Juni 2022
Modul 2 – Analisis Debit Banjir
Bahan Ajar Bimbingan Teknis Analisis Stabilitas Bendungan dan Analisis Debit Banjir Menggunakan Data Hujan Satelit
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas selesainya
pengembangan Modul 2 – Analisis Debit Banjir sebagai materi inti/substansi dalam
pelatihan analisis debit banjir menggunakan data hujan satelit. Modul ini disusun untuk
memenuhi kebutuhan kompetensi dasar Aparatur Sipil Negara (ASN), maupun perencana
profesional di bidang sumber daya air.
Pelatihan analisis debit banjir menggunakan data hujan satelit merupakan rangkaian 3
(tiga) topik, yaitu analisis curah hujan, analisis debit banjir, dan pemodelannya. Penyusunan
modul yang sistematis diharapkan mampu mempermudah peserta pelatihan dalam
memahami dan menerapkan materi dasar-dasar perencanaan alur dan bangunan sungai.
Penekanan orientasi pembelajaran pada modul ini lebih menonjolkan partisipasi aktif dari
para peserta.
Akhirnya, ucapan terima kasih dan penghargaan kami sampaikan kepada Tim Penyusun
dan Narasumber, sehingga modul ini dapat diselesaikan dengan baik. Penyempurnaan
maupun perubahan modul di masa mendatang senantiasa terbuka dan dimungkinkan
mengingat akan perkembangan situasi, kebijakan dan peraturan yang terus menerus
terjadi. Semoga Modul ini dapat memberikan manfaat bagi peningkatan kompetensi
ASN/perencana professional di bidang SDA.
DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2-1. Komponen siklus hidrologi (a) keseluruhan (b) kondisi banjir .................... 2-3
Gambar 3-1. Diagram alir penentuan hsg menggunakan peta hwsd .............................. 3-3
Gambar 3-2. Klasifikasi tekstur tanah (Sumber: Ditzler et al., 2017) .............................. 3-5
Gambar 4-1. Hidrograf satuan synder (Sumber: Scharffenberg et al., 2018) .................. 4-3
Gambar 5-1. Ilustrasi baseflow recession (Sumber: Scharffenberg et al., 2018) ............ 5-2
Gambar 7-1. Ilustrasi ilustrasi inflow, outflow dan perubahan tampungan di waduk (Sumber:
Ponce, 2014) ........................................................................................................... 7-3
Gambar 7-2. Ilustrasi diskretasi persamaan penulusuran banjir waduk (Sumber: Ponce,
2014) ....................................................................................................................... 7-4
Gambar 7-3. Ilustrasi perhitungan aliran melalui ambang (Sumber: Marriott, 2016) ....... 7-5
DAFTAR TABEL
Tabel 1.2. Pedoman teknis analisis debit banjir desain .................................................. 1-3
Tabel 3.1. Klasifikasi tekstur tanah dan penentuan hydrologic soil group ....................... 3-4
Tabel 3.3. Persentase luasan kedap air berdasarkan tutupan lahan .............................. 3-6
Tabel 3.4. Parameter infiltrasi Metode Green-Ampt berdasarkan klasifikasi tekstur tanah
USDA ...................................................................................................................... 3-7
Tabel 4.1. Ordinat hidrograf satuan sintetis SCS tak berdimensi ................................... 4-2
DAFTAR ISTILAH
Banjir
Peristiwa meluapnya air sungai melebihi palung sungai atau genangan air yang terjadi pada
daerah yang rendah dan tidak bisa terdrainasikan
Bendungan
Bangunan yang berupa urukan tanah, urukan batu, dan beton, yang dibangun selain untuk
menahan dan menampung air, dapat pula dibangun untuk menahan dan menampung
limbah tambang, atau menampung lumpur sehingga terbentuk waduk
Suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak
sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari
curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah
topografi dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh
aktivitas daratan
Debit Aliran
Volume air yang mengalir melalui penampang melintang sungai atau saluran dalam satuan
waktu tertentu, dinyatakan dalam satuan l/s atau m3/s
Debit maksimum dari suatu sungai, atau saluran yang besarnya didasarkan/terkait dengan
periode ulang tertentu
Air yang masuk ke dalam sungai melalui permukaan tanah dan bawah permukaan
Terdiri dari aliran bawah permukaan (subsurface) ditambah aliran yang berasal dari air
tanah
Hidrograf Banjir
hubungan antara muka air/debit dan waktu yang terbentuk akibat suatu/series dari hujan
lebat
Hidrograf Satuan
hidrograf (hubungan antara muka air/debit dan waktu) yang terbentuk dari satu satuan
hujan efektif, dengan durasi waktu curah hujan tertentu
Hujan Efektif
Tebalnya curah hujan turun dan merupakan batas atas secara fisik untuk suatu durasi dan
daerah aliran sungai tertentu
Hujan Rencana
Karakteristik DAS
Gambaran spesifik mengenai DAS yang dicirikan oleh parameter yang berkaitan dengan
keadaan morfometri, topografi, tanah, geologi, vegetasi, penggunaan lahan, hidrologi dan
manusia
Periode Ulang
Selang waktu pengulangan suatu kejadian (terlampaui) pada kurun waktu tertentu (T)
pencilan (outlier, data bias) data yang keluar dari populasinya dan jarang terjadi serta
besarannya jauh dari yang lainnya, nilainya bisa sangat besar atau kecil dibandingkan
dengan yang lainnya
Waktu Konsentrasi
Waktu yang diperlukan air hujan untuk mengalir dari titik terjauh pada suatu DAS ke titik
yang ditinjau yang terletak di bagian hilir sungai
Debit banjir terbesar yang mungkin terjadi dengan mengandaikan semua faktor secara
kebetulan menghasilkan curah hujan dan limpasan terbesar dan tidak akan terlampaui
Elevasi muka air maksimum dalam waduk pada kondisi eksploitasi normal
Penelusuran Banjir
Proses pelacakan banjir untuk menentukan waktu kejadian, muka air di dalam waduk, dan
debit masuk waduk maupun keluar melalui pelimpah secara berurutan
Tampungan Banjir
Ruang di dalam waduk untuk menampung banjir, yang besarnya sama dengan selisih
antara muka air maksimum pada waktu banjir dan muka air normal
Tinggi Jagaan
Jarak vertikal dari puncak bendungan sampai elevasi muka air maksimum waduk yang
diperoleh dari hasil perhitungan banjir desain pelimpah.
Waduk
BAB 1
PENDAHULUAN
Bendungan, selain memiliki manfaat yang besar, juga memiliki potensi bahaya besar.
Peristiwa keruntuhan bendungan akan menyebabkan banjir yang parah sampai jauh ke hilir
yang akan menyebabkan banyak korban jiwa, properti, fasilitas umum dan kerusakan
lingkungan yang parah di daerah hilir. Untuk mencegah bencana tersebut, perancangan
bendungan harus didesain dengan baik, serta bendungan yang sudah ada harus dipantau
dan dipelihara dengan baik. Pelimpah, dalam hal ini merupakan infrastruktur yang sangat
penting dalam pengendalian banjir bendungan. Untuk meningkatkan keamanan
bendungan, diperlukan kajian mengenai kapasitas pelimpah untuk mengalirkan debit banjir
sesuai dengan periode ulang yang ditetapkan.
Analisis debit banjir merupakan salah satu aspek penting baik untuk perencanaan
bendungan maupun sebagai aspek yang perlu diperhatikan. Permasalahan muncul karena
umumnya di negara berkembang termasuk di Indonesia, data yang dapat digunakan dalam
analisis debit banjir, terutama data curah hujan, sangat terbatas atau bahkan tidak tersedia.
Salah satu solusi yang dapat digunakan sebagai data hujan adalah data hujan satelit. Akan
tetapi berdasarkan kajian lain diketahui bahwa curah hujan satelit memiliki deviasi
dibandingkan dengan data stasiun hujan sehingga perlu dilakukan koreksi terlebih dahulu
sebelum kemudian dihitung menjadi hujan rencana.
Hujan rencana kemudian digunakan dalam analisis hujan efektif yang kemudian
ditransformasi menjadi debit banjir menggunakan metode hidrograf satuan melalui proses
kalibrasi sesuai dengan SNI 2415:2016. Apabila kalibrasi tidak dapat dilakukan, maka
analisis debit banjir perlu dibandingkan dengan beberapa metode baik dalam analisis hujan
efektif maupun hidrograf satuan. Debit banjir yang dihitung menggunakan berbagai periode
ulang termasuk dalam kondisi Probable Maximum Flood (PMF) dan kemudian digunakan
sebagai dasar dalam analisis penelusuran banjir. Dalam analisis penelusuran banjir, dapat
diketahui besaran elevasi muka air waduk dengan dimensi pelimpah tertentu yang menjadi
acuan dalam kondisi keamanan bendungan mengikuti SNI 3432:2020.
Modul 2 “Analisis Debit Banjir” ini merupakan bagian kedua dari tiga modul yang disiapkan
untuk kegiatan bimbingan teknis “Analisis Debit Banjir Desain dengan Menggunakan Data
Hujan Satelit”. Setelah melewati bimbingan teknis ini diharapkan peserta dapat melakukan
analisis data hujan, termasuk menggunakan data satelit, hingga memperoleh debit banjir
dan dapat mengkaji keamanan bendungan sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Setelah mengikuti rangkaian pembelajaran dengan bahan yang tertera pada modul ini,
diharapkan peserta mampu memahami langkah analisis debit banjir dalam kaitannya
dengan keamanan bendungan. Analisis debit banjir dalam modul ini ditekankan pada tiga
aspek yakni analisis kehilangan air, transformasi hujan-limpasan, aliran dasar. Dalam
keterkaitan dengan keamanan bendungan, dijelaskan juga mengenai penelusuran banjir
serta evaluasi kapasitas pelimpah dan tinggi jagaan. Modul ini juga menjelaskan mengenai
proses kalibrasi model perhitungan debit banjir.
BAB 2
PERHITUNGAN DEBIT BANJIR MENURUT SNI
Pada SNI 2415 2016, perhitungan debit banjir diklasifikasikan berdasarkan ketersediaan
data (Badan Standardisasi Nasional, 2016). Berdasarkan kondisi data yang tersedia maka
metode dalam perhitungan debit banjir rencana dapat diklasifikasikan menjadi dua, yakni
kondisi data debit banjir pengamatan tersedia (gauged catchment) dan data debit banjir
pengamatan tidak tersedia (ungauged catchment). Pada kondisi data debit banjir
pengamatan tersedia dengan panjang data lebih dari 20 tahun, dapat dilakukan analisis
frekuensi secara langsung pada data debit yang tersedia. Analisis penelusuran banjir di
bendungan memerlukan data debit berupa hidrograf debit banjir dengan interval jam-
jaman. Apabila debit yang tersedia berupa debit harian atau interval yang lebih besar dari
1 jam, maka hidrograf debit banjir harus dihitung menggunakan model hujan-limpasan.
Analisis hujan limpasan dapat dilakukan menggunakan analisis hidrograf satuan, baik
hidrograf satuan aktual maupun hidrograf satuan sintetik. Analisis hidrograf satuan aktual
dapat dilakukan apabila tersedia data hujan dan debit jam-jaman pada peristiwa beberapa
banjir tertentu untuk menghitung hidrograf satuan aktual. Hidrograf satuan sintetik
menggunakan persamaan dan koordinat hidrograf tertentu yang bergantung kepada
metode yang digunakan. Beberapa metode hidrograf satuan sintetik yang umum digunakan
di Indonesia adalah metode SCS, Snyder, ITB, Nakayasu, Limantara. Input dalam
perhitungan hidrograf satuan sintetik secara umum adalah berupa parameter pada DAS
seperti panjang, kemiringan DAS.
Apabila DAS yang dikaji termasuk dalam kategori DAS menengah maupun besar, maka
disarankan melakukan kajian tidak dengan DAS tunggal. Dalam kasus DAS kajian
termasuk DAS Menengah dan DAS Besar, perlu dilakukan pembagian Sub-DAS untuk
memperhitungkan keberagaman karakteristik pada DAS, baik dari sisi tutupan lahan, jenis
tanah maupun keberadaan anak sungai. Masing-masing SubDAS kemudian dipertemukan
dengan perhitungan penelusuran banjir pada sungai.
waduk.
SNI 2415 2016 mensyaratkan pada kondisi analisis debit banjir tidak dapat dikalibrasi,
perhitungan hidrograf debit banjir perlu dibandingkan menggunakan beberapa
metode. Perbandingan metode yang dikaji bukan hanya dari metode hidrograf
satuan, tapi juga metode perhitungan kehilangan air/hujan efektif. Hasil dari beberapa
metode yang dibandingkan harus menghasilkan hidrograf debit banjir yang mirip, baik
dari sisi besaran puncak debit banjir, volume banjir, serta bentuk hidrograf. Kemiripan dari
beberapa metode menunjukkan bahwa analisis yang dilakukan sudah benar, yang
kemudian diperiksa kembali kewajaran debit puncaknya menggunakan kurva creager atau
dibandingkan dengan debit harian maksimum.
Pada kondisi kalibrasi tidak dapat dilakukan sama sekali, diperlukan verifikasi tingkat
kewajaran untuk besaran dari debit banjir yang dihitung. Verifikasi dapat dilakukan
menggunakan data pencatatan debit harian, maupun dengan kurva creager.
Pencatatan debit harian tidak dapat digunakan untuk mengkalibrasi hidrograf debit
perhitungan, tetapi dapat digunakan untuk memeriksa kewajaran hidrograf banjir
perhitungan. Rata-rata debit pencatatan harian maksimum seharusnya memiliki nilai yang
mendekati rata-rata debit periode ulang 2 tahun hasil perhitungan dalam 1 hari.
Proses pemodelan hujan-limpasan dimulai dengan hujan yang jatuh di atas vegetasi lahan,
permukaan lahan, dan badan air. Pada sistem hidrologi alami, kebanyakan air yang jatuh
menghilang melalui transpirasi dan evaporasi. Sebagian air hujan yang jatuh pada vegetasi
akan mengalir bergabung dengan air hujan yang jatuh ke permukaan lahan. Pada
permukaan lahan, air dapat menggenang dan infiltrasi tergantung kepada jenis tanah,
tutupan lahan, dan tingkat kelembaban tanah. Air yang infiltrasi kemudian tersimpan
sementara di lapisan tanah bagian atas yang dapat mengalir kembali ke permukaan secara
kapiler, mengalir secara horizontal sebagai interflow, atau perkolasi secara vertikal ke
lapisan akuifer di bawahnya. Air yang mengalir sebagai interflow akan keluar pada sungai.
Sementara air di akuifer secara perlahan akan mengalir kembali ke alur sungai sebagai
aliran dasar. Air yang tidak menggenang dan infiltrasi di permukaan lahan akan menjadi
limpasan yang mengalir menuju sungai. Aliran air di sungai adalah kombinasi antara
limpasan permukaan, hujan yang jatuh langsung di badan air, interflow dan aliran dasar.
(Scharffenberg et al., 2018).
Pada peristiwa hujan badai, transpirasi dan evaporasi hampir tidak ada. Oleh karena itu,
tiga komponen paling berpengaruh dalam memodelkan peristiwa banjir adalah pada
infiltrasi, limpasan permukaan dan aliran dasar. Gambar 2-1 di bawah menggambarkan
komponen sistem pemodelan hujan-limpasan secara umum dan pada kondisi banjir.
(a)
(b)
Gambar 2-1. Komponen siklus hidrologi (a) keseluruhan (b) kondisi banjir
Dalam kajian analisis debit banjir, diperlukan input berupa hujan rencana yang telah
didistribusikan menjadi hyetograf pada periode ulang tertentu termasuk pada kondisi
Probable Maximum Precipitation (PMP). Hyetograf hujan jam-jaman kemudian diubah
hidrograf debit banjir jam-jaman melalui proses seperti yang digambarkan pada Gambar 2-
2.
Model hujan-limpasan yang dibangun perlu melalui proses kalibrasi dan evaluasi. Akan
tetapi pada kasus dimana kalibrasi tidak dapat dilakukan, maka analisis debit banjir perlu
dibandingkan menggunakan beberapa metode. Dalam modul ini, akan dibahas 2 metode
analisis debit banjir. Metode pertama adalah dengan perhitungan kehilangan air metode
SCS Curve Number dan hidrograf satuan sintetik SCS. Sementara metode kedua
adalah dengan perhitungan kehilangan air Green-Ampt dan hidrograf satuan sintetik
Snyder. Baseflow pada kedua pilihan menggunakan metode Recession.
Analisis hujan-limpasan untuk debit ketersediaan air memiliki perbedaan yang cukup
signifikan. Perbedaan dari sisi hujan adalah bahwa hujan yang digunakan untuk analisis
ketersediaan air adalah hujan harian atau sesuai interval ketersediaan air yang dikehendaki
seperti mingguan, 10 harian, 2 mingguan, atau bulanan. Sementara dari sisi metode yang
digunakan, perhitungan kehilangan air dan aliran dasar yang digunakan harus dapat
memodelkan kehilangan air dan aliran dasar untuk continuous event atau berkelanjutan.
Contoh model yang umum digunakan di Indonesia adalah model FJ-Mock, NRECA, atau
menggunakan model HEC-HMS dengan metode Soil Moisture Accounting, Deficit Constant
untuk kehilangan air atau Linear Reservoir untuk aliran dasar. Sama seperti model debit
banjir, analisis ketersediaan air juga perlu melalui tahap kalibrasi berdasarkan pencatatan
debit yang tersedia.
BAB 3
KEHILANGAN AIR
Perhitungan kehilangan air ditentukan berdasarkan kondisi tutupan lahan dan sifat
tanah. Beberapa metode kehilangan air terfokus untuk kejadian banjir, sementara sebagian
lainnya dapat digunakan untuk simulasi kontinu. Dalam modul ini, perhitungan kehilangan
air disarankan menggunakan metode SCS Curve Number dan Green-Ampt.
Di samping dua metode yang dijelaskan pada modul ini, beberapa metode kehilangan air
yang umum digunakan adalah sebagai berikut.
• Metode ϕ indeks. Metode ini mengasumsikan infiltrasi terjadi linear sepanjang peristiwa
hujan. Kekurangan dari metode ini adalah untuk menentukan besaran ϕ indeks,
diperlukan data pencatatan volume banjir untuk membandingkan volume hujan dengan
volume limpasan. Di samping itu, infiltrasi pada kondisi nyata seharusnya tidak linear
terhadap waktu, melainkan membentuk kurva resesi dimana kemampuan tanah untuk
meresap air semakin berkurang bahkan hilang ketika kejenuhan tanah sudah tinggi.
• Metode koefisien limpasan. Metode ini merupakan bagian dari perhitungan debit banjir
metode rasional dimana kehilangan air ditentukan dari jenis tutupan lahan. Kekurangan
dari metode ini adalah metode ini kurang cocok digunakan untuk menghitung
kehilangan air dengan hujan yang berubah terhadap waktu.
• Metode Horton. Metode ini memiliki asumsi yang sama dengan metode SCS CN dan
Green-Ampt dimana kehilangan air berkurang secara eksponensial sampai lanju
infiltrasi mencapai batas konstan tertentu. Dasar persamaan metode Horton juga dapat
diturunkan dari persamaan Richard yang digunakan sebagai dasar metode Green-
Ampt. Kekurangan dari metode Horton adalah diperlukannya pengujian di laboratorium
untuk memperoleh konstanta dalam persamaan.
Metode ini mengestimasi kelebihan hujan sebagai fungsi dari hujan komulatif, tutupan
lahan, tata guna lahan, kelembapan tanah. Persamaannya dapat ditulis menjadi
(𝑃 − 𝐼𝑎 )2
𝑃𝑒 = { }
𝑃 − 𝐼𝑎 + 𝑆
𝐼𝑎 = 𝜆. 𝑆
25400 − 254𝐶𝑁
𝑆={ }
𝐶𝑁
keterangan:
Pe : kelebihan hujan kumulatif (mm)
P : hujan kumulatif (mm)
Ia : kehilangan awal air (mm)
S : potensi tampungan di dalam DAS (mm)
λ : koefisien bergantung dari kelembaban tanah awal
CN : Curve Number
Hubungan Ia dan S diturunkan secara empiris dimana nilai λ diambil sebesar 0,2. Sehingga
pada DAS yang berbeda nilai λ dapat berbeda-beda.
Untuk DAS dengan sub-DAS yang memiliki jenis tanah dan tutupan lahan yang berbeda,
maka nilai komposit CN ditentukan berdasarkan :
𝐶𝑁1 𝐴1 + 𝐶𝑁2 𝐴2 + ⋯ + 𝐶𝑁𝑖 𝐴𝑖 … + 𝐶𝑁𝑛 𝐴𝑛
𝐶𝑁𝑐 =
∑𝑛𝑖=1 𝐴𝑖
keterangan:
CNi : nilai CN pada sub-DAS i,
Ai : luas pada sub-DAS i, dan
n : jumlah sub-DAS.
Metode infiltrasi Green Ampt pada dasarnya adalah penyederhanaan dari persamaan
Richard. Metode ini mengasumsikan tanah pada suatu area adalah seragam dan pada
awalnya memiliki tingkat kejenuhan yang seragam. Seiring tingkat kejenuhan air pada tanah
meningkat, infiltrasi digambarkan dengan sebagai “piston displacement”.
1 + (𝜙−𝜃𝑖 )𝑆𝑓
𝑓𝑡 = 𝐾 [ ]
𝐹𝑡
dimana:
ft : kehilangan air selama periode t
K : konduktivitas hidraulika dalam kondisi jenuh air / saturated hydraulic
conductivity
(𝜙−𝜃𝑖 ) : defisit volume kelembaban tanah / volume moisture deficit
Sf : wetting front suction
Ft : kehilangan air kumulatif selama t
Data yang diperlukan dalam menentukan parameter SCS Curve Number adalah berupa
Hydrologic Soil Group (HSG) dan tutupan lahan. Nilai HSG ditentukan oleh klasifikasi
jenis tanah USDA. Klasifikasi jenis tanah USDA dapat ditentukan dari peta Harmonized
World Soil Database (HWSD). Sementara peta tutupan lahan dapat diperoleh dari peta
Rupabumi Indonesia (RBI). Diagram alir penentuan parameter Curve Number dapat dilihat
pada Gambar 3-1 di bawah.
Mulai
Penentuan Nilai CN
Selesai
Tanah secara umum diklasifikasikan sebagai sand (pasir), silt (lanau), clay (lempung)
berdasarkan ukuran butir. Dari peta HWSD, dapat diperoleh persentase masing-masing
sand, silt dan clay yang bergantung kepada jenis tanah pada lokasi tertentu. Kedalaman
lapisan tanah yang direpresentasikan dalam database properties tanah DMSW (Digital Map
Soil of The World, dari FAO mirip dengan HWSD) terbagi menjadi dua lapisan yaitu Top-
Soil pada kedalaman 0-30 cm dan Sub-Soil pada kedalaman 31-100 cm. Persentase sand,
silt dan clay yang diperhitungkan adalah dari topsoil dan subsoil dengan persentase
30% untuk topsoil dan 70% untuk subsoil.
Dari persentase tersebut, dapat diklasifikasikan tekstur tanah berdasarkan USDA yang
dapat dilihat pada Tabel 3.1 atau Gambar 3-2. Dari klasifikasi tekstur tanah, dapat
ditentukan HSG. HSG sendiri menurut NRCS dibagi menjadi empat kelas, yaitu A, B, C,
dan D. HSG A berarti tanah paling mudah menyerap air sehingga infiltrasi semakin tinggi,
sementara HSG D berarti tanah sulit untuk menyerap air dan infiltrasi sedikit.
Tabel 3.1. Klasifikasi tekstur tanah dan penentuan hydrologic soil group
Klasifikasi Hydrologic
Persentase Sand, Silt dan Clay Soil Group
Tekstur Tanah
(silt + 1.5 * clay) < 15 Sand A
(silt + 1.5 * clay) ≥ 15 DAN (silt + 2 * clay) < 30 Loamy Sand A
(clay ≥ 7 DAN clay < 20) DAN (sand > 52) DAN (silt + 2 * clay)
≥ 30 Sandy Loam A
ATAU (clay < 7) DAN (silt < 50) DAN (silt + 2 * clay) ≥ 30)
(clay ≥ 7 DAN clay < 27) DAN (silt ≥ 28 DAN silt < 50) DAN
Loam B
(sand ≤ 52)
≥ ≤ (silt ≥50) DAN (clay ≥ 12 DAN clay < 27)
Silt Loam B
ATAU (silt ≥50 DAN silt < 80) dan (clay < 12)
silt ≥ 80 DAN clay < 12 Silt B
Sandy Clay
(clay ≥ 20 DAN clay < 35) DAN (silt < 28) DAN (sand > 45) C
Loam
(clay ≥ 27 DAN clay < 40) DAN (sand > 20 DAN sand ≤ 45) Clay Loam D
(clay ≥ 27 DAN clay < 40) DAN (sand ≤ 20) Silty Clay Loam D
clay ≥ 35 DAN sand > 45 Sandy Clay D
clay ≥ 40 DAN silt ≥ 40 Silty Clay D
clay ≥ 40 DAN sand ≤ 45 DAN silt < 40 Clay D
Di samping parameter Curve Number, parameter yang perlu ditentukan adalah initial
abstraction. Initial abstraction ditentukan berdasarkan λ dan Maximum Storage. λ memiiliki
nilai dengan kisaran antara 0,1 sampai 0,3 dengan nilai yang umum digunakan adalah 0,2.
Sementara nilai Maximum Storage ditentukan berdasarkan nilai Curve Number dengan
batas atas berupa nilai Available Water Capacity (AWC) yang diperoleh dari data tanah
HWSD. Apabila nilai Maximum storage melebihi AWC, maka nilai Storage yang digunakan
untuk menghitung initial abstraction adalah nilai AWC.
Parameter yang diperlukan untuk analisis kehilangan air metode Green Ampt adalah:
• Kondisi initial, input ini menentukan kondisi kelembaban tanah pada awal simulasi.
Kondisi ini sama seperti initial abstraction pada metode SCS CN. Sama seperti metode
SCS CN, initial abstraction diperoleh melalui trial and error.
• Hydraulic conductivity, menggambarkan mudah atau tidaknya air mengalir di antara
pori-pori tanah. Parameter ini bergantung kepada klasifikasi tekstur tanah yang dapat
diperoleh dari hasil penyelidikan laboratorium.
• Wetting Front Suction, dapat diperkirakan sebagai fungsi dari distribusi ukuran pori,
yang bergantung kepada klasifikasi tekstur tanah.
• Porositas, fraksi udara atau pori-pori terhadap volume tanah. Dapat diperoleh dari hasil
penyelidikan laboratorium atau dapat diperkirakan dari klasifikasi tekstur tanah.
Dalam menetukan parameter model kehilangan air, data yang diperlukan adalah berupa
data klasifikasi jenis tanah. Klasifikasi jenis tanah dapat ditentukan dengan metode yang
sama dengan perhitungan kehilangan air SCS CN yakni dengan dasar peta HWSD. Pada
peta HWSD, tersedia persentase sand, silt dan clay pada area tertentu. Dari persentase
sand, silt dan clay dapat ditentukan klasifikasi tanah USDA. Pada masing-masing klasifikasi
tekstur tanah, dapat ditentukan parameter Suction, Hydraulic Conductivity dan Porositas
seperti ditunjukkan pada Tabel 3.4. Cara alternatif yang dapat dilakukan adalah dengan
melakukan pengujian sampel tanah pada lokasi studi di laboratorium untuk memperoleh
parameter. Akan tetapi perlu diambil sampel tanah yang dapat menggambarkan seluruh
daerah tangkapan dengan seragam dan dengan kedalaman yang memadai.
Tabel 3.4. Parameter infiltrasi Metode Green-Ampt berdasarkan klasifikasi tekstur tanah
USDA
Klasifikasi Tekstur Hydraulic Conductivity
Suction (mm) Porositas
Tanah USDA (mm/jam)
Clay 316.3 0.3 0.385
Silty Clay 292.2 0.5 0.423
Sandy Clay 239 0.6 0.321
Clay Loam 208.8 1 0.309
Silty Clay Loam 273 1 0.432
Sandy Clay Loam 218.5 1.5 0.33
Silt Loam 166.8 3.4 0.486
Loam 88.9 7.6 0.434
Sandy Loam 110.1 10.9 0.412
Loamy Sand 61.3 29.9 0.401
Sand 49.5 117.8 0.417
(Sumber : Rawls et al., 1983)
BAB 4
HIDROGRAF SATUAN SINTETIK
Dalam modul ini, hidrograf satuan sintetik disarankan dihitung menggunakan metode HSS
SCS dan Snyder. Kedua metode memiliki input utama berupa waktu konsentrasi/waktu
kelambatan, yang dapat dihitung berdasarkan parameter fisik daerah tangkapan. Analisis
hidrograf satuan sintetik untuk disarankan dihitung dengan model semi-distributed,
dimana sebuah DAS dibagi menjadi beberapa sub-DAS dengan parameter berbeda.
Pada masing-masing sub-DAS, dilakukan perhitungan kehilangan air, transformasi hujan-
limpasan, dan aliran dasar yang kemudian dipertemukan di titik outlet dengan
melakukan analisis routing/penelusuran banjir pada sungai.
Di samping kedua metode yang disarankan dalam modul ini, perhitungan hidrograf satuan
dapat digunakan menggunakan metode lain seperti berikut:
• Metode hidrograf satuan aktual: dapat digunakan apabila tersedia data pencatatan
hujan dan hidrograf debit peristiwa banjir dalam interval jam-jaman.
• Hidrograf satuan Clark, dengan input waktu konsentrasi dan koefisien tampungan.
• Hidrograf satuan DAS Tunggal lain seperti: ITB, Limantara, Nakayasu.
Keterangan:
tp : waktu puncak (jam)
tl : waktu kelambatan (jam)
Qp : debit puncak setiap 1 cm hujan efektif (m3/s)
A : Luas DAS (km2)
Metode Hidrograf Satuan Sintetik Snyder dipublikasikan pada tahun 1938, yang pada
awalnya dikembangkan untuk menghitung debit pada dataran tinggi Appalachian, Amerika
Serikat. Snyder menentukuan lag, debit puncak, dan panjang hidrograf sebagai dasar
paling penting dalam penentuan karaktersitik hidrograf satuan. Snyder menentukan
hubungan antara durasi hujan (tr) dan basin lag (tp) dengan persamaan:
𝑡𝑝 = 5.5 × 𝑡𝑟
Lag disini diartikan sebagai perbedaan antara waktu puncak hidrograf banjir dan waktu titik
berat hyetograf hujan efektif, seperti ditunjukkan pada gambar di bawah. Jika waktu time
lag dari hidrograf berbeda jauh dari persamaan di atas, maka dapat digunakan persamaan
berikut yang menyatakan hubungan antara waktu puncah hidrograf banjir dengan durasi
hidrograf satuan sebagai berikut:
𝑡𝑟 − 𝑡𝑅
𝑡𝑝𝑅 = 𝑡𝑝
4
dimana:
TR : durasi hidrograf satuan
TpR : time lag hidrograf satuan
Untuk kasus standard, Hidrograf Satuan Snyder dapat dihitung menggunakan persamaan
berikut:
𝑈𝑝 𝐶𝑝
=𝐶
𝐴 𝑡𝑝
dimana:
Up : debit puncak (m3/s)
A : luas DAS (km2)
Cp : peaking coefficient (nilai antara 0,4 – 0,9)
C : konstanta konversi (2,75 untuk satuan SI)
Dalam pemodelan banjir metode HSS SCS, input parameter yang diperlukan:
• Waktu kelambatan (Basin Lag) adalah lama waktu dari titik berat curah hujan efektif
sampai puncak hidrograf. Dan waktu kelambatan dapat dihitung dengan berbagai
metode seperti NRCS/SCS, Kirpich, atau Kerby yang dijelaskan pada subbab 4.4.
• Pola bentuk hidrograf (Graph Type) adalah pola yang menentukan bentuk hidrograf
SCS. Semakin besar Peak Rate Factor (PRF) yang dipilih, maka semakin tinggi dan
semakin pipih pula puncak hidrograf. Disarankan untuk menggunakan tipe Standard
(PRF 484) untuk sebagian besar kasus, sementara tipe Delmarva (PRF 284)
disarankan untuk DAS yang memiliki kemiringan landai.
Dalam pemodelan banjir metode Snyder, input parameter yang diperlukan adalah:
• Metode: Standard.
• Waktu kelambatan (Standard Lag): adalah lama waktu dari titik berat curah hujan efektif
sampai puncak hidrograf, ditentukan dengan cara yang sama seperti metode HSS
SCS.
• Peaking Coefficient: mengukur curam atau datarnya hidrograf yang dihasilkan. Nilai
Peaking Coefficient biasanya berkisar antara 0,4 sampai 0,9 dimana nilai yang rendah
menghasilkan hidrograf yang lebih landai. Disarankan untuk menggunakan nilai tengah
0,6 kecuali dapat dilakukan kalibrasi.
Waktu konsentrasi adalah waktu perjalanan air yang dibutuhkan dari titik terjauh secara
hidrolis sampai ke outlet DAS disingkat tc. Waktu konsentrasi merupakan input utama
dalam analisis Hidrograf Satuan metode SCS dan Snyder. Beberapa formula yang
dikembangkan untuk menghitung waktu konsentrasi adalah persamaan Kerby, Kirpich, dan
NRCS. Waktu kelambatan untuk hidrograf satuan dapat diperkirakan melalui waktu
konsentrasi tc dari formula tlag= 0.6 tc.
Persamaan Kerby dikembangkan tahun 1959 pada daerah tangkapan air yang sangat kecil
dengan dominasi limpasan permukaan. Beberapa referensi menunjukan bahwa,
persamaan ini baik digunakan untuk DAS yang memiliki panjang aliran kurang dari 1000
kaki atau setara dengan 304,8 meter (USDA-NRCS, 2010). Persamaan ini diformulasikan
sebagai berikut:
7,216 𝑛 ℓ 0,324
𝑇𝑐 = [ ]
𝑆 0,5
dimana:
𝑇𝑐 : waktu konsentrasi dalam menit
ℓ : panjang saluran dari huku sampai dengan titik outlet dalam m
𝑆 : kemiringan saluran dalam rasio m/m
𝑛 : koefisien kekasaran manning
Waktu konsentrasi juga dapat diperoleh dengan Persamaan Kirpich. Persamaan ini
diturunkan berdasarkan data dari tujuh DAS pedalaman pada perkebungan di Tennessee,
Amerika Serikat dengan karakteristik saluran tertentu dan kemiringan saluran yang curam
(USDA-NRCS, 2010). Luasan DTA yang cocok untuk persamaan ini berkisar antara 5.058,6
s/d 453,248 m2 (1,25 s/d 112,0 Ekar). Persamaan Kirpich dapat dinyatakan sbb:
dimana:
𝑇𝑐 : waktu konsentrasi dalam jam
ℓ : panjang saluran dari huku sampai dengan titik outlet dalam km
𝑆 : kemiringan saluran dalam rasio m/m
Metode waktu kelambatan NRCS/SCS dijelaskan secara mendetail pada dokumen TR-55.
Secara umum waktu kelambatan diperkirakan dari tiga tipe aliran, yakni sheet flow (aliran
pada permukaan daerah tangkapan), shallow concentrated flow (aliran pada anak sungai)
dan open channel flow (aliran pada sungai utama). Metode NRCS mengasumsikan waktu
konsentrasi adalah jumlah dari waktu aliran dari ketiga segmen aliran:
Balai Teknik Bendungan – Ditjen SDA 4-4
Juni 2022
Modul 2 – Analisis Debit Banjir
Bahan Ajar Bimbingan Teknis Analisis Stabilitas Bendungan dan Analisis Debit Banjir Menggunakan Data Hujan Satelit
dimana:
𝑡𝑠ℎ𝑒𝑒𝑡 : merupakan waktu tempuh di lapisan permukaan tanah
𝑡𝑠ℎ𝑎𝑙𝑙𝑜𝑤 : merupakan waktu tempuh pada aliran anak sungai
𝑡𝑐ℎ𝑎𝑛𝑛𝑒𝑙 : jumlah waktu tempuh dari sungai. Untuk alur sungai dibutuhkan data
penampang melintang dan perkiraan kecepatan menggunakan Manning n.
Waktu tempuh aliran di permukaan tanah (tsheet) biasanya muncul di area punggung bukit
yang mendekati area batas DAS. Aliran ini biasanya tidak terlalu panjang dan cepat
bertransisi menjadi shallow concentrated flow. Persamaan yang digunakan adalah formula
Manning yang disederhanakan sebagai berikut:
0,0091265 (𝑛𝐿)0,8
𝑇𝑡 =
(𝑃2 )0,5 𝑆 0,4
dimana:
Tt : Waktu tempuh (jam)
n : Koefisien Manning
L : Panjang aliran (m)
P2 : Hujan 24 jam periode ulang 2 tahunan (mm)
S : Kemiringan lahan (m/m)
Waktu tempuh aliran antara dua titik di saluran atau sungai, baik shallow flow maupun
channel flow dihitung menggunakan persamaan:
𝐿
𝑇𝑡 =
3600𝑉
dimana:
Tt : Waktu tempuh (jam)
L : Panjang aliran (m)
V : Kecepatan rata-rata (m/s)
BAB 5
ALIRAN DASAR RECESSION
Berdasarkan SNI 2415:2016, perhitungan aliran dasar dibagi menjadi tiga, yaitu (Badan
Standardisasi Nasional, 2016):
Debit aliran dasar merata dari permulaan hujan sampai akhir dari hidrograf
Debit aliran dasar ditarik dari titik permulaan hujan sampai dengan titik belok di akhir
hidrograf aliran
Debit aliran dasar terbagi menjadi dua bagian, bagian pertama mengikut pendekatan
cara ke-1 sampai titik belok bagian atas (awal dari aliran antara), dan bagian kedua
mengikuti pendekatan cara ke-2
Dalam modul ini, aliran dasar disarankan dihitung menggunakan metode Recession.
Metode aliran dasar Recession dirancang untuk mendekati perilaku ketika debit banjir surut
secara eksponensial setelah suatu peristiwa. Metode ini sering digunakan untuk
menjelaskan aliran air dari tampungan alami pada sebuah DAS. Hubungan antara aliran
dasar untuk setiap waktu t adalah
𝑄𝑡 = 𝑄0 𝑘𝑡
dimana:
𝑄0 : aliran dasar pada saat t = 0,
𝑄𝑡 : adalah aliran dasar pada saat waktu t
𝑘 : konstanta eksponensial degradasi. Nilai k didefinisikan sebagai perbandingan
dari aliran dasar pada saat waktu t dengan aliran dasar 1 hari sebelumnya.
Aliran dasar recession diaplikasikan pada awal kejadian banjir serta pada bagian akhir
hidrograf sebagai aliran bawah tanah. Seperti ditunjukkan pada gambar di bawah, aliran
dasar akan muncul ketika hidrograf melewati batas tertentu (threshold) yang ditentukan
dalam parameter sebagai besaran debit tertentu atau sebagai ratio to peak. Metode
Recession ditujukan untuk simulasi satu kejadian banjir tertentu. Akan tetapi, metode
Recession mampu untuk mengulang secara otomatis setelah setiap peristiwa banjir dan
dapat digunakan untuk simulasi kontinu.
Parameter yang diperlukan untuk analisis aliran dasar metode Recession adalah:
• Aliran dasar awal: dapat berupa besaran debit tertentu apabila tersedia data
pengamatan pada titik outlet sub-DAS, atau berupa besaran debit per satuan luas.
• Recession Constant: menggambarkan cepat atau lambatnya debit aliran dasar hilang.
Apabila recession constant ditetapkan 1, maka konstribusi baseflow adalah konstan.
Untuk memodelkan baseflow yang menurun secara eksponensial, nilai recession
constant harus lebih kecil dari 1. Recession constant dapat diperkirakan dari cepat atau
tidaknya baseflow menghilang pada sungai. Apabila sungai sangat cepat mengering
setelah peristiwa hujan lewat, maka nilai recession constant mendekati nol, sementara
apabila aliran dasar tetap ada dalam waktu lama setelah peristiwa banjir, maka nilai
recession constant mendekati 1.
• Ratio to Peak/Threshold Flow: batasan debit pada akhir hidrograf ketika aliran dasar
mulai muncul. Disarankan untuk menggunakan ratio to peak, dimana sebagai contoh
apabila ratio to peak ditetapkan 0,1 dan puncak debit banjir adalah 1000 m3/s, maka
aliran dasar akan mulai muncul ketika hidrograf debit banjir mulai surut dan pencapai
debit 100 m3/s.
BAB 6
KALIBRASI PARAMETER MODEL HIDROLOGI
Mengingat model matematik dibangun atas sejumlah asumsi, data masukan, dan
parameter, maka untuk mengetahui kesesuaian model dalam merepresentasikan sistem
DAS yang dimodelkan perlu dilakukan kalibrasi. Dalam proses kalibrasi, parameter model
seyogyanya mencerminkan kondisi fisik DAS yang dimodelkan. Pada bendungan lama
biasanya kalibrasi dapat dilakukan dengan pencarian data yang lebih mudah, karena ada
data pencatatan muka air di waduk dengan interval paling besar harian yang dapat dijadikan
acuan kalibrasi. Pada kondisi perencanaan bendungan baru, kalibrasi dapat dilakukan
apabila tersedia terdapat PDA di hulu atau hilir bendungan yang tinjau. Sebagai catatan
untuk kalibrasi dengan data muka air di waduk, perlu dilakukan analisis penelusuran banjir
yang dalam modul ini dibahas pada BAB 7.
Karena hasil kalibrasi pada satu periode seri data pengamatan bersifat kondisional, untuk
mengetahui kesesuaian parameter tersebut perlu dilakukan verifikasi model. Dalam
pemodelan hidrologi umumnya seri data dibagi menjadi dua bagian dimana seri data
pertama digunakan untuk kalibrasi dan seri data ke dua digunakan untuk verifikasi.
Verifikasi model ini pada dasarnya diperlukan untuk mengetahui bias nilai parameter yang
diperoleh dalam proses kalibrasi.
Catatan dalam pengumpulan data untuk kalibrasi dan verifikasi adalah sebagai berikut:
• Data hujan dan debit atau elevasi muka air harus merupakan peristiwa yang sama
• Data hujan harus dapat mewakili DAS secara keseluruhan
• Memperhatikan perbandingan volume limpasan dalam pengukuran dan pada hasil
simulasi
• Tinggi hujan yang digunakan sebagai kalibrasi setidaknya periode ulang 2 tahun
Secara umum langkah kalibrasi dapat dilihat pada Gambar 6-1. Setelah data hujan dan
debit atau elevasi muka air diperoleh, langkah yang dilakukan adalah dengan memilih
parameter awal. Parameter awal dapat dipilih berupa nilai tengah dari batas atas dan batas
bawah parameter. Dengan parameter awal, dilakukan simulasi untuk memperoleh debit
atau elevasi muka air di titik dimana data pengamatan tersedia, baik di waduk ataupun di
pos duga air tertentu. Hasil simulasi kemudian dibandingkan dengan pengamatan, baik
secara grafis maupun menggunakan fungsi objektif. Apabila hasil dari model dan observasi
berbeda, maka parameter perlu diperbaiki dan kemudian dilakukan simulasi kembali untuk
membandingkan debit atau muka air yang dihasilkan parameter baru tersebut. Kalibrasi
dinyatakan selesai apabila debit/muka air hasil simulasi dapat mendekati observasi.
Dalam kasus apabila kalibrasi tidak dapat dilakukan, maka menurut SNI 2415:2016,
diperlukan analisis debit banjir menggunakan berbagai metode sebagai perbandingan
(Badan Standardisasi Nasional, 2016). Seperti yang dijelaskan pada BAB 2, perbandingan
metode yang dikaji bukan hanya dari metode hidrograf satuan, tapi juga metode
perhitungan kehilangan air/hujan efektif dan harus menghasilkan besaran dan bentuk
hidrograf yang tidak berbeda jauh. Di samping itu, dapat dilakukan beberapa upaya
verifikasi debit, diantaranya dengan menggunakan kurva creager, atau dengan
perbandingan dengan pencatatan debit harian maksimum.
Karena hasil model dan data pengamatan apabila dibandingkan secara visual dapat
menjadi sangat subjektif, maka diperlukan penilaian menggunakan fungsi objektif. Fungsi
objektif yang umum digunakan untuk mengukur besarnya perbedaan hasil perhitungan
model terhadap data pengamatan adalah Rasio Root Mean Square Error/RMSE terhadap
deviasi standar (RSR/RMSE-observations Standard Deviation Ratio), Nash Sutcliffe (NS),
atau Percent Bias (PBIAS).
RMSE adalah fungsi objektif yang menggambarkan kedekatan dari simulasi dan
pengamatan dengan menghitung error atau selisih antara debit atau muka air pengamatan
dan simulasi. Agar nilai RMSE dapat dinilai secara objektif, nilai RMSE perlu dibagi dengan
deviasi standar sehingga diperoleh RRSE yang tidak memiliki satuan. RRSE sendiri dapat
disebut dengan RSR atau Rasio RMSE Terhadap Deviasi Standar. Nilai RRSE mendekati
nol berarti hasil simulasi sangat mendekati pengamatan.
Dimana Qobs adalah debit pengamatan dan Qsim adalah debit simulasi berbasis harian.
Nash-Sutcliffe (NS) merupakan fungsi objektif yang dapat mengevaluasi hasil simulasi dari
perspektif rata-rata debit observasi. Nilai NS memiliki rentang antara negatif tak hingga
sampai dengan 1 dimana nilai NS mendekati 1 mengindikasikan hasil simulasi yang
semakin baik terhadap nilai pengamatan. Hasil yang semakin kecil menunjukkan bahwa
estimasi yang dilakukan terlampau besar dibandingkan dengan data sesungguhnya
(Legates & McCabe, 1999).
keterangan:
𝑁𝑆𝐸 : Nash-Sutcliffe
𝑄𝑠𝑖𝑚 : Debit simulasi (m3/s)
𝑄𝑜𝑏𝑠 : Debit Pencatatan (m3/s)
̅̅̅̅̅̅
𝑄𝑜𝑏𝑠 : Rata-rata debit pencatatan (m3/s)
𝑁 : Jumlah data
Percent Bias (PBIAS) menggambarkan perbandingan volume total antara simulasi dengan
pengamatan. Nilai PBIAS nol menggambarkan bahwa hasil simulasi dan observasi memiliki
nilai yang secara rata-rata sama. PBIAS dapat dihitung menggunakan persamaan berikut.
∑ni(Q obs − Q sim )
PBIAS = 100 × [ ]
∑ni (Q obs )
Untuk mengevaluasi besarnya debit banjir maksimum boleh jadi, digunakan lengkung
Creager. Pada dasarnya lengkung Creager ini menggambarkan hubungan antara debit
puncak banjir dengan luas daerah pengaliran. Lengkung ini dibuat berdasarkan persamaan
perkiraan banjir meurut Creager (Amerika Serikat) yang dirangkum pada “Fourth Congress
on Large Dams”, 1951. Berdasarkan makalah oleh Hunter dan Widmot, rumus tersebut
dapat ditulis sebagai berikut:
−0,048
𝑄 = 46𝐶 0,894𝐴
keterangan:
𝑄 : debit banjir (m3/s)
𝐴 : luas DAS (km2)
𝐶 : koefisien Creager
Pada kurva creager berbagai nilai C seperti yang ditunjukkan Gambar 6-2, dapat diperiksa
kewajaran debit PMF yang dihasilkan dalam pemodelan dengan memplotkan luas DAS dan
besaran debit puncak pada kurva. Apabila titik plot berada di atas garis kurva C150, maka
debit puncak terlalu besar. Sebaliknya apabila titik plot berada di bawah garis kurva C20,
maka debit puncak terlalu kecil. Apabila debit terlalu besar atau kecil menurut kurva
creager, maka perlu dilakukan penyesuaian dalam analisis agar debit puncak dapat
termasuk dalam batas wajar.
100000
PMF
Indonesia
C150
10000
C100
Debit Puncak (m3/s)
C60
1000
C50
C40
100
C30
C20
10
1 10 100 1000 10000
Luas DAS (km2)
BAB 7
PENELUSURAN BANJIR
Penelusuran banjir sungai didasarkan pada persamaan diferensial St. Venant dari prinsip
kontinuitas dan difusi dari persamaan momentum. Dalam menyelesaikan persamaan
tersebut, metode Muskingum sangat umum dan mudah digunakan. Namun, model ini
mengandung parameter yang tidak memiliki karakter fisik sehingga sangat sulit untuk
diestimasi. Untuk itu, pengembangan dari metode ini, yaitu metode Muskingum-Cunge
ditujukan untuk mengatasi keterbatasan tersebut, dimana metode ini menggunakan
parameter fisik.
𝜕𝑄 𝜕𝑄 𝜕2𝑄
+𝑐 = 𝜇 2 + 𝑐𝑞𝐿
𝜕𝑡 𝜕𝑥 𝜕𝑥
Dimana c = cepat rambat gelombang, dan μ = difusitas hidraulik. Dimana cepat rambat
gelombang dan difusitas hidraulik dapat diekspresikan melalui persamaan berikut.
𝜕𝑄 𝑄
𝑐 = 𝜕𝐴, dan 𝜇 = 2𝐵𝑆
𝑜
Dimana B adalah lebar atas permukaan air. Untuk menyelesaikan persamaan tersebut,
pendeketan beda hingga maka persamaannya menjadi
t t t t
+ 2X − 2X + 2X 2
C1 = K C2 = K C1 = K C1 = K
t t t t
+ 2(1 − X ) + 2(1 − X ) + 2(1 − X ) + 2(1 − X )
K ; K ; K ; K
Dan parameter K yang merupakan waktu tempuh dari gelombang banjir dan X (Cunge,
1969; Ponce, 1978)
𝛥𝑥
𝐾=
𝑐
1 𝑄
𝑋 = (1 − )
2 𝐵𝑆𝑜 𝑐𝛥𝑥
Karena pemilihan Δt dan Δx sangat penting untuk menjamin keakuratan dan kestabilan
hasil, maka perlu dilakukan kalibrasi. Setelah Δt ditentukan Δx dapat ditentukan dengan:
1 𝑄0
Δ𝑥 = 𝑐Δ𝑡; dan nilai Δx dibatasi oleh Δ𝑥 < (𝑐Δ𝑡 + )
2 𝐵𝑆𝑜 𝑐
dimana:
1
Q0 : debit acuan dan dihitung berdasarkan 𝑄0 = 𝑄𝐵 + 2 (𝑄𝑝𝑒𝑎𝑘 − 𝑄𝐵 )
QB : debit aliran dasar
Qpeak : debit puncak.
• Panjang Sungai
• Kemiringan Sungai
• Koefisien Manning
• Δt dan Δx, yang dapat ditentukan secara otomatis dalam HEC-HMS
• Index: Celerity, nilai Celerity disarankan 1,5 m/s
• Bentuk dan dimensi saluran
Penelusuran banjir waduk (reservoir) didasarkan pada konsep tampungan dan disebut
sebagai penelusuran banjir secara hidrologi. Untuk reservoir tunggal, aliran masuk
tergantung pada aliran dari hulu, dimana aliran keluar dapat berupa aliran tidak terkontrol,
aliran dikendalikan atau kombinasi keduanya. Ilustrasi hubungan antara aliran masuk,
keluar dan perubahan tampungan dapat dilihat pada Gambar 7-1. Teknik penulusuran
banjir waduk didasarkan pada persamaan diferensial St. Venant dari prinsip kontinuitas.
Dikarenakan persamaan tersebut tidak dapat diselesaikan secara langsung maka untuk
dapat diselesaikan maka persamaan tersebut harus didiskritasi menjadi persamaan beda
hingga.
Gambar 7-1. Ilustrasi ilustrasi inflow, outflow dan perubahan tampungan di waduk
(Sumber: Ponce, 2014)
Persamaan di atas dapat diselesaikan dengan beberapa metode analisis atau dengan
metode numerik. Pendekatan metode numerik biasanya dipilih karena biasanya input
dalam analisis berupa hidrograf inflow yang mudah dibuat menjadi numerik. Penyelesaian
dilakukan dengan melakukan diskretisasi persamaan penelusuran banjir seperti
ditunjukkan pada Gambar 7-2.
Gambar 7-2. Ilustrasi diskretasi persamaan penulusuran banjir waduk (Sumber: Ponce,
2014)
Keempat kurva hubungan dapat ditentukan dari beberapa input. Dalam HEC-HMS yang
diperlukan untuk melakukan analisis penelusuran banjir adalah sebagai berikut:
• Kurva elevasi-tampungan
• Kurva elevasi-aliran keluar (dijelaskan pada Sub-bab 7.3)
• Hidrograf inflow debit banjir
𝑄 = 𝐾𝐻 𝑛
Gambar 7-3. Ilustrasi perhitungan aliran melalui ambang (Sumber: Marriott, 2016)
Hampir seluruh pelimpah adalah berbentuk ambang lebar dengan dinding samping
membentuk segi empat seperti ilustrasi pada Gambar 7-3. Persamaan aliran melalui
bangunan pengeluaran dengan bentuk segi empat adalah:
3
𝑄 = 𝐶𝑑 𝐵 𝐻 2
dimana:
Q : debit melalui bangunan pengeluaran/pelimpah (m3/s)
B : lebar pelimpah (m)
H : tinggi mercu pelimpah hingga muka air (m)
Cd : Koefisien debit yang bergantung terhadap bentuk mercu. Untuk mercu ambang
lebar tanpa lengkung pada bagian mercu, biasanya diambil nilai Cd 1,7. Untuk
mercu ogee, biasanya diambil nilai Cd 2,2.
𝑃1 𝑣1 2 𝑃2 𝑣2 2
ℎ+ + =0+ + + 𝑘𝑒ℎ𝑖𝑙𝑎𝑛𝑔𝑎𝑛 𝑎𝑖𝑟
𝜌𝑔 2𝑔 𝜌𝑔 2𝑔
dengan tekanan pada titik 1 dan 2 adalah sama, dan v1 mendekati nol, maka kecepatan
aliran melalui bangunan pengeluaran adalah:
𝑣 = √2𝑔ℎ
Persamaan kecepatan di atas disebut dengan theori Torricelli. Debit aliran melalui
bangunan pengeluaran dengan ilustrasi digambarkan pada Gambar 7-4, dengan
persamaan debit sebagai berikut:
𝑄 = 𝐶𝑑 𝑎 𝑏 √2𝑔ℎ
dimana:
Q : debit melalui bangunan pengeluaran (m3/s)
a : tinggi bukaan pintu (m)
b : lebar pintu (m)
H : tinggi dari dasar pintu hingga muka air (m)
Cd : Koefisien debit, biasanya antara 0,6 sampai 0,8
Dalam model HEC-HMS, pelimpah atau bangunan pengeluaran lain dari waduk dapat
dimodelkan sebagai menggunakan dua input, yakni sebagai hubungan antara elevasi-
outflow dengan perhitungan dilakukan secara terpisah atau menggunakan perhitungan
yang disediakan. Program HEC-HMS 4.8 masih tidak dapat mengakomodasi operasi pintu
dengan bukaan yang bervariasi dalam suatu simulasi, sehingga untuk memodelkan bukaan
pintu diperlukan analisis menggunakan excel atau menggunakan program lain seperti HEC-
RAS. Sementara untuk sebagian besar kasus dimana pelimpah merupakan ambang lebar
tanpa pintu, input adalah berupa:
BAB 8
EVALUASI KAPASITAS PELIMPAH DAN
TINGGI JAGAAN
Syarat kapasitas pelimpah dalam bendungan ditentukan mengikuti SNI 3432:2020. SNI
3432: 2020 ditujukan untuk menetapkan periode ulang dalam analisis penelusuran banjir.
Beberapa hal utama yang perlu diperhatikan dalam penentuan periode ulang adalah
(Badan Standardisasi Nasional, 2020):
Bendungan lama atau baru ditentukan dari apakah bendungan direncanakan sebelum atau
sesudah dikeluarkannya SNI 3432:1994. Sebelum adanya SNI 3432:1994, tidak ada aturan
yang mewajibkan pelimpah bendungan direncanakan menggunakan banjir maksimum
boleh jadi (BMBJ/PMF). Bendungan dikategorikan sebagai bendungan baru apabila
bendungan tersebut dibangun setelah terbitnya SNI 3432:1994 dan mendesain kapasitas
pelimpahnya menggunakan PMF.
Faktor volume tampungan waduk tidak dimasukkan dalam pertimbangan ketentuan tipe,
ukuran dan tinggi bendungan untuk penyederhanaan dari variasi volume tampungan yang
sangat besar.
Salah satu pertimbangan dalam menentukan periode ulang banjir desain bendungan
adalah konsekuensi daerah hilir yang meliputi tingkat konsekuensi, keberadaan cagar
budaya, cagar alam, dan kerugian ekonomi. Tingkat konsekuensi daerah hilir dibagi
berdasarkan jumlah penduduk yang terkena risiko banjir akibat keruntuhan bendungan,
yaitu:
Tingkat konsekuensi besar, bila pada daerah genangan banjir terdapat permukiman
penduduk dan/atau kegiatan sosial dan ekonomi, baik yang sudah berkembang
maupun yang akan dibangun, tempat sekelompok orang berkumpul, yang berpotensi
menjadi korban ketika terjadi keruntuhan bendungan. Konsekuensi besar terdiri atas
dua kelas bahaya, yaitu:
a. Kelas bahaya sangat tinggi
b. Kelas bahaya tinggi
Tingkat konsekuensi kecil, bila tidak terdapat atau terdapat sedikit rumah penduduk,
dan atau daerah usaha dan industri. Konsekuensi kecil terdiri atas dua kelas bahaya,
yaitu:
a. Kelas bahaya sedang
b. Kelas bahaya rendah
Kondisi awal (initial condition) merupakan faktor yang sangat penting dalam menentukan
besarnya kapasitas pelimpah. Kapasitas pelimpah pada bendungan urukan ditetapkan
berdasarkan hasil analisis penelusuran banjir desain yang dimulai pada kondisi muka air
waduk normal atau pada elevasi puncak mercu pelimpah untuk bendungan tanpa pintu.
Untuk bendungan dengan pelimpah berpintu kondisi awal routing dimulai dari elevasi muka
air normal yang ditentukan pada operasi. Untuk bendungan kombinasi (bendungan tanpa
pintu dan berpintu), penelusuran banjir dimulai pada elevasi puncak mercu pelimpah tanpa
pintu.
Kapasitas pelimpah total pada bendungan besar tipe urukan ditentukan minimum 35% dari
banjir desain. Sedangkan untuk bendungan kecil tipe urukan tidak ada batas minimum.
Kapasitas pelimpah total bendungan tipe beton adalah sama untuk semua ukuran
bendungan dan tinggi bendungan ditentukan sebesar 1,25 x Q100. Tubuh bendungan tipe
beton dapat terlimpasi dengan ketinggian tertentu dan lama banjir tertentu, sepanjang tidak
menggerus tumpuan bendungan.
Jagaan disediakan pada bendungan dengan tujuan untuk mencegah terjadinya peluapan
lewat puncak bendungan (overtopping), yang sama sekali tidak diperbolehkan untuk
bendungan urukan. Berdasarkan Pedoman Kriteria Umum Desain Bendungan Besar, tinggi
jagaan bendungan harus memperhatikan 5 faktor, yaitu:
Kebutuhan tinggi jagaan ditetapkan pada tiga kondisi, yakni pada kondisi muka air normal,
pada kondisi banjir periode ulang 1000 tahun atau 0,5 PMF, dan kondisi banjir maksimum
PMF.
𝐻1 = (0,75 𝐻𝑤 + 𝐻𝑠 + 𝐻𝑟 + 𝐻𝑒 + ℎ𝑢) + ℎ𝑐
𝐻2 = (0,75 𝐻𝑤 + 𝐻𝑠 + 𝐻𝑟 + ℎ𝑢) + ℎ𝑐
Keterangan:
Hw = tinggi gelombang akibat angin
Hs = peningkatan tinggi muka air akibat angin (wind set-up)
Hr = tinggi rayapan gelombang (wave run-up)
He = tinggi gelombang akibat gempa
hu = tinggi cadangan ketidakpastian, biasanya antara 0,5 sampai 1 m
hc = tinggi cadangan akibat konsolidasi
REFERENSI
Badan Standardisasi Nasional. (2016). SNI 2415:2016 - Tata cara perhitungan debit banjir
rencana.
Badan Standardisasi Nasional. (2020). SNI 3432:2020 - Tata cara penetapan banjir desain
dan kapasitas pelimpah untuk bendung.
Cabrera, J. (2009). Calibración de Modelos Hidrológicos. Imefen.Uni.Edu.Pe, 1, 1–7.
http://www.imefen.uni.edu.pe/Temas_interes/modhidro_2.pdf
D. N. Moriasi, J. G. Arnold, M. W. Van Liew, R. L. Bingner, R. D. Harmel, & T. L. Veith.
(2007). Model Evaluation Guidelines for Systematic Quantification of Accuracy in
Watershed Simulations. Transactions of the ASABE, 50(3), 885–900.
https://doi.org/10.13031/2013.23153
Ditzler, C., Scheffe, K., & Monger, H. C. (2017). Soil Survey Manual: Soil Science Division
Staff (Issue 18). Goverment Printing Office.
Legates, D. R., & McCabe, G. J. (1999). Evaluating the use of “goodness-of-fit” measures
in hydrologic and hydroclimatic model validation. Water Resources Research, 35(1),
233–241. https://doi.org/10.1029/1998WR900018
Marriott, M. (2016). Nalluri And Featherstone’s Civil Engineering Hydraulics: Essential
Theory with Worked Examples. John Wiley & Sons. https://doi.org/10.1007/978-3-642-
41714-6_32044
Ponce, V. M. (2014). Engineering Hydrology, Principles and Practices.
Ramadan, A. N. A., Adidarma, W. K., Riyanto, B. A., & Windianita, K. (2018). Penentuan
hydrologic soil group untuk perhitungan debit banjir Di Daerah Aliran Sungai Brantas
Hulu. Jurnal Sumber Daya Air, 13(2), 69–82. https://doi.org/10.32679/jsda.v13i2.205
Rawls, W. J., Brakensiek, D. L., & Miller, N. (1983). Green‐ampt Infiltration Parameters from
Soils Data. Journal of Hydraulic Engineering, 109(1), 62–70.
https://doi.org/10.1061/(asce)0733-9429(1983)109:1(62)
Scharffenberg, B., Bartles, M., Brauer, T., Fleming, M., & Karlovits, G. (2018). Hydrologic
Modeling System User ’s Manual. In US Army Corps of Engineers (Issue September).
USDA-NRCS. (2010). Chapter 15, Time of Concentration. In National Engineering
Handbook Part 630 (pp. 1–15).