Terbitnya surat tersebut disikapi positif oleh masing-masing pelaku jasa keuangan. Di sisi
lain pelaku jasa keuangan harus menghadapi “tekanan” dari nasabahnya yang meminta
Ada dua hal yang perlu disikapi dalam kebijakan OJK tersebut, pertama terkait relaksasi
dalam perhitungan tingkat solvabilitas. Pembatasan pada Aset Yang Diperkenankan (AYD)
dalam bentuk bukan investasi pada tagihan premi penutupan langsung termasuk tagihan
premi koasuransi, tagihan premi reasuransi, diperpanjang dari 2 (dua) bulan menjadi 4
(empat) bulan.
Pengakuan dalam AYD tersebut untuk tagihan dengan jatuh tempo diatas bulan Januari 2020,
jika dan hanya perusahaan asuransi yang memutuskan untuk memberikan kelonggaran
Hal tersebut memungkinkan terjadinya pemahaman yang kurang benar, dimana semua
tagihan premi asuransi akan diberikan perpanjangan jatuh tempo pembayaran. OJK tidak
pernah memberikan arahan kepada perusahaan asuransi untuk memperpanjang jatuh tempo
pembayaran premi asuransi. Adapun yang diberikan oleh OJK dalam rangka relaksasi adalah
kemudahan bagi perusahaan asuransi untuk tetap dapat mengakui tagihan yang sudah lewat
dari jatuh tempo lebih dari 2 bulan sebagai AYD dalam perhitungan tingkat solvabilitas.
Keputusan untuk tidak membatalkan polis asuransi tentunya kembali kepada pertimbangan
Pertama, diskresi tersebut diberikan kepada pihak yang benar-benar terdampak saja dan
masih berjalan. Jika ini diterapkan ke semua tertanggung maka yang terjadi adalah kerugian
yang diberikan harus hanya dilakukan dengan permohonan tertulis langsung dari tertanggung.
bahwa perbuatan menahan premi yang sudah dibayarkan merupakan tindakan yang menjadi
Keempat, diskresi yang berhubungan dengan program reasuransi fakulatatif atau koasuransi
dilakukan dengan persetujuan bersama dari para Penanggung, Reasuradur dan member
Koasuransi.
Hal kedua yang perlu menjadi perhatian dalam kebijakan OJK tersebut adalah hubungan
antara industri asuransi umum dengan industri pembiayaan terkait adanya opsi restrukturisasi
Yang perlu diperhatikan adalah dalam setiap penutupan pertanggungan asuransi jangka
pemenuhannya sudah diatur dalam beberapa peraturan perundangan yang berlaku. Dengan
demikian, seperti halnya perusahaan pembiayaan yang tidak dapat memberikan pinjaman
pembiayaan tanpa adanya cash, karena peraturan dan kewajiban yang ada, maka perusahaan
asuransi pun tidak dapat memberikan perlindungan tanpa adanya premi. Dimana tanpa
adanya premi, perusahaan asuransi akan langsung melanggar peraturan dan/atau akan
Sementara itu mengingat industri asuransi dan industri pembiayaan punya masalah yang
sama terkait kondisi keuangan debitur, maka solusi terbaik adalah dengan tidak melanggar
perundangan yang berlaku, maka skema pertanggungan yang dapat diterapkan kepada
prorata hari atas periode tambahan yang diminta, dan tetap mengacu pada ketentuan tarif
premi yang berlaku (SEOJK nomor 6/SEOJK.05/2017). Justifikasi mengenai biaya akusisi
Ketiga, harga pertanggungan dapat ditetapkan secara agreed value dengan nilai yang sama
dengan harga pertanggungan di tahun terakhir, atau diturunkan menjadi 50% dari harga
pertanggungan awal, atau jika serendah rendahnya sebesar nilai pokok hutang yang
menjadi insurable interest perusahaan pembiayaan pada saat perpanjangan periode
Terakhir, menerapkan tarif premi yang berlaku dengan potongan biaya akusisi maksimal
sesuai regulasi (25%), potongan biaya adminstrasi perusahaan (15%) dan potongan harapan
margin keuntungan (5% – 10%). Jika potongan tersebut dapat diberikan perusahaan, maka
tarif premi yang diterapkan adalah premi murni sebesar 50%. Dengan penerapan opsi
pertama atau kedua dengan kombinasi opsi ketiga dan keempat, maka tambahan premi untuk
kepentingan nasabah dan sesuai dengan syarat dan ketentuan dalam polis, proses ini dapat
berupa deklarasi pertanggungan atas nasabah yang akan mengalami perpanjangan periode
tersebut.
Tidak ada yang pernah mengira, wabah ini sedemikian cepat menyebar ke seluruh dunia.
Sebarannya tak mengenal negara yang maju sampai yang belum maju. Kecepatan penyebaran
wabah ini mendorong sejumlah negara membuat pembatasan lintas batas negara, menutup
jalur penerbangan, hingga membatasi interaksi di antara warga negaranya sendiri. Tujuannya
jelas, mencegah dan meminimalisir penyebaran wabah virus corona. Arus pergerakan orang
dan perdagangan internasional tersendat. Indonesia bukan perkecualian, baik soal wabah
Industri jasa keuangan meyakini bahwa pemerintah bersama pelaku jasa keuangan tetap
memantau perkembangan penyebaran covid-19 ini agar industri asuransi masih mendapatkan
kesempatan untuk tetap survive dan memberikan kontribusi bagi perekonomian negara
bagi asuransi nasional.
Krisis saat ini berbeda dibandingkan dengan krisis-krisis sebelumnya. Hal ini disebabkan
pandemi Covid-19 tidak hanya menekan ekonomi, tetapi juga mengancam kesehatan dan
jiwa masyarakat.
Kondisi itu lah yang menyebabkan pandemi Covid-19 membawa dua sisi pengaruh bagi
sektor asuransi.
Dosen Program MM-Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (UGM)
produk, seperti asuransi kesehatan dan jiwa karena masyarakat ingin melindungi diri dari
pandemi.
Meskipun begitu, pada sisi lainnya, daya beli masyarakat tertekan sehingga menjauhi
kebutuhan tersier.
asuransi sebagai kebutuhan primer, tetapi hal tersebut tidak begitu memengaruhi persepsi
"Tapi menurut saya kenaikan permintaan asuransi tersebut, tidak bisa mengimbangi
Kapler menjelaskan bahwa berdasarkan teori ekonomi dan ekonomi asuransi, permintaan
asuransi (demand of insurance) dipengaruhi oleh beberapa faktor. Salah satunya yakni
pertumbuhan ekonomi.
hal tersebut karena objek asuransi sebenarnya berupa risiko atas semua aset/kepentingan,
Kondisi perekonomian yang saat ini melemah berdampak terhadap operasional dunia
usaha, baik menjadi menurun atau bahkan terhenti. Kondisi tersebut membuat risiko turut
"Belum lagi kemampuan keuangan perusahaan atau rumah tangga dan negara juga turun.
Dalam pengamatan saya, selama ini kalau masyarakat atau korporasi daya belinya turun
dan harus melakukan efisiensi, biasanya biaya asuransi itu salah satu yang dicoba di-cut,"
jelasnya.
Dia menjabarkan bahwa jumlah pemegang polis di Indonesia baru sekitar 20 persen dari
jumlah penduduk. Hal tersebut menunjukkan bahwa pola pikir berasuransi dan penetrasi
Sepanjang kuartal I-2020, Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) mencatat pandemi covid-
Namun, AAJI menilai kondisi perlambatan itu tidak menurunkan semangat industri asuransi
jiwa untuk memberikan pelayanan dan perlindungan yang menyeluruh bagi masyarakat
Indonesia. Komitmen ini terbukti dengan meningkatnya total klaim dan manfaat yang
dibayarkan, total jumlah tertanggung, total uang pertanggungan dan jumlah tenaga pemasar.
Ketua Dewan Pengrus AAJI Budi Tampubolon mengatakan, kuartal-I turut mempengaruhi
kinerja industri asuransi jiwa karena total pendapatan premi asuransi jiwa melambat. Namun,
ia menyebutkan pandemi juga telah mendorong dan membentuk pola kesadaran masyarakat
"Melihat situasi ini, sebagai upaya untuk tetap melayani kebutuhan perlindungan kesehatan
masyarakat Indonesia di masa pandemi, perusahaan asuransi jiwa semakin fokus untuk
memberikan edukasi kepada masyarakat mengenai pilihan perlindungan yang tepat. Dalam
kondisi yang penuh tantangan ini, komitmen yang kuat dan berkelanjutan dari Industri
Asuransi Jiwa ditunjukkan dengan adanya pembayaran total klaim dan manfaat naik 4,1%,
yakni dari Rp 34,1 triliun menjadi Rp. 35,92 triliun,” ujar Budi dalam siaran Resmi (24/6).
Budi bilang, kesadaran masyarakat atas perlindungan asuransi jiwa, khususnya asuransi
menjelaskan, persentase Total Tertanggung mencapai 63,97 juta orang. Padahal, sebelumnya
hanya mencapai 53,17 nasabah. Oleh karenanya, angka itu naik 20,3%.
Sementara total uang pertanggungan mencapai Rp 4,073 triliun dari yang sebelumnya Rp
3,859 triliun. Oleh sebabnya, angka ini naik 5,6%. “Pertumbuhan itu di dorong oleh
gencarnya usaha AAJI bekerjasama dengan industri asuransi jiwa untuk melakukan program
literasi dan edukasi kepada masyarakat tentang manfaat asuransi jiwa,” tambah Budi.
Kebijakan PSBB menjadi salah satu faktor penyebab pendapatan premi asuransi mengalami
Industri asuransi tanah air ikut menjadi terdampak pandemi corona COVID-19. Kondisi itu
setidaknya tercermin dari laporan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang mencatat perolehan
premi asuransi per Maret 2020 yang tumbuh lambat. Kontraksi paling lambat dialami sektor
asuransi jiwa. "Premi asuransi jiwa turun signifikan. [Pertumbuhan per Maret 2020]
terkoreksi menjadi minus 13,8 persen," ungkap Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh
Santoso dalam paparan pers yang digelar virtual, Senin (11/5/2020) lalu. Padahal, lanjut
Wimboh pada Desember 2019, premi asuransi jiwa hanya minus 0,38 persen. Artinya,
penurunan penerimanaan premi asuransi jiwa tercatat sangat dalam. Secara umum, industri
asuransi nasional memang tercatat kurang sehat di tengah pandemi corona saat ini.
Bagaimana tidak, bila mengacu pada catatan OJK, premi asuransi nasional hanya tumbuh
3,65 persen hingga Maret 2020. Padahal, pada Desember 2019 industri asuransi masih
mampu mencatat pertumbuhan premi hingga 15,65 persen. Premi asuransi ibarat 'darah' pada
industri asuransi. Rendahnya penerimaan premi jelas bikin pelaku industri asuransi jadi
pusing tujuh keliling. Akibatnya, kinerja keuangan industri asuransi pun ikut goyang. Itu
tercermin dari rasio kesehatan keuangan atau risk based capital (RBC) industri asuransi yang
mengalami penurunan menjadi hanya 642,7 persen di Maret 2020. Angka itu lebih rendah
dari catatan akhir tahun 2019 yang masih berada di 789 persen. RBC merupakan tolak ukur
yang dapat memberitahu tingkat keamanan finansial atau kesehatan perusahaan asuransi.
RBC dikatakan sehat bila nilainya semakin besar. Baca juga: Industri Asuransi Terpukul
Corona, Premi Asuransi Jiwa Minus 13,8% AAJI: Polis Asuransi Tak Kecualikan Corona
COVID-19 PSBB Buat Agen Asuransi Sulit Bergerak Pengajar Ilmu Ekonomi dan Bisnis
Universitas Indonesia sekaligus mantan Direktur Utama PT Jamsostek (Persero) Hotbonar
Sinaga mengungkap, perlambatan kinerja di industri asuransi ini memang tak lepas dari
pandemi virus Corona yang tengah melanda ibu pertiwi. Adanya kebijakan Pembatasan
Sosial Berskala Besar (PSBB) dalam rangka membatasi pergerakan masyarakat saat pandemi
corona COVID-19, justru membuat tenaga pemasaran atau agen asuransi tak leluasa bergerak
aktivitas sales terkendala. Enggak bisa melakukan pertemuan untuk jelaskan produk asuransi.
Pasti akan terjadi penurunan produksi tahun ini dibanding 2019," tutur Hotbonar kepada
reporter Tirto, Rabu (20/5/2020). Kondisi ini membuat perusahaan asuransi harus memutar
otak untuk melakukan penyesuaian. Bila tak gesit, tentu saja umur mereka tak akan panjang.
"Asuransi yang tidak melakukan penyesuaian tahun depan akan celaka. Sementara pemasaran
fokus pada mempertahankan existing business atau renewal. Sulit cari new business, paling-
paling intensifikasi bisnis dari tertanggung yang ada," jelasnya. Senada dengan Hotbonar,
pengamat asuransi sekaligus Arbiter Badan Mediasi dan Arbitrase Asuransi Indonesia
(BMAI) Irvan Rahardjo memastikan bisnis asuransi turut terdampak pandemi corona
COVID-19 saat ini. Tak adanya pertemuan agen dengan nasabah ataupun kunjungan nasabah
ke kantor asuransi menjadi faktor menurunnya kinerja sektor asuransi. PSBB sebenarnya
bukan satu-satunya biang keladi pendapatan premi asuransi mengalami penurunan. Menurut
Irvan, rendahnya daya beli masyarakat juga jadi pukulan hebat bagi industri ini. Tak bisa
dipungkiri, PSBB yang diberlakukan di sejumlah kota sudah bikin banyak orang kehilangan
sumber pendapatannya. Banyak laporan dari sejumlah industri yang terpaksa merumahkan
pekerjanya tanpa upah dan gaji imbas pandemi ini. Ini jelas bikin sebagian besar masyarakat
mengencangkan ikat pinggang dan terpaksa memangkas alokasi belanja mereka yang
dianggap bukan prioritas, salah satunya adalah asuransi jiwa. "Sebagian besar masyarakat,
pengeluran paling utama dikorbankan adalah soal asuransi. Karena menghadapi kebutuhan
nyata, kesehatan, konsumsi, makanan dan minuman, pakaian, itu utama dibanding asuransi,"
ucap Irvan. Tak berhenti di situ, Irvan melihat ada juga faktor regulasi yang secara tak
langsung memberi dampak bagi permintaan masyarakat terhadap asuransi. Regulasi yang
dimaksud adanya arahan dari OJK kepada perbankan untuk memberikan relaksasi kredit
kepada para nasabahnya. Bagi nasabah, ini memberikan penurunan risiko yang secara tak
restrukturisasi relaksasi kredit sehingga ada banyak penurunan dari sisi kebutuhan asurnasi
karena memang kan resiko jadi menurun," jelas Irvan. Seperti diketahui, lanjut Irvan, setiap
kredit perbankan selalu disertai dengan jaminan asuransi baik kepada produk kolateral yang
dijaminkan maupun jaminan asuransi jiwa bagi nasabah penerima kredit. Perbankan tidak
Perlambatan kinerja industri asuransi jelas bukan tanpa efek samping. Ada banyak dampak
bahaya yang mungkin terjadi bila pemerintah tak bergegas memberi perhatian bagi industri
ini. Pertama yang jelas adalah dampak langsung ke perusahaan asuransi dan segenap
karyawan yang bekerja di dalamnya. Dia mengatakan, ada risiko lonjakan pemutusan
hubungan kerja (PHK) terhadap tenaga kerja yang terhubung langsung dengan industri
asuransi. Hal ini tentu tak bisa dihindarkan bila perusahaan asuransi tak lagi sanggup
bertahan. "Kalau lihat kondisi sekarang, pertama yang akan kena adalah tenaga agen.
Jumlahnya bisa 5.000 sampai 10.000 yang akan mengalami penyusutan. Setelah itu 6 bulan,
yang akan terkena adalah tenaga-tenaga formal struktural dan pegawai asuransi," ucap Irvan.
Itu belum seberapa, ada dampak yang lebih serius yang bisa saja melanda bila industri ini
ambruk. Bila situasi ini tak membaik dalam 6 bulan ke depan, maka likuditas perusahaan
asuransi bakal terus menipis. Berikutnya adalah cadangan perusahaan asuransi itu sendiri.
Bila sudah begini, nasib buruk yang melanda industri asuransi tentu bisa merembet
dampaknya bagi nasabah pemegang polis asuransi. Bukan tidak mungkin perusahaan asuransi
bakal kesulitan memenuhi kewajiban membayarkan klaim asuransi kepada para pemegang
polisnya. "Baik cadangan premi maupun cadangan klaim," tegasnya. Melihat kondisi ini,
Peneliti dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Abra Talattof
menilai ide pembentukan lembaga penjamin polis menjadi sangat mendesak dan perlu segera
direalisasikan oleh pemerintah. Lembaga macam ini diperlukan untuk menjamin masyarakat
tetap bisa memperoleh haknya bila kondisi terburuk melanda perusahaan asuransi tempat
John Neal, bos perusahaan asuransi terkemuka, Lloyd, London, mengkhawatirkan bahwa
pandemi virus korona kemungkinan akan menjadi peristiwa paling mahal dalam sejarah
industri asuransi, mengerdilkan bencana besar lainnya seperti Badai Katrina pada 2005, dan
Perusahaan asuransi harus bersiap-siap membayar klaim yang merupakan dampak berbagai
kebijakan, mulai dari pembatalan acara hingga tanggung jawab manajemen, meskipun
masih ada perselisihan tentang sejauh mana perusahaan asuransi harus mengompensasi
gangguan usaha.
Neal mengatakan bahwa pandemi virus korona, "tidak diragukan lagi merupakan tantangan
terbesar yang pernah dihadapi industri asuransi, dari sudat pandang apapun," ujarnya
"Anda menghadapi puluhan miliar, jika tidak ratusan miliar dolar kerugian yang akan
Ia memperkirakan pembayaran klaim kepada nasabah akan mencapai lebih tinggi dari
angka USD50 miliar yaang dibayarkan untuk Badai Katrina. "Peluang pasar untuk
"Banyak polis asuransi yang menyesuaikan dengan kondisi ekonomi ... berdasarkan
turnover atau pembayaran upah atau pemanfaatannya, "kata Neal. Kondisi tersebut akan
menyebabkan ratusan juta pound premi harus dikembalikan oleh perusahaan asuransi.
Industri asuransi selama ini banyak dikritik karena sikapnya terhadap klaim gangguan
standar, tetapi nasabah dan pengacaranya menyatakan bahwa mereka punya alasan kuat
Pada Kamis kemarin, Kelompok Aksi Hiscox, kelompok beranggotakan 200 orang yang
menunjuk firma hukum Mishcon de Reya untuk menangani klaim mereka. Mereka juga
sedang dalam pembicaraan dengan pemberi dana litigasi untuk membiayai langkah hukum.
Hiscox secara konsisten mengatakan bahwa kebijakan pebisnis kecil tidak mencakup
pandemi. Dalam sebuah pernyataan mereka menyatakan bersedia untuk bekerja dengan
"industri asuransi Inggris, regulator dan para nasabahnya untuk mencari cara mempercepat
resolusi".
Kelompok Aksi itu juga mengatakan bahwa mereka dapat menuntut kerusakan tambahan di
Para pengacara mengatakan bahwa tidak ada klaim yang berhasil untuk kerusakan karena
digunakan sekarang.
"Ini risiko yang harus diperhitungkan perusahaan asuransi," kata Richard Mattick, seorang
tetapkan mekanismenya dengan cepat sehingga jika ada perselisihan itu tidak akan
bagaimana menangani gelombang kedua kasus virus korona. "Kita punya waktu
mendesak ini."
Lloyd telah menyisihkan 15 juta pounsterling untuk mendanai penelitian tentang bagaimana
pandemi dan peristiwa besar lainnya dapat ditangani dengan lebih baik di masa depan.
(Financial Times)
Pandemi covid-19 memberikan imbas beragam terhadap banyak sektor. Ada yang mengalami
kejatuhan, ada pula yang mengalami kenaikan pesat. Di sisi lain, ada pula kebiasaan-kebiasaan baru
yang muncul akibat diberlakukannya penguncian untuk menekan persebaran Corona Covid-19 di
seluruh dunia.
Di Indonesia sendiri, pemerintah telah memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
Sehingga, hampir seluruh kegiatan perkantoran dan usaha, khususnya di Jakarta, dilakukan dari
Ketua Umum Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI), Hastanto Sri Margi Widodo menjelaskan,
bahwa belakunya PSBB berimbas pula pada perusahaan ansuransi, dimana perusahaan yang dulunya
dianggap industri yang tradisional, kini sudah update dengan memanfaatkan tanda tangan elektronik
pada polis-polisnya.
"Jadi, organisasi yang tua, karena Corona covid-19 ini, kita involve. dan involve-nya ini agak
mengatakan tidak mungkin untuk mengadopsi tanda tangan polis secara elektronik untuk menjangkau
Pasalnya, peserta BPJS (JKN-KIS)tercatat mencapai 222.966.022 jiwa, atau 83 persen dari total
penduduk Indonesia.
"Sehingga, kami menyiapkan IT yang secanggih apapun pasti akan ada segmen tertentu yang
Bukan berarti tak ada, Andayani menjelaskan bahwa sudah ada Aplikasi JKN Mobile yang bisa
diakses secara online. Namun menurutnya, masih banyak masyarakat yang merasa lebih aman ketika