3 Suara Pembaca HARIAN HALMAHERA

SENIN, 24 JANUARI 2022

KOLOM
Presidential Threshold dan
Bursa Pilpres Monopolistik
Oleh:
RADHAR TRIBASKORO
Pemerhati Isu-isu Sosial Politik
Kemasyarakatan
DI dalam demokrasi, setiap
orang berhak dipilih dan me-
milih. Penjelasannya sederha-
na: bila rakyat berdaulat, maka
rakyat berhak terlibat dalam
mengelola negara. Keterlibatan
itu dituangkan dalam hak me-
milih dan dipilih. Pada dasarnya
hak itu bersifat universal, na-
mun pembatasan boleh diberi-
kan untuk menjamin bahwa
hak dipergunakan secara efektif
dan bertanggung jawab. Pem-
batasan atas hak memilih telah
dilakukan dengan banyak ala-
san. Di awal era demokrasi hak
memilih hanya diberikan kepa-
da orang bermilik (orang yang
punya kekayaan), orang biasa
(seperti tukang sado, buruh tani,
petani kecil, dan sebagainya) ti-
dak punya hak itu.
LGBT, budak, narapidana,
imigran juga tidak punya hak
mencoblos. Di Amerika Serikat
bahkan, diperlukan hampir 250
tahun agar perempuan boleh
mencoblos. Namun sekarang,
hak memilih di Amerika Seri-
kat, dan seluruh dunia, sudah
bersifat universal. Tidak ada
pembatasan apapun lagi, kecu-
ali usia. Hak memilih memiliki
trend yang semakin lama sema-
kin meluas. Tren tersebut perlu
juga dimaknai bahwa dengan
semakin moderen dan maju
suatu bangsa, semakin mudah
pula bagi warga negara untuk
terlibat dalam pengelolaan neg-
ara. Ini sebuah prinsip empiris.
Prinsip di atas mestinya berlaku
juga untuk hak dipilih. Kita tidak
menyangkal bahwa seorang pe-
jabat memikul tanggung jawab
yang besar. Wajar bila pejabat
yang dipilih memiliki kemam-
puan yang dibutuhkan. Ke-
mampuan itu terbaca dari track
record kandidat.
Soekarno misalnya, dipilih
menjadi presiden karena semua
orang mengakui tidak ada orang
lain yang lebih berjasa dari dia
dalam proses memerdekakan
Indonesia dari kolonialisme.
Soeharto tujuh kali dipilih men-
jadi presiden karena ia dianggap
berjasa menyingkirkan PKI dan
menggalakkan pembangunan.
Kita juga bisa menerima Gus
Dur menjadi presiden karena
ia adalah pemimpin oposisi
terkuat terhadap rezim Orde
Baru. Tetapi bagaimana bila
presiden dipilih secara lang-
sung? Di dalam pemilihan lang-
sung keputusan akhir berada di
tangan pemilih. Pemilih pada
umumnya sangat sulit menilai
kualifikasi seorang kandidat.
Padahal kualifikasi itu sangat
penting, sebab jabatan pres-
iden tersedia hanya untuk satu
orang.
Kualifikasi Calon Presiden
Menurut hemat saya seorang
calon presiden setidaknya
harus memenuhi kualifikasi
kepemimpinan, ideologis, dan
profesional. Semua kualifi-
kasi itu dapat diuji oleh partai
politik. Oleh karena itu saya
tidak bermasalah bila calon
presiden diusulkan oleh partai
politik, sebagaimana disebut-
kan dalam UUD 1945 ayat 6A
butir 2. Pemilih kemudian bisa
memfokuskan diri kepada apa
yang ingin dikerjakan oleh cap-
res, dan bagaimana ia melaku-
kannya. Saya membayangkan
pemilihan presiden itu seperti
suatu perusahaan yang ingin
go public. Ia ingin memperoleh
dukungan (dana) publik untuk
membesarkan usahanya. Maka
ia mendaftarkan diri ke bursa
efek dan melalui underwriter ia
menawarkan sahamnya kepada
publik.
Kedudukan partai politik
dalam hal ini mirip dengan
kedudukan underwriter di bur-
sa efek. Partai politik melaku-
kan seleksi ketat capresnya dan
berusaha keras "menjual" cap-
res itu untuk dipilih rakyat. Bur-
sa efek adalah KPU yang menja-
min transaksi berjalan terbuka,
adil dan akuntabel. Rakyat per-
caya kepada (kompetensi dan
kredibilitas) calon yang diaju-
kan partai politik (underwriter),
mengevaluasi rencana dan
program yang diajukan calon
(emiten), dan memutuskan un-
tuk memilihnya (membeli sa-
ham) atau tidak.
Presidential Threshold
Presidential threshold
adalah ambang batas perole-
han kursi/suara suatu partai
atau gabungan partai yang di-
perlukan untuk dapat mengu-
sulkan calon presiden. Konsep
presidential threshold ini tidak
dikenal dalam khasanah ilmu
politik elektoral. Konsep ini
cuma ada di Indonesia. Men-
gapa? Kita akan menjawabnya
dalam uraian di bawah ini. Di
bursa efek, suatu perusahaan
underwriter dapat bersindikasi
dengan underwriter lain untuk
kesuksesan pemasaran saham-
nya. Namun, sindikasi itu bersi-
fat sukarela. Sindikasi itu tidak
boleh menjadi syarat atau ke-
wajiban bagi emiten sebab akan
merusak prinsip fairness yang
membentuk permintaan dan
penawaran di pasar saham. Di
dalam teknis ekonomi, sindikasi
yang dipaksakan itu akan me-
nyebabkan munculnya sifat-si-
fat monopolistik di lantai bursa.
Demikian pula presidential
threshold. Konsep ini mem-
berikan pembatasan yang ti-
dak punya hubungan dengan
kualitas pemilu maupun kan-
didat yang diajukan. Dengan
kata lain, presidential threshold
adalah kualifikasi yang bersifat
artifisial. Konsep presidential
threshold semata bertujuan
menciptakan halangan mo-
nopolistik, mencegah muncul-
nya calon-calon dari luar main-
stream. Akibatnya, presidential
threshold mendegradasi pe-
milu dan berpotensi melahirkan
presiden sub-standard. Lebih
dari itu, presidential threshold
membuat hak warganegara
untuk menjadi calon presiden
menyusut. Dengan presidential
threshold 20%, secara teoretis,
paling banyak menghasilkan 4
pasang capres.
Dalam kondisi paling ekstrim
koalisi pemerintahan yang
menggabungkan 82% kekua-
tan partai politik di DPR dapat
menciptakan satu pasang calon
berhadapan dengan 'kotak ko-
song'. Kondisi di atas bertentan-
gan dengan prinsip empirik "se-
makin moderen suatu bangsa,
hak memilih dan dipilih mesti-
nya semakin meluas." Dengan
demikian kita pun mendapat
penjelasan mengapa konsep
presidential threshold tidak
dikenal di negara-negara lain di
dunia. Konsep tersebut mencip-
takan sistem pilpres yang mo-
nopolistik, dan dengan sendir-
inya melanggar hak-hak asasi
manusia. Di samping itu keha-
diran oligarki dalam sistem poli-
tik Indonesia adalah fakta yang
tidak bisa dikesampingkan. Oli-
garki berkepentingan dengan
pelestarian penguasaan kekay-
aan dan hal tersebut dengan
mudah dapat mereka raih bila
mereka menguasai kekuasaan
politik. Mahkamah Konstitusi
seharusnya mencegah terjatuh-
nya sistem pemilu Indonesia
ke dalam bursa monopolistik
oligarki. Karena kalau tidak, de-
mokrasi akan punah. Indonesia
akan dipimpin oleh penguasa
yang tidak mencintai rakyat,
namun bersetia kepada oligarki
yang memenangkan dirinya.
Catatan:
Sejumlah kawan ber-
pendapat bahwa PT punya
manfaat, yaitu menyeder-
hanakan sistem kepartaian di
DPR dan memperkuat sistem
presidensialisme. Dalam artikel
berikutnya saya akan tunjukkan
bahwa pendapat di atas adalah
mitos.(*)
(Sumber: https://
p u b l i k a . r m o l . i d /
read/2022/01/21/520288/presi-
dential-threshold-dan-bursa-
pilpres-monopolistik)
Krisis Iklim dan Seks: Sebuah
Estimasi Futuris Ekoseksualitas
SEKS, adalah tema yang
rutin sekaligus masif paling
digemari secara sembunyi-
sembunyi, namun dikutuk
penuh sumpah serapah saat
beramai-ramai. Tema seks,
selalu menjadi term yang
terlanjur licin untuk diulik,
karena terancam jatuh pada
cibiran berlatar umpatan,
bila tidak hati-hati. Sementa-
ra ekologi sendiri, merupak-
an kajian yang mulai digan-
drungi beberapa dasawarsa
belakangan, terutama setelah
terkuaknya fakta-fakta men-
cengangkan tentang aktivi-
tas-aktivitas yang tidak mem-
pertimbangkan faktor dan
hak alam. Dalam penjaba-
rannya korelatifnya, kedua
kajian ini dapat dihubungkan
menggunakan ekoseksuali-
tas.
Pada tulisan berjudul
“Ecosexuality: the story of our
love with the earth” yang di-
publikasi oleh jurnal Ecopoi-
esis: Eco-Human Theory and
Practice, disebutkan bahwa
ekoseksualitas merupakan
gerakan baru yang mulai
muncul ke etalase dunia aka-
demik dan penelitian, dari
isu-isu lingkungan dan seks,
pada tahun 2008. Ekoseksu-
alitas sendiri baru memiliki
klasifikasi definisi (memi-
liki sembilan definisi) pada
tahun 2011, sebagaimana
dimuat dalam Journal of Eco-
sexual Research. Inisiatornya
adalah Annie Sprinkle dan
Beth Stephens. Ekoseksu-
alitas mencerminkan ide-ide
posthumanisme, yang dalam
ilmu lingkungan disetarai
dengan paradigma ekosen-
tris dan biosentris. Sprinkle
dan Stephens sendiri, men-
gakui bahwa ekoseksualitas,
bersinggungan dengan eko-
feminisme (2021: 42-46).
Dalam kajian ekologi,
feminisme, dan seksualitas,
tak dapat dipungkiri bahwa
corak pemikiran yang antro-
posentris, androsentris, dan
heteroseksualis (bahkan
sering heteronormatif), ma-
sih sangat kental. Saat men-
gelobarasi ekologi, kita kerap
terjebak dalam (semacam)
paradoks ilmu lingkungan.
Persoalan krisis iklim misal-
nya, di satu sisi kita berupaya
untuk menambah luas tu-
tupan hutan agar ada reaksi
kimiawi yang ditimbulkan
untuk menekan emisi kar-
bon, namun di sisi lain kita
terhalang oleh persoalan
ukuran bumi yang tidak bisa
bertambah besar (itu belum
terhitung dengan pengambi-
lan keputusan yang terkesan
mengkultuskan ekonomi),
dan akumulasinya dengan
ketidaksesuaian jumlah kela-
hiran dan kematian.
Dan tentu saja, bila berbi-
cara tentang angka kelahiran,
maka secara sosiologisnya,
kita akan berbincang tentang
seksualitas. Tulisan ini, beru-
paya mengkorelasikan kedua
term tersebut, dengan men-
eropong proposisi-proposisi
yang dibangun untuk mener-
awang masa depan.
Kegamangan akan Krisis
iklim
Diskusi tentang perubahan
iklim, sebenarnya sudah ber-
mula sejak 1985 di Amerika
Serikat, saat beredarnya de-
sas-desus tentang bocornya
lapisan ozon di Antartika. Isu
pemanasan global, kemudian
mulai menggema pada 1988
hingga 1990 di seluruh bela-
han dunia, yang kemudian
mendorong PBB membentuk
perjanjian untuk menangani
perubahan iklim.
Teraktual, pada 13 Ok-
tober hingga 12 November
2021 lalu, telah dilakukan
Konferensi Tingkat Tinggi
(KTT) Conference of Parties
(COP26) The United Nations
Framework Convention on
Climate Change (UNFCCC) di
Oleh:
SYAMSUL BAHRI ABD. RASYID
Pegiat Literasi Sex, Gender, dan Ekologi,
Mahasiswa Pascasarjana Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta
Glasgow, Skotlandia, dimana
sekitar 120 pemimpin negara
telah melakukan pertemuan
untuk membahas perubahan
iklim, dengan kesepakatan
akan mengembalikan hutan
yang hilang pada 2030. Ak-
tivitas manusia yang kerap
mengorbankan lingkungan
dan bermuara pada darurat-
nya perubahan iklim (bahkan
secara blak-blakan Antonio
Guterres menyebut “bencana
iklim”), mengakibatkan nai-
knya suhu bumi, serta diikuti
bencana-bencana ekologis
lainnya.
Menanggapi pertemuan
akbar tersebut, Greta Thun-
berg mengkritisi KTT terse-
but sebagai konferensi pal-
ing eksklusif yang pernah
ada. Para pemimpin dunia
berpidato dengan beragam
program dan tujuan yang
mentereng, namun di balik
tirai, masih ragu-ragu bahkan
acuh untuk mengambil tin-
dakan iklim yang drastis. Leb-
ih lanjut, sebagaimana yang
ditulis Chang Sup Park dkk.,
dalam jurnal Social Media
+ Society, bahwa Thunberg
menyerapahi para petinggi
dalam konferensi karena
monoton membicarakan ten-
tang uang dan dongeng ten-
tang pertumbuhan ekonomi
abadi, di saat orang-orang
menderita, sekarat, dan selu-
ruh ekosistem runtuh, yang
kemudian ditegaskan den-
gan pernyataan “kita hidup
di awal kepunahan massal”
(2021: 2).
Lebih lanjut, sebagai panel
proyeksi iklim yang terdiri
dari ilmuwan di seluruh du-
nia, dan kerap menjadi acuan
untuk pengambilan keputu-
san, laporan dari Intergov-
ernmental Panel on Climate
Change (IPCC) yang diterbit-
kan pada 15 Mei 2018 lalu,
menemukan bahwa dunia
mungkin memanas hingga
1,5°C pada rentang waktu
2030-2052. Sebelumnya,
dalam penelitian yang bertu-
juan untuk membandingkan
data analisis dengan laporan
ketiga dan keempat dari IPCC
(2001 dan 2007), artikel Ste-
fan Rahmstorf dkk., dengan
judul “Comparing climate
projections to observations
up to 2011”, pada jurnal Envi-
ronmental Research Letters,
mengemukakan bahwa per-
mukaan air laut ternyata naik
60% lebih cepat dari prediksi
yang pernah dikeluarkan
(IPCC dianggap meremehkan
masalah perubahan iklim)
(2012: 3).
Sementara itu, dalam pub-
likasi lain yang lebih mence-
maskan pada jurnal Nature
Climate Change, Claudia
Tebaldi dkk., dengan tulisan
berjudul “Extreme sea lev-
els at different global warm-
ing levels”, memprediksikan
bahwa kenaikan permukaan
laut yang ekstrem di sepan-
jang garis pantai di seluruh
dunia akan terjadi 100 kali
lebih sering pada akhir abad
21 akibat meningkatnya suhu
bumi. Hal itu diprediksi bakal
terjadi di setengah dari 7.283
lokus penelitian dimana dae-
rah tropis adalah yang paling
dominan (2021: 746-750).
Aktivitas-aktivitas antro-
pogenik seperti menggunduli
hutan, mengeruk isi perut
pulau, karbon dari aktivitas
transportasi dan industri,
selain bermuara pada teng-
gelamnya pulau-pulau ke-
cil, penyesuaian garis pantai
baru, hingga pencarian habi-
bat baru, juga akan mempers-
empit lahan tempat manusia
hidup. Kecemasan itu, belum
terhitung dengan akumulasi
distopia semisal; angka kela-
hiran di negara berkembang,
yang dilatari oleh kerangka
budaya dan tuntutan sosial,
serta dampak-dampak skala
mikro yang diwejangi oleh
para pegiat lingkungan.
Pada artikel berjudul
“The climate mitigation gap:
Education and government
recommendations miss the
most effective individual ac-
tions”, jurnal Environmental
Research Letters, Seth Wynes
dan Kimberly A. Nicholas
merekomendasikan empat
tindakan rekonstruktif gaya
hidup (utopis) yang mereka
yakini sangat efektif dalam
mengurangi emisi gas rumah
kaca individu (per tahun),
yakni: memiliki satu anak
lebih sedikit (menghemat
58,6 ton karbon), hidup tanpa
kendaraan berbahan bakar
(menghemat 2,4 ton karbon),
menghindari perjalanan pe-
sawat (menghemat 1,6 ton
karbon), dan menjadi veg-
etarian (menghemat 0,8 ton
karbon) (2017: 4-7).
Korelasinya dengan Sek-
sualitas Manusia
Dalam beragam penelitian,
telah dikemukakan bahwa
iklim berpengaruh terhadap
kehidupan seks setiap pasan-
gan dan ketertarikan seksual.
Menurut penelitian yang
dilakukan oleh Johan Svart-
berg dkk., berjudul “Seasonal
variation of testosterone and
waist to hip ratio in men:
the Tromsø study”, kadar
testosteron yang merupak-
an penentu libido laki-laki,
meningkat di saat musim
dingin (2003: 3099-3104). Di
lain tempat, penelitian dari
Boguslaw Pawlowski dan Pi-
otr Sorokowski terhadap 114
laki-laki heteroseksual den-
gan judul “Men's attraction
to women's bodies changes
seasonally”, mengemukakan
bahwa tubuh perempuan
paling menarik di musim din-
gin dibanding musim panas
(2008: 1079).
Menurut Marisa T. Cohen,
seorang psikolog Amerika,
kedinginan menyebabkan
orang mendambakan kehan-
gatan dan kedekatan, yang
pada akhirnya mengarah
pada keinginan untuk ber-
pasangan dan (bahkan) ber-
hubungan seks. Kondisi ini
disebut dengan fenomena
cuffing season, yakni hasrat
untuk menjalin hubungan
di saat musim dingin. Dalam
syairnya, Alfred Tennyson
menyebut, “Di musim semi,
fantasi seorang pria muda
berubah menjadi pikiran
cinta”.
Kendati demikian, hal-hal
ini terancam tereduksi sama
sekali oleh (salah satunya)
krisis iklim. Pada penelitian
berjudul “Climate change
and contraception”, John
Bongaarts dan Regine Sitruk-
Ware, memperkirakan bah-
wa pada tahun 2100, bumi
akan dihuni oleh 10,9 miliar
manusia. Secara khusus,
dengan tambahan 3 miliar
orang yang memproduksi
gas rumah kaca, maka ma-
salah pemanasan global akan
menjadi lebih sulit diatasi
(2019: 233). Dengan semakin
banyaknya kehadiran ma-
nusia, maka semakin besar
pula emisi yang ditimbulkan
dan kebutuhan pangan yang
meningkat. Mewanti-wanti
kecemasan tersebut, maka
beberapa pihak akan mem-
pertimbangkan faktor ling-
kungan untuk memiliki ke-
turunan, misalnya, Pangeran
Harry dan istrinya Meghan
di tahun 2019 yang beren-
cana untuk memiliki maksi-
mal dua anak, dengan alasan
masalah lingkungan. Itulah
kenapa, Wynes dan Nicho-
las dalam penelitian mereka,
merekomendasikan untuk
memiliki satu anak lebih se-
dikit agar dapat menghemat
58,2 ton karbon per tahun.
Merincikan hal terse-
but, Rachel Chen dalam
tulisannya di tahun 2019
mempertanyakan dengan
nada cemas bahwa, apakah
orang-orang (generasi Z)
harus memiliki anak lagi
jika mereka akan dilahirkan
ke dunia tanpa harapan,
karena mempertimbangkan
akumulasi dari beragam
pertimbangan ekologis?
Dengan demikian, tidak
mengherankan bila dalam
hasil penelitian mereka
pada 10.000 anak muda di
10 negara (Australia, Brasil,
Finlandia, Prancis, India,
Nigeria, Filipina, Portugal,
Inggris, dan Amerika Seri-
kat) dengan judul “Climate
anxiety in children and
young people and their be-
liefs about government re-
sponses to climate change:
a global survey”, Caroline
Hickman dkk., memaparkan
bahwa tiga perempatnya
dari keseluruhan anak muda
tersebut setuju bahwa masa
depan menakutkan, dan
nyaris seperduanya ragu-
ragu untuk memiliki anak,
dengan alasan perubahan
iklim (2021: 863-873).
Bahkan, jauh sebelum
emisi karbon bereaksi se-
cara kimiawi dan meng-
hasilkan perubahan iklim
yang signifikan, polusi uda-
ra sudah mempengaruhi ke-
hidupan seks. Dalam peneli-
tiannya berjudul “Exposure
to ambient fine particulate
matter and semen quality
in Taiwan” yang diterbitkan
oleh jurnal Occupational
and Environmental Medi-
cine, Xiang Qian Lao ber-
sama 13 peneliti lainnya,
menunjukkan hasil peneli-
tian terhadap 6475 laki-laki
(15-49 tahun) pada rentang
waktu 2001-2014, bahwa
saat kita bernapas di daerah
dengan tingkat polusi udara
yang tinggi, partikulat halus
yang mengandung bahan
kimia beracun, memung-
kinkan untuk masuk dalam
paru paru, selanjutnya ke
aliran darah dan dengan
demikian merusak air mani.
Dengan kata lain, polusi
udara menurunkan kualitas
sperma (2018: 148-154).
Lebih lanjut, ketika ma-
suk dalam hubungan seks,
para pasangan akan diha-
langi juga oleh permasala-
han seperti kualitas kondom
yang tidak ramah lingkun-
gan, hingga ke perkiraan
UN Population Fund bahwa
sekitar 10 miliar buah kon-
dom lateks dibuat setiap ta-
hun dan sebagian besarnya
berakhir di tempat pem-
buangan sampah akhir.
Syahdan, dengan bera-
gam krisis ekologis yang
telah ditunjukkan dalam
tulisan, maka dapatlah di-
katakan bahwa; Di masa de-
pan, perubahan iklim akan
benar-benar meresesi seks,
bila pengambilan kepu-
tusan yang drastis untuk
penanganan iklim tidak dis-
egerakan. Akhirnya, untuk
menutup tulisan ini, saya
meminjam pernyataan Kim-
berley Nicholas, “adalah hak
asasi manusia untuk memu-
tuskan dengan bebas apak-
ah mereka ingin mempu-
nyai anak atau tidak. Yang
patut diupayakan, adalah
bagaimana menciptakan
dunia, di mana anak-anak
yang sudah hidup memiliki
planet dan masyarakat yang
aman”.TABEA.(*)

HARIAN HALMAHERA
PIMPINAN REDAKSI/ PENANGGUNG JAWAB:
Purwanto Ngatmo
TERDEPAN DAN TERBESAR DI HALMAHERA
KOORDINATOR LIPUTAN:
Muhammad Rizal (Non Aktif)
Alamat Redaksi: Jl. Bhayangkara Gamsungi Tobelo
REDAKTUR EKSEKUTIF:
Kabupaten Halmahera Utara
Muhammad Syadri
e-mail: radar_center@yahoo.com
Telepon: (0924) 2623028 REDAKTUR:
Purwanto Ngatmo,
Muhammad Rizal (Non Aktif),
KOMISARIS UTAMA: Imawan Mashuri REPORTER BIRO:
KOMISARIS: Urief Hassan Elva Umasugi (Sofifi),
DIREKTUR UTAMA: M. Tauhid Arief Irwan Muhammad (Halteng),
DIREKTUR: - Suparman Pawah (Ternate)
GENERAL MANAJER: Firman Toboleu
REPORTER:
KONSULTAN HUKUM: Andi Syarifuddin, SH, MH Ardi Tomagola, Muhrid Kanopa,
MANAGER EKSTERNAL:
Pemasangan Iklan:
Jhoni Sondak
Black White (BW) Rp.15.000/mmk
Full Colour (FC) Rp.25.000/mmk
MANAGER KEUANGAN/
SEKRETARIS REDAKSI:
Harga Eceran: Rp.4.000/eks
Rifli Mokoginta
Harga Langganan: Rp.100.000/bulan
ARTISTIK/PERWAJAHAN:
Samsudin A.S. Kuylo (Koordinator) Opini & Surat Pembaca: Redaksi menerima kiriman tulisan atau opini,
pro aktivis, serta surat pembaca. Untuk tulisan opini dan pro aktivis, diketik
PEMASARAN: dengan besar huruf 12, spasi ganda, dan maksimal tiga halaman ukuran
Rizal Djodjaga (Koordinator), kertas HVS. Opini, pro aktivis, dan surat pembaca dapat diantar langsung
Sukri, Jainal Yusuf ke alamat redaksi atau lewat email: opini_radar@yahoo.com. Syarat
melampirkan identitas diri berupa KTP atau paspor.
PERIKLANAN:
Yangky Seadamo (Koordinator), PENERBIT: PT. Ternate Cemerlang
Indri A. Yusuf (Ternate), Puspita PERCETAKAN: PT Ternate Media Printing
Jan Gimon (Manager), Febriyanto, Hamid Radjab, Ijal, Junaidi
INFORMASI TEKNOLOGI: Alamat: Jl. MS Djahir Takoma, Ternate.
Andhy Eko H

Wartawan Radar Halmahera dalam menjalankan tugas dilengkapi tanda pengenal yang selalu dikenakan saat meliput atau membawa surat tugas

HOTLINE Redaksi: 0852-5688-2577 Umum/Iklan: 0821-1512-8875 Marketing: 0822-7102-7326 harianhalmahera.com Harian Halmahera TV Redaksi Harian Halmahera Harian Halmahera