Istilah gender sudah digunakan secara luas masyarakat di berbagai forum, baik yang
bersifat akademis maupun non-akademis ataupun dalam dikursus pembuatan kebijakan
(law making process). Meskipun demikian, tidak selamanya istilah tersebut
dipergunakan dengan tepat, bahkan terkadang mencerminkan ketidak jelasan pengertian
konsep gender itu sendiri. Kekeliruan ini memiliki implikasi yang tidak kecil,
khususnya apabila terjadi dalam proses pembuatan kebijakan. Kekeliruan ini bukan
tidak mungkin menyebabkan kebijakan yang dihasilkan tidak tepat sasaran dan tidak
mencapai tujuan yang diharapkan. Oleh karena itu kejelasan konsep gender penting
sebagai langkah awal memahami pengaruh utama gender.
Konsep gender tidak merujuk kepada jenis kelamin tertentu (laki-laki atau perempuan).
Berbeda dengan jenis kelamin, gender merupakan konsep yang dipergunakan untuk
menggambarkan peran dan relasi sosial laki-laki dan perempuan. Gender merumuskan
peran apa yang seharusnya melekat pada laki-laki dan perempuan dalam masyarakat.
Konsep inilah yang kemudian membentuk identitas gender atas laki-laki dan perempuan
yang diperkenalkan, dipertahankan, dan disosialisasikan melalui perangkat-perangkat
sosial dan norma hukum yang tertulis maupun tidak tertulis dalam masyarakat. Berbeda
dengan jenis kelamin (seks) yang ditentukan oleh aspek-aspek fisiologis, gender
merupakan pengertian yang dibentuk dan dipengaruhi oleh kebudayaan, adat istiadat,
dan perilaku sosial masyarakat. Oleh karena itu, pengertian gender tidak bersifat
universal, melainkan tergantung pada konteks sosial yang melingkupinya. Sebagai
contoh, masyarakat berbasis patrilineal seperti di Jawa sangat mungkin merumuskan
gender secara berbeda dengan masyarakat yang sistem sosialnya berbasis matrilineal.
Sedangkan pengertian jenis kelamin (seks) adalah mengacu kepada ciri ?ciri biologis,
misalnya ciri-ciri yang berkaitan dengan fungsi reproduksi; tidak bisa dipertukarkan,
karena sifatnya yang kodrati didapat bersamaan dengan kelahiran.
PERNIKAHAN DINI
Pernikahan usia dini merupakan ikatan yang masih tergolong dalam usia muda
puberitas. Pernikahan dini bearti bahwa pasangan yang melakukan pernikahan belum
memenuhi standar dan batas usia untuk masuk kedalam kehidupan berumah tangga.
FAKTOR- FAKTOR PENYEBAB PERNIKAHAN DINI
1. Faktor ekonomi
Niasanya terjadi ketika sang wanita berasal dari keluarga kurang mampu secara
ekonomi. Sehingga orang tunya memilih untuk menikahkan anak mereka
dengan pria yang mapan agar kehidupan anaknya lebih baik.
2. Faktor pendidikan
Kurang sosialisasi terhadap orang tua atau masyarakat yang berda didaerah
seperti pedesaan dan anak yang tidak memiliki akses untuk menempuh
pendidikan 12 tahun sehingga diirnya tidak masalah jika dinikahkan diusia dini
dan beranggapn bahwa hal tersebut adalah hal wajar.
3. Faktor orang tua
Tidak sedikit orang tua yang memilih menikahkan anak mereka karena merasa
khawatir anaknya akan melakukan perbuatan zina selama pacaran yang akan
menimbulkan aib bagi keluargnya.
4. Faktor media massa dan internet
Dijaman sekarang, sangat mudah bagi semua untuk mengakses informasi dari
internet dimana jika seorang remaja tidak berhati-hati, dirinya dapat terjatuh
dalam pergaulan bebas yang mulai dari rasa penasaran setelah itu melihat atau
membaca informasi yang diperoleh dari media sosia.
5. Faktor hami diluar nikah
Faktor hami diluar nikah ini timbul sebagai salah satu akibat dari media massa
dan internet. Dimana dengan mudahnya akses internet, anak- anak mengetahui
apa yang belum seharunsnya mereka ketahui. Karena dapat menimbulkan
nampak negatif yang mereka ketahui melalui internet yakni penididikan seks,
informasi tentang seks.
1. Pendidikan Perempuan
Pendidikan memainkan peran penting dalam menjaga anak perempuan aman dari
pernikahan anak. Faktanya, semakin lama seorang perempuan bersekolah, semakin kecil
kemungkinan dia menikah sebelum usia 18 tahun dan memiliki anak selama masa
remajanya. Selain itu, pendidikan memastikan anak perempuan memperoleh
keterampilan dan pengetahuan untuk mencari pekerjaan dan sarana untuk menghidupi
keluarga mereka. Hal ini dapat membantu memutus lingkaran kemiskinan dan
mencegah pernikahan anak yang terjadi sebagai akibat dari kemiskinan ekstrim dan/atau
keuntungan finansial
2. Pemberdayaan Perempuan
Setiap perempuan memiliki hak untuk memutuskan masa depannya sendiri, tetapi tidak
setiap perempuan mengetahui hal ini, itulah mengapa memberdayakan anak perempuan
sangat penting untuk mengakhiri pernikahan anak.
Ketika anak perempuan percaya diri dengan kemampuan mereka, dipersenjatai dengan
pengetahuan tentang hak-hak mereka dan didukung oleh kelompok sebaya dari anak
perempuan yang diberdayakan, mereka dapat berdiri dan mengatakan “Tidak” terhadap
ketidakadilan seperti pernikahan anak. Pemberdayaan perempuan mampu membentuk
kembali perspektif dan menantang norma-norma konvensional tentang apa artinya
menjadi seorang perempuan.
Konsep yang digunakan dalam memandang kasus ini adalah kesetaraan gender dan hak-
hak perempuan yang dikemukakan oleh Martha C. Nussbaum (1999), yang berpendapat
bahwa kesetaraan gender dan hak-hak yang dimiliki oleh perempuan merupakan hal
yang terus membentuk pertanyaan-pertanyaan terkait dengan etika dan moral dan
tentang cara bagaimana perempuan seharusnya diperlakukan. Akan tetapi, dalam
tradisi-tradisi tertentu yang justru mengabadikan ketidaksetaraan bagi perempuan.
Seperti dalam konteks kasus ini di mana anak perempuan dinikahkan di usia yang masih
sangat muda, sehingga justru perkawinan itu pada akhirnya telah menghambat
kemajuan perempuan tersebut dan hal itu merupakan sebuah diskriminasi gender.
Martha Nussbaum memberikan sebuah pendekatan untuk keseteraan gender yaitu
Capability Approach atau Pendekatan berdasarkan kepada kemampuan. Pendekatan
yang dibangun oleh Martha Nussbaum merupakan prespektif yang menganggap bahwa
kemampuan universal dapat digunakan untuk mengangkat derajat perempuan ke tempat
yang sama dengan laki-laki di dunia. Tentunya pendekatan ini membuka jalan bagi
perempuan untuk menjalani kehidupan yang tidak lagi dipengaruhi oleh tradisi yang
memungkinkan ketidakadilan bagi para perempuan tersebut.
Wilayah pedesaan sebagai faktor yang paling dominan bagi masyarakat untuk
menikahkan anak-anaknya di usia dini. Sebab, lingkunganlah yang membiasakan
perkawinan usia dini, sehingga menjadi budaya yang secara terus menerus dilakukan
dan menganggap perkawinan usia dini sebagi titik awal untuk terlepas dari beban moril
dan ekonomi keluarganya. Untuk membuat nilai tersendiri agar terhindar dari
pembicaraan masyarakat yang biasa disebut perawan tua. Menurut masyarakat setempat
jika tidak menikahkan anak-anaknya terlepas dari umur 18 tahun akan menimbulkan
insiden tersendiri bagi keluarganya dan anaknya.Anggapan ini menjadi suatu momok
menakutkan bagi kebanyakan keluarga tradisional masyarakat. Citra dan pandangan
masyarakat menjadi suatu jalan hidup yang harus dijalankan maupun dihindari.
Pergaulan hiduplah dan interkasi tersebut menjadikan perkawinan dini menjadi
legitimasi yang bersifat lumrah dari masyarkat. Keterpaksaan dalam mejalankan realitas
perkawinan dini akibat dari stigma yang berkembang dan akan berkembang di
masyarkat. Oleh karena itu, perkawinan hanya diihat sebagai kebutuhan biologis semata
tidak melihat dari aspek dampak secara sosial. Akhirnya yang terjadi kemudian, banyak
mayarakat Indoesia yang melakukan perkawinan dini dan tidak siap dengan kehidupan
pasca menikah, akibatnya perceraian di usia muda banyak terjadi. Hal tersebut
disebabkan karena ketidak matangan secar mental. Namun, dalam realitas yang terjadi
saat ini perkawinan usia dini sudah menjadi hubungan perkawinan yang menjadi nomor
satu di Indonesia, antara manusia saat ini. Pembentukan secara sosial ini atas dasar dari
kehidupan di lingkungan masyarakat yang mengkukuhkan bahwa perkawinan usia dini
hal yang layak bagi anak-anaknya, karena orang tua memberikan dorongan untuk
melakukan perkawinan dini. Hal ini seperti layaknya perkawinan yang sewajarnya
dilakukan walapun secara medis usia dini sangat belum matang dalam reproduksi. Akan
tetapi, hal tersebut tidak semata-mata difikirkan karena menurut masyarakat jika
keduanya saling mendukung dan siap menikah usia dini tentunya tetap dijalankan. Hal
itu terjadi karena minimnya pengetahuan masyarakat terhadap perkawinan dini yang
menjadi dasar untuk terbentuknya perkawinan dibawah umur.