Anda di halaman 1dari 26

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/334883547

KAJIAN PELAKSANAAN PEMBELAJARAN MUATAN LOKAL BUDAYA DAERAH


DI SATUAN PENDIDIKAN DASAR (A STUDY OF INDIGENOUS CULTURE IN THE
LOCAL CONTENT SUBJECT IN BASIC EDUCATION) 1 ....

Article · April 2015

CITATION READS

1 7,093

1 author:

Mr. Mursalim
Universitas Haluoleo
12 PUBLICATIONS   33 CITATIONS   

SEE PROFILE

All content following this page was uploaded by Mr. Mursalim on 02 August 2019.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


KAJIAN PELAKSANAAN PEMBELAJARAN MUATAN LOKAL
BUDAYA DAERAH DI SATUAN PENDIDIKAN DASAR
(A STUDY OF INDIGENOUS CULTURE IN THE LOCAL CONTENT SUBJECT
IN BASIC EDUCATION)1
Mursalim
E-mail: mmursalim@yahoo.com

Abstrak
Artikel ini bertujuan untuk melakukan kajian pelaksanaan pembelajaran,
memperoleh informasi tentang faktor-faktor yang berpengaruh, dan untuk mencari solusi
alternatif untuk berbagai kesenjangan dalam pelaksanaan pembelajaran budaya daerah
pada mata pelajaran muatan lokal di satuan pendidikan dasar. Pendekatan yang digunakan
adalah deskriptif explanatori dan sampel sebagai sumber data sebanyak 32 orang, yang
terdiri dari budayawan, tokoh masyarakat, pejabat setempat, akademisi, dan guru. Data
diperoleh melalui wawancara mendalam, studi dokumentasi, kuesioner, diskusi terfokus
kelompok, dan observasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Mapel Mulok Bahasa dan
Sastra Sunda dilaksanakan dalam bentuk kegiatan kurikuler yang bertujuan untuk
melestarikan budaya lokal. Substansi kurikulum mencakup falsafah hidup, nilai-nilai
budaya, adat istiadat, tradisi, seni, dan kebijaksanaan dalam masyarakat dan bangsa.
Pelaksanaan subjek konten lokal sesuai dengan tujuan, prinsip, jenis, tahapan kebijakan,
dan mendukung pengembangan kurikulum. Beberapa faktor pendukung, antara lain:
dukungan kebijakan pemerintah daerah; ketersediaan kurikulum; kompetensi pembelajaran
dan lulusan; dan konten budaya lokal. Beberapa faktor penghambat pelaksanaan, antara
lain: kebijakan pemerintah daerah; keterbatasan pembiayaan; kekurangan guru budaya dan
seni; dan kurangnya sarana pembelajaran. Tulisan ini juga merekomendasikan beberapa
hal terkait dengan faktor-faktor yang berpengaruh.
Kata kunci: implementasi, konten budaya lokal, substansi kurikulum, faktor yang
berpengaruh.
Abstract
This article aims to review the implementation of learning, obtain information
about the influential factors, and to find alternative solutions to various gaps in the
implementation of the indigenous culture in the local content subject in basic education.
The approach used is descriptive explanatory and samples as the data source as many as 32
people, consisting of culturalist, community leaders, local officials, academics, and
teachers. Data were obtained through in-depth interviews, documentary studies,
questionnaires, focused-group discussions, and observation. The results show that the
Sundanese and Literature subject is in the form of curricular activities aiming at preserving
the local culture. The substance of the curriculum includes a philosophy of life, cultural
values, customs, traditions, arts, and wisdom in society and the nation. The implementation
of local content subject is in conformity with the objectives, principles, types, stages of the
policy, and support the curriculum development. Some supporting factors, among others
are: local government policy support; availability of curriculum; graduate and learning
competence; and local cultural content. Some of the factors inhibiting the implementation,
among others are: local government policy; limited financing, cultural and arts teachers,
and learning facilities. This paper also recommends several matters related to those
influential factors.

1 Jurnal: Kajian Pembelajaran Muatan Lokal Budaya Daerah di Satuan Pendidikan Dasar Vol.
10 No. 1 April 2015; Penerbit Puslitbang Kebudayaan, 2015. ISSN 1907-5561
Key words: implementation, local cultural content, substance of the curriculum,
influential factors.
A. PENDAHULUAN
Pembelajaran muatan lokal berbasis budaya daerah merupakan bahan kajian
yang membentuk pemahaman terhadap potensi di daerah tempat tinggal dan bermanfaat
untuk memberikan bekal sikap, pengetahuan, dan keterampilan kepada peserta didik.
Secara konseptual, pelaksanaan pembelajaran muatan lokal budaya daerah di satuan
pendidikan dasar bertujuan agar peserta didik: (1) lebih mengenal dan menjadi lebih akrab
dengan lingkungan alam, sosial, dan budayanya; (2) memiliki bekal kemampuan dan
keterampilan serta pengetahuan mengenai daerahnya yang berguna bagi dirinya maupun
lingkungan masyarakat pada umumnya; dan (3) memiliki sikap dan perilaku yang selaras
dengan nilai-nilai/aturan-aturan yang berlaku di daerahnya, serta melestarikan dan
mengembangkan nilai-nilai luhur budaya setempat dalam rangka menunjang pembangunan
nasional. Terkait tujuan tersebut, sudah barang tentu terdapat variasi dalam pelaksanaan di
daerah sesuai dengan ciri khas masing-masing.
Kebijakan pembelajaran muatan lokal berbasis budaya daerah di satuan pendidikan
dilandasi kenyataan bahwa setiap daerah di Indonesia memiliki kebudayaan yang unik dan
menjadi ciri khas daerahnya masing-masing. Budaya daerah merupakan segala sesuatu
yang terdapat didaerah tertentu sosial ekonomi, dan lingkungan sosial budaya. Kebutuhan
daerah adalah segala sesuatu yang diperlukan oleh masyarakat di suatu daerah, khususnya
pelestarian nilai-nilai budaya yang telah menjadi pandangan dan pegangan hidup
masyarakatnya selama berabad-abad. Sementara, sekolah tempat program pendidikan
dilaksanakan merupakan bagian dari masyarakat. Oleh karena itu, program pendidikan di
sekolah perlu memberikan wawasan yang luas pada peserta didik tentang kekhususan yang
ada di lingkungannya. Kebutuhan pengembangan wawasan mulok bagi peserta didik antar
daerah berbeda-beda, namun secara garis besar memiliki tujuan yang hampir sama, yaitu:
melestarikan dan mengembangkan kebudayaan daerah; dan meningkatkan kemampuan
dan keterampilan di bidang tertentu, sesuai dengan potensi daerah masing-masing.
Implementasi kebijakan pembelajaran muatan lokal budaya daerah di satuan
pendidikan dasar perlu dianalisis agar terlihat output dan outcomenya bagi peningkatan
kualitas pembelajaran mulok di daerah. Selain itu, proses pelaksanaan kebijakan tersebut
harus diverifikasi dan dievaluasi agar diperoleh informasi terhadap aspek-aspek yang
berpengaruh, serta menemukan alternatif solusi terhadap berbagai masalah. Dengan
demikian, upaya ini dapat berkontribusi positif dalamaspek perencanaan, pelaksanaan,
evaluasi, dan pencapaian tujuan. Secara empiris pelaksanaan kebijakan mulok berbasis
budaya daerah harus dibuktikan dengan suatu kegiatan ilmiah. Kegiatan tersebut

2
diharapkan dapat memberikan dampak yang positif terhadap pengembangan pelaksanaan
pembelajaran muatan lokal budaya daerah di satuan pendidikan dasar.
Fokus penulisan pada elemen/unsur yang terkait dengan pelaksanaan
pembelajaran muatan lokal budaya daerah di Kota Bandung dan Kab. Subang. Pengkajian
dilakukan secara konprehensif baik dari sisi konten budaya yang terdapat dalam kurikulum
mulok maupun implementasinya di tingkat satuan pendidikan dasar. Konten muatan lokal
budaya daerah mencakup bukan hanya unsur kesenian tetapi juga berbagai unsur lainnya
seperti upacara tradisional yang berkaitan dengan peristiwa alam, upacara daur hidup,
cerita rakyat, permainan rakyat, ungkapan tradisional, pengobatan tradisional, makanan
dan minuman tradisional, arsitektur tradisional, pakaian tradisional, kain tradisional,
organisasi sosial, kesenian tradisional, pengetahuan dan teknologi tradisional, serta
kearifan lokal yang diajarkan kepada peserta didik baik terintegrasi dengan mata pelajaran
tertentu maupun berupa mata pelajaran tersendiri. Oleh sebab itu, pelaksanaan
pembelajaran muatan lokal budaya daerah di satuan pendidikan dasar merupakan sarana
agar baik guru maupun peserta didik, dapat lebih paham mengenai makna sosiokultural di
balik pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya lokal setempat. Pemahaman yang baik
tentang budaya daerahnya dapat memperkuat sikap dan perilaku yang selaras dengan
nilai/aturan yang berlaku di masyarakatnya.
Penulisan kajian pelaksanaan pembelajaran muatan lokal budaya daerah di satuan
pendidikan dasar menitikberatkan pada fakta lapangan terkait kualitas dan kuantitas konten
budaya lokal yang terdapat dalam standar isi, proses, dan penilaian serta perangkat
pembelajaran (silabus dan RPP). Daya dukung lingkungan sosial baik formal (kebijakan)
maupun informal (masyarakat) serta dukungan sumberdaya manusia dan pendanaan
menjadi faktor penentu kesuksesan proses belajar mengajar muatan lokal budaya daerah di
satuan pendidikan dasar. Penulisan ini bertujuan memperoleh informasi yang terkait
dengan pelaksanaan pembelajaran muatan lokal budaya daerah di satuan pendidikan dasar,
dengan rincian sebagai berikut:
1. melakukan kajian terhadap pelaksanaan pembelajaran muatan lokal budaya daerah di
satuan pendidikan dasar di Kota Bandung dan Kab. Subang.
2. memperoleh informasi tentang faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pelaksanaan
pembelajaran muatan lokal budaya daerah di satuan pendidikan dasar di Kota
Bandung dan Kab. Subang, dan
3. merumuskan alternatif solusi terhadap berbagai kesenjangan sebagai upaya
pencapaian tujuan pelaksanaan pembelajaran muatan lokal budaya daerah di satuan
pendidikan dasar di Kota Bandung dan Kab. Subang.

3
Penulisan ini menggunakan pendekatan deskriptif explanatori (descriptive
explanatory) bertujuan mendeskripsikan mengenai fenomena nyata nilai-nilai budaya,
interaksi sosial, dan implikasinya pada mulok budaya daerah di satuan pendidikan dasar.
Sampel yang menjadi sumber data sebanyak 32 orang, terdiri dari budayawan, tokoh
masyarakat, pejabat daerah, akademisi, dan guru pada satuan pendidikan dasar (SD dan
SMP) dengan distribusi heterogenitas populasi yang mempunyai karakteristik unik di
Bandung dan Kabupaten Subang. Data diperoleh melalui wawancara mendalam (indepth
interview), dokumentasi (documentation), kuesioner, focused-group discussion (FGD),
observasi (observation) serta didukung dengan kajian pustaka.

B. HASIL DAN PEMBAHASAN


Pelaksanaan pembelajaran muatan lokal berbasis budaya daerah di satuan
pendidikan dasar Kota Bandung dan Subang sudah cukup baik. Keberhasilan tersebut
ditunjang oleh beberapa faktor pendukung, antara lain: dukungan kebijakan pemerintah
daerah provinsi dan kabupaten/kota yang sangat kuat dan partisipasi masyarakat yang
cukup baik. Namun, berdasarkan analisis penulis menemukan beberapa faktor yang
berpengaruh terkait pelaksanaan kebijakan pemerintah daerah tersebut, antara lain:
pembiayaan yang belum memadai, sarana prasarana penunjang yang masih kurang, dan
tenaga pendidik budaya yang belum memadai.
B.1. Pelaksanaan Pembelajaran Mulok Budaya Daerah
Mata pelajaran muatan lokal merupakan peluang sekaligus tantangan bagi daerah
untuk membangun kebudayaannya melalui jalur pendidikan sekolah. Oleh sebab itu,
peluang tersebut perlu dimanfaatkan secara efektif dengan perencanaan yang matang oleh
semua pihak (stakeholder) yang berkompeten di bidangnya dengan dukungan penuh dari
pemerintah daerah dan instansi terkait lainnya. Kesungguhan pemerintah daerah tercermin
dalam bentuk hasil pelaksanaan berupa fakta dan persepsi pihak-pihak yang terkait dengan
implementasi kebijakan di lapangan, sebagaimana paparan berikut ini.
a. Tujuan Pembelajaran Mulok Budaya Daerah
Mayoritas responden atau 55,56% menyatakan
Kesesuaian Tujuan
bahwa muatan lokal budaya daerah yang diajarkan di Pembelajaran
sekolah "sangat sesuai" dan 42,22% "sesuai" dengan tujuan, 2.22%
0.00%
sedangkan, 2,22% responden menyatakan "kurang sesuai".
Tujuan yang dimaksud yaitu: (1) membekali peserta didik
dengan sikap, pengetahuan, dan keterampilan yang 42.22
55.56 %
%
diperlukan; (2) memfasilitasi siswa mengenal dan mencintai
lingkungan alam, sosial, budaya, dan spiritual di daerahnya; dan melestarikan dan

4
mengembangkan keunggulan dan kearifan daerah berguna bagi diri dan lingkungan dalam
rangka menunjang pembangunan nasional.

b. Kesesuaian Prinsip Pengembangan Mulok


Sebanyak 55,00% responden menyatakan "sangat
Kesesuaian Prinsip
sesuai" dan 41,67% "sesuai", sedangkan, 3,33% Pengembangan Mulok
0.00% 3.33%
menyatakan "kurang sesuai" dengan prinsip yang
digunakan oleh satuan pendidikan dalam pengembangan
muatan lokal budaya daerah. Prinsip yang dimaksud, 41.67
55.00
% %
meliputi: (1) kesesuaian dengan perkembangan peserta
didik; (2) keutuhan kompetensi; (3) fleksibilitas jenis,
bentuk, dan pengaturan waktu penyelenggaraan; dan (4) kebermanfaatan untuk
kepentingan nasional dan menghadapi tantangan global.

c. Keterkaitan Jenis Mulok dengan Potensi Daerah


Sebanyak 50,00% responden menyatakan "sangat
Kesesuaian Jenis Mulok
sesuai/setuju" dan 46,67% "sesuai/setuju", bahwa muatan dengan Potensi daerah
0.00% 3.33%
lokal budaya daerah yang diajarkan di sekolah berupa: seni
budaya, prakarya, pendidikan jasmani, olahraga, dan
kesehatan, bahasa, dan/atau teknologi. Jenis muatan lokal
50.00 46.67
pembelajaran budaya daerah yang dipilih memiliki % %

keterkaitan dan kesesuaian dengan bahan kajian terhadap


keunggulan dan kearifan daerah setempat. Sedangkan, 3,33% responden menyatakan
kurang setuju dengan pendapat tersebut.

d. Muatan dan Pelaksanaan Pembelajaran Mulok


Muatan pembelajaran terkait muatan lokal budaya
Muatan dan Pelaksanaan
daerah diintegrasikan antara lain dalam mata pelajaran seni Pembelajaran
budaya, prakarya, dan/atau pendidikan jasmani, olahraga, 2.22% 8.89%

dan kesehatan. Selain itu, muatan pembelajaran terkait


muatan lokal budaya daerah dijadikan mata pelajaran yang
51.11 37.78
berdiri sendiri dan dirumuskan dalam bentuk dokumen % %
yang terdiri atas: kompetensi dasar; silabus; dan buku teks
pelajaran. Sebanyak 51,11% responden menyatakan "sangat sesuai/setuju" dan 37,78%
"setuju/sesuai" dengan pernyataan tersebut, sedangkan responden yang menyatakan
"kurang sesuai/setuju" sebanyak 8,89% dan "tidak sesuai/setuju" sebanyak 2,22%.

5
e. Kesesuaian Tahapan Pengembangan Mulok
Sebanyak 46,67% responden menyatakan "sangat
Tahapan Kebijakan
sesuai" dan 37,14% "sesuai" dengan tahapan pengembangan Pengembangan Mulok
4.76% 11.43
muatan lokal budaya daerah di satuan pendidikan dan 46.67 %
%
kab/kota, sedangkan 11,439% menyatakan "kurang sesuai"
dan 4,76% menyatakan "tidak sesuai". Tahapan yang
dimaksud meliputi: 1) penentuan tingkat satuan pendidikan 37.14
%
yang sesuai untuk setiap kompetensi dasar; 2)
pengintegrasian kompetensi dasar ke dalam muatan pembelajaran yang relevan; 3)
penetapan muatan budaya lokal sebagai bagian dari muatan pembelajaran atau menjadi
mata pelajaran yang berdiri sendiri; 4) penyusunan silabus; dan 5) penyusunan buku teks
pelajaran.
f. Tahapan Kebijakan Pengembangan Mulok
Tahapan kebijakan pemilihan jenis mulok di satuan
pendidikan dasar mendapat tanggapan yang beragam dari Tahapan Kebijakan
Pengembangan Mulok
responden: sebanyak 46,67% menyatakan sangat sesuai; 46.67 4.76% 11.43
% %
37,14% menyatakan sesuai, sedangkan 11,43% menyatakan
kurang sesuai, dan tidak sesuai sebanyak 4,76%. Tahapan
yang dimaksud meliputi pengajuan usulan muatan lokal
37.14
budaya daerah berdasarkan hasil analisis konteks dan %

identifikasi muatan lokal kepada pemerintah daerah. Selanjutnya, pemerintah daerah


melakukan: 1) analisis dan identifikasi terhadap usulan satuan pendidikan; 2) perumusan
kompetensi dasar; dan 3) penentuan tingkat satuan pendidikan yang sesuai untuk setiap
kompetensi dasar.

g. Dukungan Kebijakan Pembelajaran Mulok


Pelaksanaan muatan lokal berbasis budaya
daerah didukung oleh: 1) kebijakan pemerintah daerah dan Dukungan Kebijakan
Pembelajaran Mulok
satuan pendidikan sesuai kewenangannya; 2) penyediaan
36.67
% 3.33%
insentif bagi guru mulok dan sumber daya pendidikan 16.67
%
yang dibutuhkan. Sebanyak 36,67% responden
menyatakan "sangat setuju" dan 43,33% "setuju";
sedangkan, 16,67% "kurang setuju"; dan 3,33% "tidak 43.33
%
setuju" dengan pernyataan tersebut. Dukungan kebijakan
dimaksud termasuk penyiapan kebutuhan sumber daya pendidikan sebagai implikasi

6
penambahan beban belajar muatan lokal berbasis budaya daerah ditanggung oleh
pemerintah daerah yang menetapkan.

h. Pengembangan Kurikulum Mulok


Pengembangan muatan lokal berbasis budaya
Pengembangan
daerah oleh sekolah dilakukan oleh tim pengembang Kurikulum Mulok
Kurikulum serta pihak lain yang terkait. Pernyataan 40.00 0.00% 0.00%
%
tersebut disetujui oleh seluruh responden dengan kategori
"sangat setuju" 40,00% dan "setuju" sebanyak 60,00%.
60.00
Pengembangan kurikulum mulok memperhatikan sumber %

daya pendidikan yang tersedia.

Berdasarkan temuan di atas, diperoleh informasi bahwa status mata pelajaran


muatan lokal merupakan kegiatan kurikuler untuk mengembangkan kompetensi yang
disesuaikan dengan ciri khas dan potensi daerah, termasuk keunggulan daerah, yang
materinya tidak dapat dikelompokkan ke dalam mata pelajaran yang ada. Substansi muatan
lokal ditentukan oleh satuan pendidikan melalui pemerintah daerah, dalam hal ini Provinsi
Jawa Barat melalui Dinas Pendidikan Propinsi Jawa Barat. Kebijakan tersebut sekaligus
mengangkat Mata Pelajaran Bahasa dan Sastra Sunda sebagai mata pelajaran yang wajib
dimasukkan dalam kurikulum sekolah di wilayah Provinsi Jawa Barat. Kedudukannya
dalam proses pendidikan sama dengan kelompok mata pelajaran inti dan pengembangan
diri. Oleh karena itu, mata pelajaran Bahasa Sunda juga diujikan dan nilainya wajib
dicantumkan dalam buku rapor, setara dengan mata pelajaran nasional lainnya. Kebijakan
kurikulum tersebut secara legal formal juga mengikat seluruh unsur yang terkait di wilayah
Provinsi Jawa Barat, termasuk Kota Bandung dan Kabupaten Subang.
Kebijakan pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota di wilayah Jawa Barat
sangat mendukung upaya melestarikan kebudayaan Sunda. Implementasi kebijakan
tersebut berdampak pada semua sektor kehidupan termasuk di sektor pendidikan.
Pembelajaran Bahasa, Sastra, dan Aksara Sunda di satuan pendidikan dasar merupakan
tindaklanjut dari kebijakan pemerintah daerah Provinsi Jawa Barat. Mulok Bahasa dan
Sastra Sunda yang berkedudukan sebagai bahasa daerah dan merupakan bahasa ibu bagi
sebagian besar masyarakat Jawa Barat, ditetapkan sebagai mata pelajaran muatan lokal
wajib. Berdasarkan kenyataan tersebut, bahasa Sunda harus diajarkan di semua jenjang,
termasuka di satuan pendidikan dasar. Oleh karena itu, Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota
menyusun Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar sesuai dengan satuan pendidikan
tersebut. Pembelajaran bahasa Sunda diharapkan membantu peserta didik mengenal

7
dirinya dan budaya Sunda, mengemukakan gagasan dan perasaan, berpartisipasi dalam
masyarakat Sunda, dan menemukan serta menggunakan kemampuan analitis dan imajinatif
yang ada dalam dirinya. Pembelajaran bahasa Sunda diarahkan untuk meningkatkan
kemampuan peserta didik untuk berkomunikasi dalam Bahasa Sunda dengan baik dan
benar, baik secara lisan maupun tulis, serta menumbuhkan apresiasi terhadap hasil karya
kesastraan Sunda.
Standar kompetensi mata pelajaran Bahasa Sunda merupakan kualifikasi
kemampuan minimal peserta didik yang menggambarkan penguasaan pengetahuan,
keterampilan berbahasa, dan sikap positif terhadap bahasa dan sastra Sunda. Standar
kompetensi ini merupakan dasar bagi peserta didik untuk memahami dan merespon situasi
lokal dan regional. Dengan standar kompetensi mata pelajaran Bahasa Sunda ini
diharapkan:
1) peserta didik dapat mengembangkan potensinya sesuai dengan kemampuan,
kebutuhan, dan minatnya, serta dapat menumbuhkan penghargaan terhadap hasil karya
sastra dan intelektual orang Sunda;
2) guru dapat memusatkan perhatian kepada pengembangan kompetensi bahasa peserta
didik dengan menyediakan berbagai kegiatan berbahasa dan sumber belajar;
3) guru lebih mandiri dan leluasa dalam menentukan bahan ajar kebahasaan dan
kesastraan sesuai dengan kondisi lingkungan sekolah dan kemampuan peserta
didiknya;
4) orang tua dan masyarakat dapat secara aktif terlibat dalam pelaksanaan program
kebahasaan daan kesastraan di sekolah;
5) sekolah dapat menyusun program pendidikan tentang kebahasaan dan kesastraan
sesuai dengan keadaan peserta didik dan sumber belajar yang tersedia;
6) daerah dapat menentukan bahan dan sumber belajar kebahasaan dan kesastraan sesuai
dengan kondisi dan kekhasan lokal dengan tetap memperhatikan kepentingan regional
Jawa Barat.

Strategi Pengembangan Kurikulum: Kebijakan pemerintah provinsi tentang


mulok budaya daerah diikuti oleh strategi pengembangan kurikulum muatan lokal dengan
penetapan standar kompetensi/kompetensi dasar. Selanjutnya, SK/KD tersebut menjadi
acuan bagi pemerintah kabupaten/kota dan satuan pendidikan dasar di wilayah Jawa Barat
untuk menyusun desain pembelajaran (Silabus dan RPP) mulok budaya daerah.
Pengembangan kurikulum ini disesuaikan dengan pengembangan kurikulum KTSP dan
diadaptasi dalam Kurikulum 2013. Meskipun ada beberapa langkah yang dikembangkan
sendiri oleh pihak sekolah. Kegiatan ini pada dasarnya untuk mendata dan mengkaji

8
berbagai kemungkinan muatan lokal yang dapat diangkat sebagai bahan kajian sesuai
dengan dengan keadaan dan kebutuhan sekolah. Penentuan bahan kajian muatan lokal
didasarkan pada kriteria berikut:
a) Kesesuaian dengan tingkat perkembangan peserta didik;
b) Kemampuan guru dan ketersediaan tenaga pendidik yang diperlukan;
c) Tersedianya sarana dan prasarana
d) Tidak bertentangan dengan agama dan nilai luhur bangsa
e) Tidak menimbulkan kerawanan sosial dan keamanan
f) Kelayakan berkaitan dengan pelaksanaan di sekolah;
g) Lain-lain yang dapat dikembangkan sendiri sesuai dengan kondisi dan situasi daerah.2

Strategi Pembelajaran Muatan Lokal Budaya Sunda: Pelaksanaan


Pembelajaran Muatan Lokal Budaya Sunda di Kota Bandung dan Kab. Subang terbagi
dalam 3 (dua) kategori, yaitu: kurikuler, ko-kurikuler, dan extra-kurikuler. Pembelajaran
kurikuler dilaksanakan dalam bentuk mata pelajaran muatan lokal Bahasa dan Aksara
Sunda. Kegiatan ini dilakukan oleh sekolah yang sudah teratur, jelas, dan terjadwal
dengan sistematik yang merupakan program utama dalam proses mendidik siswa. 3 Oleh
karena itu, tujuan kurikuler muatan lokal adalah tujuan yang ingin dicapai oleh bidang
studi muatan lokal bahasa Sunda yang dapat dilihat dari Silabus dan RPP. Tujuan
kulikuler merupakan penjabaran dari tujuan institusional sehingga kumulasi dari setiap
tujuan kulikuler ini akan menggambarkan tujuan istitusional. Artinya, semua tujuan
kulikuler yang ada pada suatu lembaga pendidikan diarahkan untuk mencapai tujuan
institusional yang bersangkutan.
Pembelajaran Bahasa dan Aksara Sunda di Kota Bandung dan Kab. Subang juga
dilaksanakan melalui kegiatan ko-kurikuler. Kegiatan ini sangat erat dan menunjang serta
membantu kegiatan kurikuler biasanya dilaksanakan diluar jadwal kurikuler dengan
maksud agar siswa lebih memahami dan memperdalam materi yang ada di intrakurikuler,
biasanya kegiatan ini berupa penugasan atau pekerjaan rumah ataupun tindakan lainnya
yang berhubungan dengan materi intrakurikuler yang harus diselesaikan oleh siswa. Dalam
melaksanakan kegiatan ko-kurikuler, guru muatan lokal Bahasa Sunda memberikan tugas
ko-kurikuler kepada para siswa sesuai dengan pokok bahasan atau sub pokok bahasan

2
Departemen Pendidikan Nasional. Model Mata Pelajaran Muatan Lokal: SD/MI/SDLB-
SMP/MTs/SMPLB-SMA/MA/SMALB/SMK: Jakarta, 2006
3
Muatan lokal dalam konteks ini merupakan mata pelajaran wajib berdasarkan pada Peraturan Perundang-
Undangan Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah
Republik indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (beserta perubahannya).

9
yang sedang diajarkan. Pemberian tugas tersebut sesuai tingkat kesulitan bagi siswa
sehingga tugas yang diberikan kepada siswa itu sesuai dengan kemampuannya dan tidak
memberatkan baik pada fisiknya maupun psikisnya. Dengan tugas ko-kurikuler dapat
memperdalam pengetahuan siswa dan dapat membantu dalam penentuan nilai raport.
Berdasarkan observasi peneliti bahwa pembelajaran muatan lokal berbasis budaya
lokal di satuan pendidikan dasar Kota Bandung dan Kab. Subang dilaksanakan melalui
kegiatan ekstrakurikuler. Kegiatan tersebut dilaksanakan diluar jam pelajaran biasa (di luar
kelas), dan kebanyakan materinya pun di luar materi kurikuler, yang berfungsi utamanya
untuk menyalurkan/mengembangkan kemampuan siswa sesuai dengan minat dan
bakatnya, memperluas pengetahuan, belajar bersosilisasi, menambah keterampilan,
mengisi waktu luang, dan lain sebagainya, bisa dilaksanakan di sekolah atau kadang-
kadang bisa di luar sekolah. Dalam melaksanakan kegiatan ekstra-kurikuler ini, para guru
berharap kegiatan tersebut dapat bermanfaat bagi siswa, baik buat masa kini maupun masa
yang akan datang. Pemilihan konten budaya untuk kegiatan ekstrakurikuler dilakukan
melalui penelusuran minat dan bakat siswa sehingga tidak membebani bagi siswa dan
tidak mengganggu kegiatan yang utama, yakni kegiatan intrakurikuler.

Konten Budaya Sunda dalam Kurikulkum Mulok: Penulis mencatat beberapa


jenis dan kategori budaya Sunda yang menjadi konten dalam pembelajaran budaya lokal di
sekolah pada saat melakukan penulisan di Kota Bandung dan Kab. Subang, antara lain.
Konten kurikulum Mulok Bahasa dan Sastra Sunda memuat ragam budaya masyarakat
Sunda mencakup banyak hal, antara lain: bahasa dan sastra Sunda, falsafah hidup,
kesenian, adat istiadat, dan sebagainya.
a) Falsafah Hidup
Falsafah hidup masyarakat Sunda, yakni: cageur, bageur, bener, singer, dan
pinter diadopsi dalam kurikulum muatan lokal di Kota Bandung dan Kab. Subang. Etos
dan watak Sunda itu sebenarnya sudah lahir sekitar jaman Salakanagara dan
Tarumanagara. Falsafah tersebut menjadi pandangan hidup masyarakat Sunda pada
umumnya tentang satu jalan menuju keutamaan hidup. Selain itu, etos dan watak Sunda
juga dapat menjadi bekal keselamatan dalam mengarungi kehidupan di dunia ini. Lima
kata itu adalah pelita kehidupan dan diyakini mampu menghadapi keterpurukan akibat
penjajahan pada zaman dahulu. Semua ini sebagai dasar utama urang Sunda yang
hidupnya harus 'nyunda', termasuk para pemimpin bangsa. Falsafah tersebut tercermin
dalam karakter masyarakat Sunda, pada umumnya adalah periang, ramah-tamah (someah),
murah senyum, lemah-lembut, sangat menghormati orangtua, dan sangat menjunjung
tinggi sopan santun.

10
b) Nilai-Nilai Budaya
Pada berbagai literatur yang ditemukan, dan melalui kegiatan observasi, serta
wawancara yang dilakukan peneliti di lokasi penulisan bahwa kebudayaan Sunda memiliki
ciri khas tertentu yang membedakannya dari kebudayaan-kebudayaan lain. Secara umum
masyarakat Jawa Barat atau Tatar Sunda, dikenal sebagai masyarakat yang lembut,
religius, dan sangat spiritual. Kecenderungan ini tampak sebagaimana dalam pameo silih
asih, silih asah dan silih asuh; saling mengasihi (mengutamakan sifat welas asih), saling
menyempurnakan atau memperbaiki diri (melalui pendidikan dan berbagi ilmu), dan saling
melindungi (saling menjaga keselamatan). Selain itu Sunda juga memiliki sejumlah nilai-
nilai lain seperti kesopanan, rendah hati terhadap sesama, hormat kepada yang lebih tua,
dan menyayangi kepada yang lebih kecil. Pada kebudayaan Sunda keseimbangan magis di
pertahankan dengan cara melakukan upacara-upacara adat sedangkan keseimbangan sosial
masyarakat Sunda melakukan gotong-royong.
c) Nilai Religius
Dalam perjalanannya nilai-nilai tradisi dan religius masyarakat Sunda terus
mengalami proses perkembangan sesuai dengan perubahan zaman. Agama Islam yang
merupakan agama mayoritas masyarakat Sunda saat ini. Dalam aplikasinya, perkembangan
keagamaan seperti yang terjadi pada masyarakat Sunda sebenarnya merupakan proses
perkembangan dari mitos-mitos masyarakat yang pada intinya selalu mencari bentuk
hubungan yang seimbang antara keberadaan manusia dengan lingkungan alamnya.
d) Kesenian
Semua sekolah yang menjadi sampel penulisan memiliki program ekstrakurikuler
dalam bentuk kesenian daerah. Budaya Sunda memiliki banyak jenis kesenian, diantaranya
adalah kesenian sisingaan, tarian khas Sunda, penca, wayang golek, permainan anak-anak,
dan alat musik serta kesenian musik tradisional Sunda yang biasanya dimainkan pada
pagelaran kesenian. Materi muatan lokal sebagaimana tercantum dalam kurikulum mulok
dan sudah dilaksanakan secara rutin, memudahkan para guru untuk mendesain
pembelajaran. Materi muatan lokal yang dijadikan sasaran pembelajaran cukup variatif,
demikian pula dengan strategi pembelajarannya. Alat musik khas Sunda yang sempat
diperlihatkan oleh Kepala Sekolah kepada peneliti, yaitu: angklung, rampak kendang,
suling, kecapi, gong, calung. Angklung adalah instrumen musik yang terbuat dari bambu,
yang unik, enak didengar angklung juga sudah menjadi salah satu warisan kebudayaan
Indonesia. Rampak kendang adalah beberapa kendang (instrumen musik tradisional sunda)
yang di mainkan bersamma-sama secara serentak.

11
e) Pakaian Adat Sunda
Ketika peneliti mengunjungi sekolah-sekolah pada hari Rabu (Rebo Nyunda),
semua guru mengenakan pakaian adat Sunda dan berbahasa Sunda. Menurut seorang
responden bahwa program Rebo Nyunda yang diterapkan di sekolah merupakan salah satu
upaya penanam nilai-nilai budaya daerah kepada seluruh civitas sekolah. Responden
tersebut kemudian menjelaskan bahwa pakaian adat khas suku Sunda yang banyak dikenal
adalah kebaya. Sebenarnya kebaya merupakan pakaian adat yang juga terdapat di berbagai
daerah lain. Namun tentu ada pembeda motif kebaya Sunda yang khas. Kebaya sendiri
merupakan pakaian blus tradisional yang dikenakan oleh wanita dan dibuat dari bahan
tipis. Pakaian ini dikenakan juga bersama sarung, batik, atau pakaian rajutan lain misalnya
songket. Pakaian adat khas suku Sunda juga dibagi ke dalam beberapa golongan. Ada
pakaian adat untuk rakyat jelata, golongan menengah, dan pakaian adat khusus kaum
ningrat. Pakaian adat ini juga dibedakan juga peruntukkannya bagi wanita dan pria. Alas
kaki selop yang memiliki warna sama dengan kebaya.
Berdasarkan dokumen tersebut juga diperoleh informasi bahwa Pemerintah
provinsi Jawa Barat merumuskan kompetensi dasar dan penyusunan buku teks, sementara
satuan pendidikan melakukan penyusunan silabus pelajaran muatan lokal berbasis budaya
daerah. Mapel Mulok berbasis budaya daerah berdiri sendiri, satuan pendidikan
menambah beban belajar muatan lokal sebanyak 2 (dua) jam per minggu. Muatan lokal
berbasis budaya daerah diselenggarakan oleh satuan pendidikan dasar di Kota Bandung
dan Kab. Subang dengan memperhatikan ciri khas, keunikan budaya, dan potensi daerah.
Muatan budaya Sunda dalam pembelajaran mulok memiliki banyak variasi, antara lain:
kesenian sisngaan, tarian khas sunda, wayang golek, permainan anak kecil yang khas, dan
alat musik sunda yang bisanya digunakan pada pagelaran kesenian.4

B.2. Faktor-faktor yang Berpengaruh


Pelaksanaan mulok budaya daerah pada satuan pendidikan dasar di Kota Bandung
dan Kab. Subang bergantung pada sejumlah faktor pendudukng dan penghambat, antara
lain: kebijakan, kurikulum, konten budaya, dan strategi pembelajaran, sebagai berikut.
B.2.1 Faktor Pendukung
Kebijakan Kurikulum: Pemerintah Provinsi Jawa Barat mendukung sepenuhnya
pelaksanaan pembelajaran muatan lokal budaya Sunda dengan mengeluarkan beberapa
kebijakan strategis. Kebijakan tersebut berupa Peraturan Daerah Jawa Barat No. 5/2003

4
Informasi diolah dan diadaptasi dari berbagai sumber baik cetak maupun digital, serta hasil pengamatan
dan wawancara dengan responden yang dikaitkan dengan dokumen Dinas Pendidikan Provinsi Jawa
Barat (2007). Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Mata Pelajaran Muatan Lokal Bahasa dan
Sastra Sunda.

12
tentang Pelestarian Bahasa, Sastra, dan Aksara Daerah. Fokus penataan dan
pengembangan khususnya yang berkaitan dengan (1) kurikulum, (2) bahan ajar, (3) sarana
dan sumber belajar, dan (4) pelaksanaan pengajaran. Bersamaan dengan itu, Dinas
Pendidikan Jawa Barat telah memprakarsai terbitnya buku Pedoman Kurikulum
Berorientasi Kompetensi Bahasa Daerah (Sunda) untuk Guru SD (2003) yang isinya
disesuaikan dengan petunjuk Pusat Kurikulum, Badan Penulisan dan Pengembangan
Departemen Pendidikan Nasional yang berturut-turut terbit sejak tahun 2001 dan Badan
Standardisasi Nasional Pendidikan (BSNP).
Operasional pelaksanaan pembelajaran mulok dalam bentuk penetapan standar
kompetensi lulusan (SKL) dan standar kompetensi, standar isi (SI), dan kompetensi dasar
(SK/KD) dikeluarkan oleh Dinas Pendidikan Propinsi Jawa Barat, yang untuk kepentingan
regional Jawa Barat diputuskan oleh Gubernur Jawa Barat Nomor: 423.5/Kep.674-
Disdik/2006. Penetapan SK/KD tersebut merupakan bentuk keseriusan Pemerintah
Provinsi dan Kab/Kota Jawa Barat dalam melestarikan Budaya Sunda dimulai pada
jenjang persekolahan. Kebijakan tersebut dimaksudkan sebagai acuan dan pedoman bagi
setiap guru di sekolah dalam mengembangkan pembelajaran muatan lokal Bahasa dan
Sastra Sunda. Isinya memuat SK/KD yang harus disusun dan dikembangkan lagi oleh guru
dan sekolah menjadi kurikulum yang berisi SK, KD, indikator, pengalaman belajar,
lingkup materi, dan jenis evaluasi. Penyusunan kurikulum tersebut dapat disesuaikan
dengan keadaan dan kondisi setempat. Standar kompetensi dan kompetensi dasar mata
pelajaran Bahasa dan Sastra Sunda adalah program untuk mengembangkan pengetahuan,
keterampilan berbahasa, dan sikap positif terhadap bahasa dan sastra Sunda.
Standar kompetensi dan kompetensi dasar berfungsi sebagai acuan bagi guru-guru
di sekolah dalam menyusun kurikulum mata pelajaran Bahasa dan Sastra Sunda sehingga
segi-segi pengembangan pengetahuan, keterampilan, serta sikap berbahasa dan bersastra
Sunda dapat terprogram secara terpadu. Standar kompetensi dan kompetensi dasar ini
disusun dengan mempertimbangkan kedudukan bahasa Sunda sebagai bahasa daerah dan
sastra Sunda sebagai sastra Nusantara. Pertimbangan itu berkonsekuensi pada fungsi mata
pelajaran Bahasa dan Sastra Sunda sebagai (1) sarana pembinaan sosial budaya regional
Jawa Barat, (2) sarana peningkatan pengetahuan, keterampilan, dan sikap dalam rangka
pelestarian dan pengembangan budaya, (3) sarana peningkatan pengetahuan,
keterampilan, dan sikap untuk meraih dan mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi,
dan seni, (4) sarana pembakuan dan penyebarluasan pemakaian bahasa Sunda untuk
berbagai keperluan, (5) sarana pengembangan penalaran, serta (6) sarana pemahaman
aneka ragam budaya daerah (Sunda).

13
Standar isi mata pelajaran Bahasa dan Sastra Sunda mencakup empat aspek
kemampuan, yakni: (1) Menyimak (ngaregepkeun): Mampu menyimak, memahami, dan
menanggapi berbagai bentuk dan jenis wacana lisan;(2) Berbicara (nyarita): Mampu
berbicara secara efektif dan efisien untuk mengungkapkan pesan (pikiran, perasaan, dan
keinginan) dalam beragam bentuk dan jenis wacana lisan di berbagai kesempatan
berbicara; (3) Membaca (maca): Mampu membaca, memahami, dan menanggapi berbagai
jenis wacana tulis; dan (4) Menulis (nulis): Mampu menulis secara efektif dan efisien
untuk mengungkapkan pesan (pikiran, perasaan, dan keinginan) dan kreativitas sastra
dalam berbagai bentuk dan jenis karangan (wacana tulis). Keseluruhan isi kurikulum
tersebut harus dicapai oleh setiap lulusan dalam satuan pendidikan dasar untuk memenuhi
standar kompetensi lulusan pada semua jenjang pendidikan.5
Menyikapi perkembangan perubahan kurikulum dari 2006 ke 2013, Pemerintah
Jawa Barat melalui Surat Edaran Kepala Dinas Pendidikan Propinsi Jawa Barat No.
423/2372/Set-disdik tertanggal 26 Maret 2013 perihal Pembelajaran Muatan Lokal Bahasa
Daerah pada Jenjang SD/MI, SMP/MTs, SMA/SMK/MA, dengan demikian pembelajaraan
muatan lokal Bahasa Daerah tetap diakomodir dalam Kurikulum 2013 di Jawa Barat
dengan pilihan bahasa yaitu Bahasa Sunda, Bahasa Cirebon dan Bahasa Melayu Betawi.
Adapun struktur Kurikulumnya sebagaimana dalam lampiran surat edaran Kepala Dinas
Pendidikan Propinsi Jawa Barat No. 423/2372/Set-disdik tertanggal 26 Maret 2013
menetapkan Bahasa dan Sastra Daerah sebagai mata pelajaran muatan lokal yang berdiri
sendiri 2 (dua) jam pelajaran per minggu.
Kebijakan Pendukung: Kebijakan pemerintah provinsi Jawa Barat tentang
penetapan Bahasa dan Sastra Daerah (Sunda) sebagai bagian dari muatan pembelajaran
atau menjadi mapel yang berdiri sendiri merupakan wujud nyata dukungan pemerintah
daerah terhadap pelestarian nilai dan budaya daerah. Langkah-langkah yang ditempuh oleh
pemerintah daerah ditinjau dari landasan pengembangan kurikulum mencakup landasan
filosofis, psikologis, dan sosial budaya. Falsafah hidup masyarakat Sunda, yakni: cageur,
bageur, bener, singer, dan pinter6 diadopsi dan diadaptasi dalam kurikulum muatan lokal
di Provinsi Jawa Barat pada umumnya. Falsafah hidup tersebut membahas segala
permasalahan masyarakat Sunda, termasuk memberikan arah dan metodologi terhadap
praktik-praktik pendidikan, sedangkan praktik-praktik pendidikan memberikan bahan-
bahan bagi pertimbangan filosofis. Dasar filosofis tersebut menjadi landasan penting
dalam pengembangan kurikulum mulok budaya daerah.

5
Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat (2007). Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Mata
Pelajaran Muatan Lokal Bahasa dan Sastra Sunda.
6
Hasil wawancara dengan narasumber tanggal 28 Desember 2014 yang menyatakan bahwa Falsafah
hidup masyarakat Sunda, yakni: cageur, bageur, bener, singer, dan pinter.

14
Landasan psikologis dalam proses pembelajaran muatan lokal adalah proses
interaksi antar individu. Manusia berbeda dengan makhluk lainnya karena kondisi
psikologisnya. Kondisi psikologis sebenarnya merupakan karakter psiko-fisik seseorang
sebagai individu yang dinyatakan dalam berbagai bentuk perilaku interaksi dengan
lingkungannya. Dalam konteks interaksi sosial, masyarakat Sunda dikenal dengan ciri
khasnya seperti kesopanan, rendah hati terhadap sesama, kepada yang lebih tua dan
menyayangi kepada yang lebih kecil. Nilai-nilai psikologis tersebut tercermin dalam
pengembangan kurikulum mulok. Terakhir adalah pengembangan mulok budaya daerah
menggunakan landasan sosial budaya yang mencakup tujuan, isi, maupun proses yang
disesuaikan dengan kondisi, karakteristik, kekayaan dan perkembangan masyarakat Sunda
yang religius. Kecenderungan ini tampak sebagaimana dalam pameo “silih asih, silih asah
dan silih asuh, saling mengasihi, saling mempertajam diri dan saling melindungi.
Selain menetapkan kurikulum muatan lokal Bahasa dan Sastra Sunda, Pemerintah
Provinsi Jawa Barat juga mengeluarkan kebijakan Rebo Nyunda melalui Peraturan Daerah
(Perda) No. 2 Tahun 2012 tentang Penggunaan dan Pelestarian Bahasa, Sastra, dan Aksara
Sunda. Rebo Nyunda dimaksudkan untuk mengembalikan dan melestarikan budaya Sunda
dan bertujuan untuk menjawab kekhawatiran masyarakat akan lunturnya kebudayaan
Sunda di Jawa Barat di tengah maraknya pengaruh budaya asing. Program ini juga
merupakan salah satu upaya Pemerintah Kota Bandung untuk mengimplementasikan
Peraturan Daerah (Perda) Nomor 9 Tahun 2012 pasal 10 ayat 1b yang menyebutkan bahwa
setiap hari Rabu ditetapkan sebagai hari berbahasa Sunda dalam semua kegiatan
Pendidikan, Pemerintahan dan kemasyarakatan.
Dalam kegiatan ini, masyarakat Kota Bandung dihimbau menggunakan pakaian
Sunda yakni kebaya dan kain batik sebagai bawahan bagi perempuan serta iket kepala
batik dan bila memungkinkan menggunakan pangsi bagi laki-laki. Selain iket kepala, para
laki-laki juga bisa menambahkan hiasan kujang sebagai penghias iket tersebut. Bersamaan
dengan menggunakan pakaian Sunda, setiap hari Rabu juga warga Bandung diharapkan
menggunakan Bahasa Sunda untuk berkomunikasi dengan orang lain. Komunikasi dalam
Bahasa Sunda ini digunakan baik di dalam instansi pemerintahan, sekolah-sekolah maupun
dalam rapat-rapat resmi yang diselenggarakan oleh Pemerintah Kota Bandung. Kebijakan
tersebut secara langsung memberikan dukungan dan pengaruh positif terhadap pelaksanaan
pembelajaran muatan lokal budaya daerah di sekolah di Kota Bandung dan Kab. Subang.

15
B.2.2. Faktor Penghambat
Beberapa hambatan yang dapat diidentifikasi dalam pelaksanaan mulok budaya
daerah pada satuan pendidikan dasar di Kota Bandung dan Kab. Subang antara lain:
Pembiayaan Pembelajaran Mulok: Informasi beberapa responden
menunjukkan bahwa dukungan berbagai kebijakan terkait pelestarian nilai-nilai budaya di
satuan pendidikan dasar yang dilaksanakan dalam bentuk mulok budaya daerah kurang
diimbangi dengan dukungan pembiayaan yang memadai dari pemerintah Kota Bandung
dan Kab. Subang. Untuk melaksanakan kebijakan tersebut, satuan pendidikan dasar harus
mengalokasikan sebagian dana BOS yang jumlahnya sudah ditentukan sesuai dengan
kategori pembiayaan. Terbatasnya jumlah anggaran yang disediakan oleh pemerintah dan
pemerintah daerah diatasi pihak sekolah dengan melibatkan partisipasi orang tua siswa dan
masyarakat untuk pembiayaan operasional rutin pelaksanaan pembelajaran mulok budaya
daerah. Bentuk partisipasi pembiayaan tersebut digunakan untuk keperluan, antara lain: 1)
pengadaan kelengkapan pembelajaran; 2) honor guru mulok kesenian daerah; dan 3) biaya
operasional pertunjukkan atau pagelaran seni budaya.
Kebijakan pemerintah daerah tentang pelestarian budaya dalam bentuk
pelaksanaan pembelajaran mulok bahasa dan sastra Sunda belum diikuti oleh kebijakan
pendanaan yang memadai. Sejumlah sekolah yang menjadi sampel penulisan ini
mengeluhkan kurangnya pembiayaan untuk melaksanakan pembelajaran mulok dengan
baik. Masalah tersebut merupakan salah satu faktor utama penentu kualitas pelaksanaan
pembelajaran mulok budaya daerah dan masalah-masalah pendidikan lainnya, seperti:
sarana dan prasarana, tenaga pendidik, dan kurikulum juga tidak lepas dari masalah
pembiayaan. Oleh karena itu, pemerintah provinsi dan kab/kota di Jawa Barat hendaknya
mencari solusi terhadap masalah tersebut dengan memberdayakan semua komponen
masyakat melalui peran serta dalam penyelenggaraan pembiayaan layanan penedidikan.
Ketersediaan anggaran yang memadai diatur dalam ketentuan anggaran
pendidikan.7 Namun, kenyataannya sampai sekarang masih banyak daerah yang belum
dapat melaksanakan amanat undang-undang tersebut, dan intitusi pendidikan berjalan apa
kemampuannya masing-masing. Pemerintah daerah kab/kota di era otonomi selayaknya
mengambil wewenang untuk mengurus atau memfokuskan pembangunan pada sektor
pendidikan. Untuk merealisasikan kebijakan tersebut, dituntut kesungguhan dari para
pelaku pendidikan agar mampu mengembangkan sistem pembiayaan yang dapat dijadikan
penggerak bagi kemajuan pembangunan kebudayaan daerahnya.

7
Sebagaimana tertuang dalam UU No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas. Dalam Pasal 49 ayat (1) tentang
Pengalokasian Dana Pendidikan menyatakan bahwa Dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya
pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)
pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

16
Ketersediaan Guru Seni Budaya: Kendala yang dihadapi lainnya adalah
masalah kekurangan tenaga pendidik seni dan budaya pada satuan pendidikan dasar yang
menjadi sampel penulisan. Aspek ketenagaan pada pelaksanaan muatan lokal budaya
daerah memerlukan guru yang mempunyai kesiapan mental dan kecakapan untuk
melaksanakan berbagai pendekatan dan model pembelajaran yang menunjang
keberhasilan kegiatan belajar mengajar. Satuan pendidikan yang menjadi sampel penulisan
mulok Bahasa dan Sastra Sunda bukan berasal dari pendidikan seni budaya, dan kondisi
itu, menurut informasi, hampir terjadi di sebagian besar sekolah. Untuk sekolah swasta,
kekurangan guru seni budaya diantisipasi dengan mendatangkan guru dari luar atau
menambah jam mengajar guru yang ada. Kebijakan tersebut berdampak pada
bertambahnya beban tugas guru dan dapat dipastikan kualitas pembelajaran mulok budaya
daerah kurang maksimal.
Satuan pendidikan dasar yang menjadi sampel penulisan di Kota Bandung dan
Kab. Subang mengunggapkan kendala yang dihadapi dalam pembelajaran mulok budaya
daerah adalah disamping kekurangan pembiayaan juga kekurangan tenaga pendidik yang
berlatar belakang budayawan dan pendidikan seni, khususnya pada jenjang SD. Rata-rata
setiap sekolah baik negeri dan swasta hanya memiliki dua guru seni budaya. Adapun
jumlah guru yang memiliki latar belakang pendidikan guru seni tak lebih dari 40 persen.
Dari jumlah tersebut, banyak guru seni budaya yang latar belakang pendidikan bukan dari
pendidikan seni, tetapi diberi tugas untuk mengajar mata pelajaran seni budaya. Bagi
sekolah-sekolah yang tidak memiliki guru berlatar belakang pendidikan seni, mau tidak
mau sekolah harus memberdayakan guru yang ada. Jadi tidak heran guru yang latar
belakang pendidikan matematika, IPS, bahasa Indonesia hingga komputer diberu tugas
tambahan untuk mengajar mapel seni budaya. Kondisi tersebut, diakui atau tidak pasti
berdampak terhadap kualitas pendidikan, khususnya untuk mapel seni budaya.
Seorang pendidik harus mempunyai sejumlah kompetensi atau menguasai
sejumlah pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang terkait dengan bidang tugasnya.
Kompetensi yang harus dimiliki oleh guru mencakup kompetensi pedagogik, kepribadian,
sosial, dan professional. Seorang guru profesional melekat sikap dedikasi yang tinggi
terhadap tugasnya, sikap komitmen terhadap mutu proses dan hasil kerja, serta sikap untuk
memperbaiki mutu pembelajaran secara terus menerus (continous improvement), seperti
dikemukakan Hanushek:

17
The range of options being pushed forward include raising the course work
requirement for teacher certification, testing teachers on either general or
specific knowledge, requiring specific kinds of undergraduate degrees, and
requiring master’s degrees.8

Standar dan kualifikasi pendidikan guru mulok diperkirakan dapat mempengaruhi


kualitas pendidikan. Sekolah yang mempunyai guru dengan jenjang pendidikan lebih
tinggi dimungkinkan mempunyai nilai yang berbeda dengan guru yang mempunyai
jenjang pendidikan yang rendah. Beberapa fakta di atas merupakan pertimbangan serius
perlunya pemerintah Kota Bandung dan Kab. Subang melakukan upaya pemenuhan
kebijakan tentang standar pendidik dan tenaga kependidikan.9
Guru mulok budaya daerah dituntut untuk tidak hanya mampu merencanakan
PBM, mempersiapkan bahan pengajaran, merencanakan media dan sumber pembelajaran,
serta waktu dan teknik penilaian terhadap prestasi siswa, namun juga harus memilki citra
budaya yang menjadi contoh dan teladan bagi siswanya. Ketersediaan pendidik dan tenaga
kependidikan masih kurang sehingga memerlukan partisipasi guru tidak tetap yang berasal
dari komunitas budaya yang berada di lingkungan terdekat.
Sarana Penunjang: Berdasarkan hasil observasi dan penuturan responden bahwa
sekolah masih kekurangan sarana dan prasarana yang menunjang pembelajaran muatan
lokal budaya daerah. Contohnya Buku teks Bahasa dan Sastra Sunda memang sudah
disiapkan oleh pemerintah daerah, namun masih dalam bentuk eletronik sehingga
memerlukan akses internet dan biaya cetak. Pakaian adat Sunda yang akan digunakan
untuk pertunjukkan seni budaya juga masih terbatas sehingga sekolah harus menyewa dari
tempat lain. Demikian pula dengan alat-alat kesenian lainnya (gamelan, gong, asesoris
pertunjukkan, dan sebagainya) masih memerlukan perhatian dari pihak sekolah dan
pemerintah daerah.
Merujuk pada Surat Edaran Kepala Dinas Pendidikan Propinsi Jawa Barat No.
423/2372/Set-disdik tertanggal 26 Maret 2013 perihal Pembelajaran Muatan Lokal Bahasa
Daerah pada Jenjang SD/MI, SMP/MTs, SMA/SMK/MA, terdapat 2 hal yang perlu
dipertanyakan, jika tujuannya adalah sebagai wahana untuk melestarikan budaya daerah.
a) Kebijakan tersebut memandang kebudayaan lokal identik dengan bahasa daerah.
Implementasi kebijakan tersebut adalah pada penyiapan sejumlah kebijakan
pendukung, seperti: penetapan SK/KD untuk kurikulum Bahasa dan Sastra Sunda,
serta kebijakan tingkat kab/kota pada wilayah yang mayoritas berpenduduk Sunda.

8
Eric A. Hanushek, Teacher Quality, (Teacher Quality Conference Stauffer Auditorium, (Stanford:
Hoover Institution, 2000), h. 4.
9
Peraturan Menteri Pendidik Nasional Nomor 12,13,16,18 Tahun 2007 tentang Standar Pendidik dan
Tenaga Kependidikan.

18
Namun, kebijakan tersebut belum ditemukan terkait mulok Bahasa Cirebon dan
Betawi yang juga penduduk asli Provinsi Jawa Barat.
b) Hasil analisis menunjukkan bahwa muatan kurikulum Bahasa dan Sastra Daerah,
khususnya Sunda, pada hakekatnya mencakup falsafah hidup, nilai-nilai budaya, nilai
religius, kesenian, adat istiadat, tradisi yang secara keseluruhan merefleksikan budaya
atau tatar Sunda. Penamaan mulok bahasa dan sastra Sunda pada dasarnya
mempersempit cakupan makna yang terkandung dalam kuikulum tersebut jika
tujuannya adalah dalam rangka pelestarian nilai-nilai budaya daerah.
Menyimak kendala di atas, maka perlu dicatat bahwa kebijakan pemerintah
daerah hendaknya menyiapkan infrastruktur yang sama bagi semua masyarakat dengan
latarbelakang budaya yang berbeda. Kebudayaan sebagai suatu entitas terbentuk dari hasil
karya cipta, rasa dan karsa yang tak berujud (tangible-sistem nilai, ekspresi nilai), dan
ekspresi karya kebendaan (intagible) baik bergerak maupun tak bergerak, bernilai dan
bermanfaat bagi kemanusiaan, melembaga, serta beradaptasi dengan dinamika
perkembangan kebudayaan (sosialisasi, asismilasi, akulturasi, difusi, inovasi, discovery,
dan invention).10 Pada kenyataannya, kebudayaan bertransformasi ke dalam nilai budaya
yang direfleksikan dalam kehidupan sehari-hari berbentuk internalisasi nilai melalui
pembelajaran mulok berbasis budaya pada satuan pendidikan. Penanaman nilai budaya
melalui sektor pendidikan tersebut diyakini dapat menjadi solusi untuk mengatasi berbagai
persoalan bangsa dewasa ini.
Pembelajaran budaya Sunda di Kota Bandung dan Kab. Subang ditunjang dengan
materi non-cetak11 yang disiapkan oleh pemerintah daerah secara online. Namun, materi
digital tersebut masih harus diunduh dan kemudian dicetak agar dapat digunakan oleh
siswa. Pada beberapa satuan pendidikan dasar, pembelajaran mulok budaya daerah
memanfaatkan media komunikasi audio visual seperti TV, DVD, perangkat audio (sound
system), komputer, dan sebagainya. Demikian pula dengan ketersediaan alat bantu yang
terkait langsung dengan alat musik untuk jenis kesenian yang dibelajarkan. Keberadaan
alat elektronik tersebut masih perlu ditingkatkan baikkualitas dan kuantitasnya sehingga
dapat dimanfaatkan secara maksimal oleh para guru dan siswa.
Pada umumnya sarana penunjang tertentu bagi pelaksanaan muatan lokal budaya
daerah yang lengkap tidak dimiliki oleh sekolah, dan kemungkinan juga tidak tersedia di
masyarakat. Untuk mengatasi hambatan tersebut guru mulok harus memilih alat-alat dan
sumber belajar alternatif yang sesuai dengan materi yang akan diajarkan. Sarana dan

10
Hurip Danu Ismadi, dkk. Menuju Keunggulan Kebudayaan Indonesia (Perspektif Pendidikan Karakter
dan Ketahanan Budaya). Jakarta: Sekretariat Balitbang, Kemdikbud, 2013.
11
Buku Elektronik Bahasa, Sastra, dan Aksara Sunda untuk semua semester pada jenjang SD dan SMP
dapat diakses secara oline di situs resmi Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat.

19
prasarana yang dimaksud meliputi: media, alat dan sumber pembelajaran yang memadai
sehingga pendidik tidak perlu terlalu banyak mengeluarkan tenaga dalam menyampaikan
materi atau bahan pelajaran yang akan disampaikan kepada peserta didik demi tercapainya
tujuan pembelajaran.

B.2.3 Alternatif Solusi Terhadap Berbagai Hambatan


Keberhasilan pelaksanaan pembelajaran muatan lokal budaya daerah di satuan
pendidikan dasar memerlukan alternatif solusi terhadap berbagai faktor penghambat
sebagaimana disebutkan di atas, antara lain:
a. Kebiajakan Mulok Bahasa dan Sastra Daerah
Sehubungan kebijakan pemerintah provinsi Jawa Barat terkait penetapan Mulok
Bahasa dan Sastra Daerah untuk satuan pendidikan, terdapat beberapa alternatif solusi
yang disarankan, yaitu:
1) Penamaan Mulok Bahasa dan Sastra Daerah sebaiknya perlu ditinjau kembali atau
diganti dengan "Mulok Budaya Daerah". Re-naming/penamaan ulang tersebut
bertujuan untuk menempatkan pembelajaran mulok secara proporsional sesuai dengan
tujuannya untuk melestarikan kebudayaan daerah. Demikian pula dengan muatan
kurikulumnya mencakup khazanah kebudayaan daerah (Sunda), sehingga layak untuk
disebut dengan mulok budaya daerah.
2) Kebijakan mulok budaya daerah harus diikuti dengan kebijakan pengalokasian
anggaran yang memadai dalam APBD pemerintah provinsi dan kab/kota di Jawa
Barat. Satuan pendidikan dasar juga hendaknya mengalokasikan dana yang cukup
dalam BOS untuk pembelajaran mulok budaya daerah. Pengalokasian dana diperlukan
untuk biaya operasional, pembelian sarana penunjang, dan honorarium guru bantu.
b. Pembiayaan
Selain pemerintah dan pemerintah daerah, anggaran pendidikan yang harus
disiapkan oleh penyelenggara pendidikan dan masyarakat. Pembiayaan sektor pendidikan
merupakan tanggungjawab bersama antara keluarga, masyarakat, dan pemerintah.
Pembiayaan pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah atau
pemerintah daerah menjadi tanggungjawab pemerintah atau pemerintah daerah. Demikian
pula satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat menjadi tanggungjawab
penyelenggara. Partisipasi masyarakat dalam hal pembiayaan menjadi sangat penting
mengingat tidak semua komponen pendidikan dibiayai oleh dana BOS. Model partisipasi
masyarakat juga dapat ditemukan pada pelaksanaan pembelajaran budaya daerah di Kota
Bandung dan Kab. Subang, di mana masyarakat ikut menanggung biaya yang jumlahnya
disesuaikan dan ditetapkan menurut kemampuan orang tua atau wali peserta didik.

20
Sehubungan masalah pembiayaan, pihak sekolah juga mengedepankan fungsi
manajemen berbasis sekolah (MBS) dengan menciptakan manajemen yang terbuka,
trasparan dan akuntabel. Pengalaman penerapannya di tempat lain menunjukkan bahwa
daerah yang paling berhasil menerapkan MBS telah memfokuskan harapan mereka pada
dua maafaat: meningkatkan keterlibatan dalam pengambilan keputusan dan menghasilkan
keputusan lebih baik. Osorio menyatakan bahwa MBS dapat berfungsi sebagai: (1) budget
allocations, (2) hiring and firing of teachers and other school staff, (3) curriculum
development, (4) procurement of textbooks and other educational materials, (5)
infrastructure improvement, and (6) monitoring and evaluation of teacher performance
and student learning outcomes.12 Manajemen berbasis sekolah selalu diusulkan sebagai
strategi untuk mencapai transformasi sekolah. Kepala sekolah harus memiliki kapasitas
membuat keputusan terhadap terkait operasional sekolah sesuai kesepakatan dalam
kerangka peningkatan kinerja sekolah. Namun, untuk mencapai hasil yang optimal
diperlukan peningkatan kapasitas dan komitmen seluruh warga sekolah, termasuk
masyarakat dan orangtua siswa.
c. Tenaga Pendidik
Ujung tombak dari pelaksanaan kurikulum muatan lokal Bahasa dan Sastra Sunda
yang canangkan oleh Pemerintah Provinsi Jawa Barat di tingkat satuan pendidikan dasar
adalah pendidik atau guru yang bersentuhan langsung dengan sasaran pendidikan (peserta
didik) dalam bentuk pelaksanaan PBM. Oleh sebab itu, para guru mulok budaya daerah
hendaknya mempunyai kemampuan yang dapat menunjang keberhasilan dalam
melaksanakan kegiatan belajar mengajar. Selain memilki kompetensi budaya, guru juga
dituntut untuk menguasai isi pokok pelajaran yang akan disampaikan dalam mengajar.
Dalam kondisi di mana pihak sekolah tidak memilki guru yang kompeten dalam bidang
pembelajaran nilai budaya atau kesenian tertentu, maka pihak sekolah dapat mengadakan
pendekatan atau meminta bantuan kepada budayawan lokal, komunitas budaya, tokoh
adat/tradisi setempat, dan instansi terkait lainnya.
Pihak sekolah juga diharapkan dapat memaksimalkan potensi sumberdaya
internal untuk mengatasi kekurangan guru seni budaya. Guru-guru mapel lain namun
memilki latarbelakang budaya, pengetahuan, dan kompetensi yang dibutuhkan dapat diberi
tugas tambahan untuk mengajar mapel mulok budaya. Langkah tersebut banyak ditempuh

12
Felipe Barrera-Osorio, et., Decision-Making in Schools-The Theory and Evidence on School-Based
Management (Washington: The International Bank for Reconstruction and Development /The World
Bank, 2009), hh. 4-5.

21
oleh satuan pendidikan dasar di berbagai daerah untuk memenuhi kebutuhan guru khusus
SBK yang bersifat sementara sambil mengupayakan guru SBK permanen. Alternatif
lainnya adalah dengan meningkatkan kreativitas dan inovasi guru dalam memberikan
materi tentang kurikulum muatan lokal. Langkah ini dapat dilakukan melalui pelatihan dan
bimbingan khusus kepada guru-guru yang ada atau calon guru yang bersedia mengajar
SBK.
Namun, perlu diingat bahwa kualitas pembelajaran mulok budaya daerah tidak
hanya tergantung pada guru, Quality teaching depends on a number of factors, including
the amount and quality of instructional resources available, teacher professional
development, staffing, and support from administrators and parents.13 Pernyataan tersebut
menunjukkan bahwa kualitas pembelajaran pada satuan pendidikan tidak hanya tergantung
sepenuhnya pada ketersediaan dan kualitas guru. Banyak faktor yang berpengaruh
terhadap kualitas pembelajaran, termasuk di dalamnya adalah kualitas sumberdaya
pembelajaran yang tersedia, kualitas pengembangan profesionalisme guru, tenaga
kependidikan
d. Sarana Prasarana Penunjang
Hasil wawancara menunjukkan bahwa penerapan kurikulum mulok budaya
daerah dalam lingkup satuan pendidikan dasar di Kota Bandung dan Kab. Subang masih
mengalami kendala yang berkisar pada kesiapan sarana prasarana penunjang. Untuk
mengatasi kendala tersebut, pihak sekolah dapat memanfaatkan kemampuan dari setiap
warga sekolah memberdayakan sumberdaya yang dimiliki dan di lingkungan
masyarakatnya. Oleh sebab itu, diperlukan dukungan dan kerjasama satuan pendidikan
dasar (kepala sekolah, guru, tenaga kependidikan, dan peserta didik) dengan komite
sekolah dan instansi pemerintah dan swasta, serta pelaku dan komunitas budaya.
Ketersediaan sarana dan prasarana yang memadai menunjang kesuksesan
pembelajaran mulok budaya daerah dapat diwujudkan melalui kerjasama dalam beberapa
hal, antara lain: penyiapan sumber dan bahan ajar mulok budaya daerah benar-benar
menjadi kebutuhan bagi siswa, pembiayaan sejumlah pagelaran seni, dan pengadaan
fasilitas kelas mulok yang memadai. Poster menyatakan bahwa kerterlibatan seluruh
pemangku kepentingan mutlak diperlukan "all organisations have become aware that the
accomplishment of a task is not solely a matter of individual ability or motivation, but is

13
Mitchell, K.J., Robinson, D.Z., Plake, et.al., ed., Testing teacher candidates: The role of licensure tests in
improving teacher quality (Washington: National Academy Press, 2001), h. 164.

22
often also dependent on the support of co-workers.14 Dengan demikian maka program
sekolah dan proses pendidikan yang berlangsung dirasakan sebagai tanggung jawab
bersama, bukan hanya tugas sekolah dan guru semata. Partisipasi masyarakat setempat
untuk mendukung pelaksanaan kurikulum muatan lokal disekolah tersebut diperlukan agar
dapat menunjang tercapainya tujuan pembelajaran mulok. Alat atau media ini harus
diupayakan selengkap mungkin agar segala aktivitas mengajar dapat dibantu dengan media
yang diperoleh melalui swadaya masyarakat.

C. PENUTUP
C.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan hal-hal
sebagai berikut:
a. Pembelajaran Muatan Lokal Bahasa Daerah di Kota Bandung dan Kab. Subang
dilaksanakan dalam bentuk kegiatan kurikuler Mapel Bahasa dan Sastra Sunda dengan
SK/KD pada jenjang pendidikan dasar dan menengah yang bertujuan untuk
melestarikan budaya daerah.
b. Substansi kurikulum mapel muatan lokal Bahasa dan Sastra Sunda mencakup falsafah
hidup, nilai-nilai budaya, adat istiadat, tradisi, kesenian, serta kearifan dalam
bermasyarakat dan berbangsa.
c. Hasil tabulasi angket menunjukkan bahwa mayoritas responden menyatakan bahwa
pelaksanaan pembelajaran mulok Bahasa dan Sastra Daerah di Kota Bandung dan
Kab. Subang sudah sesuai dengan tujuan, prinsip, jenis mulok, tahapan kebijakan, dan
dukungan pengembangan kurikulum.
d. Beberapa faktor pendukung pelaksanaan mulok bahasa dan sastra Sunda, antara lain:
dukungan kebijakan pemerintah daerah; ketersediaan kurikulum mulok; SK/KD dan,
SKL; dan muatan budaya lokal.
e. Beberapa faktor penghambat pelaksanaan mulok budaya daerah, antara lain: kebijakan
pemerintah daerah; keterbatasan pembiayaan; keterbatasan guru seni budaya; dan
sarana prasarana pembelajaran yang masih kurang.
C.2. Rekomendasi
Penulisan ini perlu merekomendasikan beberapa hal terkait pelaksanaan
pembelajaran Muatan Lokal Bahasa Daerah di Kota Bandung dan Kab. Subang, sebagai
berikut.

14
Cyril and Doreen Poster, Teacher appraisal: Training and Implementation-2nd ed., (New York:
Routledge-Taylor & Francis Library, 2005), hh. 2-3.

23
a. Program pembelajaran dan bahan kajian mulok budaya daerah perlu disesuaikan
dengan tingkat perkembangan pengetahuan, emosional, dan sosial, serta kedekatan
secara fisik dan secara psikis peserta didik dengan lingkungan budayanya.
b. Kebijakan pemerintah provinsi dan kab/kota di Jawa Barat tentang Mulok Bahasa dan
Sastra Daerah perlu:
1) mengganti nama menjadi Mulok Budaya Daerah sesuai dengan tujuannya untuk
melestarikan budaya daerah, serta keluasan dan cakupan muatan kurikulumnya
tentang kebudayaan daerah.
2) diikuti dengan kebijakan pembiayaan yang memadai untuk biaya operasional dan
penyediaan tenaga pendidik yang memiliki kompetensi sesuai dengan jenis mulok
yang dilaksanakan oleh satuan pendidikan.
c. Kekurangan pembiayaan, tenaga pendidik, dan sarana prasarana penunjang
pelaksanaan pembelajaran mulok budaya daerah di satuan pendidikan dasar dapat
diminimalisir dengan cara:
a. Pemeritah Provinsi dan Kab/Kota Jawa Barat, sesuai dengan kewenangannya,
untuk: 1) mengalokasikan dana operasional mulok budaya daerah dalam APBD;
2) mengangkat atau menyiapkan tenaga pendidik khusus budaya daerah; dan 3)
menyiapkan sarana dan prasarana yang dibutuhkan.
b. Satuan pendidikan: 1) mengalokasikan dana operasional mulok budaya daerah
dalam item pendanaan BOS; 2) melatih guru yang memilki potensi dan
kompentensi kebudayaan; dan 3) meminta bantuan guru/instruktur dari individu
maupun komunitas budaya.
c. Untuk memenuhi sarana prasarana yang dibutuhkan, satuan pendidikan perlu
memberdayakan seluruh potensi dan sumberdaya yang dimilki baik internal
maupun eksternal mulai dari orang tua/wali siswa, komunitas budaya, dan intansi
terkait lainnya.

DAFTAR PUSTAKA

Cyril and Doreen Poster, Teacher appraisal: Training and Implementation-2nd ed., (New
York: Routledge-Taylor & Francis Library, 2005).
Departemen Pendidikan Nasional. Model Mata Pelajaran Muatan Lokal: SD/MI/SDLB-
SMP/MTs/SMPLB-SMA/MA/SMALB/SMK: Jakarta, 2006.
Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat (2007). Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar
Mata Pelajaran Muatan Lokal Bahasa dan Sastra Sunda.
Eric A. Hanushek, Teacher Quality, (Teacher Quality Conference Stauffer Auditorium,
(Stanford: Hoover Institution, 2000).

24
Felipe Barrera-Osorio, et., Decision-Making in Schools-The Theory and Evidence on
School-Based Management (Washington: The International Bank for
Reconstruction and Development /The World Bank, 2009).
Hurip Danu Ismadi, dkk., Menuju Keunggulan Kebudayaan Indonesia, Perspektif
Pendidikan Karakter dan Ketahanan Budaya, (Jakarta: Sekretariat Balitbang,
Kemdikbud, 2013).
Mitchell, K.J., Robinson, D.Z., Plake, et.al. ed., Testing teacher candidates: The role of
licensure tests in improving teacher quality (Washington: National Research
Council, National Academy Press, 2001).
Peraturan Menteri Pendidik Nasional Nomor 12,13,16,18 Tahun 2007 tentang Standar
Pendidik dan Tenaga Kependidikan.
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 79 Tahun 2014
tentang Muatan Lokal dalam Implementasi Kurikulum 2013.
Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Peraturan
Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, Pasal 77
N.
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
http://bahasa.kompasiana.com/2013/11/28/penerapan-bahasa-daerah-pada-kurikulum-
2013-di-jawa-barat-613871.html

25

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai