegemoni, menurut Gramci, agar yang dikuasai mematuhi
penguasa, yang dikuasai tidak hanya merasa mempunyai dan menginternalisasi nilai-nilai serta
norma penguasa, lebih dari itu mereka juga harus memberi persetujuan atas sub-ordinasi
mereka. Sehingga hegemoni dapat diartikan sebagai penguasaan atas pihak lain secara moral
dan intelektual yang disetujui.
Hal yang diperlukan oleh penguasa sehingga dapat memiliki hegemoni adalah: (1) perangkat
kerja yang mampu memaksa, biasanya dilakukan oleh pranata negara (state) melalui lembaga-
lembaga seperti hukum, militer, polisi, dan penjara, dan (2) perangkat kerja yang mampu
membujuk masyarakat dan lembaga-lembaganya untuk taat melalui kehidupan beragama,
Bagaimana seseorang mendapatkan status atau kedudukan sosial? Status seseorang dapat
diperoleh sejak kelahirannya. Status demikian disebut ascribed status, atau status yang
diwariskan. Misalnya putra mahkota, terlahir sebagai laki-laki atau perempuan,
kebangsawanan, keanggotaan dalam kasta, dan semacamnya.
Status juga dapat diperoleh melalui pemberian karena jasa-jasanya, disebut assigned status,
misalnya gelar kehormatan karena jasa-jasanya, gelar doktor kehormatan, pahlawan
pembangunan, dan sebagainya.
Ada pula status yang diperoleh karena prestasi dan perjuangannya, disebut achived status.
Contoh dari status macam ini adalah kedudukan sebagai presiden dalam masyarakat
demokratis, kedudukan sebagai ketua OSIS, kedudukan sebagai manajer sebuah perusahaan,
dan semacamnya. Masyarakat modern lebih menghargai status-status yang diperoleh melalui
prestasi atau perjuangan, masyarakat feudal lebih menghargai status yang diperoleh sejak lahir.
Kelas sosial
Apa yang dimaksud dengan kelas sosial? Secara sederhana dapat dinyatakan bahwa kelas
merupakan
Segolongan orang yang menyandang status relatif sama
Memiliki cara hidup tertentu
Sadar akan privelege (hak istimewa) tertentu, dan
memiliki prestige (gengsi kemasyarakatan) tertentu
Istilah kelas semula digunakan oleh Marx dan Engels yang menyatakan bahwa sejarah dari
semua masyarakat adalah sejarah perjuagan kelas. Kelas merupakan pembagian ekonomi
tertentu yang menjadi dasar atau landasan dari kesempatan hidup, kepentingan, atau bentuk-
bentuk kesadaran orang. Kelas terbentuk karena perbedaan pemilikan (property), ada yang
memiliki dan tidak memiliki (alat-alat produksi). Hubungan antar-kelas adalah relasi antara
pemilik dan bukan pemilik, dan hal ini berhubungan dengan pembagian kerja dan distribusi
hasil produksi.
Berbeda dengan Marx, Weber mengemukakan bahwa kelas sosial pada dasarnya merupakan
suatu kombinasi antara kepemilikan, kekuassaan, dan kekuasaan. Weber setuju dengan Marx
bahwa pemilikan (property) atau kekayaan penting dalam menentukan kedudukan orang dalam
stratifikasi sosial, namun itu bukan satu-satunya faktor. Beberapa orang yang berkuasa,
misalnya manajer koorporasi/perusahaan, dapat mengendalikan produksi meskipun mereka
Simbol status
Simbol merupakan “sesuatu” yang oleh penggunanya diberi makna tertentu. Simbol status
merupakan ciri-ciri atau tanda-tanda yang melekat pada diri seseorang atau kelompok yang
secara relatif dapat menunjukkan status yang disandangnya. Antara lain: cara berpakaian,cara
berbicara, cara belanja, desain rumah, cara mengisi waktu luang, keikutsertaan dalam
organisasi, tempat tinggal, kendaraan yang digunakan, cara berbicara, perlengkapan hidup,
akses informasi, dan sebainya.
Secara sederhana, perbedaan kelas sosial bisa terjadi dan dilihat dari perbedaan besar
penghasilan rata-rata seseorang setiap hari atau setiap bulannya. Namun, seperti yang dikatakan
oleh Paul B. Horton dan Chester L. Hunt (1984) bahwa terbentuknya stratifikasi dan kelas-
kelas sosial di dalamnya sesungguhnya tidak hanya berkaitan dengan uang. Kelas sosial adalah
suatu strata atau pelapisan orang-orang yang berkedudukan relatif sama dalam kontinum atau
rangkaian kesatuan status sosial. Mereka mempunyai jumlah penghasilan yang relatif sama.
Namun, lebih penting dari itu, mereka memiliki sikap, nilai-nilai, dan gaya hidup yang sama.
Semakin rendah kedudukan seseorang di dalam pelapisan sosial, biasanya semakin sedikit pula
perkumpulan dan hubungan sosialnya. Orang-orang dari lapisan rendah lebih sedikit
berpartisipasi dalam jenis organisasi apa pun — klub, organisasi sosial, lembaga formal, atau
bahkan lembaga keagamaan– daripada orang-orang yang berasal dari strata atau kelas
menengah dan atas.
Sebuah keluarga yang berasal dari kelas atas, mereka biasanya akan cenderung memilih
berlibur ke luar negeri. Setiap bulan atau minimal setiap liburan semester anak-anaknya,
mereka akan menyembatkan waktu pergi ke Singapura, Australia, Hongkong, Amerika, atau
Eropa. Untuk keluarga kelas menengah, tempat untuk berlibur biasanya tidak di luar negeri,
tetapi cukup di Bali, Lombok, Yogyakarta, atau Jakarta. Untuk keluarga kelas bawah, biasanya
mereka hanya berlibur di kota-kota terdekat yang udaranya lebih sejuk atau sekedar berjalan-
jalan di pusat-pusat perbelanjaan untuk menghabiskan waktu luang. Di kalangan keluarga yang
benar-benar miskin, mereka bahkan hanya mengisi waktu luang dengan menikmati tontonan
televisi di rumah, atau sesekali ke kebun binatang, taman hiburan rakyat, pantai, dan
sebagainya.
Gaya hidup lain yang tidak sama antara kelas sosial satu dengan lainnya adalah dalam hal
berpakaian. Atribut-atribut yang sifatnya massal dan dianggap berselera rendahan –pakaian
kodian, misalnya– biasanya selalu dihindari oleh orang-orang yang secara ekonomi mapan atau
berada. Bagi mereka, atribut yang dikenakan adalah simbol status yang mencerminkan dan
membedakan statusnya dari kelas sosial lain yang lebih rendah.
Di Indonesia, sering terjadi seseorang yang merasa bagian dari kelas menengah atau atas dalam
banyak hal akan gengsi atau malu bila disebut sebagai penggemar musik dangdut atau penonton
setia film India. Vonis masyarakat yang menempatkan musik dan film goyang pinggul sebagai
hiburan kacangan yang banyak diputar di deerah pinggiran atau desa-desa menyebabkan orang-
orang dari kelas menengah atau atas seoalah merasa turun derajatnya bila dikategorikan sebagai
salah satu penggemar kedua hiburan ini.
Dalam memanfaatkan waktu luang di malam minggu, film-film yang banyak ditonton orang-
orang dari kelas menengah ke atas biasanya film-film barat baru yang dibintangi oleh bintang-
bintang Hollywood terkenal, macam Tom Cruise, Tom Hank, Kevin Costner, Sharon Stone,
Mat Dammon, J-Lo, Demi Moore, dan sebagainya. Sedangkan musik yang banyak didengar
adalah musik-musik jazz atau pop Barat yang acapkali ditayangkan di acara-acara televisi
swasta, seperti MTV, Clear Top Ten, dan sebagainya. Beberapa penyanyi yang menjadi pujaan
kelas menengah, misalnya adalah Britney Spears, Clay Aiken, J-Lo, Michael Bolton, Michael
Jackson, Mariah Carrey, atau Whitney Houston.
Menurut studi yang dilakukan oleh Antonovsky (1972) dan Harkey (1976), sekurang-
kurangnya ada dua faktor yang berinteraksi untuk menghasilkan hubungan antara kelas sosial
dengan kesehata. Pertama: para anggota kelas sosial yang lebih tinggi biasanya menikmati
sanisitas, tindakan-tindakan pencegahan serta perawatan medis yang lebih baik. Kedua: orang-
orang yang mengidap penyakit kronis, status sosialnya cenderung untuk “meluncur” ke bawah
dan sulit mengalami mobilitas sosial vertikal naik karena penyakitnya menghalangi mereka
untuk memperoleh dan mempertahankan berbagai pekerjaan.
Bisa dibayangkan, apa yang bakal terjadi jika sebuah keluarga miskin suatu saat kepala
keluarga yang merupakan tenaga kerja produktif dan andalan ekonomi keluarga tiba-tiba jatuh
sakit hinga berhari-hari atau bahkan berminggu-minggu. Berbeda dengan keluarga kelas
menengah ke atas yang biasanya memiliki tabungan yang cukup dan ikut asuransi kesehatan,
keluarga-keluarga miskin yang bekerja dengan upah harian, tatkala mereka sakit, maka akibat
yang segera terjadi biasanya adalah mereka terpaksa jatuh pada perangkap utang, dan pelan-
pelan satu per satu barang yang mereka miliki terpaksa dijual untuk menyambung hidup
(Suyanto, 2003). Dengan alasan tidak lagi ada uang yang tersisa, sering terjadi keluarga miskin
yang salah satu anggota keluarganya sakit akan memilih mengobati seadanya dengan cara
tradisional, yang ironisnya kadang justru membuat penyakit yang mereka derita menjadi tidak
kunjung sembuh.
Kelas sosial atas -di mana sebagian besar berpendidikan relatif memadai– cenderung lebih
responsif terhadap ide-ide baru, sehingga acapkali mereka lebih sering bisa memetik manfaat
dengan cepat atas program-program baru atau inovasi-inovasi yang diketahuinya.
James Scout menyatakan bahwa salah satu ciri masyarakat desa miskin di Asia Tenggara
adalah keengganan untuk menempuh resiko atau lebih dikenal dengan istilah prinsip safety first
(dahulukan selamat). Petani-petani kecil yang meruasa lebih baik menunggu daripada segera
merespon perubahan atau tawaran program baru, karena bagi mereka kelangsungan hidup lebih
penting daripada melakukan langkah-langkah terobosan yang menurut mereka belum tentu
jelas hasilnya.
Sementara itu, untuk kelas sosial rendah, akibat belitan atau perangkap kemiskinan dan
pendidikannya yang rendah, mereka umumnya rentan, tidak berdaya dan kecil kemungkinan
untuk bisa memperoleh pekerjaan yang memadai atau kemungkinan melakukan diversivikasi
okupasi.
Horton dan Hunt (1984) menyatakan bahwa orang-orang kaya umumnya lebih mampu untuk
memenuhi kebutuhan hidup mereka, sehingga lebih berkemungkinan untuk merasa bahagia
daripada orang-orang yang kurang berada. Fenomena child abuse atau tindak kekerasan dalam
keluarga cenderung lebih sering terjadi dan dialami oleh keluarga-keluarga yang secara sosial-
ekonomi tergolong miskin.
Dalam kajian Oscar Lewis (Lima Keluarga Miskin di Mexico) dihasilkan informasi bahwa
figur ayah dalam keluarga yang serba susah biasanya kasar, tidak berpendidikan,
pengangguran, hidup tidak teratur, bahkan tidak mandi atau makan pagi terlebih dulu sebelum
pergi, terjepit oleh pekerjaan yang rendah dengan gaji yang rendah pula, dan merupakan
keturunan dari seorang ayah yang kejam pula.
Dalam konteks ini bahwa “kekerasan” menghasilkan “kekerasan” adalah kebenaran yang tidak
mudah disangkal. Seorang anak yang dibesarkan dalam suasana keluarga yang
serbakekurangan dan penuh dengan tindak kekerasan, besar kemungkinan ketika ia menjadi
dewasa dan berkeluarga, akan menjadi seorang suami atau ayah yang ringan tangan terhadap
isteri atau anak-anaknya. Ia akan enggan memberikan kasih sayang dan perasaan cintanya
terhadap anggota-anggota keluarganya.
Berbagai studi memperlihatkan bahwa kelas sosial mempengaruhi perilaku politik orang. Studi
yang dilakukan oleh Erbe (1964), Hansen (1975), dan lain-lain menyimpulkan bahwa semakin
tinggi kelas sosial semakin cenderung aktif dalam kehidupan politik, seperti mendaftarkan diri
sebagai pemilih, memberikan suara dalam pemilu, tertarik pada pembahasan politik, dan
berusaha mempengaruhi pandangan politik orang lain.
Definisi
Diferensiasi sosial merupakan pemilahan warga masyarakat menggunakan parameter-
parameter yang tidak berjenjang atau setara, sering disebut sebagai parameter nominal. Karena
ada pemilihan yang demikian, maka dalam masyarakat dijumpai adanya kelompok-kelompok
atau golongan-golongan sosial, yang satu dengan lainnya memiliki kesamaan atau kesetaraan
dalam kedudukan atau jenjang ekonomi maupun sosial. Dengan kata lain, diferensiasi sosial
merupakan pemilahan struktur sosial secara horizontal. Setidaknya terdapat dua macam
diferensiasi sosial, yaitu (1) diferensiasi fungsi, dan (2) diferensiasi custom atau diferensiasi
adat.
Para ahli antropologi sering menggunakan lima ciri pengelompokan sukubangsa atau
kelompok etnis, yaitu (1) bahasa/dialek yang memelihara keakraban dan kebersamaan di antara
warga sukubangsa, (2) pola-pola sosial-kebudayaan, seperti adat istiadat, cita-cita dan ideologi,
(3) Ikatan sebagai satu kelompok, (4) kecenderungan menggolongkan diri ke dalam kelompok
asli, dan (4) adanya perasaan keterikatan kelompok karena kekerabatan/genealogis dan
kesadaran teritorial di antara para warga sukubangsa.
Dalam konteks Indonesia, walaupun sukubangsa sering disamakan dengan kelompok etnik
(ethnic group) sebagaimana pandangan para ahli sosiologi tersebut, tetapi ternyata tidak setiap
kelompok etnik dapat diartikan sebagai sukubangsa. Misalnya kasus kelompok etnik Tionghoa,
dan keturunan asing lainnya di Indonesia, seperti orang-orang keturunan Arab dan India.
Mereka disebut kelompok etnik karena telah mengembangkan subkultur-nya sendiri yang
berbeda dari lainnya, tetapi karena asal mereka berada di luar wilayah Indonesia, sebutan untuk
mereka adakah keturunan asing.
Memang untuk kepentingan administrasi dan politik di Indonesia, di masa orde baru dibedakan
antara (1) masyarakat sukubangsa, (2) masyarakat terasing, dan (3) keturunan asing.
Masyarakat sukubangsa adalah kelompok etnis yang asalnya dari dalam wilayah Indonesia,
dan mampu berinteraksi dan komunikasi dengan dunia luarnya, masyarakat terasing adalah
kelompok etnis yang asalnya dari dalam wilayah Indonesia, tetapi terisolasi atau mengalami
keterbatasan hubungan dengan dunia luarnya, sedangkan keturunan asing memiliki daerah asal
di luar wilayah Indonesia. Ada tiga keturunan asing yang menonjol, yaitu China, India dan
Arab.
Berapa jumlah sukubangsa di Indonesia? Tidak ada jawaban yang pasti dari para ahli
antropologi maupun sosiologi. Sutan Takdir Alisyahbana menyebutkan bahwa di Indonesia
terdapat sekitar 250an sukubangsa. Hildred Geertz menyebut adanya 300-an sukubangsa,
Koentjaraningrat menyebutkan adanya 19 daerah hukum adat yang diidentikkan dengan
sukubangsa.
Apabila merujuk pada data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia pada Sensus Penduduk
Tahun 2010, secara keseluruhan di Indonesia terdapat lebih dari 1.300 sukubangsa. Selain
jenisnya yang beragam, jumlah populasinya juga bervariasi, mulai dari Sukubangsa Jawa yang
merupakan kelompok sukubangsa terbesar, dengan populasi 95,2 juta jiwa atau sekitar 40,2
persen, disusul Sunda dengan jumlah 36,7 juta jiwa, atau sekitar 15,5 persen. Selengkapnya
lihat tabel berikut, sampai dengan Sukubangsa seperti Suku Bantik, Wamesra, Una, Lepo, Tau,
dan Halmehara, yang populasinya masing-masing kurang dari 10 ribu jiwa. Secara lengkap
BPS menyebutkan adanya 31 sukubangsa dan kelompok etnis sebagaimana Tabel 7.1 berikut.
Tabel 7.1
Sukubangsa di Indonesia Tahun 2010
Tabel 7.2
Komposisi Penganut Agama di Indonesia (Sensus 2010)
Emmille Durkheim (2003) mendefinisikan agama sebagai sistem terpadu terdiri atas
keyakinan dan praktek, berhubungan dengan sesuatu yang dianggap sacred (suci/sakral)
menyatukan pengikutnya ke dalam suatu komunitas moral yang disebut umat.
Sesuatu yang sakral (sacred) berhubungan dengan kekuatan supranatural, berbeda dengan
sesuatu yang profan (biasa) atau hal-hal yang bersifat duniawi. Sentral kekuatan supra natural
tersebut adalah Tuhan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan Tuhan. Istilah-istilah lain
sering digunakan untuk menyebut Tuhan, adalah God, Allah, Elia, Devon, Deva, Devi, dan
mungkin masih ada lagi yang lainnya. Dalam antropologi, sebagaimana dikemukakan oleh
Rudolf Otto, diketahui bahwa sesuatu yang dianggap sakral atau disebut sebagai Tuhan
memiliki sedikitnya tiga ciri, yaitu: (1) tremendous, artinya tidak terkalahkan, (2) mysterious,
artinya eksistensi atau keberadaannya tidak dapat dijangkau oleh akal pikiran manusia, dan (3)
fascination, artinya memesona. Gambaran tentang Tuhan dalam berbagai agama selalu dengan
hal-hal yang bersifat suci dan memesona.
Robert N. Bellah menyebutkan adanya “civil religion” atau agama sipil di masyarakat
Amerika. Agama sipil adalah serangkaian kepercayaan, praktik, dan nilai yang dianut oleh
masyarakat. Seperti halnya agama, dalam civil religion juga terdapat sistem ritual, misalnya
ritual-ritual politik, seperti pelantikan presiden, sumpah jabatan, perayaan kemenangan, lagu
kebangsaan, sumpah kesetiaan, dan sebagainya. Ritual politik tersebut sering dihayati
pelaksanaanya sebagai hal yang suci dan harus demikian sebagaimana ritual-ritual dalam
agama.
Sosiolog lain, Michel Foucoult, menganggap agama adalah konstruksi sosial yang dapat
digunakan untuk melegitimasi perbedaan atau klaim antara sesuatu yang benar dengan sesuatu
yang salah. Misalnya antara agama yang asli dengan agama yang palsu atau kultus (cult)
terhadap tokohnya, antara mukjizat yang asli dengan yang palsu, antara orang Kristen dan
penganut agama lain yang saleh dengan yang KTP (Kartu Tanda Penduduk, maksudnya adalah
agama hanya menjadi identitas yang tertulis di KTP), dan seterusnya.
Terkait dengan dampaknya terhadap kehidupan sosial masyarakat, sangat penting diketahui
adanya lima hal pokok yang merupakan wujud dari kehidupan beragama dalam masyarakat,
yaitu: (1) sistem keyakinan, (2) ritus atau peribadatan, (3) alat-alat ritus atau peribadatan, (4)
sentimen atau emosi keagamaan, dan (5) umat beragama. Permasalahan-permasalahan yang
muncul di masyarakat sehubungan diferensiasi agama adalah berhubungan dengan lima wujud
pokok ini.
Bagi orang Yahudi, Kristen, Muslim (Islam), dan lainnya, mereka meyakini agama sebagai
pemberian oleh Tuhan, Pencipta Alam Semesta dan Seisinya. Hal ini menjelaskan mengapa
issue tentang hubungan atau perkawinan sejenis merupakan masalah besar; para pelaku
hubungan sejenis tidak hanya bertentangan dengan perintah Tuhan, melainkan juga
bertentangan dengan hukum alam –dalam Islam disebut Sunatullah- yang diciptakan Tuhan.
Dalam dunia Muslim, penolakan terhadap agama adalah dosa besar. Ketika seseorang menjadi
Muslim, orang-orang Muslim tidak menyatakan sebagai masuk Islam, melainkan “kembali ke
Islam”, karena dalam perspektif Islam, umat manusia pada dasarnya adalah Muslim.
Demikianlah, keyakinan dalam agama, atau sering juga disebut sebagai kepercayaan,
berpotensi menimbulkan konflik atau pertentangan di antara para pemeluk agama yang
berbeda, karena perspektif yang berbeda.
Diferensiasi ras
Ras merupakan penggolongan manusia berdasarkan ciri-ciri fisik-biologis manusia dengan
kecenderungan yang besar. Penggolongan ras manusia tidak didasarkan pada faktor-faktor
sosiologis, tetapi dampaknya dapat bersifat sosiologis.
Ciri fisik yang dimaksud adalah, (1) ciri-ciri fenotipe, yaitu ciri-ciri yang tampak luar, dapat
berupa ciri-ciri kualitatif, seperti warna kulit, warna dan bentuk rambut, warna dan bentuk
mata, dan sebagainya, dan ciri-ciri kuantitatif, seperti tinggi dan berat badan, ukuran kepala,
ukuran hidung, dan sebagainya, (2) Ciri-ciri genotype, yaitu ciri-ciri yang tidak tampak luar,
seperti golongan darah dan DNA. Dalam penggolongan ras lebih banyak berdasarkan ciri-ciri
fisik fenotipe, baik kualitatif maupun kuantitatif.
Manusia dari seluruh dunia dapat diklasifikasikan ke dalam tiga ras utama, yaitu (1) Kaukasoid
yang berkulit putih, (2) Mongoloid, berkulit coklat atau sawo matang atau kuning, dan (3)
Negroid, berkulit hitam.
Tentu saja terdapat ras-ras khusus yang tidak dapat diklasifikasikan ke dalam tiga golongan
besar tersebut, seperti Ainu, Polenesia, Veddoid, Bushman, dan Asutroloid. Ras-ras tersebut
memiliki ciri-ciri yang tumpang tindih, misalnya Ainu, dari segi struktur tubuh memiliki ciri-
ciri mongggoloid, tetapi dari warna kulit, bentuk dan warna mata, memiliki ciri-ciri kaukasoid.
Ras Austroloid, dari ciri-ciri struktur seperti Kaukasoid, tetapi warna kulitnya Negroid. Dalam
prakteknya terdapat kesulitan penggolongan ras, antara lain karena: (1) ciri fisik yang tumpang
tindih, dan (2) terjadinya perkawinan campuran (amalgamasi).
Gambar 7.10
Ras Manusia di Dunia
Ras apa saja yang ada di Indonesia? Berikut ini disebutkan dan sedikit dijelaskan mengenai
jenis-jenis ras manusia yang ada di Indonesia.
Ras Negroid
Ciri ras ini berkulit hitam, bertubuh tinggi, dan berambut keriting. Ras ini datang dari benua
Asia, mendiami Papua.
Papua Melanosoid
Ciri ras ini brkulit hitam dan berbibir tebal. Dikenal juga sebagai orang berkulit hitam di
Indonesia dengan rambut ikal bergelombang kecil. Mirip dengan Negroid, hanya ras ini
memiliki ukuran tubuh yang lebih besar. Mereka berdiam di Papua, Pulau Aru, dan Pulau Kai.
Ras Weddoid
Ras Weddoid memiliki ciri berkulit hitam sampai sawo matang, bertubuh sedang, dan
berambut keriting. Ras ini datang dari India bagian Selatan, mendiami kepuluan Maluku, dan
Nusa Tenggara Timur (Kupang).
Mongoloid
Ciri ras ini berkulit hitam sampai sawo matang dan kekuning-kuningan, berambut lurus sampai
ikal, dan muka agak bulat. Merupakan kelompok ras terbesar di seluruh Indonesia, dan mereka
menganggap sebagai cikal bakal yang melahirkan bangsa Indonesia. Golongan ras ini terbagi
dua, yaitu
Kajian yang lebih dalam dan detail tentang ras dipelajari dalam somatologi, satu cabang atau
bagian dari Antropologi yang mengkaji tentang ciri-ciri fisik-biologis manusia, perkembangan
dan persebarannya. Dalam sosiologi kajian tentang ras menitikberatkan pada hubungan antar-
ras yang dapat diwarnai oleh stereotype dan prasangka.
Kata gender (Inggris) apabila dilihat di kamus-kamus sering diartikan sama dengan seks atau
jenis kelamin, sehingga terdapat kaum laki-laki dan kaum perempuan. Sebagai konsep
sosiologi, gender memiliki arti yang berbeda dengan jenis kelamin. Jenis kelamin merupakan
pembedaan antara laki-laki dengan perempuan secara biologis, bahwa secara biologis laki-laki
dengan perempuan memiliki ciri-ciri yang berbeda. Sedangkan gender merupakan pembedaan
laki-laki dengan perempuan secara psikologi, sosial, dan budaya (Giddens, dalam Kamanto
Sunarto, 2004: 110).
Perbedaan konsep antara jenis kelamin dengan gender dapat diperhatikan pada tabel berikut.
Tabel 7.3
Perbedaan Konsep Jenis Kelamin dengan Gender
Sejak awal lahirnya konsep gender, istilah ini banyak digunakan oleh para aktivitis
pemberdayaan perempuan, termasuk para penggerak feminisme. Dalam pendidikan, gender
digunakan untuk antara lain menjelaskan tentang gerakan emansipasi perempuan yang secara
fomal merujuk pada tokoh RA Kartini yang kelahirannya masih banyak diperingati di sekolah-
sekolah pada 21 April setiap tahunnya.
Gender sebagai konstruksi sosial dan budaya mengenai laki-laki dan perempuan, dalam
beberapa hal memang seolah-olah perempuan harus begitu dan laki-laki harus begitu. Misalnya
laki-laki bekerja dan beraktivitas di luar rumah mencari nafkah, sementara perempuang
mengurus rumah tangga dan merawat anak. Laki-laki adalah yang memimpin, sementara
perempuan adalah yang dipimpin. Pemilahan peran laki-laki dengan perempuan yang demikian
ini seolah-olah memang keharusan, karena disamping hal itu disosialisasikan, juga dikuatkan
Terdapat juga stereotype tentang laki-laki dan perempuan yang disosialisasikan dari generasi
ke generasi. Dalam batas tertentu hal ini pun mengokohkan bias gender dalam masyarakat.
Perhatikan tabel berikut.
Tabel 7.3
Stereotype Laki-laki dengan Perempuan
Laki-laki Perempuan
Aktif Berpura-pura
Petualang Penuh kasih sayang
Agresif Menarik
Ambisius Memesona
Sombong Ingin tahu
Tegas Tergantung
Otokratis Melamun
Kasar Emosional
Berani Penakut
Kejam
Nekat
Karena adanya stereotype yang disosialisasikan dari generasi ke generasi, akhirnya memang
ciri-ciri tertentu sebagaimana dalam tabel di atas identik dengan perempuan. Sehingga,
Departemen Tenaga Kerja AS menyebutkan adanya pekerjaan kerah merah jambu (pink-collar
jobs), yakni pekerjaan-pekerjaan yang cocok dengan karakteristik psikologi, sosial, dan budaya
perempuan, melengkapi pemilahan pekerjaan kerah putih dan pekerjaann kerah biru.
Pekerjaan-pekerjaan yang dimaksud antara lain: sekretaris, pramuniaga, pramusaji, pramugari,
pengasuh anak-anak, guru TK, perawat, dan kasir.
Beberapa persoalan yang terkait dengan diferensiasi jenis kelamin dan gender antara lain
adalah terjadinya gender gap di berbagai bidang kehidupan, seperti pendidikan, partisipasi
kerja, partisipasi politik, peluang berprestasi, dan sebagainya. Jarak ke sekolah yang jauh sering
dianggap hambatan bagi kaum perempuan, demikian juga investasi pendidikan yang tinggi.
Beberapa keluarga memiliki preferensi menyekolahkan anak laki-lakinya sampai jenjang yang
tinggi daripada anak perempuannya. Banyak murid perempuan yang sebenarnya cukup
berbakat urung memilih bidang sains dan teknologi pada pendidikan tinggi. Citra maskulin
sains dan teknologi menyebabkan para remaja putri yang sedang giat membentuk identitas
feminimnya, bersikap menghindar terhadap subyek tersebut.
Karakteristik profesi adalah bahwa pekerjaan itu berkaitan dengan (1) keterampilan yang
berdasar pada pengetahuan teoretis, (2) asosiasi profesional, (3) pendidikan yang ekstensif, (4)
ujian kompetensi, (5) pelatihan institutional, (6) lisensi, (7) otonomi kerja, (8) kode etik, (9)
mengatur diri, (10) layanan publik dan altruisme, dan (11) status dan imbalan yang tinggi.
Beberapa profesi yang dapat dijumpai dalam masyarakat antara lain: guru, dosen, wartawan,
dokter, perawat kesehatan, apoteker, motivator, pramugari, penerbang, pilot, dan sebagainya.
Masing-masing profesi menjalankan fungsi yang spesifik dalam masyarakat.
Secara teori, perbedaan profesi adalah perbedaan horizontal atau perbedaan yang setara.
Perbedaan profesi merupakan salah satu bentuk dari diferensiasi fungsi, tetapi karena adanya
dampak sipil dan finansial serta prestige yang berbeda, di antara profesi-profesi yang ada dalam
masyarakat cenderung berjenjang atau bernuansa tinggi-rendah. Berikut ini dikutipkan prestige
beberapa profesi di Amerika Serikat, dibandingkan dengan kurang lebih 60 negara.
Tabel 7.4
Prestige Pekerjaan Di Amerika Serikat dan Rata-rata 60 Negara
Nilai Prestige
Profesi dan Pekerjaan
Amerika Serikat Rata-rata 60 Negara
Dokter 86 78
Hakim Mahkamah Agung 85 82
Presiden Perguruan Tinggi 81 86
Astronot 80 80
Pengacara 75 73
Guru Besar Perguruan Tinggi 74 78
Pilot Penerbangan 73 66
Arsitek 73 72
Biolog 73 69
Dokter Gigi 72 70
Insinyur Sipil 69 70
Rohaniawan 69 60
Psikolog 69 66
Apoteker 68 64
Guru sekolah menengah atas 66 64
Perawat 66 54
Atlet Profesional 65 48
Insinyur Elektro 64 65
Tampak dari tabel di atas bahwa, perbedaan antar-profesi bernuasa vertikal atau tinggi rendah.
Hal demikian sebenarnya terjadi pula pada wujud diferensiasi sosial yang lain, misalnya pada
diferensiasi jenis kelamin atau gender. Di banyak masyarakat menunjukkan bahwa peluang
menduduki posisi atas dalam stratifikasi sosial lebih besar bagi laki-laki daripada perempuan,
misalnya dalam memperoleh pendidikan, partisipasi kerja, partisipasi politik, dan sebagianya.
Struktur masyarakat Indonesia ditandai oleh dua cirinya yang unik, yaitu (1) secara horizontal,
ia ditandai oleh kenyataan adanya kesatuan-kesatuan sosial berdasarkan perbedaan-perbedaan
sukubangsa, agama, adat, serta perbedaan-perbedaan kedaerahan. Sedangkan (2) secara
vertikal, struktur masyarakat Indonesia ditandai oleh adanya perbedaan-perbedaan antara
lapisan atas dan lapisan bawah yang cukup tajam.
Perbedaan-perbedaan sukubangsa, agama, adat, dan kedaerahan seringkali disebut sebagai ciri
masyarakat Indonesia yang bersifat majemuk (plural), suatu istilah yang mula-mula dikenalkan
oleh Furnivall. Masyarakat majemuk (plural society), yakni suatu masyarakat yang terdiri atas
dua atau lebih elemen yang hidup sendiri-sendiri tanpa ada pembauran satu sama lain di dalam
kesatuan politik.
Sebagai suatu masyarakat majemuk, Furnivall menyebut Indonesia ketika itu sebagai suatu tipe
masyarakat tropis di mana mereka yang berkuasa dan mereka yang dikuasai memiliki
perbedaan ras. Orang-orang Belanda sebagai golongan minoritas merupakan penguasa yang
memerintah bagian amat besar orang-orang Indonesia prubumi yang menjadi golongan kelas
tiga di negerinya sendiri. Golongan keturunan Tionghoa, sebagai golongan terbesar di antara
orang-orang keturunan Timur Asing lainnya, menempati kedudukan di antara kedua golongan
tersebut. Di dalam kehidupan politik, pertanda paling jelas adalah tidak adanya kehendak
bersama (common will); masyarakat Indonesia sebagai keseluruhan terdiri atas elemen-elemen
yang terpisah satu sama lain oleh karena perbedaan ras, masing-masing lebih merupakan
kumpulan individu-individu daripada sebagai suatu kesuluruhan yang organis.
Orang-orang Belanda datang ke Indonesia untuk bekerja saja, mereka tidak menetap di
Indonesia. Kehidupannya semata-mata adalah di sekitar pekerjaannya saja. Mereka
memandang masalah-masalah sosial, ekonomi, politik, kebudayaan, dan masalah-masalah
kemasyarakatan lainnya di Indonesia, tidak sebagai warga masyarakat, apalagi warga negara,
melainkan sebagai kapitalis atau majikan dari buruh-buruh mereka. Banyak memang di antara
mereka yang tinggal di Indonesia sampai kira-kira 20 tahun, tetapi kemudian lebih suka
menghabiskan hari tuanya di negeri Belanda.
Tiga golongan masyarakat ini – orang-orang Belanda, Tionghoa, dan pribumi, merupakan
masyarakat kasta yang masing-masing mempertahankan atau memelihara cara berfikir,
berperasaan, dan bertindak golongannya, hasilnya adalah tidak adanya kehendak bersama
sebagai suatu masyarakat yang utuh atau organis.
Tegasnya, suatu masyarakat disebut majemuk apabila masyarakat tersebut secara struktural
memiliki subkebudayaan-subkebudayaan yang bersifat diverse. Masyarakat yang demikian
ditandai oleh kurang berkembangnya sistem nilai atau konsensus yang disepakati oleh seluruh
anggota masyarakat, oleh berkembangnya sistem nilai dari kesatuan-kesatuan sosial yang
menjadi bagian-bagiannya dengan penganutan para anggotanya masing-masing secara tegar
dalam bentuknya yang relatif murni, serta oleh sering tumbuhnya konflik-konflik sosial, atau
setidak-tidaknya oleh kurangnya integrasi dan saling ketergantungan di antara kesatuan-
kesatuan sosial yang menjadi bagian-bagiannya. Sehubungan dengan keadaan yang demikian,
Clifford Geertz menjelaskan bahwa masyarakat majemuk merupakan masyarakat yang terbagi-
bagi ke dalam subsistem-subsistem yang masing-masing terikat ke dalam ikatan-ikatan yang
bersifat primordial.
Dengan cara yang lebih singkat, Pierre L. van den Berghe menyebutkan beberapa
karakteristik masyarakat majemuk, sebagai berikut.
1. terjadinya segmentasi ke dalam kelompok-kelompok yang seringkali memiliki
subkebudayaan yang berbeda satu sama lain,
2. memiliki struktur sosial yang terbagi-bagi ke dalam lembaga-lembaga yang bersifat
nonkomplementer,
3. kurang mampu mengembangkan konsensus di antara para anggota-anggotanya terhadap
nilai-nilai yang bersifat dasar,
4. secara relatif sering kali mengalami konflik-konflik di antara kelompok yang satu
dengan kelompok yang lain,
5. secara relatif integrasi sosial tumbuh di atas paksaan (coercion) dan saling
ketergantungan di dalam bidang ekonomi, serta
6. adanya dominasi politik oleh suatu kelompok atas kelompok yang lain
Majemuk atau plural itu merupakan lawan dari kata singular atau tunggal. Sehingga,
masyarakat plural itu bukan masyarakat yang tunggal. Masyarakat tunggal merupakan
masyarakat yang mendukung satu sistem kebudayaan yang sama, sedangkan pada masyarakat
plural, di dalamnya terdapat lebih dari satu kelompok baik etnik maupun sosial yang menganut
sistem kebudayaan (subkultur) berbeda satu dengan yang lain.
Jadi konsep masyarakat heterogen adalah walaupun terdiri atas kelompok-kelompok yang
bermacam-macam baik dari segi etnis, agama, atau pun ras, tetapi dapat disatukelompokkan.
Sedangkan masyarakat plural atau majemuk, terdiri atas dua atau lebih kelompok etnis ataupun
bukan etnis, dan tidak mudah disatukelompokkan (Budiono Kusumohamidjoyo, 2004, hal 45).
Maka sebagai respon terhadap keadaan tersebut, lahirlah faham dan praktik multikulturalisme
untuk menjawab permasalahan integrasi sosial masyarakat majemuk. Sebutan masyarakat
plural atau majemuk pun lambat laun digantikan dengan sebutan “masyarakat multikultural”.
Mengapa multikultural? Sebagaimana dijelaskan oleh Bikhu Parekh dalam Rethinking
multiculturalism, bahwa multikultural atau multikulturalisme merujuk pada adanya pluralitas
kebudayaan dalam masyarakat dan cara merespon pluralitas tersebut.
Pluralitas atau majemuk adalah kondisi apa adanya dari suatu masyarakat sebagai suatu realitas
sosial. Sedangkan multikulturalisme merupakan karakter atau kondisi normatif (yang
seharusnya) dilakukan oleh para anggota masyarakat sehingga kelompok-kelompok dalam
masyarakat yang berbeda-beda tersebut dapat hidup berdampingan secara damai dan memiliki
peluang-peluang sosial, ekonomi, politik, dan kebudayaan yang seimbang atau setara, dengan
kata yang singkat di antara kelompok-kelompok tersebut memiliki perbedaan dalam
kesetaraan.
Mengapa Majemuk?
Sejak Indonesia mencapai kemerdeakaannya pada 17 Agustus 1945, golongan Eropa yang
sebelumnya menempati kedudukan penting, terlempar keluar dari sistem sosial masyarakat
Indonesia. Maka sejak saat itu, pluralitas yang ada adalah pluralitas internal yang terdapat di
antara golongan-golongan pribumi, dan memperoleh artinya yang lebih penting daripada apa
yang dikemukakan oleh Furnivall.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan mengapa pluralitas masyarakat Indonesia yang
demikian itu terjadi. Yang pertama, keadaan geografik wilayah Indonesia yang terdiri atas
kurang lebih tiga ribu pulau yang terserak di sepanjang equator kurang lebih tiga ribu mil dari
Ketika nenek moyang bangsa Indonesia yang sekarang ini mula-mula sekali datang secara
bergelombang sebagai emigran daru daerah yang kita kenal sebagai daerah Tiongkok Selatan
pada kira-kira dua ribu tahun sebelum masehi, keadaan geografik serupa itu telah memaksa
mereka harus tinggal menetap di daerah yang terpisah-pisah satu sama lainnya. Isolasi
geografik demikian di kemudian hari mengakibatkan penduduk yang menempati setiap pulau
atau sebagian dari pulau di Nusantara ini tumbuh menjadi kesatuan-kesatuan sukubangsa yang
sedikit banyak terisolasi dari kesatuan-kesatuan sukubangsa yang lain. Setiap kesatuan
sukubangsa terdiri atas sejumlah orang yang dipersatukan oleh ikatan-ikatan emosional, serta
memandang diri mereka sebagai suatu jenis tersendiri. Dengan perkecualian yang sangat kecil,
satuan-satuan sosial itu mengembangkan dan akhirnya memiliki bahasa dan warisan
kebudayaan yang sama. Lebih dari itu, mereka biasanya mengembangkan kepercayaan bahwa
mereka memiliki asal-usul keturunan yang sama, suatu kepercayaan yang seringkali didukung
oleh mitos-mitos yang hidup dalam masyarakat.
Faktor kedua yang menyebabkan pluralitas masayarakat Indonesia adalah kenyataan bahwa
Indonesia terletak di antara Samudera Indonesia dan Samudera Pasifik. Keadaan ini
menjadikan Indonesia menjadi lalu lintas perdagangan, sehingga sangat mempengaruhi
terciptanya pluralitas agama di dalam masyarakat Indonesia.
Telah sejak lama masyarakat Indonesia memperoleh berbagai pengaruh kebudayaan bangsa
lain melalui para pedagang asing. Pengaruh yang pertama kali menyentuh masyarakat
Indonesia adalah agama Hindu dan Budha dari India sejak kurang lebih empat ratus tahun
sebelum masehi.
Hinduisme dan Budhisme pada waktu itu tersebar meliputi daerah yang cukup luas di
Indonesia, serta lebur bersama-sama dengan kebudayaan asli yang telah hidup dan berkembang
lebih dulu. Namun, pengaruh Hindu dan Budha terutama dirasakan di Pulau Jawa dan Pulau
Bali.
Pengaruh kebudayaan Islam mulai memasuki masyarakat Indonesia sejak abad ke-13, akan
tetapi baru benar-benar mengalami proses penyebaran yang luas pada abad ke-15. Pengaruh
Islam sangat kuat terutama pada daerah-daerah di mana Hindu dan Budha tidak tertanam cukup
kuat. Karena keadaan yang demikian, cara beragama yang sinkretik sangat terasakan,
kepercayaan-kepercayaan animisme, dinamisme bercampur dengan kepercayaan agama
Hindu, Budha, dan Islam. Pengaruh reformasi agama Islam yang memasuki Indonesia pada
permulaan abad ke-17 dan terutama akhir abad ke-19 ternyata tidak berhasil mengubah
keadaan tersebut, kecuali memperkuat pengaruh agama Islam di daerah-daerah yang
sebelumnya memang telah merupakan daerah pengaruh agama Islam. Sementara itu, Bali
masih tetap merupakan daerah agama Hindu.
Kegiatan misionaris yang menyertai kegiatan perdagangan mereka, dengan segera berhasil
menanamkan pengaruh agama Katholik di daerah tersebut. Ketika bangsa Belanda berhasil
AGUS SANTOSA - SOSIOLOGI KELAS XI IPS 34
mendesak bangsa Portugis ke luar dari daerah-daerah tersebut pada kira-kira tahun 1600-an,
maka pengaruh agama Katholik pun segera digantikan pula oleh pengaruh agama Kristen
Protestan. Namun demikian, sikap bangsa Belanda yang lebih lunak di dalam soal agama
apabila dibandingkan dengan bangsa Portugis, telah mengakibatkan pengaruh agama Kristen
Protestan hanya mampu memasuki daerah-daerah yang sebelumnya tidak cukup kuat
dipengaruhi oleh agama Islam dan Hindu.
Hasil final dari semua pengaruh kebudayaan tersebut kita jumpai dalam bentuk pluralitas
agama di dalam masyarakat Indonesia. Di luar Jawa, hasilnya kita lihat pada timbulnya
golongan Islam modernis terutama di daerah-daerah yang strategis di dalam jalur perdagangan
internasional pada waktu masuknya reformasi agama Islam, golongan Islam konservatif-
tradisional di daerah pedalaman-pedalaman, dan golongan Kristen (Katholik dan Protestan) di
daerah-daerah Maluku, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara, Tapanuli, dan sedikit di daerah
Kalimantan Tengah; serta golongan Hindu Bali (Hindu Dharma) terutama di Bali.
Di Pulau Jawa dijumpai golongan Islam modernis terutama di daerah-daerah pantai Utara Jawa
Tengah dan Jawa Timur dengan kebudayaan pantainya, serta sebagian besar daerah Jawa Barat,
golongan Islam konservatif-tradisional di daerah-daerah pedalaman Jawa Tengah dan Jawa
Timur, serta golongan Kristen yang tersebar di hampir setiap daerah perkotaan Jawa.
Faktor ketiga, iklim yang berbeda-beda dan struktur yang tidak sama di antara berbagai daerah
di kepulauan Nusantara, telah mengakibatkan pluralitas regional. Perbedaan curah hujan dan
kesuburan tanah merupakan kondisi yang menciptakan dua macam lingkungan ekologis yang
berbeda, yakni daerah pertanian basah (wet rice cultivation) yang terutama banyak dijumpai di
Pulau Jawa dan Bali, serta daerah ladang (shifting cultivation) yang banyak dijumpai di luar
Jawa.
Kategori pertama merupakan masyarakat majemuk yang terdiri atas sejumlah kelompok etnik
yang kurang lebih seimbang, sehingga untuk mencapai integrasi sosial atau pemerintahan yang
stabil diperlukan koalisi lintas-etnis.
Kategori kedua dan ketiga merupakan varian-varian masyarakat majemuk yang memiliki
konfigurasi etnik yang tidak seimbang, di mana salah satu kelompok etnik tertentu (kelompok
mayoritas pada kategori kedua dan kelompok minoritas pada kategori ketiga) memiliki
competitive advantage yang strategis di hadapan kelompok-kelompok yang lain.
Peter M. Blau sebagaimana dipublikasikan oleh Dr. Nasikun dalam Sistem Sosial Indonesia,
menjelaskan adanya dua tipe atau bentuk struktur sosial dalam masyarakat majemuk, yaitu (1)
srtuktur sosial yang mengalami interseksi (intersected social structure), dan (2) struktur sosial
yang mengalami konsolidasi (consolidated social structure).
Gambar 7.11
Intersected Social Structure; dalam masyarakat yang mengalami struktur sosial seperti ini, kelompok-
kelompok sosial yang ada dapat menjadi wadah aktivitas dan pergaulan di antara para warga
masyarakat yang mempuyai latar belakang SARA (suku, agama, ras, aliran/golongan) yang berbeda-
beda
Apabila dihubungkan dengan proses integrasi sosial masyarakat, maka bentuk struktur sosial
demikian akan menodorong terjadinya integrasi sosial, karena terjadi pelemahan identitas
primordial serta keanggotaan dan loyalitas atau kesetiaan anggota kelompok yang sifatnya
silang menyilang (cross-cutting affiliation dan cross-cutting loyalities).
Pada masa reformasi politik tahun 1973 di Indonesia, di mana ketika itu terdapat satu golongan
dan dua partai politik, sedikit banyak menggambarkan terjadinya konsolidasi antara partai
politik dengan agama atau aliran tertentu. Dua partai politik yang ada pada waktu itu adalah
Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Demokrasi Indonesia (PDI), dan satu golongan
yaitu Golongan Karya (Golkar). PPP memiliki konstituen orang-orang Islam santri, sehingga
PPP identik dengan golongan santri, sedangkan PDI memiliki konstituen orang-orang di luar
Islam santri, seperti Katolik, Kristen, Hindu, Budha, Konghochu, dan orang-orang Islam bukan
santri atau yang oleh Geertz disebut kaum abangan, sementara Golkar memiliki konstituen para
pegawai negara atau orang-orang Islam priyayi. Namun, kekawatiran sementara orang tentang
bangkitnya politik aliran tidak terbukti karena pemerintah ketika itu mewajibkan semua
organisasi sosial dan politik yang ada di Indonesia berazas Pancasila.
Masyarakat dengan struktur sosial yang terkonsolidasi akan mengalami hambatan dalam proses
integrasi sosial, karena terjadi penguatan identitas primordial oleh adanya tumpang tindih
keanggotaan dalam kelompok-kelompok sosial, meningkatkan solidaritas internal kelompok
karena penguatan identitas, dan tumbuhnya prasangka terhadap orang-orang dari kelompok
lain. Perhatikan gambar berikut!
Gambar 7.12
Consolidated Social Structure; dalam masyarakat yang memiliki struktur sosial demikian ini
mengalami hambatan dalam integrasi sosial masyarakat, karena adanya penguatan identitas kelompok
oleh karena himpitan parameter pengelompokan sosial, solidaritas internal kelompok yang menguat
(in-group feeling), dan prasangka terhadap orang-orang dari kelompok lain
Ketika hal ini diterapkan dalam masyarakat majemuk akan berhadapan dengan rendahnya
kemampuan elemen-elemen dalam masyarakat majemuk membangun konsensus tentang nilai-
nilai dasar sebagaimana dikemukakan oleh van den Berghe. Segmentasi ke dalam bentuk
satuan-satuan sosial yang masing-masing terikat oleh ikatan-ikatan yang sifatnya primordial
akan membuahkan struktur sosial yang terkonsolidasi yang mudah sekali menimbulkan
konflik-konflik baik pada tingkat ideologis maupun politis.
Pada tingkat ideologis, konflik tersebut terwujud di dalam bentuk konflik antara sistem nilai
yang dianut oleh (serta menjadi ideologi) satuan-satuan sosial. Pada tingkat politik, konflik-
konflik di antara elemen-elemen dalam masyarakat majemuk terjadi dalam bentuk
pertentangan dalam pembagian kekuasaan dan sumber-sumber ekonomi. Dalam situasi
konflik, sadar atau tidak setiap pihak yang berselisih akan berusaha mengabadikan diri dengan
cara mengokohkan solidaritas ke dalam di antara sesama anggotanya dengan cara
mengokohkan solidaritas ke dalam, membentuk organisasi-organisasi kemasyarakatan untuk
keperluan kesejahteraan dan pertahanan bersama: mendirikan sekolah-sekolah untuk
memperkuat identitas kultural, bersaing di dalam bidang pendidikan, sosial, ekonomi, politik,
dan sebagainya.
Pada derajat tertentu, pengakuan bertumpah darah satu, berkebangsaan satu, dan berbahasa
satu, yang tumbuh sebagai hasil gerakan nasionalisme pada permulaan abad ke-20 yang berjiwa
anti-kolonialisme itu, merupakan konsensus nasional yang memiliki daya tiada terkira di dalam
mengintegrasikan masyarakat Indonesia sampai pada saat ini.
Pandangan para penganut pendekatan konflik, bahwa masyarakat majemuk dapat terintegrasi
di atas paksaan (coercion) dari suatu kelompok-kelompok atau kesatuan sosial yang dominan,
memperoleh kebenaran paling tidak pada masyarakat Indonesia di zaman kolonial, di mana
terdapat sejumlah kecil orang-orang kulit putih dengan kekuasaan politik, militer, dan
ekonominya yang mampu menguasai sejumlah besar orang yang terpisah-pisah secara etnis,
ekonomi, politik, ideologis, maupun budaya ke dalam satuan-satuan sosial yang banyak sekali
jumlahnya.
Dengan kata lain, integrasi nasional hanya dapat tumbuh di atas konsensus mengenai batas-
batas suatu masyarakat politik dan sistem politik yang berlaku bagi seluruh masyarakat
Pancasila sebagai dasar dan falsafah atau ideologi negara dalam tataran yang sangat umum
dapat dinyatakan sebagai kesepakatan nasional tentang nilai-nilai yang bersifat dasar.
Kemudian, perundang-undangan yang lahir dari sistem politik yang ada, dapat dikatakan
sebagai kesepakatan mengenai bagaimana kehidupan bangsa ini diselenggarakan.
Multikulturalisme
Keinginan untuk membetuk masyarakat majemuk atau plural namun sebagai satuan sosial atau
politik yang utuh, mendorong lahirnya faham multikulturalisme. Multikulturalisme berasal dari
dua kata multi (banyak/beragam) dan cultural (budaya atau kebudayaan), yang secara
etimologi berarti keberagaman budaya. Budaya yang mesti dipahami, adalah bukan budaya
dalam arti sempit, melainkan mesti dipahami sebagai semua dialektika manusia terhadap
kehidupannya. Dialektika ini akan melahirkan banyak wajah, seperti sejarah, pemikiran,
budaya verbal, bahasa, seni, dan lain-lain.
Istilah multikultural juga sering digunakan untuk menggambarkan kesatuan berbagai etnis
masyarakat yang berbeda dalam suatu negara. Perbedaan dalam kesetaraan dan kesatuan
merupakan ajaran utama dari multikulturisme. Idea atau gagasannya adalah setiap komponen
masyarakat baik individu maupun kelompok mampu dan mau memahami, menghormati,
toleransi, dan menerima keberadaan kelompok-kelompok lainnya yang dilihat dari
etnis/sukubangsa, agama, ras, atau aliran/golongannya berbeda.