Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Di dunia perindustrian khususnya di Indonesia, industri bukan hal yang aneh lagi bahkan
menyebar bagaikan jamur terutama pada masyarakat perkotaan. Salah satu industri yang
berkembang saat ini adalah industri tekstil rumah tangga. Proses industri tekstil rumah tangga
yang sangat terkenal luas di Kota Bengkulu adalah industri batik Perkembangan industri batik
ini berbanding terbalik dengan tingkat kepedulian pengelola industri terhadap limbah hasil
produksi dari industri tersebut.
Batik besurek merupakan salah satu bentuk batik dari hasil kerajinan tradisional daerah
Bengkulu yang telah diwariskan secara turun-temurun. Industri batik merupakan salah satu
industri yang dalam proses produksinya banyak menggunakan zat-zat pewarna kimia. Industri
batik besurek dalam proses produksinya biasanya menggunakan zat warna sintetik. Hal ini
dikarenakan zat warna sintetik harganya lebih murah dan mempunyai sifat-sifat yang jauh
lebih baik daripada zat warna alami, mudah diperoleh dan mempunyai aneka macam warna
yang banyak, serta mudah cara pemakaiannya. Zat warna reaktif merupakan salah satu jenis
zat warna sintetik yang digunakan dalam pewarnaan kain besurek. Menurut Sihombing dalam
Sutanto (2000), zat warna reaktif tidak terdegradasi secara alamiah di lingkungan dan
bersifat karsinogenik sehingga jika masuk ke dalam tubuh manusia akan mengendap secara
utuh di dalam hati dan pada akhirnya dapat mengakibatkan kanker hati.
Pada umumnya zat-zat pencemar atau limbah dari industri batik ini berasal dari proses
pewarnaan dan pemutihan (bleaching). Limbah dari industri batik ini umumnya berbentuk
limbah cair berupa zat warna maupun berbentuk limbah padat yang terlarut dalam air seperti
logam berat. Kebanyakan limbah yang dihasilkan langsung dibuang ke perairan tanpa disaring
atau diolah terlebih dahulu sehingga mencemari lingkungan terutama ekosistem perairan
dimana industri batik merupakan penghasil limbah cair organik dengan kapasitas volume
yang besar (Wahyuningrum, 2016). Menurut Linsley (1991) air yang memiliki warna pekat,
bau yang menyengat serta memiliki suhu, Chemical Oxygen Demand (COD), keasaman (pH),
Biologycal Oxygen Demand (BOD), Bahan Padat Total (TSS) yang tinggi dikategorikan
sebagai air limbah. Dalam industri batik besurek di kota Bengkulu jenis pewarna sintetik
(tekstil) yang banyak digunakan diantaranya adalah zat warna indigosol (gambar 1).

Gambar 1. Struktur zat warna indigosol


1
Zat indigosol ini memiliki struktur molekul dua cincin benzena dan sangat stabil sehingga
keberadaannya di dalam lingkungan perairan tidak mudah terurai secara biologis. Limbah
industri batik yang mengandung senyawa indigosol ini sangatlah berbahaya karena dapat
menyebabkan beberapa dampak buruk bagi kesehatan.
Mengingat besarnya dampak yang ditimbulkan dari limbah cair industri kain besurek
khususnya zat warna reaktif, maka perlu dicari cara pengolahan limbah cair industri kain
besurek yang tepat dan murah untuk mengurangi atau bahkan menghilangkan zat warna yang
ada dalam limbah cair industri kain besurek tersebut, sehingga limbah cair yang dibuang ke
perairan bebas tidak mencemari lingkungan. Salah satu solusi yang dapat dilakukan adalah
dengan mengembangkan adorben dari karbon aktif limbah pertanian kelapa sawit berupa
limbah tempurung kelapa sawit.
Limbah tempurung kelapa sawit (TKS) ini biasanya dibuang begitu saja ke lingkungan
dalam jumlah banyak tanpa pengolahan terlebih dahulu sehingga dapat menyebabkan masalah
terhadap lingkungan seperti bau dan polusi pada tanah jika menumpuk dalam jumlah yang
relatif besar. Pada TKS juga terkandung selulosa yang cukup tinggi. Kandungan selulosa yang
tinggi dari TKS sangat berpotensi untuk dimanfaatkan menjadi karbon aktif yang dapat
digunakan sebagai adsorben limbah cair zat warna tekstil. Agar proses adsorpi berlangsung
efektif maka perlu dilakukan penentuan kondisi optimum dan kapasitas adsorpsi maksimum
dari adsorben karbon aktif tempurung kelapa sawit. Oleh karena itu, pada karya tulis ilmiah
ini penulis memunculkan suatu inovasi terkait proses adsorpsi limbah cair yang ada di
lingkungan terutama limbah cair dari industri batik yaitu zat warna indigosol blue oleh karbon
aktif yang berasal dari tempurung kelapa sawit.

1.2 Rumusan Masalah


Beberapa perumusan masalah yang dapat dirumuskan jika meniliki latar belakang
masalah sebelumnya adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana cara mengurangi pencemaran limbah industri batik Bengkulu berupa zat
warna indigosol blue ?
2. Bagaimana aplikasi penggunaan karbon aktif TKS pada limbah industri batik di Kota
Bengkulu?

1.3 Tujuan Penulisan


Adapun tujuan penulisan karya tulis ilmiah ini yaitu :
1. Memberikan informasi mengenai pemanfaatan karbon aktif TKS untuk mengurangi
pencemaran zat warna indigosol pada limbah industri batik besurek Kota Bengkulu
2. Menerapkan penggunaan karbon aktif TKS pada limbah industri batik di Kota
Bengkulu
2
1.4 Manfaat Penulisan
Adapun manfaat penulisan karya tulis ilmiah ini yaitu :
1. Menambah pengetahuan baru mengenai pemanfaatan limbah tempurung kelapa sawit
sebagai bahan dasar pembuatan karbon aktif untuk mengabsoprsi zat warna pada
industri tekstil rumah tangga khususnya industri batik.
2. Memberikan informasi kepada masyarakat untuk mengolah limbah cair dari industri
batik dengan menggunakan karbon aktif dari tempurung kelapa sawit serta agar
terbentuk lingkungan yang bersih tanpa zat warna yang berbahaya dan meresahkan
3. Menanamkan rasa cinta terhadap lingkungan agar tidak membuang limbah yang dapat
merusak ekosistem sehingga menimbulkan berbagai permasalahan sosial.
4. Meningkatkan kemampuan sumber daya manusia dalam mengurangi pencemaran
akibat limbah kelapa sawit dan batik besurek

1.5 Metode Penulisan


Metode observasi ke pengerajin lokal (tradisonal) dan usahawan batik dan selanjutnya
diadakan wawancara mendalam ke salah satu industri pembuat batik di Kota Bengkulu yaitu
Bens collection yang berlokasi sentra kerajinan khas Bengkulu di Anggut Kota Bengkulu.
Setelah itu dilakukan metode penelitian sehingga didapatkan data yang menunjang mengenai
TKS sebagai karbon aktif yang mengurangi pencemaran zat warna indigosol pada limbah
industri batik besurek
Kemudian semua data yang diperoleh akan dikorelasikan guna menghasilkan gagasan
baru. Gagasan baru yang dihasilkan akan dipaparkan secara jelas dan dideskripsikan secara
rinci sesuai dengan kebutuhan dan masalah yang telah diuraikan pada rumusan masalah
sebelumnya. Gagasan baru yang akan diuraikan dapat menjadi bahan referensi dalam
aplikasi nyata bagi seluruh pembaca.

3
BAB II
TELAAH PUSTAKA

2.1 Landasan Teori


2.1.1 Batik Besurek
Batik adalah kain bergambar yang pembuatannya secara khusus dengan menuliskan atau
menerakan malam pada kain itu, kemudian pengolahannya diproses dengan cara tertentu yang
memiliki kekhasan. Batik Indonesia, sebagai keseluruhan teknik, teknologi, serta
pengembangan motif dan budaya yang terkait (Iwan, 1996). Batik Bengkulu, dikenal dengan
sebutan kain besurek merupakan ciri khas batik warisan budaya Kota Bengkulu. Kota
Bengkulu adalah ibu kota Provinsi Bengkulu salah satu provinsi di pulau Sumatera.
Berdasarkan sejarah, kerajinan kain besurek (batik khas Bengkulu) mulai dikenal oleh
masyarakat Bengkulu yaitu pada saat pengasingan pangeran Sentot Ali Basa dan keluarganya
di Bengkulu oleh kolonial Belanda. Pada saat pengasingan itu keluarga Sentot Ali Basa
membawa bahan dan peralatan membuat batik, yang tujuannya untuk mengisi kesibukan
selama di pengasingan. Pada saat keluarga Sentot Ali Basa melakukan pekerjaan membatik,
warga Bengkulu melihat dan memperhatikan mereka. Kemudian warga Bengkulu tersebut
tertarik dan minta untuk belajar pada keluarga Sentot Ali Basa untuk membuat batik.
(Zesymadara,2012)
Seiring perkembangan industri batik alat tradisional telah digantikan dengan alat-alat
canggih dan modern serta zat warna alami telah digantikan zat warna sintetik. Penggunaan zat
warna sintetik ini digunakan karena berbagai alasan salah satunya zat warna sintetik ini
mudah didapat dan tersedia diberbagai tempat serta lebih tahan lama. Namun penggunaan zat
warna sintetik ini tergolong limbah zat warna yang nonbiodegradable, bersifat karingenik
bahkan zat warna sintetik tersebut bisa menyebabkan terjadinya mutasi (Manurung, 2004).

2.1.2 Tempurung Kelapa Sawit (TKS)


Tempurung kelapa sawit (TKS) merupakan salah satu jenis limbah padat yang paling
banyak dihasilkan oleh pabrik kelapa sawit. Menurut Darnoko (1992), dari satu ton tandan
buah segar (TBS) yang diolah akan dihasilkan minyak sawit kasar (CPO) sebanyak 0,21 ton
(21%) serta minyak inti sawit (PKO) sebanyak 0,05 ton (5%). Sisanya merupakan limbah
dalam bentuk tandan buah kosong, serat dan tempurung biji yang jumlahnya masing-masing
sekitar 23%, 13,5% dan 5,5% dari tandan buah segar.
Tempurung kelapa sawit berpotensi untuk dikembangkan menjadi barang yang lebih
berguna, salah satunya menjadi bahan baku pembuatan karbon aktif. Tempurung kelapa sawit

4
merupakan limbah bahan yang mengandung lignoselulosa yang tersusun atas unsur karbon.
Sehingga bisa dimanfaatkan sebagai bahan pembuatan karbon aktif untuk mengadsoprsi
limbah cair (Sembiring, dkk, 2003).

2.1.3 Karbon Aktif


Karbon aktif merupakan salah satu adsorben yang paling sering digunakan pada proses
adsorpsi. Hal ini disebabkan karena karbon aktif mempunyai daya adsorpsi dan luas
permukaan yang lebih baik dibandingkan adsorben lainnya. Karbon aktif yang baik
haruslah memiliki luas area permukaan yang besar sehingga daya adsorpsinya juga akan
besar (Sudibandriyo et al, 2003).
Karbon aktif adalah senyawa karbon yang telah ditingkatkan daya adsorpsinya
dengan proses aktivasi. Pada proses aktivasi ini terjadi penghilangan hidrogen, gas-gas dan air
dari permukaan karbon. Selain itu, pada proses aktivasi juga terbentuk pori -pori baru
karena adanya pengikisan atom karbon melalui oksidasi ataupun pemanasan. Bahan kimia
pengaktivasi antara lain asam fosfat, asam sulfat dan KOH. Setelah proses aktivasi bahan
kimia dicuci, struktur pori akhir bergantung pada bahan yang digunakan untuk membuat
karbon aktif dan proses aktivasi. Ada 3 kriteria bahan dasar yang dapat dibuat sebagai karbon
aktif, yaitu : bahan dasar harus mengandung karbon, pengotor harus dijaga seminimal
mungkin, dan bahan harus mempunyai kualitas yang konstan. Secara umum, proses
pembuatan karbon aktif terdiri dari proses karbonisasi pirolitik bahan dasar serta proses
aktivasi. Selama proses karbonisasi, komponen yang mudah menguap akan terlepas dan
karbon mulai membentuk struktur pori -pori dimana proses pembentukan pori-pori ini
akan ditingkatkan pada proses aktivasi. Pada proses aktivasi, terjadi pembukaan pori
-pori yang masih tertutup dan peningkatan ukuran dari pori-pori kecil yang telah
terbentuk (Sontheimer, 1985).

2.1.4 Adsorpsi
Adsorpsi adalah proses pengikatan molekul dalam suatu fluida baik cair maupun gas ke
permukaan pori benda padat. Sedangkan menurut Alberty dan Daniel (1987) adsorpsi
merupakan phenomena yang terjadi pada permukaan. Bahan yang dipakai untuk melakukan
proses adsorpsi dinamakan adsorben, sedangkan bahan yang dijerap disebut adsorbat. Adapun
karakteristik adsorben yang dibutuhkan untuk proses adsorpsi yang baik diantaranya :luas
permukaan adsorben harus besar, adsorben yang digunakan harus memiliki tingkat kemurnian
yang tinggi, dan jenis gugus fungsi pada adsorben yang dapat berinteraksi dengan molekul
adsorbat. Proses adsorpsi dapat terjadi karena adanya gaya tarik atom atau molekul pada
5
permukaan padatan yang tidak seimbang. Proses adsorpsi ini dipengaruhi oleh beberapa
faktor diantaranya adalah : jenis adsorbat, jenis adsorben, tempratur, pH, dan waktu kontak.

2.1.5 Zat Warna Indigosol


Zat warna indigosol atau bejana larut adalah zat warna yang ketahanan lunturnya baik,
berwarna rata dan cerah. Zat warna ini dapat dipakai secara pencelupan dan coletan. Warna
dapat timbul setelah dibangkitkan dengan natrium nitrit, dan asam seperti asam sulfat atau
asam florida. Saat ini pewarna batik lebih banyak menggunakan zat warna sintetik, yaitu zat
warna indigosol atau disebut bejana larut. Senyawa indigo tidak larut daam air dan menjadi
larut setelah tereduksi menjadi lueuco-indigo (Suparno, 2010).

2.2 Gagasan Terdahulu


Telah banyak metode yang dikembangkan dalam penanganan limbah zat warna
diantaranya oksidasi, koagulasi, dan ozonisasi (Muna, 2014). Beberapa metode telah
digunakan untuk mengurangi dan mengatasi pencemaran limbah zat warna tekstil di
lingkungan diantaranya juga terdapat filtrasi membran, pengendapan, elektrolisis, oksidasi
kimiawi, pertukaran ion dan beberapa teknik biologis lainnya. Namun diantara beberapa
metode tersebut tidak efektif dan memerlukan biaya operasional yang cukup tinggi.

6
BAB III
PEMBAHASAN DAN APLIKASI GAGASAN

3.1 Analisis Gagasan yang Diajukan


Berdasarkan hasil survey dan wawancara ke salah satu industri pembuat batik di Kota
Bengkulu yaitu Bens Collection bahwa zat warna yang serng digunakan dalam pembuatan
batik antara lain zat warna basa, zat warna asam, zat warna direct, zat warna reaktif, zat
warna indigosol, zat warna napthol dan zat warna bejana. Di industri pembuatan batik ini
dilakukan proses membatik tiap hari hal ini berarti setiap harinya akan menghasilkan limbah.
Jadi semakin banyak produksi membatik maka semakin banyak limbah yang dihasilkan.
Limbah tersebut akan langsung dialirkan ke lingkungan sekitar tanpa diolah terlebih dahulu.
Menurut Kurniawan (2013) jika limbah dari zat warna sintetik langsung dibuang tanpa
pengolahan terlebih dahulu akan membuat lingkungan tercemar dan menganggu ekosistem.
Salah satu cara pengolahan limbah batik besurek yang menggunakan biaya operasional
yang murah dan memiliki efektifitas yang tinggi serta mudah untuk dilakukan dibandingkan
dengan metode-metode yang lainnya adalah adsorpsi karena bahan-bahan yang digunakan
untuk membuat adsorben mudah didapatkan. Metode adsorpsi merupakan metode terbaik
yang efektif untuk menghilangkan zat warna pada limbah tekstil. Pemisahan dengan cara
adsopsi dapat menggunakan berbagai macam bahan adsorben seperti kitosan, zeolit, silika gel,
bentonit dan karbon aktif (Panda, 2012).
Diantara berbagai jenis adsorben yang telah ada karbon aktif merupakan jenis adsorben
yang paling banyak digunakan. Karbon aktif merupakan arang yang telah teraktivasi dan pori-
porinya lebih terbuka dibandingkan dengan arang biasa. Karbon aktif mempunyai luas
permukaan yang lebih tinggi, kapasitas adsorpsi yang besar, kinetika adsorpsi yang lebih
cepat serta relatif lebih mudah untuk diregenerasi dibanding adsorben-adsorben yang lain
sehingga dapat mengadsorpsi lebih banyak molekul atau pertikel dalam cairan. Salah satu
bahan yang bisa digunakan sebagai karbon aktif adalah tempurung kelapa sawit (Pambayun,
2013).
Kelapa sawit (Elaeis sp) merupakan tanaman yang mayoritas berkembang di Provinsi
Bengkulu baik milik pemerintah, swasta ataupun rakyat. Oleh sebab itu luas area perkebunan
kelapa sawit terus meningkat sehingga menyebabkan produksi minyak kelapa sawit juga
meningkat. Kelapa sawit selain menghasilkan bahan baku untuk bahan industri pengolahan,
sumber pangan dan gizi utama dalam menu penduduk serta mampu menciptakan lapangan
kerja, kelapa sawit juga menghasikan Iimbah

7
Limbah pabrik kelapa sawit terdapat dalam jumlah yang melimpah dapat menyebabkan
pencemaran lingkungan, oleh karena itu sangat diperlukan upaya memanfaatkan limbah untuk
mengatasi pencemaran lingkungan, sekaligus memberikan nilai tambah kepada pabrik
pengolahan kelapa sawit. Limbah industri kelapa sawit adalah limbah yang dihasilkan pada
saat proses pengolahan kelapa sawit. Limbah ini digolongkan dalam tiga jenis, yaitu limbah
padat, limbah cair, dan limbah gas. Salah satu jenis limbah padat industri kelapa sawit yang
memiliki presentase cukup besar adalah tempurung kelapa sawit (TKS).
Tempurung kelapa sawit merupakan limbah yang belum dimanfaatkan secara optimal
oleh masyarakat, agar pemanfaatan tempurung kelapa sawit menjadi optimal perlu adanya
penelitian tentang pemanfaatan tempurung kelapa sawit. Dalam industri minyak kelapa sawit
sering kali limbah organik berupa TKS ini dibuang dan lama-kelamaan terus menempuk.
Sejalan dengan meningkatnya limbah batik besurek di Bengkulu maka salah satu alternatif
yang dapat dilakukan atau dimanfaatkan adalah limbah tempurung kelapa sawit dapat diolah
menjadi karbon aktif dan menyerap zat warna indigosol limbah batik besurek.
Pembuatan Karbon aktif dari Tempurung Kelapa Sawit yaitu :
1. Proses Karbonasi
Proses karbonasi bertujuan untuk menghilangkan senyawa-senyawa yang mudah
menguap dalam bentuk unsur-unsur non karbon, hidrogen dan oksigen. Adapun tahapan
proses karbonisasi yaitu :
a. Tempurung kelapa sawit yang sudah kering dimasukkan kedalam drum atau kaleng
yang telah dibuang tutup bagian atasnya dan diberi lubang sebanyak 4 buah dengan
jarak yang sama pada tutup bagian bawahnya.
b. Ukuran lubang harus cukup besar agar memungkinkan udara masuk.
c. Drum ditempatkan pada 2 pipa di atas tanah dan dibakar.
d. Selama api menyala ditambahkan tempurung sawit sedikit demi sedikit sampai
setingga permukaan drum atau kaleng.
e. Penambahan dilakukan dengan api yang menyala kecil
f. Setelah itu drum/kaleng ditutup dengan pelepah pisang atau karung basah dan dilapisi
dengan penutup dari logam yang ditutupkan rapat.
g. Biarkan sampai menjadi dingin selama semalam.
Proses karbonasi dipengaruhi oleh pemanasan dan tekanan. Semakin cepat pemanasan
semakin sukar diamati tahap karbonasi dan rendemen arang yang dihasilkan lebih rendah
sedangkan semakin tinggi tekanan semakin besar rendemen arang.

2. Proses Aktifasi

8
Proses Aktifasi betujuan untuk meningkatkan keaktifan dengan adsorbsi karbon dengan
cara menghilangkan senyawa karbon pada permukaan karbon yang tidak dapat dihilangkan
pada proses karbonasi. Proses aktifasi dapat dilakukan secara kimia menggunakan aktifator
HNO3 1% atau dapat juga dilakukan proses dehidrasi dengan garam mineral seperti MgCl2
10% dan ZnCl2 10%. Tahapan proses aktifasi yaitu :
a. Arang hasil pembakaran dihaluskan dan diayak dengan ukuran 150 m.
b. Untuk aktifasi atau menghilangkan ion logam yang terdapat pada arang tempurung
kelapa sawit, material direndam dengan HNO3 1% atau MgCl2 10% dan ZnCl2 10%
selama 3 jam.
c. Kemudian dicuci dengan aquades hingga pH netral.
d. Dikeringkan pada temperatur kamar 1 minggu sebelum digunakan.
Karbon aktif yang dihasilkan akan digunakan sebagai adsorben untuk menyerap limbah
zat warna indigosol pada batik besurek sehingga akan mengurangi pencemaran lingkungan.

3.2 Aplikasi Penggunaan Karbon Aktif TKS Pada Limbah Industri Batik di Kota
Bengkulu
Air limbah zat warna indigosol blue 04-B dari beberapa industri batik besurek di
Bengkulu diambil, kemudian disaring untuk memisahkan larutan dari padatan yang tidak
larut. Setelah itu diukur konsentrasi awal zat warna sebelum dilakukan adsorpsi menggunakan
karbon aktif tempurung kelapa sawit (TKS). Kemudian karbon aktif TKS dimasukkan ke
dalam Erlenmeyer dan masing masing ditambahkan 50 ml air limbah zat warna indigosol
pada pH optimum. Masing-masing campuran tersebut diaduk dengan magnetik stirer selama
waktu optimum, kemudian disaring dan filtratnya dikumpul untuk diukur absorbansinya atau
konsentrasinya dengan Spektrofotometer UV-VIS.

9
BAB IV
PENUTUP

d.1 Simpulan
Tempurung kelapa sawit (TKS) merupakan limbah yang dihasilkan sebagai produk
samping dari industri pengolahan kelapa sawit. TKS ini biasanya hanya dibuang begitu saja
dalam jumlah banyak tanpa pengolahan terlebih dahulu. Padahal TKS mengandung selulosa
yang cukup tinggi. Kandungan selulosa yang tinggi dari TKS ini sangat berpotensi untuk
dimanfaatkan menjadi karbon aktif yang dapat digunakan sebagai adsorben zat warna
indigosol pada limbah industri batik besurek di Kota Bengkulu, Pembuatan karbon aktif dari
tempurung kelapa sawit yaitu dilakukan dengan proses karbonasi dan aktifasi. Karbon aktif
yang dihasilkan akan digunakan sebagai adsorben untuk menyerap limbah zat warna indigosol
pada batik besurek sehingga akan mengurangi pencemaran lingkungan.

d.2 Rekomendasi
1. Badan pemerintah, swasta ataupun rakyat yang mengembangkan industri kelapa sawit
hendaknya tidak membuang limbahnya di sembarang tempat, namun diolah menjadi
sesuatu yang lebih bermanfaat
2. Hendaknya pemerintah menegur bahkan memberi sanksi tegas kepada badan usaha
yang membuang limbah zat warna batik besurek ke perairan

10
DAFTAR PUSTAKA

Alberty, R.A.,and F. Daniel. 1987. Physical Chemistry,5th ed, SI Version. John Wiley and Sons
Inc. New York

Darnoko. 1992. Potensi Pemanfaatan Limbah Lignoselulosa Kelapa Sawit Melalui


Biokonversi. Medan: Berita Penelitian Perkebunan

Hidaiyanti, Rahma. 2016. Pemanfaatan Ekstrak Biji Kelor (Moringa Oleifera Lamk) Dengan
Kulit Ari Sebagai Koagulan Zat Warna Reaktif Dalam Larutan Model Limbah Cair
Industri Kain Besurek. http://jurnal.unived.ac.id/index.php /agritepa/article/view/296
(diakses 10 Maret 2017)

Herlina, Muria. 2016. Ptek Bagi Produk Ekspor Batik Besurek: Perspektif Pengerajin Lokal
(Tradisional) Bengkulu http://lppm.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2017 /01/232-239-
Muria-Herlina-Bengkulu.pdf (diakses 10 Maret 2017)

Sontheimer, J.E. 1985. Activated carbon For Water Treatment. Netherland. El savier, pp. 51-
105

Subandriyo, M. 2003. A generalized Ono-Kondo Lattice Model For High Pressure on Karbon
Adsorben, Ph.D Disertation, Oklahoma State University

Suparno. 2010. Degradasi Zat Warna Indigosol Dengan Metode Oksidasi Katalitik
Menggunaka Zeolit Alam Teraktivasi dan Ozonasi. Jakarta : Tesis Uniersitas Indonesia

11

Anda mungkin juga menyukai