Anda di halaman 1dari 47

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Jantung Merupakan suatu organ penting di dalam tubuh manusia yang
memiliki dua pompa yaitu atrium dan ventrikel yang bekerja serentak
menghasilkan tekanan untuk mengalirkan darah ke seluruh tubuh. Aliran darah
tersebut penting untuk mengirimkan nutrisi ke jaringan tubuh dan membawa
sampah metabolik untuk dikeluarkan dari tubuh (Black & Hawks, 2014).
Jantung jika tidak berfungsi dengan baik akan mengakibatkan gangguan fungsi
jantung dan pembuluh darah, sehingga timbulnya penyakit pada jantung.
Penyakit jantung adalah gangguan dari jantung dan pembuluh darah dan
termasuk penyakit jantung koroner, penyakit serebrovaskular, penyakit jantung
rematik dan kondisi lainnya American Heart Association (AHA).
Pada tahun 2016 Penyakit jantung adalah penyebab terkemuka kematian
dunia, dan berdasarkan laporan dari American Heart Association (AHA) tahun
2030 diperkirakan akan tumbuh lebih dari 23,6 jiwa. Menurut perkiraan WHO
tahun 2015, total kematian akibat penyakit jantung adalah 20 juta jiwa. Penyakit
jantung adalah penyebab nomor satu kematian di dunia, Sekitar 17,5 juta orang
meninggal setiap tahun akibat penyakit jantung, dari seluruh kematian di seluruh
dunia. Sekitar 80% dari semua kematian penyakit kardiovaskuler adalah karena
serangan jantung dan stroke. Menurut World Health Organization (WHO) Lebih
dari tiga perempat dari kematian penyakit jantung berlangsung di negara-negara
berpenghasilan rendah dan menengah.
Data Riset Kesehatan dasar (RISKESDAS) tahun 2013 melaporkan
prevalensi gagal jantung yang terdiagnosis oleh dokter di Indonesia sebesar
0,13 %, untuk provinsi Kalimantan Timur prevalensi pasien gagal jantung yang
terdiagnosis sebesar 1,0%. Data Dinas Kesehatan Samarinda (2015) Angka
Kejadian penyakit jantung di Samarinda 1.407 sebanyak kasus, Berdasarkan
data yang dikumpulkan dari hasil studi pendahuluan, pada tahun 2016 angka
kejadian penyakit jantung di salah satu Rumah Sakit yang ada di Samarinda
adalah 1.874 pasien dengan kisaran umur 11-94 tahun. Penyakit pada jantung
seperti stenosis pulmonal, penyakit jantung koroner (PJK), stroke, koartasio
2

aorta dan yang lain sebagainya. Manajemen gagal jantung terbagi menjadi dua
yaitu pengobatan gagal jantung dekompresi dan terapi gagal jantung kronis
stabil tubuh (Black & Hawks, 2014). Di Indonesia menurut Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) tahun 2014, menyatakan bahwa
penyebab utama kematian adalah penyakit pada jantung. Uji diagnostik dalam
manajemen terapi kardiovaskuler yang paling banyak dilakukan diseluruh dunia
adalah salah satu prosedur invasif angiografi koroner (Jomasyah, 2013).
Berdasarkan data yang dikumpulkan dari hasil studi pendahuluan, pada tahun
2016 angka kejadian angiografi koroner di salah satu Rumah Sakit yang ada di
Samarinda adalah 708 pasien dengan kisaran umur 32-66 tahun. Secara umum,
tes diagnostik invasif diketahui menyebabkan stress dan disritmia. Peningkatan
denyut jantung dan tekanan darah tinggi bisa membawa komplikasi lain, seperti
kerusakan antar jaringan dan agregasi platelet yang dapat membangkitkan
reaksi fisiologis maupun psikologis, maka pasien sering kali merasakan
perasaan tidak nyaman salah satunya adalah kecemasan.
Kecemasan merupakan satu perasaan subjektif yang dialami seseorang
terutama oleh adanya pengalaman baru, termasuk pada pasien yang akan
mengalami tindakan diagnostik invasif seperti operasi. Angiografi jantung
adalah prosedur medis invasif digunakan untuk diagnosis penyakit arteri
koroner. Secara umum, tes diagnostik invasif diketahui menyebabkan stress dan
disritmia. Kecemasan pada pasien yang menjalani angiografi koroner dapat
menyebabkan disritmia, iskemia, infeksi, takikardi ventrikel/fibrilasi, komplikasi
kardiovaskuler, bahkan kematian (Hajbaghery, Moradi & Mohseni 2015). Pasien
yang sering dilaporkan mengalami cemas karena hospitalisasi, pemeriksaan
dan prosedur tindakan medik yang menyebabkan perasaan tidak nyaman serta
keluhan-keluhan yang dikemukan seperti khawatir, firasat buruk, gangguan pola
tidur, keluhan somatik, misalnya sakit pada otot, berdebar-debar hingga sesak
nafas (Hawari, 2011). Berdasarkan hasil observasi dilakukan dari hasil studi
pendahuluan, pada tahun 2016 di salah satu Rumah Sakit yang ada di
Samarinda adalah klien yang akan dilakukan tindakan diagnostik invasif
menunjukkan respon cemas sedang 19,3% dan cemas berat 10,5%
dibandingkan dengan klien yang sudah pernah dilakukan tindakan diagnostik
invasif .
3

Pra operasi merupakan tahapan awal dalam mengaplikasikan


pencegahan kecemasan pada pasien. Fase pra operatif merupakan awal yang
menjadi landasan untuk kesuksesan tahapan-tahapan berikutnya. Kecemasan
yang dialami pasien dapat berdampak terhadap berlangsungnya pelaksanaan
operasi. Respon kecemasan yang dialami seseorang dapat berupa respon
fisiologis, perilaku, dan kognitif. Maka tak heran jika sering sekali pasien dan
keluarganya menunjukan sikap yang akan berlebihan dengan kecemasan yang
mereka alami (Tahmasbi & Soghra, 2016). Ketika seseorang merasa cemas
maka sistem tubuh akan bekerja dengan meningkatkan kerja saraf simpatis
sebagai respon terhadap stres. Sistem saraf simpatis bekerja melalui aktivasi
medula adrenal untuk meningkatkan pengeluaran epinephrine, norepinephrine,
cortisol serta menurunkan nitric oxide. Keadaan tersebut akan menyebabkan
perubahan respon tubuh seperti peningkatan denyut jantung, pernafasan,
tekanan darah, aliran darah ke berbagai organ meningkat serta peningkatan
metabolisme tubuh. Untuk menghambat kerja saraf simpatis dapat dilakukan
dengan meningkatkan aktivasi kerja saraf parasimpatis untuk menimbulkan
respon relaksasi (Suryani dan Nuraeni, 2015). Menanggulangi dan menurunkan
kecemasan pasien adalah merupakan salah satu tugas seorang perawat. Terapi
nonkonvensional merupakan salah satu terapi nonfarmakologis atau
komplementer, pendekatan kepada pasien dilakukan dengan complementary
and alternative therapies (CATs) untuk meringankan gejala-gejala yang diderita
pasien (Solehati & Kosasih, 2015).
Menanggulangi dan menurunkan kecemasan pasien merupakan salah
satu tugas seorang perawat. Untuk menurunkan tingkat kecemasan pada
pasien dapat dilakukan dengan tindakan farmakologi dan non farmakologi salah
satu upaya tindakan non farmakologi seperti relaksasi , refresing, aromaterapi,
meditasi, terapi pijat, terapi musik, dan dipandu citra visual. Metode
komplementer untuk mengurangi kecemasan menggunakan biaya yang efisien,
mudah diterapkan, non invasif, non farmakologis, dan tanpa efek samping.
Relaksasi adalah salah satu teknik utama yang diterapkan dalam intervensi non
farmakologis untuk mengurangi stress dan kecemasan pasien. Dalam relaksasi,
prinsip-prinsip psikoneuroimunologi diterapkan dalam rangka untuk mengatur
kegiatan fisiologis di sistem yang berbeda dari tubuh. Teknik relaksasi dapat
4

digunakan secara efektif dalam berbagai kondisi klinis, termasuk melahirkan,


parah sakit, kecemasan, insomnia, dan agresi. Teknik ini dapat menurunkan
denyut jantung, pernapasan, tekanan darah, dan konsumsi oksigen. Relaksasi
bisa dilakukan bervariasi, sementara metode yang diusulkan oleh Herbert
Benson (1970) dianggap sangat efektif. Teknik relaksasi Benson adalah teknik
relaksasi yang cepat dan mudah dipelajari dan pelaksanaannya tidak
memerlukan keahlian atau peralatan canggih. Selain itu, teknik ini berlaku untuk
pasien dari semua kelompok umur. (Tahmasbi & Soghra, 2016). Respon
relaksasi yang ditimbulkan oleh saraf parasimpatis bekerja dengan cara
menstimulasi medula adrenal untuk menurunkan pengeluaran epinephrine,
norepinephrine, cortisol serta meningkatkan nitric oxide. Keadaan tersebut akan
menyebabkan perubahan respon tubuh seperti penurunan denyut nadi, tekanan
darah, konsumsi oksigen, metabolisme tubuh, produksi laktat dan seseorang
merasakan perasaan nyaman (Benson, 2000; Park, dkk., 2013). Apabila secara
fisik kondisi tubuh sudah rileks, maka kondisi psikisnya juga merasakan
perasaan tenang (Yamamoto & Nagata, 2011). Salah satu teknik untuk
meningkatkan kerja parasimpatis yaitu dengan teknik relaksasi (Benson, 2000).
Teknik relaksasi nafas dalam dan otot merupakan jenis relaksasi yang dapat
digunakan untuk meningkatkan kerja parasimpatis (Catherine & King, 2013).
Perangsangan saraf simpatis dan parasimpatis memberikan efek pada
pembuluh darah sistemik dan tekanan arteri. Sebagian besar pembuluh darah
sistemik akan berkontriksi bila ada perangsangan saraf simpatis (Guyton & Hall,
2008). Penelitian ini sejalan dengan konsep dari Dr. Herbert Benson bahwa
dengan melakukan relaksasi selama 15 menit akan menyebabkan aktifitas saraf
simpatik dihambat yang mengakibatkan penurunan terhadap konsumsi oksigen
oleh tubuh dan selanjutnya otot-otot tubuh menjadi relaks sehingga
menimbulkan perasaan tenang dan nyaman (Benson, 2000).

B. Perumusan Masalah Penelitian


Angiografi merupakan tahapan awal dalam mengaplikasikan
pencegahan kecemasan pada pasien. Fase pra operatif merupakan awal yang
menjadi landasan untuk kesuksesan tahapan-tahapan berikutnya. Kecemasan
yang dialami pasien dapat berdampak terhadap berlangsungnya pelaksanaan
5

operasi. Respon kecemasan yang dialami seseorang dapat berupa respon


fisiologis, perilaku, dan kognitif. Untuk menurunkan tingkat kecemasan pada
pasien dapat dilakukan dengan tindakan farmakologi dan non farmakologi salah
satu upaya tindakan non farmakologi adalah refreshing, meditasi, hipnoterapi,
dan relaksasi. Pertanyaan penelitian ini yaitu, apakah terdapat skor rata-rata
respon cemas antara sebelum dan sesudah diberikan intervensi relaksasi
benson?

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Khusus
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Pengaruh Relaksasi Benson
Terhadap Perubahan Respon Cemas Pada Pasien Jantung dengan
Tindakan Angiografi
2. Tujuan Umum
a. Mengidentifikasi skor rata-rata respon cemas sebelum dilakukan
tindakan intervensi relaksasi benson pada pasien jantung dengan
tindakan angiografi angiografi
b. Mengidentifikasi skor rata-rata respon cemas sesudah dilakukan
tindakan intervensi relaksasi benson pada pasien jantung dengan
tindakan angiografi.
c. Mengidentifikasi perbedaan skor rata-rata respon cemas antara
sebelum dan sesudah diberikan intervensi relaksasi benson.

D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Praktis
Bagi keperawatan, salah satu intervensi yang dapat dilakukan untuk
mengurangi perubahan respon cemas adalah dengan teknik relaksasi,
dengan dilakukannya penelitian ini maka relaksasi Benson menjadi salah
satu pilihan relaksasi yang dapat perawat lakukan sebagai intervensi
keperawatan dalam perubahan respon cemas pasien jantung persiapan
angiografi sesuai dengan NIC (Nursing Intervention Classification). Dengan
demikian, penelitian ini berkontribusi bagi praktik keperawatan, khususnya
dalam intervensi menangani kecemasan.
6

Penelitian ini juga memberikan kontribusi bagi responden, dengan


intervensi dalam penelitian ini maka responden mendapatkan intervensi
yang efektif dalam mengatasi kecemasan sebelum dilakukan tindakan
angiografi tanpa menyebabkan timbulnya efek samping, serta dapat
dilakuakn mandiri di rumah tanpa harus melibatkan tenaga ahli, karena
dapat dipelajari prosedur pelaksanaannya.

2. Manfaat Teoritis
Penelitian ini dapat menjadi pertimbangan bagi Institusi Sekolah Tinggi Ilmu
Kesehatan Wiyata Husada Samarinda untuk mengembangkan mata ajar
terapi komplementer keperawatan, dengan relaksasi sebagai salah satu
relaksasi benson.

E. Penelitian Terkait
Penelitian yang berkaitan dengan Pengaruh Relaksasi Benson Dengan
Perubahan Respon Cemas Pada Pasien Jantung Persiapan Angiografi antara
lain :
1. Effect of Bensons relaxation technique on the anxiety of patients undergoing
coronary angiography: A randomized control trial. (Homeyra Tahmasbi,
Soghra Hasani., Journal of Nursing and Midwifery Sciences, 2016).
Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi pengaruh teknik relaksasi
Benson pada kecemasan pasien yang menjalani angiografi koroner. Metode
uji klinis acak ini dilakukan pada 70 pasien yang calon angiografi koroner di
Mazandaran Heart Center di Sari, Iran pada tahun 2014. Pasien yang dipilih
melalui pengambilan sampel secara acak dan dibagi menjadi dua kelompok
intervensi (n = 35) n dan kontrol (n = 35). alat pengumpulan data termasuk
kuesioner demografi, Spielberger Negeri-Trait Anxiety Inventory (STAI), dan
lembar perekam variable hemodinamik. Hasil relaksasi benson menurunkan
kecemasan.
2. Implementing Bensons Relaxation Training in Hemodialysis Patients:
Changes in Perceived Stress, Anxiety, and Depression. (Mahdavi dkk,2016).
Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi kemanjuran teknik Relaksasi
Benson untuk stres, kecemasan, dan depresi pasien dengan hemodialisis.
7

Metode penelitian menggunakan delapan puluh pasien hemodialisa dipilih


dari dua rumah sakit sebagai intervensi dan kelompok kontrol. Kemudian
pelatihan Relaksasi Benson dilaksanakan di intervensi kelompok selama 15
menit dua kali sehari selama 4 minggu. Para pasien dinilai oleh depresi,
kecemasan, dan skala stres; yang diselesaikan sebelum dan setelah
intervensi. Hasil penelitian Ada perbedaan yang signifikan antara tingkat stres
dan kecemasan dalam kelompok kasus sebelum dan sesudah intervensi (P
<0,001) dan tidak ada perbedaan yang berarti antara rata-rata nilai depresi
pada kelompok kasus sebelum dan sesudah intervensi (P <0,22).
3. Efektifitas Relaksasi Benson terhadap Intensitas Nyeri Luka Post Sectio
Sesaria (Dewi, dkk 2014). Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi
Efektivitas Benson Relaksasi untuk mengurangi intensitas nyeri luka sectio
paska operasi caesar di Bakung Timur Room di Rumah Sakit Sanglah.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah desain eksperimental
kuasi dengan menggunakan test dan post desain tes pra dengan kelompok
kontrol. Sampel terdiri dari 30 peserta sectio pasca operasi caesar yang
dipilih dengan teknik purposive sampling, dibagi menjadi dua kelompok, yaitu
intevention dan kelompok kontrol, adalah peserta masing-masing. Dalam
kelompok intervensi diberikan Benson Relaksasi dikombinasikan dengan
terapi dan kontrol analgesic hanya diberikan terapi analgesik. Intensitas nyeri
pre test dan post test untuk kedua kelompok, skala nyeri diukur dengan
menggunakan Visual Analog Scale (VAS). Hasil penelitian menunjukkan
bahwa kombinasi Benson Relaksasi dan terapi analgesik lebih analgesik
sendirian dengan Sig. (2 tailed) dari 0023 (p <0,05). Yang berarti signifikan
Relaksasi Benson untuk mengurangi intensitas nyeri luka sectio pasca
operasi caesar di Bakung Timur Room di Rumah Sakit Sanglah.
4. Pengaruh Relaksasi Benson terhadap Penurunan Skala Nyeri Dada Kiri pada
pasien Acute Myocardial Infarc di RS dr Woewardi Surakarta (Sunaryo dan
Lestari, 2014). Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi pengaruh
relaksasi Benson dalam menurunkan nyeri dada pada pasien Acute
Myocardial Infarc. Metode penelitian yang digunakan adalah quasi-
eksperimental dengan pre test and post test design with control group. Hasil
penelitian ini adalah kombinasi Relaksasi Benson dan Terapi Analgetik lebih
8

efektif menurunkan nyeri pada pasien Acute Myocardial Infarc dibandingkan


dengan yang hanya mendapatkan terapi analgesik.
5. State and trait anxiety in patient undergroing coronary angiography (Moradi
dan Hajbaghery, 2015). Penelitian ini bertujuan untuk menyelidiki tingkat
kedua jenis kecemasan pada pasien yang menjalani koronari angiografi.
Metode: Penelitian cross-sectional dilakukan dengan mendaftar 50 pasien.
Kuesioner demografi dan Spielberger dan Trait Anxiety Inventory digunakan
untuk pengumpulan data. Uji T digunakan untuk membandingkan kecemasan
tingkat antara kelompok jenis kelamin dan usia. Temuan: Negara Basaline
dan sifat kecemasan berarti tingkat pada pasien CA yang rendah (34,36
5,56, 35,9 8 7.49, masing-masing). Tingkat tertinggi kedua kecemasan
negara dan sifat diamati 30 menit sebelum CA (41,44 8,45 dan 37,84
6,88, masing-masing), dan itu jauh lebih tinggi dari nilai yang sesuai di
negara awal serta kecemasan setelah CA (P <. 05). Pasien wanita secara
signifikan lebih gelisah dari pada pasien laki-laki baik sebelum dan sesudah
CA (P <0,05).
Perbedaan penelitian ini adalah penggunaan variabel, metodologi penelitian
serta lokasi penelitian dan persamaan penelitian sebelumnya adalah jenis
intervensi, sampel penelitian yaitu pasien cemas, durasi. Penelitian menjelaskan
bahwa relaksasi sebagai intervensi pengganti obat penenang, akurasi relaksasi
dan relaksasi secara spesifik dalam penelitian ini tentang pengaruh relaksasi
benson terhadap perubahan respon cemas pada pasien jantung dengan
tindakan angiografi.
9

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Penyakit jantung

Penyakit jantung adalah suatu keadaan dimana jantung tidak bisa


berfungsi dengan baik sehingga menyebabkan gangguan fungsi jantung dan
pembuluh darah. Seperti kita ketahui bahwa tugas dari jantung adalah
memompa darah dalam tubuh, sehingga jantung merupakan organ yang
sangat vital bagi tubuh manusia (Black & Hawks, 2014). Dengan analisis
manifestasi klinis pada seseorang yang terkena penyakit jantung dengan
tanda-tanda klinis umum penyakit jantung yaitu nyeri dada, dispnea, sianosis,
sinkop, palpitasi, edema, ketidaknyamanan epigastrik, dan keletihan (wanita
sering mengalami beberapa minggu sebelum infark miokardium, sehingga ini
merupakan tanda peringatan bagi wanita).

1. Macam-macam penyakit jantung menurut Smeltzer & Bare (2014)


adalah sebagai berikut :

a. Penyakit jantung koroner (PJK)

Penyakit jantung koroner merupakan penyakit pada jantung yang


terjadi akibat penurunan suplai darah dan oksigen ke otot jantung.
b. Gagal jantung

Gagal Jantung adalah suatu kondisi fisiologis ketika jantung tidak


dapat memompa darah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan
metabolik tubuh (ditentukan sebagai konsumsi oksigen).Gagal
jantung terjadi karena perubahan fungsi sistolik dan diastolik ventrikel
kiri. Kegagalan jantung karena defek struktural, sehingga tidak dapat
menangani jumlah darah yang normal,tidak dapat melakukan
toleransi peningkatan volume cairan mendadak (misalnya selama
melakukan latihan fisik).
c. Infark miokardium akut (biasa dihindari pada klien kurang dari 2
minggu setelah infark)
10

Infark miokardium akut merupakan gangguan pada jantung sebagai


akibat dari penyakit jantung koroner (PJK), yang ditandai dengan
pembentukan area nekrotik lokal di dalam miokardium
d. Angina pektoris

Angina pektoris adalah nyeri dada yang terjadi akibat iskemia


miokardium (suplai darah yang adekuat ke miokardium).
e. Distritmia

Distritmia merupakan gangguan irama jantung.Distrimia umum pada


orang dengan kelainan jantung, namun dapat terjadi juga pada orang
dengan jantung normal.
f. Penyakit katup jantung

Ketika katup jantung yang secara normal memindahkan darah melalui


ruangan jantung secara efisien tidak dapat menutup atau membuka
dengan sempurna, perfusi jantung dan jaringan distal terganggu dan
otot jantung mengalami kelelahan. Katup yang mengalami stenosis
dapat mengganggu aliran darah dari satu ruang keruang berikutnya,
suatu katup yang mengalami insufisiensi dapat menyebabkan aliran
darah mengalami regurgitasi (mengalir kembali).
g. Kardiomiopati

Kardiomiopati merupakan gangguan miokardium subakut atau


kronis.Penyakit sistemik yang dapat meracuni atau mengubah
miokardium.

2. Penatalaksanaan Diagnostik

Pelaksanaan diagnostik merupakan informasi objektif yang didapat dari


hasil laboratorium adapun prosedur diagnostik jantung terdiri atas
prosedur non-invasif dan invasif (Smeltzer & Bare, 2014).
a. Prosedur non invasif

1) Pemeriksaan Elektrokardiografi
11

Pemeriksaan Elektrokardiografi adalah meletakkan keping alat


pada dinding dada untuk melihat aktivitas listrik jantung.
2) Latihan fisik

Uji latihan fisik meliputi ergometri sepeda atau uji treadmill.


Latihan fisik ini untuk meningkatkan denyut jantung berdasarkan
usia, kemampuan mencapai denyut jantung agar dapat
meningkatkan reliabelitas hasil pemeriksaan.
3) Radiografi

Untuk melihat rontgen dada, CT angiografi, CT scan per protokol


emboli paru, magnetic resonance imaging (MRI), magnetic
resonance angiography (MRA), Pemindaian viabilitas,
ekokardiogram, Penelitian ini untuk melihat efek pelacak pada
pasien dengan gangguan ginjal.
b. Prosedur invasif

1) Ekokardiografi transesofageal

Ekokardiografi transesofageal pemerikasaan ini sangat


bermanfaat bagi pasien dengan penebalan paru atau penebalan
dinding dada atau obesitas. Oleh karena probe diletakan
disamping jantung , atrium kiri dengan mudah dapat dilihat.
2) Studi elektrofisiologi

Merupakan metode invasif perekaman aktivitas listrik intrakardiak.


3) Kateterisasi jantung

Prosedur kompleks ini meliputi pemasangan kateter kedalam


jantung, arteri koroner, dan pembuluh darah sekitar untuk
memperoleh informasi tentang struktur dan performa jantung,
katup dan sirkulasi.
Angiografi koroner merupakan komponen utama dalam
kateterisasi jantung yang bertujuan untuk memeriksa keseluruhan
cabang pembuluh darah koroner baik pembuluh darah asli
maupun graft bypass (Wangko, 2012). Dalam manajemen terapi
12

kardiovaskuler, prognosis serta penentuan diagnosis, angiografi


koroner menjadi salah satu prosedur invasif yang paling banyak
dilakukan di seluruh dunia (Jomansyah, 2013).
Dalam penatalaksanaan prosedur non invasif maupun invasif dalam
penanganan diagnostik pada penyakit jantung harus sesuai dengan
hasil pengkajian yang didapat agar dapat menyesuaikan hasil data yang
objektif melalui uji diagnostik untuk menegakkan suatu diagnosa
penyakit yang tepat (Smeltzer & Bare, 2014).

B. Konsep Angiografi Koroner

Kateterisasi jantung adalah suatu pemeriksaan jantung dengan


memasukkan kateter ke dalam sistem kardiovaskular untuk memeriksa
keadaan anatomi dan fungsi jantung (Price & Wilson 2005).
Menurut Rokhaeni, Purnamasari & Rahayoe (2001) menyebutkan
bahwa pemeriksaan kateterisasi menurut pada intinya terbagi atas 2 tindakan
yaitu angiogram dan penyadapan. Angiogram/angiography yaitu
memasukkan media kontras kedalam suatu rongga (ruang jantung/pembuluh
darah), untuk meyakinkan suatu aliran darah, kemudian merekam kedalam
film atau video sebagai data. Penyadapan yaitu tindakan menyadap,
merekam, mendokumentasikan tekanan, kandungan oksigen, sistem listrik
jantung, tanpa menggunakan media kontras.
Angiografi koroner atau penyuntikan bahan kontras ke dalam arteri
koronaria merupakan tindakan yang paling sering digunakan untuk
menentukan lokasi, luas dan keparahan sumbatan dalam arteri koronaria
(Price & Wilson 2005). Angiografi adalah prosedur invasif yang digunakan
untuk memvisualisasi ruang-ruang jantung, katup, pembuluh darah besar,
dan arteri koroner, serta mengukur tekanan dan volume di dalam empat
empat ruang. Prosedur ini membutuhkan insersi kateter ke dalam jantung
melalui fungsi vena per kutaneus. Suatu zat kontras diinjeksikan melalui
kateter sehingga dihasilkan gambar fluoroskopik. Kedua kateterisasi dapat
dilakukan baik sisi kiri maupun sisi kanan. Keteterisasi jantung, yang
dilakukan untuk tujuan diagnostik, biasanya dilakukan tindakan rawat jalan.
Komplikasi yang berhubungan dengan prosedur jantung meliputi disritmia,
13

perdarahan pada lokasi fungsi, hematoma dan stroke. (Potter & Perry, 2005).
Diagnostik invasif kardiovaskuler adalah suatu tindakan pemeriksaan
diagnosik untuk menentukan diagnosa secara invasif pada kelainan jantung
dan pembuluh darah. Dikatakan invasif, karena tindakan ini memasukkan
selang/tube kecil (kateter) ke dalam jantung, melalui pembuluh darah baik
vena atau arteri (Rokhaeni, Purnamasari & Rahayoe, 2001). Angiografi
koroner dapat memberikan informasi tentang lokasi lesi atau sumbatan pada
koroner, derajat obstruksi, adanya sirkulasi kolateral, luasnya gangguan
jaringan pada area distal koroner yang tersumbat dan jenis morfologi lesi
(Price & Wilson 2005).
1. Indikasi Penggunaan Angiografi
Dengan keluhan nyeri dada yang bertahan hidup setelah henti jantung
Menurut Guidelines ACC/AHA, angiografi koroner di indikasikan untuk
pasien dadak; penyakit jantung koroner(PJK) kronis dengan simptom
jelas atau tanda tanda risikotinggi pada pemeriksaan non invasif; serta
bukti klinis adanya gagal jantung.
a. Angiografi koroner pasien dengan STEMI

Guidelines ACC/AHA merekomendasikan angiografi koroner pada


kandidat yang akan dilakukanintervensi koroner primer atau
penyelamatangagal trombolisis, serta pasien dengan syok
kardiogenik atau cedera jantung struktural (misalnya ruptur septum
ventrikel atau komplikasi mayor lainnya.
b. Angiografi koroner pada pasien dengan UA/NSTEMI

Secara umum, angiografi koroner tidak direkomendasikan sebagai


bagian dari evaluasi rutin pada UA/NSTEMI. Walaupun demikian,
guidelines ACC/AHA merekomendasikan angiografi sebagai bagian
dari strategi invasif dini untuk pasien dengan indikator risiko tinggi
seperti berulangnya gejala iskemia meskipun telah diberikan terapi
medikamentosa yang adekuat, hasil tes non invasif berisiko tinggi,
berkurangnya fungsi sistolik ventrikel kiri, aritmia berat, dan
mendahului revaskularisasi.
c. Angiografi koroner pada pasien dengan nyeri dada non spesifik
14

Baik guidelines ACC/AHA tahun 1999 maupun pedoman 2007


mengenai UA/ NSTEMI tidak menganjurkan angiografi koroner untuk
pasien dengan nyeri dada nonspesifik, kecuali bila terdapat temuan
berisiko tinggi pada pemeriksaan non invasif. Pedoman ini juga
menyokong angiografi untuk pasien dengan nyeri dada setelah
penggunaan kokain bila segmen ST tetap elevasi setelah terapi
medikamentosa. Angiografi koroner juga dianjurkan untuk pasien
yang disertai bukti klinis spasme koroner.
d. Angiografi koroner untuk follow up pasien

Angiografi koroner juga dianjurkan pada pasien dengan status


fungsional yang sangat terbatas meskipun telah mendapat terapi
medikamentosa yang maksimal atau terbukti mengalami iskemia
yang tetap berlanjut, setelah tindakan revaskularisasi, sebagai contoh
oklusi tiba-tiba atau restenosis setelah intervensi koroner. Angiografi
koroner tidak dianjurkan sebagai bagian follow up rutin dari pasien
yang tidak mengalami perubahan status klinis.
e. Angiografi koroner untuk evaluasi dan penilaian gagal jantung
Menurut Guidelines AHA 2009 mengenai gagal jantung
merekomendasikan angiografi koroner pada pasien dengan gagal
jantung atau fungsi ventrikel kiri terganggu dan bukti klinis iskemia,
yang akan bermanfaat untuk revaskularisasi, pada ke-lompok risiko
tinggi ini.

f. Angiografi koroner pada pasien dengan penyakit katup

Angiografi koroner umumnya dilakukan sebelum pembedahan untuk


memberi-kan informasi apakah pasien juga menderita PJK penyerta
yang juga memerlukan tindakan revaskularisasi. Guidelines ACC/AHA
mengenai penyakit katup jantung merekomendasikan untuk
melakukan angio-grafi koroner prabedah pada laki-laki yang berusia
>35 tahun, perempuan pre meno-pause >35 tahun dengan faktor
risiko koro-ner, dan pasca menopause yang mempu-nyai gejala
penyakit jantung koroner atau disfungsi ventrikel kiri. Angiografi
15

koroner rutin tidak diindikasikan untuk pasien lebih muda (<45 tahun)
yang menjalani pembedahan regur-gitasi mitral yang disebabkan oleh
degene-rasi katup mitral tanpa adanya gejala dan faktor risiko.
Berdasarkan guidelines dari European Society of Cardiology tahun
2007, indikasi angiografi koroner dilakukan sebelum pem-bedahan
katup pada pasien dengan penyakit katup jantung berat disertai salah
satu di bawah ini:
Adanya riwayat PJK
1) Diduga iskemia miokard (nyeri dada, pemeriksaan non invasif
tidak normal)

2) Disfungsi sistolik ventrikel kiri

3) Laki-laki berusia >40 tahun dan perempuan paska menopause

4) 1 faktor risiko kardiovaskular

g. Angiografi koroner sebelum dan sesudah pembedahan non kardiak

Umumnya, indikasi angiografi koroner pre-operatif menyerupai non


operatif. Guide-lines ACC/AHA mengenai evaluasi kardiovaskular
perioperatif untuk pembedahan non kardiak, mengindikasikan bahwa
angio-grafi koroner merupakan intervensi yang sesuai untuk pasien
dengan risiko tinggi pada tes non invasif, seperti halnya mereka
dengan gejala angina yang memerlukan revaskularisasi meskipun
bukan merupakan kandidat untuk bedah non kardiak. Guidelines
ACC/AHA juga merekomen-dasikan angiografi koroner pada pasien
dengan hasil tes non invasif yang tidak jelas dengan risiko klinis tinggi
untuk menjalani pembedahan berisiko tinggi
h. Angiografi koroner pada pasien dengan penyakit jantung congenital

Terdapat dua indikasi utama untuk angiografi koroner pada pasien


dengan penyakit jantung kongenital yaitu penilaian dampak
hemodinamik dari lesi koroner kongenital dan adanya anomali
koroner yang berpotensi membahayakan jantung selama koreksi lesi
jantung kongenital lainnya. Guidelines ACC/AHA mengindi-kasikan
16

bahwa angiografi koroner sebaik-nya dilakukan pada pasien yang


akan men-jalani koreksi penyakit jantung kongenital bila ditemukan
nyeri dada, iskemia pada pemeriksaan non invasif, atau terdapatnya
banyak faktor risiko koroner. Guidelines ACC/AHA juga
merekomendasikan angio-grafi koroner pada pasien muda dengan
henti jantung yang tidak dapat dijelaskan kausanya
i. Pemanfaatan lainnya dari angiogarafi koroner

Guidelines ACC/AHA merekomendasikan angiografi koroner pada


pasien dengan aneurisma aorta, kardiomiopati hipertrofi, dan kondisi
lain bila diperlukan informasi mengenai keterlibatan arteri koroner
atau adanya PJK.
Secara fisiologis jantung memliki tiga lapisan yaitu : Epikardium,
Miokardium, Endokardium. Jantung bekerja untuk memompa darah
dimana darah masuk melewati vena kava superior dan inferior dan sinus
koronarius yang berasal dari jantung tersebut ke atrium dextra, dan
kemudian darah dipompa keventrikel dextra melewati katup trikuspidalis,
setelah masuk diventrikel dextra darah dipompa kembali menuju ke paru-
paru untuk mendapatkan O2 melewati katup pulmonal, darah kaya akan
O2 masuk keatrium sinistra dan akan dipompa keventrikel sinistra
melewati katup mitral dan kemiokardium guna untuk kontraksi jantung,
setelah darah+O2 keventrikel sinistra darah siap dipompa keseluruh
tubuh melewati katup aorta (Smeltzer & Bare , 2014).
Secara patofisiologi jantung mengalami gangguan baik
dipembuluh darah ataupun fungsi jantung. Jika terjadi penyempitan
pembuluh darah diarteri koroner akan terjadi hambatan kinerja jantung
akibat penumpukan low-density lipoprotein(LDL) didinding arteri sehingga
penyuplaian darah kurang dari kebutuhan sehingga mengakibatkan
kinerja jantung meningkat, jika penumpukan tersebut semakin membesar
akan terjadi kurangnya pasokan darah (iskemik) pada otot jantung
(miokardium) sehingga menyebabkan kerusakan pada jantung. Akibat
dari penyempitan arteri korener ini akan timbul beberapa penyakit
diantaranya :
17

a. Infark miokard dimana kondisi terhentinya aliran darah diarteri


koroner akibat penumpukan lipoprotein sehingga darah+O2 tidak
dapat disuplai sehingga terjadi iskemik.

b. Iskemia miokard akibat kurangnya pasokan darah ke miokardium


dimana darah yang masuk ke miokardium ini untuk merangsang
jantung untuk berkontraksi.

c. Angina pektoris terjadi akibat suplai darah+O2 tidak adekuat untuk


memenuhi kebutuhan miokard.

d. Gagal jantung ketidakmampuan jantung untuk memompa darah


dalam jumlah cukup untuk memenuhi kebutuhan oksigen dan nutrisi
jaringan

2. Kontra indikasi Angiografi Koroner

a. Non Renal

1) Jantung (uncontrolled ventricular irritability, gangguan


keseimbangan elektrolit, hipertensi yang tidak terkontrol,

2) kegagalan ventrikel kiri yang tidak terkontrol, intoksikasi digitalis)

3) Penyakit yang disertai demam; harus dicari dahulu sumber


infeksinya

4) Perdarahan saluran cerna

5) Psikologi/neurologi (informed consent dari pasien sendiri,


riwayat stroke)
18

6) Riwayat alergi terhadap kontras (Jomansyah, 2013)

b. Renal

Gangguan ginjal yang merupakan faktor risiko penting terhadap


mortalitas dan morbiditas bedah jantung dan umum. Juga
merupakan salah satu faktor risiko yang paling penting pada
angiografi koroner. Adanya gangguan ginjal harus ditentukan sejak
awal sebagai kontraindikasi yang potensial untuk angiografi koroner.
Umumnya indikasi angiografi koroner dan dampak penyakit jantung
akan mengarahkan ke penentuan kontraindikasi relatif. Yang paling
penting yaitu pengenalan gangguan ginjal, dampak outcome,
penggunaan peralatan yang sesuai untuk minimalisasi risiko terkait
gangguan ginjal. Terdapat dua penyebab utama gangguan ginjal
pasca kateterisasi jantung yaitu nefrotoksisitas yang diinduksi oleh
kontras dan renal ateroemboli (Jomansyah, 2013).

3. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan angiografi adalah sebagai berikut (Jomansyah, 2013) :
a. Persiapan
Dilakukan beberapa pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
laboratorium untuk mengetahui keadaan pasien secara umum
antara lain :
1) Elektrokardiografi
2) Darah lengkap
3) Elektrolit darah
4) Tes fungsi ginjal
5) Faktor koagulasi
Selain pemeriksaan di atas, kondisi penyakit penyerta, seperti
diabetes melitus, CHF, insufi siensi ginjal, harus sudah dalam
kondisi stabil, kecuali untuk kasus angiografi koroner darurat.
b. Pemilihan arteri
Pemilihan arteri yang akan digunakan sebagai akses masuknya
kateter ke dalam tubuh pasien juga tidak kalah penting. Pemilihan
19

arteri ini bergantung pada beberapa faktor, seperti keahlian operator,


kondisi fisik pasien, status antikoagulasi dan kondisi pembuluh
darah perifer. Beberapa arteri yang dapat dipilih, antara lain:
1) Arteri femoralis
Palin
g banyak dipilih bila tidak ada kondisi yang mengganggu
2) Arteri brakialis dan arteri radialis
Arteri-arteri jarang digunakan, tetapi dipilih apabila ada penyakit
pembuluh darah perifer yang parah dan pada pasien obesitas.
Dibandingkan dengan arteri brakialis, arteri radialis lebih sering
dipilih karena kateter lebih mudah dipasang dan dilepas.
c. Obat yang digunakan
1) Analgesik/Sedatif
Tujuan penggunaan analgesik adalah untuk sedikit menurunkan
kesadaran sehingga membuat pasien tenang tetapi masih
dapat merespons perintah verbal dan menjaga jalan napasnya
sendiri. Diazepam 2,5-10 mg oral dan difenhidramin 25-50 mg
oral adalah obat yang dapat dipakai satu jam sebelum
prosedur. Selama prosedur dapat dipakai midazolam 0,5-2 mg
IV dan fentanil 25-50 mg.
Selama dalam pengaruh sedasi, pasien harus dipantau kondisi
hemodinamiknya, elektrokardiografi nya, dan oksimetrinya.
2) Antikoagulan
Antikoagulan tidak lagi diberikan pada prosedur angiografi
koroner dengan akses arteri femoralis rutin. Unfractionated
heparin 2000-5000 unit IV diberikan pada prosedur angiografi
koroner dengan akses arteri brakhialis atau radialis dan pasien
dengan risiko tinggi komplikasi tromboemboli.
3) Kontras
Semua kontras radiografi mengandung yodium yang secara
efektif menyerap sinar X dalam kisaran energi sistem angiografi.
Kontras radiografi ini dapat dibagi menjadi dua tingkat, yaitu
kontras yodium osmolar tinggi dan kontras yodium osmolar
20

rendah. Kontras angiografi memiliki efek samping terhadap


hemodinamik dan ginjal. Pada beberapa pasien dapat terjadi
reaksi alergi, sehingga kortikosteroid IV Selama tindakan
dilakukan, angina dapat terjadi karenabeberapa faktor, seperti
takikardia, agen kontras, hipertensi, mikroemboli, dll.
Nitrogliserin sublingual, intrakoroner, maupun intravena dapat
diberikan pada pasien dengan tekanan sistolik >100 mmHg.
harus disiapkan setiap kali prosedur dilaksanakan
4) Obat Angina

d. Teknik

Setelah seluruh persiapan selesai termasuk informed consent dari


pasien, pasien akan dibawa masuk ke dalam ruang kateterisasi yang
dilengkapi dengan alat sinar-X di dalamnya. Pasien ditidurkan di meja
khusus, dilakukan sterilisasi serta anestesi lokal pada daerah insersi
jarum. Sheath dimasukkan hingga ujung berada dalam arteri, kemudian
kateter dimasukkan dan didorong hingga mendekati jantung dengan
panduan sinar X. Ujung kateter dapat berada di jantung, arteri koroner
kanan, ataupun arteri koroner kiri tergantung tujuan prosedur. Kontras
diinjeksikan melalui kateter sehingga menggambarkan anatomi jantung
dan pembuluh darah koroner pasien yang dapat dilihat dari serangkaian
foto sinar X. Ketika kontras diinjeksikan, pasien akan merasa sensasi
panas pada lokasi insersi jarum, merasa seakan tubuh menjadi basah,
serta adanya sensasi logam di lidah. Hal ini seharusnya diinformasikan
kepada pasien sebelum prosedur dilaksanakan. Setelah rangkaian
tindakan di atas selesai, kateter ditarik keluar secara perlahan.

C. Konsep Kecemasan

Kecemasan adalah pengalaman manusia yang bersivat universal,


suatu respons emosional yang tidak menyenangkan, penuh dengan
kekhawatiran, suatu rasa takut yang tidak terekspresikan dan tidak terarah
karena suatu sumber ancaman atau pikiran sesuatu yang akan datang tidak
21

jelas dan tidak teridentifikasi (Solehati & Kosasih, 2015) . Kecemasan


merupakan respons terhadap situasi tertentu yang mengancam dan
merupakan hal yang normal terjadi menyertai perkembangan, perubahan,
serta dalam menemukan identitas diri dan arti hidup. Seringkali kecemasan
juga ditandai dengan perasaan mudah marah, cemas, perasaan tegang,
mudah gugup, kewaspadaan berlebih, dan terkadang menyebabkan keringat
pada telapak tangan. Terkadang dampak yang terjadi pada kecemasan dapat
berupa dampak yang positif atau negatif.

Dampak positif terjadi jika kecemasan muncul pada tingkat moderat


dan memberikan kekuatan untuk melakukan sesuatu, membantu individu
membangun pertahanan dirinya agar rasa cemas yang dirasakan dapat
berkurang sedikit demi sedikit, sedangkan dampak negatif terjadi jika
kecemasan muncul pada tingkat tinggi dan menimbulkan gangguan-
gangguan fisik yang dapat menghalangi individu untuk berfungsi efektif
dalam kehidupan sehari-hari seperti meningkatnya detak jantung, dan
menegangnya otot-otot tubuh sehingga sering terlihat sebagai suatu reaksi
panik. Pada saat cemas individu akan sangat sulit untuk menyesuaikan diri
baik dengan dirinya sendiri, orang lain, maupun lingkungan sekitarnya.
Kecemasan yang nyata sebagai kecemasan yang mendasar terhadap
bahaya nyata yang ada dalam dunia eksternal (Drajat, 2007).
1. Tipe Kecemasan

Seseorang akan menderita gangguan kecemasan manakala yang


bersangkutan tidak mampu mengatasi stresor psikososial yang
dihadapinya. Tetapi pada orang - orang tertentu meskipun tidak ada
stresor psikososial, yang bersangkutan menunjukan kecemasan juga.
Menurut Hawari (2011) yang ditandai dengan corak atau tipe kepribadian
pencemas, yaitu antara lain:
a. Cemas, khawatir, tidak tenang, ragu, dan bimbang.

b. Memandang masa depan dengan rasa was-was (khawatir).

c. Kurang percaya diri, gugup apabila tampil dimuka umum.


22

d. Sering merasa tidak bersalah, menyalahkan orang.

e. Tidak mudah mengalah, suka ngotot.

f. Gerakan sering serba salah, tidak tenang bila duduk, gelisah.

g. Seringkali mengeluh ini dan itu (keluhan-keluhan somatik), khawatir


berlebihan terhadap penyakit.

h. Mudah tersinggung, suka membesar-besarkan masalah yang kecil


(dramatis)

i. Dalam mengambil keputusan sering diliputi rasa bimbang dan ragu.

j. Bila mengemukakan sesuatu atau bertanya seringkali diulang-ulang.

k. Kalau sedang emosi sering kali bertindak histeris.

Orang dengan tipe kepribadian pencemas tidak selamanya


mengeluh hal-hal yang sifatnya psikis tetapi sering juga disertai dengan
keluhan-keluhan fisik (somatik) dan juga tumpang tindih dengan ciri-ciri
kepribadian depresif atau dengan kata lain batasannya seringkali tidak
jelas. Pada umumnya kecemasan merupakan fenomena yang normal
mengiri proses pertumbuhan dan perkembangan, selain itu kecemasan
juga muncul pada pengalaman baru dan hal yang belum pernah dicoba
(Styar, 2006). Perubahan ini membawa ciri atau perasaan yang tidak
nyaman seolah ada bahaya terhadap nyawanya. Secara klinis gejala
kecemasan dibagi beberapa kelompok, yaitu : gangguan cemas (anxiety
disorder), gangguan cemas menyeluruh (generalized anxiety
disorder/GAD), gangguan phobik (phobic disorder) dan gangguan
obsesif-kompulsif (obsessive-compulsive disorder).
Secara fenomenologi manifestasi kecemasan bisa berupa
perasaan-perasaan dicirikan sebegai kegelisahan, sedih, tertekan,
bingung, dukacita, khawatir, panik dan takut, ketegangan fisik maupun
mental.Kecemasan sebagai reaksi emosional dari keadaan jiwa individu,
dalam hal ini gejalanya bisa bersifat psikologis maupun fisiologis.
Adapun tipe kecemasan berdasarkan tingkatannya menurut Hawari
23

(2011), adalah sebagai berikut :


1) Kecemasan Ringan

Berhubungan dengan ketegangan yang dialami sehari-hari. Individu


masih waspada serta lapang persepsinya meluas, menajamkan
indra. Dapat memotivasi individu untuk maupun memecahkan
masalah dan menghasilkan pertumbuhan dan kreatifitas.
2) Kecemasan Sedang

Individu terfokus hanya pada pikiran yang menjadi perhatiannya,


terjadi penyempitan lapangan persepsi, masih dapat melakukan
sesuatu dengan arahan orang lain.
3) Kecemasan Berat

Lapangan persepsi individu sangat sempit. Pusat perhatiannya pada


detail kecil dan tidak dapat berfikir tentang hal-hal lain. Seluruh
perilaku dimaksudkan untuk mengurangi kecemasan dan perlu
banyak perintah untuk berfokus pada area tertentu.
4) Kecemasan Berat Sekali

Individu kehilangan kendali diri dan detail perhatian hilang. Karena


hilangnya kontrol, maka tidak mampu melakukan apapun meskipun
dengan perintah.Terjadinya peningkatan motorik, berkurangnya
kemampuan berhubungan dengan orang lain, penyimpangan
persepsi dan hilangnya pikiran rasional, tidak mampu berfungsi
secara efektif.

2. Faktor Yang Mempengaruhi Kecemasan

Menurut Kaplan & Sadock (2010), faktor yang dapat menjadi


pencetus seseorang merasa cemas dapat berasal dari diri sendiri (faktor
internal) maupun dari luar dari dirinya (faktor eksternal) meliputi :
a. Faktor Internal

1) Pengetahuan
24

Seseorang yang mempunyai ilmu pengetahuan dan


kemampuan intelektual akan dapat meningkatkan kemampuan
dan rasa percaya diri dalam menghadapi kecemasan mengikuti
berbagai kegiatan untuk meningkatkan kemampuan diri akan
banyak menolong individu tersebut. Sejalan dengan penelitian
Rondonuwu, dkk tahun 2014 menunjukkan bahwa terdapat
hubungan yang bermakna antara penetahuan dengan tingkat
kecemasan klien pre operasi katarakdari hasil uji chi-square
melalui uji diperoleh nilai sebesar 0,001 yaitu lebih kecil dari
= 0,05.
2) Pengalaman
Tiap pengalaman individu merupakan sesuatu yang berharga
dan belajar dari pengalaman sebelumnya dan dapat
meningkatkan keterampilan menghadapi suatu keadaan.
3) Kepercayaan

Kepercayaan yang terjalin atau kemauan seseorang untuk


bertumpu pada orang lain dimana kita memiliki keyakinan
padanya.
b. Faktor Eksternal

1) Dukungan Keluarga

Lingkungan kecil dimulai dari lingkungan keluarga, peran


pasangan dalam hal ini sangat berarti dalam memberi
dukungan. Istri,suami dan anak, serta orang terdekat yang
penuh pengertian serta dapat mengimbangi kesulitan yang
dihadapi. Sejalan dengan penelitian Susilawati, D tahun 2013
ada hubungan antara dukungan keluarga dengan tingkat
kecemasan penderita kanker serviks paliatif di RSUP Dr Sardjito
dengan p value 0,001 (< 0,05).

2) Lingkungan

Lingkungan sekitar individu akan sangat membantu seseorang


dalam menghadapi stresor, pemecahan masalah bersama-
25

sama dan tukar pendapat dengan orang disekitarnya akan


membuat situasi individu lebih siap menghadapi sesuatu.
3) Fasilitas/biaya

Fasilitas atau biaya yang tidak akan menyebabkan individu


tersebut mengalami kekacauan finansial dari segi ekonomi yang
membebankan individu ataupun keluarga. Mekanisme terjadi
cemas yaitu Psiko-Neuro-Imunologi/Endokrinologi. Stressor
psikologis yang menyebabkan cemas adalah perkawinan, orang
tua, pekerjaan, lingkungan, keuangan, hukum, perkembangan,
penyakit fisik, faktor keluarga dan trauma. Akan tetapi tidak
sama semua orang yang mengalami stressor psikososial akan
mengalami gangguan cemas hal ini tergantung pada struktur
perkembangan kepribadian seseorang tersebut yaitu umur,
tingkat pendidikan, pengalaman, jenis kelamin, dukungan sosial
dari keluarga, teman dan masyarakat (Hawari, 2011).

3. Alat Ukur Tingkat Kecemasan

Untuk mengetahui sejauh mana derajat kecemasan seseorang


apakah tidak sama sekali, sedikit (kadang-kadang), cukup (sedang), sering
(hampir selalu) dengan mengguanakan alat ukur yang digunakan State-Trait
Anxiety Inventory (STAI), Spielberger,C. D. Tes STAI terdiri dari dua 20 item
skala untuk mengukur intensitas kecemasan sebagai keadaan emosional (S-
Anxiety) dan perbedaan individu dalam wilayah yang rawan kecemasan
sebagai ciri kepribadian (T-Anxiety). Dalam menanggapi item T-Anxiety
dibutuhkan subyek untuk menunjukkan bagaimana perasaan mereka pada
umumnya dengan melaporkan seberapa sering mereka telah mengalami
kecemasan yang berhubungan dengan perasaan dan kognisi dengan skala
poin:
Poin 0 : Tidak sama sekali
1 : Kurang
2 : Cukup
3 : Sangat merasakan
26

D. Konsep Relaksasi Benson

Relaksasi benson merupakan suatu teknik relaksasi yang diciptakan


oleh seorang ahli peneliti medis Fakultas Kedokteran Harvard yang bernama
Herbert Benson. Harbert benson melaukan pengkajian terhadap beberapa
manfaat dari doa dan meditasi yang dilakukan seseorang terhadap
peningkatan kesehatan. Teknik relaksasi ini dikenal dengan nama Teknik
Relaksasi Benson (Solehati & Kosasih, 2015).
Relaksasi benson merupakan relaksasi yang melibatkan teknik
pernafasan dalam efektif dan kata-kata atau ungkapan yang diyakini oleh
seseorang dapat menurunkan beban yang dirasakan atau dapat
meningkatkan kesehatan. Seseorang tidak boleh tegang dalam
melaksanakan teknik relaksasi ini, tetapi harus pasrah dan memiliki
keyakinan, bahwa relaksasi ini akan dapat menurunkan beban yang
dirasakan atau dapat meningkatkan kesehatan. Teknik relaksasi benson
dialkuakan setelah kesadaran pasien pulih, serta efek anastesi hilang.
Kemudian pasien diberikan penjelasan tentang pengertian, fungsi, dan cara
melakukan teknik relaksasi benson. Sebelum melakukan Teknik Relaksasi
benson, tawarkan terlebih dahulu tentang kata-kata atau ungkapan-ungkapan
bermakna apa yang akan digunakan oleh pasien dalam terapi Relaksasi
Benson ini. Tentunya, ungkapan-ungkapan tersebut harus sesuai dengan
keyakinan yang dimiliki oleh pasien. Jika pasien tidak memiliki ungkapan-
ungkapan tersebut, maka perawat dapat memberikan alternatif ungkapan
yang biasa dilakukan dalam penelitian yang menggunakan Relaksasi Benson
sebagai intervensi dalam penurunan nyeri maupun kecemasan pasien seperti
ungkapan Allah, astaghfirullahalazim bagi muslim dan bagi non muslim
tenang, tuhan, nyeri hilang, cemas berkurang, dan lain-lain. Pasien
dianjurkan untuk memilih salah satu ungkapan tersebut yang menurut
keyakinan pasien dapat menurunkan rasa nyeri maupun cemas tersebut
(Solehati & Kosasih, 2015).
Efek Teknik relaksasi otot Benson mempertahankan aktivitas saraf
parasimpatis dan menurunkan aktivitas saraf simpatik. (Tahmasbi, Hasani
27

2016)

a. Manfaat Relaksasi Benson

Manfaat relaksasi menurut (Benson & Proctor, 2000) adalah sebagai


berikut:
a. Kecemasan dan Hiperventilasi

b. Stress

c. Sakit kepala, sakit punggung, sakit dada (angina pectoris),


hipertensi, penyakit jantung, kanker, kadar kolesterol

d. Insomnia

e. Penggunaan selama berolahraga (jogging atau jalan kaki, berenang)

b. Empat Elemen Dasar dalam Relaksasi Benson

Agar Teknik Relaksasi Benson ini berhasil, diperlukan empat elemen


dasar, antara lain :
a. Lingkungan yang tenang.

b. Klien secara sadar dapat mengendurkan otot-otot tubuhnya,

c. Klien dapat memusatkan diri selama 10-15 menit pada ungkapan


yang telah dipilih,

d. Bersikap pasif pada pikiran-pikiran yang mengganggu (Benson &


Proctor, 2000)

Untuk keberhasilan pelaksanaan Relaksasi Benson, maka tim


kesehatan/perawat dapat memodifikasi lingkungan yang akan
digunakan pada saat relaksasi agar tenang. Tim kesehatan/perawat
harus dapat membuat pasien mengendurkan otot-otot tubuhnya (tidak
tegang) dan menganjurkan agar pasien dapat memusatkan dirinya
selama 10-15 menit, serta menganjurkan pasien agar dapat
28

memusatkan diri selama 10-15 menit, serta menganjurkan pasien untuk


mengabaikan pikiran-pikiran tentang sesuatu yang tidak menyenangkan
sehingga dapat mengganggu keseberhasilan relaksasi .

c. Efek Relaksasi Benson

Menurut hasil penelitian Purwati dkk (2012) mengatakan ada


perbedaan tekanan darah sebelum dan sesudah terapi relaksasi
Benson. Terapi relaksasi mampu menurunkan kadar kortisol yaitu
hormon stress yang berkontribusi besar dalam tekanan darah tinggi.
Selain itu, relaksasi Benson juga efektif untuk menurunkan rasa nyeri
selain menggunakan terapi analgetik.
Menurut hasil penelitian Riska (2013) melaporkan, bahwa
responden yang telah melakukan relaksasi Benson selama 15 menit
melaporkan mengalami rasa tenang dan nyaman sehingga kecemasan
menjadi berkurang. Hal ini disebabkan relaksasi Benson dapat
menghambat aktivitas saraf simpatik yang mengakibatkan penurunan
terhadap konsumsi oksigen oleh tubuh dan selanjutnya otot-otot tubuh
menjadi relaks sehingga menimbulkan perasaan tenang dan nyaman.
Menurut Tahmasbi & Hasani (2016) mengatakan efek
menguntungkan dari teknik relaksasi pada tingkat kecemasan pasien
jantung, teknik relaksasi otot Benson mempertahankan aktivitas saraf
parasimpatis dan menurunkan aktivitas saraf simpatik. Ini akan menjaga
keseimbangan tubuh melalui psikoneuroimunologi, yang mengatur
aktivitas fisiologis dari sistem tubuh.
Teknik relaksasi menghasilkan respon fisiologis yang terintegrasi
dan memberikan perubahan sebagai respon relaksasi (Benson, 1975
dalam Roykulcharoen, 2003). Latihan relaksasi benson dapat
mengembalikan tubuh ke kondisi yang tenang dan nyaman. Relaksasi ini
memberikan efek terhadap peningkatan gelombang alfa sehingga
membuat kondisi otak dalam keadaan relaksasi. Ketika mencapai
gelombang alfa, otak dalam keadaan tenang dan fokus pada suatu
objek, sehingga dapat membangun rasa nyaman terhadap nyeri yang
dirasakan. Keadaan ini sesuai dengan pendapat (Benson & Proctor
29

2000, dalam Aryana & Novitasari 2013) relaksasi Benson merupakan


pengembangan metode respon relaksasi pernafasan dengan melibatkan
faktor keyakinan pasien, yang dapat menciptakan suatu lingkungan
internal sehingga dapat membantu pasien mencapai kondisi kesehatan
yang lebih tinggi.
Cara dari relaksasi Benson ini dapat melatih tubuh dengan
mengatur irama pernafasan secara baik dan benar sehingga pemusatan
pikiran dan penghayatan akan lebih mempercepat penyembuhan dan
membangun rasa nyaman terhadap nyeri serta meningkatkan
kesehatan. Pelatihan relaksasi dapat menimbulkankeadaan tenang dan
rileks dimana gelombang otak mulai melambat sehingga akhirnya
membuat seseorang menjadi tenang dan nyaman (Guyton, 2007;
Benson, 2000).

d. Langkah Latihan Teknik Relaksasi Benson

Menurut Solehati & Kosasih (2015) Adapun langkah-langkah dalam


latihan Teknik Relaksasi Benson adalah sebagai berikut :
a. Langkah Pertama

1) Siapkan pasien, berikan informasi tentang teknik Relaksasi


Benson. Mintalah persetujuan pasien untuk bersedia melakukan
relaksasi tersebut (inform consent)

2) Pilihlah salah satu ungkapan singkat yang mencerminkan


keyakinan pasien. Anjurkan pasien untuk memilih kata atau
ungkapan yang memiliki arti khusus bagi pasien. Fungsi
ungkapan ini dapat mengaktifkan keyakinan pasien dan
meningkatkan keinginan pasien untuk menggunakan teknik
tersebut.

3) Jangan memaksa pasien untuk menggunakan ungkapan-


ungkapan yang dipilih oleh perawat

b. Langkah Kedua
30

1) Atur posisi pasien senyaman mungkin. Mintalah pasien untuk menunjukkan


posisi yang diinginkan pasien untuk melakukan terapi Relaksasi Benson

2) Pengaturan posisi dapat dilakukan dengan cara duduk, berlutut, ataupun


tiduran, selama tidak mengganggu pikiran pasien

3) Pikiran pasien jangan sampai terganggu oleh apapun termasuk karena


adanya salah posisi yang tidak nyaman yang mengakibatkan pasien manjadi
tidak fokus pada intervansi

c. Langkah Ketiga

1) Anjurkan dan bombing pasien untuk memejamkan mata sewajarnya

2) Anjurkan untuk menghindari menutup mata kuat-kuat

3) Tindakan menutup mata dilakukan dengan wajar dan tidak anmengeluarkan


banyak tenaga

d. Langkah Keempat

Anjurkan pasien untuk melemaskan otot-ototnya :


1) Bimbinglah dan mulailah pasien untuk melemaskan otot-ototnya mulai dari
kaki, betis, paha sampai dengan perut pasien

2) Anjurkan pasien untuk melemaskan kepala, leher, dan pundak dengan


memutar kepala dan mengangkat pundak perlahan-lahan

3) Untuk lengan dan tangan, anjurkan pasien untuk mengulurksn kedua


tangannya, kemudian mengendurkan otot-otot tangannya, dan biarkan
terkuai wajar di pangkuan

4) Anjurkan pasien untuk tidak memegang lutut, kaki atau mengaitkan kedua
tanngannya dengan erat

e. Langkah Kelima

Napas dan mulailah menggunakan kata-kata atau ungkapan fokus


yang berakar pada keyakinan pasien
31

1) Anjurkan pasien untuk menarik napas mulai hidung secara


perlahan, pusatkan kesadaran pasien pada pengembangan
perut, tahanlah napas sebentar sampai hitungan ketiga

2) Setelah hitungan ketiga keluarkan napas melalui mulut secara


perlahan-lahan (posisi mulut seperti bersiul) sambil
mengucapkan ungkapan yang telah dipilih pasien dan diulang-
ulang dalam hati selama mengeluarkan napas tersebut

f. Langkah Keenam

1) Anjurkan pasien untuk mempertahankan sifat pasif. Sifat pasif


merupakan aspek penting dalam membangkitkan respons
relaksasi, anjurkan pasien untuk tetap berpikir tenang

2) Saat melakukan teknik relaksasi, kerapkali berbagai macam


pikiran datang mengganggu konsentrasi pasien. Oleh karena
itu, anjurkan pasien untuk tidak mempedulikannya dan bersikap
pasif

g. Langkah Ketujuh

Lanjutkan intervensi Relaksasi benson untuk jangka waktu tertentu.


Teknik ini cukup dilakukan selama 5-10 menit saja. Tetapi jika
menginginkan waktu yang lebih lama, lakukan lebih dari 20 menit.
h. Langkah Kedelapan

Lakukan teknik ini dengan frekuensi dua kali sehari sampai pasien
mengatakan tidak nyeri atau cemas lagi.
32

E. Kerangka Teori Penelitian

Berdasarkan tinjauan pustaka diatas peneliti membuat kerangka teori


penelitian ini sebagai berikut :

Penyakit jantung

Pelaksanaan Diagnostik pada penyakit


jantung (Black & Hawks, 2014) :
-Uji Non-Invasif
-Uji Invasif

Uji Non-Invasif
Uji jantung Invasif -Pemeriksaan Elektrokardiografi
-Ekokardiografi -Uji latihan fisik
-Elektrofisologi -Jantung radiologi
-Kateterisasi jantung
(Angiografi)
Faktor yang mempengaruhi kecemasan
1. Internal :
Kecemasan
Pengetahuan,Pengalaman,kepercayan (Hawari,2011)
2. Eksternal : -Tidak ada cemas
Dukungan keluarga, -Ringan
lingkungan,fasilitas/biaya -Sedang
-Berat

1. Relaksasi
2. Refresing
Farmakologi Non- 3. Aromaterapi
4. Meditasi
5. Terapi Pijat

Respon relaksasi yang ditimbulkan oleh


saraf parasimpatis bekerja dengan cara Efek Relaksasi
menstimulasi medula adrenal untuk Benson
menurunkan pengeluaran epinephrine,
norepinephrine, cortisol serta
meningkatkan nitric oxide. Keadaan
tersebut akan menyebabkan perubahan
respon tubuh seperti penurunan denyut
nadi, tekanan darah, konsumsi oksigen,
metabolisme tubuh, produksi laktat dan
seseorang merasakan perasaan nyaman
(Benson, 2000)
33

Karakteristik Relakasasi Benson (Benson &


Proctor, 2000)
Kecemasan, Hiperventilasi, Stress, Sakit kepala,
sakit punggung, sakit dada (angina pectoris),
hipertensi, penyakit jantung, kanker, kadar
kolesterol, Insomnia Penggunaan selama
berolahraga (jogging atau jalan kaki, berenang)

skema 2.1 Kerangka Teori Penelitia


F. Kerangka Konsep penelitian

Kerangka konsep merupakan bagan hubungan antara variabel yang


akan diteliti dan memberikan arahan penelitian dalam menentukan hipotesis.
Hipotesis merupakan pedoman peneliti dalam mencari hubungan antara
variabel independent dan variabel dependent (Sugiyono, 2012).
Keterangan :

INPUT PROSES OUTPUT

Responden Variabel Variabel


Independen Dependen
Pasien jantung akan dilakukan
tindakan angiografi mengalami
Sebelum dilakukan
kecemasan diukur menggunakan
Relaksasi Benson
kuesioner State-Trait Anxiety Kecemasan
Inventory (STAI) From Y Spielberger,
Sesudah dilakukan
C . D dengan skor cemas ringan skor
Relaksasi Benson
(41-60), cemas sedang skor (21-40)
: Diteliti : Arah Hubungan
dan cemas Berat skor (0-20) di
Ruang Cath lab RSUD Abdul Wahab
Skema 2.2 Kerangka Konsep Penelitian
Sjahraniranie Samarinda
Variabel - variabel yang diteliti meliputi
1. Variabel Independent

Merupakan suatu variabel yang menjadi sebab atau timbulnya variabel


dependent/terkait atau variabel yang nilainya menentukan variabel lain
(Sugiyono, 2012). Variabel independent dalam penelitian ini adalah memberikan
terapi Relaksasi Benson.
2. Variabel Dependent
34

Merupakan variabel yang dipengaruhi atau akibat dari variabel


Independent/bebas (Sugiyono, 2012). Variabel dependent dalam penelitian ini
adalah respon cemas pada pasien jantung persiapan angiografi.

G. Hipotesis Penelitian
Hipotesa adalah merupakan suatu kesimpulan sementara atau
jawaban sementara dari rumusan masalah atau pernyataan penelitian
(Arikunto, 2013). Ada dua jenis hipotesis yang digunakan dalam oenelitian
yaitu hipotesis alternatif (Ha) dan hipotesis nol (Ho). Hipotesis alternatif
menyatakan adanya pengaruh antara variabel X dan Y. Hipotesis nol
menyatakan tidak adanya pengaruh antara variabel X dan Y.
Adapun hipotesa dalam penelitian ini yaitu :
1. Hipotesa Alternatif (Ha)
Terdapat perbedaan rata-rata respon cemas antara sebelum dan
sesudah diberikan intervensi terapi Relaksasi Benson
2. HipotesaNol (Ho)
Tidak terdapat perbedaan rata-rata respon cemas antara sebelum dan
sesudah diberikan intervensi terapi Relaksasi Benson

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Rancangan Penelitian


35

Desain penelitian adalah suatu strategi untuk mencapai tujuan penelitian


yang ditetapkan dan berperan sebagai pedoman atau penuntun peneliti pada
sebuah proses penelitian (Nursalam, 2011). Jenis desain penelitian ini yaitu
Quasi Exprerimental Design dalam bentuk One-Group Pretest-Posttest Design.
Desain ini mempunyai kelompok kontrol, tetapi tidak dapat berfungsi
sepenuhnya untuk mengontrol variable-variabel luar yang mempengaruhi
pelaksanaan eksperimen. Pendekatan yang dilakukan pada penelitian ini yaitu
One-Group Pretest-Posttest Design. Design ini terdapat pretest, sebelum
diberikan perlakuan. Dengan demikian hasil perlakuan dapat diketahui lebih
akurat, karena dapat membandingkan dengan keadaan sebelum diberikan
perlakuan (Sugiyono, 2012).

K 01 X 02
Keterangan :

K : Subjek (Pasien Jantung dengan tindakan


angiografi )
01 : Nilai pretest (sebelum diberikan Relaksasi
Benson)
02 : Nilai posttest (setelah diberikan Relaksasi
Benson)

Gambar 2.1 Rumus One-Group Pretest-Posttest Design, Sumber : Sugiyono


(2012) Metode Penelitian Kombinasi

Aspek yang dinilai dalam pretest dan posttest adalah variabel dependen
dalam penelitian ini, yaitu perubahan kecemasan, sedangkan intervensi yang
dilakukan adalah variabel independen dalam penelitian ini, yaitu pemberian
relakasasi benson.
36

B. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian akan direncanakan di Rumah Sakit Abdul Wahab Sjahranie


Samarinda di ruang Cath Lab. Waktu pelaksanaan penelitian ini direncanakan
pada bulan februari 2017 sampai dengan april 2017.

C. Populasidan Sampel

1. Populasi Penelitian

Populasi adalah suatu wilayah generalisasi yang terdiri atas :


objek/subjek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang
ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya
(Sugiyono, 2012). Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien cemas
yang akan dilakukan dengan tindakan angiografi di ruang Cath Lab RSUD
Abdul Wahab Sjahranie Samarinda. Data yang diperoleh dari Medical
Record RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda untuk ruang Cath Lab
jumlah pasien angiografi yang melakukan tindakan angiografi terhitung bulan
Januari sampai Desember 2016 berjumlah 708 dengan jumlah rata-rata
setiap bulan 49 pasien.

2. Sampel Penelitian
Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh
populasi tersebut (Sugiyono, 2012). Sampel penelitian adalah pasien jantung
yang melakukan persiapan angiografi terdapat kecemasan. Penelitian yang
akan dilakukan ini merupakan penelitian analitik numerik berpasangan maka
terdapat rumus yang digunakan untuk menghitung berapa besar jumlah
sampel yang akan diambil. Penelitian ini dikatakan berpasangan karena data
diukur dua kali pada individu yang sama dengan demikian, rumus besar
sampel yang dipilih adalah (Dahlan, 2014):

(Z Z)S
2
n =( X 1X 2 )
37

(1,96 1,28)
=( (4,8) )2
2,4

(15,5)
2
=( 2,4 )

= (6,4)2

= 40

Keterangan :
Z = Kesalahan tipe 1 sebesar 5%,dengan nilai 1,64
Z = Kesalahan tipe 2 10% sebesar, dengan nilai 1,28
(x1-x2) = Selisih minimal yang dianggap bermakna dengan
nilai 2,4
S = Standar deviasi bernilai 4,8

Berdasarkan rumus diatas besar sampel yang dibutuhkan pada penelitian ini
sebanyak 113 responden. Rumus perhitungan antisipasi droup out adalah
(Sastroasmoro, 2011):
n = 40
1-f

= 40

1-0,1

= 44,4

Keterangan : r = Besar sampel yang dihitung


f = Perkiraan proporsi drop out (10%)

D. Teknik Pengambilan Sampel

Pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan teknik Consecutive


Sampling. Teknik penentuan sampel secara berurutan dengan menetapkan
subjek pertimbangan tertentu yang memenuhi kriteria penelitian hingga kurun
38

waktu tertentu, sehingga jumlah klien yang diperlukan terpenuhi (Nursalam,


2013).
1. Kriteria Inklusi

Kriteria inklusi pada penelitian ini adalah :


a. Bersedia menjadi responden dengan menandatangi informed consent

b. Pasien jantung akan dilakukan tindakan angiografi mengalami


kecemasan di ukur menggunakan kuesioner State-Trait Anxiety
Inventory (STAI) From Y Spielberger,C. D dengan skor cemas ringan
skor (41-60), cemas sedang skor (21-40) dan cemas Berat skor (0-20)
c. Pasien dalam tingkat kesadaran yang optimal (sadar penuh) dan pasien
dapat diajak berkomunikasi sebelum tindakan angiografi

d. Pasien yang beragama Islam dan Kristen

2. Kriteria Ekslusi

Kriteria ekslusi pada penelitian ini adalah :


a. Pasien jantung dengan keadaan sopor, sopora, coma.

b. Pasien anak pada usia 6-12 tahun.

c. Pasien Ibu hamil kurang dari 3 bulan.

d. Gagal jantung yang tidak terkontrol dan alergi zat kontras.

E. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional

1. Penelitian ini terdiri dari dua variabel yaitu variabel independent dan
variabel dependent.

a. Variabel independent adalah variabel yang menjadi sebab perubahan


atau timbulnya variabel dependent (Sugiyono, 2012). Dalam penelitian ini
yang menjadi variabel independent adalah Relaksasi Benson
39

b. Variabel dependent, merupakan variabel yang dipengaruhi atau menjadi


akibat dari variabel independent (Sugiyono, 2012). Variabel dependent
dalam penelitian ini adalah respon cemas pasien jantung persiapan
angiografi.

2. Definisi Operasional

Definisi operasional adalah unsur penelitian yang menjelaskan bagaimana


cara menemukan variabel dan mengukur suatu variabel dengan cermat
terhadap suatu objek atau fenomena. Definisi operasional merupakan
penjelasan semua variabel dan istilah yang akan digunakan dalam penelitian
secara operasional sehingga mempermudah pembaca mengartikan makna
penelitian (Hidayat, 2007).

Definisi Operasional Variabel Independent dan Variabel Dependent


Tabel 3.1 Definisi Operasional
Variabel Definisi Operasional Alat ukur Hasil Skala
ukur
Independen Metode bernafas dalam Standar -
Relaksasi -
dengan frekuensi Operasional
Benson
pernapasan sama dan Prosedur
pengungkapan kata-kata Intervensi dan
yang diyakini oleh observasi
seseorang dapat dalam waktu
menurunkan beban yang 15-20 menit
dirasakan, dilakukan
selama 15 menit dan
dilakukan 8 langkah
relaksasi benson
Dependent Perasaan takut atau tidak Menggunakan 1. Cemas Interval
Kecemasan
nyaman yang dirasakan kuesioner ringan
pasien terhadap sesuatu State-Trait skor (41-
hal sebelum dan sesudah Anxiety 60)
40

dilakukan intervensi. Inventory 2. Cemas


(STAI) From Y sedang
Spielberger,C. skor (21-
D. dengan 40)
3. Cemas
pernyataan
Berat skor
positif dan
(0-20)
pernyataan
negatif.

F. Sumber Data dan Instrumen Penelitian

Sumber data dalam penelitian ini berasal dari responden melalui


observasi dan intervensi mengenai cemas yang dialami oleh responden. Alat
ukur dalam penelitian ini menggunakan State-Trait Anxiety Inventory (STAI)
From Y, Spielberger,C. D. skala ini dikembangkan untuk membuktikan sesuatu
yang dapat dipercaya, relatif singkat, skala untuk menilai tingkatan (state)dan
trait anxiety dalam praktik penelitian klinis Spielberger

G. Uji Validitas dan Reliabilitas

1. Uji Validitas

Validitas merupakan suatu indeks yang menunjukkan alat ukur itu


benar-benar mengukur apa yang diukur. Pengukuran validitas kuisioner
dilakukan untuk mengetahui tingkat ketepatan dan kecermatan alat ukur
untuk mengukur apa yang seharusnya diukur (Sugiyono, 2012). Instrumen
yang digunakan untuk penilaian dalam penelitian ini merupakan instrumen
baku yang biasa digunakan untuk mengetahui tingkat kecemasan instrumen
STAI form Y khusus untuk mengukur kecemasan pasien, bila dihadapkan
pada situasi yang mengancam. Nilai Cronbach's alpha instrumen ini seperti
yang dilaporkan oleh Quek, et al. (2004) pada pasien dengan Lower Urinary
Tract Symptoms (LUTS) yang dilakukan Transurethral Resection of The
Prostate (TURP) adalah 0,89. Instrument ini di uji validitas lagi oleh peneliti
dengan 15 responden, untuk menguji validitas instrumen STAI form Y khusus
41

untuk mengukur kecemasan pasien yang akan dilakukan tindakan angiografi


menggunakan rumus pearson product moment, sebagai berikut (Sugiyono,
2012) :

XY
XY

r xy=

n xi yi

{n x 2( x ) 2 } {n y 2( y )2
i i i i

Keterangan :
r : koefisien korelasi pearson antara intrumen yang akan digunakan
dengan variable yang bersangkutan
X : Skor item instrument yang akan digunakan
Y : Skor semua instrument dalam variable tersebut
N : Jumlah responden

Catatan :
Jika nilai konstata korelasi product moment 0,3 maka pernyataan

tersebut valid
Jika nilai konstata korelasi product moment 0,3 maka pernyataan

tersebut tidak valid


Pada pengukuran sebelum dilakukan intervensi didapatkan
pertanyaan nomor 11,14,15,16,17,18,19,20 tidak valid karena nilai corrected
item total correlationnya diantara 0,035 dan 0,295. Pada pengukuran
sesudah dilakukan intervensi pertanyaan nomor 1,3,7,13,18 tidak valid
karena nilai corrected item total correlationnya diantara 0,021 dan 0,219.

2. Uji Reliabilitas

Reliabilitas merupakan indeks yang menunjukan sejauh mana suatu


alat pengukuran dapat dipercaya atau dapat diandalkan. Hal ini berarti
menunjukkan sejauh mana hasil pengukuran dua kali atau lebih terhadap
gejala yang sama, dengan pertimbangan reliabilitas harus dilakukan pada
42

pertanyaan-pertanyaan yang sudah memiliki validitas (Sugiyono, 2012).


Reabilitas menunjukkan pada tingkat keandalan suatu reliabel artinya dapat
dipercaya, jadi dapat diandalkan. Instrumen yang telah diuji berulang kali
juga menunjukkan hasil reliabel. Peneliti akan melakukan uji kesepahaman
atau uji Interrater reability tentang cara pemberian relaksasi benson terhadap
perubahan respon cemas pada pasien jantung dengan tindakan angiografi
dengan instrument yang sama, pada tempat dan waktu yang sama tetapi
pada agama yang berbeda. Kemudian membandingkan hasil penelitian
masing-masing. Untuk mendapatkan reabilitas digunakan program SPSS
oleh rumus yang dikemukakan oleh Kappa. Kriteria uji kesepahaman pada
penelitian ini adalah jika hasil kappa <0.40 maka uji kesepahaman termasuk
buruk. Jika uji kesepahaman hasil kappa 0.61-0.60 maka termasuk cukup,
dan jika bernilai >0.75 maka uji kappa termasuk istimewa (Arikunto, 2010).
H. Pengolahan Data dan Analisa Data

1 Pengolahan data

Menurut Sugiyono (2012) langkah-langkah dalam memproses data terdiri


dari:
a. Editing

Data yang terkumpul selanjutnya disusun.Editing adalah memeriksa


daftar pertanyaan yang telah diserahkan oleh para pengumpul
data.Tujuannya adalah mengurangi kesalahan atau kekurangan yang ada
di daftar pertanyaan.
b. Coding

Coding adalah mengklasifikasikan jawaban dari para responden ke dalam


kategori. Klasifikasi data merupakan usaha untuk menggolongkan,
mengelompokkan dan memilah data berdasarkan klasifikasi tertentu.
Kegiatan ini akan memudahkan dalam menguji hipotesis. Pengkodean
dalam penelitian ini diantaranya sebagai berikut :
1) Kecemasan ringan dengan skor 41-60 diberi kode 1.

2) Kecemasan sedang dengan skor 21-40 diberi kode 2.


43

3) Kecemasan berat dengan skor 0-20 diberi kode 3.

c. Encoding, scoring dan membuat isian data

Scoring adalah memberikan penilaian terhadap item-item yang perlu


diberi penilaian atau skor. Dalam penelitian ini lembar pre test dan post
test langsung diberikan skor.
d. Tabulating : Menghasilkan rangkuman data

Tabulating adalah pekerjaan membuat tabel.Jawaban-jawaban yang telah


diberi kode kemudian dimasukkan ke dalam tabel.Langkah terakhir dari
penelitian ini adalah melakukan analisa data.Selanjutnya data
dimasukkan ke komputer dan dianalisis secara statistik.

2 Analisa Data

Setelah data terkumpul maka dilakukan analisa data dengan


perhitungan statistik dengan cara:

a. Analisis univariat

Tujuan analisis univariat adalah untuk menjelaskan dan


mendeskripsikan setiap variabel berdasarkan karakteristiknya masing-
masing (Notoatmodjo, 2012). Data yang dinilai adalah mean (rata-rata),
dan median, sedangkan ukuran sebaran (Variasi) yang digunakan adalah
range, standar deviasi, minimal dan maksimal.

b. Analisis bivariat

Analisis bivariat dilakukan terhadap dua variabel yang dicurigai


berhubungan.Dalam analisis bivariat dilakukan analisis dengan
membandingkan dua variabel yang bersangkutan, kemudian dilakukan
analisis uji statistik dan menganalisis keeratan korelasi antara dua
variabel (Notoatmodjo, 2012). Dalam penelitian ini analisis bivariat
dilakukan untuk menguji pengaruh relaksasi benson terhadap perubahan
respon cemas dengan menggunakan uji t berpasangan. Uji ini
merupakan uji parametrik dengan syarat data yang diuji merupakan
44

variabel numerik dan berdistribusi normal, berikut adalah rumus uji t


dependen:

T=

Keterangan:
d : rata-rata deviasi
Sd : standar deviasi
n : jumlah sampel.

Apabila data tidak berdistribusi normal, maka analisis bivariat dapat


menggunakan uji alternatif, yaitu uji Wilcoxon.

Z=

Z : hasil uji Wilcoxon


T : total selisih terkecil antara nilai pre dan post test
n : jumlah sampel

I. Etika Penelitian

Selama penelitian berlangsung, peneliti akan memperhatikan prinsip-prinsip


etik, adapun prinsip-prinsip etik yang akan peneliti perhatikan adalah :
45

1. Otonomy

Prinsip otonomi didasarkan pada keyakinan bahwa individu mampu


berfikir logis dan mampu membuat keputusan sendiri, peneliti akan
menghargai hak-hak responden dalam membuat keputusan untuk setuju
untuk ikut serta dalam penelitian yang akan dilakukan.

Sebelum penelitian dilakukan, peneliti memberikan informed


consent terlebih dahulu untuk memastikan apakah responden bersedia atau
tidak berpartisipasi dalam penelitian. Peneliti menjelaskan maksud dan
tujuan penelitian yang akan dilakukan, jika responden bersedia berpartisipasi
dalam penelitian maka harus menandatangani lembar persetujuan (informed
consent). Responden yang menolak untuk ikut dalam penelitian tidak dipaksa
untuk mengikuti penelitian dan tetap menghormati haknya.

2. Anonymity

Setiap responden memiliki hak-hak dasar individu termasuk privasi


dan kebebasan individu, oleh sebab itu dalam penelitian ini digunakan
anonymity karena tidak semua responden bersedia atau informasi yang
berkaitan dengan dirinya diketahui secara orang banyak.Nama responden
tidak dicantumkan pada lembar penilaian kecemasan, setiap responden
hanya mencantumkan inisial saja.

3. Non-maleficience

Prinsip ini mengutamakan untuk menghindari atau tidak


menimbulkan bahaya baik berupa cidera fisik maupun psikologis, sehingga
penelitian yang akan dilakukan tidak menimbulkan kerugian fisik maupun
psikologis bagi responden. Agar tidak menimbulkan kerugian bagi
responden, relaksasi benson dilakukan sesuai dengan standar prosedur
operasional. Selain itu, responden diminta untuk segera memberitahu peneliti
46

apabila selama proses penelitian, terutama saat dilakukan relaksasi benson


responden merasakan ketidaknyamanan.

4. Justice

Prinsip ini mengutamakan keadilan, dalam penelitian ini tidak akan


membedakan intervensi pada satu responden dengan responden lainnya,
tidak ada diskriminasi dan membeda-bedakan, semua diperlakukan sama
dan adil. Setiap responden diberikan perlakuan yang sama, meliputi prosedur
relaksasi benson yang dilakukan, durasi relaksasi benson, serta etik yang
berlaku bagi setiap responden.
47

J. Alur penelitian

Proposal Penelitian

Hipotesa Alternatif (Ha)


Terdapat perbedaan rata-rata respon cemas antara sebelum dan sesudah diberikan intervensi terapi Relaksasi Benson
HipotesaNol (Ho)
Tidak terdapat perbedaan rata-rata respon cemas antara sebelum dan sesudah diberikan intervensi terapi Relaksasi B

Populasi
seluruh pasien cemas yang akan dilakukan dengan tindakan angiografi di ruang Cath Lab RSUD Abdul Wahab Sjahranie

Sampel
Consecutive sampling

Instrumen Penelitian

Diklit RSUD Abdul WahabMengurus


SjahranieSurat Ijin Penelitian Di STIKES
Ruang WHS RSUD. Abdul Wahab Sjahrani
Keperawatan

Pengumpulan data diruang Cath Lab

Variabel Independen Variabel Dependen Tingkat Kecemasan Pasien


Relaksasi Benson

Analisa Data

Kesimpulan

Skema 3.2 Alur Penelitian

Anda mungkin juga menyukai