Anda di halaman 1dari 10

LAPORAN EVIDENCED-BASED PRACTICE

PENGARUH RELAKSASI PROGRESIF


TERHADAP TINGKAT TEKANAN DARAH
PADA LANSIA HIPERTENSI DI KLINIK PENYAKIT DALAM
RSUD dr. SOEDIRAN MANGUN SUMARSO

Nama Mahasiswa : Abu Wuryanto


NIM : SN152001

1. Latar Belakang
Lansia sering terkena hipertensi disebabkan oleh kekakuan pada arteri
sehingga tekanan darah cenderung meningkat. Selain itu penyebab hipertensi
pada lansia juga disebabkan oleh perubahan gaya hidup dan yang lebih
penting lagi kemungkinan terjadinya peningkatan tekanan darah tinggi karena
bertambahnya usia lebih besar pada orang yang banyak mengkonsumsi
makanan yang banyak mengandung garam (Ritu Jain, 2011).
Hipertensi lansia di dunia didapatkan pada tahun 2010 di Amerika
menunjukkan penderita hipertensi di seluruh dunia berkisar satu miliar. Di
bagian Asia tercatat 38,4 juta penderita hipertensi pada tahun 2000 dan
diprediksi akan menjadi 67,4 juta orang pada tahun 2025 (Muhammadun,
2010). Menurut penelitian yang dilakukan Boedi Darmojo pada tahun 2011 di
Indonesia diperoleh terjadi peningkatan lansia yang menderita hipertensi
sekitar 50% di jawa sekitar 42,6%. Dari data diatas dapat disimpulkan tahun
ke tahun terdapat meningkatan lansia yang menderita hipertensi dan ini perlu
menangganan yang serius.
Gejalanya berupa sakit kepala, nyeri atau sesak pada dada, pusing,
gangguan tidur, terengah-engah saat beraktifitas, jantung berdebar-debar,
mimisan, kebal atau kesemutan, gelisah dan mudah marah, keringat
berlebihan, kram otot, badan lesu, pembekakan di bawah mata pada pagi hari
(Ritu Jain, 2011). Komplikasi jangka panjang tekanan darah tinggi berupa
stroke, penyakit ginjal, gagal jantung, penyakit arteri koroner (Samuel
1
Gardner, 2007). Jika bertahun-tahun darah terus-menerus lebih tinggi dari
normal, seperti pada kasus hipertensi yang tidak diobati, akan timbul
kerusakan pada pembuluh arteri dan organ-organ yang memerlukan pasokan
darah terutama jantung, otak, ginjal dan ini merupakan masalah kesehatan
(Ritu Jain, 2011).
Pengobatan hipertensi ada 2 cara pengobatan secara farmakologis dan
non farmakologis. Pemberian terapi non farmakologis relatif praktis dan
efisien yaitu dengan cara relaksasi progresif. Masalah-masalah yang
berhubungan dengan stress seperti hipertensi, sakit kepala, insomnia dapat
dikurangi atau diobati dengan relaksasi, relaksasi dapat menurunkan tekanan
darah sistolik dan diastolik pada penderita hipertensi (Subandi, 2003).
Relaksasi otot progresif (PMR) adalah suatu metode untuk membantu
menurunkan tegangan otot sehingga tubuh menjadi rileks. Pertama kali
diperkenalkan oleh Edmund Jacobson, seorang dokter dari Amerika Serikat,
pada tahun 1938. Dalam bukunya, Jacobson menjelaskan bahwa saat
ketegangan otot secara signifikan menurun, maka kesempatan untuk
munculnya penyakit dapat dikurangi. Jacobson juga mengatakan relaxation is
the direct negative of nervous excitement. It is the absence of nerve-muscle
impulse (Synder & Lindquist, 2010).
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Suratini ( 2013 )
tentang pengaruh relaksasi otot progresif terhadap tingkat hipertensi pada
lansia dengan hipertensi di Desa Nogotirto, Gamping, Sleman, Yogyakarta
menunjukkan ada perbedaan tekanan darah sistole dan diastole sebelum dan
sesudah dilakukan relaksasi progresif.
Berdasarkan hasil pengkajian pada Ny. P Polikilinik Penyakit Dalam
RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Wonogiri, didapatkan tekanan darah
160/90 mmHg. Ny. P mengatakan tidak tahu tentang penyakitnya dan tidak
tahu cara penanganannya selain dengan obat - obatan. Hal ini menunjukkan
perlunya tindakan teknik relaksasi otot progresif untuk menurunkan tekanan
darah pada Ny. P dengan hipertensi.

2
2. PICO
Pada hasil pengkajian pada hari Selasa, 20 September 2016 tekanan
darah Ny. P 160/90 mmHg. Berdasarkan pengkajian tersebut intervensi yang
dapat dilakukan pada Ny. P salah satunya adalah dengan tindakan non
farmakologis yaitu dengan relaksasi otot progresif. Relaksasi otot progresif
diharapkan dapat menurunkan tekanan darah pada pasien yaitu Ny. P, sesuai
dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Suratini ( 2013 ) tentang
pengaruh relaksasi progresif terhadap tingkat hipertensi pada lansia dengan
hipertensi di Desa Nogotirto, Gamping, Sleman, Yogyakarta yang
menunjukkan ada perbedaan tekanan darah sistole dan diastole sebelum dan
sesudah dilakukan relaksasi progresif selama 5 hari.

3. Tinjauan kasus
Tekanan darah pada Ny. P adalah 160/100 mmHg, Ny. P mengatakan
kepala pusing cekot-cekot dan terkadang sulit tidur. Ny. P juga mengatakan
belum mengetahui tentang penyakitnya.

4. Dasar Pembanding
Terapi farmakologi yaitu dengan pemberian obat merupakan penangan
yang sering dilakukan dilapangan. Obat dapat diperoleh di Poliklinik Penyakit
Dalam RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Wonogiri. Selain itu penanganan
hipertensi dilakukan dengan pembatasan konsumsi garam.
Pemberian terapi non farmakologis merupakan terapi alternatif yang
relatif praktis dan efisien yaitu salah satunya dengan cara pemberian relaksasi
otot progresif. Tujuan latihan relaksasi adalah untuk menghasilkan respon
yang dapat memerangi respon stres (Smeltzer & Bare, 2001). Manfaat dari
PMR ini adalah menurunkan kecemasan, konsumsi oksigen tubuh, kecepatan
metabolisme, frekuensi napas, ketegangan otot, tekanan darah sistol dan
diastol, kontraksi ventrikel prematur dan peningkatan gelombang alfa otak
(Synder & Lindquist, 2010).

3
5. Implementasi
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Suratini ( 2013 )
tentang Pengaruh Relaksasi Progresif Terhadap Tingkat Hipertensi Pada
Lansia Dengan Hipertensi di Desa Nogotirto, Gamping, Sleman, Yogyakarta
maka dilakukan Teknik Relaksasi Progresif pada pasien Ny. P selama 15
menit. Pengukuran tekanan darah dilakukan sebelum dan sesudah dilakukan
relaksasi otot progresif.
Relaksasi otot progresif dilakukan dengan mengkontraksikan dan
merelaksasikan sekelompok otot secara berurutan, yaitu otot tangan, lengan
atas, lengan bawah, dahi, wajah, rahang, leher, dada, bahu, punggung atas,
perut, paha dan betis. Kontraksi otot dilakukan 5-10 detik dan relaksasi selama
lebih kurang 20-30 detik. Perhatian pasien diarahkan untuk dapat merasakan
perbedaan antara saat otot-otot dikontraksikan dan saat direlaksasikan. Latihan
dilakukan di rungan yang tenang diatas kursi atau tempat tidur yang nyaman
yang menyokong tubuh dengan baik. Pasien dianjurkan memakai pakaian
yang nyaman, tidak ketat, sepatu, kaca amta dan kontak lens dilepaskan. Poin
penting dari latihan ini adalah melakukannya secara teratur tiap hari minimal
15 menit (Synder & Lindquist, 2010).
Menurut Katie (2009) Ada dua bagian yang perlu diperhatikan untuk
relaksasi otot progresif, yaitu dalam membuat ketegangan dan melepaskan
ketegangan otot. Proses penerapan ketegangan otot pada dasarnya adalah
sama, terlepas dari mana kelompok otot yang gunakan. Pertama, fokuskan
pikiran pada kelompok otot, misalnya: tangan kanan. Kemudian tarik napas
dan hanya memeras otot sekeras yang bisa dilakukan untuk menahannya
sekitar 8 detik, dalam contoh, kegiatan akan membuat kepalan tangan dengan
melibatkan tangan. Setelah 8 detik ditahan, maka tiba-tiba bisa dilepaskan.
Biarkan semua sesak dan sakit mengalir keluar dari otot-otot saat
menghembuskan napas secara bersamaan. Dalam contoh ini, akan
membayangkan sesak dan sakit mengalir keluar dari tangan melalui ujung jari
ketika menghembuskan napas. Rasakan otot-otot rileks dan menjadi longgar

4
dan lemas, ketegangan mengalir keluar seperti air dari keran. Fokuskan
perasaan dengan melihat perbedaan antara ketegangan dan relaksasi.

6. Hasil
Selama dilakukan terapi non farmakologis yaitu relaksasi otot
progresif didapatkan hasil dimana tekanan darah sebelum dilakukan relaksasi
otot progresif 160/90 mmHg sedangkan tekanan darah sesudah dilakukan
relaksasi otot progresif 150 / 85 mmHg

7. Diskusi
Secara fisiologi, situasi stres mengaktivasi hipotalamus yang selanjutnya
mengendalikan dua sistem neuroendokrin, yaitu sistem simpatis dan sistem
korteks adrenal. Sistem saraf simpatik berespons terhadap impuls saraf dari
hipotalamus yaitu dengan mengaktivasi berbagai organ dan otot polos yang
berada di bawah pengendaliannya, sebagai contohnya, ia meningkatkan
kecepatan denyut jantung, meningkatkan tekanan darah, meningkatkan aliran
darah ke otot dan mendilatasi pupil (Smeltzer & Bare, 2001).
Sistem saraf simpatis juga memberi sinyal ke medula adrenal untuk
melepaskan epinefrin dan norepinefrin ke aliran darah. Sistem korteks adrenal
diaktivasi jika hipotalamus mensekresikan CRF, suatu zat kimia yang bekerja
pada kelenjar hipofisis yang terletak tepat di bawah hipotalamus. Kelenjar
hipofisis selanjutnya mensekresikan hormon ACTH, yang dibawa melalui
aliran darah ke korteks adrenal. Dimana, ia menstimulasi pelepasan
sekelompok hormon, termasuk kortisol, yang meregulasi kadar gula darah.
ACTH juga memberi sinyal ke kelenjar endokrin lain untuk melepaskan
sekitar 30 hormon. Efek kombinasi berbagai hormon stres yang dibawa
melalui aliran darah ditambah aktivitas neural cabang simpatik dari sistem
saraf otonomik berperan dalam respons fight or flight (Nasution I. K., 2007).
Respon fight or flight merupakan reaksi stres di dalam tubuh yang mencakup
meningkatnya detak jantung, pernafasan, tekanan darah, dan serum kolesterol.
Filosofi dari respon fight or flight ini adalah : saat berhadapan dengan suatu
5
ancaman, tubuh mempersiapkan dirinya untuk ; apakah akan tetap berada di
tempat menghadapi ancaman tersebut (fight), ataukah akan lari dari ancaman
tersebut (flight).
Smeltzer & Bare (2002) mengatakan tujuan latihan relaksasi adalah untuk
menghasilkan respon yang dapat memerangi stress. Dengan demikian, saat
melakukan relaksaksi otot progresif dengan tenang, rileks dan penuh
kosentrasi (relaksasi dalam) terhadap tegang dan relaksasi otot yang dilatih
selama 30 menit maka sekresi CRH (cotricotropin releasing hormone) dan
ACTH (adrenocorticotropic hormone) di hipotalamus menurun. Penurunan
kedua sekresi hormon ini menyebabkan aktivitas syaraf simpatis menurun
sehingga pengeluaran adrenalin dan noradrenalin berkurang, akibatnya terjadi
penurunan denyut jantung, pembuluh darah melebar, tahanan pembuluh darah
berkurang dan penurunan pompa jantung sehingga tekanan darah arterial
jantung menurun (Sherwood, 2011).
Latihan relaksaasi otot progresif memberikan dampak yang signifikan
dalam menurunkan tekanan darah pada penderita hipertensi esensial atau
primer. Dampak yang terjadi meliputi dampak langsung dan jangka panjang.
Dampak langsung dari terapi relaksasi progresif adalah penurunan tekanan
darah terutama sistolik pada orang dewasa yang melakukan pengobatan
teratur. Jadi terapi relaksasi otot progresif bukan sebagai terapi tunggal. Terapi
relaksasi otot progresif juga berdampak pada penurunan denyut nadi. Kondisi
tersebut dapat disimpulkan berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh
Shinde, N., KJ, S., SM, K., Handee, D., & Bhushan, V. (2013)
menggambarkan tentang study eksperimental yang dilakukan di berbagai
fakultas di India bulan September 2011 sampai Desember 2011 dengan Subjek
penelitian berjumlah 105 orang yang menderita hipertensi primer dengan
tekanan darah diatas 140/90 mmHg dalam rentang usia 25-55 tahun dan
menggunakan terapi medis dengan teratur. Data dasar diukur tekanan darah
dan denyut jantung dalam posisi duduk. Semua subjek mendapat penjelasan
tentang JPMR dan melakukan JPMR. Peneliti mendemonstrasikan teknik
untuk mengkontraksikan dan merelaksasikan berbagai kelompok otot,
6
mengatur kontraksi dan relaksasi dengan napas dalam dan melakukan
prosedur dengan mata tertutup pada posisi supinasi. Setelah demonstrasi,
subjek melakukan JPMR selama 30 menit dan setelah 30 menit latihan,
tekanan darah dan denyut jantung diuukur lagi segera setelah JPMR dalam
posisi duduk. Hasil penelitian menunjukkan terdapat perbedaan yang sangat
signifikan pada tekanan darah dan denyut jantung pre dan post intervensi.
Terdapat perbedaan yang signifikan secara statistik pada tekanan darah sistolik
(p < 0,01), tekanan darah diastolik (p = 0,05) dan denyut jantung (p < 0,05),
penurunan yang signifikan setelah sesi JPMR.
Dampak jangka panjang terhadap terapi relaksasi otot progresif orang
dewasa dengan hipertensi primer adalah penurunan yang signifikan terhadap
tekanan darah sistolik. Namun penurunan tekanan darah sistolik hanya sekitar
5 mmHg pada orang yang hanya menggunakan tehnik terapi relaksasi otot
progresif sebagai terapi tunggal. Sementara pada orang yang mengkonsumsi
obat anti hipertensi penurunan  tekanan darah sistolik bisa mencapai 16,65
mmHg. Penurunan tekanan darah diastolik tidak bermakna pada orang yang
tidak mengkonsumsi obat anti hipertensi, sementara pada orang yang rutin
mengkonsumsi obat anti hipertensi penurunan tekanan darah diastolik
mencapai 3,8 mmHg. Kondisi tersebut dapat disimpulkan dari tiga penelitian
berikut.
Penelitian pertama dilakukan oleh Patel1*, D. H. M et all (2012) ,
merupakan penelitian eksperimen di Baroda India terhadap 83 orang  berusia
20 – 45 tahun yang dipilih  secara acak setelah diseleksi berdasarkan kriteria
usia, tekanan darah, tidak dalam kondisi sakit yang lain, dan tidak sedang
menggunakan obat anti hipertensi. Desain yang digunakan pre-post with
control group. Responden dibagi menjadi  3 group. Grup 1 adalah kelompok
hipertensif dengan tekanan darah tinggi, dibagi menjadi dua kelompok yaitu
kelompok dengan terapi PMR dan non PMR. Grup 2 adalah kelompok
kontrol. Terapi PMR dilakukan oleh responden di rumah masing masing
selama 3 bulan dengan bantuan kaset panduan terapi PMR. Hasil penelitian
menunjukkan setelah 3 bulan terdapat perbedaan yang bermakna pada tekanan
7
darah sistolik kelompok dengan terapi PMR sebelum dan sesudah terapi dari
142,93 menjadi 137,87mmHg (p < 0,05), terdapat perbedaan yang bermakna
pada kelompok dengan terapi PMR dan non PMR setelah 3 bulan terapi (p <
0,05), dan terdapat perbedaan yang bermakna pada tekanan darah  sistolik
maupun diastolik antara kelompok kontrol dan kelompok hipertensif setelah
terapi PMR 3 bulan. Hasil penelitian  menunjukkan perbedaan pada tekanan
darah sistolik yang bermakna pre dan post PMR pada kelompok intervensi,
namun untuk tekanan darah diastolik tidak terdapat perbedaan yang bermakna.
Meskipun rerata tekanan darah sistolik responden yang melakukan PMR
mengalami penurunan namun jika dibandingkan dengan kelompok kontrol
yang memiliki tekanan darah normal masih terdapat perbedaan yang
bermakna, artinya PMR bisa menurunkan tekanan darah namun tidak bisa
mengembalikan ke tekanan darah yang normal.
Penelitian kedua dilakukan oleh Sheu et all (2003) di Taiwan dengan
desain quasi eksperiment dilakukan pada 40 orang dengan hipertensi primer
yang dibagi menjadi 2 kelompok. Kelompok perlakuan melakukan latihan
relaksasi otot progresi selama 30 menit tiap hari. Hasil yang diperoleh setelah
satu minggu terjadi penurunan tekanan darah sistolik 3,7 – 6,5 mmHg,
sementara untuk tekanan darah diastolik turun 3,0 – 3,8 mmHg. Efek lanjut
latihan terlihat pada minggu ke tiga dengan penurunan tekanan darah sistolik
sebesar 2,2 mmHg, dan pada minggu ke empat tekanan darah sistolik menurun
sebesar 5,1 mmHg sedangkan tekanan diastolik turun 2,2 mmHg.
Penelitian berikutnya dilakukan oleh Harmono,R (2010) di 2 wilayah
puskesmas di Malang terhadap 40 orang  penderita hipertensi primer yang
mengkonsumsi obat anti hipertensi, tidak obesitas dan menjalani diit natrium
yang dibatasi 2,4 gram perhari. Desain yang digunakan quasi eksperimental.
Responden dibagi menjadi 2 kelompok yaitu 20 orang kelompok perlakuan
dan 20 orang kelompok kontrol. Kelompok kontrol mendapatkan latihan
relaksasi otot progresif  selama 15 menit dua kali serhari yang dilaksanakan
dalam 6 hari. Pengukuran tekanan darah dilakukan sebelum dan sesudah terapi
relaksaski pada hari ke 2, 4 dan 6. Hasil penelitian menunjukkan terdapat
8
penurunan tekanan darah sistolik yang signifikan hingga 16 mmHg (p value =
0,0075), sementara untuk tekanan darah diastolik terjadi penurunan 3,8 mmHg
namun tidak bermakna (p value = 0,058).
Hasil penelitian pada seluruh jurnal berkaitan dengan kenyataan bahwa
hipertensi berhubungan dengan gaya hidup yang tidak sehat sehingga
rekomendasi utama yang disarankan WHO untuk mengelola dan
mengatasinya adalah dengan memodifikasi gaya hidup termasuk pengendalian
stres, kecemasan atau ketegangan (Shinde, KJ, SM, Hande & Bushan, 2013).
Penelitian juga menunjukka bahwa terapi relaksasi otot progresif tidak bisa
menjadi terapi alternatif (terapi tunggal) namun merupakan terapi
komplementer yang membantu terapi obat anti hipertensi dalam menurunkan
tekanan darah terutama tekanan darah sistolik.
Dalam jurnal yang dikumpulkan, penulis tidak menemukan adanya efek
samping dari terapi relaksasi otot progresif. Meskipun diakui bermanfaat,
relaksasi otot progresif tidak boleh dilakukan pada pasien dengan gangguan
otot, jaringan atau nyeri punggung bawah, peningkatan tekanan intrakranial,
hipertensi tidak terkontrol dan penyakit arteri koroner berat.  ( Lewis et all,
2007; Richmond, 2009; Synder & Lindquist, 2010).

8. Kesimpulan dan Saran


Kesimpulan :
Relaksasi otot progresif sebagai penatalaksanaan pasien hipertensi non
farmakologi efektif dalam menurunkan tekanan darah pada lansia.
Saran :
a. Diharapkan terapi relaksasi otot progresif dapat dilanjutkan pada Ny. P
secara mandiri
b. Diharapkan bagi petugas kesehatan khususnya perawat lansia dapat
menjadikan relaksasi otot progresif menjadi salah satu intervensi
keperawatan dalam menurunkan tekanan darah pada lansia dengan
hipertensi.

9
DAFTAR PUSTAKA

1. Gardner, Samuel. (2007). Panduan Sehat Mengatasi Tekanan Darah Tinggi.


Jakarta : Prestasi Pustakaraya
2. Muhammadun, (2010). Hidup Bersama Hipertensi : Seringai Darah Tinggi
Sang Pembunuh Sekejap. Yogyakarta : In Books
3. Ritu Jain, (2011). Pengobatan Alternatif untuk Mengatasi Tekanan Darah.
Jakarta : Gramedia
4. Snyder & Lindquist. (2010). Complementary/alternative therapies in nursing
5. Smeltzer, Suzanne C. dan Bare, Brenda G, 2001, Buku Ajar Keperawatan
Medika
6. Lauralee Sherwood (2011). Judul : Human Physiology. From Cells to
Systems 7th edition

10

Anda mungkin juga menyukai