Anda di halaman 1dari 14

Otoritas Jasa Keuangan atau OJK menerbitkan kebijakan 

countercyclical bagi lembaga jasa

keuangan nonbank melalui surat bernomor S-11/D.05/2020 tentang Kebijakan

Countercyclical Dampak Penyebaran Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) bagi Perusahaan

Perasuransian tanggal 30 Maret 2020.

Terbitnya surat tersebut disikapi positif oleh masing-masing pelaku jasa keuangan. Di sisi

lain pelaku jasa keuangan harus menghadapi “tekanan” dari nasabahnya yang meminta

relaksasi penundaan kewajiban karena tertanggung mengalami cash flow saat ini.

Ada dua hal yang perlu disikapi dalam kebijakan OJK tersebut, pertama terkait relaksasi

dalam perhitungan tingkat solvabilitas. Pembatasan pada Aset Yang Diperkenankan (AYD)

dalam bentuk bukan investasi pada tagihan premi penutupan langsung termasuk tagihan

premi koasuransi, tagihan premi reasuransi, diperpanjang dari 2 (dua) bulan menjadi 4

(empat) bulan.

Pengakuan dalam AYD tersebut untuk tagihan dengan jatuh tempo diatas bulan Januari 2020,

jika dan hanya perusahaan asuransi yang memutuskan untuk memberikan kelonggaran

kepada nasabahnya dengan tetap mempertimbangkan prinsip prudent dalam pelaksanaannya.

Hal tersebut memungkinkan terjadinya pemahaman yang kurang benar, dimana semua

tagihan premi asuransi akan diberikan perpanjangan jatuh tempo pembayaran. OJK tidak

pernah memberikan arahan kepada perusahaan asuransi untuk memperpanjang jatuh tempo

pembayaran premi asuransi. Adapun yang diberikan oleh OJK dalam rangka relaksasi adalah

kemudahan bagi perusahaan asuransi untuk tetap dapat mengakui tagihan yang sudah lewat

dari jatuh tempo lebih dari 2 bulan sebagai AYD dalam perhitungan tingkat solvabilitas.

Keputusan untuk tidak membatalkan polis asuransi tentunya kembali kepada pertimbangan

dan keputusan setiap perusahaan asuransi masing-masing.


Untuk itu jika perusahaan asuransi memang memutuskan untuk memberikan diskresi

tersebut, AAUI menghimbau beberapa hal: 

Pertama, diskresi tersebut diberikan kepada pihak yang benar-benar terdampak saja dan

tidak mempergunakan mekanisme diskresi ini untuk praktek switching pertanggungan yang

masih berjalan. Jika ini diterapkan ke semua tertanggung maka yang terjadi adalah kerugian

besar bagi sektor jasa keungan.

Kedua, memastikan bahwa ultimate beneficiary penerima manfaat dari diskresi tersebut

adalah tertanggung dan bukannya Intermerdiaries, sehingga setiap diskresi perpanjangan

yang diberikan harus hanya dilakukan dengan permohonan tertulis langsung dari tertanggung.

Ketiga, mengingatkan secara tertulis peraturan perundangan kepada para intermediaries

bahwa perbuatan menahan premi yang sudah dibayarkan merupakan tindakan yang menjadi

ranah pidana dan dapat ditindaklanjuti secara hukum.

Keempat, diskresi yang berhubungan dengan program reasuransi fakulatatif atau koasuransi

dilakukan dengan persetujuan bersama dari para Penanggung, Reasuradur dan member

Koasuransi.

Terkait dengan relaksasi tersebut, perusahaan asuransi harus senantiasa memperhitungkan

kemampuan cash-flow perusahaan dan juga kewajiban terhadap pegawai dan pemangku

kepentingan lain dengan tetap menjaga kepentingan pemegang saham

Hal kedua yang perlu menjadi perhatian dalam kebijakan OJK tersebut adalah hubungan

antara industri asuransi umum dengan industri pembiayaan terkait adanya opsi restrukturisasi

pinjaman di perusahaan pembiayaan dengan memperpanjang tenor pinjaman, dimana


perpanjangan ini tentunya membutuhkan proteksi asuransi dengan tambahan tenor yang baru

atas asset pembiayaan yang diasuransikan.

Yang perlu diperhatikan adalah dalam setiap penutupan pertanggungan asuransi jangka

panjang, risiko yang ada akan langsung menimbulkan kewajiban-kewajiban yang

pemenuhannya sudah diatur dalam beberapa peraturan perundangan yang berlaku. Dengan

demikian, seperti halnya perusahaan pembiayaan yang tidak dapat memberikan pinjaman

pembiayaan tanpa adanya cash, karena peraturan dan kewajiban yang ada, maka perusahaan

asuransi pun tidak dapat memberikan perlindungan tanpa adanya premi. Dimana tanpa

adanya premi, perusahaan asuransi akan langsung melanggar peraturan dan/atau akan

kehabisan cash-flow untuk membayar klaim-klaim yang akan datang.

Sementara itu mengingat industri asuransi dan industri pembiayaan punya masalah yang

sama terkait kondisi keuangan debitur, maka solusi terbaik adalah dengan tidak melanggar

perundangan yang berlaku, maka skema pertanggungan yang dapat diterapkan kepada

lembaga pembiayaan adalah: pertama, pertanggungan asuransi dengan perpanjangan secara

prorata hari atas periode tambahan yang diminta, dan tetap mengacu pada ketentuan tarif

premi yang berlaku (SEOJK nomor 6/SEOJK.05/2017). Justifikasi mengenai biaya akusisi

merupakan diskresi masing-masing perusahaan asuransi dengan setinggi tingginya sesuai

dengan ketentuan yang berlaku (25%).

Kedua, untuk pertanggungan dengan premi yang lebih ekonomis, perpanjangan

pertanggungan asuransi dapat ditawarkan dengan jenis Total Loss Only (TLO).

Ketiga, harga pertanggungan dapat ditetapkan secara agreed value dengan nilai yang sama

dengan harga pertanggungan di tahun terakhir, atau diturunkan menjadi 50% dari harga

pertanggungan awal, atau jika serendah rendahnya sebesar nilai pokok hutang yang
menjadi insurable interest perusahaan pembiayaan pada saat perpanjangan periode

pertanggungan tersebut dimulai.

Terakhir, menerapkan tarif premi yang berlaku dengan potongan biaya akusisi maksimal

sesuai regulasi (25%), potongan biaya adminstrasi perusahaan (15%) dan potongan harapan

margin keuntungan (5% – 10%). Jika potongan tersebut dapat diberikan perusahaan, maka

tarif premi yang diterapkan adalah premi murni sebesar 50%. Dengan penerapan opsi

pertama atau kedua dengan kombinasi opsi ketiga dan keempat, maka tambahan premi untuk

periode perpanjangan pertanggungan akan menjadi sangat minimal, sehingga proses

operasional dapat disesuaikan untuk tujuan efisiensi dengan tetap memperhatikan

kepentingan nasabah dan sesuai dengan syarat dan ketentuan dalam polis, proses ini dapat

berupa deklarasi pertanggungan atas nasabah yang akan mengalami perpanjangan periode

tersebut.

Tidak ada yang pernah mengira, wabah ini sedemikian cepat menyebar ke seluruh dunia.

Sebarannya tak mengenal negara yang maju sampai yang belum maju. Kecepatan penyebaran

wabah ini mendorong sejumlah negara membuat pembatasan lintas batas negara, menutup

jalur penerbangan, hingga membatasi interaksi di antara warga negaranya sendiri. Tujuannya

jelas, mencegah dan meminimalisir penyebaran wabah virus corona. Arus pergerakan orang

dan perdagangan internasional tersendat. Indonesia bukan perkecualian, baik soal wabah

maupun guncangan ekonomi.

Industri jasa keuangan meyakini bahwa pemerintah bersama pelaku jasa keuangan tetap

memantau perkembangan penyebaran covid-19 ini agar industri asuransi masih mendapatkan

kesempatan untuk tetap survive dan memberikan kontribusi bagi perekonomian negara

ditengah pandemi ini.


Pandemi yang melanda global saat ini dinilai memiliki dua sisi pengaruh

bagi asuransi nasional.

Krisis saat ini berbeda dibandingkan dengan krisis-krisis sebelumnya. Hal ini disebabkan

pandemi Covid-19 tidak hanya menekan ekonomi, tetapi juga mengancam kesehatan dan

jiwa masyarakat.

Kondisi itu lah yang menyebabkan pandemi Covid-19 membawa dua sisi pengaruh bagi

sektor asuransi.

Dosen Program MM-Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (UGM)

Kapler A. Marpaung menjelaskan terdapat kenaikan permintaan asuransi di beberapa

produk, seperti asuransi kesehatan dan jiwa karena masyarakat ingin melindungi diri dari

pandemi.

Meskipun begitu, pada sisi lainnya, daya beli masyarakat tertekan sehingga menjauhi

kebutuhan tersier terlebih dahulu. Asuransi pun pada umumnya dipandang sebagai

kebutuhan tersier.

Kapler menilai bahwa memang terdapat peraturan perundangan yang menempatkan

asuransi sebagai kebutuhan primer, tetapi hal tersebut tidak begitu memengaruhi persepsi

masyarakat terhadap proteksi.

"Tapi menurut saya kenaikan permintaan asuransi tersebut, tidak bisa mengimbangi

penurunannya secara umum," ujarnya, Kamis (6/8/2020).


ertumbuhan ekonomi Indonesia yang minus 5,3 persen pada kuartal II/2020 tidak

dipungkiri turut berdampak ke industri asuransi.

Kapler menjelaskan bahwa berdasarkan teori ekonomi dan ekonomi asuransi, permintaan

asuransi (demand of insurance) dipengaruhi oleh beberapa faktor. Salah satunya yakni

pertumbuhan ekonomi.

Tumbuhnya perekonomian akan turut meningkatkan permintaan asuransi. Menurut Kapler,

hal tersebut karena objek asuransi sebenarnya berupa risiko atas semua aset/kepentingan,

baik barang, jasa, dan manusia, yang menggerakkan ekonomi.

Kondisi perekonomian yang saat ini melemah berdampak terhadap operasional dunia

usaha, baik menjadi menurun atau bahkan terhenti. Kondisi tersebut membuat risiko turut

menurun, sehingga permintaan terhadap asuransi menjadi loyo.

"Belum lagi kemampuan keuangan perusahaan atau rumah tangga dan negara juga turun.

Dalam pengamatan saya, selama ini kalau masyarakat atau korporasi daya belinya turun

dan harus melakukan efisiensi, biasanya biaya asuransi itu salah satu yang dicoba di-cut,"

jelasnya.

Dia menjabarkan bahwa jumlah pemegang polis di Indonesia baru sekitar 20 persen dari

jumlah penduduk. Hal tersebut menunjukkan bahwa pola pikir berasuransi dan penetrasi

asuransi masih rendah.

Sepanjang kuartal I-2020, Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) mencatat pandemi covid-

19 telah berdampak terhadap perlambatan industri asuransi jiwa. Untuk diketahui,


perlambatan terjadi pada angka total pendapatan yang meliputi total pendapatan premi, hasil

investasi dan klaim reasuransi.

Namun, AAJI menilai kondisi perlambatan itu tidak menurunkan semangat industri asuransi

jiwa untuk memberikan pelayanan dan perlindungan yang menyeluruh bagi masyarakat

Indonesia. Komitmen ini terbukti dengan meningkatnya total klaim dan manfaat yang

dibayarkan, total jumlah tertanggung, total uang pertanggungan dan jumlah tenaga pemasar.

Ketua Dewan Pengrus AAJI Budi Tampubolon mengatakan, kuartal-I turut mempengaruhi

kinerja industri asuransi jiwa karena total pendapatan premi asuransi jiwa melambat. Namun,

ia menyebutkan pandemi juga telah mendorong dan membentuk pola kesadaran masyarakat

akan gaya hidup yang sehat.

"Melihat situasi ini, sebagai upaya untuk tetap melayani kebutuhan perlindungan kesehatan

masyarakat Indonesia di masa pandemi, perusahaan asuransi jiwa semakin fokus untuk

memberikan edukasi kepada masyarakat mengenai pilihan perlindungan yang tepat. Dalam

kondisi yang penuh tantangan ini, komitmen yang kuat dan berkelanjutan dari Industri

Asuransi Jiwa ditunjukkan dengan adanya pembayaran total klaim dan manfaat naik 4,1%,

yakni dari Rp 34,1 triliun menjadi Rp. 35,92 triliun,” ujar Budi dalam siaran Resmi (24/6).

Budi bilang, kesadaran masyarakat atas perlindungan asuransi jiwa, khususnya asuransi

kesehatan, pada kuartal-I ditunjukkan dengan peningkatan jumlah tertanggung. Ia

menjelaskan, persentase Total Tertanggung mencapai 63,97 juta orang. Padahal, sebelumnya

hanya mencapai 53,17 nasabah. Oleh karenanya, angka itu naik 20,3%.

Sementara total uang pertanggungan mencapai Rp 4,073 triliun dari yang sebelumnya Rp

3,859 triliun. Oleh sebabnya, angka ini naik 5,6%. “Pertumbuhan itu di dorong oleh
gencarnya usaha AAJI bekerjasama dengan industri asuransi jiwa untuk melakukan program

literasi dan edukasi kepada masyarakat tentang manfaat asuransi jiwa,” tambah Budi.

Kebijakan PSBB menjadi salah satu faktor penyebab pendapatan premi asuransi mengalami

penurunan akibat pandemi COVID-19.

Industri asuransi tanah air ikut menjadi terdampak pandemi corona COVID-19. Kondisi itu

setidaknya tercermin dari laporan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang mencatat perolehan

premi asuransi per Maret 2020 yang tumbuh lambat. Kontraksi paling lambat dialami sektor

asuransi jiwa. "Premi asuransi jiwa turun signifikan. [Pertumbuhan per Maret 2020]

terkoreksi menjadi minus 13,8 persen," ungkap Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh

Santoso dalam paparan pers yang digelar virtual, Senin (11/5/2020) lalu. Padahal, lanjut

Wimboh pada Desember 2019, premi asuransi jiwa hanya minus 0,38 persen. Artinya,

penurunan penerimanaan premi asuransi jiwa tercatat sangat dalam. Secara umum, industri

asuransi nasional memang tercatat kurang sehat di tengah pandemi corona saat ini.

Bagaimana tidak, bila mengacu pada catatan OJK, premi asuransi nasional hanya tumbuh

3,65 persen hingga Maret 2020. Padahal, pada Desember 2019 industri asuransi masih

mampu mencatat pertumbuhan premi hingga 15,65 persen. Premi asuransi ibarat 'darah' pada

industri asuransi. Rendahnya penerimaan premi jelas bikin pelaku industri asuransi jadi

pusing tujuh keliling. Akibatnya, kinerja keuangan industri asuransi pun ikut goyang. Itu

tercermin dari rasio kesehatan keuangan atau risk based capital (RBC) industri asuransi yang

mengalami penurunan menjadi hanya 642,7 persen di Maret 2020. Angka itu lebih rendah

dari catatan akhir tahun 2019 yang masih berada di 789 persen. RBC merupakan tolak ukur

yang dapat memberitahu tingkat keamanan finansial atau kesehatan perusahaan asuransi.

RBC dikatakan sehat bila nilainya semakin besar. Baca juga: Industri Asuransi Terpukul

Corona, Premi Asuransi Jiwa Minus 13,8% AAJI: Polis Asuransi Tak Kecualikan Corona

COVID-19 PSBB Buat Agen Asuransi Sulit Bergerak Pengajar Ilmu Ekonomi dan Bisnis
Universitas Indonesia sekaligus mantan Direktur Utama PT Jamsostek (Persero) Hotbonar

Sinaga mengungkap, perlambatan kinerja di industri asuransi ini memang tak lepas dari

pandemi virus Corona yang tengah melanda ibu pertiwi. Adanya kebijakan Pembatasan

Sosial Berskala Besar (PSBB) dalam rangka membatasi pergerakan masyarakat saat pandemi

corona COVID-19, justru membuat tenaga pemasaran atau agen asuransi tak leluasa bergerak

untuk melakukan penawaran premi baru ke masyarakat. "Intinya COVID-19 mengakibatkan

aktivitas sales terkendala. Enggak bisa melakukan pertemuan untuk jelaskan produk asuransi.

Pasti akan terjadi penurunan produksi tahun ini dibanding 2019," tutur Hotbonar kepada

reporter Tirto, Rabu (20/5/2020). Kondisi ini membuat perusahaan asuransi harus memutar

otak untuk melakukan penyesuaian. Bila tak gesit, tentu saja umur mereka tak akan panjang.

"Asuransi yang tidak melakukan penyesuaian tahun depan akan celaka. Sementara pemasaran

fokus pada mempertahankan existing business atau renewal. Sulit cari new business, paling-

paling intensifikasi bisnis dari tertanggung yang ada," jelasnya. Senada dengan Hotbonar,

pengamat asuransi sekaligus Arbiter Badan Mediasi dan Arbitrase Asuransi Indonesia

(BMAI) Irvan Rahardjo memastikan bisnis asuransi turut terdampak pandemi corona

COVID-19 saat ini. Tak adanya pertemuan agen dengan nasabah ataupun kunjungan nasabah

ke kantor asuransi menjadi faktor menurunnya kinerja sektor asuransi. PSBB sebenarnya

bukan satu-satunya biang keladi pendapatan premi asuransi mengalami penurunan. Menurut

Irvan, rendahnya daya beli masyarakat juga jadi pukulan hebat bagi industri ini. Tak bisa

dipungkiri, PSBB yang diberlakukan di sejumlah kota sudah bikin banyak orang kehilangan

sumber pendapatannya. Banyak laporan dari sejumlah industri yang terpaksa merumahkan

pekerjanya tanpa upah dan gaji imbas pandemi ini. Ini jelas bikin sebagian besar masyarakat

mengencangkan ikat pinggang dan terpaksa memangkas alokasi belanja mereka yang

dianggap bukan prioritas, salah satunya adalah asuransi jiwa. "Sebagian besar masyarakat,

pengeluran paling utama dikorbankan adalah soal asuransi. Karena menghadapi kebutuhan
nyata, kesehatan, konsumsi, makanan dan minuman, pakaian, itu utama dibanding asuransi,"

ucap Irvan. Tak berhenti di situ, Irvan melihat ada juga faktor regulasi yang secara tak

langsung memberi dampak bagi permintaan masyarakat terhadap asuransi. Regulasi yang

dimaksud adanya arahan dari OJK kepada perbankan untuk memberikan relaksasi kredit

kepada para nasabahnya. Bagi nasabah, ini memberikan penurunan risiko yang secara tak

langsung membuat permintaan terhadap asuransi menjadi menurun. "Karena ada

restrukturisasi relaksasi kredit sehingga ada banyak penurunan dari sisi kebutuhan asurnasi

karena memang kan resiko jadi menurun," jelas Irvan. Seperti diketahui, lanjut Irvan, setiap

kredit perbankan selalu disertai dengan jaminan asuransi baik kepada produk kolateral yang

dijaminkan maupun jaminan asuransi jiwa bagi nasabah penerima kredit. Perbankan tidak

memberi kredit bila tidak ada jaminan asuransi.

Perlambatan kinerja industri asuransi jelas bukan tanpa efek samping. Ada banyak dampak

bahaya yang mungkin terjadi bila pemerintah tak bergegas memberi perhatian bagi industri

ini. Pertama yang jelas adalah dampak langsung ke perusahaan asuransi dan segenap

karyawan yang bekerja di dalamnya. Dia mengatakan, ada risiko lonjakan pemutusan

hubungan kerja (PHK) terhadap tenaga kerja yang terhubung langsung dengan industri

asuransi. Hal ini tentu tak bisa dihindarkan bila perusahaan asuransi tak lagi sanggup

bertahan. "Kalau lihat kondisi sekarang, pertama yang akan kena adalah tenaga agen.

Jumlahnya bisa 5.000 sampai 10.000 yang akan mengalami penyusutan. Setelah itu 6 bulan,

yang akan terkena adalah tenaga-tenaga formal struktural dan pegawai asuransi," ucap Irvan.

Itu belum seberapa, ada dampak yang lebih serius yang bisa saja melanda bila industri ini

ambruk. Bila situasi ini tak membaik dalam 6 bulan ke depan, maka likuditas perusahaan

asuransi bakal terus menipis. Berikutnya adalah cadangan perusahaan asuransi itu sendiri.

Bila sudah begini, nasib buruk yang melanda industri asuransi tentu bisa merembet
dampaknya bagi nasabah pemegang polis asuransi. Bukan tidak mungkin perusahaan asuransi

bakal kesulitan memenuhi kewajiban membayarkan klaim asuransi kepada para pemegang

polisnya. "Baik cadangan premi maupun cadangan klaim," tegasnya. Melihat kondisi ini,

Peneliti dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Abra Talattof

menilai ide pembentukan lembaga penjamin polis menjadi sangat mendesak dan perlu segera

direalisasikan oleh pemerintah. Lembaga macam ini diperlukan untuk menjamin masyarakat

tetap bisa memperoleh haknya bila kondisi terburuk melanda perusahaan asuransi tempat

mereka mempercayakan perlindungannya.

John Neal, bos perusahaan asuransi terkemuka, Lloyd, London, mengkhawatirkan bahwa

pandemi virus korona kemungkinan akan menjadi peristiwa paling mahal dalam sejarah

industri asuransi, mengerdilkan bencana besar lainnya seperti Badai Katrina pada 2005, dan

serangan teror 9/11.

Perusahaan asuransi harus bersiap-siap membayar klaim yang merupakan dampak berbagai

kebijakan, mulai dari pembatalan acara hingga tanggung jawab manajemen, meskipun

masih ada perselisihan tentang sejauh mana perusahaan asuransi harus mengompensasi

gangguan usaha.

Neal mengatakan bahwa pandemi virus korona, "tidak diragukan lagi merupakan tantangan

terbesar yang pernah dihadapi industri asuransi, dari sudat pandang apapun," ujarnya

seperti dikutip Financial Times, Juat (24/4).

"Anda menghadapi puluhan miliar, jika tidak ratusan miliar dolar kerugian yang akan

dibahas sepanjang waktu," Neal menambahkan.

Ia memperkirakan pembayaran klaim kepada nasabah akan mencapai lebih tinggi dari

angka USD50 miliar yaang dibayarkan untuk Badai Katrina. "Peluang pasar untuk

membuat apa pun, selain kerugian pada 2020, adalah nol."


Di luar pembayaran klaim nasabah, perusahaan asuransi juga cenderung harus

mengembalikan sejumlah premi karena penurunan dalam bisnis.

"Banyak polis asuransi yang menyesuaikan dengan kondisi ekonomi ... berdasarkan

turnover  atau pembayaran upah atau pemanfaatannya, "kata Neal. Kondisi tersebut akan

menyebabkan ratusan juta pound premi harus dikembalikan oleh perusahaan asuransi.

Industri asuransi selama ini banyak dikritik karena sikapnya terhadap klaim gangguan

bisnis. Perusahaan asuransi mengatakan bahwa pandemi dikecualikan dalam kebijakan

standar, tetapi nasabah dan pengacaranya menyatakan bahwa mereka punya alasan kuat

untuk mengklaim pembayaran.

Pada Kamis kemarin, Kelompok Aksi Hiscox, kelompok beranggotakan 200 orang yang

mengajukan klaim terhadap perusahaan asuransi, mengatakan bahwa mereka telah

menunjuk firma hukum Mishcon de Reya untuk menangani klaim mereka. Mereka juga

sedang dalam pembicaraan dengan pemberi dana litigasi untuk membiayai langkah hukum.

Hiscox secara konsisten mengatakan bahwa kebijakan pebisnis kecil tidak mencakup

pandemi. Dalam sebuah pernyataan mereka menyatakan bersedia untuk bekerja dengan

"industri asuransi Inggris, regulator dan para nasabahnya untuk mencari cara mempercepat

resolusi".

Kelompok Aksi itu juga mengatakan bahwa mereka dapat menuntut kerusakan tambahan di

luar pembayaran asuransi. Undang-undang tahun 2016 memungkinkan perusahaan untuk

mengklaim ganti rugi kepada perusahaan asuransi atas keterlambatan pembayaran.

Para pengacara mengatakan bahwa tidak ada klaim yang berhasil untuk kerusakan karena

keterlambatan pembayaran sejak undang-undang itu diperkenalkan, tetapi itu bisa

digunakan sekarang.

"Ini risiko yang harus diperhitungkan perusahaan asuransi," kata Richard Mattick, seorang

pengacara di Covington & Burling.


Neal mendesak agar perusahaan asuransi menangani masalah gangguan bisnis. "Mari kita

tetapkan mekanismenya dengan cepat sehingga jika ada perselisihan itu tidak akan

berlangsung berbulan-bulan, bahkan tidak lebih lama," ujarnya.

Menurutnya, perusahaan asuransi perlu mencapai kesepakatan dengan pemerintah tentang

bagaimana menangani gelombang kedua kasus virus korona. "Kita punya waktu

berminggu-minggu, bukan berbulan-bulan untuk menyelesaikan beberapa masalah

mendesak ini."

Lloyd telah menyisihkan 15 juta pounsterling untuk mendanai penelitian tentang bagaimana

pandemi dan peristiwa besar lainnya dapat ditangani dengan lebih baik di masa depan.

(Financial Times)

Pandemi covid-19 memberikan imbas beragam terhadap banyak sektor. Ada yang mengalami

kejatuhan, ada pula yang mengalami kenaikan pesat. Di sisi lain, ada pula kebiasaan-kebiasaan baru

yang muncul akibat diberlakukannya penguncian untuk menekan persebaran Corona Covid-19 di

seluruh dunia.

Di Indonesia sendiri, pemerintah telah memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).

Sehingga, hampir seluruh kegiatan perkantoran dan usaha, khususnya di Jakarta, dilakukan dari

rumah, atau Work From Home (WFH).

Ketua Umum Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI), Hastanto Sri Margi Widodo menjelaskan,

bahwa belakunya PSBB berimbas pula pada perusahaan ansuransi, dimana perusahaan yang dulunya

dianggap industri yang tradisional, kini sudah update dengan memanfaatkan tanda tangan elektronik

pada polis-polisnya.

"Jadi, organisasi yang tua, karena Corona covid-19 ini, kita involve. dan involve-nya ini agak

ekstrim," jelasnya, Selasa (5/5/2020).


Sementara itu, Direktur Perluasan & Pelayanan Peserta BPJS Kesehatan, Andayani Budi Lestari

mengatakan tidak mungkin untuk mengadopsi tanda tangan polis secara elektronik untuk menjangkau

seluruh peserta BPJS.

Pasalnya, peserta BPJS (JKN-KIS)tercatat mencapai 222.966.022 jiwa, atau 83 persen dari total

penduduk Indonesia.

"Sehingga, kami menyiapkan IT yang secanggih apapun pasti akan ada segmen tertentu yang

mungkin harus disentuh tidak pakai IT,"

Bukan berarti tak ada, Andayani menjelaskan bahwa sudah ada Aplikasi JKN Mobile yang bisa

diakses secara online. Namun menurutnya, masih banyak masyarakat yang merasa lebih aman ketika

membawa kartu fisik.

Anda mungkin juga menyukai