Anda di halaman 1dari 7

Nama : Ade Yuspardiansyah (1819.01.

033)
Prodi : Perbankan Syariah
Semester : IV (Empat)
Mata Kuliah : Asuransi Syariah

1. Pihak-pihak yang terlibat sebagai pelaku asuransi yang terdiri dari :


a. Nasabah. Yaitu orang/badan yang mengalihkan/transfer risiko terhadap pihak lain
dengan pembayaran berupa premi kepada perusahaan asuransi.
b. Perusahaan Perasuransian. Dalam UU No. 2 Tahun 1992 Perusahaan Perasuransian
adalah Perusahaan Asuransi Kerugian, Perusahaan Asuransi Jiwa, Perusahaan
Reasuransi, Perusahaan Pialang Asuransi, Perusahaan Pialang Reasuransi, Agen
Asuransi, Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi, dan Perusahaan Konsultan Akturia.
c. Pemerintah. Pemerintah berperan sebagai regulator (pembuat kebijakan) untuk
menciptakan usaha yang sehat dan bertanggung jawab, yang sekaligus mendorong
kegiatan perekonomian pada umumnya.

2. Dalam hal ini biasanya tertanggung akan membayarkan sejumlah kontribusi (premi)
untuk mendapatkan perlindungan dari pihak penanggung. Tertanggung yang membayar
kontribusi tersebut adalah mereka yang terikat dalam sebuah hubungan hukum tertentu
yang diatur berdasarkan undang-undang, seperti: hubungan kerja, penumpang angkutan
umum, dan yang lainnya.

3. Bagian-Bagian dalam polis asuransi


a. Heading. Bagian ini memuat identitas perusahaan asuransi yang berupa nama dan
alamat lengkap perusahaan.
b. Preamble/recital clause. Bagian ini merupakan klausul pembukaan yang
mencantumkan rincian jaminan dan pernyataan tentang keadaan berlakunya polis. Di
dalam bagian ini umumnya mencakup dua hal, yaitu:
 Bahwa premi telah dibayar atau ada persetujuan premi akan dibayar
 Bahwa formulir proposal adalah dasar dari perjanjian dan merupakan satu
kesatuan dengan polis yang menyatakan bahwa penanggung akan menyediakan
jaminan sebagaimana dirinci dalam polis.
c. Operative clause. Bagian ini menampilkan klausul yang merinci tentang risiko-risiko
yang dijamin dalam polis. Misalnya dalam asuransi kebakaran, risiko yang dijamin
antara lain fire, lightning, explosion, aircraft, dan smoke.
d. Exception. Bagian dari struktur polis ini memuat klausul yang memerinci bahaya-
bahaya atau risiko-risiko yang menimbulkan kerugian tetapi tidak dijamin dalam
polis, baik yang sifatnya umum maupun khusus.
e. Condition. Pada bagian ini ketentuan khusus, aturan perilaku, kewajiban, dan syarat-
syarat yang wajib dipatuhi oleh nasabah pemegang polis sebagai tertanggung selama
berlangsungnya masa pertanggungan. Jika di kemudian hari, kondisi sebagaimana
tertuang di dalam polis ini tidak terpenuhi, maka perusahaan asuransi sebagai
penanggung berhak untuk menolak klaim yang diajukan oleh tertanggung.
f. The schedule. Bagian dalam struktur polis yang satu ini menampilkan rincian data
kontrak pertanggungan dari nasabah pemegang polis, yang mencakup:
 Nama dan alamat lengkap nasabah selaku tertanggung.
 Jenis usaha nasabah selaku tertanggung.
 Pokok pertanggungan.
 Jumlah pertanggungan.
 Kondisi pertanggungan
 Dan lain-lain yang dianggap perlu.
g. Attestation clause. Di bagian ini memuat tanda tangan dari perusahaan asuransi
selaku penanggung yang menyetujui adanya pengalihan risiko.
h. Specification. Bagian ini memuat tentang risiko-risiko besar yang tidak tertampung
di dalam schedule, sehingga dibuat lembar-lembar baru untuk mencantumkan ikhtisar
pertanggungannya.

4. Karakteristik dari asuransi sosial, yaitu:


a. Bersifat wajib bagi setiap individu.
b. Dibangun dengan berlandaskan asas gotong royong dengan prinsip kebersamaan.
c. Premi berasal dari masyarakat atau pekerja dan perusahaan tempat pekerja bernaung.
d. Bersifat sosial dan tidak bertujuan mencari keuntungan.
e. Bertujuan untuk memberikan jaminan kesejahteraan kepada seluruh masyarakat.

5. SJSN diwujudkan oleh adanya iuran peserta dan anggaran pemerintah untuk menjamin
manfaat bagi peserta. Tata cara penyelenggaraan diatur dalam peraturan perundang-
undangan jaminan sosial yang mengikat pekerja, pemberi kerja, dan pemerintah. Jumlah
dana yang terkumpul secara berkelanjutan dalam jangka waktu panjang menentukan
seberapa besar dan seberapa lama manfaat akan diperoleh peserta program jaminan sosial.
Peserta bergotong-royong membayar iuran jaminan sosial. Peserta yang
berpenghasilan lebih tinggi membayar iuran lebih besar dari pada peserta yang
berpenghasilan lebih rendah. Besaran iuran ditentukan sesuai dengan tingkat pendapatan.
Bagi pekerja yang menerima upah, besaran iuran dihitung proporsional terhadap upah/gaji.
Bagi pekerja yang tidak menerima upah, iuran ditetapkan nominal bertingkat-tingkat
sesuai pendapatan.
Peserta membayar iuran program jaminan kecelakaan kerja, iuran program jaminan
kematian, program jaminan hari tua, dan program jaminan pensiun ketika masih berusia
kerja atau belum pensiun atau tidak mengalami cacat tetap total.
Peserta membayar iuran program jaminan kesehatan seumur hidup.
a. Sebelum memasuki usia kerja dan tidak bekerja, iuran program jaminan
kesehatan ditanggung oleh orang tua.
b. Di usia kerja, iuran jaminan kesehatan ditanggung oleh pekerja. Bagi pekerja
yang menerima upah, iuran jaminan kesehatan ditanggung bersama pemberi
kerja untuk seorang istri dan sebanyak-banyaknya tiga orang anak.
c. Di usia pensiun, iuran jaminan kesehatan ditanggung oleh pekerja yang
dibayarkan dari pemotongan dana pensiun sebesar ketentuan yang berlaku. Iuran
dibayarkan langsung oleh BPJS Ketenagakerjaan, atau badan penyelenggara
pensiun pegawai negeri (Taspen dan Asabri) kepada BPJS Kesehatan. Jika
peserta tidak memiliki dana pensiun, maka peserta membayar sendiri iuran
program jaminan kesehatan.
Pemerintah turut mendanai SJSN untuk empat komponen biaya, yaitu:
a. menyubsidi iuran jaminan sosial bagi orang miskin dan tidak mampu, yang
dikenal sebagai Penerima Bantuan Iuran (PBI).
b. mendanai modal awal pendirian BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan
paling banyak sebesar Rp2.000.000.000,00 (dua trilyun) untuk masing-masing
BPJS.
c. mengalokasikan dana penyelamatan kepada BPJS saat terjadi krisis keuangan
atau kondisi tertentu yang mengancam keberlangsungan program jaminan sosial.
d. mendanai pembuatan peraturan perundang-undangan dan kebijakan jaminan
sosial, serta pengawasan penyelenggaraannya.

6. Perkembangan asuransi syariah di Indonesia tahun 2019 Industri asuransi terus mengalami
pertumbuhan positif sejak tahun 2015. Namun, pada tahun ini sedikit mengalami
perlambatan. Pada 2015-2017, perkembangan asuransi syariah di Indonesia tercatat
memiliki pertumbuhan sampai dengan dua digit: 18,58 persen pada 2015 dan 25,28 persen
pada 2016. Pada 2017, persentasenya berada di angka 21,96 persen. Namun, menurun
drastis pada tahun 2018 menjadi 3,44 persen.
Untuk tahun 2019 sendiri, perkembangan asuransi syariah di Indonesia hanya
mencapai 8,44 persen dengan rincian pertumbuhan sebagai berikut: 8,74 persen dari
asuransi jiwa syariah 5,02 persen dari asuransi umum syariah, dan 13,35 persen dari
reasuransi syariah.
Menurut Direktur Eksekutif AASI, Erwin Noekman, perkembangan asuransi syariah
di Indonesia tersebut tidak lain disebabkan pertumbuhan dari dana kontribusi yang ada.
Secara nasional pertumbuhan kontribusi asuransi syariah berada pada angka 8,69 persen
dengan rincian, 9,76 persen dari asuransi jiwa syariah 1,08 persen dari asuransi umum
syariah, dan 15,44 persen dari reasuransi syariah.
Pertumbuhan yang masih belum bisa mencapai dua digit ini pun disebabkan faktor
lainnya, yaitu pertumbuhan klaim atau pemberian manfaat yang juga mengalami kenaikan.
Semula klaim hanya bernilai Rp6,2 triliun tapi tahun ini naik menjadi Rp9,2 triliun. Hal ini
sebenarnya tidak menunjukkan bahwa terjadi kenaikan klaim dari risiko asuransi
melainkan pencairan atau redemption dari produk asuransi unit link yang meningkat.
Asuransi jenis ini pun memegang porsi paling besar dibandingkan yang lainnya
sehingga pengaruhnya pun besar, yaitu 74,88 persen polis asuransi syariah dikuasai jenis
asuransi unit link. Klaim yang meningkat tajam inilah yang menyebabkan aset menjadi
lebih rendah dari yang diharapkan. Ini pun menjadi tantangan tersendiri karena semakin
banyaknya masyarakat yang memegang dana tunai. Sampai dengan tahun 2020 pun,
industri asuransi syariah belum dikategorikan sebagai industri yang dewasa. Ini
disebabkan belum tercapainya agenda pemisahan unit syariah sebelum 17 Oktober 2020.
Oleh karena itu, industri asuransi syariah masih membutuhkan dukungan penuh dari
berbagai pihak, mulai dari pemegang saham, induk konvensional, pelaku, pemerintah dan
juga regulator. Dukungan diharapkan adalah berupa relaksasi kebijakan dari pemerintah
ataupun komitmen keberpihakan dalam menjaga mata rantai industri syariah.
Perkembangan perusahaan asuransi syariah di Indonesia Berdasarkan data Otoritas
Jasa Keuangan (OJK), jumlah asuransi jiwa syariah di Indonesia 2019 mencapai 7
perusahaan full syariah dan 23 unit syariah. Sementara itu, untuk asuransi umum syariah
berjumlah 5 perusahaan full syairah dan 24 unit. Jadi, total jumlah perusahaan asuransi dan
reasuransi di Indonesia mencapai 62 perusahaan sampai dengan tahun 2019.
Secara aset, industri asuransi syariah selalu mengalami peningkatan dalam lima tahun
terakhir. Pada 2015, asetnya sebesar Rp26,51 miliar dan naik menjadi Rp41,91 miliar di
2019. Per November 2019, pangsa pasar asuransi syariah adalah 6,6 persen, sementara
sisanya dikuasai asuransi konvensional.

7. Akad-Akad dalam asuransi syariah


a. Akad Tabarru (Fatwa DSN No.53/DSN-MUI/III/2006)
Akad Tabarru pada asuransi adalah semua bentuk akad yang dilakukan antar
peserta pemegang polis. Akad Tabarru pada asuransi adalah akad yang dilakukan
dalam bentuk hibah dengan tujuan kebajikan dan tolong­ menolong antar peserta,
bukan untuk tujuan komersial. Dalam akad tabarru (hibah), peserta memberikan dana
hibah yang akan digunakan untuk menolong peserta atau peserta lain yang tertimpa
musibah. Perusahaan asuransi bertindak sebagai pengelola dana hibah, atas dasar
akad wakalah dari para peserta selain pengelolaan investasi. Kontribusi yang
dibayarkan oleh peserta (premi) terdiri dari dana tabarru (untuk kepentingan peserta)
dan ujrah (fee) untuk kepentingan pengelola (perusahaan asuransi).
b. Akad Wakalah bil Ujrah (Fatwa DSN No.52/DSN-MUI/III/2006)
Akad Wakalah bil Ujrah boleh dilakukan antara perusahaan asuransi dengan
peserta, Akad Wakalah bil Ujrah untuk asuransi, yaitu salah satu bentuk akad
Wakalah di mana peserta memberikan kuasa kepada perusahaan asuransi dengan
imbalan pemberian ujrah (fee), Wakalah bil Ujrah dapat diterapkan pada produk
asuransi yang mengandung unsur tabungan (saving) maupun unsur tabarru (non-
saving). Dalam akad ini, perusahaan bertindak sebagai wakil (yang mendapat kuasa)
untuk mengelola dana, sedangkan Peserta (pemegang polis), dalam produk saving
dan tabarru bertindak sebagai muwakkil (pemberi kuasa) untuk mengelola dana,
Perusahaan asuransi selaku pemegang amanah wajib menginvestasikan dana yang
terkumpul dan investasi wajib dilakukan sesuai dengan syariah, Hasil investasi dari
dana tabarru menjadi hak kolektif peserta dan dibukukan dalam akun tabarru, Dari
hasil investasi, perusahaan asuransi dan reasuransi syariah dapat memperoleh bagi
hasil berdasarkan akad Mudharabah atau akad Mudharabah Musytarakah, atau
memperoleh ujrah (fee) berdasarkan akad Wakalah bil ujrah.
c. Akad Mudharabah (Fatwa DSN No.21/DSN-MUI/X/2001)
Dalam akad tijarah (mudharabah), perusahaan bertindak sebagai
mudharib(pengelola) dan peserta bertindak sebagai shahibul mal (peserta), Peserta
memberikan kuasa kepada Pengelola (Perusahaan asuransi) untuk mengelola dana
tabarru dan/atau dana investasi peserta, sesuai dengan kuasa dan wewenang yang
diberikan dengan mendapatkan imbalan berupa bagi hasil (nisbah) yang besarnya
telah disepakati bersama.
d. Akad Mudharabah Musytarakah (Fatwa DSN No.51/DSN-MUI/III/2006)
Akad Mudharabah Musytarakah, yaitu perpaduan dari akad Mudharabah dan
akad Musyarakah, Perusahaan asuransi sebagai mudharib menyertakan modal atau
dananya dalam investasi bersama dana peserta, Modal atau dana perusahaan asuransi
dan dana peserta diinvestasikan secara bersama-sama dalam portofolio, Perusahaan
asuransi sebagai mudharib mengelola investasi dana tersebut. Hasil investasi dibagi
antara perusahaan asuransi (sebagai mudharib) dengan peserta (sebagai shahibul mal)
sesuai dengan nisbah yang disepakati atau dibagi secara proporsional antara
perusahaan asuransi (sebagai musytarik) dengan peserta berdasarkan porsi modal atau
dana masing-masing.

8. Produksi dalam perusahaan asuransi merajuk pada aktivitas penjualan dan pemasaran
asuransi. Fungsi produksi tersebut berkaitan dengan bagaimana perusahaan memperoleh
pendapatan dari produk-produk asuransi. Pada perusaaan asursnsi harus diusahakan agar
produksi sebesar-besarnya. Agen yang menjual asuransi sering disebut dengan produsen.
Kunci keberhasilan keuangan asuransi adalah penjualan yang efektif.
Faktor yang harus diperhatikan dalam produksi;
a. Personal contact (kontak pribadi)
b. Service (pelayanan)
c. Credebility (Kepercayaan)

9. Perusahaan harus bisa mengelola klaim tersebut dengan baik, meliputi inspeksi di
lapangan untuk membuktikan benar tidaknya klaim, menentukan besarnya kerugian,
menentukan apakah perlu ada penyesuaian terhadap klaim atau tidak, dan seberapa besar
penyesuaian tersebut, dan menyetujui serta membayarkan klaim tersebut.

10. Industri asuransi syariah di Indonesia mempunyai prospek yang sangat bagus untuk
berkembang. Permintaan terhadap produk-produk asuransi berbasis syariah akan terus
mengalami peningkatan, tumbuhnya industri asuransi syariah harus juga didukung dengan
mudahnya masyarakat mendapat akses informasi mengenai manfaat-manfaat
perekonomian syariah dibandingkan dengan perekonomian konvensional, apalagi
ditunjang dengan banyaknya penduduk Indonesia dan juga sebagai negara muslim terbesar
di dunia. Akan tetapi industri juga akan mengalami rintangan yang sangat kuat karena
adanya pelemahan ekonomi dunia, juga negara kita, masyarakat yang belum teredukasi
tentang asuransi, pasar bebas sudah mulai diterapkan, sumber daya yang kurang tentang
asuransi syariah, kurangnya permodalan dan lain sebagainya. Oleh karena itu perlu peran
pemerintah untuk membantu agar terus berkembang, dengan regulasi-regulasi yang
mendukung industri ini.
Selanjutnya tantangan spin-off unit syariah Meskipun sudah diwajibkan melalui UU
40 Tahun 2014, spin-off unit syariah perusahaan asuransi bukan suatu hal yang mudah
karena adanya beberapa tantangan. Tantangan pertama dan yang paling utama adalah
bagaimana melakukan penambahan modal terhadap perusahaan asuransi syariah baru hasil
spin-off. Bagi perusahaan asuransi yang sudah memiliki unit syariah cukup besar hal ini
akan lebih mudah dilakukan, apalagi jika perusahaan asuransi tersebut merupakan
perusahaan yang besar atau merupakan perusahaan joint venture yang sahamnya dimiliki
sebagian besar oleh perusahaan asuransi yang besar di luar negeri. Tetapi bagi perusahaan
asuransi yang unit syariahnya masih kecil atau yang tidak dimiliki oleh perusahaan
asuransi yang besar, penambahan modal pada perusahaan asuransi syariah hasil spin-off
merupakan sebuah tantangan serius.
Lalu, bagaimana solusinya? Perusahaan asuransi atau reasuransi yang memiliki unit
syariah bisa mencari mitra atau investor agar unit syariah yang dimiliki bisa di spin-off
menjadi perusahaan asuransi atau reasuransi syariah yang berdiri sendiri. Apabila cara ini
tidak dapat dilakukan, maka perusahaan tersebut bisa mengalihkan seluruh portofolio
asuransi syariahnya kepada perusahaan asuransi syariah atau perusahaan reasuransi syariah
yang memiliki kegiatan usaha yang sejenis, mengembalikan hak pemegang polis/peserta
yang menolak untuk dialihkan kepesertaannya, lalu mengembalikan izin unit syariahnya
kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Anda mungkin juga menyukai