Anda di halaman 1dari 3

Bagi dunia bisnis, pandemi Covid-19 menyisakan persoalan tersendiri.

Pandemi ini mengakibatkan


mandeknya berbagai sektor usaha.

Sektor usaha yang terdampak langsung, di antaranya perhotelan, transportasi, pariwisata,


manufaktur, dan sektor usaha lainnya yang bergantung pada pergerakan bebas manusia. Namun, tak
semua terdampak pandemi.

Ada beberapa yang justru mengalami peningkatan permintaan pasar dan diprediksi memperoleh
keuntungan lebih. Di antaranya, farmasi, alat kesehatan, jasa telekomunikasi dan internet, logistik,
dan beberapa industri tekstil.Merespons kondisi itu, pemerintah mengeluarkan berbagai kebijakan
guna menyelamatkan perekonomian nasional. Stimulus ekonomi dan insentif fiskal ataupun
nonfiskal diberikan kepada masyarakat dan pelaku usaha terdampak.

Langkah ini seakan menegaskan implikasi pandemi Covid-19 telah berdampak, antara lain terhadap
perlambatan pertumbuhan ekonomi, penurunan penerimaan negara, serta peningkatan belanja
negara dan pembiayaan.

Payung hukum dalam penyelamatan perekonomian nasional, di antaranya Perppu Nomor 1 Tahun
2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara Dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan
Pandemi Covid- 19 Dan/Atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan
Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem Keuangan.

Selain itu, Kepres Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Non-alam Penyebaran Covid-
19 Sebagai Bencana Nasional dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 11 /POJK.03/2020
Tentang Stimulus Perekonomian Nasional Sebagai Kebijakan Countercyclical Dampak Penyebaran
Covid-19.

Timbul pertanyaan di kalangan masyarakat dan dunia bisnis, apakah pandemi Covid-19
menimbulkan implikasi bagi kontrak bisnis? Bila iya, bagaimana implikasinya terhadap kelangsungan
kontrak bisnis dan kewajiban kontraktual para pihak?

Analisis tentang hal ini penting untuk menjaga iklim investasi yang kondusif dan keberlangsungan
dunia usaha. Berbagai perbedaan multitafsir atas hal itu justru menimbulkan polemik di tengah
masyarakat dan ketidakpastian hukum.

Pertama, apakah pandemi Covid-19 berimplikasi terhadap kontrak bisnis? Pandemi dapat
berimplikasi terhadap kontrak bisnis bila keadaan tersebut dapat dikualifikasikan sebagai force
majeure.
Istilah force majeure memang tidak didefinisikan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(KUHPerdata) dan beberapa peraturan di Indonesia dalam lingkup keperdataan.

Namun, menurut International Chamber of Commerce. Organisasi perdagangan dunia, force


majeure adalah suatu peristiwa atau keadaan yang mencegah atau menghalangi suatu pihak untuk
melakukan satu atau lebih kewajiban kontraktualnya berdasarkan kontrak yang sudah disepakati.

Suatu keadaan dapat dikatakan force majeure bila bisa dibuktikan hambatan itu di luar kendalinya;
keadaan itu tak dapat secara wajar diprediksi saat penyelesaian kontrak; dan akibat dari halangan
tidak dapat secara wajar dihindari atau diatasi pihak yang terkena dampak.

Merujuk unsur-unsur tersebut, pandemi Covid-19 termasuk force majeure. Sebab, pandemi di luar
kendali para pihak, tidak dapat diprediksi sebelumnya, dan berakibat terhalangnya para pihak
melaksanakan kewajiban kontraktualnya.

Namun, perlu pendekatan kasus per kasus, apakah pandemi itu berakibat terhalangnya debitur
melaksanakan kewajiban kontraktualnya. Ini mengingat, pandemi tidak mengakibatkan semua
sektor usaha berhenti berjalan atau terdampak.Artinya, untuk bisa dikatakan force majeure, unsur
terhalangnya pemenuhan kewajiban kontrak penting diperhatikan. Bila itu terjadi, pandemi Covid-19
berimplikasi pada kontrak bisnis. Kedua, implikasi apa yang ditimbulkan?

Pandemi Covid-19 yang dikualifikasikan force majeure berimplikasi pada kontrak bisnis yang dibuat
para pihak, ditegaskan Pasal 1244 KUHPerdata, Pasal 1245 KUHPerdata, Pasal 1444 KUHPerdata, dan
Pasal 1445 KUHPerdata.

Mengacu pada pasal-pasal tersebut, implikasi pandemi Covid-19 terhadap kontrak bisnis adalah
debitur dalam kontrak bisnis tak diwajibkan menanggung kerugian dan membayar biaya, denda, dan
bunga karena terhalangnya memenuhi kewajiban.

Debitur tidak dapat dinyatakan wanprestasi karena tidak terlaksananya kewajiban kontraktual bukan
karena kesengajaan ataupun kelalaian, melainkan karena pandemi Covid-19.

Pihak yang memiliki kewajiban kontraktual tidak dapat diminta ganti rugi dalam hal terdapat
keadaan yang tidak dapat diperkirakan sebelumnya atau di luar kendali yang wajar karena adanya
faktor eksternal.
Selain itu, implikasi pandemi Covid-19 terhadap kontrak bisnis juga berakibat bagi para pihak
melakukan perubahan perjanjian. Ini agar mereka tetap bisa menjalankan kewajiban kontraktualnya
di lain waktu yang disepakati.

Kewajiban kontraktual debitur untuk sementara waktu dapat ditangguhkan sampai dimungkinkan
pemenuhan kewajiban kembali ketika situasi dan kondisi sudah terkendali akibat pandemi.

Karena itu, bagi para pihak disarankan negosiasi ulang kontrak bisnisnya dengan klausul yang
mengakomodasi kepentingan, melindungi para pihak, dan memastikan kewajiban kontraktual tetap
dilaksanakan di tengah pandemi

Anda mungkin juga menyukai