Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perkembangan industri semakin meningkat dari masa ke masa, salah satunya adalah
industri batik yang merupakan karya seni budaya bangsa Indonesia yang telah turun-
temurun dan telah ditetapkan sebagai salah satu warisan budaya asli Indonesia oleh
UNESCO. Dampak positif dari perkembangan industri batik memacu berbagai daerah di
Indonesia untuk turut berkontribusi melestarikan dan memperkaya keberagaman jenis
batik. Salah satunya Kabupaten Lebak sejak tahun 2016 telah menciptakan motif batik
yang digali dari berbagai potensi wilayah baik seni, budaya dan adat istiadat masyarakat
baduy, kasepuhan Lebak Selatan serta potensi sumber daya alam dan kekayaannya
(Disperindag Kabupaten Lebak, 2021).
Industri batik yang berada di Kabupaten Lebak tergolong kategori Industri Kecil
Menengah (IKM) yang menjadi mata pencaharian masyarakat. Sehingga sebagian besar
industri batik tidak melakukan pengolahan limbah terlebih dahulu dan langsung
membuangnya ke saluran air. Padahal industri batik dalam proses produksinya
menghasilkan limbah cair yang jumlahnya mencapai 80% dari seluruh jumlah air yang
dipergunakan dalam proses pembatikan (Watini, 2019). Jika tidak dilakukan upaya
pengolahan limbah batik sebelum dibuang ke badan air, dalam jangka panjang dapat
mencemari lingkungan dan menurunkan kualitas lingkungan.
Proses pembuatan batik meliputi persiapan, pemolaan, pemalaman, pewarnaan dan
pelorodan (Apriyani, 2020). Proses pewarnaan merupakan salah satu proses yang sangat
penting dan tidak mungkin ditinggalkan. Proses ini menggunakan pewarna tekstil yang
menghasilkan limbah dan dapat mencemari lingkungan. Bahan-bahan kimia yang
digunakan dalam proses pewarnaan antara lain zat warna asam, zat warna basa, zat warna
direk, zat warna reaktif, zat warna naftol dan zat warna bejana (Kurniawan dkk., 2013).
Setelah proses pewarnaan selesai, akan dihasilkan limbah cair yang berwarna keruh dan
pekat. Biasanya warna air limbah tergantung pada zat warna yang digunakan.
Pada umumnya limbah cair tekstil mengandung konsentrasi logam berat Cr, Zn, Pb
Ni dan bahan halogen organik yang cukup tinggi (Birame, 2021). Penelitian Indrayani
(2018) memaparkan bahwa dalam limbah cair industri batik mengandung logam Krom
(Cr), Besi (Fe) dan Alumunium (Al). Logam krom yang ditemukan tergolong karsinogenik.
Apabila terpapar dalam tubuh dalam jumlah tertentu krom dapat menyebabkan kanker

1
paru-paru, kerusakan hati (liver) dan ginjal. Kontak fisik antara krom dengan kulit dapat
menyebabkan iritasi dan jika tertelan dapat menyebabkan sakit perut dan muntah (Natalina
& Firdaus, 2017). Logam kromium juga berdampak pada penurunan kualitas air dan
mengganggu organisme akuatik yang dapat berdampak pada kematian organisme
(Setiyono dan Gustaman, 2017).
Upaya yang dilakukan untuk mengatasi dan meninimalisir dampak negatif
pencemaran limbah cair industri batik adalah dengan melakukan pengolahan terlebih
dahulu. Alternatif pengolahan limbah cair dapat dilakukan dengan cara filtrasi dan
fitoremediasi. Metode filtrasi digunakan untuk membantu menghilangkan pencemar yang
ada di dalam air atau mengurangi kadar pencemar air sehingga layak untuk dibuang ke
badan air (Poernomo dkk, 2020). Filtrasi adalah proses pengolahan secara fisika dengan
memisahkan zat padat dari cairannya dengan menggunakan alat berpori (penyaring)
dengan memanfaatkan gaya-gaya fisika dengan sistem gravitasi.
Sementara untuk mereduksi kadar logam berat dalam limbah cair dapat dialkukan
dengan fitoremediasi. Fitoremediasi merupakan salah satu alternatif pengolahan limbah
yang efektif, mudah diterapkan dan ekonomis. Fitoremediasi merupakan penggunaan
tanaman untuk menghilangkan, memindahkan, menstabilkan atau menghancurkan bahan
pencemar baik itu senyawa organik maupun anorganik. Konsep fitoremediasi memusatkan
pada tumbuhan sebagai teknologi lingkungan hidup yang mampu menyelesaikan masalah
lingkungan secara alami (Mangkoedihardjo dan Samudro, 2010). Tumbuhan banyak
digunakan untuk mengolah air buangan karena mampu mengolah air buangan dengan
tingkat efisiensi yang tinggi.
Proses pengolahan limbah batik dapat dilakukan dengan menggunakan metode
filtrasi dan fitoremediasi atau menggabungkan kedua metode agar hasil yang diperoleh
menjadi lebih optimal. Sehingga diharapkan teknik kombinasi filtrasi dan fitoremediasi
merupakan alternatif solusi yang ideal untuk diterapkan pada industri batik skala kecil dan
menengah karena mudah dilakukan dan tidak memerlukan biaya yang besar.
Eceng gondok (Eichorrnia crassipes) merupakan tanaman gulma yang tumbuh di atas
permukaan air. Populasi eceng gondok dapat dijumapi bebas di berbagai perairan. Eceng
gondok mempunyai kemampuan adaptasi lingkungan yang baik sehingga banyak
dimanfaatkan sebagai media alami untuk mengolah limbah organik maupun non organik.
Sifat akumulatif logam berat oleh eceng gondok tersebut dapat dimanfaatkan sebagi
penyerap logam berat untuk mengurangi pencemaran logam berat di perairan. Eceng
gondok efektif menyerap Cr (36,48%) pada limbah cair di laboratorium (Djo, 2017) dan
2
efefktif menyerap Cr6+ (37,57%) pada limbah industri pelapisan logam (Herdina, 2018).
Selain itu menurut penelitian Puspita (2013) eceng gondok efektif (49,56%) menurunkan
Cr pada limbah batik dengan lama waktu pemaparan 9 hari.
Pasir kuarsa yang dikenal juga dengan nama pasir putih merupakan hasil pelapukan
batuan yang mengandung mineral utama, seperti kuarsa dan feldspar. Pasir kuarsa
merupakan silika alami jenis batuan tinggi, dipakai sebagai media filter dengan ukuran
tertentu yang dinyatakan oleh ukuran efektif dan koefisien keseragaman. Pasir kuarsa
biasanya digunakan baik sebagai media tunggal atau ganda (Murniati dan Muljadi, 2013).
Pasir kuarsa juga sering digunakan untuk pengolahan air kotor menjadi air bersih. Fungsi
ini baik untuk menghilangkan sifat fisiknya seperti kekeruhan, atau lumpur dan bau. Pasir
kuarsa umumnya digunakan sebagai saringan pada tahap awal (Suryani, dkk. 2012). Pasir
kuarsa juga dapat digunakan sebagai adsorben terutama untuk mengikat logam-logam berat
terutama masalah pencemaran lingkungan (Susanti, 2015). Menurut data dari Dinas
Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Banten tahun 2019 bahwa pasir kuarsa
merupakan salah satu potensi unggulan bahan galian non logam di Kabupaten Lebak.
Sehingga hal ini menjadi peluang untuk memanfaatkan potensi alam yang mudah
didapatkan untuk mengolah limbah batik.
Berdasarkan hal tersebut, dilakukan penelitian untuk mengetahui perbandingan
perbedaan fitoremediasi tanaman eceng gondok (Eichoria crassipes) dan filtrasi pasir
kuarsa dalam menurunkan konsentrasi krom (Cr) terhadap limbah pewarnaan batik.

1.2 Rumusan Masalah


Rumusan masalah pada penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimanakah pengaruh fitoremediasi tanaman eceng gondok (Eichoria crassipes) dan
filtrasi pasir kuarsa terhadap penurunan kadar logam krom (Cr) pada limbah pewarnaan
batik?
2. Berapa efisiensi fitoremediasi tanaman eceng gondok (Eichoria crassipes) dan filtrasi
pasir kuarsa terhadap penurunan kadar logam krom (Cr) pada limbah pewarnaan batik?
3. Bagaimanakah perbedaan fitoremediasi tanaman eceng gondok (Eichoria crassipes) dan
filtrasi pasir kuarsa terhadap penurunan kadar logam krom (Cr) pada limbah pewarnaan
batik?
1.3 Batasan penelitian
Batasan masalah dalam penelitian ini antara lain sebagai berikut :

3
1. Limbah batik yang digunakan adalah limbah batik yang dihasilkan oleh IKM Batik
Chanting Pradana di Desa Bojongleles Kecamatan Cibadak Kabupaten Lebak Provinsi
Banten.
2. Fitoremediator yang digunakan yaitu tanaman eceng gondong (Eichoria crassipes) dan
media filtrasi yang digunakan yaitu pasir kuarsa.
3. Parameter yang diukur yaitu kadar krom total (Cr-T) dalam limbah pewarnaan batik
sebelum dan setelah perlakuan.
1.4 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah
1. Menentukan pengaruh fitoremediasi tanaman eceng gondok (Eichoria crassipes) dan
filtrasi pasir kuarsa terhadap penurunan kadar logam krom (Cr) pada limbah pewarnaan
batik.
2. Mengetahui efisiensi fitoremediasi tanaman eceng gondok (Eichoria crassipes) dan
filtrasi pasir kuarsa terhadap penurunan kadar logam krom (Cr) pada limbah pewarnaan
batik.
3. Mengatahui pengaruh perbedaan fitoremediasi tanaman eceng gondok (Eichoria
crassipes) dan filtrasi pasir kuarsa terhadap penurunan kadar logam krom (Cr) pada
limbah pewarnaan batik?
1.5 Manfaat penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah:
1. Memberikan rekomendasi alternatif pengolahan limbah produksi batik menggunakan
proses fitoremediasi menggunakan tanaman eceng gondok (Eichoria crassipes) dan
filtrasi pasir kuarsa terhadap penurunan kadar logam krom (Cr).
2. Memberikan pengetahuan mengenai metode pengolahan fitoremediasi menggunakan
tanaman eceng gondok (Eichoria crassipes) dan filtrasi pasir kuarsa terhadap penurunan
kadar logam krom (Cr).
3. Menjadi referensi dasar untuk penelitian selanjutnya.
1.6 Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2 Rumusan Masalah
1.3 Batasan Masalah
1.4 Tujuan Penelitian
4
1.5 Manfaat Penelitian
1.6 Sistematika Penulisan
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB III METODELOGI PENELITIAN
3.1 Lokasi dan Waktu
3.2 Bahan dan Alat
3.3 Prosedur Penelitian
3.4 Diagram Alir Penelitian
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Bahan dan Proses Produksi Batik
Batik adalah salah satu kerajinan budaya Indonesia yang memiliki nilai seni tinggi
dan menjadi bagian dari budaya Indonesia khususnya Jawa (Yusak dan Adi, 2011).
Produksi batik merupakan rgani pembuatan motif atau pola dengan cara perintangan
menggunakan lilin atau malam batik (Suheryanto, 2012). Bahan yang digunakan dalam
proses pembatikan secara umum yaitu kain (mori), malam (lilin) dan pewarna tekstil. Kain
merupakan media pembuatan batik yang nantinya akan diberi pola atau motif denggan
menggunakan lilin.
Pewarnaan dalam produksi batik dilakukan untuk menambah nilai estetika dan nilai
jual produk batik. Untuk melakukan proses pewarnaan ini tentu diperlukan penambahan zat
pewarna. Zat pewarna yang digunakan dalam rganic batik dapat berupa zat pewarna alami
maupun zat pewarna buatan atau sintetis. Berdasarkan sumber diperolehnya zat warna
tekstil dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu zat warna alami dan zat warna sintetis. Menurut
Radjasa (2017) zat warna sintetis adalah zat buatan berbahan kimia dan dapat digunakan
dalam suhu yang tidak merusak lilin. Sedangkan zat warna alami adalah zat yang diperoleh
dari alam yng berasal dari hewan (lac dyes) ataupun tumbuhan seperti dari akar, batang,
daun, kulit, dan bunga. Warna pada batik mempergunakan zat warna tekstil dan tidak
semua jenis zat warna tekstil dapat dipergunakan memberi warna pada batik. Namun
kondisi lapangan menunjukan bahwa kebanyakan dari rganic batik menggunakan zat
pewarna sintetis dalam proses produksinya. Pemakaian zat pewarna sintetis ini dinilai lebih
efisien, efektif dan ekonomis dibandingkan dengan penggunaan zat pewarna alami
(Surahman et al., 2017). Penggunaan pewarna yang berlebihan dan dibuang ke badan
perairan tanpa diolah terlebih dahulu mengakibatkan air menjadi tercemar. Indikator fisik
yang dapat dilihat pada pencemaran air yaitu adanya perubahan warna dan minyak pada
perairan.
Pewarna sintetis merupakan jenis zat warna yang dibuat menurut reaksi-reaksi
kimia tertentu sehingga sifatnya lebih stabil dan mudah digunakan. Pewarna sintetis untuk
kain tekstil terdapat banyak jenisnya, namun hanya beberapa yang dapat digunakan dalam
pewarnaan batik. Hal tersebut karena terdapat perlakuan khusus yang dinyatakan kurang
efisien. Berikut merupakan zat warna sintetis yang banyak digunakan untuk pewarnaan
batik antara lain:
a. Zat warna napthol
6
Zat warna napthol terdiri atas dua unsur yaitu AS (Anilid Acid) sebagai dasar warna
dan garam golongan diazonium sebagai pembangkit warna. Zat warna napthol pada
dasarnya tidak larut dalam air, sehingga diperlukan zat pembantu kostik soda untuk
melarutkannya.
b. Zat warna indigosol
Zat warna indigosol merupakan jenis zat warna bejana yang larut dalam air dan
berwarna jernih. Dalam penggunaannya harus dicampur bersama sejumlah bahan lain
seperti TRO, Nitrit dan HCl. Larutan tersebut digunakan untuk membangkitkan warna
indigosol. Ketahanan luntur dari zat warna indigosol dikatakan baik berwarna cerah dan
merata. Warna yang timbul dari indigosol cenderung warna pastel. Jenis pewarna indigosol
antara lain indigosol yellow, indigosol yellow JGK, indigosol orange HR, indigosol pink
IR, indigosol violet ARR, indigosol violet 2R, indigosol green IB, indigosol blue 0 4 B,
indigosol grey IBL, indigosol brown IBR, indigosol brown IRRD, indigosol violet IBBF.
c. Zat warna remasol
Zat warna remasol bersifat larut dalam air. Warna yang timbul cederung terang dan
briliant dengan ketahanan luntur yang baik serta daya afinitasnya rendah. Dalam
memperbaiki sifat pada pewarnaan batik, dapat diatasi dengan teknik kuwasan. Sebelum
dilakukan proses difiksasi menggunakan natrium silikat. Kain yang menggunakan pewarna
remasol direndam selama satu malam untuk mendapatkan hasil terbaik.
d. Zat warna rapid
Zat warna rapid diperoleh dari campuran antara napthol dan garam diazonium yang
distabilkan. Zat warna rapid hatus difiksasi dengan asam sulfat atau asam cuka supaya
memunculkan warna yang cerah. Zat warna rapid pada prinsipnya hanya bisa digunakan
untuk pewarnaan batik coletan dengan alat dari rotan atau kuas pada motifnya.
Teknik pembuatan batik meliputi tiga pekerjaan utama, yaitu pelekatan lilin pada
media atau kain, pewarnaan, dan pelorodan (Suheryanto, 2015). Skema proses pembuatan
batik berdasarkan Suprihatin (2014) dapat dilihat pada Gambar 1. Langkah-langkah dalam
pembuatan batik adalah:
a) Pemolaan
Proses yang dilakukan berupa penempelan malam sebagai bahan utama perintang batik
ke mori. Mori yang telah dibuat polanya kemudian dimalam dengan canting tulis
maupun canting cap. Pada umumnya pelekatan lilin ini menggunakan alat yang disebut
dengan canting. Adapula cara pembatikan lainnya adalah dengan menggunakan cap
yang telah terbentuk pola.
7
Kain mori

Pemolaan

Pencelupan/Pewarnaan Menghasilkan limbah


cair
Pencantingan

Pelorodan

Batik

Gambar 1. Skema Proses pembuatan Batik (Suprihatin, 2014)


b) Pewarnaan atau pencelupan
Motif batik yang telah dicap ataupun ditulis dengan lilin malam merupakan gambaran
atau motif dari batik yang akan dibuat. Proses selanjutnya pemberian warna sehingga
pada tempat yang terbuka menjadi berwarna, sedangkan tempat yang ditutup lilin tidak
terkena warna yang diwarnai. Proses pewarnaan ini dilakukan dengan cara pencelupan
air pewarna yang diberi warna.
c) Pelorodan atau penghilangan lilin
Pelorodan adalah proses penghilangan lilin malam yang menempel pada kain mori.
Menghilangkan lilin malam pada batik dapat bersifat menghilangkan rganic atau
menghilangkan keseluruhan lilin malam. Menghilangkan rganic atau setempat adalah
melepas lilin malam pada tempat-tempat tertentu dengan cara mengerok dengan alat
sejenis pisau. Pelorodan yang dilakukan diakhir disebut mbabar atau ngebyok.
Pelepasan lilin dilakukan dengan air panas. Lilin akan meleleh dalam air panas sehingga
terlepas dari kain. Proses pelorodan bisa dikatakan berhasil apabila semua lilin dapat
larut serta tidak mempengaruhi warna dan kekuatan kain . Proses pembuatan batik dapat
dilihat pada Gambar 2.

8
Gambar 2. Proses Pembuatan Batik
Sumber : Dokumentasi hasil survey (Batik Chanting Pradana)

2.2 Limbah Batik


Menurut Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia
Nomor P.16/MENLHK/SETJEN/KUM.1/4/2019 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan
Menteri Lingkungan Hidup Nomor 5 Tahun 2014 tentang Baku Mutu Air Limbah
menyebutkan bahwa air limbah yang bersumber dari usaha dan/atau kegiatan rganic tekstil
berpotensi mencemari media air sehingga perlu diterapkan baku mutu air limbah sebelum
dibuang ke media air. Limbah cair atau air buangan merupakan air yang tidak dapat
dimanfaatkan lagi serta dapat menimbulkan dampak yang buruk terhadap manusia dan
lingkungan (Husni et. Al., 2012). Air limbah yang dibuang ke lingkungan akan mengalami
dekomposisi secara alami yang dilakukan oleh mikroorganisme baik rganic yang terdapat
dalam air limbah dapat menjadi bahan yang stabil dan diterima oleh lingkungan, namun
alam memiliki keterbatasan dalam melakukan proses tersebut apabila jumlah limbah yang
dibuang melebihi kemampuannya hal tersebut akan menimbulkan masalah lingkungan.
Industri batik menghasilkan limbah cair rganic dalam volume yang besar, warna
yang pekat, berbau menyengat, serta memiliki suhu, keasaman (pH), BOD, COD, TSS,
serta logam krom (Cr) yang tinggi. Hal ini dikarenakan penggunaan bahan kimia dan zat
warna dalam proses produksi. Kontaminan tersebut berbahaya apabila langsung dibuang ke
lingkungan tanpa adanya proses pengolahan sebelumya (Kurniawan et. Al, 2013).
Terutama logam krom (Cr) termasuk ke dalam senyawa kimia yang bersifat persisten,
bioakumulatif dan toksik yang tinggi serta tidak mampu terurai dalam lingkungan dan
akhirnya diakumulasi dalam tubuh manusia melalui rantai makanan (Palar, 2008).
2.3 Karakteristik Limbah Industri Batik
9
Air limbah batik pada umumnya bersifat basa dan memiliki kadar rganic yang
tinggi akibat sisa proses pembatikan. Pada proses pewarnaan diindikasikan menjadi beban
pencemar yang paling tinggi hal ini tergantung dari pilihan zat warna yang akan digunakan
dan seberapa banyak batik yang diproduksi. Zat warna termasuk ke dalam senyawa rganic
kompleks yang biasanya sukar untuk terdegradasi. Kandungan Zn dan logam berat seperti
Cr atau Cu biasanya terdapat pada zat warna naphtol (Eskani et al., 2005) Zat rganics
umumnya didesain untuk memiliki tingkatan kimia yang tinggi untuk menahan kerusakan
akibat oksidatif yang berasal dari cahaya matahari (Manurung, 2004). Karakteristik air
limbah ini dapat digolongkan menjadi tiga macam, yaitu :
a) Karakteristik Fisik
Karakteristik fisik air limbah meliputi rganicsm, bau, warna, dan padatan. Temperatur
menunjukkan derajat atau tingkat panas air limbah yang ditunjukkan kedalam skala.
Suhu dapat mempengaruhi kadar Dissolved Oxygen (DO) dalam air. Kenaikan rganicsm
sebesar 10oC dapat menyebabkan penurunan kadar oksigen sebesar 10% dan akan
mempercepat rganicsm 2 kali lipat. Adanya bau yang lain pada air limbah, menunjukkan
adanya komponen-komponen lain di dalam air tersebut. Warna biasanya disebabkan
oleh adanya materi dissolved, suspended, dan senyawa-senyawa koloidal, yang dapat
dilihat dari spektrum warna yang terjadi. Padatan yang terdapat di dalam air limbah
dapat diklasifikasikan menjadi floating, settleable, suspended atau dissolved, berbau
menyengat, dan kontaminan akan membuat air menjadi keruh. Timbulnya gejala
tersebut secara mutlak dapat dipakai sebagai salah satu tanda terjadinya tingkat
pencemaran air yang cukup tinggi (Wardhana, 2001).
b) Karakteristik kimia
Karakteristik Kimia, meliputi Chemical Oxygen Demand (COD), pH, dan DO dan krom
(Cr). Kromium (Cr) adalah salah satu logam berat yang dapat mencemari air.
Keberadaan kromium di perairan dapat menyebabkan penurunan kualitas air serta
membahayakan penurunan kualitas air serta membahayakan lingkungan dan organisme
akuatik. Dampak yang ditimbulkan bagi organisme akuatik yaitu terganggunya
rganicsm tubuh akibat terhalangnya kerja enzim dalam proses fisiologis. Kromium
dapat menumpuk dalam tubuh dan bersifat kronis yang akhirnya mengakibatkan
kematian akuatik. Logam kromium (Cr) merupakan logam berat yang bersifat toksik.
Sifat toksik yang dibawa oleh logam ini dapat mengakibatkan terjadinya keracunan akut
dan keracunan kronis (Listiana, 2013).
c) Karakteristik Biologis
10
Mikroorganisme ditemukan dalam jenis yang sangat bervariasi rgani dalam semua
bentuk air limbah, biasanya dengan konsentrasi 105-108 organisme/mL. Keberadaan
bakteri dalam unit pengolahan air limbah merupakan kunci efisiensi proses biologis.
Bakteri juga berperan penting untuk mengevaluasi kualitas air (Purwaningsih, 2008).
Industri batik menghasilkan limbah cair dengan kandungan rganic yang besar,
warna yang pekat, berbau menyengat dan memiliki suhu yang tinggi. Nilai keasaman (pH),
Biochemical Oxygen Demand (BOD) dan Chemical Oxygen Demand (COD yang
dihasilkan juga tinggi (Kurniawan dkk., 2013).
Berdasarkan beberapa penelitian terdahulu diperolah kandungan krom (Cr) total
dalam limbah cair batik sebagai berikut :

Tabel 2.1 Kadar Krom (Cr) Total Limbah Cair Batik

No Hasil Kadar Baku Mutu Sumber


Krom (mg/l) (mg/l)
1 14,37 1 Wahyu, Ratnaningtyas dkk,. 2014. Kandungan
Krom Pada Limbah Cair Batik dan Air Sumur
Disekitar Industri Batik UD Timur.
2. 1,53 1 Nugroho, Pratama Aji. 2021. Efektivitas Eceng
Gondok Sebagai Fitoremediator Logam Krom
Heksavalen Pada Limbah Cair Industri Batik di
Yogyakarta.

Sedangkan berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan


Republik Indonesia Nomor P.16/MENLHK/SETJEN/KUM.1/4/2019 tentang Perubahan
Kedua Atas Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 5 Tahun 2014 tentang Baku
Mutu Air Limbah dapat dilihat pada table 2.2.
Tabel 2.2 Baku Mutu Air Limbah Bagi Usaha dan/atau Kegiatan Industri Tekstil

No Parameter Kadar Maksimum Satuan


1 pH 6-9 -
4 Krom Total 1 mg/L
Sumber : Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia
Nomor P.16/MENLHK/SETJEN/KUM.1/4/2019

11
2.4 Dampak Limbah Pewarnaan Batik
Industri batik termasuk dalam industri tekstil yang paling banyak menggunakan air
dalam proses produksinya. Limbah cair yang dihasilkan mencapai 80% dari seluruh jumlah
air yang dipergunakan dalam produksi. Kegiatan industri batik menghasilkan limbah cair
yang berasal dari obat pemutih dan obat pewarna batik yang dapat menyebabkan
pencemaran. Hal ini disebabkan karena limbah hasil produksi tersebut langsung dibuang ke
sungai ataupun saluran drainase sekitar. Adapun limbah yang dihasilkan oleh industri batik
di wilayah Jetis, Sidoarjo tidak dilakukan pengolahan, tetapi langsung dibuang ke Sungai
Jetis Sidoarjo (Suprihatin, 2014). Limbah cair ini akan memberikan dampak negatif
terhadap lingkungan dan menyebabkan penurunan kualitas air.
Kandungan limbah batik yang terdiri dari pH, BOD, TSS, dan COD dan logam
berat yang tinggi akan membahayakan lingkungan. Keadaan ini dapat menyebabkan
penurunan kualitas air dan organisme akuatik (Susanti dan Henny, 2008). Suhu yang tinggi
mengakibatkan kandungan oksigen terlarut atau Dissolved Oxygen (DO) dalam air
menurun dan membunuh organisme. Keadaan ini akan mengganggu keseimbangan
ekosistem air. Dampak yang ditimbulkan bagi organisme akuatik yaitu terganggunya
metabolisme tubuh akibat terhalangnya kerja enzim dalam proses fisiologis (Palar, 2008).
Kandungan limbah organik akan meningkatkan kandungan nitrogen menjadi senyawa
nitrat yang menyebabkan bau busuk pada perairan.
Beberapa jenis zat warna yang berasal dari proses pencucian kain batik juga
mengandung logam berat. Efek negatif lain dari pewarna kimiawi dalam proses pewarnaan
yang dirasakan oleh pengrajin batik adalah risiko terkena kanker kulit (Sastrya, 2015).
Selain itu dampak yang dapat ditimbulkan akibat zat warna ini seperti iritasi kulit, mata,
hingga dapat menyebabkan terjadinya mutase. Logam berat juga menyebabkan ulkus pada
hidung dan kulit, hiperpigmentasi pada kulit, dan mengindikasi nekrosis tubulus ginjal
(Purwaningsih, 2008).
2.5 Logam Berat Krom (Cr)
Ion krom pertama kali ditemukan oleh Vagueline pada tahun 1797. Logam
kromium berwarna putih, kristal keras dan sangat tahan korosi, melebur pada suhu 1.093℃
sehingga sering digunakan sebagai lapisan, pelindung atau logam paduan (Koesnarpadi,
2007). Logam kromium di alam ditemukan dalam bentuk persenyawaan padat atau mineral
dengan unsur-unsur lainnya. Sebagai bahan mineral, krom paling banyak ditemukan dalam
bentuk kromit (FeCr2O4) yang berikatan dengan oksigen dan besi (Chandra &

12
Kulshreshtha, 2004). Logam berat krom biasa didapatkan pada industri gelas, metal,
fotografi, tekstil dan elektroplating. Sedangkan pada limbah industri batik dapat ditemukan
berupa zat organik, zat padat tersuspensi, fenol, kromium (Cr), warna, minyak dan lemak.
Krom pada industri bidang tekstil ditemukan dalam bentuk senyawa dikromat dan kromat
(Nurrosiah, 2014).
Krom jika berada di lingkungan bebas tanpa terkendali maka akan menjadi zat
pencemar lingkungan. Penurunan kualitas air serta menjadi ancaman lingkungan dan
organisme akuatik salah satu dampak dari adanya zat kromium di lingkungan (Susanti,
2008). Efek yang ditimbulkan dari logam berat krom terhadap kesehatan manusia
tergantung pada bagian tubuh dan dosis paparan yang terjadi. Senyawa pada krom sangat
iritan, sehingga menimbulkan ulcus yang dalam pada kulit dan selaput lendir. Inhalisi krom
dapat menimbulkan kerusakan pada tulang hidung. Krom di dalam paru-paru dapat
menimbulkan kanker (Said, 2018).
Kromium dalam tabel periodik merupakan unsur dengan nomor atom 24 dan nomor
massa 51,996. Atom tersebut terletak pada periode 4, golongan IVB. Sifat fisik krom yakni
sangat keras, mempunyai titik leleh dan didih tinggi di atas titik leleh dan titik didih unsur-
unsur transisi deretan pertama lainnya. Krom mempunyai konfigurasi elektron 1s2 , 2s2 ,
2p6 , 3s2 , 3p6 , 4s2 , dan 3d4. Bilangan oksidasi terpenting pada logam krom adalah +2, +3,
dan + 6. Bilangan tersebut digolongkan terpenting dikarenakan reaksi dan senyawa krom
yang sering ditemukan hanya menyangkut krom dengan bilangan oksidasi tersebut.
Bilangan oksidasi +2 (divalent), +3 (trivalent), dan +6 (hexavalent) adalah bilangan yang
menyatakan sifat muatan spesi tersebut ketika terbentuk dari atom-atomnya yang netral.
2.6 Filtrasi
Filtrasi adalah proses penyaringan untuk menghilangkan zat padat tersuspensi dari
air melalui media berpori. Filtrasi dapat juga diartikan sebagai proses pemisahan liquid -
liquid dengan cara melewatkan liquid melalui media berpori atau bahan-bahan berpori
untuk menyisihkan atau menghilangkan sebanyak-banyaknya butiran-butiran halus zat
padat tersuspensi dari liqud.
Filtrasi adalah suatu operasi pemisahan campuran antara padatan dan cairan dengan
melewatkan umpan (padatan + cairan) melalui medium penyaring. Proses filtarsi banyak
dilakukan di industri, misalnya pada pemurnian air minum, pemisahan kristal-kristal garam
dari cairan induknya, pabrik kertas dan lain-lain. Untuk semua proses filtrasi, umpan
mengalir disebabkan adanya tenaga dorong berupa beda tekanan, sebagai contoh adalah

13
akibat gravitasi atau tenaga putar. Secara umum filtrasi dilakukan bila jumlah padatan
dalam suspensi relatif lebih kecil dibandingkan zat cairnya (Oxtoby, 2016).
Prinsip kerja filtrasi terbagi ke dalam dua jenis yaitu filtrasi dengan aliran vertikal
dan filtrasi dengan aliran horizontal. Filtrasi dengan aliran vertikal dilakukan dengan
membagi limbah ke beberapa filter-bed (2 atau 3 unit) secara bergantian. Pembagian
limbah secara bergantian tersebut dilakukan dengan pengaturan klep (dosing) dan untuk itu
perlu dilakukan oleh operator. Karena perlu dilakukan pembagian secara bergantian
tersebut, pengoperasian sistem ini rumit hingga tidak praktis.
Sementara filtrasi dengan aliran horizontal dilakukan dengan mengalirkan limbah
melewati media filter secara horizontal. Cara ini sederhana dan praktis tidak membutuhkan
perawatan, khususnya bila di desain dan dibangun dengan baik. Filtrasi dengan aliran
vertikal dan horizontal mempunyai prinsip kerja yang berbeda. Filtrasi horizontal secara
permanen terendam oleh air limbah dan proses yang terjadi adalah sebagian aerobik dan
sebagian anaerobik. Sedangkan pada filtrasi vertikal, proses yang terjadi cenderung
anaerobik (Oxtoby, 2016).
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi efisiensi proses filtrasi diantaranya
adalah sebagai berikut :
a. Debit Filtrasi
Debit yang terlalu besar akan menyebabkan tidak berfungsinya filter secara efisien.
Sehingga proses filtrasi tidak dapat terjadi dengan sempurna, akibat adanya aliran air
yang terlalu cepat dalam melewati rongga diantara butiran media pasir. Hal ini
menyebabkan berkurangnya waktu kontak antara permukaan butiran media penyaring
dengan air yang akan disaring. Kecepatan aliran yang terlalu tinggi saat melewati
rongga antar butiran menyebabkan partikel– partikel yang terlalu halus yang tersaring
akan lolos.
b. Konsentrasi Kekeruhan
Konsentrasi kekeruhan sangat mempengaruhi efisiensi dari filtrasi. Konsentrasi
kekeruhan air baku yang sangat tinggi akan menyebabkan tersumbatnya lubang pori dari
media atau akan terjadi clogging. Sehingga dalam melakukan filtrasi sering dibatasi
seberapa besar konsentrasi kekeruhan dari air baku (konsentrasi air influen) yang boleh
masuk. Jika konsentrasi kekeruhan yang terlalu tinggi, harus dilakukan pengolahan
terlebih dahulu, seperti misalnya dilakukan proses koagulasi – flokulasi dan
sedimentasi.
c. Kedalaman Media, Ukuran dan Material
14
Tebal tipisnya media akan menentukan lamanya pengaliran dan daya saring. Media
yang terlalu tebal biasanya mempunyai daya saring yang sangat tinggi, tetapi
membutuhkan waktu pengaliran yang lama. Sebaliknya media yang terlalu tipis selain
memiliki waktu pengaliran yang pendek, kemungkinan juga memiliki daya saring yang
rendah. Demikian pula dengan ukuran besar kecilnya diameter butiran media filtrasi
berpengaruh pada porositas, laju filtrasi, dan juga kemampuan daya saring, baik itu
komposisisnya, proporsinya, maupun bentuk susunan dari diameter butiran media.
Keadaan media yang terlalu kasar atau terlalu halus akan menimbulkan variasi dalam
ukuran rongga antar butir. Ukuran pori sendiri menentukan besarnya tingkat porositas
dan kemampuan menyaring partikel halus yang terdapat dalam air baku. Lubang pori
yang terlalu besar akan meningkatkan rate dari filtrasi dan juga akan menyebabkan
lolosnya partikel halus yang akan disaring. Sebaliknya lubang pori yang terlalu halus
akan meningkatkan kemampuan menyaring partikel dan juga dapat menyebabkan
clogging (penyumbatan lubang pori oleh partikel halus yang tertahan) terlalu cepat.
2.7 Pasir Kuarsa
Indonesia memiliki potensial sumberdaya alam bahan baku pembuatan silika murni
yaitu pasir kuarsa yang melimpah dan tersebar di Indonesia. Pasir kuarsa yang ada di
Indonesia tersebar merata dengan kualitas dan ciri khas yang berbeda tergantung kondisi
daerah tersebut. Salah satu jenis pasir kuarsa yaitu pasir kuarsa silika dengan kadar SiO2
diatas 97% dengan pengotor alumina dan besi yang rendah. Pasir kuarsa jenis ini sangat
cocok untuk dikembangkan sebagai bahan baku gelas, presipitat dan pembuatan silikon
(Sulistiyono, 2004).
Pasir kuarsa yang juga dikenal dengan nama pasir putih merupakan hasil pelapukan
batuan yang mengandung mineral utama, seperti kuarsa dan feldspar. Hasil pelapukan
kemudian tercuci dan terbawa oleh air atau angin yang diendapkan di tepi-tepi sungai,
danau atau laut. Silika tidak reaktif terhadap hidrogen, khlor, brom, kebanyakan asam dan
senyawa-senyawa besi pada temperatur kamar. Silika direduksi oleh karbon dan sejumlah
logam yang bereaksi dengan oksida dasar, karbonat dan sebagainya pada temperatur tinggi
untuk menghasilkan silika. Pada umumnya, senyawa pengotor tersebut terdiri atas oksida
besi, oksida kalsium, oksida alkali, oksida magnesium, lempung dan zat organik hasil
pelapukan sisa-sisa hewan serta tumbuhan. (Fairus et al, 2009).
Pasir kuarsa digunakan sebagai adsorben terutama untuk mengikat logam-logam
berat terutama mengatasi masalah pencemaran lingkungan. Pada penelitian ini akan dikaji
studi adsorpsi vanadium dan nikel yang merupakan logam-logam transisi melalui interaksi
15
dengan pasir kuarsa sebagai adsorben. Selanjutnya proses interaksi logam vanadium dan
nikel dipelajari melalui studi desorpsi setelah proses adsorpsi. Penelitian ini diharapkan
dapat menjadi referensi dalam rangka alternatif mencari sumber adsorben alam untuk
mengatasi masalah pencemaran lingkungan oleh logam-logam berat (Lesbani, 2011).
Secara umum, pasir silika Indonesia mempunyai komposisi kimia dilihat pada tabel 2.3
(Fairus et al, 2009).
Tabel 2.3 Komposisi kimia pasir silika
Komposisi Kadar (%)
SiO2 55-99,8%
Fe2O3 0,01-9,14
Al2O3 0,01-18
TiO2 0,01-0,49
CaO 0,01-3,24
MgO 0,01-0,26
K2O 0,01-17
Sumber : Fairus et al., 2009

Gambar 3. Pasir Kuarsa


Sumber : Maryani, dkk 2014
2.8 Fitoremediasi
Menurut Rondonuwu (2014) fitoremediasi adalah penggunaan tanaman untuk
menghilangkan polutan dari tanah atau perairan yang terkontaminasi. Secara harfiah

16
fitoremediasi berasal dari bahasa Yunani yaitu “phyton” yang berarti nabati/tanaman, dan
bahasa Latin yaitu “remediare” yang berarti memperbaiki atau membersihkan sesuatu.
Definisi tersebut menggambarkan pengobatan masalah lingkungan (bioremediasi) melalui
penggunaan tanaman yang mengurangi masalah lingkungan tanpa perlu menggali bahan
kontaminan dan membuangnya di tempat lain. Fitoremediasi juga didefinisikan sebagai
proses pencucian polutan oleh yang dimediasi tumbuhan termasuk pepohonan, rerumputan
dan tumbuhan air. Pencucian diartikan penghancuran, inaktivasi atau imobilisasi polutan
menjadi bentuk yang tidak berbahaya (Hidayati, 2005).
Fitoremediasi merupakan salah satu alternatif teknologi sederhana yang dapat
digunakan untuk mengolah limbah cair. Teknik fitoremediasi mempunyai kelebihan dalam
mengatasi pencemaran secara efektif, murah, dan dapat digunakan secara langsung di
tempat yang tercemar, serta dapat digunakan secara langsung di tempat yang terkena
pencemaran (Fahruddin, 2010). Kemampuan fitoremediasi dalam menghasilkan buangan
sekunder relatif yang lebih rendah sifat toksiknya terhadap lingkungan aslinya. Manfaat
tumbuhan air sebagai agen pembersih lingkungan sudah tidak diragukan lagi, namun
demikian apabila populasi tumbuhan air telah mengalami blooming akan menjadikannya
sebagai gulma air. Tumbuhan air mempunyai kemampuan sebagai agent fitoremediasi,
akumulator logam berat dan bio filter (Astuti & Indriatmoko, 2018).
Fungsi utama tanaman air terhadap biota lain di ekosistem perairan adalah sebagai
mikrohabitat. Fungsi lain dari tanaman air selain menciptakan mikrohabitat bagi ikan, juga
dapat dimanfaatkan dalam memperbaiki kualitas perairan. Tanaman air yang dapat
digunakan dalam proses fitoremediasi antara lain eceng gondok (Eichornia crassipes),
kayu apu (Pistia stratiotes) dan hidrila (Hydrilla verticillata) dengan efektivitas paling
tinggi dalam penyerapan logam Cr yaitu eceng gondok (Eichorrnia crassipes) dengan
efisiensi sebesar 49,56% (Puspita, 2013).
Menurut Santriyana (2013) pada sisi lain proses fitoremediasi memiliki
kelemahan dalam penerapannya antara lain memerlukan waktu yang lama,
bergantung dengan keadaan iklim, dapat menyebabkan akumulasi logam berat terhadap
jaringan dan biomasa tumbuhan, serta dalam rantai makanan dapat mempengaruhi
keseimbangan ekosistem. Akumulasi polutan yang terkandung pada biomasa yang
dihasilkan pada fitoremediasi kemudian perlu penanganan khusus sehingga dibutuhkan
penelitian lebih lanjut. Tanaman air yang digunakan dalam fitoremediasi mempunyai
keterbatasan morfologi, contohnya akar yang terbatas dalam menjangkau polutan yang
masuk terlalu dalam ke tanah. Hal tersebut menjadikan fitoremediasi tidak menjangkau
17
area sedimen (Tangahu et al., 2011).
2.9 Eceng Gondok (Eichhornia crassipes)
Eceng gondok termasuk dalam famili Pontederiaceae. Tanaman ini memiliki bunga
yang indah berwarna ungu muda (lila). Daunnya berbentuk bulat telur dan berwarna hijau
segar serta mengkilat bila diterpa sinar matahari. Daun-daun tersebut ditopang oleh tangkai
berbentuk silinder memanjang yang kadang- kadang sampai mencapai 1 meter dengan
diameter 1-2 cm. Tangkai daunnya berisi serat yang kuat dan lemas serta mengandung
banyak air. Eceng gondok tumbuh mengapung di atas permukaan air, tumbuh dengan
menghisap air dan menguapkannya kembali melalui tanaman yang tertimpa sinar matahari
melalui proses evaporasi. Oleh karenanya, selama hidupnya senantiasa diperlukan sinar
matahari (Aniek, 2003).
Klasifikasi eceng gondok menurut VAN Steenis, (1978) adalah sebagai berikut:

Kingdom : Plantae
Sub kingdom : Tracheobionta
Super Divisi : Spermatophyta
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Liliopsida
Ordo : Alismatales
Famili : Butomaceae
Genus : Eichornia
Spesies : Eichornia crassipes solms

Eceng gondok memiliki daun yang terletak di atas permukaan air dan termasuk
ke dalam jenis makrofita. Eceng gondok memiliki daun tunggal, bentuk oval dengan
pangkal runcing (acumintus), berwarna hijau, bertangkai, dan permukaan mengkilat yang
tersusun di atas roset akar. Tepi daunnya rata (tidak bergerigi) dengan panjang sekitar 7
cm - 25 cm. Daun eceng gondok memiliki lapisan rongga udara sehingga dengan
mudah membuatnya mengapung di atas permukaan air (Fauzi Deswandri & Fadhillah,
2018).

18
Gambar 3. Eceng gondok ( Eichornia crassipes ) (Rudi, 2003)

Berdasarkan morfologinya, eceng gondok mempunyai akar yang mampu


menyerap unsur-unsur pencemar dalam air limbah. Pada akar, tumbuhan ini mempunyai
senyawa fitokelatin yang berfungsi untuk mengikat unsur logam dan membawanya ke
dalam sel melalui peristiwa transport aktif. Selain logam berat terakumulasi pada akar,
logam berat juga akan terakumulasi juga pada bagian jaringan tumbuhan lainnya terutama
pucuk daun. Tumbuhan akuatik ini mampu mendepositkan ion-ion logam berat ke dalam
dinding sel, vakuola, dan lapisan sitoplasma yang akan berikatan dengan gugus sufhidril
(-SH) atau asam organik lainnya.

19
BAB III
METODELOGI PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian


3.1.1 Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di dua lokasi uji yaitu ruang terbuka untuk uji fitoremediasi dan
Laboratorium Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Lebak untuk pengujian kadar krom
(Cr) sebelum dan setelah perlakuan filtrasi dan fitoremediasi. Pengambilan sampel air
limbah batik yaitu dari industri batik Chanting Pradana yang berlokasi di Desa
Bojongleles Kecamatan Cibadak Kabupaten Lebak Provinsi Banten.

3.1.2 Waktu penelitian


Penelitian dilaksanakan pada bulan April sampai dengan Juli 2022. Adapun secara rinci
jawdal pelaksanaan penelitian dapat dilihat pada tabel 3.1.
Tabel 3.1 Jadwal Pelaksanaan Penelitian
Bulan
No Kegiatan April Mei Juni Juli
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
1. Penyusunan Proposal
2. Perbaikan Proposal
3. Pelaksanaan Penelitian
a. Persiapan Alat dan
Bahan
b. Aklimatisasi Tanaman
d. Uji Filtrasi
e. Uji Fitoremediasi
f. Pengamatan pH dan
suhu

20
4. Analisis/Pengujian Kadar
Cr
5. Analisis Data Pengamatan
6. Penyusunan Laporan
Penelitian/Tugas Akhir
7. Pelaksanaan Sidang Akhir
8. Perbaikan Laporan Akhir

3.2 Alat dan Bahan


Secara umum alat yang akan digunakan untuk penelitian atau perlakuan limbah cair
batik dalam penelitian ini terdiri dari
1. Reaktor box plastik/ember ukuran 35 L
2. Jerigen
3. Reaktor box plastik/ember ukuran 4 L
4. Pipa PVC diameter 20 cm
5. Timbangan analitik
6. pH meter universal
7. Termometer
8. Gayung
9. Mistar
10. Kamera

Untuk bahan-bahan yang akan digunakan dalam penelitian ini tersaji dalam Tabel
3.3. Tanaman eceng gondok (Eichorria crassipes) yang digunakan dalam penelitian ini
sebagai fitoremediator diambil dari perairan area persawahan Desa Bojongleles Kecamatan
Cibadak Kabupaten Lebak dan pasir kuarsa diambil dari daerah pesisir pantai Cihara
Kecamatan Cihara Kabupaten Lebak Provinsi Banten.
Tabel 3.3 Bahan-Bahan Penelitian
No Nama Bahan Kegunaan
1. Eceng Gondok (Eichoria crassipes) Fitoremediasi
2. Pasir Kuarsa Filtrasi
3. Limbah Cair Batik Sampel Limbah

21
Sedangkan untuk menguji kadar krom (Cr) total sesuai dengan SNI 6989.17 bagian
17 Cara Uji Krom Total (Cr-T) secara Spektrofotometri Serapan Atom (SSA) – Nyala
diperlukan bahan dan peralatan sebagai berikut :
Bahan
a. Air bebas mineral
b. Asam nitrat (HNO3) pekat p.a.
c. Krom trioksida (CrO3 atau kalium dikromat (K2Cr2O7
d. Gas asetilen (C2H2 HP dengan tekanan minimim 100 psi
e. Larutan penegncer HNO3 0,05 M
f. Larutan pencuci HNO3 5% (v/v)
g. Udara tekan HP atau udara tekan
dari kompresor
Peralatan
a. Spektrofotometer SSA
b. Lampu katoda berongga (Hollow Cathode Lamp/HCL) krom
c. Gelas piala 100 mL dan 250 mL
d. Pipet volumetrik 10,0 mL dan 250 mL
e. Labu ukur 50,0 mL; 100,0 mL dan 1000,0 mL
f. Erlenmeyer 100 mL
g. Corong gelas
h. Kaca arloji
i. Pemanas listrik
j. Saringan membran dengan ukuran pori 0,45 um
k. Timbangan analitik dengan ketelitian 0,0001 g
l. Labu semprot

3.3 Populasi, Sampel dan Sampling Limbah Cair Batik


3.3.1 Populasi
Populasi yang digunakan dalam penelitian ini merupakan limbah batik dari hasil akhir
proses membatik di IKM Chanting Pradana yang berlokasi di Desa Bojongleles
Kecamatan Cibadak Kabupaten Lebak Provinsi Banten.

3.3.2 Sampel
Sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah limbah cair batik yang akan diolah
dengan metode filtrasi pasir kuarsa dan fitoremediasi tanaman kayu apu (Pistia stratiotes
L) serta gabungan dari dua metode tersebut.
3.3.3 Sampling Limbah Cair Batik
Teknik pengambilan sampel air limbah batik dilakukan dengan cara grab sampling yaitu
pengambilan adir limbah sesaat pada satu lokasi tertentu. Kemudian sampel dilakukan
pengujian sebelum dan setelah perlakuan. Pengambilan sampel setelah perlakuan diambil
22
pada hari ke 5, 10 dan 15.
Adapun prosedur pengambilan sampel limbah cair batik sesuai dengan SNI 6989.59:2008
tentang metoda pengambilan contoh air limbah. Berikut langkah-langkah pengambilan
limbah secara grab sampling sebagai berikut :
11. Siapkan alat pengambil sampel air dan wadah sampel air.
12. Bilas alat dengan sampel air yang akan diambil, sebanyak 3 (tiga) kali
13. Ambil sampel air, kemudian masukkan kedalam wadah yang sebelumnya sudah dibilas
dengan sampel air sebanyak 3 (tiga) kali.
14. Beri kode sampel pada wadah sampel air.

3.4 Perlakuan Penelitian


Perlakuan penelitian yang digunakan ialah percobaan untuk menentukan
perbedaan perlakuan yang dilakukan untuk proses filtrasi digunakan teknik rapid sand
filter yaitu unit filtrasi yang mampu menghasilkan debit air yang lebih banyak dan lebih
cepat dibanding dengan slow sand filter. Adapun pipa PVC yang akan digunakan untuk
proses filtrasi dengan diameter 15 cm dengan tebal pasir kuarsa 30 cm. Sedangkan untuk
fitoremediasi diberikan perlakuan 200 gram untuk 3 liter limbah dalam box reaktor/ember
sesuai dengan penelitian Hapsari (2016) dengan perlakuan tersebut didapatkan efisiensi
sebesar 95,01% kemampuan kayu apu dalam menyerap logam kromium total (Cr-T).
Pengulangan dilakukan sebanyak tiga kali atau triplo sehingga total 12 sampel termasuk
kontrol (tanpa perlakuan). Untuk pengujian kadar krom total dalam limbah perlakuan
fitoremediasi diambil pada hari ke 5, 10 dan 15. Secara lebih jelas perlakuan penelitian ini
dapat dilihat pada tabel 3.4.

Tabel 3.4 Perlakuan Penelitian

Perlakuan Hari ke 5 Hari ke 10 Hari ke 15

Kontrol K1.1 K2.1 K3.3


K1.2 K2.2 K3.3
K1.3 K2.3 K3.3
Fitoremediasi X1.1 X2.1 X3.1
(X) X1.2 X2.2 X.3.2
X1.3 X2.3 X3.3
Filtrasi (Y) Y1.1 Y2.1 Y3.1

23
Y1.2 Y2.2 Y3.2
Y1.3 Y2.3 Y3.3

Gambar 4. Reaktor Fitoremediasi

Gambar 5. Reaktor Filtrasi


3.5 Cara Kerja Penelitian
Cara kerja pada penelitian ini terdiri dari :
3.5.1 Aklimatisasi Tanaman Eceng Gondok (Eichoria crassipes)
Aklimatisasi tumbuhan dilakukan supaya tanaman eceng gondok (Eichoria crassipes)
dapat menyesuaikan diri dengan kondisi dan media yang akan digunakan pada tahap uji
fitoremediasi. Berikut tahap aklimatitasi tanaman kayu apu :
1. Bersihkan tanaman eceng gondok (Eichoria crassipes) dari kotoran yang melekat
dengan menggunakan air bersih.
2. Masukan tanaman ke dalam box reaktor/ember yang berisi air bersih.
3. Proses aklimatisasi dilakukan selama 7 hari menggunakan media tanpa pencemar, dan
menggunakan air bersih sampai tanaman menjadi netral. Pada kondisi ini diharapkan
tumbuhan dapat beradaptasi dengan karakteristik tumbuh subur (tidak layu dan mati).
Tumbuhan dengan kondisi inilah yang akan digunakan untuk penelitian utama
(Octarina, 2015). Pada tahap ini juga dilakukan pengecekan terhadap kondisi tanaman

24
mulai dari daun tanaman dan panjang akar.
4. Setelah proses aklimatisasi selesai, tanaman uji dipilih dengan kondisi tanaman yang
hijau serta morfologi daun dan akar tanaman yang masih lengkap untuk proses
fitoremediasi. Tanaman yang akan digunakan terlebih dahulu ditimbang bobotnya
sesuai dengan yang diperlukan pada tahap fitoremediasi.
3.5.2 Perlakuan Pengolahan Limbah Cair Batik
1. Mempersiapkan 12 box reaktor/ember yang akan digunakan dengan perlakuan berbeda
yaitu tanpa perlakuan (kontrol), filtrasi, fitoremediasi dan kombinasi filtrasi dan
fitoremediasi dengan pengulangan triplo atau tiga kali.
2. Masukkan pasir kuarsa ke dalam pipa PVC diameter 15 cm yang akan digunakan untuk
proses filtrasi setinggi sekitar 30 cm.
3. Mempersiapkan sampel limbah cair batik sebanyak 36 liter yang akan dimasukan ke
dalam reaktor/ember masing-masing 3 liter sebanyak 12 reaktor.
4. Masukkan 200 gram tanaman kayu apu (Pistia stratiotes L) ke dalam masing-masing
reaktor fitoremediasi.
5. Melakukan analisis kadar krom total pada hari ke 5, 10 dan 15 dan melakukan
pengukuran pH dan suhu setiap hari sebanyak 3 kali yaitu setiap pukul 08.00, 13.00
dan 17.00. Serta melakukan analisis pertumbuhan kayu apu pada hari ke 15 dengan
meimbang bobot basah pada hari terakhir dan melakukan pengamatan secara langsung
mengenai kondisi tanaman.
3.5.3 Cara Uji Kadar Krom Total (Cr-T)
Cara uji kadar krom total (Cr-T) sesuai dengan SNI 6989.17:2009 tentang cara uji krom
total (Cr-T secara Spektrofotometri Serapan Atom (SSA) – nyala. Prinsip pengujian yaitu
analit logam krom dalam nyala udara-asetilen diubah menjadi bentuk atomnya, menyerap
energi radiasi eletromagnetik yang berasal dari lampyu katoda dan besarnya serapan
berbanding lurus dengan kadar analit.
a. Persiapan pengujian
Siapkan contoh uji untuk dengan tahapan sebagai berikut:
a) Homogenkan contoh uji, pipet 50,0 mL contoh uji dan masukkan ke dalam gelas
piala 100 mL atau Erlenmeyer 100 mL.
b) Tambahkan 5 mL HNO3 pekat, bila menggunakan gelas piala, tutup dengan kaca
arloji dan bila dengan Erlenmeyer gunakan corong sebagai penutup.
c) Panaskan perlahan-lahan sampai sisa volumenya 15 mL sampai dengan 20 mL.
d) Jika destruksi belum sempurna (tidak jernih), maka tambahkan lagi 5 mL HNO3
25
pekat, kemudian tutup gelas piala dengan kaca arloji atau tutup Erlenmeyer dengan
corong dan panaskan lagi (tidak mendidih). Lakukan proses ini secara berulang
sampai semua logam larut, yang terlihat dari warna endapan dalam contoh uji
menjadi agak putih atau contoh uji menjadi jernih.
e) Bilas kaca arloji dan masukkan air bilasannya ke dalam gelas piala.
f) Pindahkan contoh uji ke dalam labu ukur 50,0 mL (saring bila perlu) dan
tambahkan air bebas mineral sampai tepat tanda tera dan dihomogenkan.
g) Contoh uji siap diukur serapannya.
b. Pembuatan larutan baku logam krom 100 mg Cr/L
a) Larutkan ± 0,192 g CrO3 atau ± 0,282 g K2Cr2O7 dengan air bebas mineral dalam
labu ukur 1000,0 mL (≈ 100 mg Cr/L).
b) Tambahkan 10 mL HNO3 pekat dan encerkan dengan air bebas mineral hingga
tanda tera, lalu homogenkan.
c) Hitung kadar krom berdasarkan hasil penimbangan.
c. Pembuatan larutan baku logam krom 10 mg Cr/L
a) Pipet 10,0 mL larutan standar logam krom 100 mg/L ke dalam labu ukur 100,0 mL.
b) Tepatkan dengan larutan pengencer sampai tanda tera dan homogenkan.
d. Pembuatan larutan kerja logam krom
Buat deret larutan kerja dengan 1 (satu) blanko dan minimal 3 (tiga) kadar yang
berbeda secara proporsional dan berada pada rentang pengukuran.
e. Pembuatan kurva kalibrasi
Kurva kalibrasi dibuat dengan tahapan sebagai berikut:
a) Operasikan alat dan optimasikan sesuai dengan petunjuk penggunaan alat untuk
pengukuran krom total.
b) Aspirasikan larutan blanko ke dalam SSA-nyala kemudian atur serapan hingga nol.
c) Aspirasikan larutan kerja satu persatu ke dalam SSA-nyala, lalu ukur serapannya
pada panjang gelombang 357,9 nm, kemudian catat.
d) Lakukan pembilasan pada selang aspirator dengan larutan pengencer.
e) Buat kurva kalibrasi dari data pada butir 3.6.1.c) di atas, dan tentukan persamaan
garis lurusnya.
f) Jika koefisien korelasi regresi linier (r) < 0,995, periksa kondisi alat dan ulangi
langkah pada butir 3.6.1 b) sampai dengan c) hingga diperoleh nilai koefisien r ≥
0,995.
f. Cara Uji kadar krom total dengan tahapan sebagai berikut:
26
a) Aspirasikan contoh uji ke dalam SSA-nyala lalu ukur serapannya pada panjang
gelombang 357,9 nm. Bila diperlukan, lakukan pengenceran.
b) Catat hasil pengukuran.
g. Perhitungan Kadar logam krom total (Cr-T)
Cr-T (mg/L) = C x fp
Keterangan:
C adalah kadar yang didapat hasil pengukuran (mg/L).
fp adalah faktor pengenceran.
3.6 Teknik Pengumpulan Data
Pada penelitian ini teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara observasi
lapangan dan studi literatur. Adapun pengumpulan data pada penelitian ini didapatkan
dengan cara sebagai berikut :
a. Metode pengumpulan data primer
Data primer pada penelitian ini diperoleh dari observasi lapangan, perlakuan dan
pengujian terhadap limbah cair batik. Observasi lapangan dilakukan di IKM Batik
Chanting Pradana yang berlokasi di Desa Bojongleles Kecamatan Cibadak Kabupaten
Lebak Provinsi Banten data diperoleh ddengan cara pengamatan langsung dan
wawancara dengan pemilik usaha
b. Pengumpulan data sekunder
Data sekunder diperoleh dari studi literatur dari penelitian-penlitian sebelumnya yang
relevan dengan penelitian yang sedang dilakukan. Literatur yang yang digunakan
berasal dari jurnal ilmiah, skripsi, thesis media internet dan data tertulis lainnya.
3.7 Pengolahan dan Analisis Data
Data yang dihasilkan dalam penelitian ini akan diolah dengan secara analisis
deskriptif dan pengujian statistik.
peran perlakuan terhadap pengolahan limbah batik yaitu dengan menggunakan
perlakuan deskriptif dan statistik.
1. Analisis Deskriptif’
Analisis deskriptif digunakan untuk menjelaskan mengenai efisiensi perlakuan filtrasi,
gabungan filtrasi fitoremediasi, fitoremediasi dan tanpa perlakuan dalam menurunkan
kadar krom total (Cr-T) dengan variasi lama waktu serta hasil pengamatan pertumbuhan
kayu apu (Pistia stratiotes L) selama proses perlakuan fitoremediasi. Analisis deskriptif
menggunakan gambar dan grafik untuk mempermudah dalam pembahasan. Untuk
mengetahui persentase kadar krom total (Cr-T) menggunakan rumus:
27
𝐸𝑓𝑖𝑠𝑖𝑒𝑛𝑠𝑖 = (𝐶𝑜 − 𝐶𝑡) 𝐶𝑜 𝑥 100% … … … … … … (𝐻𝑖𝑏𝑎𝑡𝑢𝑙𝑙𝑎ℎ, 𝐻. 𝐹, 2019)
Keterangan :
𝐶𝑜 = Konsentrasi awal sampel
𝐶𝑡 = Konsentrasi akhir sampel’
2. Analisa Statistik
Data penurunan kadar krom total (Cr-T) dianalisis menggunakan sidik ragam ANOVA
(Analysis of Varians) dan bila hasil sidik ragam berbeda nyata (F hitung > F tabel 5%)
dilakukan uji lanjutan dengan Uji Duncan's Multiple Range Test (DMRT) untuk
mengetahui perlakuan yang memberikan pengaruh yang berbeda nyata. Analisis data
menggunakan aplikasi SPSS 22.
Pertumbuhan relatif (RGR) dihitung untuk mengetahui faktor biomassa
terhadap pertumbuhan tanaman. Penimbangan bobot basah awal dan bobot basah
akhir tanaman kayu apu dilakukan untuk menghitung laju pertumbuhan eceng
gondok dan kayu apu. Selisih bobot rata-rata pada waktu ke-W2 dengan bobot
rata-rata pada waktu ke-W1 dibandingkan dengan waktu, merupakan nilai RGR
dengan persamaan sebagai berikut (William & Joseph, 1976; Setyowati, 2014):
ln W 2−lnW 1
RGR =
t 2−t 1
Keterangan :
W1 = Biomassa awal kayu apu (g)
W2 = Biomassa akhir kayu apu (g)
t1 = Waktu pengamatan ke t (hari)
t2 = Waktu pengamatan (hari)

28
Diagram alir penelitian

Perencanaan Penelitian

Observasi lapangan dan studi literatur

Identifikasi masalah

Penentuan variable dan parameter

Persiapan penelitian

Penelitian pendahuluan

Penelitian utama

Pengamatan hasil penelitian

Analisa data dan pembahasan

Kesimpulan dan saran

Penelitian selesai

Gambar 6. Diagram alir penelitian

29
DAFTAR PUSTAKA

Apriyani. N. (2018). Industri batik : Kandungan Limbah Cair dan Metode Pengolahannya.
Media Ilmiah Teknik Lingkungan. Vol.3 No.1. 21-29.
Astuti, Lismining Pujiyani, Indriatmoko, Indriatmoko. (2018). Kemampuan beberapa
tumbuhan air dalam menurunkan pencemaran bahan organik dan fosfat untuk
memperbaiki kualitas air. Jurnal Teknologi Lingkungan .Jurnal Teknologi
Lingkungan, 19(2) :1411-318X.

Billah, Alif Resti., Anita Dewi., Prehatin Trirahayu. 2020. Phytoremediasi Chromium Total
(Ct-T) Menggunakan Kayu Apu (Pistia Stratiotes L) Pada Limbah Cair Batik. Jurna
Biologi Udayana 24 : 47-54.

Birame, Sekomo C. (2012). Development of a low-cost alternative for metal removal from
textile wastewater. CRC Press/Balkema. https:// edepot. wur.nl/ 212657

Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor


P.16/MENLHK/SETJEN/KUM.1/4/2019 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan
Menteri Lingkungan Hidup Nomor 5 Tahun 2014 tentang Baku Mutu Air Limbah.

Kurniawan, M.W., Purwanto, P., dan Sudarno, S. 2013. Strategi Pengolahan Air Limbah
Sentra UMKM Batik yang Berkelanjutan di Kabupaten Sukoharjo. Ilmu
Lingkungan. Vol.11. No. 2. 2013: 62-72.

Natalina & Hidayati Firdaus. 2017. Penurunan Kadar Kromium Heksavalen (Cr6+) Dalam
Limbah Batik Menggunakan Limbah Udang (Kitosan). Program Studi Teknik
Lingkungan Universitas Malahayati.
Puspita, U.R., Siregar, A.S., dan Hadayati, N.V. 2011. Kemampuan Tumbuhan Air Sebagai
Agen Fitoremediator Logam Berat Kromium (Cr) Yang Terdapat Pada Limbah
Cair Industri Batik. Berkala Perikanan Terubuk, 39 (1), hal. 58 –64.
Palar, H. 2008. Pencemaran dan Toksikologi Logam Berat. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta.

Perwitasari P, Handayanto E, Rindyastuti R. 2018. Penggunaan Echinodorus Radicans dan


Pistia Stratiotes Untuk Fitoremediasi Air Tercemar Timbal (Pb) Serta
Pengaruhnya Terhadap Tanaman Amaranthus Tricolor. Jurnal Tanah dan
Sumberdaya Lahan 5(1): 2549–9793.

Poernomo, M. H., Razif, M., & Mansur, A. (2020). Pengolahan Air Limbah Domestik
dengan Metode Kombinasi Filtrasi dan Fitoremediasi (Studi Kasus di Kelurahan

30
Margorejo Surabaya). Prosiding Seminar Nasional Sains Dan Teknologi Terapan.
8. 177–184.

Raissa DG, Tangahu BV. 2017. Fitoremediasi Air yang Tercemar Limbah Laundry dengan
Menggunakan Kayu apu (Pistia stratiotes). Jurnal Teknik ITS 6(2): 7-11.

Rashidi, H.R., Sulaiman, N.N.M., Hashim, N.A. 2012. Batik Industry Synthetic Wastewater
Treatment using Nanofiltration Membrane. Procedia Engineering, 44, hal 2010-
2012.
Rondonuwu, Sendy B. 2014. Fitoremediasi Limbah Merkuri Menggunakan Tanaman dan
Sistem Reaktor. Vol. 14 No 1. Jurnal Ilmiah Sains.

Satrya, R.W. 2015. Sejarah Industrialisasi Batik Di Kampung Batik Jetis Sidoarjo Tahun
1970-2013. E-Journal Pendidikan Sejarah, 3(3), hal. 480-486.

Setiyono A, Gustaman RA. 2017. Pengendalian Kromium (Cr) Yang Terdapat Di Limbah
Batik Dengan Metode Fitoremediasi. Unnes Journal of Public Health 6(3): 155-
160.

Suprihatin, Hasti. 2014. Kandungan Organik Limbah Cair Industri Batik Jetis Sidoarjo dan
Alternatif Pengolahannya. Jurnal Pusat Penelitian Lingkungan Hidup. Jurusan
Teknik Lingkungan, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Institut Teknologi
Pembangunan Surabaya.

Virgojanti, dkk. 2021. Batik Lebak dan Tenun Baduy Karya Cia Masyarakat Lebak
(Cetakan ke 3). Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Lebak.
.Watini. 2019. Pengaruh Waktu Kontak Eceng Gondok (Eichornia crssipes) Terhadap
Penurunan Kadar Cd dan Cr Pada Air Limbah Industri Batik (Home Industry
Batik di Desa Sokaraja Lor) Kota Purwokerto. Skripsi. Purwokerto : Fakultas
Kedokteran dan Ilmu-Ilmu Kesehatan Universitas Jenderal Soedirman.

31

Anda mungkin juga menyukai