Anda di halaman 1dari 99

DAFTAR ISI

Klasterisasi Staphylococcus aureus Resisten Neutrofil Berdasar Assesory Gene Regulator 93-103
Christin Marganingsih Santosa, Fajar Budi Lestari, Rini Widayanti, Siti Isrina Oktavia Salasia

Platelet Rich Plasma (Prp) dari Limbah Darah Sapi Sebagai Obat Luka Bakar pada Tikus Putih 104-109
(Rattus Norvegicus)
Rahmad Dwi Ardhiansyah, Riefky Pradipta Baihaqie, Muhammad Nuriy Nuha Naufal,
Muhamad Atabika Farma Nanda, Aprilia Maharani, Yuda Heru Fibrianto

Hubungan Kepadatan Permukiman dengan Luas Permukiman terhadap Sebaran Demam Berdarah Dengue 110-118
Marlena, Rinidar, Muhammad Rusdi, Farida, Teuku Reza Ferasyi,, Nurliana

Gambaran Leukosit Kucing Penderita Feline Panleukopenia 119-123


Hary Purnamaningsih, Soedarmanto Indarjulianto, Yanuartono, Alfarisa Nururrozi,
Irkham Widiyono, Rusmihayati

Pengembangan Media Transpor untuk Koleksi Sampel Preputium, untuk deteksi Bovine Genital 124-132
Campylobacteriosis
Apris Beniawan, Agustin Indrawati, Fachriyan Hasmi Pasaribu

Korelasi antara Padat Tebar dengan Infestasi Ektoparasit pada Udang Vaname (Litopenaeus Vannamei) 133-141
di Tambak Super Intensif
Eren Adiacahya, Setiawan Koesdarto, Gunanti Mahasri

Efektifitas Terapi Asam Urat dengan Poliherbal Ekstrak Bawang Merah (Allium ascalonicum L.) 142-148
dan Jahe Merah (Zingiber officinale var rubrum) pada Tikus Hiperurisemia
Fathur Rohman Haryadi, Dela Ria Nesti, Ida Tjahajati, Okti Herawati

Kajian Doking Molekul Flavonoid Ekstrak Coleus Amboinicus dan Penurunan Konsentrasi Malondialdehid 149-156
(MDA) pada Induksi Cisplatin Tikus Putih Wistar
Rondius Solfaine, Lailatul Muniroh, Wida Wahidah Mubarokah

Karakter Morfologi Rambut Kelompok Cervidae Indonesia 157-165


Ni Luh Putu Rischa Phadmacanty, Zulkurnia Irsaf, Gono Semiadi

Deteksi Staphylococcus aureus dan Staphylococcus sp. Secara Langsung Dari Susu Segar Kambing 166-172
Peranakan Etawa dengan Teknik Polymerase Chain Reaction (PCR)
Fatkhanuddin Aziz, Fajar Budi Lestari, Sarah Nuraida S., Endah Purwati, Siti Isrina Oktavia Salasia

Keracunan Coklat (Theobroma Cacao) pada Anjing: Manajemen Terapi dan Pencegahan 173-182
Yanuartono, Alfarisa Nururrozi, Soedarmanto Indarjulianto, Slamet Raharjo, Hary Purnamaningsih, Nurman haribowo

Profil Reseptor Gonadotropine Releasing Hormone (GnRH) dari Hipothalamus Sapi 183-188
Irma Dian Nurani, Claude Mona Airin, Pudji Astuti, Khrisdiana Putri, Bambang Sutrisno

INDEK PENULIS 189-190

INDEK SUBYEK 191-192

Gambar Depan: Karakter morfologi rambut kelompok Cervidae Indonesia. Ni Luh Putu Rischa Phadmacanty, Zulkurnia
Irsaf, Gono Semiadi. Halaman: 154-162.
PENGANTAR REDAKSI

Para pembaca JSV yang budiman dimanapun berada,


Pada saat ini di tengah masa pandemi COVID-19 yang masih terus berlangsung di Indonesia, JSV
vol. 38 no. 2 edisi Agustus 2020 akhirnya dapat terbit tepat waktu. JSV pada edisi ini merupakan edisi
kedua yang terbit di tahun 2020 setelah JSV memutuskan untuk menerbit tiga edisi setiap tahun dengan
jumlah artikel sebanyak 12 artikel setiap kali terbit, sehingga dalam setahun JSV mempublikasikan
sebanyak 36 artikel ilmiah.
Berdasarkan surat dari Deputi Bidang Penguatan Riset dan Pengembangan, Kementerian Riset
dan Teknologi/Badan Riset dan Inovasi Nasional, Republik Indonesia bernomor B/804/E5.2.1/2020
tertanggal 3 April 2020, Alhamdulillah JSV kembali terakreditasi dalam kategori Sinta-2 yang dimulai
dari edisi Desember 2019 sampai dengan edisi Desember 2024. Hal ini merupakan kabar yang sangat
menggembirakan bagi seluruh sisvitas akademika di FKH UGM pada umumnya, khususnya seluruh
anggota dewan penyunting JSV mengingat persiapan re-akreditasi JSV yang cukup panjang dan menyita
banyak waktu, energi dan pikiran. Untuk itu mewakili seluruh anggota Dewan Penyunting JSV, kami
mengucapkan terimakasih yang sebesar besarkan kepada Dekan dan jajaran Wakil Dekan, asisten Wakil
Dekan di FKH, segenap sivitas akademika FKH UGM, Reviewer dan Mitrabe Bestari, serta para mitra
penulis, contributor dan authors JSV di manapun berada atas kerjasama dan kontribusi yang luar biasa
sehingga JVS kembali terakreditasi selama lima tahun ke depan.
Pada JSV volume 38, nomor 2 edisi Agustus 2020 ini, memuat sebanyak 12 artikel ilmiah dari
berbagai bidang ilmu veteriner, yaitu bidang Kesmavet, Bedah Veteriner, Virologi, Ilmu Penyakit
Dalam, Mikrobiologi, Prasitologi, Farmakologi dan Anatomi. Kami senantiasa mengundang bapak/ibu/
saudara penulis dan kontributor artikel ilmiah untuk mengirimkan manuskript artikel ilmiah agar dapat
dipublikasikan di JSV pada edisi yang akan datang secara online melalui Open Journal System (OJS)
pada situs JSV. Pada situs tersebut, sudah tersedia Template untuk artikel ilmiah yang akan disubmitkan,
sehingga lebih mudah dan dapat menyeragamkan format penulisan artikel ilmiah pada JSV. Kami selalu
menerima kritik, saran dan masukkan yang bersifat membangun untuk perbaikan pada masa yang akan.
Kami berharap bahwa JSV akan semakin berkembang dalam mempublikasi artikel artikel ilmiah yang
berkualitas di bidang veteriner.

Terimakasih atas perhatian dan kerjasamanya.

Ketua Dewan Penyunting JSV

Aris Haryanto

iii
Jurnal Sain Veteriner, Vol. 38. No. 2. Agustus 2020, Hal. 93-101
DOI: 10.22146/jsv.50653
ISSN 2443-1583 (Print), ISSN 2407-3733 (Online)
Tersedia online di https://jurnal.ugm.ac.id/jsv

Klasterisasi Staphylococcus aureus Resisten Neutrofil


Berdasar Assesory Gene Regulator

Clusterization of Neutrophil Resistant Staphylococcus aureus


Based on the Assesory Gene Regulator

Christin Marganingsih Santosa1, Fajar Budi Lestari2, Rini Widayanti3,


Siti Isrina Oktavia Salasia1*

Departemen Patologi Klinik, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Gadjah Mada


1

2
Departemen Teknologi Hayati dan Veteriner, Program Studi Diploma Kesehatan Hewan,
Universitas Gadjah Mada,
3
Departemen Biokimia, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Gadjah Mada,
Jl. Fauna 2, Karangmalang, Yogyakarta 55281
*Corresponding author; e-mail: isrinasalasia@ugm.ac.id

Naskah diterima: 17 Oktober 2019, direvisi: 24 Januari 2020, disetujui: 30 Juli 2020

Abstract

Staphylococcus aureus is recognized worldwide as a major pathogen causing subclinical intramammary


infections in dairy cows and food poisoning due to its ability to produce enterotoxin. The study aimed to identify
enterotoxins of S. aureus and clustering the enterotoxins based on assessory gene regulator (agr). Virulence of S.
aureus to the host was characterized based on the response of polymorphonuclear cells to the infection. Twelve
S. aureus were isolated from cows’ milk in central of dairy farming in Sumedang West Java. The identification of
S. aureus was based on cultural and biochemical tests and an amplification of a specific section of the 23S rRNA
gene. The sensitivity test against antibiotics revealed that some isolates of S. aureus were resistant to penicillin
and methycillin. By PCR amplification one or more staphylococcal enterotoxin genes could be observed five
genes in combinations of sea (216 bp), seb (478 bp), seh (375 bp), sei (576 bp), and sej (142 bp). Clustering of S.
aureus based on the assesory gene regulator could be grouped into 4 clusters for agr1 (1 isolat), agr2 (2 isolates),
in combination for agr1 and agr2 (1 isolate), and for non agr (2 isolates). Based on the response of neutrophil cell
in vitro and in vivo assays, revealed that S. aureus strain I-2 (agr1 cluster) and P1 (agr1+agr2 cluster) were more
resistant to neutrophil cells and could survive intracellularly, indicated that these strains could be used as proper
candidates to develop dignostic tool based on agr against S. aureus infection.

Key words: assesory gene regulator; enterotoxin; neutrophil; Staphylococcus aureus

Abstrak

Staphylococcus aureus telah diketahui sebagai patogen utama yang menyebabkan infeksi intramammae
subklinis pada sapi perah dan pada keracunan makanan, karena kemampuan bakteri ini menghasilkan enterotoksin.
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi enterotoksin S. aureus dan mengelompokkan enterotoksin
berdasarkan regulator gen penilaian (agr). Virulensi S. aureus terhadap inang dikarakterisasi berdasarkan respons
sel polimorfonuklear terhadap infeksi. Dua belas S. aureus telah diisolasi dari sapi perah di pusat peternakan
sapi perah di Sumedang Jawa Barat. Identifikasi S. aureus didasarkan pada kultur sel, biokimia dan amplifikasi

93
Christin Marganingsih Santosa, et. al.

bagian spesifik dari gen 23S rRNA. Uji sensitivitas terhadap antibiotik mengungkapkan bahwa beberapa isolat
S. aureus resisten terhadap penisilin dan metisilin. Dengan amplifikasi PCR, satu atau lebih gen enterotoksin
stafilokokus dapat diamati lima gen dalam kombinasi sea (216 bp), seb (478 bp), seh (375 bp), sei (576 bp),
dan sej (142 bp). Pengelompokan S. aureus berdasarkan regulator gen assesori dapat dikelompokkan menjadi
4 kelompok untuk agr1 (1 isolat), agr2 (2 isolat), dalam kombinasi untuk agr1 dan agr2 (1 isolat), dan untuk
non-agr (2 isolat). Berdasarkan respon sel neutrofil secara in vitro dan in vivo, terungkap bahwa S. aureus strain
I-2 (agr1 cluster) dan P1 (agr1 + agr2 cluster) lebih tahan terhadap sel neutrofil dan dapat bertahan secara
intraseluler, menunjukkan bahwa strain ini dapat digunakan sebagai kandidat yang tepat untuk mengembangkan
alat dignostik berdasarkan agr terhadap infeksi S. aureus.

Kata kunci: accessory gene regulato; enterotoksin; neutrofil; Staphylococcus aureus

Pendahuluan patogenisitas, sehingga berdasarkan sifat


patogenisitas tersebut akan mempermudah dalam
Mastitis pada sapi perah menyebabkan
menentukan strategi kontrol dan pengendalian
produksi susu turun yang berakibat pada kerugian
infeksi S. aureus. Berbagai macam stafilokokal
ekonomi yang cukup signifikan bagi industri susu
enterotoksin diatur oleh sistem pengontrol gen yang
(Hogeveen et al., 2011; Abebe et al., 2016). Mastitis
mengekspresikan faktor-faktor virulen S. aureus
subklinis sulit untuk dideteksi karena sapi yang
yang disebut dengan accessory gene regulator
terinfeksi tidak menunjukkan gejala sakit, tetapi
(agr) (Kornblum et al., 1990). Gen agr ini dapat
produksi susu turun secara signifikan. Susu yang
digunakan sebagai dasar pengembangan deteksi
berasal dari kasus mastitis subklinis mengandung
staphylococcal mastitis dan enterotoksikosis,
banyak bakteri, terutama Staphylococcus aureus.
untuk memperoleh produk susu yang aman dan
Untuk peneguhan diagnosis mastitis secara tepat
sehat.
diperlukan perangkat diagnostik yang sensitif,
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan
cepat dan akurat sehingga dapat segera ditentukan
strain S. aureus yang mengandung gen enterotoksin
strategi pengobatan yang tepat dan aman untuk
dan acessory gen regulator yang bersisifat resisten
pemulihan produksi susu.
terhadap sel polimorfonuklear/neutrofil, dalam
Produksi susu segar nasional hingga saat ini
rangka memperoleh kandidat strain S. aureus
belum bisa mencukupi kebutuhan bahan baku
sebagai dasar pengembangan sarana deteksi
industri pengolahan susu. Rendahnya tingkat
staphylococcal mastitis dan food borne disease.
produksi susu di Indonesia antara lain terkait
Deteksi secara dini keberadaan SE pada susu sapi
dengan standardisasi kualitas susu. Mayoritas
segar dan berbagai produk olahan yang berbahan
penurunan produksi susu sapi perah akibat kasus
susu sapi dapat digunakan untuk meningkatkan
mastitis disebabkan oleh bakteri, terutama S.
kualitas pangan olahan yang berbahan susu sapi.
aureus. Staphylococcus aureus merupakan bakteri
penyebab keracunan pangan, karena S. aureus
memproduksi enterotoksin (staphylococcal Materi dan Metode
enterotoxin/SE). Susu sapi yang mengandung
S. aureus dapat membahayakan bagi konsumen. Isolasi dan Identifikasi S. aureus
Staphylococcus aureus dalam susu segar (hulu) Staphylococcus aureus diisolasi dari susu sapi
dan produk pangan olahan berbahan susu (hilir) perah di sentra peternakan sapi perah Sumedang,
dapat menyebabkan toxic schock syndrome dan Jawa Barat. Sampel susu diambil secara random
food borne diseases sebagai akibat dari keracunan pada 58 ekor sapi baik yang menunjukkan gejala
pangan (Salasia et al., 2009). Dalam 1 strain S. sakit (mastitis klinis) maupun tidak menunjukkan
aureus dapat mengandung berbagai macam gejala klinis (mastitis subklinis). Identifikasi
gen yang bertanggung jawab dalam produksi bakteri dilakukan melalui pengamatan terhadap
enterotoksin (Salasia et al., 2004). Kombinasi sifat pertumbuhan bakteri dalam media padat
lokasi gen ini dapat digunakan untuk menentukan (PAD), pewarnaan Gram, uji mannitol salt agar

94
Klasterisasi Staphylococcus aureus Resisten Neutrofil Berdasar Assesory Gene Regulator

(MSA), katalase, dan koagulase. Tipe hemolisis Amplifikasi gen enterotoksin dengan PCR
ditentukan berdasar adanya zona hemolisis yang Identifikasi gen enterotoksin S. aureus (sea,
dibentuk oleh S. aureus pada plat agar darah. seb, sec, sed, see, seg, seh, sei, sej) ditentukan
Uji Kepekaan Antibiotika dengan menggunakan primer spesifik untuk
masing-masing enterotoksin dan program PCR
Kepekaan antibiotika terhadap S. aureus berdasar referensi (Salasia et al., 2004). Campuran
dilakukan melalui uji difusi agar Müller-Hinton reaksi untuk PCR sebanyak 30 µl terdiri atas 1
(Oxoid, Wesel, Germany), dengan menempelkan µl primer 1 (10 pmol), 1 µl primer 2 (10 pmol),
lempengan diskus antibiotik (Oxoid). Zona 0.6 µl dNTP (10 mM; MBI Fermentas, St. Leon
inhibisi yang terbentuk setelah inkubasi pada susu Rot, Germany), 3.0 µl 10 x thermophilic buffer
37°C selama 24 jam, di interpretasi sesuai standar (Promega/Boehringer, Ingelheim, Germany), 1.8
zona hambatan Kirby-Bauer (Tato et al., 2011). µl MgCl2 (25 mM; Promega/Boehringer) dan
Preparasi DNA 0.2 µl Taq DNA polymerase (5U/µl; Promega/
Boehringer) dan 21.4 µl aquades. Masing-
DNA S. aureus diekstraksi dengan masing reaksi kemudian ditambahkan 1 µl DNA.
menggunakan Qiamp tissue kit (Qiagen, Hilden, Campuran reaksi disentrifus beberapa detik,
Germany) sesuai prosedur yang telah ditentukan dan dimasukkan kedalam thermal cycler T3
oleh pabrik. Setelah bakteri ditanam pada plat agar (Biometra, Göttingen, Germany). Hasil dapat
darah selama 24 jam pada suhu 37C, 5-10 koloni dibaca dengan menggunakan gel agar DNA setelah
bakteri disuspensikan dalam buffer TE (10 mM dielektroforesis dan dianalisis dengan melihat
Tris-HCl, 1 mM EDTA pH 8, yang mengandung adanya pita tunggal pada gel dengan pembanding
5 µl lysostaphin (1.8 U/µl; Sigma, Aldrich, USA). kontrol negatif S. epidermidis.
Setelah inkubasi selama 30 menit pada suhu 37°C,
ditambahkan 25 µl of proteinase K (14,8 mg/ml; Amplifikasi accessory gen regulator (agr)
Sigma) dan 200 µl of buffer AL (yang berisi reagen Identifikasi agr ditentukan dengan
AL1 and AL2). Suspensi bakteri diinkubasi selama menggunakan primer spesifik untuk agrI: 5’- CAC
3 menit pada suhu 70°C dan selama 10 menit pada TTA TCA TCA AAG AGC C - 3’ dan agrII: 5’-
suhu 95°C, kemudian setelah disentrifuse beberapa CCA CTA ATT ATA GCT GG -3’ dengan program
detik sebanyak of 420 µl etanol ditambahkan PCR yang telah ditentukan berdasar Moore dan
kedalam masing-masing sampel dan ditempatkan Lindsay (2001), 32 siklus (94°C 30 detik, 55°C 30
kedalam kolom QIAamp. Setelah sentrifugasi detik, 72°C 60 detik), sumber sekuen: AF94826.
selama 1 menit kolom QIAamp ditempatkan Besar amplikon agrI sekitar 351 bp dan agrII
diatas tabung koleksi dan sampel dicuci dua kali sekitar 1200 bp.
dengan 500 µl of buffer AW (Qiagen). Kolom
QIAamp kemudian disentrifus selama 3 menit, Uji respon neutrofil secara in vivo
kolom kemudian ditempatkan diatas 2 ml tabung Bakteri ditanam dalam 10 ml THB pada
eppendorf dan DNA yang ada pada kolom dicuci temperatur 37°C selama 24 jam. Setelah di-vortex,
dua kali dengan cara elusi dengan 200 µl buffer kultur bakteri disentrifus dengan kecepatan 5000
AE. Hasil elusi sampel DNA dapat disimpan pada rpm selama 10 menit. Supernatan dibuang dan
suhu -20°C (Salasia et al., 2004). pelet ditambah 5 ml Hanks balanced salt solution
Identifikasi gen 23 SrRNA S. aureus (HBSS, Sigma), diresuspensi dan disentrifus
dengan kecepatan 3000 rpm selama 10 menit.
Identifikasi spesies spesifik S. aureus Supernatan dibuang dan pelet ditambah 5 ml
dilakukan berdasar amplifikasi gen 23S rRNA HBSS dan ditentukan optical density (OD)-nya
dengan menggunakan primer spesies spesifik menggunakan spektrofotometer dengan 10%
dengan teknik polymerase chain reaction (PCR) transmisi pada l 620 nm sehingga diperoleh
dengan program yang telah ditentukan berdasar larutan sebanyak 109 bakteri/ml. Suspensi yang
referensi (Toshkova et al., 2001). digunakan untuk uji in vivo adalah pengenceran

95
Christin Marganingsih Santosa, et. al.

larutan tersebut menjadi 108 bakteri/ml dalam sel yang masih hidup (intracellular survive) akan
HBSS. Sebanyak 10 ekor mencit Balb/c (UPHP berpendar warna hijau (Salasia, 2001).
UGM) masing-masing diinjeksi dengan larutan
kultur S. aureus (108 bakteri/ml) dari berbagai Hasil dan Pembahasan
klaster. Sebelum dan setelah 5 hari infeksi, masing-
masing mencit diambil darah melalui plexus Hasil pengamatan klinis, terdapat 4 ekor sapi
retroorbitalis, kemudian darah diperiksa terhadap perah yang menunjukkan gejala klinis mastitis, ditandai
jenis differensial leukosit (neutrofil). Sebagian dengan ambing bengkak, palpasi keras seperti batu,
darah diteteskan pada gelas obyek, kemudian dan terlihat puting bocor. Sebagian besar sapi perah
diapuskan dan diberi pewarnaan Giemsa 10% tidak menampakkan gejala klinis mastitis (mastitis
untuk diamati respon terhadap S. aureus yang subklinis). Dari sampel susu sapi perah mastitis klinis
telah diinfeksikan dengan memperhitungkan dan subklinis, dapat diidentifikasi 12 isolat S. aureus
persentase respon neutrofil sebelum dan sesudah berdasar sifat pertumbuhan, Gram positif, positif pada
infeksi (Salasia, 2001). uji MSA, katalase, koagulase, dan mengandung gen
23S rRNA. Hasil identifikasi S. aureus, uji hemolisin
Uji fagositosis in vitro dan resistensi terhadap berbagai antibiotika dapat
Darah manusia diperoleh dari donor sebanyak dilihat pada Tabel 1 dan Tabel 2.
5 ml, dimasukan ke dalam tabung yang telah Hasil uji sensitifitas terhadap berbagai antibiotika,
berisi 1mg/ml EDTA. Sebanyak 2,5 ml larutan diketahui bahwa S. aureus sensitif terhadap gentamisin
Histopaque 1191 (Sigma) dimasukkan kedalam (100%), oksasilin (100%), ampisilin (83,3%),
tabung ditambah 2,5 ml larutan Histopaque 1077 intermedier terhadap ampisilin (16,7%) an penisilin
(Sigma), kemudian ditambahkan 5 ml darah secara (66,6%), dan resisten terhadap penisilin (33,4%) dan
perlahan melalui dinding tabung dan disentrifus metisilin (100%). Sharma et al. (2015) melaporkan S.
dengan kecepatan 700 g selama 30 menit pada aureus asal susu sapi dan kerbau mastitis telah resisten
suhu 20°C. Setelah sentrifugasi akan diperoleh 6 terhadap penisilin (100%), metisilin (66,6%), ampisilin
lapisan dengan susunan dari atas ke bawah yaitu (33,3%) dan gentamisin 22,2%. Staphylococcus
plasma, monosit, Histopaque 1191, granulosit aureus asal susu sapi mastitis dilaporkan telah resisten
(polymorphonuclear/PMN sel), Histopaque 1077 terhadap penisilin dan metisilin, tapi masih peka
dan eritrosit. Lapisan granulosit kemudian diambil terhadap gentamisin (Chandrasekaran et al., 2014).
dengan menggunakan pipet pasteur dimasukkan Hasil identifikasi gen enterotoksin terhadap 6
dalam eppendorf, disentrifuse dan dicuci dengan isolat S. aureus, terdapat 5 macam gen enterotoksin
menggunakan HBSS. Granulosit dihitung dengan yaitu sea (216 bp), seb (478 bp), seh (375 bp), dan sei
haemocytometer, sehingga diperoleh larutran (576 bp), sej (142 bp). Dalam penelitian ini terdapat
granulosit sekitar 5x105 sel/ml. Larutan granulosit 5 isolat S. aureus mempunyai kombinasi 4 gen
(5x105 sel/ml) sebanyak 100 mL dimasukan enterotoksin (sea, seb, seh, sei) dan 1 isolat dengan
ke dalam eppendorf yang telah berisi 100 mL L kombinasi 5 gen (sea, seb, seh, sei, sej) (Tabel 3).
larutan bakteri (108 bakteri/ml), dicampur dan Hasil analisis assessory gene regulator
diinkubasi pada waterbath dengan suhu 37°C (agr) yang mengatur berbagai determinan virulen
selama 1 jam. Setelah inkubasi larutan ditambah S. aureus dapat dilihat pada Gambar 1 dan Tabel
800 mL HBSS dingin, disentrifuse 1000 g selama 7 3, gen agr1 mempunyai ukuran amplikat sebesar
menit. Supernatan dibuang dan endapan ditambah 351 bp dan agr2 sebesar 1200 bp. Berdasar
200 mL larutan Acridine orange (20 mg/ml, Sigma) analisis gen agr, S. aureus dalam penelitian ini
dan 800 mL HBSS dingin, dibiarkan selama 45 dapat dikelompokkan menjadi 4 klaster, yaitu
menit. Aktivitas fagositosis sel PMN/neutrofil klaster agr1 (I-2), klaster agr2 (P5 dan Mjl2),
ditentukan dengan menghitung jumlah bakteri klaster agr1+agr2 (P1), dan klaster non-agr (Jaed
yang difagosit oleh setiap sel neutrofil dari 20 sel dan I-4) (Tabel 3).
neutrofil pada setiap preparat apus menggunakan Dari hasil klasterisasi tersebut, selanjutnya
mikroskop fluorescence (Olympus, USA). Sel- S. aureus masing-masing klaster dilakukan
sel bakteri yang mati akan berwarna merah dan uji fagositosis untuk mengetahui ketahanan

96
Klasterisasi Staphylococcus aureus Resisten Neutrofil Berdasar Assesory Gene Regulator

masing-masing strain terhadap fagositosis sel (Gurung et al., 2020). Isolat MRSA asal rumah
polimorfonuklear/neutrofil. Hasil uji fagosotisis sakit telah terjadi multidrug resistant terhadap
dapat dilihat pada Tabel 4. eritromisin, klindamisin, ciprofloxacin dan
Dari hasil uji neutrofil secara in vitro dan in levofloxacin (Kot et al., 2020). Algammal et al.
vivo dapat dilihat bahwa S. aureus strain I-2 yang (2020) melaporkan adanya strain MRSA asal susu
termasuk dalam klaster agr1 dengan kombinasi sapi dan kerbau. Ektik et al. (2018) menemukan
gen enterotoksin se (a, b, h, i, j) dan strain P1 yang isolat MRSA pada susu sapi yang telah resisten
termasuk dalam klaster agr1+agr2, mengandung terhadap ampisilin, penisilin dan sulfametoksazol-
gen toksin dengan kombinasi se (a, b, h, i), mampu trimetoprim.
bertahan hidup dalam sel neutrofil dalam jumlah Penyalahgunaan antibiotik telah
lebih banyak masing-masing sebesar 52.6 bakteri/ menyebabkan timbulnya resistensi pada S. aureus
neutrofil dan 48.3 bakteri/neutrofil. secara luas karena adanya transfer resistensi
Identifikasi S. aureus dalam penelitian antibiotik (Pekana dan Green, 2018; Jensen
ini diteguhkan berdasar sifat pertumbuhan, uji dan Lyon, 2009). Resistensi S. aureus terhadap
biokimia dan amplifikasi spesies spesifik gen antibiotik dapat pula disebabkan oleh adanya
23S rRNA. Identifikasi molekuler S. aureus faktor lingkungan dan penggunaan antibiotik yang
dengan menggunakan target gen 23S rRNA tidak tuntas. Bakteri mempunyai seperangkat
dapat digunakan untuk identifikasi bakteri secara cara untuk beradaptasi terhadap lingkungan yang
sensitif dan spesifik (Salasia et al., 2004). Hasil mengandung antibiotik. Menghadapi tekanan
identifikasi lanjut diketahui bahwa diantara 6 selektif dari penggunaan antibiotik, bakteri akan
isolat S. aureus memperlihatkan hemolisin alfa beradaptasi dan mengembangkan mekanisme
(4 isolat/66,7%) dan 2 isolat (33,3%) bersifat beta kompleks untuk bertahan hidup (Watkins et al.,
hemolitik. Hemolisin tipe alfa dan beta dilaporkan 2019).
lebih patogen, dibanding tipe gamma yang tidak Adanya enterotoksin yang diproduksi oleh
membentuk zona hemolisis pada media agar S. aureus dapat memperparah kondisi mastitis
darah (Kebaier et al. 2012). Alfa (α) dan beta (β) pada sapi perah, yang berakibat pada penurunan
hemolisin termasuk eksotoksin yang berperan produksi susu. Disamping itu enterotoksin
penting dalam patogenesis infeksi S. aureus dalam susu segar dapat menyebabkan kasus
(Burnside et al., 2010). keracunan pangan. Stafilokokal enterotoksin
Permasalahan utama dalam mengatasi infeksi sering sebagai sumber pencemar makanan, karena
S. aureus adalah masalah resistensi terhadap enterotoksin ini tahan terhadap pemanasan dan
antibiotik. Beberapa strain S. aureus saat ini tahan terhadap ensim protease seperti pepsin yang
dilaporkan telah resisten terhadap hampir semua terdapat dalam saluran pencernaan. Stabilitas SE
antibiotik komersial (Tato, 2011). terhadap pemanasan dan ensim-ensim pencernaan
Dari hasil penelitian ini diketahui ada beberapa merupakan salah satu sifat yang sangat penting
isolat bersifat intermedier terhadap antibiotik berkaitan dengan keamanan pangan, karena
(ampisilin dan penisilin), kondisi tersebut toksin akan tetap bertahan meskipun suatu bahan
kemungkinan akan berubah menjadi resisten, makanan yang tercemar SE sudah dimasak atau
karena sifat intermedier akan cenderung menjadi dipanaskan dan toksin ini apabila sudah termakan
resisten. Ampisilin merupakan derivat penisilin. akan tahan terhadap ensim-ensim yang ada dalam
Dengan perkembangan penelitian tentang saluran pencernaan (Balaban dan Rasooly, 2000).
antibiotika, telah ditemukan derivat penisilin yaitu Dalam penelitian ini diketahui S. aureus
methicilin yang efektif terhadap mikroorganisme mengandung gen sea yang menyandi enterotoksin
yang resisten dengan penisilin karena antibiotik tipe A (SEA). Outbreak keracunan pangan
ini tidak rusak oleh enzim beta lactamase. Namun dilaporkan lebih sering akibat stafilokokal
telah dilaporkan bahwa di beberapa rumah sakit enterotoksin tipe A (SEA). Kadar enterotoksin
terjadi peningkatan frekuensi methicillin resistant dalam menimbulkan enterotoksikosis relatif sangat
S. aureus (MRSA) dan biasanya strain MRSA ini kecil, dosis infektif kurang dari 1 μg dalam makanan
telah terjadi resisten terhadap multipel antibiotik yang terkontaminasi, dapat mengakibatkan gejala-

97
Christin Marganingsih Santosa, et. al.

gejala intoksikasi. Dosis toksin ini dapat dicapai lebih sering ditemukan pada sapi yang mengalami
apabila terdapat populasi S. aureus mencapai mastitis. Di wilayah Hesse, Jerman lebih dominan
100.000 per gram. Kejadian enterotoksikosis di ditemukan gen stafilokokal enterotoksin sec, sed,
AS dilaporkan akibat konsumsi susu coklat yang seg, seh, sei dan sej isolat S. aureus dari sapi yang
mengandung SEA. Pada kasus tersebut kadar rata- menderita mastitis subklinis (Salasia et al., 2004).
rata SEA dalam 400 ml kontainer hanya sekitar Adanya kombinasi berbagai gen enterotoksin
0.5 ng/ml. Enterotoksin dapat dideteksi apabila dalam S. aureus kemungkinan dikarenakan gen-
terdapat toksin sedikitnya sekitar 103/g inokulat S. gen tersebut secara struktural saling berdekatan.
aureus (Balaban dan Rasooly, 2000; Le Loir et al., Kebanyakan pathogenicity islands S. aureus
2003). memiliki gen yang mengontrol toxic shock
Salasia et al., (2003) melaporkan adanya syndrome toxin (tst), s- dan cell-like protein
gen sea, seb, seg, seh dan sei serta gen kombinasi (Fitzgerald et al., 2001) serta gen yang mengontrol
see dengan seh, sea dan seh, seg dengan sei dan stafilokokal enterotoksin B, K, dan Q (Yarwood et
kombinasi seb, seg, seh dengan sei pada S. aureus al., 2002). Zhang et al. (1998) melaporkan bahwa
isolat asal manusia di Yogyakarta. Gen seb, dalam pathogenicity islands terdapat gen tst dan
serta kombinasi seg dengan sei juga dilaporkan open reading frame yang sekuennya mirip dengan
terdapat pada S. aureus yang diisolasi dari kasus gen yang menyandi stafilokokal enterotoksin serta
staphylococcal scarlet fever di rumah sakit pusat satu bagian yang mengandung gen enterotoksin
Taiwan bagian utara (Wang et al., 2004) dan D dan J. Grup gen enterotoksin yang terdiri dari
pada isolat klinik di Iran (Ababaf et al., 2018). seg, sei, sen, seo, dan sem disandi oleh enterotoxin
Kasus fatal endokarditis yang disebabkan oleh gene cluster (egc) (Jarraud et al., 2001). Gen seg,
stafilokokal enterotoksin A pernah dilaporkan seh, sei dan kombinasi dengan gen sea dan atau
terjadi pada wanita yang awalnya menderita sed juga dilaporkan terdapat pada S. aureus yang
radang telinga bagian tengah yang berlanjut berhasil diisolasi dari sampel makanan (Chen et
menjadi endokarditis (Ellis et al., 2003) al., 2004).
Dalam penelitian ini gen penyandi stafilokokal Keberadaan S. aureus dalam susu segar dapat
enterotoksin B (seb) dapat pula diidentifikasi membahayakan bagi manusia (konsumen), karena
pada S. aureus asal susu sapi perah Sumedang diketahui bahwa S. aureus memproduksi beberapa
Jawa Barat. Enterotoksin tipe B telah dilaporkan macam enterotoksin yang menyebabkan toxic
mempunyai potensi dalam meningkatkan aktifitas shock syndrome (Lowy, 2003; Kadariya et al.,
superantigen (Greenfield et al., 2002; Kadariya et 2014). Penyebab penting pada kasus keracunan
al., 2014). Sifat penting stafilokokal yang bersifat makanan yaitu enterotoksin yang dihasilkan ketika
superantigenik, yaitu dengan memperlihatkan S. aureus tumbuh pada makanan yang mengandung
aktifitasnya melalui interaksi antara antigen karbohidrat dan protein. Staphylococcus aureus
dan limfosit T, tanpa adanya spesifitas antigen bersifat patogen karena adanya kombinasi toksin
pada sel. Kondisi ini merangsang terjadinya mediasi virulensi, invasif dan resistensi terhadap
proliferasi sel dan peningkatan sitokin dengan antibiotik (Le Loir et al., 2003).
konsentrasi yang tinggi (Kadariya et al., 2014). Respon sel neutrofil terhadap infeksi S. aureus
Sitokin yang diproduksi dalam jumlah yang secara in vivo pada mencit percobaan, ditentukan
banyak mengakibatkan gejala-gejala toxic shock berdasar persentase peningkatan jumlah neutrofil
syndrome. sebelum dan sesudah infeksi. Dari hasil penelitian
Dalam penelitian ini dapat diidentifikasi pula terlihat bahwa S. aureus dari berbagai wakil klaster
gen enterotoksin tipe H (seh) dan tipe I (sei). Gen memperlihatkan respon neutrofil yang bervariasi.
stafilokokal enterotoksin seb, seg, seh dan sei Aktivitas fagositosis lebih tinggi (> 70
pernah diidentifikasi dari isolat S. aureus yang bakteri/neutrofil) diperlihatkan pada neutrofil
diisolasi dari susu sapi segar yang menderita yang mampu melakukan fagositosis terhadap S.
mastitis subklinis di wilayah Jawa Tengah (Salasia aureus lebih banyak. Klaster agr1+2 (strain P1)
et a.l, 2004). Gen stafilokokal enterotoksin seg, mampu memfagosit sebanyak 97.2 bakteri (terdiri
sei dan sej merupakan gen enterotoksin yang dari bakteri yang hidup 48.3 sel dan yang mati 46.9

98
Klasterisasi Staphylococcus aureus Resisten Neutrofil Berdasar Assesory Gene Regulator

sel), dan kalaster agr1 (strain I-2) yang mampu kandidat terpilih sebagai strain yang bersifat
memfagosit 83.3 bakteri (bertahan hidup 52.6 patogen karena lebih resisten terhadap neutrofil,
bakteri dan mati 30.6 bakteri). Klaster non-agr mampu bertahan hidup dalam sel neutrofil,
(Jaed2) dan agr2 (P5), lebih sedikit difagosit oleh bersifat resisten terhadap methicilin, bersifat
sel-sel neutrophil (Tabel 4). Aktifitas fagositosis alfa hemolitik, dan mengandung kombinasi gen
sel neutrofil yang cukup tinggi terhadap S. enterotoksin se (a, b, h, i, dan j). Kandidat terpilih
aureus (strain P1 dan I-2), menunjukkan bahwa S. aureus strain I-2 dan P1 dapat digunakan
sel neutrofil sangat responsif terhadap infeksi S. sebagai sumber antigen yang dapat dikembangan
aureus. Apabila dilihat dari kemampuan S. aureus sebagai sarana diagnostik dan kontrol stafilokokal
yang mampu bertahan hidup (intracellular survive) mastitis.
terhadap fagositosis neutrofil, menunjukkan
bahwa bakteri mampu bertahan terhadap sistem Ucapan Terimakasih
pertahanan sel neutrofil hospes. Dari hasil
penelitian ini memperlihatkan bahwa S. aureus Penelitian ini dikembangkan melalui dana PDUPT
strain P1 dan I-2, kemungkinan mempunyai sifat No. 2749/UN1.DITLIT/DIT-LIT/PT/2020.
lebih patogen, atau dengan kata lain S. aureus
strain P1 dan I-2 lebih resisten terhadap neutrofil Daftar Pustaka
(mampu survive dalam neutrofil). Sifat patogen
Abebe, R.,   Hatiya, H.,   Abera, M.,  Megersa,
atau resisten terhadap sistem pertahanan tubuh
B. and  Asmare, K. 2016. Bovine mastitis:
hospes ini kemungkinan karena bakteri dilindungi
prevalence, risk factors and isolation
oleh berbagai determinan virulen ataupun
of Staphylococcus aureus in dairy herds at
enterotoksin yang terkandung dari masing-masing
Hawassa milk shed, South Ethiopia. BMC
S. aureus baik secara sendiri-sendiri maupun
Veterinary Research. 12: 270. Doi. 10.1186/
secara sinergi yang dapat memperparah terjadinya
s12917-016-0905-3.
infeksi pada hospes yang terinfeksi. Bakteri yang
mampu intracellular survive akan berlindung Ababaf,
S., Ghasemian, A., Motamedi, H.,
dalam sel fagositik tanpa dikenal asing oleh sistem Nojoomi, F. (2018). Prevalence of
pertahanan tubuh hospes, sampai akhirnya bakteri enterotoxins B and C in clinical isolates of
tersebut dapat menyebar keseluruh tubuh dan Staphylococcus aureus from Southwest of
merusak jaringan hospes secara lebih luas. Iran. Immunopathology Persa. 4(2):e24.
Dari aktifitas fagositosis sel neutrofil secara in DOI:10.15171/ ipp.2018.24.
vitro yang relatif tinggi tersebut, sebaliknya terlihat Algammal, A.M., Enany, M.E., El-Tarabili, R.M.,
bahwa respon sel neutrofil pada sirkulasi (in vivo) Ghobashy, M.O.I. and Helmy, Y.A. (2020).
tampak rata-rata lebih rendah (< 50%), sedangkan Prevalence, Antimicrobial Resistance
aktifitas fagositosis yang lebih rendah (< 70 sel/ Profiles, Virulence and Enterotoxins-
neutrofil, in vitro) tampak respon neutrofil lebih Determinant Genes of MRSA Isolated
tinggi (in vivo) (Tabel 4). Hal ini dapat difahami from Subclinical Bovine Mastitis in
bahwa aktifitas fagositosis sel neutrofil terhadap Egypt. Pathogens,   9(5), 362; doi.org/10.3390/
bakteri biasanya terjadi didalam jaringan, ketika pathogens9050362
neutrofil berada dalam jumlah banyak dalam
Balaban, N. and A. Rasooly, (2000). Review
jaringan, maka neutrofil yang ada dalam sirkulasi
staphylococcal enterotoxins. Journal Food
akan berkurang karena telah dipasok untuk
Microbiology, 61: 1-10.
memenuhi kebutuhan dalam melakukan fungsi
fagositosis dalam jaringan (Stevens, et al., 2011). Burnside, K., Lembo, A., de los Reyes, M., Iliuk,
A., Binhtran, Ng-Th., Connelly, J.E., Lin,
Kesimpulan W.-J., Schmidt, B.Z., Richardson, A.R.,
Fang, F.C., Tao, W.A. and Rajagopal, L.
Berdasarkan hasil penelitian dapat
(2010) Regulation of Hemolysin Expression
disimpulkan bahwa, S. aureus strain I-2 (klaster
and Virulence of Staphylococcus aureus by
agr1) dan strain P1 (klaster agr1+2), merupakan

99
Christin Marganingsih Santosa, et. al.

a Serine/Threonine Kinase and Phosphatase. Hogeveen, H., Huijps, K., and Lam, T.
PLoS ONE 5(6): e11071. doi:10.1371/ (2011). Economic aspects of mastitis: New
journal.pone.0011071 developments. New Zealand Veterinary
Chandrasekaran, D., Venkatesan, P., Tirumurugaan, Journal, 59(1): 16-23.
K.G., Nambi, A.P., Thirunavukkarasu, P.S., Jarraud, S., Peyrat, M.A., Lim, A., Tristan, A., Bes,
Kumanan, K., Vairamuthu, S. and Ramesh, M., Mougel, C., Etienne, J., Vandenesch, F.,
S. (2014) Pattern of antibiotic resistant Bonneville, M. and Lina, G. (2001). egc,
mastitis in dairy cows, Veterinary World, a highly prevalent operon of enterotoxins
7(6): 389-394. gene, forms A Putative Nursery Of
Chen, T.R., Chiou, C,S. and Tseng, H.Y. (2004). Superantigens in Staphylococcus aureus.
Use of novel PCR primers spesific to the Journal Immunology, 166: 669-677.
genes of Staphylococcal Enterotoxin G, H, Jensen, S.O. and Lyon, B.R. (2009). Genetics of
J for the survey of Staphylococcus aureus antimicrobial resistance in Staphylococcus
strains isolated from food-poisoning cases aureus. Future Microbiology, 4: 565-582.
and food samples in Taiwan. Journal Food. Kadariya, J., Smith, T. C., and Thapaliya, D.
Microbiology. 92: 189-197. (2014). Review Article: Staphylococcus
Ektik, N., Gökmen, M., & Çibik, R. (2018). aureus and Staphylococcal Food-Borne
The Prevalence and Antibiotic Resistance Disease: An Ongoing Challenge in Public
of Methicillin-Resistant Staphylococcus Health. BioMed Research International.
aureus (MRSA) in Milk and Dairy Products http://dx.doi.org/10.1155/2014/827965.
in Balikesir, Turkey. Journal of the Hellenic Kebaier, C., Chamberland, R.R., Allen, I.C.,
Veterinary Medical Society, 68(4): 613-620. Gao, X.,   Broglie, P.M., Hall, J.D.,
Ellis M., Serreli A., Navarro P.C., Hedstrom U., Jania, C., Doerschuk, C.M., Tilley, S.L.
Chacko A., Siemkowicz E. and Möllby R. and  Duncan, J.A. (2012). Staphylococcus
2003. Role of Staphylococcal enterotoxin aureus  α-Hemolysin Mediates Virulence
A in a fatal case of endocarditis. Journal in a Murine Model of Severe Pneumonia
Medical Microbiology. 52: 109-112. Through Activation of the NLRP3
Fitzgerald, J.R., Monday, S.R., Foster, T.J., Inflammasome. The Journal of Infectious
Bohach, G.A., Hartigan, P.J., Meaney, W.J. Diseases. 205(5): 807-817.
and Smyth, C.J. (2001). Characterisation of Kornblum, J., Kreiswirth, B. N., Projan, S. N.,
a putative pathogenicity island from bovine Ross, H. and Novick, R.P. (1990). Agr: a
Staphylococcus aureus encoding multiple polycistronic locus regulating exoprotein
superantigens. Journal Bacteriology. 183: synthesis in Staphylococcus aureus. In:
63-70. Molecular Biology of the Staphylococci
Greenfield, R.A., Brown, B.R., Hutchins, J. B., (Novick, R.P., and Skurry, R., eds.). VCH,
Iandolo, J.J., Jackson, R., Slater, L.N. and New York, NY, USA, pp. 373-402.
Bronze, M.S., (2002). Microbiological, Kot, B., Wierzchowska, K., Piechota, M. and
biological, and chemical weapons of Grużewska, A. (2020). Antimicrobial
warfare and terrorism. American of the Resistance Patterns in MethicillinResistant
Journal Medical Sciences. 323: 326-340. Staphylococcus aureus from Patients
Gurung, R.R., Maharjan, P. and Chhetri, G.G. Hospitalized during 2015–2017 in Hospitals
(2020). Antibiotic resistance pattern of in Poland. Medical Principles and Practice,
Staphylococcus aureus with reference to 29: 61-68
MRSA isolates from pediatric patients. Le loir, Y., Baron, F and Gautier, M, (2003).
Future Science, 10.2144/fsoa-2019-0122 Staphylococcus and food poisoning.
C.OA (2020) 6(4), FSO464 Genetics and Molecular Research. 2(1): 63-
76.

100
Klasterisasi Staphylococcus aureus Resisten Neutrofil Berdasar Assesory Gene Regulator

Lowy, F.D. (2003). Antimicrobial resistance: the Sharma, L., Verma, A.M., Kumar, A., Rahat, A.,
example of Staphylococcus aureus.  Journal Neha, N. and Nigam, R. 2015. Incidence
Clinical Investigation. 111: 1265-1273. and Pattern of Antibiotic Resistance of
Moore, P.C.L. and J. A. Lindsay. 2001. Genetic Staphylococcus aureus Isolated from
Variation among Hospital Isolates of Clinical and Subclinical Mastitis in Cattle
Methicillin-Sensitive  Staphylococcus and Buffaloes. Asian Journal of Animal
aureus: Evidence for Horizontal Transfer Sciences, 9 (3): 100-109.
of Virulence Genes, Journal Clinical Stevens, A., James S. Lowe, J. S., and Scott,
Microbiology, 39(8): 2760-2767. I. (2011). Veterinary Hematology. A
Pekana, A.  and E. Green. (2018). Antimicrobial Diagnostic Guide and Color Atlas-Saunders.
Resistance Profiles of  Staphylococcus Tato, S., Salasia, S.I.O., S. Indaryulianto, V.
aureus Isolated from Meat Carcasses Waranurastuti, Kurniasih (2011). Resistensi
and Bovine Milk in Abattoirs and Dairy Staphylococcus aureus isolat asal manusia
Farms of the Eastern Cape, South Africa. dan sapi perah terhadap berbagai antibiotika.
International Journal Environmental Jurnal Sain Veteriner. 29 (2): 115-123.
Research and Public Health. 15(10): 2223. Toshkova, K., Annemüller, C., and Lämmler, C.
doi: 10.3390/ijerph15102223 (2001). The significance of nasal carriage
Wang, C.C., Lo, W.T., Hsu, C.F., Chu, M.L. of Staphylococcus aureus as risk factor for
(2004). Enterotoxin B is the Predominant human skin infections. FEMS Microbiology
Toxin Involved in Staphylococcal Scarlet Letters. 202: 17-24.
Fever in Taiwan. Journal Clinical Infectious Watkins, R.R., Holubar, M. and David, M.Z. (2019).
Diseasis. 38: 1498-1502. Antimicrobial resistance in methicillin
Salasia, S.I.O., Khusnan, Lämmler, C. and H. resistant Staphylococcus aureus to newer
Nirwati. (2003). Pheno-and genotyping of antimicrobial agents. Antimicrobial Agents
Staphylococcus aureus isolated from human Chemotherapy, 63:e01216-19. https://doi.
skin infections in Yogyakarta. Indonesian org/10 .1128/AAC.01216-19
Journal Biotechnology. 612-620. Woods, G.I. and J.A. Washington. (1995). Manual
Salasia, S.I.O., Z. Khusnan, Lämmler, C. and of clinical Microbiology, 6th ed, ASM Pess,
Zschöck, M. (2004). Comparative studies Washingtong, D.C. Pp. 327-341.
on pheno- and genotypic properties of Yarwood, J. M. and P.M. Schlievert. (2003).
Staphylococcus aureus, isolated from Quorum sensing in Staphylococcus
bovine subclinical mastitis in Central Java infections. Journal of Clinical Investigation.
in Indonesia and Hesse in Germany. Journal 112: 1620-1625.
Veterinary Science. 5(2):103-109.
Zhang J., Iandolo J. and Stewart. G.C. (1998). The
Salasia, S.I.O., Khusnan, dan Sugiyono (2009). Enterotoxin D Plasmid of Staphylococcus
Distribusi gen enterotoxin Staphylococcus aureus Encodes A Second Enterotoxin
aureus dari susu segar dan pangan asal Determinant (sej). FEMS Microbiology
hewan. Jurnal Sain Veteriner. 10 (3): 111- Letters. 168, 227-233.
117.
Salasia, S.I.O. (2001): Resistensi Streptococcus
equi subsp. zooepidemicus terhadap aktivitas
bakterisidal leukosit polimorfonuklear.
Jurnal Sain Veteriner. 19 (1): 1-7.

101
Christin Marganingsih Santosa, et. al.

Tabel 1. Identifikasi Staphylococcus aureus isolat asal susu sapi perah pada sentra peternakan sapi perah
Sumedang Jawa Barat

No. Kode Isolat Gejala Mastitis Gram MSA Koagulase Katalase


P5 subklinis + + + +

I-2 subklinis + + + +

P1 subklinis + + + +

D10 subklinis + + + +

MJL2 klinis + + + +

Jaed 2 klinis + + + +

S279 subklinis + + + +

D6 subklinis + + + +

S219 subklinis + + + +

S3 subklinis + + + +

A10932 subklinis + + + +

I-4 subklinis + + + +

Keterangan: MSA = mannitol salt agar

Tabel 2. Persentase kepekaan Staphylococcus aureus terhadap berbagai antibiotika

Jumlah Isolat/ Jumlah Isolat/ Jumlah Isolat/


Jenis Antibiotika
Resisten (%) Intermedier (%) Sensitif (%)
Gentamisin 0/0 0/0 6/100
Oksasilin 0/0 0/0 6/100
Metisilin 6/100 0/0 0/0
Ampisilin 0/0 1/16,7 5/83,3
Tetrasiklin 0/0 0/0 6/100
Penisilin 2/33,4 4/66,6 0/0

Tabel 3. Identifikasi gen 23S rRNA dan gen enterotoksin Staphylococcus aureus

Gen Enterotoksin
23S
rRNA sea seb sec sed see seg seh sei sej
No. Kode
P5 + + + - - - - + + -
I-2 + + + - - - - + + +
P1 + + + - - - - + + -
+ + + - - - - + + -
+ + + - - - - + + -
I-4 + + + - - - - + + -

102
Tabel 4. Hasil uji fagositosis neutrofil (in vitro) dan respon neutrofil terhadap infeksi Staphylococcus aureus (in vivo)

Uji Fagositosis Peningkatan Respon


Kode Sel neutrofil in vitro Neutrofil (%)
Klaster Toxin gen (Rerata jumlah sel bakteri hidup/mati) in vivo
Isolat
Non-agr Jaed2 se (a, b, h, i) (54.0) 27.7/26.3 109.52
agr1 I-2 se (a, b, h, i, j) (83.2) 52.6/30.6 20.83
agr2 P5 se (a, b, h, i) (38.4) 20.1/18.3 184.21
agr1+agr2 P1 se (a, b, h, i) (97.2) 48.3/46.9 18.75

M 1 2 3 4 5 M
Gambar 1. Analisis assessory gene regulator (agr) Staphylococcus aureus dengan ukuran 351 bp (agr1) dan 1200 bp (agr2). Lajur 1
(agr2, P5), lajur 2 (agr2, P1), lajur 3 (agr1, P1), lajur 4 (agr1, I-2), lajur 5 (non-agr, Jaed2). M = marker DNA ladder.
Jurnal Sain Veteriner, Vol. 38. No. 2. Agustus 2020, Hal. 104-109
DOI: 10.22146/jsv.32631
ISSN 2443-1583 (Print), ISSN 2407-3733 (Online)
Tersedia online di https://jurnal.ugm.ac.id/jsv

Platelet Rich Plasma (Prp) dari Limbah Darah Sapi sebagai Obat Luka Bakar pada Tikus Putih
(Rattus Norvegicus)

Platelet Rich Plasma (Prp) From The Waste Of Cow’s Blood As A Cure For Burns In
Rat (Rattus Norvegicus)

Rahmad Dwi Ardhiansyah1*, Riefky Pradipta Baihaqie1, Muhammad Nuriy Nuha Naufal1,
Muhamad Atabika Farma Nanda1, Aprilia Maharani1, Yuda Heru Fibrianto1

1
Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
*
Email: rahmad.dwi.a@mail.ugm.ac.id

Naskah diterima: 24 Januari 2018, direvisi: 29 Januari 2019, disetujui: 6 Nopember 2019

Abstract

The burn is tissue damage to the skin caused by exposure to high heat, chemicals or electric current. Skin or
tissue that burns will become necrotic tissue. Platelet Rich Plasma (PRP) is a platelet that is concentrated in a little
plasma. PRP is used to stimulate and accelerate the healing of bone and soft tissue because it contains growth
factor. PRP is obtained by blood centrifugation to get the most of platelets by minimizing plasma. The purpose
of this study was to prove the ability of PRP from the waste cow’s blood to accelerate the healing of rat burns.
Experimental animals used in this study were 10 white rats. An iron with round shape heat in fire, then stick into
rats skin to make wound. The experimental design were used 5 groups. Groups 1-3 were animal with 10%, 20%,
30% PRP concentration treatment. The other 2 groups would be the negative control (not treated) and the positive
control (placenta extract 10% + neomycin sulfate 0,5%). The parameters used to measure the rate of wound
healing is the healing time and the type of tissue that is formed. The data were analyzed using One-way Analysis
of variance (Anova) with Kruskal-Wallis statistical method in 95% significant rate. The result showed there is
a significant difference between treatments. The results shown by the best healing wounds treated with PRP
concentration of 30%. Tissues analysis were done by making preparations of histopathological from the skin.
The results showed that the treated wounds healed but the untreated wound, ephitelization were not formed yet.

Key words: blood, burns; growth factor; Platelet Rich Plasma; Slaughterhouse

Abstrak

Luka bakar adalah kerusakan jaringan pada kulit akibat terkena panas tinggi, bahan kimiawi maupun arus
listrik. Luka bakar akan lama penyembuhannya tergantung derajat keparahan luka. Platelet Rich Plasma (PRP)
merupakan platelet/trombosit yang terkonsentrasi pada sedikit plasma. PRP digunakan untuk menstimulasi dan
mempercepat kesembuhan pada tulang dan jaringan lunak karena mengandung growth factor. PRP didapat
dengan cara mensentrifuse darah hingga didapatkan bagian terbanyak dari platelet dengan meminimalisir
plasma. Tujuan penelitian ini adalah membuktikan kemampuan PRP dari limbah darah sapi untuk mempercepat
kesembuhan pada luka bakar tikus. Hewan coba yang dipakai pada penelitian ini adalah tikus putih sebanyak 10
ekor dibagi menjadi 5 kelompok. Besi panas berbentuk bulat dengan diameter 1x1 cm dipanaskan dengan api,
lalu ditempelkan pada kulit. Kelompok perlakuan diberi PRP dengan konsentrasi 10%, 20% dan 30% dengan
salep vaselin album, kelompok kontrol negatif yang tidak diberi perlakuan dan kelompok kontrol positif yang
diberi obat yang terbuat dari ekstrak plasenta sapi 10%+neomycin sulfate 0,5%. Parameter yang dipakai untuk
mengukur tingkat kesembuhan luka adalah waktu kesembuhan dan pemeriksaan histopatologi. Data dianalisis

104
Platelet Rich Plasma (Prp) dari Limbah Darah Sapi Sebagai Obat Luka Bakar ....

dengan metode statistik One-way Analsisis of variance (Anova) tingkat signifikansi 95% yang dilanjutkan dengan
Kruskal-wallis. Hasil penelitian menunjukkan perbedaan signifikan antara PRP konsentrasi 10%, 20%, 30%, dan
kontrol positif dengan kontrol negatif. Konsentrasi PRP yang optimal adalah 20%. Pemeriksaan mikroskopik
pada jaringan kulit dilihat dengan pembuatan preparat histopatologi. Hasil menunjukkan bahwa luka pada
kelompok perlakuan dan kontrol positif tampak sembuh, sedangkan kelompok kontrol negatif epitelisasi belum
tertutup jelas.

Kata kunci: limbah darah sapi; luka bakar; Platelet Rich Plasma

Pendahuluan mikrotubulus kontraktil di sekeliling bagian


luarnya, mengandung aktin dan myosin. Bagian
Luka adalah hilang atau rusaknya kesatuan/
dalam platelet, beberapa struktur intraseluler
komponen jaringan yang secara spesifik terdapat
menunjukkan kandungan glikogen, lisosom, dan
substansi jaringan yang rusak atau hilang.
2 tipe granula yaitu dense granula dan α granula.
Beberapa ahli berpendapat luka adalah suatu
Dense granula yang mengandung ADP, ATP,
gangguan dari kondisi normal pada kulit (Taylor,
serotonin, dan calsium. α granula mengandung
1997). Luka bakar adalah kerusakan jaringan
faktor penjendalan, growth factor, dan protein
pada kulit akibat terpajan panas tinggi, bahan
lain (Everts, 2006). Platelet dengan konsentrasi
kimiawi maupun arus listrik (Moenadjat, 2002).
1.000.000 platelet/µl dalam 5 ml volume plasma
Kulit atau jaringan tubuh yang terbakar akan
telah terbukti dapat mempercepat penyembuhan
menjadi jaringan nekrotik. Jaringan nekrotik ini
tulang dan jaringan lunak (Marx, 2001).
tidak dapat dibuang segera tetapi tetap melekat
Berdasarkan teori diatas dilakukan penelitian
di tubuh penderita untuk waktu yang relatif lama
tentang Platelet Rich Plasma (PRP) dari limbah
(Marzoeki, 1993).
darah sapi sebagai obat luka bakar pada tikus putih
Rumah Potong Hewan (RPH) adalah suatu
(Rattus norvegicus).
bangunan atau kompleks bangunan dengan
desain dan syarat tertentu yang digunakan
sebagai tempat memotong hewan bagi konsumsi Materi dan Metode
masyarakat umum (Anonim, 2010). Seekor sapi Darah sapi diambil dari Rumah Potong
yang disembelih menghasilkan limbah darah Hewan (RPH) Giwangan di Yogyakarta. Darah
kurang lebih sebanyak 28 liter. Limbah darah ini sapi ditampung dengan Falcon® tube yang telah
mencemari air dan berdampak pada kualitas fisik ditambahkan ethylene deamine tetra acetic acid
air yaitu warna dan pH disamping itu total padatan (EDTA) untuk mencegah penggumpalan darah.
terlarut. padatan tersuspensi, kandungan lemak, Perbandingan antara EDTA dan darah adalah 1:9.
Biological Oxygen Demand (BOD), ammonium, Darah yang sudah ditampung dalam Falcon® tube
nitrogen, fosfor akan mengalami peningkatan. di sentrifuge dengan kecepatan 2400 rpm selama
Hal tersebut dapat menurunkan kualitas air 10 menit. Bagian padat atau pellet dibuang,
dan mengganggu kesehatan bila dikonsumsi sehingga tertinggal bagian plasma saja. Plasma
(Sanjaya,1996) disentrifuge dengan kecepatan 3600 rpm selama
Komponen darah terdiri dari plasma, 15 menit. Bagian Platelet Rich Plasma (PRP)
sel darah merah, sel darah putih dan platelet. dipisahkan dengan membuang bagian Platelet
Platelet adalah sel darah berbentuk diskoid kecil Poor Plasma memakai spet (Tozum, 2003). PRP
berukuran 1-3µm. Jumlah rata-rata platelet yang telah didapat dicampurkan langsung secara
dalam sirkulasi darah antara 1,5-3,0x105/mL, homogen dengan basis krim. Perbandingan untuk
dan dalam in vivo waktu bertahan platelet sekitar pembuatan krim PRP 10% adalah 15 gram basis
7 hari (Everts, 2006). Jumlah platelet normal krim ditambahkan dengan 1,5 ml PRP. Krim PRP
pada darah antara 150.000/µl sampai 350.000/ 20% adalah 15 gram basis krim ditambahkan
µl, dan rata-rata sekitar 200.000/µl (Marx, 2001). dengan 3 ml PRP. Krim PRP 30% adalah 15 gram
Platelet dibentuk dari megakariosit dan disintesis krim ditambahkan dengan 4,5 ml PRP.
di sumsum tulang. Platelet mempunyai ring dari

105
Rahmad Dwi Ardhiansyah, et. al.

Tikus putih di adaptasikan selama 1 minggu cepat daripada kontrol (+) dibuktikan dari ukuran
pada kandang di Laboratorium Practical Animal, luka pada kulit tikus. PRP 20% maupun PRP 30%
Fakultas Kedokteran Hewan UGM. Jumlah pertumbuhan luka relatif sama tetapi lebih cepat
tikus yang dipakai sebanyak 10 ekor dan diberi daripada kontrol (-), kontrol (+) maupun 10%.
5 perlakuan yang berbeda. Tikus terlebih dahulu Hasil analisis dengan metode One-way Analsisis
dianestesi menggunakan ketamine 10% dengan of variance (Anova) dengan Kruskal-wallis
dosis 25 mg/Kg. Luka bakar pada tikus dibuat (p<0,05) menunjukkan bahwa terdapat perbedaan
dengan mencukur rambut pada bagian punggung yang signifikan antara kontrol positif dengan
terlebih dahulu. Besi dengan diamter 1x1 cm kontrol negatif, sementara itu tidak ada perbedaan
dipanasi terlebih dahulu menggunakan bunsen yang signifikan antara kontrol + dengan PRP
selama 15 menit. Besi panas ditempelkan pada 10%. Kontrol positif dengan PRP 20% dan 30%
kulit selama 3 detik. Luka diberikan pada 5 bagian terdapat perbedaan yang signifikan. PRP 20% dan
tempat untuk kontrol (-), kontrol (+), krim PRP 30% tidak ada perbedaan yang signifikan.
10%, krim PRP 20%, dan krim PRP 30 %. Kontrol
negatif tidak diberi pengobatan, sedangkan Pemeriksaan Histopatologi
kontrol positif diberi obat komersial yang terbuat Hasil pembacaan preparat histopatologi
dari ekstrak plasenta 10%, neomycin sulfate 0,5%, menunjukkan bahwa tipe kesembuhan luka
dan basis gel. Setiap pagi dan sore dilakukan bervariasi pada masing-masing perlakuan Berikut
pengobatan dengan cara mengolesi obat-obat ini adalah gambaran histopatologi kulit pada hari
tersebut secara topikal. ke 14:
Parameter yang dipakai untuk mengukur Pada kontrol (-), epithelisasi epidermis belum
tingkat kesembuhan luka adalah waktu kesembuhan menutup jaringan luka, infiltrasi neutrofil, limfosit,
dengan melihat ukuran luka setiap 3 hari dan tipe plasma sel, makrofag dan fibrin serta hancuran sel
jaringan yang terbentuk. Data waktu kesembuhan di epidermis; scab/keropeng yang berisi hancuran
luka dianalisis dengan metode statistik One-way sel masih terlihat di epidermis; tampak fibroblast
Analsisis of variance (Anova) tingkat signifikansi di dermis; infiltrasi neutrofil, limfosit di sub kutan
95% dengan Kruskal-wallis. Analisa data tipe dan muskularis; dan infiltrasi limfosit dan makrofag
jaringan yang terbentuk dilakukan dengan di dermis. Hasil pembacaan preparat histopatologi
pembuatan dan pembacaan preparat histopatologi. pada kontrol (-) menunjukkan bahwa luka belum
sembuh secara sempurna. Hasil ini sangat berbeda
Hasil dan Pembahasan dengan Kontrol (+), Salep PRP 10%, 20%, dan
Berikut ini adalah tabel hasil pengukuran 30% yang menunjukkan kesembuhan luka prima.
luka setiap 3 hari, dihitung dari besaran luka Hal tersebut ditandai dengan tampak ephitelisasi
menggunakan milimeter blok. epidermis sudah menutup permukaan luka, lapisan
Luka bakar yang diberikan obat dengan salep dermis banyak tampak terisi jaringan ikat kolagen
PRP 10% memiliki waktu kesembuhan luka lebih padat, tampak fibroblast di dermis, infiltrasi

Tabel 1. Hasil pengukuran luka setiap 3 hari

Hari ke- Kontrol (-) Kontrol (+) Krim PRP 10% Krim PRP 20% Krim PRP 30%
1 12,20 ±1,304 8,80 ±0,837 9,40 ±1,673 10,20 ±0,447 10,20 ±0,447
4 12,60 ±1,140 10.60 ±2,702 9,60 ±1,140 9,80 ±0,447 9,20 ±0,447
7 12,40 ±1,140 11,20 ±1,304 9,20 ±0,837 9,20 ±0,447 9,00 ±0,707
10 11,80 ±0,447 11,40 ±1,140 9,80 ±1,304 9,60 ±1,342 9,20 ±1,095
13 11,20 ±0,447 10,40 ±0,894 9,40 ±0,548 9,20 ±0,837 8,20 ±0,837
16 9,20 ±1,304 7,60 ±1,817 6,60 ±1,140 5,60 ±1,342 4,60 ±1,342
19 8,20 ±1,304 6,00 ±1,225 4,60 ±1,140 4,20 ±1,095 3,40 ±0,894
22 7,00 ±1,414 4,20 ±1,483 3,40 ±1,140 2,80 ±0,447 1,80 ±0,447
25 2,40 ±1,949 0 0 0 0

106
19 8,20 ±1,304 6,00 ±1,225 4,60 ±1,140 4,20 ±1,095 3,40 ±0,894
22 7,00 ±1,414 4,20 ±1,483 3,40 ±1,140 2,80 ±0,447 1,80 ±0,447
25 2,40 ±1,949 0 0 0 0

Platelet Rich Plasma (Prp) dari Limbah Darah Sapi Sebagai Obat Luka Bakar ....
:

Volume 2, Issue 2, Pages 116–126.


Gambar 1. Gambaran histopatologi kulit. Keterangan: A. Keratin; B. Fibroblast; C. Jaringan ikat kolagen padat; D. Sel radang; E. Scab

limfosit di dermis sedikit, dan infiltrasi neutrofil, apabila masih terdapat infiltasi sel radang tersebut
limfosit di subkutan dan muskularis sedikit. menunjukkan bahwa luka masih belum sembuh
Infiltrasi sel radang biasanya terjadi pada secara optimal. Fibroblast pertama muncul
hari 2-4 pasca terjadinya luka, hal ini diakibatkan pada hari ketiga pasca terjadinya luka dan akan
karena trombosit yang dilepaskan saat terjadi luka mencapai puncak pada hari ketujuh. Fibroblast
menarik sel-sel radang ke daerah luka. Infiltrasi bermigrasi ke daerah luka akan memulai sintesis
sel radang terutama neutrofil berfungsi untuk matriks ekstraseluler dan bertahap digantikan oleh
memfagositosis bakteri yang mengontaminasi matriks kolagen, kejadian ini berlangsung hingga
luka (Rozman dan Bolta, 2007). Jumlah infiltrasi dua minggu pasca luka. Matriks kolagen apabila
sel radang harusnya menurun setiap harinya, terdeposisi dalam jumlah yang cukup pada daerah

107
Rahmad Dwi Ardhiansyah, et. al.

luka maka fibroblast akan berhenti memproduksi Matrik: fase sintesis matrik dan deposisi matrik,
kolagen (Singer dan Clark, 1999). Fibroblast PGF kembali melakukan peran predominan.
berperan serta dalam proses angiogenesis dengan Pada penelitian, bahwa dosis tunggal dari PDGF
cara menstimuli makrofag untuk menghasilkan meningkatkan volume granulasi jaringan sebesar
berbagai jenis growth factor (Gabriel dan 200% setelah 7 hari. Pemberian TGF-β secara
Mussman, 2009). Angiogenesis merupakan tunggal pada luka, itu menyatakan bahwa matrik
proses pembentukan darah baru yang berperan sebagian besar membentuk kolagen baru. 4)
dalam pembentukan jaringan granulasi. Proses Produksi Kolagen: Produksi koagen kolagen
angiogenesis akan berhenti melalui apoptosis sangat penting dalam penyembuhan luka, yang
(programmed cell death). Pada fase ini fibroplasia diinisiasi aksi kemotaktik dan mitogenik dari
dan angiogenesis merupakan proses terintegrasi fibroblast oleh FGF. 5) Epitelialisasi: Pemberian
dan dipengaruhi oleh substansi yang dikeluarkan secara topikal Epidermal Growth Factor (EGF)
oleh platelet dan mikrofag (Robert, 2004). memulai untuk mempercepat epitelialisasi.
Protein yang terkandung dalam α-granule dari PDGF sangat penting dalam epitelialisasi,
platelet yang sangat berpengaruh pada kesembuhan bersama dengan FGF meningkatkan kontraksi
luka, termasuk didalamnya adalah Platelet- dan waktu remodeling (Everts, 2006). Platelet
Derived Growth Factor (PDGF) dengan isomer αα, juga mempunyai aktifitas antimikroba yang dapat
ββ, dan αβ, Transformer Growth Factor (TGF)-β mencegah terjadinya infeksi pada luka, platelet
dengan isomer β1 dan β2, Platelet Factor 4 (PF4), mengandung dan melepaskan protein yang bersifat
Interleukin (IL), Platelet-Derived Angiogenesis mikrobisidal yaitu termed platelet microbicidal
Factor (PDAF), Vascular Endothelial Growth proteins (PMPs) atau thrombin-induced PMPs
Factor (VEGF), Epidermal Growth Factor (EGF), (tPMPs) jika dirangsang dengan mikroorganisme
Platelet-Derived Endothelial Growth Factor atau agonis trombosit berhubungan dengan infeksi
(PDEGF), Epithelial Cell Growth Factor (ECGF), pada vitro (Yeaman & Arnold, 1999).
Insulin-like Growth Factor (IGF), osteocalcin,
osteonectin, fibrinogen, vitronectin, fibronectin, Kesimpulan
dan thrombospondin (TSP). Protein ini secara
kolektif adalah anggota dari kelompok growth Berdasarkan paparan hasil analisis
factor, cytokines, dan chemokines yang termasuk makroskopis dan mikroskopis dapat ditunjukkan
dalam protein sekretori (Eppley, 2006). Menurut bahwa salep Platelet Rich Plasma yang dihasilkan
Everts (2006) platelet juga mengandung Basic dari limbah darah sapi memiliki kemampuan yang
Fibroblast Growth Factor (bFGF), Connective lebih baik dibandingkan dengan obat luka bakar
Tissue Growth Factor (CTGF) (Eppley, 2006). komersial.
Peran platelet pada tahap kesembuhan
luka adalah sebagai berikut: 1) Degranulasi Daftar Pustaka
Platelet: kerusakan jaringan, PDGF dan FGF Anonim. (2010). Peraturan Menteri Pertanian
mulai diproduksi oleh sel yang terluka. Platelet Nomor 13/Permentan/Ot.140/1/2010
membentuk sumbat pada tempat itu, dan akan Tentang Persyaratan Rumah Potong Hewan
memulai degranulasi dengan merilis growth Ruminansia Dan Unit Penanganan Daging
factor, PDGF dan TGF-β adalah growth (Meat Cutting Plant). Kementrian Pertanian
factor yang sangat penting pada tempat luka Republik Indonesia
dan mulai melakukan proses penyembuhan
luka. Karakteristik dari molekul PGF adalah Eppley, B.L., Pietrzak, W.S. dan Blanton M.
kemotaktik dan mitogenik yang berhubungan (2006). Platelet-Rich Plasma: A Review of
dengan sel radang seperti neutrofil, monosit, dan Biology and Applications in Plastic Surgery.
makrofag. 2) Aksi Inflamasi: dosis tunggal PDGF Plastic Reconstructive Surgery Volume 118
yang diberikan pada lika incisi menunjukkan (6)
bahwa terjadi respon radang dengan peningkatan
pemasukan netrofil dan makrofag. 3) Deposisi

108
Platelet Rich Plasma (Prp) dari Limbah Darah Sapi Sebagai Obat Luka Bakar ....

Everts, P.A.M., Johannes, T.A.K., Gernot, W., Sanjaya A.W., Sudarwanto M, dan Pribadi
Jacques P.A.M.S., Johannes H., Eddy, P.O., E.(1996). Pengelolaan Limbah Cair Rumah
Hemk A.M.B., dan Andre, V.Z. (2006). Potong Hewan di Kabupaten Dati II Bogor.
Platelet-Rich Plasma and Platelet Gel: A Bogor: Media Veteriner Vol III (2)
Review. JECT, 2006:38:174-187 Singer AJ, Clark RA. (1999). Cutaneous wound
Gabriel A, Mussman, J. (2009). Wound Healing, healing. NEJM, 341(1).
Growth Factor. Department of Plastic Taylor, C. (1997). Fundamental of Nursing The Art
Surgery. Loma Linda University School of and Science of Nursing Care. 4th Edition.
Medicine. Birmingham. Philadelpia: JB Lippincoff hal 699-705.
Marx, R.E.( 2001). Platelet-Rich Plasma (PRP): Tozum T.F. dan Demiralp, B. (2003). Platelet-
What Is PRP and What Is Not PRP?. Implant Rich Plasma: A Promising Innovation
Dentistry Vol. 10 No. 4. USA: Lippincott in Dentistry. di dalam Clinical Practice
Williams & Wilkins Canada: Journal of the Canadian Dental
Marzoeki, D. (1993). Ilmu Bedah Luka dan Association. Vol 69 No 10.
Perawatannya. Surabaya: Airlangga Yeaman, M.R. dan Arnold, SB. (1999).
University Press Antimicrobial peptides from platelets. Drug
Moenadjat, Y. (2003). Luka Bakar: Pengetahuan Resist Updat Volume 2, Issue 2, Pages 116–
Klinik Praktis. Jakarta: Balai Penerbit FKUI 126.
Robert F. (2004). Wound Healing: an overview of
acute, fibrotic and delayed healing. Frontiers
in Bioscience, 9: 283-289.
Rozman P, Bolta Z. (2007). Use of platelet growth
factor in treating wounds and soft tissue
injuries. Acta Dermatoven APA, 16(4).

109
Jurnal Sain Veteriner, Vol. 38. No. 2. Agustus 2020, Hal. 110-118
DOI: 10.22146/jsv.47774
ISSN 2443-1583 (Print), ISSN 2407-3733 (Online)
Tersedia online di https://jurnal.ugm.ac.id/jsv

Hubungan Kepadatan Permukiman dengan Luas Permukiman terhadap Sebaran


Demam Berdarah Dengue

Relationship of The Settlement of The Density With The Extensive Settlement of The Settlement
Dengue Hemorrhagic Fever
Marlena1, Rinidar2, Muhammad Rusdi3, Farida4, Teuku Reza Ferasyi5, Nurliana6
1
Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, Aceh
2
Laboratorium Farmakologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh Aceh
3
Laboratorium Penginderaan Jauh dan Kartografi, Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala
Banda Aceh, Aceh
4
Laboratorium Parasitologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, Aceh
5
Laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Syiah Kuala,
Banda Aceh, Aceh
6
Laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Syiah Kuala,
Banda Aceh, Aceh
Email: lena_kkp@yahoo.co.id

Naskah diterima: 17 Juli 2019, direvisi: 30 Juli 2019, disetujui: 11 April 2020

Abstract

Banda aceh which part of the area is a coastal area and lowland, is an endemic area of dengue
​​ hemorrhagic
fever (DHF). The case of DHF in Banda Aceh is always fluctuating from year to year so it needs to be analyzed
the relationship of the environment to the distribution of DHF. The purpose of this study was to analyze the
relationship between settlement density and settlement area to the distribution of DHF in Banda Aceh City.
This research uses visual interpretation and overlay methods using quantitative descriptive research design.
Descriptive research was conducted using a survey method based on a cross-sectional study. The survey was
carried out on the density of settlements and was associated with the incidence of DHF spatially. The type of data
used is primary data obtained through direct observation using the Global Positioning System (GPS) to see the
distribution of DHF and interpretation data of remote sensing images to see patterns of settlement density. While
secondary data from the Banda Aceh City Public Works and Spatial Planning Office and the Banda Aceh City
Health Office. The number of samples was all DHF sufferers in 2017 totaling 236 people spread in the city of
Banda Aceh. Data were analyzed using ArcGIS and processed statistically using Chi-Square. Sparse residential
density areas of 46.7% have 3 points of high category DHF cases, areas of medium settlement density of 34.4%
have 7 points of high category DBD cases and areas of densely populated densities of 18.9% have 5 points of high
category DBD cases. Statistical test results showed a value of P> 0.05, meaning that there was no relationship
between settlement density and the incidence of dengue cases in Banda Aceh City. There is no relationship
between the density of settlements with the area of ​​settlements to the distribution of dengue hemorrhagic fever
(DHF) in the city of Banda Aceh.

Keywords: Aedes aegypty; case DHF; Geographic Information System; settlement density

110
Hubungan Kepadatan Permukiman dengan Luas Permukiman

Abstrak

Kota Banda Aceh merupakan daerah endemis penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD). Kasus DBD di
Banda Aceh selalu fluktuatif dari tahun ke tahun sehingga perlu dianalisis hubungan lingkungan terhadap sebaran
DBD. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis hubungan kepadatan permukiman dengan luas
permukiman terhadap sebaran DBD di Kota Banda Aceh. Penelitian ini menggunakan metode interpretasi visual
dan overlay dengan menggunakan rancangan penelitian deskriptif kuantitatif. Penelitian deskriptif dilakukan
dengan metode survei berdasarkan studi cross-sectional. Survei dilakukan terhadap kepadatan permukinan dan
dikaitkan dengan kejadian DBD secara spasial. Jenis data yang digunakan adalah data primer diperoleh melalui
observasi langsung menggunakan alat Global Positioning System (GPS) untuk melihat sebaran DBD dan data
interpretasi citra penginderaan jauh untuk melihat pola kepadatan permukiman. Sedangkan data skunder dari
Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Kota Banda Aceh dan Dinas Kesehatan Kota Banda Aceh. Jumlah
sampel adalah seluruh penderita DBD tahun 2017 berjumlah 236 orang yang tersebar di Kota Banda Aceh.
Data di analisis menggunakan ArcGIS dan diolah secara statistik menggunakan Chi-Square. Daerah kepadatan
permukiman jarang sebesar 46,7% memiliki 3 titik kasus DBD katagori tinggi, daerah kepadatan permukiman
sedang sebesar 34,4% memiliki 7 titik kasus DBD katagori tinggi dan daerah kepadatan permukiman padat
sebesar 18.9% memiliki 5 titik kasus DBD katagori tinggi. Hasil uji statistik memperlihatkan nilai P>0,05,
artinya tidak ada hubungan kepadatan permukiman dengan kejadian kasus DBD di Kota Banda Aceh.Tidak
terdapat hubungan kepadatan permukiman dengan luas permukiman terhadap sebaran demam berdarah dengue
(DBD) di Kota Banda Aceh.

Kata kunci : Aedes aegypty; kasus DBD; kepadatan permukiman; sistem informasi geografis

Pendahuluan negara hiperendemik dengan jumlah provinsi


Demam berdarah dengue (DBD) adalah yang terkena DBD sebanyak 32 provinsi dari 33
penyakit yang banyak ditemukan di sebagian provinsi di Indonesia dan 355 kabupaten/kota dari
besar wilayah tropis dan subtropis dan merupakan 444 kota terkena DBD. Setiap hari dilaporkan,
masalah kesehatan masyarakat dunia (WHO, sebanyak 380 kasus DBD dan 1-2 orang meninggal
2012). Hostalami DBD adalah manusia, agentnya setiap hari (WHO, 2009). Penyakit ini pertama
adalah virus dengue yang termasuk kedalam kali dilaporkan terjadi di Surabaya. Selama tahun
family Flaviridae dan genus Flavivirus, terdiri 1996-2005 tercatat 334.685 kasus DB dengan
dari 4 serotipe yaitu Denv-1, Denv-2, Denv3 dan jumlah penderita yang meninggal 3.092 orang
Denv-4, ditularkan ke manusia melalui gigitan (Widyawati et al., 2011).
nyamuk yang terinfeksi, khususnya nyamuk Kasus DBD di Indonesia pada tahun 2017
Aedes aegypti dan Aedes albopictus (Chandra, berjumlah 68.407 kasus, dengan jumlah kematian
2010). Penyebaran DBD sangat cepat meningkat sebanyak 493 orang. Jumlah tersebut menurun
sejak 30 tahun terakhir. Pada tahun 1970, hanya cukup drastis dari tahun sebelumnya, yaitu
sembilan negara yang melaporkan kasus demam 204.171 kasus dan jumlah kematian sebanyak
berdarah. Namum saat ini, diperkirakan 100 1.598 orang. Angka kesakitan DBD tahun 2017
negara yang memiliki iklim tropis dan subtropis menurun dibandingkan tahun 2016, yaitu dari
merupakan daerah endemis DBD. Diperhitungkan 78,85 menjadi 26,10 per 100.000 penduduk.
lebih dari 40% dari populasi dunia beresiko terkena Namun, penurunan Case fatality rate (CFR) dari
virus dengue dan 87% dari total populasi di Asia tahun sebelumnya tidak terlalu tinggi, yaitu 0,78%
Tenggara beresiko demam berdarah (WHO, 2009). pada tahun 2016, menjadi 0,72% pada tahun 2017.
Di Indonesia penyakit DBD sejak tahun 1968 Berikut tren angka kesakitan DBD selama kurun
telah terjadi peningkatan persebaran kasus DBD. waktu 2010-2017 (Kemkes, 2018).
Pada tahun 1968 hanya 58 kasus menjadi 158.912 Berdasarkan laporan Dinas Kesehatan Kota
kasus pada tahun 2009. World Health Organization Banda Aceh, Jumlah warga yang terjangkit DBD
(WHO menetapkan Indonesia sebagai salah satu tahun 2012 sebanyak 506 kasus, tahun 2013

111
Marlena, et. al.

sebanyak 258 kasus, tahun 2014 sebanyak 299 yang tinggi, memerlukan suatu sistem untuk
kasus, tahun 2015 sebanyak 127 kasus dan tahun memetakan sehingga diketahui pola sebaran DBD
2016 sebanyak 152 kasus (Dinkes Banda Aceh, yang dapat dijadikan sebagai prediksi awal untuk
2017). Pada tahun 2017 terdapat sebanyak 236 dipakai sebagai dasar dalam melakukan intervensi
kasus DBD tersebar dalam sembilan kecamatan DBD.
dengan IR (Incidence Rate) per 100.000 penduduk Sistem Informasi Geografis (SIG) merupakan
sebesar 59,6 (Dinkes Banda Aceh. 2018). suatu sistem komputer berdasarkan geografis
Jumlah kasus penyakit DBD cenderung yang dapat digunakan untuk menganalisis data.
meningkat sepanjang tahun, peningkatan ini Seiring dengan berkembangnya teknologi, SIG
terjadi karena adanya pembukaan lahan untuk dapat dimanfaatkan di dunia kesehatan untuk
pemukiman baru yang menambah jumlah habitat memetakan sebaran DBD dan melihat keterkaitan
nyamuk (Kemkes, 2012). Penggunaan lahan yang faktor lingkungan yang menjadi risiko terjadinya
di alih fungsikan menjadi pemukiman penduduk DBD. Pemetaan sebaran dengan menggunakan
baik sementara maupun tidak menjadi salah satu SIG bertujuan untuk mendapatkan suatu informasi
faktor penyebab penyebaran penyakit DBD di baru mengenai gambaran pemetaan suatu
suatu wilayah. Dikarenakan adanya mobilitas penyakit atau masalah kesehatan agar mudah
penduduk yang kemungkinan membawa virus untuk dianalisis (Sunaryo et al., 2014). SIG dalam
dengue dari satu tempat ke tempat lainnya bidang kesehatan digunakan untuk melakukan
(Hadinegoro dan Satari, 2004). Penyebaran DBD analisis spasial penyakit khususnya hubungan
banyak dilaporkan di daerah-daerah perkotaan dan antara faktor agen, vektor, dan populasi dengan
daerah dengan pengembangan pemukiman baru lingkungan geografisnya (Chang et al., 2009).
yang strategis (Prasetyo, 2012). Dimana dengan
kondisi seperti ini populasi penduduk semakin Materi dan Metode
padat dan menyebabkan kepadatan tempat tinggal
pada daerah tersebut. Hal ini menyebabkan jarak Penelitian ini dilakukan di sembilan
terbang nyamuk menjadi lebih pendek sehingga Kecamatan yang ada di Kota Banda Aceh.
penularan semakin mudah dan cepat sehingga Pelaksanaan penelitian dilakukan selama tiga
menciptakan kondisi yang tepat untuk transmisi bulan yaitu bulan Agustus s.d Oktober 2018.
nyamuk. Pemukiman penduduk yang padat dengan Subjek penelitian adalah lokasi tempat tinggal
tingkat mobilisasi yang tinggi merupakan salah penderita demam berdarah dengue sejak Januari
satu tempat yang sangat potensial untuk terjadinya 2017 sampai dengan 31 Desember 2017. Bahan
penularan DBD (Sujariyakul et.al., 2005). dan alat yang digunakan pada penelitian ini
Secara nasional DBD tergolong penyakit meliputi Global Positioning System (GPS),
menular dan menjadi prioritas pembangunan aplikasi ArcGIS, laporan kasus DBD tahun 2017
nasional jangka panjang 2005-2025 (Koban, dan peta administrasi Kota Banda Aceh. Data
2005). Oleh karena itu, pemerintah kota Banda yang digunakan dalam penelitian ini adalah data
Aceh terus berupaya menanggulangi wabah DBD, primer berupa titik kasus DBD dan kepadatan
namun penanggulangan DBD di kota Banda Aceh permukiman. Sedangkan data sekunder diperoleh
belum secara signifikan menurunkan jumlah dari Dinas Kesehatan Kota Banda Aceh berupa
kasus DBD. Selama ini, sebaran kasus DBD data jumlah penderita demam berdarah dengue
hanya berdasarkan adanya laporan dari kunjungan tahun 2017 sebanyak 236 sampel dan data peta
masyarakat ke Puskesmas atau layanan kesehatan adminstrasi Kota Banda Aceh dari Dinas Pekerjaan
lainnya. Padahal Penyakit DBD dipengaruhi tiga Umum dan Penataan Ruang Kota Banda Aceh.
elemen utama yaitu agent, host dan environment Data primer diperoleh melalui observasi
yang sangat dinamis. Agentnya adalah nyamuk, langsung ke lokasi rumah penderita DBD
hostnya adalah manusia dan environment menggunakan alat Global Positioning System
adalah lingkungan dimana adanya habitat yeng (GPS) untuk melihat sebaran DBD dan data
mendukung untuk pertumbuhan nyamuk. Kondisi interpretasi citra penginderaan jauh untuk melihat
nyamuk yang dinamis serta mobilitas penduduk kepadatan permukiman. Data tersebut kemudian

112
Hubungan Kepadatan Permukiman dengan Luas Permukiman

dinput kedalam aplikasi ArcGis. Klasifikasi sebaran Hasil dan Pembahasan


kasus DBD dan kepadatan permukiman digunakan
Kota Banda Aceh secara astronomi terletak
metode skoring. Pembuatan peta kepadatan
antara 05°16’15”–05°36’16” Lintang Utara dan
permukiman dilakukan dengan pengambilan
95°16’15”–95°22’35”  Bujur Timur dan berada di
data dari citra penginderaan jauh. Kepadatan
belahan bumi bagian utara dengan ketinggian
permukiman suatu desa dihitung berdasarkan
wilayah kota berkisar antara 0,80 m–5,0 m di
jumlah luas seluruh atap dibagi dengan luas
atas permukaan laut. Kota Banda Aceh memiliki
blok pemukiman dalam satuan unit pemukiman,
9(sembilan) kecamatan dan 90 (sembilan puluh)
sehingga dari hasil perhitungan tersebut dapat
desa dengan luas wilayah administratif adalah
diketahui perbandingan antara penggunaan lahan
61,36 km. Kota Banda Aceh memiliki posisi
pemukiman dan non pemukiman di desa tersebut
geografis dengan batas-batas sebagai berikut; (1)
(Dinas Cipta Karya PU, 2006).
sebelah utara berbatasan dengan Selat Malaka;
Parameter yang digunakan dalam menilai
(2) sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten
kepadatan permukiman adalah berdasarkan Ditjen
Aceh Besar; (3) sebelah Timur berbatasan dengan
Cipta Karya Departemen Pekerjaan Umum tahun
Kabupaten Aceh Besar dan (4) sebelah Barat
2006. Dasar perhitungan Kepadatan permukiman
berbatasan dengan Samudra Hindia. Berdasarkan
adalah dengan menghitung persentase luas
letak geografis Kota Banda Aceh berada di ujung
atap terhadap blok permukiman, besarnya nilai
utara Pulau Sumatera sekaligus menjadi wilayah
diklasifikasikan menggunakan metode skoring
paling barat dari Pulau Sumatera (PUPR, 2018).
(Drobne dan Lisec, 2009). Kepadatan jarang
Kota Banda Aceh memiliki jumlah penduduk
dikenali dengan adanya halaman lebih luas dari
tahun 2017 sebanyak 259.913 orang yang terdiri
luas bangunan. Keberadaan pohon lebih dominan
dari 133.728 orang laki-laki dan 126.185 orang
dan jarak antar bangunan berjauhan. Kepadatan
perempuan, jumlah penduduk tertinggi terdapat
sedang dapat dilihat dari jarak antar rumah yang
di Kecamatan Kuta Alam yaitu sebesar 52.130
jarang, di antara bangunan rumah yang satu
jiwa dan jumlah penduduk terendah di Kecamatan
dengan rumah yang lainnya masih terdapat pohon
Kuta Raja yaitu sebesar 13. 499 jiwa (BPS, 2018).
yang merupakan halaman. Kepadatan padat
Berdasarkan Gambar 1, distribusi kasus
dikenali dengan keberadaan bangunan yang saling
penyakit DBD di Kota BandaAceh yaitu Kecamatan
berdekatan, dimana tiap bangunan relatif tidak
Jaya Baru dan Kecamatan Baiturrahman masing-
memiliki halaman samping dan jika ada halaman
masing terdapat 37 kasus, Kecamatan Kuta alam
lebih sempit dari pada luas bangunan (Kurniadi,
dan Lueng Bata terdapat 32 kasus, Kecamatan
2014). Kepadatan permukiman diberi kategori
Syiah Kuala terdapat 26 kasus, Kecamatan Banda
sebagai berikut.
Raya terdapat 25 kasus, Kecamatan Ulee Kareng
terdapat 21 kasus, Kecamatan Meuraxa terdapat
Tabel 1. Klasifikasi kepadatan permukiman
15 kasus dan Kecamatan Kuta Raja terdapat 11
Kriteria Klasifikasi Skor
Kepadatan rumah rata-rata pada
Jarang 1
pemukiman jarang (≤40%)
Kepadatan rumah rata-rata pada
Sedang 2
pemukiman sedang (>41% - 60%)
Kepadatan rumah rata-rata pada
Padat 3
pemukiman padat (>60%)
Sumber : Ditjen Cipta Karya PU tahun 2006 dengan modifikasi.

Data di analisis menggunakan ArcGIS melalui


analisis buffer, skoring dan overlay. Data diolah
secara statistik menggunakan Chi-Square.
Gambar 1. Jumlah kasus penyakit DBD Kota Banda Aceh tahun
2017

113
Marlena, et. al.

kasus. Distribusi kasus DBD katagori rendah DBD sedang dengan kepadatan permukiman
terdapat sebanyak 39 desa. Dari 39 desa tersebut jarang sebesar 10,0%, desa yang memiliki jumlah
ada 9 desa yang merupakan desa dengan katagori kasus DBD sedang dengan kepadatan permukiman
pemukiman padat yaitu Desa Keudah, Keuramat, sedang sebesar 6,7%, desa yang memiliki jumlah
Laksana, Merduati, Neusu Jaya, Peunayong, kasus DBD tinggi dengan kepadatan permukiman
Peuniti, Peurada dan Punge Jurong. Distribusi jarang sebesar 5,6%, desa yang memiliki jumlah
kasus DBD katagori sedang terdapat sebanyak kasus DBD tinggi dengan kepadatan permukiman
20 desa. Dari 20 desa tersebut ada 2 desa yang sedang sebesar 6,7 % dan desa yang memiliki
merupakan desa dengan katagori pemukiman jumlah kasus DBD tinggi dengan kepadatan
padat yaitu Mulia dan Setui. Distribusi kasus permukiman tinggi sebesar 4,4 %.
DBD katagori tinggi terdapat sebanyak 15 desa. Berdasarkan uji statistik Chi Square antara
Ada 5 desa yang merupakan desa dengan katagori kepadatan permukiman dengan sebaran kasus
pemukiman padat yaitu Ateuk Pahmawan, DBD menunjukan kepadatan permukiman tidak
Emperom, Lamteumen Timur, Panterik dan mempengaruhi pola sebaran DBD di Kota Banda
Sukaramai. Aceh dengan nilai P > 0,05.
Pada Gambar 2 menjelaskan tingkat
Tabel 2. Distribusi kepadatan permukiman berdasarkan luas kepadatan permukiman terhadap sebaran kasus
pemukiman di Kota Banda Aceh
DBD kota Banda Aceh berdasarkan data kasus
Kepadatan Luas Pemukiman Jumlah DBD tahun 2017. Daerah kepadatan permukiman
%
permukiman (ha) (desa) jarang sebesar 46,7% memiliki 3 titik kasus DBD
Jarang 1-10 42 46.7 katagori tinggi terdapat pada Kecamatan Lueng
Sedang 11-21 31
34.4 Bata yaitu Desa Batoh, Lamdom dan Blang Cut.
Padat 22-32 17
18.9
Daerah kepadatan permukiman sedang sebesar
34,4% memiliki 7 titik kasus DBD katagori tinggi
terdapat pada kecamatan Ulee Kareng ada 2 desa
Berdasarkan Tabel 2, desa yang memiliki
kepadatan permukiman jarang sebanyak 42
desa atau 46.7%, desa yang memiliki kepadatan
permukiman sedang sebanyak 31 desa atau 34.4%
dan desa yang memiliki kepadatan permukiman
padat sebanyak 17 desa atau 18.9%.
Berdasarkan Tabel 3 dapat diketahui bahwa
desa yang memiliki jumlah kasus DBD sedikit
dengan kepadatan permukiman jarang sebesar
31,1%, desa yang memiliki jumlah kasus DBD
sedikit dengan kepadatan permukiman sedang
sebesar 21,1%, desa yang memiliki jumlah kasus
DBD sedikit dengan kepadatan permukiman padat Gambar 2. Peta kepadatan permukiman dan sebaran DBD di
sebesar 8,9%, desa yang memiliki jumlah kasus Kota Banda Aceh

Tabel 3. Hubungan kejadian DBD dengan Kepadatan Permukiman di Kota Banda Aceh

Kepadatan Permukiman
Jumlah
Jumlah Kasus Jarang Sedang Padat %
Volume
Vol % Vol % Vol %
Rendah 28 31.1 19 21.1 8 8.9 55 61.1
Sedang 9 10.0 6 6.7 5 5.6 20 22.2
Tinggi 5 5.6 6 6.7 4 4.4 15 16.7
Jumlah 42 46.7 31 34.4 17 18.9 90 100

114
7
Hubungan Kepadatan Permukiman dengan Luas Permukiman

yaitu Desa Ceurih dan Ie Masen Kayee Adang, di permukiman yang kurang padat (Candra, 2010).
Kecamatan Syiah Kuala ada 1 desa yaitu Desa Pusat-pusat perkotaan adalah tempat berkembang biak
Pineueng, Kecamatan Banda Raya ada 1 desa demam berdarah, virus dengue dengan ketahanan yang
yaitu Desa Geuceu Komplek, Kecamatan Kuta lebih baik diangkut ke kota-kota lain melalui orang
Alam ada 1 desa yaitu Desa Lampulo, Kecamatan yang terinfeksi bepergian dengan pesawat jet (Gubler,
ada 1 desa yaitu Neusu Aceh dan Kecamatan Jaya 2004).
Baru ada 1 desa yaitu Desa Punge Blang Cut. Kepadatan penduduk berperan di mana
Daerah kepadatan permukiman padat sebesar wilayah padat penduduk bisa menjadi area
18.9% memiliki 5 titik kasus DBD katagori tinggi berisiko tinggi untuk demam berdarah (Naqvi et
terdapat pada Kecamatan Jaya Baru ada 2 desa al., 2015). Semakin tinggi kepadatan penduduk
yaitu Desa Emperom dan Lamteumen Timur, di suatu wilayah dapat menyebabkan kurangnya
Kecamatan Baiturrahman ada 2 desa yaitu Desa keseimbangan antara penduduk dan lingkungan
Ateuk pahlawan dan Sukaramai dan Kecamatan sehingga dapat menyebabkan sanitasi lingkungan
Lueng Bata ada 1 desa yaitu Desa Panterik. yang kurang baik dan penularan penyakit
Banda Aceh merupakan kota kecil dengan luas bertambah cepat (Kemkes, 2012). Kepadatan
wilayah permukiman padat sebesar 18,9% dari jumlah penduduk terkait juga dengan kebutuhan
wilayah kota Banda Aceh. Pada Gambar 2 menjelaskan persediaan air bersih dimana semakin besar
tingkat kepadatan permukiman terhadap sebaran jumlah dan kepadatan penduduk, maka semakin
DBD kota Banda Aceh. Daerah berwarna merah banyak pula kebutuhan air (Anggraini et al.,
menggambarkan daerah permukiman padat, daerah 2013). Adanya penderita DBD pada daerah padat
berwarna kuning menggambarkan daerah permukiman akan meningkatkan peluang orang lain terkena
sedang dan daerah berwarna hijau menggambarkan penyakit DBD (Li et al., 2012).
daerah permukiman jarang. Pada daerah permukiman Kepadatan penduduk kota Banda Aceh
padat hanya terdapat 5 desa dari 90 desa yang ada tahun 2017 adalah 4.236 jiwa setiap 1 km². Dari
di Kota Banda Aceh yang memiliki kasus DBD sembilan kecamatan yang ada di Kota Banda
katagori tinggi yaitu Desa Emperom, Lamteumen Aceh, Kecamatan Baiturrahman memiliki
Timur, Ateuk pahlawan, Sukaramai dan Panterik. kepadatan penduduk tertinggi yaitu 8.088 jiwa/
Persentase daerah permukiman padat dengan kasus km2. Sedangkan Kecamatan Kuta Raja memiliki
DBD katagori tinggi hanya sebesar 5,55%. Hasil uji kepadatan penduduk terendah adalah 2.565
statistik menyatakan bahwa kepadatan permukiman jiwa/km2. Daerah kepadatan permukiman padat
di Kota Banda Aceh tidak mempengaruhi penyebaran yang memiliki kasus DBD katagori tinggi yaitu
kasus penyakit DBD. Hal ini tidak sesuai dengan Desa Emperom memiliki luas wilayah 27,8 Ha,
penelitian (Indrayati dan Setyaningsih, 2013). yang jumlah penduduk 2.790 jiwa dan jumlah rata-rata
menyatakan faktor kepadatan perumahan berhubungan penduduk 100 jiwa per ha. Desa Lamteumen Timur
dengan kasus DBD. memiliki luas wilayah 50,5 Ha, jumlah penduduk
Selain kepadatan permukiman, faktor lainnya 5.577 jiwa dan jumlah rata-rata penduduk 110
yang mempengaruhi kejadian DBD adalah kepadatan jiwa per ha. Desa Ateuk pahlawan memiliki luas
penduduk suatu daerah (Prasetyowati, 2015). wilayah 49,85 Ha, jumlah penduduk 5.420 jiwa
Kepadatan penduduk yang tinggi dipusat-pusat dan jumlah rata-rata penduduk 109 jiwa per ha.
perkotaan dengan perumahan dibawah standar, sarana Desa Sukaramai memiliki luas wilayah sebesar
air yang tidak memadai, saluran pembuangan dan 49,75 Ha, jumlah penduduk 4.491 jiwa dan
limbah yang buruk menciptakan kondisi ideal untuk jumlah rata-rata penduduk 90 jiwa per ha. Desa
meningkatkan perkembangbiakan nyamuk Aedes. Panterik memiliki luas wilayah sebesar 51,3 Ha,
Aedes aegypti adalah nyamuk perkotaan yang hidup jumlah penduduk 4.462 jiwa dan jumlah rata-rata
ditengah masyarakat dan berkembang biak dalam penduduk 87 jiwa per ha (BPS, 2018).
wadah buatan manusia (Gubler, 1997). Frekuensi Beberapa penelitian menyatakan faktor-
nyamuk menggigit dipengaruhi oleh keberadaan faktor lain yang berhubungan dengan kejadian
manusia. Estimasi Aedes aegypti menggigit pada DBD adalah mobilitas, urbanisasi, pertumbuhan
permukiman padat lebih tinggi dari frekuensi menggigit penduduk, ekonomi, perilaku masyarakat,

115
Marlena, et. al.

perubahan iklim, sanitasi lingkungan dan penduduk yang tidak memiliki pola tertentu
ketersediaan air bersih (Ali and Ma’rufi, merupakan salah satu faktor yang berperan dalam
2016). Perubahan demografis dan sosial seperti munculnya DBD. Perkembangan perkotaan telah
transportasi modern berperan dalam peningkatan menyebabkan meningkatnya sumber daya air
kejadian dan penyebaran virus dengue (Setiati et buatan, seperti tempat penyimpanan air, ban atau
al., 2006). wadah lama di tempat sampah untuk diternakkan
Kejadian DBD akan meningkat di daerah oleh vektor (Kumar et al., 2001). Kejadian
dengan aktivitas manusia yang tinggi, seperti DBD erat kaitannya dengan sumber penularan
daerah perumahan, kawasan industri dan berupa tempat perindukan nyamuk penular dan
sekolah-sekolah (Gubler dan Meltzer, 1999). status DBD itu sendiri yang merupakan penyakit
Daerah tersebut merupakan daerah yang banyak menular yang disebabkan oleh gigitan vektor
manusia melakukan kegiatan (Shafie, 2011). nyamuk Aedes aegypti yang didalam tubuhnya
Selain tempat-tempat dengan aktivitas manusia telah mengandung virus dengue (Cameron et al.,
yang tinggi, tempat-tempat yang ditinggalkan 2012). Dengue yang ditularkan ke manusia oleh
juga bisa menjadi tempat berkembangbiak bagi nyamuk Aedes aegypti perempuan dengan tingkat
nyamuk. Pemakaman, yang memiliki wadah transmisi yang tinggi sepanjang hari dan malam di
seperti vas bunga, dapat menjadi sumber untuk daerah perkotaan (Pereda et al., 2014).
perkembangbiakan nyamuk Aedes (Chang et al.,
2011). Kesimpulan
Pasca tsunami tahun 2004, lahan yang ada
di Kota Banda Aceh banyak dimanfaatkan untuk Daerah kepadatan permukiman padat kota
pembangunan perumahan. Bangunan-bangunan Banda Aceh memiliki kasus DBD kategori
baru tersebut banyak yang berbentuk komplek tinggi sebesar 18.9% dan hasil uji statistik
yang saling berdekatan (Dinas PUPR, 2018). Pola memperlihatkan nilai P>0,05, artinya tidak
sebaran penduduk dan perumahan yang saling terdapat hubungan kepadatan permukiman dengan
berdekatan mempengaruhi proses penularan DBD luas permukiman terhadap sebaran demam
(Indrayati dan Setyaningsih, 2013). Jarak terbang berdarah dengue (DBD) di Kota Banda Aceh.
nyamuk kurang dari 40 meter dan mungkin lebih
jika terbawa kendaraan atau angin sehingga Ucapan Terima Kasih
penularan DBD terjadi pada radius 100 meter dari Penelitian ini didukung oleh Kementerian
rumah penderita DBD (Anggraeni, 2010). Jarak Kesehatan Republik Indonesia melalui Universitas
penyebaran nyamuk Aedes aegypti tidak lebih dari Syiah Kuala (Beasiswa Pasca Sarjana).
200 meter (Liu-Helmersson et al., 2014).
Banda Aceh memiliki pola permukiman yang
berdekatan dengan aliran sungai, persawahan Daftar Pustaka
dan jalan lokal yang cenderung terjadi mobilitas Ali, K., and Ma’rufi, I. (2016). Study of Factors
penduduk yang cukup tinggi (Dinas PUPR, Caused Dengue Haemorrhagic Fever Case
2018). Banyaknya pepohonan rindang dan tempat Study: Pasuruan, Jawa Timur Indonesia.
penampungan air, sangat mendukung untuk Journal of Medical and Bioengineering (5):
tempat perindukan nyamuk. Pohon dan air tanah 108-112.
merupakan faktor penting dalam kejadian DBD Anggraeni DN. (2010). Stop! demam berdarah
(Ndenga et al., 2017). Pemukiman yang luas dengue. Bogor: Bogor Publ House
mempengaruhi kasus DBD di daerah perkotaan
(Vanwambeke et al., 2006). Transmisi dengue Anggraini, F.D., Samadi., dan Warnadi. (2013).
sangat lokal dan dibatasi oleh ruang dan waktu Pengaruh kebutuhan penduduk terhadap
(Ibarra, et al., 2014). kebutuhan air bersih di Pulai Panggang,
Perpindahan penduduk dari perdesaan ke Provinsi DKI Jakarta. Spasial Wahana
perkotaan mempengaruhi pola persebaran dan Komunikasi dan Informasi Geografi. 12 (2):
kejadian DBD (Telle et al., 2016). Pertumbuhan 25-30.

116
Hubungan Kepadatan Permukiman dengan Luas Permukiman

Badan Pusat Statistik Kota Banda Aceh. (2018). Resurgence as a Global Public Health
Kota Banda Aceh dalam Angka 2018. Problem In: Gubler DJ, Kuno G, eds.
Banda Aceh Dengue and Dengue Hemorrhagic Fever.
Cameron, R.W.F., Blanusa, T., Taylor, J.E., London: CAB International; pp. 1–22
Salisbury, A., Halstead, A.J., Henricot, B., Gubler, D.J and Meltzer, M. (1999). Impact of
and Thompson, K. (2012). The dosmetic dengue/dengue hemorrhagic fever on the
garden its contribution to urban green developing world. Adv Virus Res. (53): 35–
infrastructure. Urban Foresty & Urban 70.
Greening. 11(2): 129-137. Hadinegoro, S.R.H., dan Satari, H.I. (2004).
Candra, A. (2010). Demam berdarah dengue, Demam Berdarah Dengue, Jakarta, Balai
epidemiologi, patogenesis, dan faktor risiko Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
penularan. Aspirator. (2): 110 –119. Indonesia, h. 17.
Chang, A.Y., Maria, E.P., Javier, Jimenez., Ibarra, A.M.S., Luzadis, V.A., Cordova, M.J.B.,
Magdalena. E.S., Scott, M.H., David, J.C., Silva, M., Ordoñez, T., Ayala, E.B., and
and Rajan, P. K. (2009). Combining Google Ryan, S.J. (2014). A social-ecological
Earth and GIS mapping technologies in a analysis of community perceptions of
dengue surveillance system for developing dengue fever and Aedes aegypti in Machala,
countries. International Journal of Health Ecuador. BMC Public Health. 14 (1135):
Geographics. 8:49 2-14.
doi:10.1186/1476-072X-8-49. Indrayati A dan Setyaningsih W. (2013). Penentuan
Chang, M.S., Christophel, E.M., Gopinath, D., lokasi priortas penanganan kasus demam
Abdur, R. (2011). Challenges and future berdarah di Kota Semarang berbasis sistem
perspective for dengue vector control informasi geografis. Jurnal Forum Ilmu
in Western Pacific Region. West Pacific Sosial. (40): 56-67.
Surveill Response.(2): 9–16. Kementerian Kesehatan. (2012). Data penyakit
Dinas Cipta Karya PU. (2006). Konsep Pedoman tahun 2011 yang menurun dibandingkan
Identifikasi Kawasan Permukiman Kumuh dengan 2010. Direktur Jenderal
Penyangga Kota Metropolitan. Jakarta. Pengendalian Penyakit dan Penyehatan
Dinas Kesehatan Kota Banda Aceh. (2017). Lingkungan. Jakarta.
Laporan kasus dan kematian deman Kementerian Kesehatan. (2018). Profil
berdarah dengue Kota Banda Aceh tahun Kementerian Kesehatan Tahun 2017.
2016. Banda Aceh. Jakarta.
Dinas Kesehatan Kota Banda Aceh. (2018). Profil Koban, A.W. (2005). Kebijakan pemberantasan
Dinas Kesehatan Kota Banda Aceh tahun wabah penyakit menular: Kasus kejadian
2017. Banda Aceh. luar biasa demam berarah dengue (KLB
Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang. DBD). The Indonesian Institute. Center For
(2018). Profil Dinas PUPR Kota Banda Public Policy Research. 1-35.
Aceh tahun 2017. Banda Aceh Kumar, A., Sharma, S., Padbidri, V., Thakare, J.,
Drobne, S., dan Lisec, A. (2009). Multi-attribute Jain, D., and Datta, K. (2001). An outbreak
decision analysis in GIS: weighted linear of dengue fever in rural areas of northern
combination and ordered weighted India. Jounal Commun Dis. (33):274-81.
averaging. Informatica. : 459-474. Kurniadi, A. (2014). Analisis kualitas lingkungan
Gubler, D.J.(2004). Cities spawn epidemic dengue permukiman di Kecamatan Kotagede Kota
viruses. Nat Med; 10: 129–130 Yogyakarta menggunakan citra quickbird.
Gubler, D.J. (1997). Dengue and Dengue Journal Universitas Negeri Yogyakarta.
Hemorrhagic Fever: Its History and (3):1-9.

117
Marlena, et. al.

Li, Z., Yin, W., Clements, A., Williams, G., Lai, S., Shafie, A. (2011). Evaluation of the spatial risk
Zhou, H. (2012). Spatiotemporal analysis factors for high incidence of dengue fever
of indigenous and imported dengue fever and dengue hemorrhagic fever using GIS
cases in Guangdong province, China. BMC application. Sains Malaysiana. 40(8): 937–
Infectious Diseases. (12): 132. 43.
Liu-Helmersson, J., Stenlund, H., Wilder-Smith, Sujariyakul, A., Prateepko, S., Chongsuvivatwong,
A., and Rocklov, J. (2014). Vectorial capacity V., Thammapalo, S. (2005). ‘Transmission
of Aedes aegypti: effects of temperature and of Dengue Hemorrhagic Fever: At home of
implications for global dengue epidemic School?’, Dengue Bulletin. (29): 32-40.
potential. PLoS ONE; 9:e89783. Sunaryo, Bina Ikawati, Dewi Puspita Ningsih.
Naqvi, SAA, Kazmi, SJH, Shaikh, S and Akram, (2014). Distribusi spasial demam berdarah
M. (2015).Evaluation of prevalence Patterns dengue di Kabupaten Banyumas, Provinsi
of Dengue Fever in Lahore District through Jawa Tengah. Balaba. 10(01): 1-8.
Geo-Spatial Techniques. Journal of Basic Telle, O., Vaguet, A,, Yadav, N.K., Lefebvre, B.,
and Applied Sciences;11:20–30. Daudé, E., Paul, R.E., et al. (2016). The
Ndenga, B.A., Mutuku, F.M., Ngugi, H.N., spread of dengue in an endemic urban
Mbakaya, J.O., Aswani, P., and Musunzaji, milieu–the case of Delhi, India. PLoS ONE
P.S. (2017). Characteristics of Aedes aegypti 11(1): e0146539.
adult mosquitoes in rural and urban areas Vanwambeke, S.O., Benthem, B.H.B.V.,
of western and coastal Kenya. PLoS ONE. Khantikul, N., Burghoorn-Maas, C., Panart,
(12): 1-14. K., Oskam, L., Lambin, E.F., and Somboon,
Pereda, P.C., Menezes, T.A., Alves, D. (2014) P. (2006). Multi-level analyses of spatial
Impact of Climate Change on Dengue and temporal determinants for dengue
Risk in Brazil (Russia: European Regional infection. International Journal of Health
Science Association). Geographics. (5):1-16.
Prasetyo. (2012). Analisis spasial penyebaran Widyawati, Nitya, I.F., Syaukat, S., Tambunan,
penyakit DBD di Kecamatan Magetan R.P., dan Soesilo, T.E.B. (2011).
Kabupaten Magetan. Tesis. Program Penggunaan sistem informasi geografi
Pascasarjana Fakultas Kedokteran efektif memprediksi potensi demam
Universitas Gajah Mada Yogyakarta. berdarah di Kelurahan Endemis. Makara
Prasetyowati, I. (2015). Kepadatan penduduk Kesehatan. (15): 21-30.
dan insidens rate demam berdarah dengue World Health Organization. (2009). Neglected
(Dbd) Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur. Tropical Disease (Geneva: World Health
Indonesia. Jurnal Heal Sci. 5(2). Organization) p 32.
Setiati, T.E., Wagenaar, J.F., Kruit, M.D., World Health Organization. (2012). Dengue and
Mairuhu, A.T., Gorp, E.C., Soemantri, A. severe dengue. Mediacentre/factsheets/
(2006). Changing epidemiology of dengue fs112012WHO.
haemorrhagic fever in Indonesia. Dengue
Bull. (30): 1–14.

118
Jurnal Sain Veteriner, Vol. 38. No. 2. Agustus 2020, Hal. 117-121
DOI: 10.22146/jsv.50202
ISSN 2443-1583 (Print), ISSN 2407-3733 (Online)
Tersedia online di https://jurnal.ugm.ac.id/jsv

Gambaran Leukosit Kucing Penderita Feline Panleukopenia

Leucocyte Profile Of Feline Panleukopenia


Hary Purnamaningsih1, Soedarmanto Indarjulianto1*, Yanuartono1, Alfarisa Nururrozi1,
Irkham Widiyono1, Rusmihayati1

1
Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada, Jl. Fauna No.2,
Karangmalang, Depok, Sleman. 55281 Yogyakarta, Indonesia

*Coresponding author; Email: indarjulianto@ugm.ac.id

Naskah diterima: 27 September 2019, direvisi: 27 Oktober 2019, disetujui: 30 Desember 2019

Abstract

One of the diseases in cats with high morbidity and mortality is feline panleukopenia (FPL). This study
aims to evaluate the total of leukocytes to determine the prognosis in cats suffer Feline Panleukopenia, males
and females of various ages. This study used 27 male and female cats of various ages, that have been diagnosed
as FPL based on the feline parvo virus Ag test. As much as 1 ml blood sample were collected from all of cats to
examinated the total of leukocytes, then analyzed descriptively. The results showed that a total of 19 FPL (70.4%)
had a total of leukocytes <1,000 cells/ mm3, 4 FPL (14.8%) 1,000 - 2,500 cells/mm3 and 4 others (14.8%) > 2,500
cells/mm3. The incidence of FPL was more in cats ≤ 6 months, ie 21 (77,8%) compared to > 6 months, ie 6 cats
(22,2%). Feline Panleukopenia was suffered by more male (59.3%) than females (40.7%) cats. Based on the
results of this study it was concluded that the majority of feline panleukopenia have very low leukocytes with
infausta prognosis, especially in male and young cats.

Key words: cat; Feline Panleukopenia; leukocyte

Abst­rak

Salah satu penyakit pada kucing dengan morbiditas dan mortalitas tinggi adalah Feline Panleukopenia
(FPL). Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui jumlah leukosit untuk menentukan prognosis pada kucing
jantan dan betina berbagai umur penderita Feline Panleukopenia. Penelitian ini menggunakan 27 ekor kucing
jantan dan betina berbagai umur yang didiagnosa FPL berdasar Feline Parvo Virus Ag test. Semua kucing diambil
darah secara lege artis sebanyak 1 ml, diperiksa jumlah leukositnya, kemudian dianalisis secara diskriptif. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 19 ekor (70,4 %) FPL mempunyai jumlah total leukosit < 1.000 sel/
mm3, 4 ekor (14,8 %) 1.000 – 2.500 sel/mm3 dan 4 ekor yang lain (14,8 %) > 2.500 sel/mm3. Kejadian FPL lebih
banyak diderita kucing umur ≤ 6 bulan, yaitu 21 ekor (77,8 %) dibanding umur > 6 bulan, yaitu 6 ekor (22,2 %).
Feline Panleukopenia lebih banyak diderita kucing jantan (59,3 %) dari pada betina (40,7%). Berdasarkan hasil
penelitian ini disimpulkan bahwa sebagian besar penderita Feline Panleukopenia mengalami penurunan leukosit
berat dengan prognosis infausta, terutama pada kucing jantan dan umur muda.

Kata Kunci: Feline Panleukopenia; kucing; leukosit

119
Hary Purnamaningsih, et. al.

Pendahuluan efek maksimal. Dewasa ini telah berkembang


Feline Panleukopenia (FPL)  adalah cara diagnosis FPL dengan menggunakan kit
suatu penyakit yang disebabkan oleh Feline untuk melihat adanya FPV di dalam feses, namun
Panleukopenia Virus (FPV) dengan morbiditas demikian selain harganya cukup mahal metode ini
dan mortalitas tinggi pada kelompok famili tidak dapat memperkirakan keparahan penyakit.
Felidae (Kruse et al., 2010; Hartmann, 2017). Keparahan penyakit dapat dilihat salah satunya
Penyakit ini disebabkan oleh virus tipe DNA, dari jumlah rendahnya leukosit dari kucing yang
famili Parvoviridae subgrup feline parvovirus. terinfeksi FPV (Greene, 2012). Tujuan penelitian
Infeksi FPV menyerang segala umur kucing ini adalah mengevaluasi jumlah leukosit untuk
dengan morbiditas dan mortalitas tertinggi terjadi menentukan prognosis pada kucing penderita
pada anak kucing hingga umur 12 bulan. Kematian Feline Panleukopenia, jantan dan betina berbagai
dapat mencapai 25-90% pada panleukopenia umur.
akut dan 100% pada infeksi per akut. (Abd-
Eldaim et al., 2009; Kruse et al., 2010). Virus ini Materi Dan Metode
menyerang jaringan pembentuk darah dan limfe Materi yang digunakan dalam penelitian ini
serta mukosa organ gastro intestinal, sehingga adalah data hasil pemeriksaan 27 ekor pasien-
menyebabkan enteritis yang disertai penurunan
pasien kucing jantan dan betina berbagai umur dan
jumlah leukosit. Anak kucing, kucing sakit dan
berbagai ras di Laboratorium Klinik Departemen
kucing yang tidak divaksin adalah individu yang
Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
lebih rentan tertular. Kucing dewasa biasanya lebih
Hewan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
tahan karena mempunyai kekebalan bawaan atau
Pasien tersebut dinyatakan positif menderita
sudah berulang kali terinfeksi. Mende et al. (2014)
Feline Panleukopenia berdasarkan pemeriksaan
melaporkan bahwa status vaksinasi berhubungan
FPV Ag test kit ® (Bionote Inc, Korea) melalui
secara signifikan dengan kurangnya antibodi
test sampel swab kloaka kucing. Kucing diambil
melawan FPV. Apabila induk kucing menyusui
darah sebanyak 1 ml secara lege artis melalui
anaknya maka anak kucing akan memperoleh
vena chepalica, dimasukkan ke dalam tabung
kekebalan laktogen. Kekebalan pasif bertahan
berisi EDTA, kemudian diperiksa jumlah total
selama tiga sampai dua belas minggu.
leukositnya dengan metode hitung manual
Penyakit FPL dapat berjalan perakut dan
menggunakan Neubauer Chamber (Duncan et al.,
akut, tetapi seringkali ditemukan kasus yang
2011; Nossafadli et al., 2014). Data yang didapat
subklinis. Kasus per akut menyebabkan kematian
dianalisis secara deskriptif.
tiba-tiba dengan sedikit atau tanpa tanda-tanda
penyakit. Kasus akut menunjukkan demam (40-
Hasil dan Pembahasan
41,7oC), depresi dan anoreksia muncul setelah
periode inkubasi 2 -7 hari. Pada kasus infeksi Semua 27 ekor kucing yang dipakai di dalam
FPV subklinis seringkali tidak ada gejala klinis penelitian ini telah didiagnosis menderita infeksi
yang menciri seperti muntah, diare dan dehidrasi. FPV berdasarkan hasil skrining terhadap feses
Hal tersebut menyulitkan pengambilan diagnosis kucing menggunakan FPV Ag test kit ® (Bionote
sebagai dasar terapi. Penelitian Kruse et al. (2010) Inc, Korea). Penghitungan jumlah total leukosit
menghasilkan bahwa diagnosis infeksi FPV dapat dari 27 ekor kucing pada penelitian ini didapatkan
didasarkan salah satunya adanya penurunan bahwa sebagian besar kucing penderita infeksi
jumlah leukosit. FPV mempunyai jumlah total leukosit kurang dari
Infeksi FPV telah ditemukan di seluruh 1.000 sel/mm3, yaitu 19 ekor (70,4 %), diikuti
dunia, termasuk di Indonesia. Penentuan dengan jumlah total leukosit antara 1.000-2.500
diagnosis adanya FPL di klinik praktisi dokter sel/mm3 sebanyak 4 ekor (14,8 %) dan dengan
hewan seringkali didasarkan ketika gejala klinis jumlah total leukosit >2.500 sel/mm3 sebanyak
sudah menciri, dimana kondisi kucing penderita 4 ekor (14,8 %) (Tabel 1 dan 2). Hasil penelitian
sudah parah. Hal ini mengakibatkan prognosis yang serupa juga dilaporkan oleh Hussein dan
dan terapi yang diberikan tidak dapat memberikan Al-Bayati (2016) yang menemukan penurunan

120
Gambaran Leukosit Kucing Penderita Feline Panleukopenia ....

Tabel 1. Jumlah total leukosit FPL umur ≤ 6 bln dan > 6 bln (n=27)

Umur <1.000 sel/mm3 % 1.000-2.500 sel/mm3 % >2.500 sel/mm3 % jumlah

≤ 6 bln 14 51,9 3 11,1 4 14,8 21 (77,8%)


> 6 bln 5 18,5 1 3,7 0 0,0 6 (22,2%)
Jumlah 19 70,4 4 14,8 4 14,8 27 (100%)

jumlah total leukosit pada kucing penderita FPL evaluasi penurunan jumlah leukosit, prognosis
antara 1.700 – 4.900 sel/ mm3. pada penderita FPL dapat diperkirakan. Kruse et
Apabila dibanding dengan referensi, jumlah al. (2010) menyatakan pula bahwa risiko kematian
leukosit dari semua kucing dalam penelitian ini kucing dengan total leukosit < 1.000 sel/mm3 lebih
berada dibawah normal. Menurut Ishida (2011) dan tinggi (1,77 kali) dibandingkan kucing dengan
Moritz et al. (2004) jumlah normal total leukosit leukosit 1.000 – 2.500 sel/mm3 dan 1,85 kalinya
pada kucing berkisar 5.500 -19.500 sel/mm3 dan dibandingkan dengan kucing yang mempunyai
10.570 – 14.390 sel/mm3. Penurunan leukosit pada leukosit > 2.500 sel/mm3.
penelitian ini kemungkinan diakibatkan karena Apabila mengacu pendapat Kruse et al.
tidak mampunya kucing memproduksi leukosit (2010) tersebut di atas, maka dalam penelitian
karena adanya gangguan pada sumsum tulang 27 ekor dengan FPL ini kemungkinan sebanyak
akibat infeksi FPV. 19 ekor (70,4 %) mempunyai prognosi infausta
Infeksi FPV dimulai dari masuknya virus dengan total leukosit < 1.000 sel/mm3, 4 ekor (14,8
yang terdapat pada sekresi hewan penderita %) mempunyai prognosis Dubius-infausta dengan
(feses, muntahan, urin, dan saliva). Virus FP leukosit 1.000 – 2.500 sel/mm3 dan 4 ekor yang lain
masuk ke tubuh hospes yang baru secara oral, (14,8 %) prognosis dubius dengan jumlah leukosit
infeksi dan replikasi virus akan dimulai di > 2.500 sel/mm3 (Tabel 2). Resiko kematian pada
jaringan limfoid orofaring dan gastrointestinal. kucing dengan leukosit <1000 adalah 4.75 kali
Dalam waktu 2-7 hari viremia tampak terjadi dan dibandingkan dengan kucing dengan leukosit
virus didistribusikan ke seluruh tubuh, terutama >1000 – 2.500 dan 1,73 kali dibanding kucing
menuju kripta intestinum. Virus berlokasi di dengan leukosit diatas 2.500 sel/mm3.
epithelium lidah, mulut, dan mukosa esophagus, Dilihat dari umur kucing pada penelitian
usus kecil, dan jaringan limfoid. Virus selanjutnya ini diketahui bahwa kejadian infeksi FPV dapat
menginfeksi dan merusak sel germinal kripta ditemukan pada semua kucing baik umur muda
intestinal dan menyebabkan villi runtuh, sehingga maupun dewasa, tetapi kejadianya lebih banyak
terjadi diare, muntah, perdarahan usus dan invasi ditemukan pada kucing berumur ≤ 6 bulan, yaitu
bakteri berikutnya. Aktivitas mitosis dari sel sebanyak 21 dari 27 ekor (77,8 %), dibanding
myeloid pada sumsum tulang dan sel limfoid pada kucing umur > 6 bulan sebanyak 6 dari 27
juga menjadi target, sehingga mengakibatkan ekor (22,2 %) (Tabel 1). Hasil ini mirip dengan
terjadinya neutropenia dan limfopenia (Abd- hasil penelitian studi di Jerman yang menunjukkan
Eldaim et al., 2009; Duncan et al., 2011; Sykes, bahwa dari 242 kucing penderita FPL sebanyak
2014; Barrs, 2019). 57% berumur kurang dari 6 bulan (Kruse et al.,
Penurunan leukosit pada kucing penderita 2010). Penelitian Mosallanejad et al. (2009)
FPL akan memudahkan masuknya agen-agen terhadap 23 ekor kucing diare akibat infeksi
infeksi yang lain. Hal ini menyebabkan kondisi FPV menunjukkan bahwa 14 ekor kucing (60,9
hewan menjadi semakin memburuk dan bahkan %) berumur < 6 bulan dan 9 ekor kucing (39,1
dapat menyebabkan kematian. Stockham dan %) berumur > 6 bulan. Islam et al. (2010) juga
Scott (2008) menyatakan penurunan jumlah mendapat hasil yang sama, yaitu 8 (61,5 %) dari
total leukosit (leukopenia) ini berdampak pada 13 ekor kucing yang positip FPL berumur dibawah
melemahnya sistem kekebalan tubuh sehingga dari 2 bulan. Perbedaan ini kemungkinan dapat
tubuh akan rentan terhadap infeksi. Berdasar berkaitan dengan status imunitas dari individu.

121
Hary Purnamaningsih, et. al.

Kucing umur < 6 bulan yang sudah disapih dibanding kucing betina, yaitu 83 kucing jantan
tidak memiliki maternal antibodi lagi di dalam dari 165 ekor (50,7%) dan 82 betina dari 165
tubuhnya, sehingga lebih rentan terhadap infeksi ekor (49,3%). Lebih tingginya kejadian infeksi
FPV. Keberadaan Maternally-derived antibody FPV pada kucing jantan kemungkinan disebabkan
(MDA) terhadap FPV pada anak kucing dilaporkan lebih luasnya wilayah jelajah dari kucing jantan.
sangat bervariasi yang dapat mencapai umur 14-16 Hal ini akan berdampak paparan FPV akan lebih
minggu, dan setelah itu tidak dapat memproteksi banyak didapatkan oleh kucing jantan. Menurut
terhadap infeksi FPV (Reese et al., 2008; DiGangi Hansen (2010) daerah jelajah dari kucing jantan
et al., 2012). Kucing yang berumur lebih dari 6 dapat mencapai 2 kali lebih jauh dibanding kucing
bulan kemungkinan lebih tahan terhadap infeksi betina.
FPV karena kemungkinan sudah terbentuknya
antibodi terhadap FPV yang cukup akibat paparan Kesimpulan
dari alam maupun karena vaksinasi. Program
vaksinasi terhadap FPV biasanya diberikan pada Berdasarkan hasil penelitian ini disimpulkan
umur 6-8 minggu diikuti umur 10-12 minggu dan bahwa sebagian besar penderita Feline
umur 14-16 minggu, dan setelah itu diulang setiap Panleukopenia mengalami penurunan leukosit
1 tahun kemudian (DiGangi et al., 2012; Jakel et berat (< 1.000 sel/mm3) dengan prognosis infausta,
al., 2012; Scherk et al., 2013). Hasil penelitian terutama pada kucing jantan dan umur muda.
Mosallanejad et al. (2009) menunjukkan bahwa
7 dari 23 (30,4 %) FPL mati walaupun sudah Ucapan Terima Kasih
mendapatkan pengobatan suportif. Kebanyakan Penulis mengucapkan terima kasih kepada
kucing yang mati adalah berumur dibawah 6 Hibah Pengembangan Departemen Fakultas
bulan. Oleh karena itu sangat perlu dikembangkan Kedokteran Hewan UGM yang telah mendanai
penelitian yang berkaitan dengan terapi FPL penelitian ini dengan nomor kontrak 1182/
sehingga dapat menekan angka kematian penderita J01.1.22/HK4/2017.
FPL.
Kejadian infeksi FPV berdasarkan jenis
kelamin menunjukkan bahwa kucing jantan Daftar Pustaka
lebih banyak (16 dari 27 ekor atau 59,3 %) Abd-Eldaim, M., Beall, M.J. and Kennedy, M.A.
dibanding pada betina, yaitu 11 dari 27 ekor (40,7 (2009). Detection of feline panleukopenia
%) (Tabel 2). Kondisi ini mirip dengan hasil virus using a commercial ELISA for canine
penelitian Kruse et al. (2010) yang melaporkan parvovirus. Vet. Ther. 10: E1-6.
bahwa dari 237 ekor kucing penderita infeksi Awad, A.R., Khalil, W.K.B., and Attallah, G.A.
FPV, sebanyak 142 ekor (59,9 %) adalah kucing (2018). Epidemiology and diagnosis
jantan dan 95 ekor (40,5%) adalah kucing betina. of feline panleukopenia virus in Egypt:
Penelitian Mosallanejad et al. (2009) terhadap 23 Clinical and molecular diagnosis in cats,
ekor kucing positip terinfeksi FPV didapatkan Vet. World. 11(5): 578-584. doi: 10.14202/
sebanyak 13 ekor (56,5 %) jantan dan 10 ekor vetworld.2018.578-584.
(43,5 %) betina. Walaupun sedikit perbedaannya,
hasil penelitian yang dilakukan oleh Awad et al. Barrs, V. (2019). Feline Panleukopenia, A Re-
(2018) juga menunjukkan persentase kejadian emergent Disease. Vet. Clin. North Am.
infeksi FPV pada kucing jantan lebih tinggi Small Pract. 29 (4): 651-670. Doi: 10.1016/j.
cvsm.

Tabel 2. Jumlah penderita Feline panleukopenia berdasarkan jenis kelamin

Jenis Kelamin <1.000 sel/mm3 1.000-2.500 sel/mm3 >2.501 sel/mm3 Jumlah


Betina 7 3 1 11 (40,7%)
Jantan 12 1 3 18 (59,3%)
Total 19 (70,4%) 4 (14,8%) 4 (14,8%) 27 (100%)

122
Gambaran Leukosit Kucing Penderita Feline Panleukopenia ....

DiGangi, B.A., Levy, J.K., Griffin, B., Reese, Mende, K., Stuetzer, B., Louis ,C.S., Homeier,
M.J., Dingman, P.A., Tucker, S.J., T, Yruyen, U and Hartmann, K. (2014).
and Dubovi, E.J. (2012). Effects of Prevalence of Antibodies againts Feline
maternally-derived antibodies on serologic Panleukopenia virus in client-owned cats in
responses to vaccination in kittens. Southern Germany. Vet. J. 199: 419-423
J. Feline Med. Surg. 14(2), 118–123. Moritz, A., Fickenscher, Y., Meyer, K. (2004).
doi:10.1177/1098612x11432239. Canine and feline hematology reference
Duncan, J.R., Prasse, K.W. and Mahaffey, E.A. values for the ADVIA 120 hematology
(2011). Veterinary Laboratory Medicine: system . Vet. Clin. Pathol. 33 : 32 – 38 .
Clinical Pathology. 5th ed. Wiley-Blackwell, Mosallanejad, B., Avizeh, R and Ghorbanpoor,
Ames, IA. N.M. (2009). Antigenic detection of Feline
Greene, C.E. (2012). Infectious Diseases of the Panleukopenia virus (FPV) in diarrhoeic
Dog and Cat Fourth Edition. Elsevier companion cats in Ahvaz area. Iranian J.
Saunders, Missouri. Vet. Researc. Shiraz University. 10 (3) 28:
Hansen, C.M. (2010). Movements and Predation 289 – 293.
Activity of Feral and Domestic Cats (Felis Nossafadli, M. R Handarini, R., dan Dihansih,
catus) on Banks Peninsula. Thesis, Lincoln E. (2014). Profil darah Domba Ekor Tipis
University, Christchurch, New Zealand. (Ovis aries) yang diberi ransum fermentasi
Hartmann, K. (2017). Feline panleukopenia- isi rumen Sapi. Jurnal Pertanian. 5 (2): 95-
update on prevention and treatment. Thai J 103.
Vet Med Suppl. 47:S101-S104. Reese M.J., Patterson E.V., and Tucker S.J.,
Hussein, A., and Al-Bayati, M. (2016). Detection (2008). Effects of anesthesia and surgery
of Feline Parvovirus (FPV) from Cats on serologic responses to vaccination in
infected with Enteritis Using Rapid Test and kittens. J. Am. Vet. Med. Assoc. 233: 116–
Polymerase Chain Reaction in Iraq. Kufa J. 21. 20.
Vet. Med. Sci. 7 (2): 61-70. Scherk, M.A., Ford, R.B., Gaskell, R.M.,
Ishida, T, (2011). How to Get Maximum Hartmann, K., Hurley, K.F., Lappin, M.R.,
Information Out of Feline Hematology. Levy, J.K., Little, S.E., Nordone, S.K., and
Prosiding WSAVA World Congress Sparkes, A.H. (2013). 2013 AAFP Feline
Proceedings. Vaccination Advisory Panel Report. J.
Feline Med. Surg. 15 (9): 785-808.
Islam, M.A., Rahman, M.S., Rony, S.A., Uddin,
M.J., and Rahman, A.K.M.A. (2010). Sykes, E.J. (2014). Feline Panleukopenia Virus
Antigenic detection of feline panleukopenia Infection and Other Viral Enteritides: in
virus in local breed cats at Tangail District Canine and feline infectious diseases.
in Bangladesh. Int. J. BioRes. 2(11):25-28 Canine and Feline Infectious Disease. 187-
194. doi.org/10.1016/B978-1-4377-0795-
Jakel, V., Cussler, K., Hanschmann, K.M., Truyen,
3.00019-3
U., Matthias König, M., Kamphuis, E. and
Duchow, K. (2012). Vaccination against Stockham, S.L and Scott, M.A., (2008).
Feline Panleukopenia: implications from a Fundamental of Veterinary Clinical
field study in kittens. BMC Vet. Res. 8(62): Pathology. Oxword, Blackwell Publising.
2-8.
Kruse, B.D., Unterer, S., Horlacher, K., Sauter-
Louis, C, Hartman, K. (2010). Prognostic
Factors in cats with feline panleukopenia. J.
Vet. Int. Med. 24 : 1272-1276.

123
Jurnal Sain Veteriner, Vol. 38. No. 2. Agustus 2020, Hal. 124-132
DOI: 10.22146/jsv.25912
ISSN 2443-1583 (Print), ISSN 2407-3733 (Online)
Tersedia online di https://jurnal.ugm.ac.id/jsv

Pengembangan Media Transpor untuk Koleksi Sampel Preputium, untuk deteksi Bovine Genital
Campylobacteriosis

The Development of Transport Media for Prepuce Sample Collection, for Bovine Genital
Campylobacteriosis detection
Apris Beniawan1, Agustin Indrawati2, Fachriyan Hasmi Pasaribu2

Badan Karantina Pertanian, Kementerian Pertanian, Jl. Harsono RM. No.3 Ragunan, Jakarta Selatan
1

2,
Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan, Institut
Pertanian Bogor, Dramaga, Bogor.

Email: aprisbeniawan@pertanian.go.id

Naskah diterima: 14 Juni 2017, direvisi: 5 Nopember 2019, disetujui: 15 Juli 2020

Abstract

Campylobacter fetus subsp. Venerealis (Cfv) is bacteria causing contagious genital diseases in cows called
Bovine Genital Campylobacteriosis (BGC) or vibriosis. Isolation of Cfv is difficult, because the bacteria are
fragile and need specific nutrients and oxygen (5-10%). The transport media is very important to maintain Cfv
survival before culturing in laboratory. The aim of this study was to modify a new transport media as an alternative
media for Cfv. Modification media capability was compared to Weybridge media, and Phosphate Buffered Saline
(PBS). All transport media was contaminated by Cfv with concentrations of 105, 104, 103, 102, 101 (CFU/ml),
and was stored for <6, 24, 48, 72, and 96 hours in each transport medium before culturing on blood agar, all in
triplicate. The quality of transport media was analyzed based on bacterial growth on blood agar. PCR test was
used as a confirmatory test of growing bacteria cultured on blood agar. Based on culture results, Cfv stored in
three transport mediums for <6 hours, Cfv grew on blood agar from all concentration levels provided. Cfv stored
for 24, 48, 72 and 96 hours on PBS did not grow, whereas on modification and Weybridge media, the bacteria
could grow, and enrichment occurs at all concentration levels given. This study indicated the media modification
can be used as an alternative transport medium for Cfv bacteria.

Key words: Campylobacter fetus subs. venerealis (Cfv); culture; transport Media

Abstrak

Campylobacter fetus subsp. venerealis (Cfv) adalah bakteri penyebab genital menular pada ternak yang disebut
Bovine Genital Campylobacteriosis (BGC) atau vibriosis. Isolasi Cfv ini tidak mudah dilakukan dikarenakan
sifat bakteri yang mudah mati, kebutuhan akan nutrisi dan udara yang spesifik (5-10 % O2). Pemakaian media
transpor menjadi sangat penting dalam menjaga keberlangsungan hidup Cfv sebelum dilakukan pengujian di
laboratorium. Tujuan penelitian ini adalah pengembangan media transpor sebagai alternatif media transpor untuk
Cfv. Kemampuan media transpor pengembangan ini dibandingkan dengan media Weybridge, dan Phosphate
Buffered Saline (PBS). Ketiga media transpor dikontaminasi Cfv dengan konsentrasi bertingkat 105, 104, 103, 102,
101 (CFU/ml), dan sampel disimpan berdasarkan masa simpan <6, 24, 48, 72, dan 96 jam pada masing-masing
media transpor, kemudian dikultur pada media agar darah dengan 3 ulangan. Kualitas ketiga media transpor
dianalisa berdasarkan pertumbuhan bakteri pada media agar darah. Uji Polimerase Chain Reaction (PCR)
dilakukan sebagai uji konfirmasi hasil kultur dari bakteri yang tumbuh pada media agar darah. Berdasarkan hasil
kultur, Cfv yang disimpan pada ketiga media transpor selama < 6 jam, tumbuh pada media agar darah dari semua

124
Pengembangan Media Transpor untuk Koleksi Sampel Preputium, .....

tingkat kosentrasi yang diberikan, Cfv dengan masa simpan dalam media transpor 24, 48, 72 dan 96 jam pada PBS
tidak tumbuh, sedangkan pada media pengembangan dan media Weybridge tumbuh semakin banyak jumlahnya
pada semua tingkat konsentrasi yang diberikan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa media pengembangan
dapat digunakan sebagai alternatif media transpor untuk bakteri Cfv.

Kata kunci: Campylobacter fetus subspecies venerealis (Cfv); kultur bakteri; media transpor

Pendahuluan peternakan, dan menyebabkan kerugian produksi


dalam jangka panjang (Hum, 2007). Isolasi bakteri
Campylobacter fetus subsp. venerealis
Cfv tidak mudah dilakukan dikarenakan bakteri
(Cfv) adalah bakteri penyebab Bovine Genital
mudah mati, membutuhkan nutrisi dan udara
Campylobacteriosis (BGC). Penyakit ini dahulu
yang spesifik. Spesimen yang akan digunakan
disebut vibriosis, dengan gejala yang ditimbulkan
dalam proses pengujian seperti kultur bakteri
diantaranya infertilitas temporer pada ternak betina,
memerlukan penanganan yang cermat dan cepat
mortalitas embrio stadium awal, siklus estrus tidak
karena kelangsungan hidup Cfv di luar tempat
teratur, konsepsi tertunda dan terkadang abortus.
alaminya terbatas dan bersifat mikroaerofilik.
Hewan yang sembuh dari infeksi Cfv, siklus estrus
Keberadaan kontaminan bakteri lain dapat
akan kembali normal dalam beberapa bulan, tetapi
tumbuh lebih cepat dalam sampel, seperti
akan mengalami penurunan angka kebuntingan
Pseudomonas spp. dan Proteus spp, membuat
dan periode kelahiran yang lebih panjang (Monke
sulit dalam mendeteksi keberadaan Cfv (Monke
et al., 2002). Pada hewan jantan biasanya tidak
et al., 2002). Media transpor sangat penting
menunjukkan gejala klinis, tetapi menjadi carrier
dalam menjaga keberlangsungan hidup Cfv dalam
dan menginfeksi hewan betina. Inseminasi Buatan
sampel sebelum dilakukan kultur sebagai standar
(IB), vaksinasi dan pemisahan kelompok yang
baku pengujian. Beberapa media transpor untuk
terinfeksi dengan yang tidak terinfeksi merupakan
Cfv telah dikembangkan, diantaranya: Clark’s,
cara yang efektif dalam pengendalian BGC
Landers’s, dan Cary-Blair’s, serta Weybridge
(Eaglesome and Garcia, 1992).
sebagai media transpor yang direkomendasikan
Berdasarkan Kepmentan No. 3238/Kpts/
OIE (2012). Media transpor komersial untuk
PD.630/9/2009, BGC termasuk Hama dan
Cfv relatif mahal serta masih sulit didapatkan.
Penyakit Hewan Karantina Golongan I (Kementan
Berdasarkan pertimbangan tersebut, diperlukan
RI, 2009). Penelitian BGC di Indonesia dilakukan
pengembangan media transpor untuk Cfv yang
oleh peneliti Balai Besar Peneilitian Veteriner
lebih mudah dipersiapkan, murah dan berkualitas
(BBLITVET) pada tahun 1998, oleh Hardjoutomo
untuk koleksi sampel sebelum pengujian.
pada 9 Provinsi di Indonesia dengan hasil negatif
Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan
Cfv, dan sampai saat ini belum ada publikasi lebih
media transpor yang berkualitas, murah dan
lanjut tentang BGC di Indonesia.
mudah untuk mendukung pengujian Cfv.
Indonesia sampai sekarang ini melakukan
importasi sapi hidup dari Australia yang
merupakan negara belum bebas dari BGC Materi Dan Metode
(Koya, 2016). Ketergantungan impor sapi hidup
Desain Penelitian
Indonesia dari Australia jumlahnya sangat banyak,
mencapai rata-rata 800 ribu ekor per tahunnya Isolat bakteri Cfv referensi diuji terlebih
untuk memenuhi kebutuhan protenin hewani dahulu menggunakan metode kultur dan
masyarakat, oleh karena itu, deteksi Cfv harus Polymerase Chain Reaction (PCR) sebagai
mulai diterapkan, untuk mencegah penyebaran uji konfirmasi. Bakteri hasil kultur kemudian
BGC pada sapi di Indonesia. dilakukan pengukuran konsentrasi dengan
Identifikasi BGC pada hewan masih sulit, spektrofotometri  untuk mendapatkan konsentrasi
karena tidak adanya tanda-tanda klinis penyakit, awal bakteri 108 CFU/ml (Standar  kekeruhan  Mc
bersifat tersembunyi, membahayakan karena Farland, 0.5). Bakteri Cfv dari hasil pengukuran
sering tidak diketahui keberadaannya dalam konsentrasi awal dilakukan pengenceran

125
Apris Beniawan, et. al.

bertingkat untuk menghasilkan konsentrasi 20 µl. Kontrol positif, negatif dan non template
bakteri Cfv dengan konsentrasi 105, 104, 103, 102, control (NTC) disertakan dalam setiap amplifikasi.
101 (CFU / ml). Bakteri Cfv dari masing masing Program PCR yang digunakan adalah 1 siklus
konsentrasi dicampur dan disimpan dalam media pada 95 °C selama 3 menit untuk denaturasi awal,
transpor. Media transpor yang sudah bercampur dilanjutkan dengan 35 siklus pada 95 °C selama
bakteri Cfv disimpan dalam suhu ruang (25-27ºC) 15 detik untuk denaturasi, 54 °C selama 15 detik
selama penelitian. Sampel bakteri Cfv dari masing- untuk annealing, dan 72 °C selama 30 detik untuk
masing media transpor dikultur pada media agar ekstensi, kemudian dilanjutkan dengan 1 siklus
darah sesuai masa simpan bakteri dalam media pada 72 °C selama 5 menit untuk ekstensi akhir.
transpor (< 6, 24, 48, 72 dan 96 jam) di masing- Produk amplifikasi kemudian dianalisis dengan
masing konsentrasi bakteri yang telah ditentukan. elektroforesis. Pita spesifik Cff akan terbaca pada
Kultur dilakukan ulangan sebanyak 3 kali dari 764 pb, sedangkan Cf  terbaca pada 764 pb dan
semua sampel bakteri Cfv yang diujikan. Hasil 142 pb (Hum et al., 2009). Produk PCR diseparasi
kultur dilakukan pengamatan secara makroskopis menggunakan 2% agarose yang telah ditambahkan
dan penghitungan jumlah koloni bakteri Cfv yang ethidium bromide 0.5 µg/ml pada tegangan 120 V
tumbuh pada media agar darah. Bakteri yang selama 1 jam menggunakan marker 1000 bp DNA
tumbuh pada media agar darah sebagai hasil kultur ladder . Hasil elektroforesis selanjutnya dilihat
dilakukan uji konfirmasi menggunakan PCR. menggunakan Gel-Documentation.
Primer yang digunakan dalam penelitian
Isolat Bakteri Referensi ini adalah primer MG3F dan MG4R yang yang
Isolat bakteri referensi berasal dari koleksi spesifik terhadap dua subspesies C. fetus ; primer
BBLITVET, yaitu Campylobacter fetus subspecies VenSF dan VenSR yang spesifik terhadap C. fetus
venerealis (Kode No. C5) dan Campylobacter subsp. venerealis. Sekuens oligonukleotida primer
fetus subs. fetus (Kode No. C2) sebagai kontrol yang digunakan dalam pengujian dapat dilihat
pembanding. pada Tabel 1.

Ekstraksi DNA Tabel 1. Sekuen primer untuk Multiplex PCR (Hum et al., 2009)

Metode ekstraksi DNA dilakukan dengan Primer Sekuen


Ukuran
perebusan, dengan mengambil 2-3 ose bakteri Produk

hasil kultur dan dicampurkan dalam larutan PBS, 5’-CTT AGC AGT TTG CGA TAT TGC
VenSF 142 bp
CAT T-3’
kemudian suspense bakteri disentrifus 12.000
5’-GCT TTT GAG ATA ACA ATA AGA
rpm selama 5 menit, dan dibuang supernatannya. VenSR
GCT T-3’
Endapan bakteri kemudian ditambahkan nuclease 5’-GGT AGC CGC AGC TGC TAA
free water dan kembali disentrifus 12.000 rpm MG3F 764 bp
GAT-3’
selama 5 menit, dan dibuang supernatannya. 5’-TAG CTA CAA TAA CGA CAA
MG4R
Endapan ditambahkan kembali nuclease free CT-3’
water 1 ml dan dididihkan dalam waterbath suhu
95°C selama 10 menit, kemudian disentrifus Media Transpor
10.000 rpm selama 1 menit. Supernatan diambil Media transpor yang dikembangkan dibuat
sebagai DNA template. dengan menggunakan suspensi dari 10 g/lt
protease peptone, 2 g/lt glucose, 5 g/lt NaCl, ke
Uji Polimerase Chain Reaction (PCR) dalam aquadestt rata sampai dengan volume total
Uji multiplex PCR dilakukan dengan reaksi 1 L dan dilakukan penyesuaian pH 7.2. Suspensi
yang terdiri dari 10 µl Kapa ReadyMix, 0.6 µl tersebut selanjutnya ditambahkan 50 gr/L daging
(10µM) untuk masing-masing primer MG3F dan sapi cincang tanpa lemak, dan diautoklaf pada suhu
MG4R dan 0.5 µl (10µM) untuk masing-masing 121 °C selama 15 menit untuk sterilisasi. Setelah
primer VenSF dan VenSR dan nuclease free water media dingin, ditambahkan suplemen yang terdiri
hingga mencapai volume 18 µl, dan 2 µl DNA dari 40 mg Vancomycin, 20 mg Trimetropim,
template ditambahkan dengan total keseluruhan 10.000 IU Polymyxin B Shulphate, yang dilarutan

126
Pengembangan Media Transpor untuk Koleksi Sampel Preputium, .....

dalam aquadest tilata dan dilakukan filter secara ke ujung akhir setiap goresan. Agar darah yang
steril ke dalam media menggunakan membran sudah digores dimasukkan ke dalam Aanaerobic
filter 0.22 um (Milipore®). Larutan disimpan pada Jar yang di dalamnya diberi CampyGen untuk
suhu 4-8 oC sampai saat penggunaan. mendapatkan kondisi mikroaerofilik. Anaerobic
Media Weybridge dibuat dengan Jar dimasukkan ke dalam inkubator, diinkubasi
menambahkan Mueller-Hinton broth dan charcoal selama 3 hari pada suhu 37 oC.
bacteriologis ke dalam 900 ml aquadestt dan di
autoklaf, setelah media dasar dingin, ditambahkan Analisa Makroskopis dan Statistika
darah kuda, dan ditambahkan vancomysin, Setelah masa inkubasi, koloni bakteri hasil
polymixin B dan Polymyxin B Shulphate yang kultur yang tumbuh pada media agar darah
dilarutan dalam aquadest dan filter secara steril dilakukan pengamatan secara makroskopis dan
ke dalam media dasar menggunakan membrane penghitungan koloni bakteri. Data hasil hitung
filter 0.22 um (Milipore®). Larutan ditambahkan koloni bakteri Cfv dilakukan analisa statistika
dengan Sodium Pyruvate, Sodium Metabisulphite menggunakan uji Kruskal–Wallis.
dan Ferrous Sulphate secara steril, dicampur
(diaduk), kemudian disimpan pada suhu 4-8 oC Hasil Dan Pembahasan
sampai saat penggunaan.
Phosphate Buffered Saline (PBS) dalam Isolat Bakteri Referensi
penelitian ini digunakan sebagai media transpor Hasil kultur isolat bakteri referensi dari
pembanding dengan perlakuan dan desain kedua isolat (Cff dan Cff) yang ditumbuhkan,
penelitian yang sama. Phosphate Buffered terlihat tumbuh pada media agar darah,
Saline adalah larutan garam berbasis air yang sebagaimana terlihat pada Gambar 1. Gambaran
mengandung natrium klorida, natrium fosfat, makroskopis koloni bakteri Cfv dan Cff yang
dan dalam beberapa formulasi, kalium klorida tumbuh bentuknya seragam, terlihat halus,
dan kalium fosfat. berwarna abu-abu merah muda, mengkilap, koloni
Media Agar Darah berukuran kecil dan tidak ada perubahan warna
pada media agar darah. Menurut Ng et al. (1985)
Media kultur bakteri pada penelitian ini bakteri Cfv hasil kultur biasanya menunjukkan
menggunakan media agar darah. Pembuatan media koloni yang berbentuk bulat atau coccus bening
agar dilakukan dengan menambahkan Columbia (mengkilap). Koloni bakteri Cfv dan Cff berukuran
blood agar base (39 g/L), selanjutnya diautoklaf kecil yaitu 1-3 mm, terlihat halus, berwarna abu-
pada suhu 121 oC selama 15 menit dan didinginkan abu merah muda, mengkilap dan bersifat non
dalam waterbath yang diatur pada suhu 50 oC. haemolytic (OIE, 2012).
Setelah larutan hangat (50 oC), ditambahkan 100 Hasil PCR menunjukkan bahwa isolat
ml darah domba defibrinasi dan diaduk perlahan bakteri referensi No. C5 dan C2 yang tumbuh
secara merata. Larutan secara perlahan dituang pada media agar darah adalah bakteri Cfv dan Cff,
sebanyak ± 18 ml ke dalam cawan petri ukuran sesuai dengan kontrol yang terlihat pada Gambar
15 x 90 mm dan dibiarkan membeku. Media 2. Uji PCR menggunakan seperangkat primer
disimpan pada suhu 4-8 oC dalam wadah plastik (MG3F dan MG4R) untuk identifikasi strain fetus
tertutup maksimum hingga 3 minggu. yang teridentifikasi sebagai 762 bp (Muller et
Kultur al., 2003), dan primer kedua (VenSF dan VenSR)

Kultur bakteri dilakukan dengan menggunakan (a) (b)

tingkat konsentrasi bakteri yang berbeda dan


disimpan dalam media transpor dengan waktu
yang berbeda (< 6 d/H), diambil 100 ul sampel
dari media media transpor, kemudian diteteskan
pada satu sisi tepi agar darah, dan diratakan,
digoreskan di semua sisi tanpa menyentuhan ose
Gambar 1
Gambar 1. Hasil Kultur Isolat (a) Cfv/C5 dan (b) Cff (C2)

Kontrol
127
764 bp
142 bp

C5 C2 C5 C2 Cfv Cff

Gambar 2.
Apris Beniawan, et. al.
Gambar 1

(a) (b) (c)

Kontrol

764 bp

142 bp

C5 C2 C5 C2 Cfv Cff

Gambar
Gambar 2. 2. PCR Hasil Kultur Isolat Referensi (Cfv dan Cff) yang Gambar 3. Media transport (a) Media Pengembangan; (b)
Gambar 3.
tumbuh pada media agar darah. Weybridge; dan (c) PBS.

(a) (b) (c)


konsentrasi awal koloni Campylobacter yang ada
yang spesifik untuk fetus subs. venerealis (142 bp) dalam sampel, dan waktu dari inokulasi sampai
dalam format multiplex PCR (Hum et al., 2009). inkubasi dalam media transpor. Konsentrasi
Hasil Kultur Bakteri Cfv dari Media Transpor bakteri Cfv dalam preputial dapat bervariasi antara
102 – 105 CFU/ml (Clark, 1971).
Kultur bakteri pada media agar darah Koloni bakteri yang tumbuh pada media agar
dilakukan sesuai masa simpan dalam media darah dilakukan pengamatan makroskopis dan
transpor selama < 6, 24, 48, 72 dan 96 jam dari dilakukan penghitungan jumlah koloni. Gambaran
masing-masing konsentrasi bakteri. Gambaran makroskopis koloni bakteri Cfv dan Cff yang
Gambarmedia
3. traspor dalam penelitian ini terlihat pada tumbuh pada media agar darah dalam penelitian
Gambar 3. Media transpor yang dikembangkan ini tampak seragam, terlihat halus, berwarna abu-
terlihat berwarna sedikit bening kekuningan abu merah muda, mengkilap, berbentuk bulat,
dikarenakan adanya daging sapi yang terurai berukuran kecil dan darah dalam media agar tidak
sebagai kaldu. Media Weybridge terlihat berwana lisis yang menggambarkan bahwa bakteri yang
hitam dan sedikit merah kecoklatan karena tumbuh bersifat non haemolytic (Gambar 4).
adanya charcoal dan darah domba sebagai materi
penyusun media. Phosphate Buffered Saline (a) (b)

sebagaimana umumnya, dalam penelitian ini


terliha berwarna bening.
Penelitian ini menggunakan konsentrasi
bakteri Cfv bertingkat yaitu 105, 104, 103, 102, 101
(CFU/ml), dan disimpan dalam masing-masing
media transpor, sesuai dengan tingkat konsentrasi.
Menurut Lander (1990), karakteristik sampel Gambar 4. Hasil Kultur sampel H2 (102
Gambar 4
cfu/ml); (a)
yang mempengaruhi keberhasilan kultur adalah Pengembangan; (b) Weybridge
Media Pengembangan Media Weybridge Kontrol

Tabel 2. Jumlah Koloni Bakteri Cfv


764 bp

Jumlah Bakteri ( x10)


Media transpor Cfu/ ml
H1 H2 H3 H4 H5
142 bp
Pengembangan 10 1
5 12 101 10241 103 104 10>300
5
101 102 103 >300
104 105 Cff Cfv
102 37 70 134 >300 >300
103 218 218 >300 >300 >300
104 >300 >300
Gambar 5
>300 >300 >300
105 >300 >300 >300 >300 >300
Weybridge 101 6 11 145 >300 >300
102 21 167 >300 >300 >300
103 119 >300 >300 >300 >300
104 >300 >300 >300 >300 >300
105 >300 >300 >300 >300 >300

128
Pengembangan Media Transpor untuk Koleksi Sampel Preputium, .....

Jumlah hasil penghitungan bakteri Cfv yang mukosa preputial dan rongga vagina, non spora,
tumbuh pada media agar darah terlihat pada bersifat rentan karena hanya mampu bertahan 6
Tabel 2. Koloni yang tidak memungkinkan untuk jam pada kondisi atmosfer normal.
dihitung, terhitung >300 koloni/cawan. Media Weybridge merupakan media transpor
Hasil kultur dari sampel dengan masa simpan yang direkomendasikan oleh OIE (2012),
kurang dari 6 jam (H1) di media transpor yang dikembangkan oleh Lander (1990), dengan
dikembangkan, Weybridge dan PBS, bakteri Cfv formula terdiri dari mueller hinton broth terbuat
dari beef infusion (ekstrak daging sapi), acid
tumbuh pada semua media agar darah pada semua casein peptone, dan Corn Starch. Ekstrak daging
tingkat konsentrasi bakteri 105, 104, 103, 102, 101 sapi dan acid casein peptone sebagai sumber
(CFU/ml). Hasil pengamatan pada masa simpan nitrogen, vitamin, mineral dan asam amino yang
24, 48, 72 dan 96 jam dalam media pengembangan penting untuk pertumbuhan bakteri Cfv. Corn
dan Weybridge terjadi peningkatan jumlah koloni starch (tepung pati) merupakan faktor pendukung
bakeri yang tumbuh di semua tingkat konsentrasi, pertumbuhan bakteri sebagai sumber energi dan
sedangkan pada sampel yang disimpan dalam PBS berfungsi untuk menyerap racun yang dikeluarkan
tidak ada pertumbuhan bakteri disemua tingkat bakteri, sehingga tidak mengganggu pertumbuhan
konsentrasi. Hasil ini menunjukkan bahwa ketiga bakteri. Charcoal sering digunakan sebagai
media dapat digunakan sebagai media transpor sumber carbon, komponen media transporasi,
untuk banteri Cfv apabila masa simpan bakteri penyimpanan dan propagasi mikroorganisme,
kurang dari 6 jam dalam media transpor. Namun terutama untuk bakteri mudah mati (Lander,
dengan masa simpan lebih dari 24, 48, 72 dan 1990). Darah domba adalah sumber nutrisi
97 jam hanya media pengembangan dan media kaya protein dan tinggi zat besi sebagai faktor
Weybridge yang bersifat enrichment untuk bakteri pertumbuhan sel bakteri. Suplemen yang terdiri
Cfv, sehingga dapat tumbuh pada media kultur dari Sodium Pyruvate, Sodium Metabisulphite dan
(Tabel. 2). Ferrous Sulphate (FBP) dapat meningkatkan sifat
Phosphate Buffered Saline (PBS) merupakan aerotoleran bakteri Campylobacter fetus (George
media cair yang biasa digunakan untuk et al., 1978). Penambahan kombinasi antibakteri
pengambilan sampel Cfv apabila tidak memerlukan Vankomysin, Trimetoprim dan Polymyxin sebagai
transportasi yang lama, namun untuk sampel medium selektif, untuk mematikan bakteri
yang memerlukan perjalanan lebih dari 6-8 jam kontaminan lainnya (Skirrow, 1994).
sebelum pengujian (kultur), diperlukan Transport Media transpor yang dikembangkan dibuat
Enrichment Medium (OIE, 2012). Phosphate dari daging sapi, protease peptone, glucose,
Buffered Saline sebagai buffer membantu bakteri NaCl sebagai penghambat pertumbuhan bakteri
dalam mempertahankan konsistensi pH, namun lain yang toleran terhadap garam, air (aquadestt)
kandungan PBS tidak memenuhi kebutuhan sebagai pelarut dan antibiotik spesifik
nutrisi dari bakteri Cfv untuk tumbuh dan (vancomysin, polymixin B dan cycloheximide)
mempertahankan hidup dalam waktu yang lebih sebagai penghambat pertumbuhan bakteri
lama. Bakteri Cfv sama dengan mikroorganisme kontaminan. Daging sapi sering digunakan
lainnya, memerlukan suplai nutrisi sebagai sebagai bahan untuk media pertumbuhan bakteri,
sumber energi dan pertumbuhannya. Unsur-unsur dikarenakan memiliki banyak nutrisi yang
dasar tersebut adalah: karbon, nitrogen, hidrogen, dibutuhkan bakteri untuk tumbuh. Kandungan
oksigen, sulfur, fosfor, zat besi dan sejumlah danging sapi terdiri dari kalori, protein, lemak,
komponen lainnya. Tidak adanya atau kekurangan karbohidrat, kalsium, fosfor, zat besi, selenium,
sumber-sumber nutrisi ini dapat mempengaruhi seng, zink, vitamin B kompleks, omega 3 dan
pertumbuhan mikroba hingga pada akhirnya zat lainnya. Protease peptone mengandung
dapat menyebabkan kematian. Menurut Hum et nitrogen, amino nitrogen dan sodium klorida yang
al. (2009) Camplylobacter fetus subsp. venerealis dibutuhkan oleh bakteri untuk pertumbuhan.
(Cfv) adalah parasit obligat yang menular melalui Hasil uji statistik terhadap ketiga media
kelamin pada sapi, beradaptasi pada permukaan transpor menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan

129
Apris Beniawan, et. al.

Tabel 3. Uji Kruskal Wallis untuk media pengenbangan, Weybridge dan PBS

Pengenceran (Cfu/ Median


Masa simpan Nilai P
ml) Pengembangan Weybridge’s PBS
H1 101 5.000 6.000 4.000 0.658
(<6 jam) 102 33.00 35.00 39.00 0.646
103
218.0 300.0 156.0 0.488
H2 101 1.20000E+01 1.50000E+01 0.000000000 0.045
(24 jam) 102
7.00000E+01 1.49000E+02 0.000000000 0.024
103 2.48000E+02 3.00000E+02 0.000000000 0.021
H3 101
4.90000E+01 1.07000E+02 0.000000000 0.028
(48 jam) 102 1.27000E+02 3.00000E+02 0.000000000 0.021
Keterangan: Nilai P < 0.5 = ada perbedaan signifikan

signifikan pada perlakuan masa simpan < 6 jam, yang dibutuhkan untuk pertumbuhan bakteri
namun ada perbedaan signifikan pada masa Cfv. Media Weybridge memiliki sumber zat besi
simpan 24, 48, 72 dan 96 jam (Tabel 3), dimana yang lebih dikarenakan adanya adanya tambahan
tidak ada pertumbuhan bakteri pada media agar suplemen FBP (meningkatkan sifat aerotoleran
darah dari sampel asal PBS. untuk bakteri Cfv yang bersifat mikroaerofilik),
Uji statistik media pengembangan darah domba, mueller hinton dan Ferrous Sulfat
dibandingkan dengan media Weybridge sebagai sumber zat besi. Media pengembangan
didapatkan tidak adanya perbedaan signifikan mendapatkan zat besi dari daging sapi, dimana
dari masa simpan < 6 jam (H1) di semua tingkat terdapat 14-15 % zat besi dalam daging sapi.
konsentrasi. Hasil uji statistik dari masa simpan 24 Zat besi merupakan nutrisi penting bagi semua
(H2) konsentrasi 101,102 tidak berbeda signifikan, organisme hidup, karena merupakan kofaktor dari
namun ada perbedaan signifikan (P = 0.037) pada banyak enzim, dan berperan penting dalam reaksi
konsentrasi 103, begitu juga pada masa simpan transpor elektron dan reaksi redoks, sehingga
48 jam (H3) pada media dengan konsentrasi 101 terbatasnya ketersediaan zat besi menghambat
tidak berbeda signifikan, namun ada perbedaan pertumbuhan bakteri. (van Vliet et al., 2002).
signifikan (P = 0.037) pada konsentrasi 102 (Tabel Hasil multiplex PCR sebagai uji konfirmasi
4). Hal ini menunjukkan bahwa bakteri Cfv dapat menunjukkan bahwa dari semua bakteri yang
tumbuh dan berkembang (enrichment) dalam tumbuh di semua tingkat perlakuan (konsentrasi)
media pengembangan, namun masih lebih sedikit yang diberikan adalah bakteri Cfv (Gambar. 5).
Media Pengembangan Medi
hasilnya dibandingkan dengan media Weybridge. Media pengembangan memiliki komponen
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwan yang cukup untuk pertumbuhan bakteri Cfv,
media Weybridge mengandung nutrisi-nutrisi dimana bahan-bahan yang digunakan lebih

Tabel 4. Hasil Uji Kruskal Wallis media pengembangan dan Weybridge

Median
Masa simpan Pengenceran (Cfu/ml) Nilai P
Pengembangan Weybridge’s
101 5.000 6.000 0.369
H1 (<6 jam) 10 2
33.00 35.00 0.827
103 218.0 300.0 0.507
10 1
12.00 15.00 0.268
H2 (24 jam) 102 70.00 149.00 0.050
10 3
248.00 300.00 0.037
101 49.00 107.00 0.077
H3 (48 jam)
10 2
127.0 300.0 0.037

130
Pengembangan Media Transpor untuk Koleksi Sampel Preputium, .....

Media Pengembangan Media Weybridge Kontrol Hum, S. (2007). Vibriosis of Cattle. New South
Wales Department of Primary Industries.
764 bp Australia. Primefact 451.
Hum, S., Hornitzky, M., Berg, T. (2009). Bovine
142 bp
Genital Campylobacteriosis. Australia
101 102 103 104 105 101 102 103 104 105 Cff Cfv and New Zealand Standard Diagnostic
Procedures, SCAHLS, ed. (Department of
Gambar 5. Hasil Uji multiplex PCR Cfv yang tumbuh pada media Agriculture, Fisheries and Forestry).
pengembangan dan media Weybridge
[Kementan RI] Kementerian Pertanian Republik
Indonesia. (2009). Keputusan Menteri
murah dan mudah didapat di Indonesia. Proses Pertanian Nomor 3238/Kpts/Pd.630/9/2009:
pembuatan media pengembangan lebih sederhana Tentang Penggolongan Jenis-Jenis Hama
dan lebih mudah, sehingga waktunya lebih cepat. Penyakit Hewan Karantina, Penggolongan
dan Klasifikasi Media Pembawa. Jakarta
(ID): Kementerian Pertanian Republik
Kesimpulan
Indonesia.
Media pengembangan bersifat enrichment Koya, A. (2016). Bovine Genital
(pengkayaan), dapat digunakan sebagai alternatif Campylobacteriosis: Isolation, identification
media transpor untuk koleksi sampel untuk deteksi and virulence profiling of Campylobacter
Campylobacter fetus subspecies venerealis. fetus subsp. venerealis in a small animal
model. Thesis for the degree of Doctor of
Ucapan Terimakasih Philosophy. School of Veterinary Science.
Terimakasih penulis ucapkan kepada Program University of Queensland.
Studi Mikrobiologi Medik, Sekolah Pasca Sarjana Lander, K.P. (1990). The application of a transport
IPB. Penulis juga menyampaikan Terimakasih and enrichment medium to the diagnosis of
kepada Badan Karantina Pertanian atas beasiswa Campylobacter fetus infections in bulls.
S2 yang telah diberikan. Semoga karya ilmiah ini British Vet J. 146:334-340.
bermanfaat. Monke, H.J., Love, B.C., Wittum, T.E., Monke,
D.R. and Byrum, B.A. (2002). Effect of
Daftar Pustaka transport enrichment medium, transport
Clark, B.L. (1971). Review of Bovine Vibriosis. time, and growth medium on the detection
ia Weybridge Kontrol
Australian Vet J. 47:103-107. of Campylobacter fetus subsp. venerealis. J
Vet Diagn Investigation. 14:35-39.
Eaglesome, M.D. and Garcia, M.M. (1992).
Microbial agents associated with bovine Muller, W., Hotzel, H. and Schulze, F. (2003).
genital tract infections and semen. Identification and differentiation of
Part I. Brucella abortus, Leptospira, Campylobacter fetus subspecies by PCR.
Campylobacter fetus and Tritrichomonas Dtsch Tierarztl Wochenschr 110(2): 55-59.
foetus. Vet Bull. 62(8):743-775. Ng, L., Sherburne, R., Taylor, D.E. and Stiles,
George, H.A., Hoffman, P.S., Smibert, R.M. and M.E. (1985). Morphological forms and
Krieg, N.R. (1978). Improved media for viability of Campylobacter species studied
growth and aerotolerance of Campylobacter by electron microscopy. J Bacteriol.
fetus. J Clin Microbiol 8(1): 36-41. 164(1):338-343.
Hardjoutomo, S. (1998). Tinjauan tentang [OIE] World Organization for Animal Health.
Vibriosis Sapi di Indonesia. Wartazoa 7 (1); (2012). Manual of Diagnostic Tests and
10-14. Vaccines for Terrestrial Animals. Terrestrial

131
Apris Beniawan, et. al.

Manual 2012 Seventh Edition Volume 2. van Vliet, A.H.M., Ketley, J.M., Park, S.F.
https://www.oie.int/doc/ged/D12009.PDF. and Penn, C.W. (2002). The role of
Skirrow, M.B. (1994). Diseases due to iron in Campylobacter gene regulation,
Campylobacter, Helicobacter and related metabolism and oxidative stress defence.
bacteria. J Comparative Pathol. III:113- FEMS Microbiology Reviews 26 (2002):
149. 173-186.

132
Jurnal Sain Veteriner, Vol. 38. No. 2. Agustus 2020, Hal. 133-141
DOI: 10.22146/jsv.54894
ISSN 2443-1583 (Print), ISSN 2407-3733 (Online)
Tersedia online di https://jurnal.ugm.ac.id/jsv

Korelasi antara Padat Tebar dengan Infestasi Ektoparasit pada Udang Vaname
(Litopenaeus Vannamei) di Tambak Super Intensif

The Correlation Between Stocking Density and Ectoparasite Infestations In White Shrimp
(Litopenaeus Vannamei) In Super Intensive Ponds
Eren Adiacahya1, Setiawan Koesdarto2, Gunanti Mahasri3*

Fakultas Perikanan dan Kelautan, Universitas Airlangga, Surabaya


1

2
Departmen Parasitologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Airlangga, Surabaya
3
Departemen Manajemen Kesehatan Ikan dan Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan
Kelautan Universitas Airlangga, Surabaya
*
Email : mahasritot@gmail.com

Naskah diterima: 17 Maret 2020, direvisi: 7 Mei 2020, disetujui: 30 Mei 2020

Abstract

Aquaculture technology for shrimp that has been widely used in ponds in Indonesia is a super intensive
system, using a high stocking density, which is more than 150 fish /m2. The high stocking density can cause the
decrreasing water quality, so that shrimp get stress, decreased body defenses, and will be susceptible to disease.
The purpose of this study was to determine the correlation between stocking density of white shrimp (Litopenaeus
vannamei) and protozoan ectoparasites infestation during rearing period in super intensive ponds. This research
is a survey research, with a Cross Sectional Study Research Design; The proporsive sampling method was used
at several shrimp ponds in Temaji Village, Jenu District, Tuban Regency. Shrimp samples was taken each as
many as 50 individual from 3 pondswith stocking densities of 150, 200 and 300 shrimp/m2. The results showed
that ectoparasites was found in white shrimp that were reared on ponds with high stocking densities (super
intensive). That ectoparasites were Zoothamnium, Epistylis and Vorticella, with consecutive intensities of 278.32;
391.34 and 466.02 on shrimps that were reared with all stocking densities test, so that value classified in a heavy
infestation degree. There is a less close correlation between stocking density and ectoparasite infestation in
vaname shrimp in super intensive ponds, (R = 0.394) it show that an increasing in stocking density until 300
shrimp/m2 is accompanied by infestation of the three genera of ectoparasites.

Key words : ectoparasite; infestation; super intensive; white shrimp

Abstrak

Teknologi budidaya udang yang sudah banyak digunakan di pertambakan di Indonesia, adalah teknologi
budidaya yang menggunakan pola super intensif, dengan menggunakan padat tebar tinggi, yaitu lebih dari 150
ekor/ m2. Padat tebar yang tinggi tersebut dapat mengakibatkan penurunan kualitas air, sehingga menyebabkan
udang stres, mengalami penurunan ketahanan tubuh, dan akan mudah terserang penyakit. Tujuan dari penelitian
ini adalah untuk mengetahui korelasi antara padat tebar udang vaname (Litopenaeus vannamei) dengan
infestasi ektoparasit protozoa selama pemeliharaan di tambak budidaya dengan sistem super intensif. Penelitian
ini merupakan penelitian survei, dengan rancangan penelitian Cross Sectional Study. Pengambilan sampel
menggunakan metode proporsive sampling, yang dilakukan di daerah pertambakan di Kabupaten Tuban. Sampel
udang yang diambil masing-masing sebanyak 50 ekor dari 3 petak tambak dengan padat tebar 150, 200 dan 300
ekor/m2. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ektoparasit yang ditemukan pada udang vaname yang dipelihara
pada tambak super intensif dengan berbagai padat tebar tersebut adalah Zoothamnium, Epistylis dan Vorticella,

133
Eren Adiacahya, et. al.

dengan intensitas berturut-turut sebesar 278,32 ; 391,34 dan 466,02 individu/ekor, sehingga dikategorikan
derajat infestasi berat. Terdapat korelasi kurang erat antara padat tebar dengan infestasi ektoparasit pada udang
vaname pada tambak super intensif, (R = 0,394) yang menunjukkan bahwa adanya peningkatan padat tebar
udang vaname hingga 300 ekor/m2 diiringi dengan infestasi ketiga genus ektoparasit tersebut.

Kata kunci : ektoparasit; infestasi; super intensif, udang vaname

Pendahuluan glukosa (indikator tingkat stres) dengan infestasi


Berbagai teknologi budidaya udang vaname ektoparasit pada udang vaname pada tambak
telah dilakukan untuk meningkatkan produksi dengan dasar plastik. Hasil penelitian tersebut
agar dapat memenuhi permintaan pasar dunia menunjukkan bahwa semakin tinggi kadar glukosa
terhadap komoditas ini. Salah satu teknologi semakin tinggi infestasi ektoparasit Zoothamnium,
teknologi budidaya udang vaname yang sudah Epistylis dan Vorticella. Ektoparasit yang sering
banyak dilakukan di Indonesia yaitu teknologi menyerang udang adalah ektoparasit protozoa dari
budidaya super intensif di tambak menggunakan kelas Ciliata yaitu Zoothamnium, Vorticella dan
dasar plastik. Menurut Sumadikarta, et al., (2013) Epistylis (Mahasri, 2007). Udang yang terinfestasi
budidaya udang dengan sistem super intensif oleh ketiga genus tersebut ditemukan gejala
adalah pembesaran udang dengan padat tebar klinis bahwa pada permukaan tubuh, kaki renang,
tinggi yaitu lebih dari 150 ekor/m2. Permasalahan dan kaki jalan yaitu terdapat kumpulan parasit
yang muncul pada penerapan budidaya dengan yang menempel berwarna putih kecoklatan,
pola super intensif adalah adanya penurunan daya sehingga udang sulit bernapas, bergerak dan
dukung lingkungan tambak bagi kehidupan udang mencari makanan. Keberadaan parasit ini dapat
yang dibudidayakan (Suwoyo dan Mangampa, meningkat dengan cepat dan menginfestasi udang
2010). Berdasarkan Badan Standardisasi Nasional apabila kualitas perairan menurun. Infestasi oleh
(BSN) (2014), tercantum bahwa padat tebar yang Ciliata patogen dari filum Protozoa, dari genus
diterapkan pada budidaya udang vaname sistem Zoothamnium, Epistylis dan Vorticella dapat
super intensif umumnya menggunakan padat tebar tumbuh optimal pada lingkungan dengan padat
lebih dari 250 ekor/ m2 untuk benih asal hatchery tebar tinggi, bahan organik tinggi dan oksigen
yaitu stadia PL-11. terlarut kurang dari 3 ppm (Mahasri, 2007).
Dampak lain dari budidaya udang dengan Udang yang terserang ektoparasit dari
sistem super intensif akan menyebabkan ketiga genus tersebut di atas akan menunjukkan
terjadinya peningkatan bahan organik, kompetisi gejala klinis sesuai gejala klinis dari Mahasri,
dalam mendapatkan makanan, oksigen dan tempat et al., (2018). Farras, et al., (2017) mengatakan
untuk hidup sehingga menyebabkan udang stres, bahwa udang vaname yang dipelihara di tambak
yang dapat berdampak pada penurunan daya tahan intensif dan tambak tradisional di Kabupaten
tubuh dan tingkat kelulushidupan udang (Gao et Gresik, ditemukan adanya beberapa ektoparasit
al., 2017). Selanjutnya dikatakan oleh Widanarni, yang menginfestasi yaitu Zoothamnium, Epistylis
et al., (2012) bahwa tingginya padat tebar dan Vorticella. Derajat infestasi dari ketiga genus
maupun sisa pakan, dapat meyebabkan terjadinya ektoparasit tersebut pada udang vaname di tambak
peningkatan kadar bahan organik terutama nitrit intensif termasuk dalam kategori berat sebesar 76,56
dan amonia dalam air serta akumulasi limbah. zooid dan di tambak tradisional termasuk dalam
Kondisi lingkungan yang buruk akan menyebabkan kategori sedang sebesar 43,78 zooid. Penelitian
udang mengalami stres dan penurunan respon yang dilakukan Wulandari (2014) di Gampong
imun (Gao et al., 2017). Kondisi udang yang stres Pande Banda Aceh membuktikan bahwa setiap
tersebut dapat menyebabkan terjadinya penurunan kelas pada udang mengalami serangan ektoparasit
daya tahan tubuh, sehingga udang akan mudah dengan nilai prevalensi tertinggi mencapai 100%
terserang penyakit. dan nilai intensitas tertinggi mencapai 135 parasit/
Prihardana (2018) dan Cholil (2019), ekor yang terdapat pada udang yang berukuran
menyatakan bahwa terdapat korelasi antara kadar 16-20 cm. Pengamatan dilakukan di tabak udang

134
Korelasi antara Padat Tebar dengan Infestasi Ektoparasit pada Udang Vaname .....

vaname dengan pola intensif di daerah Tuban, Sampel udang yang digunakan dalam
dikarenakan pada tahun 2018, sudah pernah penelitian ini berukuran PL-30 sampai dengan
terjadi kasus infestasi ektoparasit dari genus yang PL-40, sebanyak 50 ekor dari masing-masing
sama. Pemeliharaan udang di tambak dengan pola petakan dengan padat berbeda, yang dilakukan
intensif dan super intensif , dapat menyebabkan dua kali pengambilan. Dasar pengambilan jumlah
kandungan bahan Kabupaten Tuban merupakan sampel ini mengacu pada Cameron (2002), yang
salah satu sentra budidaya udang vaname di mengatakan bahwa banyaknya jumlah sampel yang
Jawa Timur. Sebagian besar sekitar 80% usaha diambil untuk penelitian deskriptif korelasional
budidaya udang menggunakan pola intensif dan adalah 27 – 30 ekor tiap populasi yang ada pada
super intensif, dengan padat tebar rata-rata 150 satu wilayah. Masing-masing sampel dilakukan
– 400 ekor per meter persegi. Sudarno, et al., packing dengan memberikan oksigen tambahan
(2017) mengatakan bahwa prevalensi udang yang ke dalam kantong plastik dan selanjutnya dibawa
terifestasi ektoparasit di pertambakan di Desa ke Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas
Jenu, Kabupaten Tuban menunjukkan nilai yang Airlangga untuk pengamatan.
tiggi, yaitu mencapai 86%. Berdasarkan pada Pemeriksaan ektoparasit pada udang
uraian di atas, maka perlu dilakukan penelitian dilakukan dengan metode natif, yaitu metode
untuk mengetahui korelasi antara padat tebar pemeriksaan secara langsung tanpa pewarnaan
dengan infestasi ektoparasit pada udang vaname sampel yang dilakukan dengan menggunakan
yang dipelihara pada tambak super intensif. mikroskop (Aziz, et al., 2012). Bagian tubuh yang
diperiksa antara lain kaki renang, kaki jalan, ekor
Materi dan Metode dan insang, yang diamati dengan menggunakan
Peralatan untuk pemeriksaan parasit yaitu mikroskop perbesaran 100x dan 400x (Mahasri,
sectio set, scalpel, mikroskop binokuler, object et al., 2018). Pemeriksaan ektoparasit pada
glass, cover glass, pipet, kertas label, serbet/tisu permukaan tubuh dilakukan dengan scrapping
dan kamera untuk dokumentasi serta alat tulis dan hasil scrapping kemudian diperiksa di bawah
untuk mencatat data. Peralatan yang dibutuhkan mikroskop dengan pembesaran 100x dan 400x.
untuk persiapan sebelum pengambilan sampel Parameter utama dari penelitian ini adalah
udang yaitu bak pemeliharaan berukuran (50 infestasi dan derajat infestasi ektoparasit pada
x 36 x 30) cm³ lengkap dengan batu aerasi dan udang vaname pada padat tebar 150, 200 dan 300
selang aerator. Untuk pengambilan sampel udang ekor/m2. Infestasi adalah keberadaan parasit pada
digunakan anco, plastik packing dan styrofoam permukaan tubuh udang, yang dinyatakan dengan
sebagai wadah udang serta supplier oksigen. jumlah ektoparasit pada tiap-tiap individu udang,
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sedang derajat infestasi adalah tingkat keparahan
benih udang vaname (Litopenaeus vannamei) akibat adanya infestasi parasit (Fegan, et al.,
dengan ukuran PL-30 sampai PL-40. 1993). Parameter pendukung pada penelitian ini
Penelitian ini merupakan penelitian survei, yaitu kualitas air tambak pemeliharaan yang
dengan rancangan penelitian cross sectional study,. diperiksa pada saat pengambilan sampel.
(Cameron, 2002). Pengambilan sampel dilakukan Pemeriksaan parameter kualitas air meliputi suhu
di daerah pertambakan di Desa Temaji, Kecamatan yang diperiksa menggunakan termometer, salinitas
Jenu, Kabupaten Tuban, yang dilakukan dengan menggunakan refraktometer, oksigen terlarut atau
metode proporsive sampling terhadap penentuan DO menggunakan DO meter, pH menggunakan
petakan tambak yang diambil maupun pengambilan pH meter dan amonia menggunakan test kit.
sampel udang pada petak tambak yang telah Data yang terkumpul dianalisis statistik
ditentukan tersebut. Pengambilan sampel udang dengan korelasi regresi software IBM SPSS 20.
dilakukan dengan menggunakan anco sebanyak Analisis ini digunakan untuk mengetahui korelasi
4 buah yang ditempatkan pada 4 titik di petak antara padat tebar dengan infestasi ektoparasit,
tambak. Pengambilan sampel dilakukan dengan dengan koefisien korelasi regresi R. Jika nilai R =
teknik proporsive sampling sesuai dengan tujuan 0.999 (mendekati nilai 1) dapat diartikan terdapat
penelitian (Sugiyono, 2006). korelasi korelasi yang sangat erat.

135
Eren Adiacahya, et. al.

Hasil dan Pembahasan Morfologi Epistylis yang ditemukan dalam


penelitian ini sesuai dengan kunci identifikasi dari
Hasil Penelitian Lom and Dicova (1996) yaitu hidup berkelompok
Hasil pemeriksaan ektoparasit di permukaan dan kebanyakan ditemukan di permukaan tubuh,
tubuh sampel udang pada berbagai padat tebar kaki renang, kaki jalan dan insang. Mempunyai
menunjukkan bahwa semua sampel udang tangkai yang bercabang dengan dasar tangkai
vaname yang diperiksa positif terinfestasi menempel pada permukaan. Berbentuk seperti
ektoparasit yaitu campuran dari 3 genus, dengan lonceng terbalik namun lebih ramping dan
derajat intensitas berat. Penentuan kategori derajat tangkainya tidak mengalami pergerakan. Zooid
infestasi ini bersasarkan Udang yang terinfestasi berbentuk memanjang, Ukuran zooid yang
berat menunjukkan gejala klinis bahwa seluruh terdiri dari tangkai peristomial bersilia, vakuola
permukaan tubuh ditemukan ektoparasit yang makanan, mikronukleus dan makronukleus. Pada
menempel, sulit bernafas dan tidak bisa ganti satu koloni terdapat 2-5 tangkai.
kulit (moulting). Ke tiga genus yang ditemukan Vorticella merupakan parasit yang bersifat
tidak menunjukkan adanya dominasi dari genus soliter dan menempel pada substrat dengan
tertentu. Hal ini sesuai dengan ktegori yang telah tangkai yang kontraktil. Berbentuk seperti lonceng
disampaikan oleh Fegan, et al., (1993) yang terbalik, di sekeliling peristoma terdapat cilia, sel
menyatakan bahwa tingkat keparahan (derajat mengandung makronukleus dan mikronukleus, sel
infestasi) ektoparasit ditentukan eleh banyaknya berwarna kekuningan atau kehijauan, Vorticella
ektoparasit yang menginfestasi. Adapun bila ikan mempunyai ukuran tubuh sekitar 15-30 µm.
terinfestasi ektoparasit sebanyak 5 – 25 zooid
termasuk dalam kategori ringan, 26 – 50 kategori Hasil penghitungan infestasi dan derajat
sedang dan di atas 50 zooid termasuk kategori infestasi ektoparasit udang Vaname
berat (parah). Ciri morfologi dari Zoothamnium Hasil penghitungan infestasi dan derajat
yang ditemukan pada penelitian ini sesuai dengan infestasi ektoparasit pada udang vaname dengan
kunci identifikasi dari Lynn (2007), yaitu zooid padat tebar 150 ekor/m2, 200 ekor/m2 dan 300
atau stadia dewasa berbentuk bulat oval, hidup ekor/m2 secara lengkap dapat dilihat pada Tabel
berkoloni, berwarna keputih-putihan, menempel 1. Derajat infestasi ditentukan berdasarkan Fegan,
pada inang dengan semacam akar dan batang yang et al., (1993), dengan kriteria jika pada udang
disebut pedicle yang bercabang. ditemukan ektoparasit sebanyak 5-25 zooid

Tabel 1. Hasil penghitungan infestasi dan derajat infestasi ektoparasit pada udang vaname dengan padat tebar 150 ekor/m2, 200 ekor/m2
dan 300 ekor/m2

Padat Tebar Jumlah Sampel Ektoparasit yang Ditemukan Jumlah Sampel Infestasi Derajat Infestasi
(ekor/m2) Diperiksa (ekor) pada Sampel Positif (ekor) (individu/ekor) (ekor)

150 50 Zoothamnium, Epistylis dan 50 278,32 ± 5,782 Normal (1 ekor)


Vorticella Ringan (6 ekor)
Sedang (2 ekor)
Berat (41ekor)

200 50 Zoothamnium, Epistylis dan 50 391,34±3,500 Normal (0 ekor)


Vorticella Ringan (0 ekor)
Sedang (4 ekor)
Berat (46 ekor)

300 50 Zoothamnium, Epistylis dan 50 466,02±2,610 Normal (0 ekor)


Vorticella Ringan (0 ekor)
Sedang (0 ekr)
Berat (50 ekor)

136
Korelasi antara Padat Tebar dengan Infestasi Ektoparasit pada Udang Vaname .....

termasuk dalam katagori ringan, 26-50 zooid Hasil Pengukuran Kualitas Air
termasuk sedang, di atas 50 zooid termasuk dalam Hasil pengukuran kualitas air media
kategori berat. Secara rinci hasil penghitungan pemeliharaan saat pengambilan sampel pada padat
infestasi dan penentuan derajat infestasi dapat
dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 menunjukkan bahwa infestasi
ektoparasit pada udang yang tertinggi sebesar
466,02 individu/ekor, terjadi pada udang yang
dipelihara pada padat tebar 300 ekor/ m2, kemudian
diikuti oleh udang dengan padat tebar 200 ekor/
m2sebesar 391,34 individu/ekor. Sedangkan rata-
rata terendah yaitu sebesar 278,32 individu/ekor
terjadi pada udang dengan padat tebar 150 ekor/
m2. Jika dilihat dari derajat infestasi ektoparasit
(tingkat keparahan), menunjukkan bahwa Gambar 1. Kurva korelasi regresi antara padat tebar dengan
semua udang dari berbagai padat tebar termasuk infestasi ektoparasit pada udang vaname
terinfestasi berat, yaitu ditemukan ektoparasit
lebih dari 50 invidu/ekor udang, walaupun ada 4 tebar udang vaname yang berbeda disajikan pada
ekor udang terinfestasi dengan derajat infestasi Tabel 2.
sedang dan 6 ekor ringan dan sedang. Tabel 2 menunjukkan ada beberapa parameter
Hasil analisis statistik dengan korelasi regresi kualitas air yang tidak dalam kondisi normal,
Software IBM SPPS 20, menunjukkan bahwa yaitu suhu dan kecerahan pada tambak dengan
terdapat korelasi yang sangat lemah, karena padat tebar 150 ekor/m2, amonia pada padat tebar
korelasi antara padat tebar dengan infestasi 200 ekor/m2 dan 300 ekor/m2 yaitu 1,25 dan 1, 5
ektoparasit didapatkan nilai koefisiensi kerelasi juga suhu 26 derajad celcius pada padat tebar 150
regresi R2 = 0.005 dan R = 0,394 dan Kurva ekor/ m2, sedangkan yang lain berada pada kondisi
korelasi regresi antara padat tebar dengan infestasi normal.
ektoparasit disajikan pada Gambar 1 yang
menunjukkan bahwa terdapat hubungan linear Pembahasan
tetapi kurang erat (lemah), yang dapat diartikan Hasil peneaname terinfestasi ektoparasit
bahwa adanya peningkatan padat tebar akan baik udang yang dipelihara pada tambak dengan
diikuti dengan peningkatan infestasi ektoparasit padat tebar 150, 200 maupun 300 ekor/m2.
walaupun kecil nilainya, akan tetapi terlihat Genus ektoparasit yang ditemukan juga sama
terdapat kecenderungan peningkatan infestasi yaitu Zoothamnium, Vorticella dan Epistylis.
ektoparasite pada udang vaname, Hal ini sesuai dengan pendapat dari Rajabunizal

Tabel 2. Rata-rata Hasil Pengukuran Kualitas air pada ketiga Tambak

Padat Tebar (ekor/m2) Kualitas Air pada Budidaya Udang


No Parameter
(Permen-KKP, 2016)
150 200 300
1. Suhu (°C) 26 29 29 28-32
2. DO (mg/L) 3 3,5 3,7 >3
3. pH 7,9 7 7 7,5-8,5
4. Salinitas (ppt) 18 19 20 10-35
5. Amonia (mg/L) 0,1 1,25 1,5 < 0,1
6. Nitrit (mg/L) 0,9 1,3 0,7 <1
7. Kecerahan (cm) 45 30 35 35 -40

137
Eren Adiacahya, et. al.

and Ramanibai (2011) bahwa protozoa dari klas mengerucut atau seperti lonceng, bersifat soliter
Ciliophora juga sering ditemukan pada klas atau koloni, memiliki makronukleus dan vakuola
Crustacean. Selanjutnya menurut Lynn (2007) kontraktil. Genus Epistylis yang ditemukan pada
bahwa ciri morfologi genus Zoothamnium antara pemeriksaan terlihat berkoloni atau berkelompok,
lain zooid berbentuk globuler atau membulat seperti dalam satu batang terdapat 1-6 zooid berwarna
lonceng terbalik berwarna bening (transparan), bening atau transparan.
mempunyai makronukleus dan mikronukleus Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketiga
serta vakuola kontraktil, Zoothamnium hidup genus ektoparasit tersebut ditemukan pada seluruh
berkoloni yang memiliki 2-31 zooid dalam satu permukaan tubuh, kaki renang, kaki jalan, ekor,
koloni. Zoothamnium dengan ciri morfologi yang kepala dan insang. Infestasi terjadi pada semua
sama juga pernah ditemukan pada tambak udang udang pada tambak dengan padat tebar 150, 200 dan
pada tambak intensif di Kabupaten Lamongan 300 ekor/m2 dengan prevalensi 100%. Intensitas
oleh Prihardana (2018). Berdasarkan dari ciri ektoparasit yang ditemukan berturut-turut sebesar
morfologi Zoothamnium yang ditemukan dalam 278,32 ; 391,34 dan 466,02 individu/ekor dengan
penelitian ini sesuai dengan kunci identifikasi derajat infestasi sebagian besar termasuk kategori
Lynn (2007). berat. Derajad infestasi ektoparasit yang termasuk
Vorticella yang ditemukan dalam penelitian katagori normal sebanyak 1 ekor, ringan 6 ekor
memiliki ciri morfologi berbentuk oval, berwarna dan sedang terdapat 2 ekor pada padat tebar 150
kekuning-kuningan dan hidup soliter atau tidak ekor/m2. Udang pada padat tebar 200 ekor/m2
berkoloni. Setiap zooid memiliki makronukleus, terdapat derajat infestasi ringan sebanyak 4 ekor
mikronukleus dan tangkai (stalk) yang panjang, dan 46 semua dengan derajat infestasi berat.
serta kuran zooid Vorticella berkisar antara 80- Untuk udang yang dipelihara dengan padat tebar
90 µm. Ditambahkan oleh Lynn (2007) yang 300 ekor/m2 semua udang terinfestasi berat (Tabel
menyatakan bahwa genus Vorticella bersifat 2). Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa
kontraktil atau dapat memanjang dan memendek, hasil analisis regresi terdapat korelasi yang kurang
bersifat soliter atau individu, berwarna kehijauan erat (lemah), yang disebabkan karena semua
atau kekuningan. Epistylis yang ditemukan dengan udang dipelihara dengan padat tebar yang tinggi
ciri morfologi sesuai pernyataan Setiyaningsih, et dengan sistem super intensif. Infestasi ektoparasit
al., (2014) menyatakan bahwa Epistylis memiliki yang dominan adalah dari genus Zoothamnium,
bentuk seperti Zoothamnium namun lebih panjang karena genus ini daya toleransi terhadap salinitas
dan oval, pada bagian adoral terdapat flagella tinggi dan akan meningkat pertumbuhannya pada
yang dapat bergerak. Ektoparasit ini hidup secara salinitas 15 ppt sampai dengan 28 ppt, sedangkan
koloni atau berkelompok dengan jumlah 2-5 zooid untuk Vorticella dan Epistylis akan tumbuh
pada setiap batangnya. dengan baik pada salinitas di bawah 15 ppt
Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa (Mahasri, 2007). Dikaitkan dengan rata-rata nilai
ditemukan adanya Epistylis dengan ciri morfologi salinitas selama pemeliharaan (Tabel 2) sebesar 18
sesuai dengan Gilbert dan Schroder (2003) dan ppt sampai dengan 20 ppt, merukan kisaran yang
Canals and Salvadó (2016) yaitu memiliki bentuk sesuai dengan kehidupan Zoothamnium. Selain
mirip seperti Zoothamnium tapi lebih panjang salinitas suhu air juga berkaitan dengan infestasi
dan oval, dan diameter zooidnya lebih kecil dari ketiga genus tersebut, suhu yang lebih rendah
dari Epistylis yaitu 15 µ, bagian adoral terdapat yaitu 26 oC pada tambak dengan padat tebar 150
flagella yang dapat bergerak. Epistylis memiliki ekor/m2 juga merupakan suhu yang optimal untuk
panjang zooid sekitar 32-42 µm dan lebar 23- pertumbuhan Zoothamnium. Nilai infestasi pada
30 µm sedangkan panjang batang sekitar 13- tambak dengan padat tebar 150 ekor/m2 juga
15 µm. Ektoparasit ini hidup secara koloni atau menunjukkan angka yang tinggi dengan derajat
berkelompok dengan jumlah 2-5 zooid pada infestasi yang sama dengan pada padat tebar 200
setiap batangnya. Ciri morfologi juga sesuai ekor/m2 dan 300 ekor/m2.
dengan Lynn (2007) yaitu memiliki zooid dengan Padat tebar yang sangat tinggi pada tambak
panjang 60 µm berbentuk seperti telur, silinder super intensif akan menyebabkan konsentrasi

138
Korelasi antara Padat Tebar dengan Infestasi Ektoparasit pada Udang Vaname .....

bahan organik yang tinggi pada media infestasi ektoparasit pada udang, walaupun
pemeliharaan. Bahan organik yang tinggi tersebut korelasinya kurang erat (lemah) (software IBM
dapat disebabkan dari sisa pakan dan feses udang SPSS 20). Di sisi lain padat tebar yang tinggi juga
serta organisme yang mati. Sisa pakan akan akan berpengaruh terhadap parameter biologi air.
meningkatkan amonia yang bersifat toksik bagi Salah satu parameter tersebut adalah pertumbuhan
udang (Canals and Salvadó, 2016). Hal ini akan plankton akan meningkat karena kandungan
menyebabkan pemakaian oksigen untuk oksidasi bahan organik yang tinggi akan berfungsi sebagai
bahan organik lebih tinggi dibandingkan kecepatan pupuk yang dapat menyuburkan perairan (Gao, et
difusi oksigen ke dalam air. Kondisi yang demikian al., (2017) Tabel 2 menunjukkan bahwa parameter
akan berdampak buruk pada udang karena dapat kualitas air pada tambak dengan padat tebar yang
menyebabkan oksigen berkurang hingga batas berbeda tidak semuanya dalam kondisi normal, ada
yang merugikan kehidupan udang dan udang akan yang mengalami peningkatan maupun penurunan.
menjadi stres (Sumadikarta, et al., 2013). Kondisi Amonia dan nitrit yang tinggi (Tabel 2) indikator
stres pada udang dan buruknya kualitas air, akan adanya bahan organik tinggi dan oksigen rendah,
menyebabkan pertahanan tubuh udang menurun akan tetapi kandungan oksigen ini walaupun
dan mudah terinfestasi oleh ektoparasit (Gao, et menunjukkan angka yang berbeda, akan tetapi
al. 2017). semuanya masih dalam kondisi yang normal
Bahan organik yang tinggi tersebut (Perme-KKP, 2016). Kondisi yang demikian
akan menumpuk di dasar tambak dan apabila merupakan habitat yang ideal bagi ektoparasit
terjadi penurunan oksigen terlarut, maka akan Zoothamnium, Epistylis dan Vorticella, sehingga
menyebabkan terjadinya pembusukan bahan dapat dapat berkembang dengan baik (Mahasri.,
organic, pH menjadi rendah, nitrit dan ammonia et al. 2018). Selanjutnya dikatakan Gao, et al.,
mengalami peningkatan (Tabel 2) (Gao, et al., (2007). Beberapa parameter kualitas air pada
(2017). Kualitas air yang buruk pada tambak beton semua tambak dengan padat tebar yang berbeda
dapat dibuktikan dengan nilai nitrit mencapai menunjukkan tidak terdapat pada konsentrasi
1,25 mg/L dan nilai amonia mencapai 0,75 ppm yang normal (Tabel 2). Kualitas air yang menurun
dimana kedua nilai tersebut melebihi batas yang inilah yang mengakibatkan udang menjadi stres,
disarankan oleh Peraturan Menteri Kelautan dan sehingga pertahanan tubuh udang menurun dan
Perikanan /Permen-KKP (2016) untuk kegiatan rentan terhadap infestasi ektoparasit (Mahasri et
budidaya udang. Hal tersebut sesuai dengan al., 2018).
pernyataan Zafran, et al., (2005) yang menyatakan
bahwa kedua ektoparasit tersebut dapat tumbuh Kesimpulan
dan berkembang dengan baik apabila kandungan Kesimpulan dari penelitian ini adalah
bahan organik yang terlalu tinggi dan perubahan ektoparasit yang ditemukan pada udang vaname
kualitas air yang drastis. Tabel 2 juga menunjukkan yang dipelihara pada tambak dengan padat tebar
bahwa suhu air pada kolam pemeliharaan dengan tinggi (super intensif) adalah Zoothamnium,
padat tebar 150 ekor/ m2 lebih rendah dari normal Epistylis dan Vorticella, dengan derajat infestasi
yaitu 26 oC. Hal ini disebabkan karena letak berat, berturut turut kolam dengan padat tebar 150,
kolamnya paling jauh dari sumber air, sehingga 200 dan 300 ekor/meter persegi adalah 278, 32 ;
aliran air yang masuk ke kolam lebih rendah dan 391,34 dan 466.02 individu/ekor. Terdapat korelasi
tidak sama dengan kolam yang lain. yang kurang erat (lemah) antara peningkatan padat
Hasil analisis statistik dengan korelasi regresi tebar dengan infestasi ektoparasit pada udang
menunjukkan bahwa terdapat korelasi yang lemah vaname yang ditunjukkan dari nilai koefisien
antara padat tebar dengan infestasi ektoparasit korelasi R2 = 0,394. Saran yang dapat diberikan
dengan nilai koefisien korelasi R2 = 0,394. Hal ini dari hasil penelitian ini adalah perlu adanya
dapat diartikan bahwa dengan adanya peningkatan pengelolaan kualitas air tambak super intensif
padat tebar seiring dengan adanya peningkatan untuk menghambat pertumbuhan ektoparasit.

139
Eren Adiacahya, et. al.

Daftar Pustaka for Zooplankton Hosts, Reproduction


and Effect on Two Rotifers. Journal of
Aziz, H. Iromo dan Darto. (2012). Identifikasi
Freshwater Biology, 48(5): 878–893.
Ektoparasit Pada Udang Windu (Penaeus
monodon Fabricus) di Tambak Tradisional Kementerian Kelautan dan Perikanan. (2017).
Kota Tarakan. Thesis. Fakultas Perikanan Pedoman Umum Pembesaran Udang Windu
Ilmu Kelautan. Universitas Borneo. (Penaeus monodon) dan Udang Vaname
Tarakan. 33 hal. (Litopenaues vannamei). Jakarta. 43 hal.
Badan Standardisasi Nasional (BSN). (2014). Lynn, D. H. (2007). The Ciliated Protozoa
Udang vaname (Litopenaeus vannamei), (Characterization, Classification and Guide
Boone 1931) Bagian 1: Produksi induk to the Literature). 3rd Edition. Canada. 628
model indoor, SNI 8037.1: 1-7. pp.
Cameron, A. (2002). Survey Toolbox for Aquatic Lom, J. and Dicova, D. (1992). Protozoan parasite
Animal Disease. ACIAR. Australia. Pp. on fishes. ELSEVIER Amsterdam-London-
1-376. New York-Tokyo.p. 284.
Canals, O. and H. Salvadó. (2016). Description of Mahasri, G. (2007). Protein Membran Imunogenik
Epistylis camprubii n. sp. a Species Highly Zoothamnium penaei Sebagai Bahan
Tolerant to Ammonium and Nitrite. Acta Pengembangan Imunostimulan pada Udang
Protozoologica, 55: 7-18. Windu (Penaeus monodon Fabricus)
Terhadap Zoothamniosis [DISERTASI].
Cholil, N.P.L. (2019). Infestasi dan Intensitas Program Pascasarjana Universitas Airlangga
Ektoparasit pada Benih Udang Vaname Surabaya. 171 hal
(Litopenaeus vannamei) dengan Ukuran
Mahasri, G., Kusdarwati, R., Kismiyati, Rozi
Berbeda yang Dipelihara dengan Dasar
and Gustrifandi, H. (2018). Effectivity
Beton. Fakultas Perikanan dan Kelautan.
of immunostimulant from Zoothamnium
Universitas Airlangga. Surabaya. hal. 49-
penaei protein membrane for decreasing the
51.
mortality rate of white shrimp (Litopenaeus
Farras, A., G. Mahasri, H. Suprapto. (2017). vannamei) in traditional plus pond.IOP
Prevalensi dan Derajat Infestasi Ektoparasit Conf Ser: Earth and Enviromental Science
Pada Udang Vaname (Litopenaeus Vol: 137.
vannamei) di Tambak Intensif dan
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor
Tradisional Di Kabupaten Gresik. Jurnal
75. (2016). Pedoman Umum Pembesaran
Ilmiah Perikanan dan Kelautan. 9(2) : 7-14.
Udang Windu (Penaeus monodon) dan
Fegan, D.F. Nieles, T. Flegel, S. Rossuwan, M. Udang Vaname (Litopenaeus vannamei). 43
Waiyakaruitata. (1993). The Development hal.
of A Method for Determining the quality of
Prihardhana, R. (2018). Korelasi Antara Kadar
post larva of Penaeus monodon Fab.. Asian
Glukosa Darah dan tingkat Infestasi
Fisheries Society Conferences. Oktober
Ektoparasit pada Udang Vaname
1993. 23 hal.
(Litopenaeus vannamei) di Tambak dengan
Gao, Y., H. Zhuliu, V. Hector, Z. Bo, L. Zhiwei, H. Dasar Plastik. Skripsi. Fakultas Perikanan
Jie, L. Jeong and C. Zhangjie. (2017). Effect dan Kelautan. Universitas Airlangga.
of Stocking Density on Growth, Oxidative Surabaya. hal. 31-38.
Stress and HSP 70 of Pacific White Shrimp Setiyaningsih, L., Sarjito dan A. H. C. Haditomo.
Litopenaeus vannamei. Turkish Journal of (2014). Identifikasi Ektoparasit Pada
Fisheries and Aquatic Sciences, 17: 877- Kepiting Bakau (Scylla serata) yang
884. Dibudidayakan di kolam Pesisir Pemalang.
Gilbert, J. J. & Schroder, T. (2003). The Ciliate Jurnal Manajemen Akuakultur dan
Epibiont Epistylis pygmaeum: Selection Teknologi, 03(03):8-16.

140
Korelasi antara Padat Tebar dengan Infestasi Ektoparasit pada Udang Vaname .....

Sudarno, G. Mahasri dan R. Kusdarwati. (2017). Widanarni, D. Wahjuningrum dan F. Puspita.


IbM Bagi Petambak Udang di Desa Jenu, (2012). Aplikasi Bakteri Probiotik Melalui
Kecamatan Jenu, Kabupaten Tuban, Pakan Buatan untuk Meningkatkan Kinerja
Laporan Pengabdian Kepada Masyarakat. Pertumbuhan Udang Windu (Penaeus
Universitas Airlangga. 51 hal. monodon). Jurnal Sains Terapan, 2(1) : 32-
Sugiyono. (2006). Metode Penelitian Pendidikan 49.
(Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan Zafran, D.R., I. Koshrayani, F. Johnny, K. Yuasa.
R&D). Penerbit Alfabeta. Bandung, hal (2005). Manual for Fish Diseases Diagnosis:
6-15. Marine Fish and Crustacean Diseases
Sumadikarta, A., Srie dan Rahman. (2013). in Indonesia. Gondol Research Institute
Korelasi Antara Panjang dan Berat for Mariculture and Japan Internasional
Udang Vaname (Litopenaeus vannamei) Cooperation Agency, Japan. 10 pp.
yang Dipelihara Secara Intensif dengan
Kepadatan Berbeda. Fakultas Perikanan
dan Ilmu Kelautan IPB Bogor, hal. 1-7.

141
Jurnal Sain Veteriner, Vol. 38. No. 2. Agustus 2020, Hal. 140-146
DOI: 10.22146/jsv.51360
ISSN 2443-1583 (Print), ISSN 2407-3733 (Online)
Tersedia online di https://jurnal.ugm.ac.id/jsv

Efektifitas Terapi Asam Urat dengan Poliherbal Ekstrak Bawang Merah (Allium ascalonicum L.)
dan Jahe Merah (Zingiber officinale var rubrum) pada Tikus Hiperurisemia

Effectiveness of Gout Therapy with Polyherbal Extract of Shallot (Allium ascalonicum L.) and Red
Ginger (Zingiber officinale var rubrum) in Hyperuricemia Rats
Fathur Rohman Haryadi1*, Dela Ria Nesti1, Ida Tjahajati2, Okti Herawati2
1
Program Studi Diploma Kesehatan Hewan, Departemen Teknologi Hayati dan Veteriner,
Sekolah Vokasi Universitas Gadjah Mada
2
Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Gadjah Mada
*Email : fathur_haryadi@yahoo.com

Naskah diterima: 11 Nopember 2019, direvisi: 3 Desember 2019, disetujui: 30 Juli 2020

Abstract

Uric acid cause inflammation of acute gout arthtritis and other complications. Giving chemical drugs
has side effects. Flavonoids in shallots (Allium ascalonicum L.) can inhibit the xanthine oxidase enzyme
as antihyperuricemia. Gingerol in red ginger (Zingiber officinale var rubrum) as antihyperuricemia with
antiinflammatory effect. The research aims to determine the effectiveness of the polyherbal extract of shallots
(Allium ascalonicum L.) and red ginger (Zingiber officinale var rubrum) in hyperuricemia rats. Twenty five of
male rats were divided into five goups, namely negative control, positive control, (P1) 25% red ginger extract
and 75% shallot, (P2) 50% red ginger extract and 50% shallot, (P3) 75% red ginger extract and 25% shallot.
Potassium oxonate 250 mg / kg BW was induced intraperitoneally on the 7th day. Uric acid has been measured
on 14th, 21th and 28th days. On the 15th to 28th days, herbs/chemical drugs were administered according to the
groups. Data were analyzed using Anova Multifactorial Randomized Design, continued with Post Hoc with the
Least Significant Different test. The results showed that administration of potassium oxonate, chemical drugs and
combination of herbs extracts had a significant effect (p <0.05) on uric acid levels compare with negative control.
The conclusion show that the administration of polyherbal shallot extract (Allium ascalonicum L.) and red ginger
(Zingiber officinale var rubrum) indicates as antihyperuricemia. The most effective dose is red ginger extract 450
mg/200 g and shallot 150 mg/200 g BW/day for two weeks of administration.

Key words: hyperuricemia; rats; red ginger; shallots; uric acid

Abstrak

Asam urat dapat menyebabkan inflamasi gout arthtritis akut, serta penyakit komplikasi lain. Pemberian
obat kimia memiliki efek samping. Flavonoid dalam bawang merah (Allium ascalonicum dapat menghambat
enzim xantin oksidase sebagai antihiperurisemia. Gingerol dalam jahe merah (Zingiber officinale var
rubrum) sebagai antihiperurisemia dengan efek antiinflamasi. Penelitian bertujuan untuk mengetahui
efektifitas poliherbal ekstrak bawang merah (Allium ascalonicum L.) dan jahe merah (Zingiber officinale
var rubrum) pada tikus hiperurisemia. 25 ekor tikus jantan dibagi lima kelompok yaitu kontrol negatif,
kontrol positif, (P1) ekstrak jahe merah 25% : bawang merah 75%, (P2) ekstrak jahe merah 50% : bawang
merah 50%, (P3) ekstrak jahe merah 75% : bawang merah 25%. Induksi kalium oksonat 250 mg/kg BB
secara intraperitoneal pada hari ke-7. Pengukuran asam urat pada hari ke-14, 21 dan 28. Pada hari ke-
15 sampai ke-28 dilakukan pemberian herbal/obat kimia sesuai kelompok. Data dianalisis menggunakan
Anova Multifactorial Randomized Design, dilanjutkan Post Hoc dengan uji Least Significant Different. Hasil

142
Efektifitas Terapi Asam Urat dengan Poliherbal Ekstrak Bawang Merah ....

penelitian menunjukkan bahwa pemberian kalium oksonat, obat kimia dan kombinasi ekstrak herbal
berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap kadar asam urat kontrol negatif. Kesimpulan menunjukkan pemberian
poliherbal ekstrak bawang merah (Allium ascalonicum L.) dan jahe merah (Zingiber officinale var rubrum)
mengindikasikan sebagai antihiperurisemia. Dosis paling efektif adalah ekstrak jahe merah 450 mg/200 g dan
bawang merah 150 mg/200 g BB/hari selama 2 minggu pemberian.

Kata kunci : asam urat; bawang merah; hiperurisemia; jahe merah; tikus

Pendahuluan et al., 2010). Selain itu, ekstrak jahe yang kaya


akan gingerol dipercaya dapat menurunkan
Asam urat merupakan substansi hasil akhir
kadar asam urat darah dengan efek anti radang
metabolisme purin dalam tubuh. Berdasarkan
yang dimilikinya (Astuti, 2011).
penelitian bahwa 90% dari asam urat merupakan
Berdasarkan informasi mengenai uji
hasil katabolisme purin yang dibantu oleh enzim
aktivitas penurun asam urat pada ekstrak
guanase dan xantin oksidase (Shamley, 2005).
bawang merah (Allium ascalonicum L.) dan jahe
Asam urat ini dibawa ke ginjal melalui aliran
merah (Zingiber officinale var rubrum), maka
darah untuk dikeluarkan bersama urin, jika
memungkinkan dapat dilakukan kombinasi
terjadi gangguan eliminasi asam urat oleh ginjal
antara kedua ekstrak tanaman tersebut untuk
akibat menurunnya sekresi asam urat melalui
meningkatkan efektifitas terapi asam urat, serta
tubuli ginjal, maka akan terjadi peningkatan
mengakselerasi hilirisasi produk obat berbasis
kadar asam urat dalam darah, hal ini merupakan
herbal. Kombinasi ekstrak poliherbal memiliki
suatu kondisi yang disebut hiperurisemia
aktivitas farmakologi yang dapat bekerja sama
(Saputra, 2008). Hiperurisemia yang lanjut
untuk menghasilkan efek terapetik maksimal
dapat berkembang menjadi gout dan pirai,
dan efek samping lebih rendah dibandingkan
yaitu penyakit yang menyerang sendi (Stryer,
monoterapi (Atangwho et al., 2010). Kombinasi
2000). Hiperurisemia beresiko tinggi terhadap
herbal bawang merah dan jahe merah diharapkan
beberapa gangguan seperti penyakit atritis gout,
mampu meningkatkan efektifitas terapi dalam
batu ginjal, kerusakan ginjal, serta hipertensi.
menurunkan asam urat.
Penggunaan obat kimia (Allopurinol)
Penelitian bertujuan untuk mengetahui
dilaporkan dapat menyebabkan toksisitas hati
efektifitas poliherbal ekstrak bawang merah
dan nefrtitis intestinal (Katzung, 2007).
(Allium ascalonicum L.) dan jahe merah
Flavonoid merupakan senyawa bioaktif yang
(Zingiber officinale var rubrum) pada tikus
ada pada tumbuhan. Kemampuan flavonoid dalam
hiperurisemia.
menghambat aktivitas xanthine oxidase sangat
terkait dengan strukturnya (Rohyani, 2008).
Materi dan Metode
Bawang merah (Allium ascalonicum
L.) kaya akan flavonoid, dengan kandungan Hewan coba pada penelitian ini menggunakan
flavonoid dalam 1 kg kurang lebih 415-1917 25 ekor tikus (Rattus norvegicus) jantan umur 2-3
mg (Slimestad et al., 2007). Sebagian besar sifat bulan dan dipelihara selama 28 hari menggunakan
terapeutik flavonoid telah dianggap sebagai kandang individu. Penelitian ini dilakukan
antioksidan dan penghambat aktivitas enzim dibawah izin dan pedoman penelitian di Pusat
(Murota dan Terao, 2003). Xantin oksidase Antar Universitas, Universitas Gadjah Mada
adalah salah satu enzim yang paling penting dengan surat kelaikan etik oleh Komisi Etik
yang dihambat oleh beberapa flavonoid (Van Penelitian Fakultas Kedokteran Hewan UGM
Horn et al., 2002). nomor : 0020/EC-FKH/Eks./2020.
Jahe merupakan salah satu jenis tanaman
yang termasuk kedalam suku Zingiberaceae. Ekstraksi Rimpang Bawang Merah
Jahe merah (Zingiber officinale var rubrum) Ekstraksi dari umbi bawang merah (Allium
mengandung beberapa senyawa diantaranya cepa L.) dilakukan dengan metode maserasi.
alkaloid, flavonoid, terpenoid, dan fenolik (Bintari Sampel yang telah kering, ditimbang sebanyak

143
Fathur Rohman Haryadi, et. al.

300 g lalu dihaluskan menggunakan blender perlakuan, kontrol positif dengan pemberian
dengan pelarut etanol 70% sehingga terbentuk Allopurinol 3,6 mg/200g BB (Wilmana, 2005),
sari atau jus bawang. Jus bawang kemudian kelompok perlakuan 1 (P1) yang diberi ekstrak
dimaserasi kembali dengan etanol 70% selama kombinasi jahe merah 150mg/200g BB dan
1×24 jam sebanyak 3 kali. Hasil maserasi bawang merah 450mg/200g BB, kelompok
disaring dengan menggunakan corong Buchner. perlakuan 2 (P2) yang diberi ekstrak kombinasi
Ekstrak yang diperoleh kemudian diuapkan dan jahe merah 300mg/200g BB dan bawang merah
dipekatkan dengan rotary evaporator tekanan 300mg/200g BB), serta kelompok perlakuan
rendah pada suhu 65oC. Ekstrak hasil rotary 3 (P3) yang diberi ekstrak kombinasi jahe
evaporator dikeringkan dalam cawan menguap merah 450mg/200g BB dan bawang merah
diatas penangas air sampai didapat ekstrak 150mg/200g BB. Pemberian poliherbal ekstrak
kental. bawang merah dan jahe merah adalah 1,5 cc
tiap tikus yang diberikan secara oral dengam
Ekstraksi Rimpang Jahe Merah menggunakan sonde.
Rimpang jahe dicuci dengan air mengalir
hingga bersih. Rimpang kemudian diiris tipis Pengukuran Kadar Asam Urat
dengan ukuran 1-4 mm dan dikeringkan dengan Darah dikoleksi sebanyak 0.5-1 mL melalui
cara diletakkan di tempat terbuka. Rimpang yang vena ujung ekor (sedativa), serum dipisahkan dan
telah kering diserbukkan menggunakan mesin selanjutnya dianalisis kadar asam urat serumnya.
penggiling. Serbuk simplisia ditimbang sebanyak Kadar asam urat diukur dengan
150 gam kemudian didigesti dengan pelarut etanol menggunakan Urid Acid Toos. Pengukuran
96%. Serbuk dimasukkan dalam beaker glass kadar asam urat dilakukan sebanyak 3 kali, yaitu
kemudian direndam dengan pelarut etanol 96% 1 minggu setelah induksi kalium oksonat (untuk
dengan perbandingan 1:5. Campuran dipanaskan memastikan tikus dalam keadaan hiperurisemia), 1
dengan hot plate dengan suhu 35-45oC dan minggu setelah pemberian kombinasi herbal/obat
diaduk setiap 10 menit. Filtrat dikumpulkan dan kimia, dan 2 minggu setelah pemberian kombinasi
dimasukkan ke dalam rotary evaporator dengan herbal/obat kimia.
suhu 50 oC hingga ekstrak kental (Bintari dkk,
2010). Analisis Data

Induksi Asam Urat (Kalium oksonat) Data yang diperoleh dianalisis dengan
menggunakan Anova Multifactorial Randomized
Induksi asam urat dilakukan dengan Design, lalu dilanjutkan Post Hoc dengan uji
pemberian kalium oksonat 250 mg/kg BB Least Significant Different (LSD). Semua
secara intraperitoneal untuk kelompok kontrol perhitungan analisis statistik dilakukan dengan
positif, P1, P2, dan P3 (kelompok perlakuan) bantuan software personal komputer Statistical
(Saputri, 2011). Induksi dilakukan pada hari ke Product and Service Solution (SPSS) versi 21.0.
ke-7 (pasca adaptasi).

Pemberian Allopurinol Hasil dan Pembahasan


Dosis allopurinol untuk asam urat pada Hiperurisemia merupakan peningkatan kadar
manusia adalah 200 mg per hari (Wilmana, asam urat dalam darah (Berry C.E., et al, 2004).
2005). Konversi dosis manusia (70 kg) ke tikus Kondisi hiperurisemia pada penelitian ini dengan
putih (200 g) adalah 0,018. pemberian kalium oksonat 250 mg/kg BB
Jadi, dosis allopurinol pada tikus adalah 3,6 secara intraperitoneal untuk semua kelompok
mg/200g. perlakuan (Saputri, 2011). Induksi dilakukan
pada hari ke ke-7 (pasca adaptasi).
Perlakuan Hewan Coba Kadar normal asam urat darah pada tikus
Tikus jantan berjumlah 25 ekor dibagi adalah 1.2- 5.0 mg/dL (Rumondor dkk, 2019).
menjadi 5 kelompok, yaitu kontrol negatif tanpa

144
Efektifitas Terapi Asam Urat dengan Poliherbal Ekstrak Bawang Merah ....

Tabel 1. Kadar asam urat pasca induksi kalium oksonat dan herbal/obat

Kadar asam urat (mg/dL)


Minggu ke-1 Minggu ke-2 Minggu ke-3
Kelompok
(1 minggu setelah induksi kalium (1 minggu setelah pemberian (2 minggu setelah pemberian
oksonat) herbal/obat) herbal/obat)
Kontrol negatif 1.6340 ± 0.16273a 1.6880 ± 0.15156a 1.7620 ± 0.17297a
Kontrol positif 8.9840 ± 0.28439b 5.6460 ± 0.41198b 2.7160 ± 0.41819b
P1 8.9920 ± 0.30012b 6.3760 ± 0.19957c 5.6940 ± 0.27637c
P2 9.0940 ± 0.18876b 6.1940 ± 0.17700c 3.6160 ± 0.15405d
P3 9.0620 ± 0.25273b 6.1100 ± 0.14612c 2.6720 ± 0.23242b
a,b,c,d
Superscript yang berbeda menunjukkan perbedaan yang signifikan (p < 0,05).

Kontrol negatif (tanpa perlakuan), kontrol kelompok perlakuan. Semakin kecil nilai kadar
positif (diberikan Allopurinol), P1 = diberikan asam urat, maka semakin besar pula aktivitas
jahe merah 150 mg / 200 g & bawang merah 450 antihiperurisemianya. Pemberian Allopurinol
mg / 200 g, P2 = diberikan jahe merah 300 mg pada kelompok kontrol positif ternyata mampu
/ 200 g & bawang merah 300 mg / 200 g, P3 = menurunkan kadar asam urat. Menururt literatur,
diberikan jahe merah 450 mg / 200 g & bawang Allopurinol dapat menurunkan kadar asam
merah 150 mg / 200 g. urat dalam darah (Wulandari, Subandi dan
Pada Tabel 1 (kolom 1) didapatkan hasil Munthalib 2012) dengan mekanisme kerja
pengukuran kadar asam urat pertama (setelah 1 menginhibisi enzim xantin oksidase (Rodwell
minggu pemberian kalium oksonat) yaitu berbeda et al, 2003). Kombinasi herbal jahe merah dan
secara signifikan dengan (p < 0,05) pada kelompok bawang merah dengan berbagai dosis mampu
kontrol negatif terhadap kelompok kontrol positif menurunkan kadar asam urat pada kelompok P1,
dan kelompok P1, P2, P3 (perlakuan). Pada P2 dan P3. Namun, tidak berbeda secara signifikan
kelompok kontrol negatif tidak diinduksi kalium diantara kelompok tersebut. Faktor dosis yang
oksonat. Pemberian kalium oksonat menyebabkan berbeda tidak memberikan efek yang signifikan
tingginya kadar asam urat pada kelompok kontrol terhadap perbedaan penurunan kadar asam urat
positif, P1, P2, P3 (kondisi hiperurisemia) pasca 1 pasca 1 minggu pemberian herbal.
minggu induksi yang mencapai 8.9840-9.0940 mg/ Pada Tabel 1 (kolom 3) didapatkan hasil
dL. Kadar tersebut lebih tinggi jika dibandingkan pengukuran kadar asam urat ketiga (setelah 2
dengan kadar normalnya 1.2- 5.0 mg/dL (Rumondor minggu pemberian herbal/obat) dengan hasil
et al., 2019). Kalium oksonat merupakan inhibitor kadar asam urat pada kelompok kontrol positif
enzim urikase. Dalam kebanyakan mamalia terdapat dan kelompok perlakuan lebih kecil dibandingkan
enzim urikase yang berfungsi mengubah asam urat pengukuran yang kedua. Hal ini menunjukkan
menjadi alantoin yang lebih mudah larut dalam bahwa faktor lama waktu (interval pemberian)
air (Katzung et al., 2012). Dengan dihambatnya berpengaruh terhadap penurunan kadar asam
enzim urikase oleh kalium oksonat, asam urat akan urat. Secara statistik, terdapat perbedaan secara
tertumpuk dan tidak tereliminasi dalam bentuk urin signifikan dengan (p < 0,05) pada semua
(Katrin et al., 2009). kelompok, kecuali pada kelompok kontrol positif
Pada Tabel 1 (kolom 2) didapatkan hasil (diberi Allopurinol) dan P3 (jahe merah 450 mg
pengukuran kadar asam urat kedua (setelah 1 / 200 g & bawang merah 150 mg / 200 g) tidak
minggu pemberian herbal/obat) berbeda secara terjadi perbedaan secara signifikan (p>0,05).
signifikan dengan (p < 0,05) pada kelompok Secara statistik, aktivitas antihiperurisemia pada
kontrol negatif terhadap kelompok kontrol positif, kedua kelompok tersebut sebanding. Menurut
P1, P2 dan P3 serta kelompok kontrol positif literatur (Lallo dkk, 2018), Allopurinol 0,06% b/v
terhadap kelompok kontrol negatif, P1, P2 dan memberikan efek penurunan yang hampir sama
P3. Kelompok kontrol positif menunjukkan hasil dengan ekstrak etanol monoherbal jahe merah
kadar asam urat terkecil dibandingkan ketiga dengan konsentrasi 0,6% b/v.

145
Fathur Rohman Haryadi, et. al.

Tabel 2. Persentase penurunan kadar asam urat

Kadar asam urat awal (mg/dL), pasca Kadar asam urat akhir (mg/dL), pasca Persentase penurunan
Kelompok
1 minggu induksi kalium oksonat 2 minggu pemberian herbal/obat (%)
Kontrol positif 8.9840 ± 0.28439 2.7160 ± 0.41819 29,24
P1 8.9920 ± 0.30012 5.6940 ± 0.27637 15,39
P2 9.0940 ± 0.18876 3.6160 ± 0.15405 25,56
P3 9.0620 ± 0.25273 2.6720 ± 0.23242 29,81

Pemberian kombinasi ekstrak (P1) jahe merah tertinggi flavonoid (Yani, 2013). Senyawa lain
150 mg / 200 g dan bawang merah 450 mg / 200 yang diduga berperan dalam penghambatan
g BB/hari selama 2 minggu mampu menurunkan xantin oksidase pada kedua ekstrak tersebut
kadar asam urat sebesar 15,39 %. Persentase adalah flavonoid. Senyawa lain seperti alkaloid
penurunan diperoleh dengan menghitung selisih (Alsutanee et al., 2014), dan terpenoid (Lin et
rerata kadar asam urat awal (pasca 1 minggu al., 2010) dalam ekstrak tersebut juga diduga
induksi kalium oksonat) dengan rerata kadar asam ikut berperan dalam menurunkan kadar asam urat
urat akhir (pasca 2 minggu pemberian herbal), pada mencit hiperurisemia dengan menghambat
dibagi dengan seluruh selisih rerata kelompok kerja enzim xantin oksidase. Senyawa kimia yang
dan dikalikan 100%. Kemudian (P2) jahe merah memiliki kemampuan menghambat kerja xantin
300 mg / 200 g dan bawang merah 300 mg / 200 oksidase dapat dikatakan memiliki aktivitas
g mampu menurunkan kadar asam urat sebesar antihiperurisemia. Kombinasi kedua herbal
25,56%, dan (P3) jahe merah 450 mg / 200 g dan tersebut juga diketahui memiliki efek antiinflamasi
bawang merah 150 mg / 200 g mampu menurunkan sehingga dapat mengurangi radang yang terjadi
kadar asam urat sebesar 29,81%. Untuk kelompok akibat pengendapan asam urat pada sendi.
kontrol positif dengan pemberian Allopurinol Senyawa kimia yang memiliki efek antiinflamasi
3,6 mg/200g BB/hari selama 2 minggu mampu pada jahe adalah gingerol (6,8, dan 10)-gingerol
menurunkan kadar asam urat sebesar 29,24%. dan (6)-shogaol. Mekanisme kerjanya adalah
Pada kontrol negatif terjadi sedikit peningkatan menghambat sintesis prostaglandin melalui
pada akhir perhitungan, hal tersebut dimungkinkan penghambatan enzim siklooksigenase-2 (COX-2).
karena stres selama proses perlakuan. Stres dapat Prostaglandin merupakan mediator yang berperan
meningkatkan sistem metabolisme yang berakibat dalam proses terjadinya inflamasi (Kusumawati et
terhadap meningkatnya asam lambung dan kadar al., 2017). Persentase penurunan kadar asam urat
asam urat dalam darah (Ragab et al., 2017). Dari antara kelompok kontrol positif dengan P3 adalah
data tersebut, persentase penurunan kadar asam hampir sama. Diduga aktivitas antihiperurisemia
urat pada kontrol positif, P1, P2, dan P3 berturut- pada kedua kelompok tersebut sebanding. Menurut
turut adalah 29,24%, 15,39%, 25,56%, dan literatur (Lallo dkk, 2018), Allopurinol 0,06% b/v
29,81%. Sehingga, kombinasi ekstrak jahe merah memberikan efek penurunan yang hampir sama
dan bawang merah dapat direkomendasikan dengan ekstrak etanol monoherbal jahe merah
sebagai obat alternatif untuk menurunkan kadar dengan konsentrasi 0,6% b/v.
asam urat. Mekanisme antihiperurisemia dari
kombinasi kedua ekstrak tersebut diduga berkaitan Kesimpulan
dengan penghambatan kerja enzim xantin oksidase
sehingga dapat menurunkan produksi asam urat Pemberian poliherbal ekstrak bawang
berlebih. merah (Allium ascalonicum L.) dan jahe merah
Jahe merah (Zingiber officinale var rubrum) (Zingiber officinale var rubrum) mengindikasikan
mengandung beberapa senyawa diantaranya sebagai antihiperurisemia. Dosis paling efektif
alkaloid, flavonoid, terpenoid, dan fenolik adalah ekstrak jahe merah 450 mg/200 g dan
(Bintari et al., 2010), sedangkan bawang merah bawang merah 150 mg/200 g BB/hari selama 2
(Allium ascalonicum L.) memiliki kandungan minggu pemberian.

146
Efektifitas Terapi Asam Urat dengan Poliherbal Ekstrak Bawang Merah ....

Ucapan Terima Kasih Katzung, B.G., Masters, S.B. & Trevor, A.J.
(2012). Basic & Clinical Pharmacology, 12
Penelitian ini dibiayai oleh Direktorat
Ed. New York: McGaw-Hill.
Penelitian UGM Tahun Anggaran 2019-2020.
Kusumawati N, Anggarani MA, Setiarso P,
Muslim S. (2017). Product Standarization
Daftar Pustaka
of Ginger (Zingiber officinale Rosc.)
Alsutanee IR, Ewadh MJ, Mohammed MF. (2014). and Red Ginger (Zingiber officinale var
Novel Natural Anti Gout Medication Extract Rubrum) Simplicia Through Washing
from Momordica charantia. J Nat Sci Res. Time, Slice Thickness and Raw Materials
4(17): 16-23. Drying Process Optimization. International
Journal on Advanced Science, Engineering
Astuti A.D.W. (2011). Efektivitas Pemberian
and Information Technology. 7(1):15-21.
Ekstrak Jahe Merah (Zingiber officinale
roscoe varr Rubrum) dalam Mengurangi Lin, Huang, Lin, Hour, Ko, Yang, Pu. (2010).
Nyeri Otot pada Atlet Sepak Takraw Xanthine Oxidase Inhibitory Terpenoids
[Skripsi]. Semarang : Universitas of Amentotaxus formosana Protect
Diponegoro. Cisplatininduced Cell Death by Reducing
Reactive Oxygen Species (ROS) in Normal
Atangwho IJ, Ebong PE, Eyongm EU, Egbung Human Urothelial and Bladder Cancer
GE. (2010). Combined Extracts of Cells. Phytocemistry. 71: 2140-2146.
Vernonia amygdalina and Azadirachta
indica May Substitute Insulin Requirement Lallo Subehan, Muhammad Mirwan, Adrianti
in the Management of Type I Diabetes. Palino, Nursamsiar, Besse Hardianti.
Res J Med Sci. 19(1): 159-165. (2018). Aktifitas Ekstrak Jahe Merah dalam
Menurunkan Asam Urat pada Kelinci
Berry C.E., Hare J.M. (2004). Xanthine serta Isolasi dan Identifikasi Senyawa
Oxidoreductase and Cardiovascular Bioaktifnya. Jurnal Fitofarmaka Indonesia,
Disease: Molecular Mechanisms and Vol. 5 No.1.
Pathophysiological Implications. The
Murota, K. and J. Terao. (2003). Antioxidative
Journal of Physiology. 555 (Pt 3): 589-606.
Flavonoid Quercetin: Implication of its
doi:10.1113/jphysiol.2003.055913
Intestinal Absorption and Metabolism.
Bintari YS, Sudarsono, Yuswanto A. (2010). Arch. Biochem. Biophys., 417: 1217.
Pengaruh Pemberian Ekstrak Etanolik Ragab, G., Elshahaly, M., & Bardin, T. (2017).
Rimpang Jahe Merah terhadap Fagositosis Gout : An Old Disease in New Perspective
Makrofag pada Mencit Jantan yang – A review. Journal of Advanced Research,
Diinfeksi dengan Listeria monocytogenes. 8(5), 495–511. https://doi.org/10.1016/j.
Majalah Obat Tradisional. 15(2) : 80-88. jare.2017.04.008.
Katrin, B. Elya, J., Amin, M. & Permawati. (2009). Rodwell,W.V.,Murray, K.R., Ganner, K.D., and
Aktivitas Ekstrak Air Daun Gandarusa Mayes, A.P. (2003). Harper Illustrated
(Justicia gendarussa Burm.f) terhadap Biochemistry. McGaw Hill Companies
Penurunan Kadar Asam Urat Darah Mencit. United State of America.
Jurnal Bahan Alam Indonesia. 7: 1
Rohyami, Y. (2008). Penentuan Kandungan
Katzung, B.G. (2007). Obat Antiinflamasi Non Flavonoid dari Ekstrak Metanol Daging
Steroid; Obat Antireumatik Pemodifikasi Buah Mahkota Dewa (Phaleria macrocarpa
Penyakit, Analgesic Non Opioid, Obat yang Scheff Boerl). Jurnal Penelitian &
Digunakan pada Gout dalam Farmakologi Pengabdian dppm.uii.ac.id
Dasar dan Klinik. Edisi ke-10. Jakarta:
Rumondor Rolef, Muh. Rino Komalig,
Penerbit EGC.
Kamaluddin. (2019). Efek Pemberian

147
Fathur Rohman Haryadi, et. al.

Ekstrak Etanol Daun Leilem (Clerodendrum Van Hoorn, D.E.C., R.J. Nijveldt, P.A.M. Van
minahasae) terhadap Kadar Kreatinin, Leeuwen. (2002). Accurate Prediction of
Asam Urat dan Ureum pada Tikus Putih Xanthine oxidase Inhibition Based on the
(Rattus novergicus). BIOEDU, Vol. 4, No. Structure of Flavonoids. Eur. J. Pharmacol.,
3, (99-107). 451: 111-118.
Slimestad, Vossen T, Vagen IM. (2007). Onions: a Wilmana, P.F. (2005). Farmakologi dan Terapi.
Source of Unique Dietary Flavonoid. J Agic Edisi ke-4. Gaya Baru, Jakarta.
Food Chem. 55(25):10067-80. Wulandari S, Subandi, Muntholib. (2012). Inhibisi
Saputri AADA. (2011). Pengaruh Pemberian Xantin oksidase oleh Ekstrak Etanol
Kombinasi Ekstrak Air Tanaman Akar Kulit Melinjo (Gnetum gnemon) Relatif
Kucing (Acalypha indica Linn.) dengan terhadap Allopurinol. Jurnal Universitas
ekstrak etanol 70%Rimpang Jahe Merah Negeri Malang. Vol.1, No.1.
(Zingiber officinale Rosc.) terhadap Yani, Furin Fendra Indah. (2013). Pengaruh
Penurunan Kadar Asam Urat Tikus Putih Ekstrak Bawang Merah (Allium
Jantan. Jakarta: Universitas Indonesia. ascalonicum) terhadap Kadar Asam Urat
Shamley. D. (2005). Pathophysiology an Essential Mencit Putih sebagai Sumber Belajar
Text for the Allied Health Professions, Biologi SMA Kelas XI. [Skripsi]. Malang
Elsevier Limited, USA. : Universitas Muhammadiyah Malang
Progam Studi Pendidikan Biologi Jurusan
Stryer, Lubert. (2000). Biokimia Vol. 2 Edisi 4. Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Jakarta: Buku Kedokteran EGC. Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan.

148
Jurnal Sain Veteriner, Vol. 38. No. 2. Agustus 2020, Hal. 149-156
DOI: 10.22146/jsv.51360
ISSN 2443-1583 (Print), ISSN 2407-3733 (Online)
Tersedia online di https://jurnal.ugm.ac.id/jsv

Kajian Doking Molekul Flavonoid Ekstrak Coleus Amboinicus dan Penurunan Konsentrasi
Malondialdehid (MDA) pada Induksi Cisplatin Tikus Putih Wistar

Study of Docking Molecule Flavonoid Coleus Amboinicus in TGF-1β Receptor and Lowering MDA
Concentration on Cisplatin-Induce Wistar Rats
Rondius Solfaine1*, Lailatul Muniroh2, Wida Wahidah Mubarokah3

1
Laboratorium Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Wijaya Kusuma Surabaya, Surabaya
2
Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Airlangga, Surabaya
3
Politeknik Pembangunan Pertanian Yogyakarta Magelang, Tegalrejo, Magelang
*Email : rondius@uwks.ac.id

Naskah diterima: 27 April 2020, direvisi: 8 Juni 2020, disetujui: 30 Juli 2020

Abstract

The aims of this study were to evaluate molecular docking of flavonoid Coleus amboinicus (CA) extracts
in transforming growth factor-1β and lowering MDA concentration on cisplatin-induced in Wistar rat. Eighteen
male Wistar rats (Rattus norvegicus), 3 months of age with a body weight (BW) of 150-200 g, were allocated
into three groups, with six animals per group. The control group received aquadest (P0), the treatment group was
treated with single doses of cisplatin (5 mg/kg BW., ip) (P1) and received 100 mg/kg BW of the CA extracts
(P2) respectively for 7 days. Blood collected for analysis of serum alkaline phospatase (AP), Blood Nitrogen
Urea (BUN) and Malondialdehid (MDA) concentrations. The levels of Malondialdehid (MDA) concentrations
were analyzed by Avidin-Horseradish Peroxidase (HRP) Sandwich-ELISA. All groups were sacrificed for
histopathology. Coleus amboinicus extract significantly decreased the level of AP, BUN and MDA concentrations
compared to the control group (p<0.05). The level of MDA could be detected by its level significantly decreased
in CA treatment group (p<0.05). Coleus amboinicus (CA) extract has a flavonoid as a marker compound of CA
extract has stronger bind to the TGF-β1receptor ​​than its of 3WA_601 ligand in silico analyzed. In histopathological
examination showed that cisplatin-induced could alter severe multifocal hemorrhage, interstitial congestion, cell
inflammatory, acute glomerular and tubular injury with necrotic cells. Immunohistochemical staining labeled with
TGF-1β monoclonal antibodies (Mab) showed marked expression of brownish color aggregates on the surface
of tubular epithelial cells and around glomerular mesangial cells in the CA treatment group. This study was
concluded that CA extract is inhibited renal tissue injuries by lowering MDA and increasing TGF-1β expression
on cisplatin-induced rats. Flavonoid as marker of CA extract has stronger bind to TGF-1β receptor by in silico.

Keywords : Cisplatin; Coleus amboinicus extract; TGF-1β

Abstrak

Tujuan penelitian ini menganalisis doking molekul flavonoid ekstrak torbangun (Coleus amboinicus) pada
transformasi reseptor TGF-1β dan penurunan konsentrasi malondialdehid (MDA) pada induksi Cisplatin tikus
putih Wistar (Rattus norvegicus). Penelitian ini dengan menggunakan 18 ekor tikus putih galur Wistar yang
terbagi menjadi 3 kelompok; kontrol dengan akuades (P0), kelompok induksi cisplatin 5 mg /kg bb dengan CMC-
Na (P1) dan kelompok ekstrak torbangun 100 mg / kg bb secara peroral (P2) selama 7 hari. Pada hari ke-8 pasca
perlakuan, seluruh kelompok tikus dikorbankan untuk diambil sampel darah untuk mengukur kadar blood urea
nitrogen (BUN), alkalin phospatase dan MDA. Organ ginjal diambil untuk analisis histopatologi. Hasil penelitian
menunjukkan ekstrak Coleus amboinicus secara signifikan menurunkan konsentrasi BUN, Alkali phosphatase

149
Rondius Solfaine, et. al.

dan MDA dibandingkan dengan kelompok kontrol (p<0,05). Pemeriksaan histopatologi pada kelompok induksi
cisplatin menunjukkan terdapat kerusakan jaringan ginjal berupa perdarahan multifokal, infiltrasi interstisial,
adesi glomerulus dan nekrotik tubular. Dari pewarnaan imunohistokimia yang dilabel dengan antibodi monoclonal
TGF-1β menunjukkan ekspresi ditandai agregat warna kecoklatan pada permukaan sel epithel tubulus dan sekitar
sel mesangial glomerulus pada kelompok perlakuan. Penelitian ini menyimpulkan bahwa ekstrak torbangun
terbukti menghambat kerusakan ginjal dengan menurunkan konsentasi MDA dan meningkatkan ekspresi TGF-
1β pada tikus putih yang diinduksi cisplatin. Flavonoid sebagai senyawa marker mempunyai ikatan yang lebih
kuat pada reseptor TGF-1β secara in silico.

Kata kunci : Cisplatin; Ekstrak Coleus amboinicus; TGF-1β

Pendahuluan bagi sebagian masyarakat di Afrika, Asia,


Australia dan Amerika Selatan. (Chiu et al., 2011;
Cisplatin merupakan obat yang digunakan
Rice et al., 2011). Tanaman torbangun sejak lama
untuk terapi berbagai jenis kanker, termasuk
digunakan masyarakat sebagai jamu tradisional
sarkoma dan karsinoma. Cisplatin sebagai
untuk pengobatan berbagai penyakit seperti panas,
obat kemoterapi yang banyak digunakan
batuk, bronkitis, radang tenggorokan, diare dan
diketahui mempunyai efek samping pada ginjal.
disentri (Bhave and Dasgupta, 2018). Tanaman
Cisplatin dapat mengakibatkan gagal ginjal
torbangun memiliki kandungan senyawa aktif
akut, hipomagnesium, nekrosis tubuler akut
antara lain 3 metil 4 isopropyl phenol, squalene,
dengan peningkatan Tumor Necrosis Factor-
cariophyline, phytol (Uma et al., 2011), alkaloid,
Alfa (TNF-α) dan Superokside Anion (O2-)
glycosid, flavonoid, quinon, tannin, phenol, dan
(Bayomi et al., 2013). Mekanisme kerusakan
terpenoid (Soni and Singhai, 2015; Pillai et al.,
gagal ginjal akut yang disebabkan cisplatin adalah
2011; Patel et al., 2010).
penghambatan sintesis protein, kerusakan DNA,
cedera mitokondria dan apoptosis pada tubulus
ginjal. Cisplatin mengurangi aktivitas nitric oxide, Materi dan Metode
monosit chemoattractant protein-1 dan faktor Penelitian ini menggunakan tikus putih
pertumbuhan jaringan serta meningkatkan tumor Wistar dan dilakukan di Laboratorium Hewan
necrosis factor-α, radikal bebas (ROS) sehingga Coba Fakultas Kedokteran, Laboratorium
menyebabkan cedera ginjal dan peradangan Patologi Klinik Rumah Sakit Khusus Infeksi
(Gozeler et al., 2019; Roncal et al., 2007). Cisplatin dan Laboratorium Kimia Medisinal Universitas
dalam sel akan berinteraksi dengan protein dan Airlangga, Surabaya.
komponen seluler mikrofilamen, sitoskleton, Hewan uji yang digunakan adalah tikus putih
peptida, RNA, dan Glutathione (GSH). Adanya (Rattus norvegicus) jantan galur Wistar sebanyak
konjugasi cisplatin dengan glutathione (GSH) 18 ekor dengan kisaran umur 2– 3 bulan dan
menghasilkan tiol reaktif yang merupakan radikal berat badan 150 – 200 gram, yang diperoleh dari
bebas. Tiol reaktif menyebabkan menurunnya laboratorium hewan coba Departemen Biokimia,
produksi vascular endothelial growth factor Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga.
(VEGF) sehingga penestrasi sel endotel glomerulus Sebelum digunakan untuk percobaan, 18 ekor
terganggu. Tiol reaktif juga memicu kematian sel tikus diadaptasikan selama 7 hari, secara klinis
tubulus proksimal akibat stress oksidatif sehingga terlihat sehat dan tidak menunjukkan gejala sakit.
diperlukan antioksidan untuk menanggulanginya Kelompok tikus dibagi menjadi 3; Kelompok
(Perazella and Moeckel, 2010) kontrol (P0) dengan akuades, kelompok
Tanaman torbangun (Coleus amboinicus) induksi cisplatin (Sigma-Aldrich, St. Louis,
dikenal masyarakat sebagai tanaman bangun- Missouri, USA) dosis 5 mg/kg bb dan diberikan
bangun atau torbangun adalah tanaman yang suspensi CMC-Na 0.25% (P1) dan kelompok
tersebar luas dan telah dikonsumsi harian untuk perlakuan ekstrak daun torbangun dosis 100 mg
pengobatan dan makanan tambahan (suplemen) / kg bb secara peroral selama 7 hari (P2). Induksi

150
Kajian Doking Molekul Flavonoid Ekstrak Coleus Amboinicus .....

cisplatin dengan dosis tunggal 5 mg/kg bb secara menghitung energi ikatan atau interaksi reseptor
intraperitoneal pada kelompok P1 dan P2. Pada dengan ligan tersebut, semakin kecil energi yang
hari ke-8 seluruh kelompok tikus dikorbankan dan diperlukan maka mempunyai ikatan yang kuat dan
diambil sampel organ ginjal dan difiksasi dengan stabil.
buffer neutral formalin 10 % untuk pembuatan
preparat histopatologi dan imunohistokimia. Pembuatan struktur 2 dimensi dan 3 dimensi
Sampel darah untuk mengukur kadar BUN dan Pembuatan struktur 2 dimensi (2-D) dari
AP dengan metode kolorimetri. Pengukuran ligan 4-amino-8H-pyrido[2,3-d] pyrimidin-5-one
aktivitas MDA dengan menggunakan sampel dan flavonoid dilakukan dengan menggunakan
serum darah yang disentrifus dengan kecepatan program ChemBioOffice Ultra 12.0. Struktur 2-D
1000 g selama 15 menit kemudian dimasukkan ke dari ligan flavonoid kemudian diubah menjadi
tube steril dan disimpan dalam freezer -20 ˚C. Kit bentuk 3 dimensi (3-D) dengan menggunakan
Elisa yang digunakan adalah kit Elisa komersial program ChemBio3D 12.0. Program ini untuk
Malonilaldehide Assay kit. Pengukuran aktivitas mengatur bentuk yang paling stabil dari senyawa
MDA secara tidak langsung dengan pasangan dengan cara meminimalkan energi. Setelah energi
reaksi enzimatis yang dapat dibaca nilai Optical struktur senyawa diminimalkan dengan metode
Density (OD). Prinsip kerja pengukuran Elisa MMFF94, disimpan dalam bentuk file SYBYL.
ini dengan cara serum diinkubasikan berturut- mol2, agar terbaca oleh program Molegro Virtual
turut dengan reagen antibodi spesifik yang diikat Docker 5.5 dan digunakan untuk proses doking.
dengan Avidin-Horseradish Peroxidase (HRP) Parameter yang diukur dalam proses doking adalah
dan diinkubasikan dengan substrat, kemudian nilai energi yang terlibat yaitu MolDock Score.
tanpa membuang reaktan hasil inkubasi tersebut Makin rendah nilai energi doking yang didapat,
dibaca nilai Optical Density (OD) pada panjang makin stabil kekuatan ikatan obat-reseptor, dan hal
gelombang 450 nm (RIELE GmbH & Co, ini dapat digunakan untuk memprediksi aktivitas
Germany). Ekspresi TGF-1β ginjal diidentifikasi suatu senyawa (Siswandono, 2014).
dengan indirect immunoperoxidase antibodi
monoklonal dan antibodi sekunder anti-peroxidase Analisis Data
dan pewarnaan subtrat diamino-benzidine dengan Penelitian ini menggunakan rancangan
kit imunohistokimia (BD, Pharmingen) dan di Randomized Posttest Control Group Design.
labelled streptavidin-biotin (LSAB) dari Star Trek Analisis data parametrik antara kelompok
Universal HRP Detection (Biozantix). perlakuan dan kontrol, jika data berdistribusi
normal dan varians homogen dilakukan
Analisis in silico menggunakan One Way ANOVA dan dilanjutkan
Analisis secara in silico digunakan untuk dengan Post Hoc Test Duncan Multiple Range
memprediksi potensi aktivitas, senyawa flavonoid Test. Data histopatologi non parametrik dianalisis
yang terdapat dalam daun tanaman torbangun dengan menggunakan metode Kruskal Wallis Test
dan digunakan sebagai senyawa marker, terhadap untuk menentukan perbedaan pada kelompok
reseptor TGF-b1 (transforming growth factor β kontrol dan perlakuan, dan dilanjutkan dengan
receptor type 1). Program analisis yang digunakan uji Mann Whitney Test untuk mengetahui beda
adalah Molegro Virtual Docker 5,5. Peralatan yang bermakna antar kelompok.
digunakan antara lain Program ChemBioOffice
Ultra 12.0 (CambrigdeSoft Co.) untuk membuat Hasil dan Pembahasan
struktur 2 dimensi, Program ChemBio3D 12.0 Berdasarkan hasil penelitian tikus yang
(CambrigdeSoft Co.) untuk membuat struktur 3 diberikan induksi cisplatin tingkat rata-rata blood
dimensi dan Program Molegro Virtual Docker 5.5 urea nitrogen (BUN) pada tikus kontrol berkisar
(CLC Bio) untuk doking dan analisis asam amino. antara 42.31 mg/dL masih dalam batas normal
Prinsip analisis ini dengan cara mengikatkan (10-58 mg / dL) menurut Mitruka dan Rawnsley
struktur molekul 3 dimensi sebagai ligan (1981). Kelompok perlakuan P2 mempunyai kadar
pada gugus OH reseptor yang ditargetkan dan blood urea nitrogen (BUN) 44.19 mg/dL yang tidak

151
Rondius Solfaine, et. al.

meningkat secara nyata, sementara pada kelompok kerusakan jaringan dengan perubahan vakuolisasi,
P1 mempunyai kadar BUN 41.05 mg/dL yang inflamasi dan jaringan nekrotik pada tubulus ginjal
menunjukkan penu­runan tidak signifikan dibanding dan glomerulus. Skoring perubahan histopatologi
kontrol. Gangguan pada ginjal yang diinduksi menggunakan perhitungan persentase tingkat
cisplatin dapat diamati dari tingkat konsentrasi kerusakan pada jaringan yang diamati dalam
alkalin pospatase (AP). Pada kelompok P1 dan P2 beberapa lapang pandang dengan perbesaran 400
hasil uji kimia darah menunjukkan peningkatan x (Klopfleisch, 2013) (Gambar. 1). Berdasarkan
kadar ALP sebesar 659.16 U/I dan 364.83 U/I. pemeriksan skoring histopatologi diperoleh hasil
Pada kelompok P2 dengan diberikan ekstrak 100 pada Tabel 2.
mg/kg bb secara signifikan menurunkan kadar ALP
jika dibandingkan dengan kelompok P1 (p≤0,05). Tabel 2. Hasil skor degenerasi, nekrosis dan infiltrasi sel
Hasil pemeriksan kadar BUN, Alkalin Phospatase histopatologi ginjal tikus putih dengan induksi ciplatin
dan pemberian ekstrak torbangun.
dan MDA serum darah diperoleh hasil pada
Tabel 1. Kelompok Degenerasi Nekrosis infiltrasi sel
P0 akuades (n=6) 0.50 ±0.54
a
0.00 ±.00
a
0.33a±0.51
Tabel 1. Perbandingan kadar BUN, Alkalin Phospatase dan MDA
pada berbagai kelompok perlakuan. P1 CMC-Na (n=6) 3.33 ±0.51
b
8.33 ±2.58
b
1.83b±1.32
P2 ekstrak CA (n=6) 2.50c±1.22 3.00c±1.67 0.66a±0.51
Alkalin Phos­
BUN MDA Keterangan: superskrip yang berbeda pada kolom yang sama
Kelompok patase (ALP)
(mg/dl) (mg/dl) menunjukkan perbedaan yang signifikan p≤ 0.05.
(U/I)
Skor 0; tidak ada kerusakan jaringan, skor 1; terdapat
P0 (n=6) 42.31a±5.02 228.33a±84.26 133.56a±7.910
kerusakan jaringan 1-25 %, skor 3; terdapat kerusakan
P1 (n=6) 41.05a±3.27 659.16b±25.77 208.66b±46.99 jaringan 26-50 %, skor 5; terdapat kerusakan jaringan
P2 (n=6) 44.19a±7.65 364.83c±93.13 143.96c±6.15 51-75 %, skor 7; terdapat kerusakan jaringan 76-100 %
dari seluruh lapang pandang.
Keterangan: superskrip yang berbeda pada kolom yang sama
menunjukkan perbedaan yang signifikan p≤ 0.05
Dari data skoring lesi histopatologi pada
Berdasarkan hasil perhitungan statistik ginjal dan hepar dengan perwarnaan HE dengan uji
konsentrasi konsentrasi malondialdehide (MDA) Kruskal Wallis menunjukkan bahwa ada perbedaan
dan Alkalin Phospatase yang diuji normalitas dan secara signifikan (p<0.05) antara kelompok
homogenitas Shapiro-wilk dan Levene diketahui kontrol dan perlakuan. Selanjutnya dengan
P>0.05 dilanjutkan dengan uji one way Anova dari uji Mann Whitney diketahui ada perbedaan
bahwa ada beda nyata secara signifikan (p≤ 0.05) yang bermakna (p≤0.05) antar kelompok P0, P1
pada taraf kepercayaan 95% antara kelompok dengan P2. Pada kelompok P1 mempunyai skor
kontrol dan perlakuan, dilanjutkan dengan post degenerasi 3.33, skor nekrosis 8.33 dan skor
hoc test Duncan didapatkan hasil perbedaan yang infiltrasi sel 1.83 yang mengindikasikan adanya
nyata pada kelompok P0 dengan P1 dan P2 dan tingkat kerusakan jaringan ginjal, diikuti pada
beda nyata kelompok P1dengan P2, sementara kelompok P2 mempunyai skor degenerasi 2.50,
konsentrasi BUN tidak berbeda nyata (p≥0.05). skor nekrosis 3.0 dan skor infiltrasi sel 0.66 yang
Hasil induksi dengan pemberian cisplatin menunjukkan kerusakan jaringan ginjal yang lebih
pada kelompok perlakuan P1 dan P2 menunjukkan ringan dibanding kelompok P1 (induksi).
seluruh kelompok perlakuan mengalami gangguan Sementara itu hasil pewarnaan imunokimia
fungsi ginjal yang ditandai kenaikan kadar BUN jaringan ginjal yang dilabel dengan antibodi
dan Alkalin phospatase. Menurut Mazzali et al., monokloanal terhadap TGF-1β menunjukkan
(2001), nefropati ditandai dengan tingkat blood adanya peningkatan ekpresi TGF-1β yang ditandai
urea nitrogen (BUN) yang tinggi karena adanya agregat warna kecoklatan pada permukaan epitel
hipovolemia dan dehidrasi pada tubulus ginjal tubulus dan sekitar sel mesangial pada glomerulus
(Kang and Ha., 2014; Shimada, 2009; Kensara, pada kelompok perlakuan P1 dan P2. Intesitas
2013; Roncal et al., 2007). dan distribusi ekspresinya paling tinggi pada
Perubahan histopatologi menunjukkan kelompok dengan ekstrak CA (Gambar 1.)
penurunan fungsi ginjal dibuktikan dengan

152
Kajian Doking Molekul Flavonoid Ekstrak Coleus Amboinicus .....

Gambar 1. Histopatologi dan imunokimia jaringan ginjal dengan induksi cisplatin dan pemberian ekstrak
tanaman torbangun. Histopatologi kelompok kontrol menunjukkan struktur sel glomerulus dan
tubulus yang normal (a.d.g,; HE/PAS/Malori, 40x). Histopatologi kelompok P1 menunjukkan lesi
nekrosis di area tubulus convulotus proximal dan penebalan pada membran basalis tubulus contortus
maupun membran glomerulus (b.e.h; HE/PAS/Malori, 40x). Histopatologi kelompok P2 terdapat lesi
degenerasi vakuoler (c.f.i; HE/PAS/Malori, 40x). Imunohistokimia ginjal pada kelompok control
(j), imunokimia ekspresi agregat coklat pada interstitial dan tubulus ginjal yang dilabel antibody
monoclonal TGF-1β terlihat tipis dan menyebar pada kelompok CMC-Na (k) imunoreaksi berupa
agregat coklat lebih tebal dan luas pada kelompok dengan ekstrak CA (l) (IHK, 40x).

Berdasarkan hasil perhitungan doking dengan Tabel 3. Rerata nilai Moldock score (MDS) ligan yang mengikat
program komputer Molegro Virtual Docker antara reseptor TGF-β1 (kcal/mol)
ligan dan reseptor TGF-β1, terlihat bahwa nilai Ligand MDS 1 MDS 2 MDS 3 Mean±SD
rerata Moldock score ligan 3WA_601 adalah -69,29 3WA_601 -73.00 -72.42 -72.02 -69.29 ± 0,35
± 0,3574, sedang senyawa pembanding flavonoid Flavonoid -121.54 --120.71 -115.85 -119.36 ± 0,64
adalah -119,36 ± 0,6462 (Tabel 3). Nilai moldock
score yang lebih rendah mempunyai makna mengikat 2 asam amino, sedang flavonoid dapat
bahwa energi yang diperlukan untuk membentuk mengikat 4 asam amino (Gambar 2).
ikatan antara reseptor dan ligan lebih rendah, yang Hasil penelitian menunjukkan bahwa
berarti ikatan yang terbentuk lebih stabil, dan hal induksi cisplatin 5 mg/kg bb dan pemberian
ini dapat untuk memprediksi aktivitas senyawa. ekstrak daun torbangun (Coleus amboinicus)
Dari hasil analisis ikatan hidrogen dan asam- 100 mg/kgBB yang diberikan pada tikus putih
asam amino yang terlibat pada proses interaksi (Rattus norvegicus) menyebabkan perubahan
ligan-reseptor didapatkan bahwa ligan 3WA_601 pada gambaran histopatologi ginjal. Tanaman

153
Rondius Solfaine, et. al.

Gambar 2. Struktur 3 dimensi molekul ligan 3wa_601 (a) dan flavonoid (b). struktur 2 dimensi molekul ligan
3wa_601 yang mengikat 2 asam amino asp 281 dan his 283 (c), dan struktur 2 dimensi ligan flavonoid
yang mengikat 4 asam amino asp 281, his 283, gly 261, dan ser 280 (d). struktur 3 dimensi asam-asam
amino pada reseptor tgf-1 yang diikat oleh ligan 3wa_601 (e) dan ligan flavonoid (f).

torbangun diketahui mempunyai kandungan profibrogenik secara independen melalui


senyawa flavonoid kuersetin sebanyak 26.6 mg/g aktivasi reseptor EGF dan aktivasi angiotensin
dalam ekstraknya (Bhatt et al., 2013). Ditemukan II, endothelin 1 dan kondisi stress oksidatif
adanya degenerasi, nekrosis dan glomerular dalam proses fibrogenesis ginjal. Peningkatan
infiltration pada kelompok yang diberikan ekspresi TGF-1β mengindikasikan terjadi proses
induksi cisplatin dan adanya penurunan jumlah fibrosis pada glomerulus dan tubulus ginjal oleh
degenerasi, nekrosis, glomerular infiltration induksi ciplatin merupakan salah satu penyebab
yang diberikan ekstrak daun torbangun. Peran kegagalan ginjal (Liu et al., 2015). Pada jaringan
transforming growth factor-1β (TGF-1β) secara yang mengalami degenerasi dengan ciri sel
molekuler sangat penting untuk perbaikan sel. membengkak dan vakuola jelas dalam sitoplasma.
Namun proses perbaikan yang perantarai proses Nekrosis merupakan kematian sel jaringan
fibrosis tidak semua menguntungkan bagi secara mikroskopik terjadi perubahan intinya
jaringan. Menurut Lee (2013), ekspresi TGF-β1 menjadi keriput, lebih padat, warnanya gelap
dalam sel tubular mempunyai peranan dalam hitam (piknosis), terfragmen-fragmen, dan pecah
fibrosis tubulointerstitial dan berperan dalam (karioreksis), dan pecah (kariolisis). Pada kondisi
mengatur proliferasi sel mesangial dan sekresi keradangan pada glomerulus secara mikrokopis
matrik ekstraseluler pada nefropati-diabetik. ditemukan adanya sel radang pada glomerulus
Ekspresi TGF-β1 secara in vivo mempengaruhi ginjal (Ravindra et al., 2010).
ekspresi gen kolagen dan sintesis matriks Pada kelompok perlakuan dengan ekstrak
ekstraselular mesangial (ECM) di mesangium mempunyai kadar MDA lebih rendah dan
glomerulus. Akumulasi ECM dapat menyebabkan ada perbedaan yang nyata dengan level MDA
fibrosis tubulointerstitial, penebalan membran pada kelompok kontrol dan kelompok yang
basal glomerulus dan glomerular sclerosis (Xie et diinduksi cisplatin. Level MDA yang tinggi
al., 2015). Ekspresi TGF-β1 dapat menginduksi mengindikasikan adanya radikal bebas yang

154
Kajian Doking Molekul Flavonoid Ekstrak Coleus Amboinicus .....

terjadi pada kerusakan ginjal akut dengan cara Daftar Pustaka


peroksidasi asam lemak. Peningkatan MDA juga
Bayomi, H.S., Elsherbiny, N.M., El-Gayar, A.M.
berarti peningkatan peroksidasi lipid yang dapat
and Al-Gayyar, M.M.H. (2013). Evaluation
menjadi indikasi penurunan jumlah antioksidan
of Renal Protective Effects of Inhibiting
dalam tubuh, baik antioksidan enzimatik maupun
TGF-β Type I Receptor in a Cisplatin-
antioksidan non-enzimatik. Lipid yang teroksidasi
Induced Nephrotoxicity Model. European
dapat memproduksi MDA sebagai produk
Cytokine Network. 24 (4): 139-147.
sampingan. Mekanisme pembentukan MDA
tersebut melibatkan pembentukan prostaglandin, Bhave, A. and Dasgupta, S. (2018). Effect of
endoperoksida sehingga peningkatan MDA pada Cooking on Total Phenol, Total Flavonoids
serum, plasma, dan berbagai jaringan terjadi pada and DPPH Free Radical Scavenging
induksi cisplatin (Gozeler et al., 2019). Potential of Plectranthus amboinicus.
Pada penelitian in silico didapatkan bahwa Journal of Medicinal Plants Studies. 6(3):
dari hasil perhitungan Moldocking Score (MDA) 82–4.
dengan program komputer Molegro Virtual Bhatt, P., Gilbert, S.J., Pradeep, S.N. and Mandyam,
Docker antara ligan dan reseptor TGF-β1 terlihat C.V. (2013). Chemical Composition and
bahwa nilai MDA flavonoid adalah -191,36 dan Nutraceutical Potential of Indian Borage
nilai ini lebih rendah dibanding nilai MDA ligan (Plectranthus amboinicus) Stem Extract,
3WA_601 (-69,29). Nilai MDA yang lebih rendah Journal of Chemistry. 2013: 1–7.
mempunyai makna bahwa energi yang diperlukan Chiu, Y.J., Huang, T.H., Chiu, C.S., Lu, T.C.,
untuk membentuk ikatan antara reseptor dan ligan Chen, Y.W., Peng, W.H. and Chen, C.Y.
lebih rendah, yang berarti ikatan yang terbentuk (2011). Analgesic and Antiinflammatory
lebih stabil, sehingga dapat diprediksi bahwa Activities of the Aqueous Extract from
flavonoid mempunyai aktivitas ikatan terhadap Plectranthus amboinicus (Lour.) Spreng.
reseptor TGF-β1 lebih besar dibanding ligan Both In Vitro and In Vivo. Evidence-Based
3WA_601. Hal ini ditunjang oleh ikatan hidrogen Complementary and Alternative Medicine.
dan asam-asam amino yang terlibat pada proses 2012: 1-11.
interaksi ligan-reseptor, yaitu ligan 3WA_601 Gozeler, M.S., Fazile, N.E.A., Serkan, Y.,
hanya mengikat asam amino Asp 281 dan His 283, Abdulkadir, S., Gizem, E. and Seda,
sedang flavonoid dapat mengikat asam amino Asp A. (2019). Levosimendan Ameliorates
281, His 283, Gly 261, dan Ser 280. Cisplatin-Induced Ototoxicity: Rat
Model. International Journal of Pediatric
Kesimpulan Otorhinolaryngology. 122: 70-75.
Pemberian ekstrak torbangun terbukti Kang, D. and Ha, S. (2014). Uric Acid Puzzle:
menghambat kerusakan ginjal dengan menurunkan Dual Role as Anti-oxidantand. Electrolyte
konsentasi MDA dan meningkatkan ekspresi TGF-1β Blood Press. 5997(12):1–6.
pada tikus putih yang diinduksi cisplatin. Pada doking Kensara, O.A. (2013). Protective Effect of Vitamin
molekul senyawa flavonoid sebagai senyawa marker C Supplementation on Oxonate-Induced
mempunyai ikatan yang lebih kuat pada reseptor TGF- Hyperuricemia and Renal Injury in Rats. Int
1β secara in silico. J Nutr Metab. 5(6):61–6.
Klopfleisch R. (2013). Multiparametric and
Ucapan Terima kasih Semiquantitative Scoring Systems
Terimakasih penulis sampaikan kepada for The Evaluation of Mouse Model
Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat Histopathology-A Systematic Review. BMC
Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Veterinary Research. 9(1):123-128.
Tinggi dengan Surat Keputusan No. 15/LPPM/ Lee, H.S. (2013). Pathogenic Role of TGF- β in
UWKS/III/2018 yang telah memberikan dana Diabetic Nephropathy. Journal of Diabetes
hibah penelitian kerjasama perguruan tinggi. and Metabolism. 2013;9.

155
Rondius Solfaine, et. al.

Liu, N., Wang, L., Yang, T., Xiong, C., Xu, L. and Rice, L.J., Brits, G.J., Potgieter, C.J. and Staden,
Shi, Y. (2015). EGF Receptor Inhibition J.V. (2011). Plectranthus: A Plant for The
Alleviates Hyperuricemic Nephropathy. Future?. South African Journal of Botany.
Journal of American Society of Nephrology. 77(4): 947–59.
26:1–14. Roncal, C.A., Mu, W., Croker, B., Reungjui, S.,
Mazzali, M., Hughes, J., Kim, Y., Jefferson, J.A., Ouyang, X., Tabah-Fisch I, Johnson, R.J.,
Kang, D. and Gordon, K.L. (2001). Elevated and Ejaz A.A. (2007). Effect of Elevated
Uric Acid Increases Blood Pressure in Serum Uric Acid on Cisplatin-Induced
the Rat by a Novel Crystal-Independent Acute Renal Failure. American Journal of
Mechanism. Hypertension. 38:1101–6. Physiology Renal Physiology. 224: 116–22.
Mitruka, J. and Rawnsley, H. M. (1981). Animal Siswandono. (2014). Pengembangan Obat Baru,
for Medical Research. New York. Cetakan I. Airlangga University Press,. LP3
Patel, R., Naveen, M., Naheed, W., Nitin, Universitas Airlangga.
U. and Sudarshan, S. (2010) . Phyto- Shimada, M., Johnson, R.J., May, W.S.,
physicochemical Investigation of Leaves Lingegowda, V., Sood, P. and Nakagawa, T.
of Plectranthus amboinicus (Lour) spreng. (2009). A Novel Role for Uric Acid in Acute
Pharmacognosy Journal. 2(13): 536-42. Kidney Injury Associated with Tumor
Perazella, M.A. and Moeckel, G.W. (2010). Lysis Syndrome. Nephrology Dialysis
Nephrotoxicity from Chemotherapeutic Transplantation. 24(7): 2960–4.
Agents: Clinical Manifestation, Soni, H. and Singhai, A.K. (2015). Recent Updates
Pathobiology, and Prevention/Therapy. on The Genus Coleus: A Review. Asian
Seminars in Nephrology. 30(6): 570-581. Journal of Pharmaceutical and Clinical
Research. 5(1): 12–7.
Pillai, P.G., Suresh, P., Aggarwal, G., Doshi, G.
and Bhatia, V. (2011). Pharmacognostical Uma M, Jothinayaki, S., Kumaravel S and
Standardization and Toxicity Profile of The Kalaiselvi P. (2011). Determination of
Methanolic Leaf Extract of Plectranthus Bioactive Components of Plectrantus
amboinicus (Lour) Spreng. Journal of amboinicus Lour by GC-MS Analysis. New
Applied Pharmaceutical Science. 1(02): York Science Journal. 4(8): 66–9.
75–81. Xie, S., Lu, K., Zhang, Y., Song, X., Tan, M.
Ravindra, P., Bhiwgade, D.A., Kulkarni, S., and Wang, C. (2015). Effects of Jiangya
Rataboli, P.V. and Dhume, C.Y. (2010). Xiaoke Prescription on TGF-β 1 in Diabetic
Cisplatin Induced Histological Changes in Nephropathy Rats with Hypertension and
Renal Tissue of Rat. Sciences L. 4(7): 108– Its mechanisms. International Journal of
11. Clinical Medicine. 8(4): 5129–36.

156
Jurnal Sain Veteriner, Vol. 38. No. 2. Agustus 2020, Hal. 157-165
DOI: 10.22146/jsv.84894
ISSN 2443-1583 (Print), ISSN 2407-3733 (Online)
Tersedia online di https://jurnal.ugm.ac.id/jsv

Karakter Morfologi Rambut Kelompok Cervidae Indonesia

Morphological Character of Indonesian Cervidae’s Hairs


Ni Luh Putu Rischa Phadmacanty1*, Zulkurnia Irsaf2, Gono Semiadi1

1
Pusat Penelitian Biologi, Bidang Zoologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Cibinong Fakultas MIPA,
Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Tadulako,
Palu, Sulawesi Tengah
Email: rischa.phadmacanty@gmail.com

Naskah diterima: 9 Juli 2019, direvisi: 22 Agustus 2019, disetujui: 24 Maret 2020

Abstract

Identification through animal hair characters has a significant role in forensic work, given the high level of
animal trade in Indonesia, one of which is the deer family (Cervidae). Native to Indonesia, there are Rusa timorensis
(Javan deer), Rusa unicolor (Sambar deer), Muntiacus muntjak (Barking deer) and Axis kuhlii (Rusa Bawean).
Until now, no information on the morphological characters of Indonesian cervidae’s hairs was studied. In this
study, we used 30 shaft/individual/species from Javan deer (8 individuals), Sambar deer (5 individuals), Barking
deer (5 individuals) and Bawean deer (5 individuals) from Museum Zoologicum Bogoriense (MZB) and field
collections. Hairs were analyzed macroscopically and microscopically, with several parameters of morphology,
cuticular structure, medulla, cross-section, and medullary index. The result showed that the distinctive characters
of this family were the filled lattice medulla structure, and each species has a specific character that can be used
for species identification.

Key words: Cervidae; deer; hairs; macroscopic; miroscopic; structure

Abstrak

Identifikasi karakter rambut satwa memegang peran penting dalam kegiatan forensik mengingat tingginya
tingkat perdagangan satwa di Indonesia, salah satunya adalah kerabat rusa (Cervidae). Indonesia memiliki empat
jenis rusa, yaitu Rusa timorensis (rusa jawa), Rusa unicolor (rusa sambar), Muntiacus muntjak (muncak) dan
Axis kuhlii (rusa bawean). Hingga saat ini gambaran morfologi rambut rusa Indonesia belum ada. Untuk itu perlu
dibangun basis data untuk menunjang kegiatan forensik keluarga Cervidae. Dalam penelitian ini digunakan 30
helai/individu/spesies dari empat spesies rusa meliputi rusa jawa (8 individu), rusa sambar (5 individu), muncak
(5 individu) dan rusa bawean (5 individu) dari koleksi spesimen kulit yang dideposit di Museum Zoologicum
Bogoriese (MZB) dan koleksi alam. Rambut yang diperoleh dianalisa secara makroskopis dan mikroskopis melalui
parameter morfologi, struktur kutikula, medula, penampang melintang dan indeks medula. Hasil diperoleh bahwa
karakter khusus dari famili Cervidae yaitu memiliki struktur filled lattice pada medula. Selain itu, setiap spesies
Cervidae memiliki karakter khusus pada rambutnya yang dapat digunakan untuk membedakan tiap jenis dari
famili tersebut.

Kata kunci: Cervidae; makroskopis; mikroskopis; rambut; rusa; struktur

157
Fatkhanuddin, et. al.

Pendahuluan et al. 2015; Timmins et al. 2015; Timmins et al.


2016).
Perdagangan satwa liar menempati posisi Kemampuan identifikasi jenis sitaan
ke dua dalam perdagangan internasional setelah melalui pengamatan morfologi rambut menjadi
obat-obatan. Satwa liar yang diperdagangkan sangat penting dalam upaya pengungkapan kasus-
biasanya hanya berupa bagian dari tubuh kasus pelanggaran yang berhubungan dengan
satwa, yang kadang sulit untuk dapat langsung pemanfaatan secara illegal atas sebagian tubuh
diidentifikasi asal satwanya. Untuk itu identifikasi satwa. Hingga saat ini publikasi tentang gambaran
melalui sebagian tubuh satwa sangatlah penting morfologi dari rambut kelompok rusa yang ada
dilakukan (Sahajpal et al. 2009). Metode modern di Indonesia belum ada dan perlu dibangun basis
dalam bidang forensik yang banyak dilakukan datanya. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
adalah dengan analisa molekuler (Oien 2009), mendeskripsi morfologi rambut pada kelompok
namun metode ini cukup mahal. Metode yang rusa (Cervidae) yang ada di Indonesia.
cukup murah adalah secara mikroskopis melalui
telaahan anatomi atau morfologi dari salah satu Materi dan Metode
bagian tubuh satwa (Lungu et al. 2007),.
Setiap spesies satwa memiliki karakter Sampel rambut diperoleh dari koleksi
rambut unik yang dapat digunakan untuk spesimen kulit yang dideposit di Museum
identifikasi, melalui telaah struktur, ukuran, Zoologicum Bogoriese (MZB), Pusat Penelitian
bentuk, warna, dan sisik kutikula rambut. Biologi-LIPI dan hasil koleksi di lapangan. Semua
Sisik kutikula rambut memiliki bentuk dan analisa dilakukan di laboratorium Pengelolaan
dimensi yang berlainan yang mencirikan suatu dan Reproduksi Satwa Liar serta laboratorium
jenis satwa tertentu (Short 1978). Untuk itu Parasitologi, Bidang Zoologi, Pusat Penelitian
identifikasi mamalia melalui karakter rambut Biologi LIPI, Cibinong. Sampel yang digunakan
dapat diterapkan dalam studi forensik, taksonomi terdiri dari rambut empat spesies rusa (Cervidae)
dan ekologi. Selain itu sifat rambut yang tidak dewasa yang ada di Indonesia, meliputi rusa
mudah terdegradasi memungkinkan rambut dapat jawa/Rusa timorensis (8 individu), rusa sambar/
digunakan untuk mengetahui jenis mangsa lewat Rusa unicolor (5 individu), muncak/Muntiacus
analisa feses predator (Anwar et al. 2012). muntjak (5 individu) and rusa bawean/Axis
Indonesia memiliki empat spesies rusa, kuhlii (5 individu). Rambut yang dikoleksi yaitu
yaitu Rusa timorensis (rusa jawa), Rusa unicolor guard hair tanpa folikel yang diambil dari bagian
(rusa sambar), Muntiacus muntjak (muncak) dorsal, yaitu dorsal depan, tengah dan belakang.
dan Axis kuhlii (rusa bawean). Tingginya Pengambilan berdasarkan posisi tubuh yang
tingkat perburuan ilegal, kerusakan habitat dan berbeda ini dilakukan mengingat setiap posisi
penurunan luasan habitat merupakan tekanan yang memiliki perbedan fitur dan konsistensi rambut
menyebabkan populasi rusa di Indonesia menurun yang spesifik (Tridico et al. 2014).
setiap tahunnya. Berdasarkan Peraturan Menteri Analisa makroskopis dilakukan dengan
Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik mengamati tiap helai rambut (30 helai/individu
Indonesia Nomor P 106/MENLHK/SETJEN/ spesies) terhadap warna, struktur dan tekstur
KUM.1/12/2018, tentang Jenis Tumbuhan dan rambut. Analisa medula dilakukan dengan cara
Satwa yang Dilindungi, keempat jenis satwa meletakkan guard hair pada object glass, kemudian
tersebut termasuk dilindungi. Sedangkan dalam ditetesi gliserin dan ditutup dengan cover glass
catatan International Union for Conservation yang selanjutnya diamati di bawah mikroskop
of Nature (IUCN), rusa jawa dan rusa sambar compound (Nikon Opiphot, Japan) yang
berstatus vulnerable, muncak berstatus least terhubung camera digital (Canon Powershot S5IS)
concern, sedangkan rusa bawean yang merupakan pada pembesaran 200 kali. Analisa kutikula dan
spesies endemik berstatus critically endangered. penampang melintang dilakukan menggunakan
Diantara keempat jenis tersebut, rusa bawean Scanning Electron Microscope/SEM (Jeol, Japan)
masuk dalam daftar Apendiks I CITES (Hedges dengan terlebih dahulu dicuci dengan aseton,

158
Deteksi Staphylococcus aureus dan Staphylococcus sp. Secara Langsung Dari Susu Segar Kambing .....

kemudian ditempelkan pada stub (Hess et al. gradasi dengan warna putih-krem pada bagian
1985). Struktur medula, kutikula dan penampang distal, cokelat pada bagian medial dan cokelat
melintang diklasifikasikan berdasarkan Teerink tua-hitam pada bagian proximal. Sedangkan pada
(2003). Pola kutikula merujuk pada Petraco and rusa sambar dan muncak memiliki warna cokelat
Kubic (2004). Analisa kuantitatif, dilakukan terang tanpa adanya gradasi (Tabel 1, Gambar 1).
melalui pengukuran ketebalan rambut dan Sebagian besar struktur rambut cervidae Indonesia
ketebalan medula, kemudian dianalisa indeks bergelombang-lurus, namun untuk rusa jawa semua
medulanya dengan rumus: (tebal medula/tebal sampel yang diperoleh berstruktur bergelombang
rambut) x 100%. (Gambar 1). Diantara keempat jenis rusa, hanya
rambut rusa jawa yang secara makroskopis mudah
diidentifikasi secara langsung. Struktur rambut
Hasil dan Pembahasan
bergelombang-lurus umum ditemukan pada
Analisa secara makroskopis pada rambut famili Cervidae, seperti pada Hydropotes inermis,
Cervidae Indonesia menunjukkan sedikitnya Capreolus pygargus, Dama dama, Cervus elaphus
variasi yang terlihat diantara ke empat jenis rusa. dan Capreolis capreolus (Lee et al. 2013; De
Warna rambut rusa jawa dan rusa bawean memiliki Marinis & Asprea 2006).

Gambar 1. Struktur makroskopis rambut cervidae, a. Rusa jawa; b. Rusa sambar; c. Rusa bawean;
d. Muncak. (1). Ujung, (2). Tengah, (3). Pangkal.

Tabel 1. Struktur makroskopis rambut cervidae

Parameter Rusa timorensis Rusa unicolor Axis kuhlii Muntiacus muntjak


(Rusa jawa) (Rusa sambar) (Rusa bawean) (muncak)
Morfologi a1 a2 a3
Warna Putih /krem pada bagian distal, Cokelat muda tanpa Putih /krem pada bagian distal, Cokelat muda tanpa
v

cokelat muda pada bagian gradasi cokelat muda pada bagian gradasi
medial, dan cokelat tua-hitam medial, dan cokelat tua-hitam
pada bagian proximal pada bagian proximal
Tekstur Kasar Kasar Halus Halus
Struktur Gelombang Gelombang-lurus Gelombang-lurus Gelombang-lurus
b1 b2 b3

159
Fatkhanuddin, et. al.

a1 a2 a3
v

b1 b2 b3

c1 c2 c3

d1 d2 d3

Gambar 2. Hasil SEM sisik kutikula . a. Rusa jawa; b. Rusa sambar; c. Rusa bawean;
d. Muncak. (1). Pangkal, (2). Tengah, (3). Ujung.

Hasil analisa SEM menujukkan mayoritas sisik dapat terjadi karena perbedaan bagian rambut
posisi sisik rambut Cervidae Indonesia adalah yang dianalisa. Dalam penelitian ini menunjukkan
transversal, kecuali pada rusa bawean yang adanya perubahan pola sisik dari bagian pangkal
memiliki pola sisik kombinasi antara transversal hingga ujung rambut pada rusa jawa dan rusa
dan diagonal (Gambar 2), sedangkan pola sisik bawean. Perbedaan pola sisik kutikula dalam
adalah antara mozaic dan wavys, namun terdapat satu helaian rambut juga dijumpai pada beberapa
perbedaan pola gelombang pada tiap jenis rusa. spesies seperti di famili Bovidae yaitu Tragelaphus
Pola regular mozaic ditemukan pada bagian scriptus, T. spekei, dan Cephalophus monticola.
pangkal hingga tengah rambut rusa jawa dan rusa Sedangkan struktur kutikula irregular wave yang
bawean, sedangkan pola irregular wave ditemukan merata dari pangkal hingga ujung rambut yang
pada seluruh bagian rambut pada rusa sambar dan dimiliki oleh rusa sambar dan muncak, juga
muncak, serta bagian ujung rambut rusa jawa dan ditemukan pada beberapa famili Bovidae lainnya
rusa bawean (Gambar 2). yaitu Hippotragus equinus dan Kobus vardonii.
De Marinis & Asprea (2006) melaporkan Pola sisik yang mirip dengan rusa bawean dengan
bahwa pada kelompok Cervidae asal Eropa yaitu posisi sisik bervariasi dari trasversal dan diagonal
Dama dama dan Cervus elaphus memiliki pola yang ditemukan pada famili Bovidae tampak pada
sisik regular wave. Sedangkan pada kelompok C. natalensis (Keogh 1983).
Cervidae dari Amerika Serikat dan China yaitu Struktur medula pada Cervidae Indonesia
Odocoileus virginiatus, C. elaphus, C. albirotris, menunjukkan hasil yang konstan dari bagian distal
dan C. nippon memiliki pola sisik mozaik (Sessions hingga proksimal. Medula Cervidae menunjukkan
et al. 2009; Cheng et al. 2007). Perbedaan pola tidak ada perbedaan antar spesies dengan struktur

160
Deteksi Staphylococcus aureus dan Staphylococcus sp. Secara Langsung Dari Susu Segar Kambing .....

homogen, multiseluler dan filled lattice (Tabel 2, penampang melintang rambut berbentuk oval
Gambar 3). Hal ini senada dengan laporan De pada bagian pangkal dan tengah, sedangkan
Marins & Asprea (2006) dan Joshi et al. (2012), bagian ujung berbentuk triangular. Muncak
dimana medula pada beberapa kelompok ungulata memiliki penampang melintang rambut berbentuk
tidak dapat dijadikan sebagai kunci identifikasi oval, sedangkan rusa bawean berbentuk circular.
hingga tingkat spesies karena strukturnya yang Bentuk tersebut konsisten dari pangkal hingga
mirip. Selain itu struktur medula tidak terpengaruh ujung rambut.
oleh faktor lingkungan, namun terbentuk karena Bentuk penampang melintang rambut
sejarah evolusinya (Chernova 2002). Struktur tergambar dalam struktur makroskopis rambut
medula yang homogen juga ditemukan pada tiap jenis (Gambar 4). Rusa jawa tampak pipih
Artiodactyla lainnya, namun hanya pada tingkat secara makroskopis sehingga sesuai dengan
subfamili. Misalnya pada Bovidae, subfamili struktur penampang melintangnya yang berbentuk
Caprinae memiliki struktur medula filled lattice oblong. Selain struktur penampang melintang
parsial sedangkan pada subfamili Bovinae tersebut (oblong, oval, circuler dan triangular),
menunjukkan struktur multisteriat (De Marinis masih banyak struktur lainnya yang membedakan
and Asprea, 2006). Konsistensi medula pada tiap jenis, misalnya pada salah satu jenis bovidae
Cervidae menunjukkan bahwa struktur medula Raphicerus sharpei memiliki penampang
filled laticce yang homogen merupakan karakter melintang concavo-covex. Namun demikian
khusus dari famili ini, struktur penampang melintang rambut dapat
Untuk penampang melintang, rambut berbeda tiap posisi dalam satu helaian rambut
Cervidae Indonesia memiliki empat struktur seperti pada Raphicerus campestris yang memiliki
yang berbeda yaitu oblong, oval, circuler dan bentuk kombinsi oblong, concavo convex,
triangular. Penampang melintang rambut rusa dumbbell, triangular dan bentuk bumerang
jawa berbentuk oval pada bagian pangkal, oblong (Keogh 1983).
pada bagian tengah sedangkan ujung rambut Berdasarkan potongan melintang juga
berbentuk tringular. Pada rusa sambar memiliki diketahui adanya perbedaan jumlah baris sel

a b

c d

Gambar 3. Struktur medula filled lattice pada bagian medial rambut Cervidae (a) Rusa timor;
(b) Rusa sambar; (c) Rusa bawean; (d) Muncak

161
a b
Fatkhanuddin, et. al.

penyusun medula. Rusa jawa dan rusa bawean konsistensi sama halnya dengan struktur medula.
menunjukkan adanya satu baris sel poligonal, Dengan demikian morfologi potongan melintang
muncak memiliki banyak baris sel poligonal, dapat digunakan sebagai karakter identifikasi
sedangkan rusa sambar memiliki satu baris sel hingga ketingkat jenis.
poligonal pada bagian pangkal rambut, kemudian Berdasarkan morfometri, rusa jawa memiliki
banyak baris pada bagian tengah dan ujung diameter rambut terbesar dibandingkan dengan
rambut (Tabel 2, Gambar 4). Penelitian Cheng, Cervidae Indonesia lainnya (Tabel 2, Gambar 5),
et al. (2007) terhadap beberapa jenis Cervidae dengan kecenderungan diameter rambut pada rusa
c Rusa unicolor, Cervus albirotris dan C.
antara lain d lebih besar 18% dibandingkan dengan rusa
timor
elaphus menunjukkan multi layer sel, C. nippon sambar. Hasil pengamatan De Marinis and Asprea
dengan multi layer sel, dan C. elaphus dengan (2006) melaporkan bahwa rata-rata diameter
dua baris sel. Konsistensi jumlah baris sel medula rambut kelompok Cervidae Eropa adalah 232
pada rusa sambar yang dilaporkan Cheng et al. um. Nilai tersebut jauh lebih besar dibandingkan
(2007) dan dalam penelitian ini, menunjukkan dengan diameter rambut hasil penelitian ini yang
bahwa jumlah baris sel suatu spesies memiliki rata-rata hanya 63,32 um. Banyak faktor yang

a2 a3
a1 a1

a1
a1
b1 b2 b3

c1 c2 c3

d1 d2 d3

Gambar 4. Penampang melintang rambut Cervidae (a) Rusa jawa, 1. Pangkal (1 layer), 2. Tengah (1 layer), 3.
Ujung (1 layer); (b) Rusa sambar, 1. Pangkal (1 layer), 2. Tengah (multi layer), 3. Ujung (multi layer);
(c) Rusa bawean, 1. Pangkal (1 layer), 2. Tengah (1 layer), 3. Ujung (1 layer); (d) Muncak, 1. Pangkal
(multi layer), 2. Tengah (multi layer), 3. Ujung (multi layer).

162
Deteksi Staphylococcus aureus dan Staphylococcus sp. Secara Langsung Dari Susu Segar Kambing .....

Table 2. Karakter mikroskopis rambut cervidae

Rusa timorensis Rusa unicolor Axis kuhlii Muntiacus muntjak


Parameter
(Rusa jawa) (Rusa sambar) (Rusa bawean) (Muncak)
Kutikula
Posisi sisik Transvesal Transvesal Transvesal-diagonal Transvesal
Pola sisik Regular mosaic – Iregular wave Regular mosaic- Iregular wave
irregular wave irregular wave
Margin sisik Smooth, rippled Smooth, rippled Smooth, rippled Smooth, rippled
Jarak antar sisik Near-distant Near-distant Near-distant Near-distant
Jumlah sisik tiap 100 um 12,13±1,1 11,6±1,8 13,7±1,9 12,6±1,6
Medulla
Komposisi Multicellular Multicellular Multicellular Multicellular
Struktur Filled lattice Filled lattice Filled lattice Filled lattice
Margin Scalloped Scalloped Scalloped Scalloped
Penampang melintang
Bentuk Pangkal: Oval Pangkal: Oval Pangkal: Sirkular Pangkal: Oval
Tengah: Oblong Tengah: Oval Tengah: Sirkular Tengah: Oval
Ujung; Triangular Ujung; Triangular Ujung; Sirkular Ujung; Oval
Jumlah layer Pangkal: 1 layer Pangkal: 1 layer Pangkal: 1 layer Pangkal: Multi layer
Tengah: 1 layer Tengah: Multi layer Tengah: 1 layer Tengah: Multi layer
Ujung: 1 layer Ujung: Multi ayer Ujung: 1 layer Ujung: Multi layer
Index

mempengaruhi ketebalan rambut, meliputi spesies, menjadi acuan ketebalan rambut satwa tersebut.
habitat, level testosteron pada hewan jantan, Secara ukuran tubuh, terdapat perbedaan ukuran
metabolisme dan nutrisi (Davis et al. 2010; Jones tinggi gumba rusa sambar yang dapat mencapai
et al. 1994). Dengan demikian ketebalan rambut 160 cm atau hampir dua kali lebih besar dari
tidak dapat dijadikan sebagai kunci identifikasi rusa timor yang hanya berkisar antara 76-84 cm
suatu jenis sebagaimana juga disampaikan oleh (Sudibyo et al. 2013; Semiadi et al. 2005). Nilai
Perrin and Campbell (1980). indeks medula pada rusa jawa adalah 93%, rusa
Dalam hal ukuran medula, pada rambut sambar 85%, rusa bawean 81% dan muncak 88%,
Cervidae Indonesia cukup lebar. Selain diameter jauh lebih tinggi bila dibandingkan dengan C.
rambut, diameter medula rambut pada rusa jawa elaphus 66% dan C. nippon 64% (Gambar 6;
juga sekitar 25% lebih besar daripada rusa sambar. Cheng, et al. 2007). Sama halnya dengan ketebalan
Sehingga besarnya ukuran satwa tidak dapat rambut, nilai indeks medula sulit untuk digunakan

350
300
Diameter rambut (um)

250
200
Pangkal
150
Tengah
100 Ujung
50
0
Rusa timor Rusa sambar Muncak Rusa bawean
Spesies

Gambar 5. Diameter rambut Cervidae Indonesia


100
90
80 163
la (%)

70
60
0
Rusa timor Rusa sambar Muncak Rusa bawean
Spesies
Fatkhanuddin, et. al.

100
90
80

Indeks medula (%) 70


60
50 Pangkal
40 Tengah
30 Ujung
20
10
0
Rusa timor Rusa sambar Muncak Rusa bawean
Spesies

Gambar 6. Indeks medula Cervidae Indonesia

sebagai karakter identifikasi, hal ini dikarenkan dalam pengambilan sampel. Ni Luh Putu Rischa
adanya pengaruh umur yang memungkinkan pada Phadmacanty adalah kontributor utama dalam
umur lebih muda akan memiliki indeks medula penulisan ini.
yang lebih rendah dibandingkan umur dewasa.
Daftar Pustaka
Kesimpulan
Anwar, M.B., M.H. Nadeem, M.A. Beg, A.R.
Hasil penelitian menyimpulkan bahwa Kayani, and G. Muhammad. (2012). A
karakter khusus dari famili Cervidae adalah struktur Photographic key for identification of
filled lattice pada medula. Ciri khas rambut yang mammalian hairs of prey species in snow
dapat dijadikan kunci identifikasi spesies secara leopard (Panthera indica) habitat of Gilgit-
mudah pada rusa timor adalah bagian morfologi Baltistan Province of Pakistan. Pakistan
dan bentuk penampang melintang rambut, rusa Journal of Zoology. 44 (3): 37-743.
bawean pada bagian posisi sisik kutikula dan Cheng, X., T. Kang and Z. Zhao. (2007). Studies
bentuk penampang melintang, sedangkan muncak on microscopic identification of animal
dan rusa sambar memiliki kemiripan baik dari drug’s remnant hair (3): identification of
segi makroskopis maupun mikroskopis yang several species of cauda cervi. Journal of
membedakan keduanya adalah pada jumlah Natural Medicine. 61 (1): 51-55.
lapisan sel pada penampang melintang pangkal
rambut dan diameter rambutnya. Chernova, O.F. (2002). Architectonic and
Diagnostic Significance of Hair Cuticle.
Ucapan Terima kasih Biology Bulletin. 29(3): 238–247.
Davis, A.K. (2010). A technique for rapidly
Terimakasih kami ucapkan kepada Japan
quantifying mammal hair morphology for
Science and Technology Agency (JST), Kyoto
zoological research. Folia Zoological. 59
University, Collaboration hubs for International
(2): 87-92.
Research Progam (CHIRP) dengan framework
Strategic International Collaborative Research De Marinis, A. M. and A. Asprea. (2006). Hair
Program (SICORP) dengan Pusat Penelitian identification key of wild and domestic
Biologi-LIPI untuk tahun anggaran 2017-2018, ungulates from southern Europe. Wildlife
dalam memenuhi kebutuhan bahan laboratorium. Biology. 12(3): 305-320.
Selain itu kami ucapkan terimakasih kepada Bapak Hedges, S., Duckworth, J.W., Timmins, R.,
Yulianto dan Nanang Supriyatna yang membantu Semiadi, G. and Dryden, G. (2015). Rusa

164
Deteksi Staphylococcus aureus dan Staphylococcus sp. Secara Langsung Dari Susu Segar Kambing .....

timorensis. The IUCN Red List of Threatened examination. Science and Justice. 49: 205-
Species 2015: e.T41789A22156866. http:// 209
dx.doi.org/10.2305/IUCN.UK.2015-2. Semiadi, G., I.G. M. Jaya Adi and A. Trasadiharto.
RLTS.T41789A22156866.en. Downloaded (2005). Pola kelahiran rusa sambar (Cervus
on 14 May 2019. unicolor) di penangkaran Kalimantan
Hess, W.M., Flinders J.T. Pritchett CL., and Timur. Biodiversitas. 6(1): 59-62.
Allen J.V. (1985). Characterization of hair Sessions, B.D., W.M. Hess and W.S. Skismore.
morphology in families Tayassuidae and (2009). Can hair width and scale pattern
Suidae with scanning electron microscopy. and direction of dorsal scapular mammalian
Journal of Mammalogy. 66: 75-84. hair be a relatively simple means to identify
Keogh, H.J. (1983). A photographic reference species? Journal of Natural History. 3: 7-8,
system of the microstructure ofthe hair 489-507.
ofsouthern African bovids. South African Short, H.L. (1978). Analysis of cuticular scale on
Journal of Wildlife Research. 13(4): 89-132. hair using the scanning electron microscope.
Lee, E., T.Y. Choi, D. Woo, M.S. Min, S. Sugita Journa
and H. Lee. (2013). Species identification Sudibyo, M., Y. Santoso, B. Masy’ut, and T.
key of Korean mammal hair. Journal of Toharmat. (2013). Preferencesof Rusa
Veterinary Medical Science. 76(5): 667- timorensis to grasses and their body
675. morphology andvelvet antler characteristic.
Lungu, A., C. Recordati, V. Ferrazzi and D. Gallazi. Media Peternakan. 2013: 143-151.
(2007). Image analysis of animal hair: Teerink, B.J. (2003). Hair of West European
morphological features useful in forensic Mammals: Atlas and Identification Key.
veterinary medicine. Lucrari Sciintifice Cambridge University Press.
Medicina Veterinara. XL: 439-446.
Timmins, R.J., Duckworth, J.W., and Hedges,
Joshi, H.R., S.A. Gaikwad, M.P.S. Tomar and S. (2016). Muntiacus muntjak.  The IUCN
K. Shrivastava. (2012). Comparative Red List of Threatened Species 2016:
trichology of common wild herbivores e.T42190A56005589.  http://dx.doi.
of India. Advances in Applied Science org/10.2305/IUCN.UK.2016-1.RLTS.
Research. 3(6): 3455-3458. T42190A56005589.en. Downloaded on 14
Oien, C.T. (2009). Forensic Hair Comparison: May 2019.
Background Information for Interpretation. Timmins, R., Kawanishi, K., Giman, B, Lynam,
Forensic Science Communications.11(2). A., Chan, B., Steinmetz, R., Sagar Baral,
Perrin, M.R and Campbell, B.S. (1980). Key to H., and Samba Kumar, N. (2015).  Rusa
the mammals of the Andries Vosloo Kudu unicolor (errata version published in
Reserve (eastern Cape), based on their 2015).  The IUCN Red List of Threatened
hair morphology, for use in predator scat Species :. http://dx.doi.org/10.2305/IUCN.
analysis. South Africa Tydskr.Natuurnav. UK.2015- 2.RLTS.T41790A22156247.
10: 1-14. en. Downloaded on 14 Mei 2019.
Petraco, N. & Kubic, T. (2004). Microscopy for Tridico, S.R., M.M. Houck, K. Paul Kirbride, M. E.
Criminalist, Chemists, and Conservation. Smith and C. Yates. (2014). Morphological
CRC Press:Washington DC. identification of animal hair: Myths and
Sahajpal, V., S.P. Goyal, R. Raza and R. Jayapal. misconceptions, possibilities and pitfalls.
(2009). Identification of mongoose (genus: Forensic Science International. 238: 101-
Herpestes) species from hair through 107.
band pattern studies using discriminate
functional analysis (DFA) and microscopic

165
Jurnal Sain Veteriner, Vol. 38. No. 2. Agustus 2020, Hal. 166-172
Fatkhanuddin, et. al. DOI: 10.22146/jsv.84894
ISSN 2443-1583 (Print), ISSN 2407-3733 (Online)
Tersedia online di https://jurnal.ugm.ac.id/jsv

Deteksi Staphylococcus aureus dan Staphylococcus sp. Secara Langsung Dari Susu Segar Kambing
Peranakan Etawa dengan Teknik Polymerase Chain Reaction (PCR)

Detection of Staphylococcus aureus and Staphylococcus sp. Directly From Raw Milk of Etawa
Goat’s with Polymerase Chain Reaction (PCR) Technique
Fatkhanuddin Aziz1, Fajar Budi Lestari1, Sarah Nuraida S.2, Endah Purwati2, Siti Isrina Oktavia Salasia3*

1
Program Studi D3 Kesehatan Hewan, Departemen Teknologi Hayati dan Veteriner, Sekolah Vokasi Universitas
Gadjah Mada
2
Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada
3
Departemen Patologi Klinik, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Gadjah Mada
*Email: isrinasalasia@yahoo.com

Naskah diterima: 27 Januari 2020, direvisi: 4 Maret 2020, disetujui: 30 Juli 2020

Abstract

The genus of Staphylococcus is one of the bacterial pathogens that cause mastitis causing economic losses
in Etawa crossbreed goat. Among Staphylococcus sp. which can grow well in raw milk, Staphylococcus aureus
is known causes food borne disease in human because of its ability to produce enterotoxins that are resistant to
digestive enzymes or heating treatment. The purpose of this study was to detect Staphylococcus sp. and S. aureus
directly from raw milk of Etawa crossbreed goat using PCR method. The study was carried out by extracted
DNA from fresh milk using spin column method and then amplified specific 23S rRNA for Staphylococcus
sp. and S. aureus. PCR examination revealed that 37 (61%) and 1 (1,6%) raw milk samples were positive
for Staphylococcus sp. and S. aureus respectively. The detection method using PCR are usefull to discover
Staphylococcus sp. contaminants in a short time.

Keywords: Goat; PCR; raw milk; Staphylococcus aureus; Staphylococus sp.

Abstrak

Genus Staphylococcus merupakan salah satu patogen bakteri penyebab mastitis yang menyebabkan
kerugian ekonomi pada kambing Peranakan Etawa. Staphylococcus sp. yang dapat mencemari susu segar
adalah Staphylococcus aureus sehingga membahayakan kesehatan manusia yang mengkonsumsi (food borne
disease) karena kemampuannya dalam memproduksi enterotoksin yang tahan terhadap enzim pencernaan
maupun pemanasan. Tujuan penelitian ini adalah mendeteksi Staphylococcus sp. dan S. aureus secara langsung
dari susu kambing peranakan etawa dengan teknik PCR. Metode yang dilakukan adalah mengekstraksi DNA
dari 60 sample susu segar dengan prinsip spin column-based nucleic acid purification dan kemudian dilakukan
amplifikasi gen spesifik 23S rRNA Staphylococcus sp. dan S. aureus. Hasil PCR diketahui 37 (61%) sampel susu
positif identifikasi Staphylococcus sp. dan hanya 1 (1,6%) sampel S. aureus. Metode deteksi dengan PCR dapat
digunakan untuk mendeteksi kontaminan Staphylococcus sp. dan S. aureus dengan waktu yang singkat.

Kata kunci: Kambing; PCR; Staphylococcus aureus, Staphylococus sp.;

166
Deteksi Staphylococcus aureus dan Staphylococcus sp. Secara Langsung Dari Susu Segar Kambing .....

Pendahuluan manusia (Tan dan Hogg, 2008; Fagundes et al.,


2010). Penelitian yang dilakukan oleh Salasia
Kambing Peranakan Etawa (PE) merupakan
et al. (2011) diketahui adanya keberadaan gen-
salah satu ternak indigenous di Indonesia yang
gen penyandi enterotoksin penyebab keracunan
mem­ punyai potensi genetik tinggi sebagai
peng­hasil daging maupun susu, serta mampu makanan pada S. aureus yang diisolasi dari
menghasilkan anak lebih dari satu ekor setiap susu segar yang berasal dari daerah Jawa Barat,
kelahiran (Budisatria et al. 2019). Produksi sus­u Jawa Tengah dan Yogyakarta. Hal tersebut
yang dihasilkan mampu meningkatkan kesejah­tera­ mengindikasikan adanya potensi S. aureus dalam
an masyarakat melalui penjualan susu segar dengan susu yang dapat membahayakan konsumen.
kisaran harga Rp.20.000-Rp.30.000 per liter. Metode yang mudah diaplikasikan dalam
Susu merupakan media pertumbuhan yang mengidentifikasi keberadaan S. aureus dan
baik bagi bakteri, sehingga bakteri patogen seperti Staphylococcus lainnya dari susu segar kambing
genus Staphylococcus dapat tumbuh baik dimedia PE yang mengalami mastitis diperlukan untuk
ini dan menyebabkan mastitis bagi kambing yang mengontrol penyebaran penyakit yang disebabkan
terinfeksi. Penelitian yang dilakukan oleh Haenlein oleh Genus ini. Identifikasi bakteri patogen dari
(2002) mengungkapkan bahwa keberadaan susu segar juga dapat dijadikan diagnosa definitif
Staphylococcus sp. dalam susu kambing normal sumber keracunan pada makanan dan juga
yang terindikasi mastitis subklinis berkisar 59%  memberikan informasi penting sebagai tindakan
diantaranya Staphylococcus aureus 17%, S. preventif dan kontrol sumber keracunan pangan
epidermidis 14%, S. capitis 13%, S. hyicus 11%. yang disebabkan oleh S. aureus (He et al., 2010;
Hal tersebut sependapat dengan Contreras Aziz et al., 2013).
et al. (2007) dan Windria et al. (2016) yang Identifikasi S. aureus dan Staphylococcus sp.
mengemukakan bahwa Staphylococcus sp. pada susu selama ini sebagian besar dilakukan
merupakan prevalent-pathogen yang bertanggung dalam skala laboratorium dengan cara isolasi
jawab pada kasus mastitis pada ruminansia kecil. dan identifikasi mikroba secara konvensional
Staphylococcus aureus (S. aureus) merupakan menggunakan media selektif dan uji biokemis.
salah satu bakteri penyebab mastitis yang Beberapa keterbatasan dari metode ini adalah
menyebabkan kerugian ekonomi pada peternakan kondisi pertumbuhan bakteri pada saat sampel
kambing PE dan sapi perah (Salasia et al., 2004; susu diperiksa, sampel susu kemungkinan hanya
Purnomo et al., 2006; Salasia et al., 2011). Bakteri mengandung jumlah bakteri yang sedikit atau
tersebut merupakan penyebab utama contagious bahkan kultur negatif, hal ini dimungkinkan karena
mastitis (Petterson-Wolfe et al., 2010; Achek et adanya residu antibiotik yang dapat menghambat
al., 2020). Kerugian ekonomi oleh mastitis berupa pertumbuhan bakteri (Phuektes et al., 2001; Riffon
penurunan produksi susu, masa laktasi yang lebih et al., 2001). Berdasarkan keterbatasan metode
pendek dan bertambahnya biaya pengobatan konvensional tersebut, maka teknologi molekular
(Nielsen, 2009; Hayati et al. 2019). Purnomo et al. dengan menggunakan polymerase chain reaction
(2006) melaporkan bahwa 23,08% dari 52 sampel (PCR) merupakan metode yang lebih akurat dalam
susu kambing PE asal Yogyakarta dan Purworejo mengidentifikasi berbagai macam bakteri pada
Jawa Tengah yang diteliti positif ditemukan S. sampel susu. Penelitian ini bertujuan mendeteksi
aureus. Penelitian yang dilakukan oleh Windria et Staphylococcus sp. dan S. aureus secara langsung
al. (2016) diketahui 38,5% dari 52 sampel susu dari susu kambing PE menggunakan metode PCR.
kambing PE yang diuji positif Staphylococcus sp.
Raw milk atau susu segar merupakan sumber Metode Penelitian
utama munculnya S. aureus dalam produk
Sampel
susu. Proses higienisasi terutama pada proses
pasteurisasi yang tidak sempurna merupakan Sampel yang akan digunakan pada
salah satu penyebab food borne disease (penyakit penelitian ini adalah susu segar yang diambil
yang disebabkan oleh mengkonsumsi makanan secara aseptis dari berbagai sentra penghasil susu
atau minuman yang terkontaminasi bakteri) pada kambing PE di koperasi susu asal Yogyakarta

167
Fatkhanuddin, et. al.

dengan jumlah 60 sampel. Isolat S. aureus positif 23S rRNA yang ditentukan dengan menggunakan
23S rRNA dengan kode American Type Culture primer spesies spesifik dengan program PCR yang
Cell (ATCC) 25923 milik Balai Besar Veteriner telah ditentukan berdasarkan referensi (tabel 1).
Wates, Kementrian Pertanian RI dan Methicillin Campuran untuk PCR sebanyak 25 μl terdiri atas
Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) 1629 2 μl primer forward (10 pmol/μl), 2 μl primer
milik Bagian Mikrobiologi Fakultas Kedokteran reverse (10 pmol/μl), 12,5 μl PCR mix (GoTaq®
UGM digunakan sebagai kontrol positif amplifikasi Green Master Mix, Promega), 6,5 μl ddH2O dan 2
PCR untuk Staphylococcus sp. dan S. aureus. μl 20-40 ng template DNA. Campuran kemudian
disentrifus beberapa detik, dan dimasukkan dalam
Ekstraksi DNA dari Susu Segar thermal cycler dengan program siklus sesuai tabel 1.
Ekstraksi DNA langsung dari susu segar Hasil amplifikasi dianalisis dengan menggunakan
dilakukan dengan metode yang dilakukan oleh elektroforesis dengan 2% agarose dan 0,5 μg/ml
Aziz (2013) menggunakan Qiamp tissue kit ethidium bromide kemudian divisualisasi dengan
(Qiagen, Jerman). Modifikasi minor dilakukan UV transluminator, dibandingkan dengan kontrol
untuk mendapatkan pelet dengan sentrifus dengan dan marker 1 Kb DNA Ladder.
kecepatan 14.000 rpm. Sebanyak 1 ml sampel susu
segar dalam tabung eppendorf disentrifus dengan Hasil dan Pembahasan
kecepatan 14.000 rpm selama 10 menit pada suhu
40C, kemudian lemak yang berada dipermukaan Hasil penelitian memperlihatkan bahwa
susu dibuang menggunakan spatula, sentrifus keberadaan Staphylococcus sp. dan S. aureus
ulang dilakukan dengan kecepatan 14.000 rpm didalam susu segar dapat dideteksi langsung
selama 10 menit pada suhu 40C. Supernatan menggunakan PCR dengan primer spesifik spesies.
dibuang, pelet dicuci sebanyak 2 kali dengan 1 ml Ekstraksi DNA dari susu segar dilakukan dengan
enzymatic lysis buffer (20 mM Tris·Cl, pH 8.02 mM modifikasi pada tahapan awal preparasi ekstraksi
sodium EDTA, 1.2% Triton® X-100), kemudian dari metode ekstraksi Aziz (2013). Optimasi yang
disentrifus dengan kecepatan 14.000 rpm selama dilakukan sebelumnya diketahui dapat mendeteksi
5 menit pada suhu 40C. Pelet ditambahkan 180 μl keberadaan S. aureus dalam susu segar yang
enzymatic lysis buffer yang telah ditambahkan 5 kompatibel dengan Standar Nasional Indonesia
μl lysostaphin (1,8 U/μl) dan Lysozyme dengan (SNI) No 01-3141-1998 yaitu batas limit S.
konsentrasi 20 mg/ml, kemudian diinkubasi aureus yang diijinkan dalam susu adalah 102 sel/
pada waterbath dengan suhu 370C selama 120 ml (Aziz et al. 2013). Penggunaan PCR sebagai
menit. Campuran tersebut ditambahkan buffer alat deteksi diketahui mempunyai spesifisitas dan
AL dan Proteinase K (14,8 mg/ml) 25μl, inkubasi sensifisitas yang tinggi sehingga deteksi langsung
waterbath 560C 120 menit. Sebanyak 420 μl etanol keberadaan gen target dari genom bakteri tertentu
absolut ditambahkan ke dalam masing-masing dapat dilakukan. Deteksi dini kontaminasi bakteri
sampel dan ditempatkan ke dalam kolom Qiamp. patogen pada susu dapat langsung dilakukan
Kolom selanjutnya disentrifus 6000 g selama dengan cara lebih cepat.
satu menit, kemudian ditempatkan di atas tabung Pemilihan metode ekstraksi berbasis spin
koleksi dan sampel dicuci dua kali dengan 500 μl coloumn dilakukan selain telah teruji kualitas
bufer AW. Kolom Qiamp kemudian disentrifus DNA yang terekstraksi namun juga praktis
6000 g selama tiga menit, kemudian kolom penggunaannya. Penggunaan spin column dalam
ditempatkan di atas tabung Eppendorf dan DNA tahapan ekstraksi DNA langsung dari susu segar
yang ada pada kolom dielusi dengan 200 μl buffer. memberikan hasil ekstraksi yang baik. Purifikasi
Hasil ekstraksi DNA disimpan pada suhu -20oC. DNA berbasis column yang menggunakan metode
ekstraksi solid phase telah dikenal luas digunakan
Identifikasi Molekuler Staphylococcus sp. dan untuk mendapatkan DNA murni (Dash et al.,
S.aureus 2020).
Identifikasi molekuler Staphylococcus sp. dan Hasil penelitian diketahui 37 (61%) sampel
S. aureus dianalisis berdasarkan amplifikasi gen susu yang diuji positif Staphylococcus sp. dengan

168
Deteksi Staphylococcus aureus dan Staphylococcus sp. Secara Langsung Dari Susu Segar Kambing .....

primer Cremonesi et al. (2005) dan hanya 1 Staphylococcus tersebut diatas. Studi molekuler
(1,6%) sampel positif mengandung S. aureus yang dilakukan Windria et al. (2016) pada susu
dengan primer Straub et al. (1999). Identifikasi kambing PE yang diteliti dengan mengurutkan
molekuler Staphylococcus sp. dan S. aureus basa nukleotida 23S rRNA, teridentifikasi S.
dengan menggunakan target gen 23S rRNA dapat aureus, S. haemolyticus, S. pasteuri, dan S.
digunakan untuk identifikasi bakteri secara sensitif xylosus. Hal tersebut mengindikasikan ambing
dan spesifik termasuk pada Isolat S. aureus ATCC kambing PE dapat terinfeksi oleh berbagai spesies
milik Balai Besar Veteriner Wates dan MRSA milik dari genus Staphylococcus.
Bagian Mikrobiologi FK UGM digunakan sebagai Pada penelitian ini, meskipun hanya 1 sampel
kontrol positif memberikan hasil yang konsisten positif S. aureus, namun kontaminasi sampel susu
(gambar 1 dan 2). Gen 23S rRNA merupakan oleh bakteri ini mempunyai potensi menimbulkan
bagian penting pada proses sistesis protein. keracunan makanan karena S. aureus mampu
Urutan basa nukleotida pada 23S rRNA sangat memproduksi eksotoksin berupa sekresi protein
identik pada hampir semua bakteri, sehingga dapat toksin yang stabil terhadap pemanasan. Susu
diekploitasi guna identifikasi genus dan spesies. diketahui merupakan media yang baik untuk
Gambar 1 menunjukkan bahwa sampel yang diuji pertumbuhan S. aureus sehingga dapat menjadi
PCR menggunakan primer referensi Cremonesi sumber keracunan makanan. Kontaminasi bakteri
et al. (2005) terdeteksi bakteri Staphylococcus ini terjadi akibat adanya S. aureus dalam susu segar
sp. dengan ukuran produk PCR 499 bp dan hanya atau selama pengolahan. Tindakan pasteurisasi
1 sampel susu positif S. aureus dengan ukuran dapat mengurangi jumlah S. aureus akan tetapi
sesuai referensi 1250 bp menggunakan primer enterotoksin bersifat termostabil sehingga tidak
Straub et al. (1999) (gambar 2, sumuran ke-4). mengurangi aktivitas biologisnya meskipun telah
Diketahui konsistensi ditunjukkan dari 1 sampel mengalami pemanasan (Boerema et al., 2006;
positif S. aureus primer Straub et al. (1999) juga Todar, 2008). Coimbra-e-Souza et al. (2019) dan
positif terhadap primer Cremonesi et al. (2005) Contreras et al. (2007) mengemukakan bahwa
yang digunakan (Gambar 1 dan 2, sumuran ke-4). bakteri yang paling patogen penyebab mastitis
Penelitian yang dilakukan oleh Harvey dan pada kambing adalah S. aureus, bakteri ini tidak
Gilmour (1988), Coimbra-e-Souza et al. (2019) hanya berbahaya bagi manusia karena potensinya
diketahui spesies Staphylococcus yang umum namun juga menyebabkan infeksi pada ambing
ditemukan di susu kambing diantaranya S. aureus, kambing penderita dan dapat menyebabkan
S. arlettae, S. capitis, S. caprae, S. chromogenes, gangren sehingga menyebabkan angka culling
S. epidermidis, S. hominis, S. hycus, S. lentus, yang tinggi.
S. lugdunensis, S. saprophyticus , S. sciuri, S. Identifikasi Staphylococcus sp. maupun
simulans, S. warneri,dan S. xylosus  sehingga S. aureus pada susu selama ini sebagian besar
dipastikan 37 sampel susu yang positif PCR dilakukan dilaboratorium dengan cara isolasi
terhadap primer spesifik Staphylococcus sp. dan identifikasi bakteri secara konvensional
terdeteksi satu atau lebih dari berbagai spesies menggunakan media selektif dan uji biokemis,

Tabel 1. Primer oligonukleotida dengan program PCR untuk amplifikasi gen target 23S rRNA Staphylococcus sp. dan S. aureus.

Spesies Sekuen primer Program* Amplikon Referensi

Staphylococcus sp. 5’ AGC TGT GGA TTG TCC TTT GG 3’ 1 499 bp Cremonesi et al., 2005
3’ TCG CTC GCT CAC CTT AGA AT 5’
Straub et al., 1999
S. aureus 5’ACG GAG TTA CAA AGG ACG AC 3’ 2 1250 bp
3’AGC TCA GCC TTA ACG AGT AC 5’

Keterangan : *
1 : 30 kali 940C-60 detik, 560C-60 detik, 720C-60 detik
2 : 30 kali 940C-120 detik, 640C-40 detik, 720C-75 detik

169
Fatkhanuddin, et. al.

sehingga penentuan bakteri pengkontaminasi bakteri patogen dengan sensitifitas dan spesifisitas
membutuhkan waktu lebih lebih dari 1 hari. yang tinggi (Taponen et al., 2009).
Beberapa keterbatasan dari metode konvensional
selain lamanya waktu yang dibutuhkan menurut Kesimpulan
Phuektes et al. (2001) dan Riffon et al. (2001) juga
dipengaruhi oleh beberapa hal seperti terbatasnya Tiga puluh tujuh sampel positif mengandung
dinamika alami dari infeksi pada sampel susu, Staphylococcus sp. dan hanya 1 sampel positif
sampel susu mungkin hanya mengandung jumlah untuk S. aureus dari 60 sampel susu segar yang
bakteri yang sedikit dan kultur negatif mungkin diuji dengan teknik PCR.
karena adanya residu antibiotik yang dapat
menghambat pertumbuhan bakteri. Daftar Pustaka
Metode PCR memberikan alternatif Achek, R., El-Adawy, H., Hotzel, H., Tomaso, H.,
identifikasi bakteri secara lebih cepat. Dengan Ehricht, R., Hamdi, T. M.& Monecke, S.
metode PCR, identifikasi bakteri patogen dapat (2020). Diversity of staphylococci isolated
dilakukan dalam hitungan kurang dari 24 jam from sheep mastitis in northern Algeria.
bila dibandingkan dengan metode konvensional. Journal of Dairy Science. 103(1): 890-897.
Metode PCR dapat digunakan untuk deteksi

Gambar 1. Gel elektroforesis hasil PCR 23S rRNA dari susu segar dengan primer Cremonesi et al. (2005) (Ket:
M= marker, sumuran 1-2 kontrol positif ATCC dan MRSA, sumuran 3-11 sampel dan sumuran 12
kontrol negatif).

Gambar 2. Gel elektroforesis hasil PCR 23S rRNA dari susu segar dengan primer Straub et al. (1999) (Ket: M=
marker, sumuran 1-2 kontrol positif ATCC dan MRSA, sumuran 3-11 sampel dan sumuran 12 kontrol
negatif).

170
Deteksi Staphylococcus aureus dan Staphylococcus sp. Secara Langsung Dari Susu Segar Kambing .....

Aziz, F. (2013). Determinasi Genetik Manual for Forensic DNA Typing (pp. 103-
Staphylococcus aureus Sapi Perah di 108). Humana, New York, NY.
Baturraden dan Pengembangan Deteksi Fagundes, H., Barchesi, L., Filho, A. N., Ferreira,
Stafilokokal Mastitis Langsung dari Susu L. M. and Olieveira, C. A. F. (2010).
Segar dengan Polymerase Chain Reaction Occurrence of Staphylococcus aureus in
(PCR). Master Thesis. Program Studi Raw Milk Produced in Dairy Farms in São
Bioteknologi, Sekolah Pascasarjana, UGM, Paulo State, Brazil. Brazilian Journal of
Yogyakarta. Microbiology. (41): 376-380.
Aziz, F. Salasia, S.I.O., Artdita, C.A. dan Lestari, Haenlein, G. F. (2002). Relationship of somatic
F.B. (2013). Pengembangan Deteksi cell counts in goat milk to mastitis
Staphylococcus aureus Langsung dari Susu and productivity. Small ruminant
Segar dengan Polymerase Chain Reaction research. 45(2): 163-178.
(PCR) dalam Prosiding Seminar Nasional
Harvey, J. and Gilmour, A. (1988), Isolation and
Teknologi Terapan, 01 Oktober 2013,
characterization of staphylococci from
Yogyakarta (ISBN 978-62-14066-2-5).
goats milk produced in Northern Ireland.
Boerema, J. A., Clemens, R. and Brightwell, G. Letters in Applied Microbiology. 7: 79–82.
(2006). Evaluation of molecular methods
He, Y., Liu, H., Xian, M. and Li, Y. (2010). Detection
to determine enterotoxigenic status and
and Identification of Staphylococcus
molecular genotype of bovine, ovine, human
aureus in Raw Milk By Hybridization
and food isolates of Staphylococcus aureus.
to Oligonucleotide Microarray. African
International Journal of Microbiology. 107
Journal of Biotechnology. 9(15): 2284-
(2): 192-201.
2289.
Budisatria, I. G. S., Maharani, D., & Ibrahim,
Hayati, L. N., Tyasningsih, W., Praja, R. N.,
A. (2019). Kambing Peranakan Etawah:
Chusniati, S., Yunita, M. N., & Wibawati,
Kepala Hitam atau Cokelat. UGM PRESS.
P. A. (2019). Isolasi dan Identifikasi
Cremonesi, P., Luzzana, M., Brasca, M., Morandi, Staphylococcus aureus pada Susu
S., Lodi, R., Vimercati, C., & Castiglioni, Kambing Peranakan Etawah Penderita
B. (2005). Development of a multiplex PCR Mastitis Subklinis di Kelurahan Kalipuro,
assay for the identification of Staphylococcus Banyuwangi. Jurnal Medik Veteriner. 2 (2):
aureus enterotoxigenic strains isolated from 76-82.
milk and dairy products. Molecular and
Nielsen, C. (2009). Economic Impact Of Mastitis
cellular probes, 19(5): 299-305.
in Dairy Cow. Doctoral Thesis. Swedish
Coimbra-e-Souza, V., Rossi, C. C., Jesus-de University of Agricultural Sciences
Freitas, L. J., Brito, M. A. V., Laport, M. S., & Uppsala.
Giambiagi-deMarval, M. (2019). Diversity
Petersson-Wolfe, C. S., Mullarky, I. K. and
of species and transmission of antimicrobial
Andjones, G.M. (2010). Staphylococcus
resistance among Staphylococcus spp.
aureus Mastitis: Cause, Detection and
isolated from goat milk. Journal of dairy
Control. Virginia Cooperative Extension.
science. 102(6): 5518-5524.
Publication 404-229. www.ext.vt.edu.
Contreras, A., Sierra, D., Sánchez, A., Corrales, J. Diakses: 08 Mei 2019.
C., Marco, J. C., Paape, M. J., & Gonzalo, C.
Phuektes, P., Mansell, P. D, Browning, G. F.
(2007). Mastitis in small ruminants. Small
(2001). Multiplex Polymerase Chain
Ruminant Research. 68(1): 145-153.
Reaction Assay For Simultaneous Detection
Dash, H. R., Shrivastava, P., & Das, S. (2020). of Staphylococcus aureus and Streptococcal
Isolation of DNA by Using Column-Based Causes of Bovine Mastitis. J Dairy Sci. 84
Extraction System. In Principles and (5):1140–1148.
Practices of DNA Analysis: A Laboratory

171
Fatkhanuddin, et. al.

Purnomo, A., Hartatik, Khusnan, Salasia, S. I. Tan, A. and Hogg, G. (2008). Staphylococcus
O. Dan Soegiyono. (2006). Isolasi dan aureus and Food Borne Disease.
Karakterisasi Staphylococcus aureus Asal Microbiology Australia. 29 (23): 155-156.
Susu Kambing Peranakan Ettawa. Media Taponen, S., Salmikivi, L., Simojoki, H.,
Kedokteran Hewan. 22 (3):142 – 147 Koskinen, M. T. and Pyörälä, S. (2009).
Riffon, R., Sayasith, K., Lhalil, H., Dubreuil, Real-Time Polymerase Chain Reaction-
P., Drolet, M. and Lagace, J. (2001). Based Identification of Bacteria in Milk
Development of A Rapid and Sensitive Test Samples From Bovine Clinical Mastitis
For Identification of Major Pathogens in With No Growth in Conventional Culturing.
Bovine Mastitis by PCR. J. Clin. Microbiol. J. Dairy Sci. 92 (6):2610–2617.
39 (7): 2584–2589. Todar, K. (2008). Staphylococcus aureus and
Salasia, S. I. O., Khusnan, Z., Lammler, C., Staphylococcal Disease; Todar’s Online
Zschock, M. (2004). Comparative studies Textbook of Bacteriology. www.textbook of
on pheno-and genotypic properties of bacteriology.net. Diakses : 08 Januari 2020.
Staphylococcus aureus isolated from Windria, S., Widianingrum, D. C., & Salasia, S. I.
bovine subclinical mastitis in central Java O. (2016). Identification of Staphylococcus
in Indonesia and Hesse in Germany. J Vet aureus and Coagulase Negative
Sci. 5 (2): 103–109. Staphylococci Isolates from Mastitis Milk
Salasia, S. I. O., Tato, S., Sugiyono, N., Ariyanti, of Etawa Crossbred Goat. Research Journal
D. and Prabawati, F. (2011). A Genotypic of Microbiology, 11(1): 11.
characterization of Staphylococcus aureus
isolated from bovines, humans and food in
Indonesia. J. Vet. Sci. 12(4): 353-361.
Straub, J. A., Hertel, C. and Hammes, W. P. (1999).
A 23S rRNA-Targeted Polymerase Chain
Reaction-Based System for Detection of
Staphylococcus aureus in Meat Starter
Cultures and Dairy Products. J. Food Prot.
62 (10):1150–1156.

172
Jurnal Sain Veteriner, Vol. 38. No. 2. Agustus 2020, Hal. 173-182
DOI: 10.22146/jsv.51559
ISSN 2443-1583 (Print), ISSN 2407-3733 (Online)
Tersedia online di https://jurnal.ugm.ac.id/jsv

Case Report
Keracunan Coklat (Theobroma Cacao) pada Anjing:
Manajemen Terapi dan Pencegahan

Chocolate (Theobroma Cacao) Poisoning in Dogs:


Therapeutic Management and Prevention
Yanuartono1, Alfarisa Nururrozi1, Soedarmanto Indarjulianto1*, Slamet Raharjo, Hary Purnamaningsih1, Nurman haribowo1

1
Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada.
Jl. Fauna No.2, Karangmalang, Depok, Sleman. 55281 Yogyakarta
*Email: indarjulianto@ugm.ac.id

Naskah diterima: 17 Nopember 2019, direvisi: 7 Januari 2020, disetujui: 30 Juli 2020

Abstract

Chocolate poisoning has long been recognized as a common cause mostly in dogs, although many species are
susceptible. Contributing factors include indiscriminate eating habits and readily available sources of chocolate.
In general, the poisoning resulted from a lack of public knowledge of the health hazard to dogs that may be
imposed by these products.Chocolate is derived from the seeds of the plant Theobroma cacao, and the main toxic
components are the methylxanthine alkaloids theobromine and caffeine, causing gastrointestinal, cardiovascular
and central nervous signs. Diagnosis is based on history of exposure, along with clinical signs. Amphetamine or
cocaine toxicosis, and ingestion of antihistamines, antidepressants, or other CNS stimulants should be considered
in the differential diagnosis. Stabilization of symptomatic animals is a priority in treating chocolate toxicosis.
Although there is no specific antidote, supportive management includes induction of vomiting and administration
of activated charcoal, oxygen, and intravenous fluids. Preventing exposure is the key to reducing the incidence
of these poisoning episodes. Therefore, it is important to increase the knowledge of dogs owners with regard
to foodstuffs that must not be fed to dogs and should be stored outside their reach.. This paper aims to briefly
describe the clinical symptoms, treatment and prevention of chocolate poisoning in dogs.

Key words: antidote; chocolate; Theobroma cacao; toxicosis

Abstrak

Coklat telah lama dikenal sebagai penyebab keracunan pada anjing dan beberapa spesies juga bersifat
rentan. Faktor yang turut berperan dalam kejadian tersebut adalah kebiasaan memberikan pakan sembarangan
dan tersedianya makanan yang berbahan utama coklat. Pada umumnya keracunan terjadi karena kurangnya
pengetahuan publik tentang bahaya kesehatan pada anjing yang mungkin disebabkan oleh produk-produk coklat.
Coklat berasal dari biji tanaman Theobroma cacao, dan komponen racun utama adalah alkaloid methylxanthine
theobromine dan kafein, menyebabkan tanda-tanda klinis pada gastrointestinal, kardiovaskular dan susunan
saraf pusat. Diagnosis didasarkan pada riwayat pajanan dan gejala gejala klinis yang teramati. Amfetamin,
kokain, antihistamin, antidepresan, atau stimulan system syaraf pusat harus dipertimbangkan dalam diagnosis
banding. Penanganan gejala klinis yang muncul merupakan prioritas pada pengobatan kasus keracunan cokelat.
Meskipun tidak ada obat penawar khusus, perlu dilakukan penatalaksanaan suportif meliputi induksi muntah,
pemberian activated charcoal, oksigen, dan cairan secara intravena. Mencegah anjing terpapar adalah kunci
untuk mengurangi kejadian keracunan coklat. Oleh karena itu, penting untuk meningkatkan pengetahuan pemilik
anjing terkait dengan bahan makanan yang mengandung coklat tidak boleh diberikan pada anjing dan harus

173
Yanuartono, et. al.

disimpan di luar jangkauannya. Tulisan ini bertujuan untuk menguraikan secara singkat tentang gejala klinis,
penanganan dan pencegahan keracunan coklat pada anjing.

Kata kunci: coklat; Theobroma cacao; toksikosis; antidota

Pendahuluan 1998) dan ayam petelur (Black and Barron, 1943).


Keracunan pada hewan kesayangan seperti Tingginya kasus keracunan disebabkan oleh rasa
anjing kebanyakan bersifat tidak sengaja dan manis coklat yang disukai anjing dan ras kecil
terjadi di dalam rumah atau sekitarnya. Salah tampaknya lebih rentan terhadap keracunan
satu penyebab adalah kebiasaan pemilik hewan dibandingkan dengan ras besar (Kovalkovicova et
memberikan makanan ataupun minuman yang al., 2009).
mereka konsumsi dan tanpa disadari dapat Kasus keracunan coklat pada anjing telah
membahayakan hewan peliharaanya jika banyak dilaporkan di berbagai negara seperti
dimakan. Banyak makanan dan minuman untuk Inggris (Berny et al., 2010), Jerman (McFarland et
manusia seperti anggur (Campbell, 2007), kismis al., 2017), India (Reddy et al., 2013) dan Amerika
(Mazzaferro et al., 2004), kue sultana ( Sutton et Serikat (Gwaltney-Brant, 2012). Laporan
al., 2009), bawang merah (Yamato et al., 2005) kejadian di Indonesia secara resmi jarang sekali
dan bawang putih (Lee et al., 2000 ) bersifat toksik muncul karena kemungkinan coklat maupun
pada hewan kesayangan seperti anjing dan kucing makanan berbahan dasar coklat masih dianggap
(Smit, 2011). Sifat toksik makanan tersebut karena mahal sehingga jarang diberikan pada hewan
mengandung methylxanthines seperti kafein, kesayangan. Cokelat berasal dari biji tanaman
theobromine dan theophilin yang merupakan Theobroma cacao dan substansi bersifat racun
alkaloid asal tumbuhan yang pada umumnya yang utama adalah alkaloid methylxanthine seperti
ditemukan dalam berbagai makanan, minuman, theobromine atau 3,7-dimethylxanthine dan
obat-obatan manusia, dan produk yang banyak kafein atau 1,3,7-trimethylxanthine (Finlay, 2005;
tersedia di rumah tempat tinggal (Beasley, 1999 Albretsen 2004; Smit 2011). Meskipun kedua
;Thompson, 2012). Beberapa contoh makanan substansi tersebut dapat menimbulkan gejala
dan minuman yang mengandung methylxanthines gejala klinis keracunan coklat, namun demikian
adalah coklat, kopi, teh dan berbagai bahan aditif theobromine lebih berdampak karena konsentrasi
dalam banyak minuman ringan (Caloni et al., 2012; dalam coklat 3-10 kali lebih tinggi dari kafein
Mahdi and Van der Merwe, 2013; Cortinovis and dan waktu paruh lebih lama jika dibandingkan
Caloni, 2016). Munculnya kasus kasus tersebut dengan kafein (Merck Veterinary Manual, 2005).
disebabkan karena pada umumnya ada kebiasaan Luiz and Heseltine (2008) menambahkan bahwa
memberikan makanan manusia untuk hewan keracunan tidak tergantung dari volume atau
peliharaanya tetapi pemilik kurang menyadari jumlah yang tertelan tetapi lebih pada jenis coklat
bahaya serta akibat yang ditimbulkannya. Salah yang termakan. Lebih lanjut Thompson (2012)
satu makanan yang memiliki potensi toksik pada menyatakan keracunan pada anjing disebabkan
anjing dan kucing telah banyak dilaporkan adalah oleh lambatnya metabolisme theobromine jika
coklat (Hudd, 1997; Cortinovis and Caloni, 2016). dibandingkan pada manusia.
Meskipun demikian, kasus keracunan tersebut Gejala klinis yang sering muncul adalah
lebih banyak terjadi pada anjing jika dibandingkan muntah, takikardia dan kejang (Gwaltney-Brant,
dengan kucing. Selain anjing dan kucing, hewan 2001; Hooser and Beasley, 1986). Menurut Noble
hewan lain juga dapat mengalami keracunan et al. (2017), terapi yang dapat diberikan untuk
theobromine asal coklat adalah babi (Yang et al., mengatasi kejadian tersebut adalah activated
1997), kuda (Kelly and Lambert, 1978), kelinci charcoal, apomorfin, terapi cairan dan anti
(Tarka et al., 1986), sapi (Hanington and bell, emesis. Terapi lain yang dapat ditambahkan
1972), kambing (Aregheore, 2002), domba (Aly, adalah bronkodilatator, aminophyllin dan
1981), coyote (Johnston, 2005), red fox (Jansson diuretika (Erling and Mazzaferro, 2008; Agudelo
et al., 2001), ayam pedaging (Odunsi and Longe et al., 2013), meskipun demikian terapi yang

174
Keracunan Coklat (Theobroma Cacao) pada Anjing: Manajemen Terapi dan Pencegahan

diberikan tergantung dari gejala klinis yang theobromine, dan theophylline yang terkandung
muncul. Pencegahan yang dapat dilakukan adalah di dalam berbagai bentuk makanan dan minuman
menjauhkan coklat atau makanan berbahan dasar serta produk farmasi saat ini telah menjadi
coklat serta memberikan pengetahuan tentang konsumsi setiap hari (Shively and Tarka, 1984;
bahaya pemberiannya kepada pemilik anjing. Stavric, 1988; Monteiro et al., 2016). Kandungan
Tulisan ini bertujuan untuk menguraikan secara theobromine dalam coklat bervariasi karena
singkat tentang gejala klinis, penanganan dan adanya variasi asal biji coklat dan keragaman
pencegahan keracunan coklat pada anjing. produk coklat di pasaran (Luiz and Heseltine
2008). Jansson et al. (2001) menambahkan bahwa
Kandungan Coklat perbedaan jenis coklat mencerminkan perbedaan
Biji tanaman coklat (Theobroma cacao L.) kandungan methylxanthines, dimana konsentrasi
mengandung berbagai macam komponen kimia, terendah terdapat dalam kulit biji dan biji coklat
zat gizi, dan senyawa bioaktif di dalamnya. memiliki konsentrasi tertinggi. Hasil penelitian
Menurut Wahyudi et al. (2015) komposisi kimia dengan menggunakan HPLC pada berbagai
tepung coklat per 100 gram mengandung kalori produk komersial minuman yang berbahan baku
228,49 Kkal, lemak 13,5 g, karbohidrat 53,35 coklat rata rata mengandung theobromine 1,22%
g, serat 27,90 g, protein 19,59 g, air 2,58 g, dan dan kafein 0,21% (Zoumas et al.,1980). Menurut
kadar abu 6,33%. Kadar abu 6,33% tersusun atas Merck Veterinary Manual (2019) produk makanan
kalium (K) 1495,5 mg, natrium (Na) 8,99 mg, asal coklat yang mengandung methylxanthine
kalsium (Ca) 169,45 mg, besi (Fe) 13,86 mg, contohnya adalah bubuk coklat kering (28,5
seng (Zn) 7,93 mg, tembaga (Cu) 4,61 mg dan mg/g), coklat tanpa pemanis dalam kue (16mg/g),
mangan (Mn) 4,73 mg. Kandungan lemak pada kulit biji coklat (9,1mg/g), semisweet chocolate
biji coklat berkisar antara 50 – 70%, yang terdiri dan sweet dark chocolate (5.4-5.7 mg/g), susu
dari 34% asam stearat, 34% asam oleat, 25% asam coklat (2,3mg/g) dan kembang gula coklat (1,4-
palmitat dan 2% asam linoleat (Torres-Moreno et 2,1mg/g).
al., 2015). Komponen senyawa bioaktif dalam
tepung coklat adalah senyawa polifenol yang Etiologi dan Pathogenesis
berfungsi sebagai antioksidan (Hammerstone et Kandungan coklat yang bersifat toksik adalah
al., 1999; Othman et al., 2007) serta berperan alkaloid methylxanthine seperti theobromine
juga dalam rasa dan aroma coklat (Cruz et al., dan kafein tetapi theobromine diketahui jauh
2015). Menurut Ackar et al. (2013) serta Chin et lebih bersifat toksik dan prevalensi kejadiannya
al. (2013), biji coklat segar mengandung senyawa lebih sering pada anjing (Kovalkovicova et al.,
polifenol sekitar 12-18% yang terdiri dari gugus 2009). Penyebab tingginya prevalensi keracunan
polifenol utama yaitu flavan-3-ol/flavanol, disebabkan adanya kenyataan bahwa anjing lebih
anthocyanidin dan proanthocyanidin. Sedangkan sering memiliki akses ke berbagai makanan yang
senyawa polifenol yang lain adalah catechin mengandung coklat dengan bahan-bahan beracun
dan epicatechin dengan jumlah sekitar 15% termasuk theobromine dan kafein (Albretsen,
dalam biji coklat bentuk kering (Richelle et al., 2004). Menurut Gwaltney-Brant, (2001) anjing
1999). Namun demikian, menurut Kowalska and yang mengkonsumsi produk coklat buatan rumah
Sidorczuk (2007), jumlah kandungan senyawa tangga atau berasal dari toko roti yang telah dikemas
polifenol bervariasi tergantung pada tingkat kemungkinan sulit untuk mengidentifikasi jumlah
kematangan buah, varietas dan lingkungan tempat serta jenis coklat yang digunakan sebagai bahan
tumbuh tanaman tersebut. Methylxanthines seperti pembuatannya. Dalam kasus tersebut, pemilik
kafein (1,3,7-trimethylxanthine), theophylline maupun praktisi hanya mampu memperikirakan
(1,3-dimethylxanthine) dan theobromine dosis methylxanthine berdasarkan pada prognosa
(3,7-dimethylxanthine) adalah kelompok terburuk yang menimpa anjing.
senyawa bioaktif alkaloid terdapat dalam biji Dosis toksik coklat bervariasi tergantung pada
coklat (Martínez-Pinilla et al., 2015; Mourya beberapa faktor seperti ukuran anjing (Albretsen,
et al., 2019). Methylxanthines seperti kafein, 2004), kepekaan anjing terhadap coklat, konsumsi

175
Yanuartono, et. al.

cokelat saat saluran pencernaan kosong dan berkompetisi untuk reseptor benzodiazepine
setelah makan serta jenis coklat (Gwaltney-Brant, dalam SSP dan menghambat fosfodiesterase,
2001; Agudelo et al., 2013). Menurut Trognitz et mengakibatkan peningkatan level siklik AMP.
al., (2013) konsentrasi theobromine dalam cokelat Dampak methylxanthines yang lain adalah
3-10 kali tinggi dari kafein tetapi kedua substansi meningkatkan level epinefrin dan norepinefrin
tersebut berperan dalam munculnya gejala dalam sirkulasi (Craft and Powell, 2010; Dolder,
klinis pada kasus keracunan coklat. Meskipun 2013). Pada akhirnya dampak negatif yang
konsentrasi theobromine lebih tinggi dari kafein, dimanifestasikan pada gejala klinis yang muncul
namun pada anjing, kafein diabsorbsi dengan tergantung dari dosis, jenis coklat, kandungan
cepat setelah terkonsumsi sedangkan theobromine theobromine dalam coklat ataupun produk produk
diserap 10 kali lebih lambat dan mencapai kadar asal coklat dan bobot anjing.
puncak plasma sekitar 10 jam (Dolder, 2013).
Efek toksik pada anjing disebabkan karena Dosis toksik pada anjing
metabolisme Theobromine dan kafein lebih Banyak kejadian anjing keracunan cokelat,
lambat jika dibandingkan dengan pada manusia. produk makanan dan minuman, cacao bean
Theobromine dan kafein mudah diserap dari mulch asal coklat telah dilaporkan (Strachan
saluran pencernaan dan didistribusikan secara dan Bennett, 1994; Hovda and Kingston, 1994;
luas ke seluruh tubuh. Metabolisme terjadi di Pittenger, 2002; Hansen et al., 2003). Penelitian
hati dan menjalani daur ulang enterohepatik maupun laporan kasus menunjukkan bahwa
(Miller et al., 1984; Finlay, 2005). Thompson dosis lethal theobromine dan kafein dalam
(2012) memberikan penjelasan tambahan coklat sangatlah bervariasi. Meskipun demikian,
bahwa setelah tertelan, theobromine diabsorbsi konsentrasi theobromine biasanya lebih tinggi
sepanjang saluran pencernaan, dimetabolisme dari kafein pada beberapa produk makanan
oleh hati dan kemudian merangsang sistem saraf maupun minuman sehingga theobromine lebih
pusat. Theobromine juga menghambat reseptor sering dikaitkan dengan keracunan dibandingkan
sel adenosin dan mengakibatkan gejala tremor dengan kafein, meskipun memiliki potensi toksik
dan kekejangan. Menurut Serafin, (1996) dan sama (Eteng et al., 1997). Menurut Carson (2006)
Tazzeo et al., (2012), Theobromine dan kafein LD50 theobromine dan kafein pada anjing adalah
merupakan antagonis reseptor seluler adenosin, 100–500 mg/kg sedangkan Gans et al. (1980)
sehingga menyebabkan stimulasi SSP, diuresis, menyatakan bahwa LD50 oral pada anjing
dan takikardia. adalah 300mg/kg. Gwaltney-Brant (2001) dalam
Waktu paruh theobromine dan kafein pada tulisannya menyatakan bahwa LD50 theobromine
anjing masing-masing adalah 17,5 jam dan 4,5 dan kafein 100-200 mg/kg, tetapi tidak menutup
jam sehingga gejala klinis dapat teramati dalam kemungkinan gejala klinis yang berat dan
waktu yang lama pada kasus yang berat (Merck kematian terjadi dengan dosis yang jauh lebih
Veterinary Manual, 2005). Perbedaan waktu paruh rendah karena adanya variasi sensitivitas individu
tersebut mengakibatkan perbedaan dampak antara terhadap methylxanthine. Pada umumnya gejala
theobromine dan kafein. Dampak yang muncul ringan seperti polidipsi, muntah dan diare muncul
adalah theobromine diekskresikan melalui urin pada anjing yang menelan 20 mg/kg sedangkan
dalam bentuk metabolit dan sebagian tidak efek kardiotoksik akan muncul pada dosis 40-50
mengalami perubahan bentuk (Bonati et al., 1984). mg/kg dan kejang dapat terjadi pada dosis ≥60
Theobromine berperan juga dalam meningkatkan mg/kg. Dosis 40-50 mg/kg akan menunjukkan
kadar kalsium intraseluler dengan meningkatkan efek kardio toksik seperti gangguan irama detak
pemasukan kalsium seluler dan menghambat jantung dan kejang, sedangkan dosis yang lebih
penyerapan kalsium intraseluler oleh retikulum tinggi dapat mengakibatkan kematian (Stidworthy
sarkoplasma otot (Serafin, 1996; Finlay, 2005; et al., 1997). Dosis 20mg/kg pada anjing umumnya
Kovalkovicova et al., 2009). Dampak yang muncul menunjukan gejala ringan seperti muntah, diare
berupa peningkatan kekuatan dan kontraktilitas dan polidipsi (Finlay, 2005; Kovalkovicova et al.,
otot skelet dan jantung. Methylxanthines juga 2009).

176
Keracunan Coklat (Theobroma Cacao) pada Anjing: Manajemen Terapi dan Pencegahan

Kajian toksisitas akut pada anjing Mongrel gejala klinis sebelum kematian. Namun sayangnya
jantan, dosis theobromine tunggal 500 atau 1000 penyebab kematian 7 anjing tersebut tidak diteliti
mg/ kgBB menunjukkan gejala terengah-engah, lebih lanjut.
gelisah, dan tremor otot 4 sampai 5 jam setelah
pemberian theobromine, dan bertahan selama 6 Gejala klinis dan Diagnosis
hingga 8 jam. Sedangkan anjing yang diberi 200 Gejala klinis keracunan coklat pada anjing
mg/ kgBB tidak ada yang mati, akan tetapi 3 dari sangat bervariasi seperti dehidrasi, tremor,
14 anjing dengan pemberian 300-1000 mg/kg BB peningkatan nafsu minum (Reddy et al., 2013),
mengalami kematian (Gans et al., 1980). Loeffler muntah, diare, distensi abdomen (Luiz and
(2000) menambahkan bahwa 160 g coklat atau Heseltine, 2008) aritmia, hyperthermia (Strachan
tepung coklat (setara dengan 60mg/kgBB) dapat and Bennett 1994) dan biasanya muncul 6-12 jam
mengakibatkan keracunan pada anjing dengan setelah mengkonsumsinya. Meskipun demikian,
bobot badan 20 kg dan jika diberikan 400 g (setara menurut pengamatan Finlay (2005), sebagian
dengan 150mg/kgBB) dapat mengakibatkan besar gejala klinis akan mulai muncul dalam dua
kematian. Gans et al. (1980) dalam kajian lanjut jam setelah konsumsi, namun demikian karena
toksisitas subakut theobromine pada sepuluh theobromine dimetabolisme secara perlahan,
anjing yang selamat dari uji toksisitas akut maka diperlukan waktu sampai 24 jam untuk
sebelumnya menunjukkan semuanya mampu muncul gejala klinis dan hingga tiga hari untuk
bertahan hidup. Dosis yang diberikan adalah 125- pemulihan. Hornfeldt (1987) menambahkan
150 mg/kg BB/ per hari selama 21 sampai 28 hari. bahwa gejala klinis toksisitas coklat yang berat
namun demikian, tujuh dari sepuluh anjing mati terkait dengan gangguan sistem syaraf pusat
selama penelitian meskipun tanpa menunjukkan (SSP) seperti nervous, gelisah, tremor, kejang

Tabel 1. Gejala klinis dan pemeriksaan laboratoris kasus keracunan theobromine dan kafein dalam coklat

Hewan Anamnesa Gejala klinis Pemeriksaan laboratoris Pustaka


Airedale Ditemukan mati setelah Sebelum mati anjing muntah, Ditemukan theobromine dengan Decker and Myers,
Terrier mengkonsumsi sekitar 250 koma disertai dengan kejang menggunakan metode thin-layer 1972
g coklat otot dan konvulsi chromatography
red fox Ditemukan lim­bah co­kelat Tidak teramati karena sudah analisis kimia methylxanthine Jansson et al., 2001
(Vulpes berbentuk batang yang dalam kondisi mati theo­bromine sampel isi lambung
vulpes) digunakan untuk pakan mengandung 420 µg/g dan 64 µg/g
ternak dan babi di lokasi hati.
kematian red fox.

West Pemilik sebelumnya hipotermia ringan, Pernafasan Peningkatan hematokrit, leukositosis Atkinson, 2008
Highland memberikan coklat dalam dangkal dan cepat, pulsus dengan neutrofilia dan eosinophilia.
white jumlah yang tidak pasti, lemah tetapi frekuensi Kimia darah total bilirubin menun­
terrier muntah intermiten selama meningkat, membrana mukosa jukkan sedikit peningkatan dan
beberapa jam dan diare mulut sianotik, dehidrasi ringan hiperglikemia
Anjing pug 12-14 jam sebelum gejala tremor, salivasi, muntah, total leukosit (9200 / cumm), Reddy et al., 2013
klinis muncul anjing polidipsi, terengah-engah, neutrofil (6256 /cumm), limfosit
diberi makan coklat gelisah, frekuensi urinasi (2760/cumm), eosinofil (18 / cumm),
meningkat. hemoglobin (13 g/dl), TEC (6,2 x
106/ cumm) dan PCV (43%).
Anjing Lima jam sebelum peme­ Muntah, hipersalivasi, Pemeriksaan darah lengkap/ Agudelo et al., 2013
Dachshund rik­saan, anjing diketahui dispnu, selaput lendir complete blood count (CBC) sedikit
oleh pemilik makan se­ kemerahan, takikardia, perut mengalami peningkatan, alanine
potong kue cokelat dengan membesar disertai nyeri saat transferase (ALT) 1,91 μkat / l,
Berat 200 g. dipalpasi

Yorkshire 6 - 8 jam sebelum takikardia ekstrem, fasikulasi Pemeriksaan laboratoris tidak Hensel et al., 2017
terrier pemeriksaan, anjing muka, koma/ pingsan dan sempat dilakukan
mengonsumsi 800 mg akhirnya mati
tablet kafein

177
Yanuartono, et. al.

dan akhirnya koma dan mati. Kematian terutama ditemukan theobromine. Diagnosa yang lebih
disebabkan karena aritmia, hipertermia, kegagalan akurat seharusnya dilakukan melalui pendekatan
pernapasan, kongesti dan edema (Jansson et al., anamnesa yang seksama dan didukung dengan
2001). Sedangkan Hooser and Beasley (1986) gejala gejala klinis yang muncul.
menyatakan bahwa gejala lain yang dapat Secara umum, hasil anamnesa berupa
teramati adalah stimulasi jantung, terengah- konsumsi cokelat, tanda-tanda klinis yang selaras
engah, muntah, haus, diare, inkontinensia urin dan dengan keracunan cokelat dan keberadaannya
kematian mendadak. Bervariasinya gejala klinis dalam saluran pencernaan adalah metode diagnosis
yang muncul membuat kita harus berhati hati yang paling ideal. Menurut Smit (2011), jenis
dalam melakukan anamnesa, pemeriksaan klinis coklat juga dapat menunjukkan gejala gejala pada
maupun laboratoris sehingga diharapkan dapat saluran pencernaan guna membantu penentuan
menentukan diagnosa serta memberikan terapi diagnosa. Coklat yang banyak mengandung
dengan cepat dan tepat. Gejala klinis yang muncul lemak jika termakan akan menunjukkan gejala
akibat keracunan coklat pada anjing disajikan pada saluran pencernaan seperti muntah, diare,
dalam tabel 1. distensi abdominal dan pankreatitis. Selain itu,
Tabel 1 menunjukkan bahwa diagnosa yang pemeriksaan dengan kromatografi cair kinerja
diambil pada umumnya akan tepat jika anamnesa tinggi (HPLC) juga dapat membantu memastikan
diketahui secara pasti. Sedangkan gejala gejala diagnosa. Deteksi keberadaan theobromine
klinis yang muncul sulit digunakan sebagai dasar dapat ditentukan dengan HPLC dalam isi
diagnosa karena banyaknya gejala yang mirip lambung, serum atau urin (Carson, 2006). Hasil
namun tidak disebabkan oleh keracunan coklat. pemeriksaan makroskopis menunjukkan lesi yang
Diagnosa banding yang perlu mendapatkan tidak spesifik seperti hiperemia mukosa lambung
perhatian adalah keracunan amfetamin, kafein, dan duodenum serta kongesti organ yang bersifat
pseudoefedrin, kokain, antihistamin dan difus (Iannaccone, 1999; Jansson et al., 2001).
antidepresan (Reich et al., 2000; Diniz et al., 2003; Pemerikasaan laboratoris perlu dikakukan untuk
Gwaltney-Brant, 2012; Tawde et al., 2012; Kang mendukung penentuan diagnose yang lebih pasti.
and Park, 2012; Thomas et al., 2014; Buchweitz Hasil pengujian sampel isi lambung, plasma,
et al., 2014). Oleh sebab itu kita perlu lebih serum, urin dan hepar mengalami peningkatan
berhati hati dalam menentukan diagnosa yang kadar methylxanthine dan metabolitnya tiga
tepat karena banyaknya diagnosa banding yang sampai empat hari setelah paparan awal (Carson,
menunjukkan gejala klinis yang sama. Laporan 2006). Smit (2011) menambahkan bahwa terdapat
kasus oleh Atkinson (2008) menunjukkan diagnosa keberagaman antara konsentrasi serum dengan
meragukan meskipun beberapa hasil pemeriksaan gejala klinis yang teramati. Keberagaman tersebut
klinis mengarah pada kasus keracuan coklat. dapat dilihat dari laporan Stidworthy et al. (1997)
Pada kasus tersebut diagnosa keracunan coklat dan Reising et al., (1999) yang menggambarkan
diambil berdasarkan adanya kesembuhan tanpa kematian pada seekor anjing terkait dengan
pengobatan setelah pemberian coklat dihentikan. konsentrasi serum 133 μg/ml theobromine dan
Meskipun tidak banyak laporan kasus keracunan sebaliknya, anjing dengan konsentrasi theobromine
coklat yang dipublikasikan, namun demikian serum 250μg/ml tidak mengalami kematian.
laporan kasus yang terdokumentasikan banyak
terjadi di Negara Negara Eropa dan Amerika Terapi
Serikat dimana kasus keracunan akan meningkat Tidak ada antidota spesifik untuk
saat menjelang hari raya Paskah dan Natal dimana theobromine dan pengobatan yang dilakukan lebih
coklat lebih banyak dan mudah diakses dalam banyak bersifat simtomatik dan supportif untuk
rumah tangga yang banyak memelihara anjing menghilangkan gejala gejala klinis yang muncul
(Noble et al., 2017). Tabel 1. juga menunjukkan dan memperbaiki kondisi tubuh hewan. Terapi
bahwa hasil pemeriksaan laboratoris tampaknya yang dapat dilakukan lebih kearah simptomatis dan
sulit untuk membantu menentukan diagosa suportif tergantung dari gejala klinis yang muncul
kecuali pada analisis kimia sampel isi lambung (Thompson, 2012). Pendapat tersebut didukung

178
Keracunan Coklat (Theobroma Cacao) pada Anjing: Manajemen Terapi dan Pencegahan

oleh Iannaccone (1999) yang menyatakan tidak melalui urin. Reddy et al. (2013) menambahkan
ada antidota khusus untuk keracunan theobromine injeksi antibiotika amoksisilin dan kloksasilin
dari coklat. Meskipun demikian, keberhasilan masing masing 25mg/kgBB IM untuk mencegah
dapat diupayakan dengan terapi kombinasi munculnya infeksi sekunder karena penurunan
detoksifikasi, perawatan suportif dan simtomatik. kondisi anjing. Meskipun demikian, Farbman
Detoksifikasi dapat dilakukan setelah 3-4 jam (2001) dan Kovalkovicova et al. (2009)
pertama konsumsi dengan, pencucian lambung tidak menganjurkan pemberian antibiotika
dan pemberian activated charcoal. Sedangkan eritromisin dan preparat kortikosteroid karena
terapi suportif dapat dilakukan dengan pemberian akan menghambat ekskresi theobromine. Terapi
cairan pengganti secara intra vena (IV) untuk keracunan theobromine asal coklat menunjukkan
mencegah dehidrasi dan kateterisasi untuk variasi yang cukup besar meskipun pada intinya
mencegah reabsorbsi toksin. Obat obatan relaksan merupakan terapi simptomatis yang ditujukan
otot dan anti konvulsi perlu diberikan saat muncul untuk mengatasi gejala gejala klinis yang muncul.
gejala gejala tersebut. Gejala klinis dan terapi
pada kasus keracunan coklat pada anjing tersaji Pencegahan
pada tabel 2. Keracunan cokelat pada anjing sampai
Tabel 2 menunjukkan bahwa terapi saat ini belum ada antidota spesifik yang dapat
simptomatis berdasarkan gejala klinis yang mengatasinya sehingga diperlukan strategi
muncul mendominasi terapi yang diberikan untuk mencegah kejadian tersebut. Pencegahan
dalam penanganan kasus keracunan coklat. sederhana yang dapat dilakukan adalah
Terapi simptomatis tersebut disebabkan karena memberikan edukasi kepada pemilik maupun
hampir semua anjing yang keracunan coklat perawat hewan tentang risiko pemberian minuman
menunjukkan gejala-gejala muntah sehingga atau makanan coklat atau berbahan dasar coklat
diberikan berbagai macam obat anti emesis seperti pada anjing peliharaannya. Hal tersebut mengingat
ranitidine, thiethylperazin dan activated charcoal. bahwa jenis coklat maupun volume yang masuk
Namun demikian, jika tidak terjadi muntah dalam dapat membahayakan anjing, termasuk ras kecil
waktu 4 jam setelah menelan coklat maka perlu yang jauh lebih peka jika dibandingkan dengan
diberikan induksi dengan menggunakan saturated anjing ras besar (Noble et al., 2017). Apapun
salt solution 400 ml (Ahlawat et al., 2014) agar bentuk makanan dan minuman yang mengandung
hewan menjadi muntah atau dilakukan pencucian coklat dan berapapun jumlah yang diberikan ke
lambung yang diikuti pemberian Activated anjing sebaiknya dihindari karena gejala klinis
charcoal (Finlay, 2005; Luiz and Heseltine, 2008). kemungkinan bisa teramati atau tidak teramati
Pemberian activated charcoal ditujukan karena sama sekali sampai kondisi telah menjadi parah
adanya resirkulasi enterohepatik theobromine dan berujung kematian anjing.
dan cafein dengan pengulangan pemberian
setiap 4-6 jam sekali. Activated charcoal juga
Kesimpulan
mampu menurunkan waktu paruh theobromine
(Farbman, 2000). Methocarbamol  atau Produk produk makanan maupun minuman
diazepam dapat diberikan untuk mengatasi berbasis coklat dapat menyebabkan keracunan
gejala seperti tremor dan kejang serta pemberian pada anjing. Kejadian keracunan kebanyakan
propranolol atau metoprolol untuk mengontrol bersifat tidak sengaja akibat kalalaian atau ketidak
aritmia jantung. Pemberian diazepam 0,5-2 mg/ tahuan pemilik dalam memberikan makanan
kg IV, fenobarbital 2-6 mg/kg IV atau preparat ataupun minuman yang mereka konsumsi dan
barbiturat dapat digunakan untuk mengendalikan tanpa disadari dapat membahayakan hewan
gejala kejang yang muncul (Farbman, 2001). peliharaanya jika dimakan. Sifat racun coklat
Kovalkovicova et al. (2009) menggunakan cairan tersebut disebabkan oleh alkaloid methylxanthines
infus 25–80 mg/kg IV sebagai terapi membantu seperti theobromine dan kafein yang terkandung
menstabilkan fungsi kardiovaskuler dan di dalamnya. Dosis lethal theobromine dan kafein
membantu mempercepat ekskresi theobromine dalam coklat pada anjing sangatlah bervariasi

179
Yanuartono, et. al.

tergantung pada beberapa faktor seperti ukuran bypbroducts fed to goats. Tropical Animal.
anjing, kepekaan anjing terhadap coklat, konsumsi Health and Production. 34(4): 339-348.
coklat saat saluran pencernaan kosong dan setelah DOI:10.1023/a:1015638903740
makan serta jenis produk produk coklat buatan Atkinson, M. (2008). Suspected case of Angel’s
sendiri maupun produk komersial. Karena near ‘death by chocolate’ experience.
tidak ada antidota spesifik maka pengobatan https://www.vettimes.co.uk › uploads › wp-
hanya bersifat simptomatis dan supportif untuk post-to-pdf-enhanced-cache › s.
memperbaiki kondisi anjing secara keseluruhan
dan pemberian makanan atau minuman yang Beasley, V. (1999). Toxicants associated with
mengandung coklat sebaiknya dihindari. stimulation or seizures. In: Veterinary
toxicology. Beasley V, editor. Ithaca NY:
Saran International Veterinary information service

Adanya edukasi terhadap pemikik hewan Berny, P., Caloni, F., Croubels, S., Sachana,


kesayangan anjing untuk tidak memberikan coklat M., Vandenbroucke, V., Davanzo, F.
atau makanan yang mengandung coklat untuk and Guitart, R. (2010). Animal poisoning
menghindari keracunan. Jika terjadi keracunan in Europe. Part 2: Companion animals.
maka sebaiknya langsung dibawa ke dokter hewan Vet J.  183(3):255-9. doi: 10.1016/j.
untuk dilakukan terapi simptomatis dan supportif tvjl.2009.03.034.
Black, D.J.G. and Barron, N.S. (1943).
Daftar Pustaka Observations on the feeding of a cacao
waste product to poultry. The Veterinary
Ackar, D., Landic, K.V., Valek, M., Subaric,
Record. 55: 166-167.
D., Milicevic, B., Babic, J. and Nedic,
H. (2013). Cocoa polyphenols : can we Bonati, M., Latini, R., Sadurska, B., Riva, E.,
consider cocoa and chocolate as potential Galletti, F., Borzelleca, J. F., Tarka, S.M.,
functional food. Journal of Chemistry. 2013 Arnaud, M.J. and Garattini, S, (1984).
( Article ID 289392): 1-7. http://dx.doi. Kinetics and metabolism of theobromine in
org/10.1155/2013/289392 male rats. Toxicology 30(4): 327–341. doi:
Agudelo, C.F., Filipejova, Z. and Schanilec, P. 10.1016/0300-483X(84)90143-4
(2013). Chocolate ingestion-induced non- Buchweitz, J.P., Raverty, S.A.,  Johnson, M.B. and 
cardiogenic pulmonary oedema in a puppy: Lehner, A.F. 2014. Fatal diphenhydramine
a case report. Veterinarni Medicina, 58 (2): poisoning in a dog. Can Vet J. 55(11):
109–112. DOI:10.17221/6703-vetmed 1089–1092. PMCID: PMC4204843
Ahlawat, A.R., Ghodasara, S.N., Dongre, V.B. and Caloni, F., Berny, P., Croubels, S., Sachana, M. and
Gajbhiye, P.U. (2014). Chocolate Toxicity Guitart, R. (2012). Epidemiology of animal
In A Dog. Ind. J. Vet. & Anim. Sci. Res., 43 poisonings in Europe. 2nd ed In: Gupta RC,
(6): 452 – 453. editor., editor. Veterinary Toxicology: Basic
Albretsen, J.C. (2004). Methylxanthines. In: and Clinical Principles. San Diego, CA:
Plumlee KH (ed.): Veterinary Clinical Elsevier Inc. pp. 88–97
Toxicology. 1st ed. Mosby Inc., St. Louis, Campbell, A. (2007). Grapes, raisins and
MO. 322–326. sultanas, and other foods toxic to dogs.
Aly, Z.H. 1981. Untersuchungenüber coffein und UK Vet Companion Animal 12(1): 77-79.
theobromin bei schafen III. Mitteilung: https://doi.org/10.1111/j.2044-3862.2007.
Verfütterung von Kakoschalen. Zbl. Vet. tb00121.x
Mrd. A 28 (9-10): 711-719. https://doi. Carson, T.L. (2006). Methylxanthines. In:
org/10.1111/j.1439-0442.1981.tb01242.x Peterson ME, Talcott PA (eds.) Small
Aregheore, E.M. (2002). Chemical evaluation adn Animal Toxicology. 2nd ed. Saunders, St.
digestibilityt oc cocoa (Theobroma cacao) Louis, MO. 845–852

180
Keracunan Coklat (Theobroma Cacao) pada Anjing: Manajemen Terapi dan Pencegahan

Chin, E., Miller, K.B., Payne, M.J., Hurst, W.J. (1997). Recent advances in caffeine
and Stuart, D.A. (2013). Comparison of and theobromine toxicities: a review.
antioxidant activity and flavanol content Plant Foods Hum Nutr. 51(3):231–243.
of cocoa beans processed by modern DOI:10.1023/a:1007976831684
and traditional Mesoamerican methods. Farbman, D.B. (2000). 10 Common toxicant expo­
Heritage Science 1(1) : 1-7. http://dx.doi. sures in animals, part I. Champaign, IL,
org/10.1186/2050-7445-1-9 Parkland Coll Fall Conf Proc, October 7.
Cortinovis, C. and Caloni, F. (2016). Household Farbman, D.B. (2001). Death by Chocolate ?
Food Items Toxic to Dogs and Cats. Methylxanthine Toxicosis. Vet Tech 146-
Front. Vet. Sci. 3 (26): 1-7. doi: 10.3389/ 147
fvets.2016.00026
Finlay, F. (2005). Chocolate poisoning. BMJ.
Craft, E.M. and Powell, L.L. (2010). Chocolate 331(7517): 633. PMCID: PMC1215566
and caffeine. In: Osweiler GD, Hovda LR,
Gans, J.H., Korson, R., Cater, M.R. and
Brutlag AG, Lee JA, editors. Blackwell’s
Ackerly, C.C. (1980). Effects of short-
Five-Minute Veterinary Consult Clinical
term and longterm theobromine
Companion: Small Animal Toxicology.
administration to male dogs. Toxicol Appl
Ames, IA: Wiley-Blackwell p. 421–428.
Pharmacol. 53(3):481-496. https://doi.
Cruz, J.F.M., Leite, P.B., Soares, S.E. and da Silva org/10.1016/0041-008X(80)90360-9
Bispo, E. (2015). Bioactive compounds
Gwaltney-Brant, S.M. 2001. Chocolate
in different cocoa (Theobroma cacao, L)
intoxication. Vet Med. 96:108-111.
cultivars during fermentation. Food Sci.
Technol, Campinas. 35(2): 279-284. DDOI: Gwaltney-Brant S.M. 2012. Toxicology V.
http://dx.doi.org/10.1590/1678-457X.6541 Epidemiology of animal poisonings in the
United States: Elsevier: 80–87.
Hanington, E.  and Bell, H. (1972). Suspected
chocolate poisoning of calves. Vet. Rec. 90 Hammerstone, J.F., Lazarus, S.A., Mitchell, A.E.,
(14): 408-409. DOI:10.1136/vr.90.14.408 Rucker, R. and Schmitz, H.H. (1999).
Identification of procyanidins in cocoa
Decker, R.A. and Myers, G.H. (1972). Theobromine (Theobroma cacao) and chocolate using
poisoning in a dog. J Am Vet Med Assoc.  high-perfomance liquid chromatography/
161(2):198-199. PMID:5036186 mass spectrometry. J. Agric. Food Chem.
Diniz, P.P., Sousa, M.G, Gerardi, D.G. and Tinucci- 47(2): 490-496. DOI:10.1021/jf980760h
Costa, M. (2003). Amphetamine poisoning Hansen, S., Trammel, H., Dunayer, E., Gwaltney,
in a dog: Case report, literature review and S., Farbman, D. and Khan, S. (2003). Cocoa
veterinary medical perspectives. Vet hum bean mulch as a cause of methylxanthine
toxicol. 45(6):315-317. PMID:14640484 toxicosis in dogs. Journal of toxicology
Dolder, L.K. (2013). Methylxanthines: caffeine, Clinical toxicology.41: 720. doi:10.1081/
theobromine, theophylline. 3rd ed. In: CLT-120024368
Petersen ME, Talcott PA, editors. Small Hensel, M., Pashmakova, M. and Porter, B.F.
Animal Toxicology. St. Louis, MO. (2017). Fatal caffeine intoxication in a dog.
Saunders p. 647–52. Braz J Vet Pathol. 10(2): 65 – 68. DOI:
Erling, P. and Mazzaferro, E.M. (2008). Left-sided 10.24070/bjvp.1983-0246.v10i2p65-68
congestive heart failure in dogs: treatment Hooser, S.B. and Beasley, V.R. (1986).
and monitoring of emergency patients. Methylxanthine poisoning (chocolate and
Compendium on Continuing Education for caffeine toxicosis). In: Current Veterinary
the Practicing Veterinarian 30: 94–104. Therapy small animal practice IX, R.W:
Eteng, M.U., Eyong, E.U., Akpanyung, Kirk (Ed.), W.B. Saunders, Philadelphia,
E.O., Agiang, M.A. and  Aremu, C.Y. Pennsylvania, pp. 191-192.

181
Yanuartono, et. al.

Hornfeldt, C.S. (1987). Chocolate toxicity in dogs. Hudd, A.  (1997). Chocolate Poisoning in the
Mod Vet Pract. 68:552-554. Dog. Veterinary Nursing Journal. 12(2): 54-
Hovda, L.R. and Kingston, R.L. (1994). Cacao
bean mulch poisoning in dogs. Vet Muman
Toxicol. 36:3.

182
Jurnal Sain Veteriner, Vol. 38. No. 2. Agustus 2020, Hal. 183-108
DOI: 10.22146/jsv.51882
ISSN 2443-1583 (Print), ISSN 2407-3733 (Online)
Tersedia online di https://jurnal.ugm.ac.id/jsv

Profil Reseptor Gonadotropine Releasing Hormone (GnRH)


dari Hipothalamus Sapi

Gonadotropine Releasing Hormone (GnRH) Receptor Profile from Cow’s Hypothalamus


Irma Dian Nurani1*, Claude Mona Airin2, Pudji Astuti2, Khrisdiana Putri3, Bambang Sutrisno4

Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta


1

2
Departemen Fisiologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
3
Departemen Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan,
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
4
Departemen Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Email : nurani_vet07@yahoo.com

Naskah diterima: 26 Nopember 2019, direvisi: 1 Juni 2020 , disetujui: 30 Juli2 Juni 2020

Abstract

Gonadotropine Releasing Hormone (GnRH) is one of the recommended hormones to overcome


ovulation problems and it can increase pregnancy rate so that it is used in government programs to increase
cattle population in Indonesia, although the results are not yet optimal. Hormone and receptor compatibility
is the main key to succesful hormone application while data on the composition of the Indonesian cow GnRH
receptors is not yet known. The purpose of this study was to obtain the composition of GnRH receptors cattle
in Indonesia and compare them to the GenBank sequence reference so that is known whether genetic diversity
occurs at GnRH receptors cattle in Indonesia. Samples in the form of 3 female cow hypothalamus stored at
-800C temperatue freezer. The methods used are mRNA isolation, cDNA synthesis, amplification of GnRH gene
using Polymerase Chain Reaction (PCR) process by Promoter F and Exon 1 R primers and then elektrophoresis
and sent for sequencing. Sequencing product were further aligned with the reference sequences of Bos Taurus
GnRHR mRNA GenBank using the MEGA X program. The results of the analysis found the presence of Single
Nucleotide Polymorphism (SNP) in the coding region of 1st cow position 38(A> T), 261(C > T), 342(C >T),
411(C >T) and 495(C > T) and 2nd cow positions 261(C >T). Changes in amino acids were also detected in 1st cow
position 13 (H> L). The presence of SNP was found to indicate genomic variation between individuals at GnRH
receptors cattle in Indonesia.

Key words: Bos Taurus; GnRH; receptors; hypothalamus

Abstrak

Gonadotropine Releasing Hormone (GnRH) adalah salah satu hormon yang direkomendasikan untuk
mengatasi masalah ovulasi serta mampu meningkatkan tingkat kebuntingan sehingga dipakai dalam program
pemerintah untuk meningkatkan populasi sapi di Indonesia, walaupun demikian hasilnya belum optimal.
Kesesuaian hormon dan reseptor adalah kunci utama keberhasilan aplikasi hormon, sedangkan data tentang
susunan reseptor GnRH sapi Indonesia belum diketahui. Tujuan penelitian ini adalah mendapatkan susunan
reseptor GnRH sapi di Indonesia dan membandingkannya dengan sekuens referensi GenBank sehingga diketahui
apakah keragaman genetik terjadi pada reseptor GnRH sapi di Indonesia. Sampel berupa 3 hipothalamus
sapi betina yang disimpan dalam suhu -800C. Metode yang digunakan adalah isolasi mRNA, sintesis cDNA,
amplifikasi gen GnRHR dengan proses Polymerase Chain Reaction (PCR) menggunakan primer Promotor F dan
Exon 1 R kemudian dilakukan elektroforesis dan dikirimkan untuk sekuensing. Produk sekuensing disejajarkan

183
Yanuartono, et. al.

berganda dengan sekuens referensi Bos Taurus GnRHR mRNA GenBank menggunakan program MEGA X.
Hasil analisis ditemukan adanya Single Nucleotide Polymorphism (SNP) pada coding region yaitu sapi 1 posisi
38(A>T), 261(C>T), 342(C>T), 411(C>T) dan 495(C>T) dan sapi 2 posisi 261(C>T) . Perubahan asam amino
juga terdeteksi pada sapi 1 posisi 13 H>L. Adanya SNP yang ditemukan mengindikasikan adanya variasi genom
antar individu pada reseptor GnRH sapi di indonesia.

Kata kunci : Bos Taurus; GnRH; hipothalamus; reseptor

Pendahuluan kepada generasi selanjutnya (Aisah et al., 2015).


Apabila mutasi terjadi pada reseptor GnRH,
Di Indonesia berbagai manipulasi hormonal
maka dapat menyebabkan gangguan aksi GnRH
dilakukan untuk memicu terjadinya estrus,
sehingga penggunaan GnRH menjadi tidak efektif
salah satu caranya yaitu dengan penyuntikan
(Beat et al., 2012).
Gonadotrophine releasing hormone (GnRH).
Polymerase Chain Reaction (PCR) adalah
Hal ini menjadi sangat penting ketika aplikasi
teknik biologi molekuler untuk mengamplifikasi
hormonal dijadikan sarana untuk mendukung
sekuen DNA spesifik menjadi ribuan sampai
keberhasilan program pemerintah secara nasional
jutaan copy sekuen DNA. Teknik ini menggunakan
yaitu program swasembada daging sapi untuk
metode enzimatis yang diperantarai primer.
memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap daging
Prinsip dasar PCR adalah pelipatgandaan sekuen
sapi. Program ini pada awalnya diharapkan
DNA menggunakan enzim spesifik yang dikenal
tercapai pada tahun 2010 kemudian direvisi
dengan polimerase. Polimerase adalah enzim yang
menjadi menjadi tahun 2014. Karena belum
mampu menggabungkan DNA cetakan tunggal,
memenuhi target, pemerintah memperpanjang
membentuk untaian molekul DNA yang panjang.
program dengan harapan mampu memenuhi
Enzim ini membutuhkan primer serta DNA
kecukupan daging sapi tahun pada tahun 2026.
cetakan seperti nukleotida yang terdiri dari empat
Kendala utama dalam pengembangan sapi adalah
basa yaitu Adenine (A), Thymine (T), Cytosine (C)
masih rendahnya laju peningkatan populasi.
dan Guanine (G). Reaksi amplifikasi ini dimulai
Hal ini terutama disebabkan kekurangan dan
dengan melakukan denaturasi DNA cetakan yang
ketidakseimbangan hormonal sehingga terjadi
berantai ganda menjadi rantai tunggal, kemudian
anestrus atau berahi tenang dan estrus tidak disertai suhu diturunkan sehingga primer akan menempel
ovulasi setelah melahirkan (Afriani et al., 2014). (annealing) pada DNA cetakan yang berantai
Persilangan sapi dilakukan dilakukan untuk tunggal. Setelah proses annealing, suhu dinaikkan
meningkatkan produktivitas ternak Indonesia. kembali sehingga enzim polimerase melakukan
Program persilangan ini dilakukan melalui proses polimerase rantai DNA yang baru. Rantai
sistem perkawinan inseminasi buatan (IB) dan DNA yang baru tersebut selanjutnya sebagai
menghasilkan banyak sapi persilangan populer cetakan bagi reaksi polimerase berikutnya Metode
antaralain sapi Limpo (Limousin dengan PCR dapat digunakan untuk mengamplifikasi
Peranakan Ongole) dan Simpo (Simmental dengan DNA atau RNA. Untuk mengamplifikasi RNA,
Peranakan Ongole) (Agung et al., 2017; Trifena proses PCR didahului dengan reverse transcriptase
et al., 2011). Sapi hasil silangan menunjukkan terhadap molekul mRNA sehingga diperoleh
kinerja yang lebih baik dibanding sapi lokal, molekul complementary DNA (cDNA). Molekul
sehingga banyak disenangi oleh peternak, namun cDNA tersebut kemudian digunakan sebagai
perlu diketahui bahwa setiap bangsa sapi memiliki cetakan dalam proses PCR. Proses PCR untuk
keunggulan dan kekurangan yang terkadang bisa mengamplifikasi RNA dikenal dengan Reverse
membawa risiko yang kurang menguntungkan Transcriptase-Polymerase Chain Reaction (RT-
(de Carvalho et al., 2010). Keragaman genetik PCR) (Hewajuli dan Dharmayanti, 2014).
menimbulkan variasi genom antar individu, Aplikasi GnRH untuk gertak birahi tidak
apabila sampai terjadi mutasi maka perubahan selalu berhasil. Sapi hasil persilangan di
genetik (gen atau kromosom) akan diturunkan Indonesia semakin banyak jumlahnya dan data

184
Keracunan Coklat (Theobroma Cacao) pada Anjing: Manajemen Terapi dan Pencegahan

tentang susunan reseptor GnRH sapi Indonesia DNA Polimerase (Thermo Fisher), TrackIT DNA
belum tersedia. Oleh karena itu, perlu dilakukan Loading Buffer (Thermo Fisher) UltraPureTM TBE
pemetaan terhadap susunan reseptor GnRH 10X (Thermo Fisher).
sapi di Indonesia. Tujuan penelitian ini adalah Koleksi Sampel. Sampel berupa tiga otak
mendapatkan susunan reseptor GnRH sapi di sapi betina tidak produktif yang didapatkan dari
Indonesia dan membandingkannya dengan Rumah Potong Hewan Giwangan Kota Yogyakarta
referensi reseptor GnRH GenBank sehingga dan telah dilakukan perizinan terlebih dahulu dari
diketahui apakah keragaman genetis terjadi pada Dinas Pertanian dan Pangan Kota Yogyakarta
reseptor GnRH sapi di Indonesia. Adanya penelitian untuk mendapatkan akses sampling. Sampel
ini diharapkan bermanfaat untuk menjadi sarana disimpan dalam freezer bersuhu -800C sampai
evaluasi penyebab kegagalan aplikasi GnRH untuk dilakukan pengujian berikutnya.
gertak birahi, menjadi masukan bagi pemerintah Isolasi mRNA. mRNA total diekstraksi dari
agar mampu menentukan langkah yang tepat hipothalamus yang telah di thawing sebelumnya
sehingga terapi hormon GnRH lebih tepat sasaran sebanyak 25 mg. Prosedur yang digunakan untuk
dan membuka penelitian-penelitian selanjutnya isolasi mRNA dilakukan berdasarkan petunjuk
tentang hormon GnRH sehingga memberikan RNeasy® Lipid Tissue Qiagen . Total mRNA
dukungan bagi kemajuan bidang endokrinologi yang telah dikoleksi akan diubah menjadi cDNA
reproduksi. agar dapat digunakan sebagai cetakan proses
amplifikasi dengan metode PCR.
Materi dan Metode Sintesis cDNA. Sintesis cDNA dilakukan
menggunakan reagen ExcelRTTM Reverse
Semua metode di dalam penelitian ini Transcription Kit II (Smobio). cDNA hasil sintesis
telah mendapat persetujuan oleh Komisi Ethical disimpan pada suhu -200C.
Clearance LPPT-UGM dengan No. Sertifikat Amplifikasi cDNA dengan teknik PCR.
00006/04/LPPT/II/2018. Hasil isolasi cDNA digunakan sebagai cetakan
untuk proses amplifikasi menggunakan tehnik
Desain Penelitian
PCR. Pereaksi PCR menggunakan Go Taq® Flexi
Alat dan Bahan. Alat yang akan digunakan DNA polimerase (Promega) dengan komposisi
adalah gergaji, sarung tangan, timbangan, total 50µl untuk masing masing sampel yang
micropipet, tube rak, freezer, microwave, vortex terdiri dari Green Buffer 10µl, MgCL2 6µl, dNTPs
mixer (Thermo Scientific), sentrifus (Mini spin 8µl, DEPC 17,75µl, primer forward 2µl, primer
Eppendorf) , Thermal cycler (Bio Rad T 100), reverse 2µl, Go Taq polimerase 0,25µl, dan
mesin elektroforesis (Mupid® Exu Advance), template cDNA 4µl sehingga volume satu reaksi
alat pencetak agar (plat dan sisir pencetak adalah 50µl. Kondisi PCR untuk amplifikasi
sumuran), gel documentation system (Wisedoc). fragmen DNA adalah predenaturasi pada suhu
Bahan yang akan digunakan dalam penelitian ini 940C selama 1 menit, denaturasi pada suhu
yaitu 3 otak sapi betina yang didapat dari Rumah 940C selama 30 detik, annealing atau proses
Potong Hewan, kertas alumunium foil, filter penempelan primer pada suhu 610C selama 60
tips 10µL, 100µL, 200µL , 1000µL (Tarsons), detik, elongation atau proses pemanjangan pada
microcentrifuge tube (0,2 dan 1,5 mL), 100µL PCR suhu 720C selama 60 detik dan post elongation
tube, 1,5 ml Rnase Dnase free-tube, Chloroform, yaitu fase untuk memastikan pemanjangan
Ethanol 70%, RNAeasy Lipid Tissue Mini Kit sempurna pada suhu 720C selama 10 menit.
(Qiagen), Buffer RLT (Qiagen) , Go Taq® Flexi Reaksi denaturasi, annealing, dan elongation
DNA polimerase (Promega), ExcelRTTM Reverse dalam mesin PCR dilakukan sebanyak 30 kali.
Transcription Kit II (Smobio), RNAse DNAse Produk PCR dideteksi dengan cara dimigrasikan
free water, UltraPureTM Agarose Low Melting pada gel agarosa 1,5% dengan menggunakan 1X
Point Agarose (Thermo Fishers), ExactMark TBE dalam mesin elektroforesis. Pengamatan
100bp DNA ladder (100 – 1.500 bp) (1st base) , dilakukan dengan bantuan sinar UV setelah gel
FloroSafe DNA stain (1st base), Platinum Taq diwarnai dengan florosafe (1st base). Penanda

185
Yanuartono, et. al.

DNA dengan ukuran 100 pb digunakan sebagai


M S1 S2 S3
petunjuk berat molekul.
Sekuensing DNA. Sekuensing produk PCR
dilakukan untuk menentukan urutan nukleotida 1000 bp
802 bp
dikirim ke PT. Indolab Utama. Sampel dan primer
yang disiapkan untuk dikirim masing masing 20µl
dengan konsentrasi sampel DNA minimal 20ng/µl
dan konsentrasi primer minimal 10 pmol. Setelah
dikirim, selanjutnya analisis dilakukan oleh PT
Macrogen Korea dengan metode Sanger
Gambar 1 (metode Gambar 1. Elektroforesis hasil amplifikasi gen Bovine GnRHR
terminasi rantai). Kondisi untuk reaksi sekuensing menggunakan primer Promotor F dan Exon1 R.
yaitu predenaturasi predenaturasi pada suhu 940C Marker DNA ladder (M), Sapi 1 (S1), Sapi 2 (S2),
selama 1 menit, denaturasi pada suhu 940C selama Sapi 3 (S3).
30 detik, annealing atau proses penempelan
primer pada suhu 610C selama 60 detik, elongation Pita yang tampak dari visualisasi elektroforesis
atau proses pemanjangan pada suhu 720C selama menunjukkan ukuran produk yang dihasilkan dari
60 detik dan post elongation yaitu fase untuk proses amplifikasi PCR. Gambar 1 menunjukkan
memastikan pemanjangan sempurna pada bahwa Sapi 1 (S1), Sapi 2 (S2), dan Sapi 3 (S3)
suhu 720C selama 10 menit. Reaksi denaturasi, menghasilkan panjang produk berukuran kurang
annealing, dan elongation dilakukan sebanyak 30 lebih 802 basepair (bp). Hal ini menunjukkan
kali. bahwa panjang produk yang dihasilkan telah
Analisis Data. Hasil sequensing dianalisa sesuai dengan Liron et al (2011).
menggunakan Software MEGA X. Analisis
mutasi reseptor GnRH dilakukan berdasarkan Analisis Sekuen Nukleotida dengan Program
perubahan sekuens nukleotida dan asam amino Mega X
sampel dibandingkan dengan sequense referensi Setelah dilakukan proses sekuensing, dan
yang tersedia di GenBank. dianalisis dengan program Mega X maka hasil
yang diperoleh disajikan dalam Tabel 2 dan Tabel
Hasil dan Pembahasan 3.
Data Tabel 2 menunjukkan bahwa pada
Amplifikasi Gen Bovine GnRHR dengan sapi pertama mengalami 5 perubahan nukleotida
Teknik PCR yaitu 38(A>T), 261(C>T), 342 (C>T), 411 (C>T)
Amplifikasi gen Bovine GnRHR dan 495 (C>T). Pada sapi 2 hanya mengalami
menggunakan primer Promotor F dan Exon1. perubahan nukleotida pada posisi 261 (C>T),
Primer yang digunakan disajikan dalam Tabel 1. sedangkan sapi 3 tidak mengalami perubahan
Gen Bovine GnRHR berhasil diamplifikasi nukleotida. Perubahan yang ditemukan menunutut
dengan teknik PCR menggunakan primer dilakukannya analisis lebih lanjut untuk
Promotor F dan Exon 1 R. Produk yang dihasilkan mengidentifikasi adanya perubahan asam amino.
dari visualisasi elektroforesis menggunakan gel Data perubahan asam amino dapat dilihat dari
agarose disajikan pada Gambar 1. Tabel 3.

Tabel 1. Primer yang digunakan untuk amplifikasi gen bovine GnRHR mencakup wilayah gen penyandi
802 bp protein dari GnRHr
Posisi pada sekuen Estimasi panjang
Primer Sekuen Primer Wilayah Gen
referensi produk

GnRHR-Prom-F 5´-ACCAggCCATCTgCTgAgA-3´ 884723 to 884705 Promoter, 5´UTR


802 bp
GnRHR-E1-R 5´-CTgTggTCCAgCAAAgATgC-3´ 883922 to 883941 and exon 1

* Sekuen referensi : Bos taurus chromosome 6 genomic contig (NW_001495209.1/ Bt6_WGA699_4).

186
Keracunan Coklat (Theobroma Cacao) pada Anjing: Manajemen Terapi dan Pencegahan

Tabel 2. Lokasi perubahan nukleotida sapi sampel dengan sekuens referensi GenBank. Nukleotida yang diberi
penanda warna kuning merupakan nukleotida yang berbeda dengan referensi

Sampel Urutan sekuen nukleotida*


38 261 342 411 495
Referensi (Bos taurus GNRHR mRNA NM 177514.2:80-1066) A C C C C
Sapi 1 T T T T T
Sapi 2 A T C C C
Sapi 3 A C C C C
Keterangan : *Bos taurus GNRHR mRNA NM 177514.2:80-1066

Tabel 3. Lokasi perubahan asam amino sapi sampel dengan Hasil dari penjajaran berganda tidak
sekuens referensi GenBank. Sapi 1 menunjukkan asam
ditemukan variasi gen pada wilayah upstream,
amino
artinya seluruh variasi nukleotida yang ditemukan
yang tidak homolog dengan referensi (highlight kuning).
terdapat pada wilayah exon 1. Menurut Lonetti
Urutan sekuen asam amino 13 et al (2016), SNP dapat ditemukan baik pada
Referensi (Bos taurus GNRHR mRNA NM
H
coding region maupun non coding region sekuens
177514.2:80-1066) DNA, apabila berada pada non coding region
Sapi 1 L
maka mayoritas SNP tidak memiliki konsekuensi
Sapi 2 H
biologis sedangkan hanya sebagian kecil SNP
Sapi 3 H yang terletak pada coding region akan memiliki
dampak fungsional yang signifikan. Putri dan
Data Tabel 3 menunjukkan adanya perubahan Syubbanul (2018) juga menambahkan bahwa SNP
asam amino ditemukan pada sapi 1 dengan asam yang terletak pada coding region memiliki peluang
amino urutan ke 13 yaitu asam amino histidin untuk mempengaruhi fungsi gen karena dapat
menjadi asam amino leusin. Pola perubahan mengubah urutan asam amino dan mempengaruhi
nukleotida pada sapi 1 dan sapi 2 dibandingkan struktur protein sehingga menyebabkan gangguan
dengan sekuens referensi GenBank Bos taurus monogenik resesif maupun dominan.
GnRHR mRNA menunjukkan adanya Single Melalui data analasis perubahan protein,
Nucleotide Polymorphism (SNP) di dalam walaupun adanya SNP yang ditemukan pada
susunan genetik reseptor GnRH. Single Nucleotide coding region mampu mengubah 1 macam jenis
Polymorphism (SNP) merupakan perubahan protein, namun belum dapat disimpulkan apakah
susunan basa nukleotida tunggal pada lokus perubahan asam amino tersebut merupakan mutasi
genetik tertentu dari urutan DNA individu yang karena masih harus dilakukan penelitian lebih
menyebabkan adanya variasi genetik di antara lanjut. Hal ini didukung oleh Sadewa (2015) yang
anggota spesies (Lonneti et al, 2016). Hal ini menyatakan bahwa adanya SNP berbeda dengan
dimungkinkan karena adanya transisi, transversi, variasi genetik akibat mutasi titik (point mutation)
delesi, atau insersi. Transisi merupakan perubahan yang bersifat patologis, karena variasi SNP dapat
basa purin yang digantikan oleh basa purin, dan pula ditemukan pada individu normal.
basa pirimidin digantikan oleh basa pirimidin,
sedangkan transversi merupakan perubahan basa
Kesimpulan
purin digantikan basa pirimidin dan basa pirimidin
digantikan oleh basa purin (Putri dan Syubbanul, Setelah membandingkan susunan
2018). Pada sapi 1 posisi 38 (A>T) mengalami nukleotida reseptor GnRH sapi dengan sekuens
transversi karena basa Purin (A) digantikan oleh referensi GenBank Bos Taurus GNRHR
basa Pirimidin (T) sedangkan posisi 261 (C>T), mRNA diidentifikasi adanya Single Nukleotide
342 (C>T), 411 (C>T) dan 495 (C>T) mengalami Polymorphism (SNPs) pada sapi 1 posisi 38(A>T),
transisi karena basa Pirimidin (C) digantikan oleh 261(C>T), 342(C>T), 411(C>T) dan 495(C>T)
basa Pirimidin (T). Begitu pula dengan sapi 2 serta sapi 2 posisi 261(C>T). Perubahan asam
posisi 261 (C>T) mengalami transisi. amino ditemukan pada sapi 1 urutan ke 13(H>L).

187
Yanuartono, et. al.

Adanya Single Nukleotide Polymorphism (SNP) Hewajuli dan Dharmayanti. (2014).


yang ditemukan merupakan petunjuk keragaman Perkembangan Teknologi Reverse
genetik yang terjadi pada susunan reseptor GnRH Transcriptase-Polymerase Chain Reaction
sapi di Indonesia dalam Mengidentifikasi Genom Avian
Influenza dan Newcastle Diseases. Bogor.
Ucapan Terimakasih Balai Besar Penelitian Veteriner : 16-17.

Ucapan terimakasih disampaikan kepada Liron, J.P., A. Prando., M.V. Ripoli., A. Rogberg-
Drs. Sugeng Darmanto selaku Kepala Dinas Munoz., D.M. Posik., A. Baldo., P. Peral
Pertanian dan Pangan Kota Yogyakarta yang Gracia., dan G. Giovambattista. (2011).
telah memberikan izin dan akses pengambilan Characterization and validation of bovine
sampel di RPH Giwangan Kota Yogyakarta dan Gonadotrophin Releasing Hormone receptor
drh. Herjuno Ari yang telah membantu selama (GnRHr) Polymorphisms. Argentina :
penelitan berlangsung. Elsevier. 1-5.
Lonneti, Annalisa., Maria Chiara Fontana.,
Daftar Pustaka Giovanni Martinelli., dan Ilaria Iacobucci.
(2016). Single Nucleotide Polymorphisms
Afriani, T., Jaswandi., Defrinaldi., dan Y.E.Satria. as Genomic Markers for High-Throughput
(2014). Pengaruh Waktu Pemberian Pharmacogenomic Studies. In Microarray
Gonadotropin Releasing Hormone (GnRH) Technology . New York : Humana Press.
terhadap Jumlah Korpus Luteum dan 143.
Kecepatan Timbulnya Berahi pada Sapi
Putri, Alfin., dan Syubbanul Wathon. (2018).
Pesisir. Jurnal Peternakan Indonesia1. 6(3)
Aplikasi Single Nucleotide Polymorphism
: 2-3.
(SNP) dalam Studi Farmakogenomik untuk
Agung, P.P., Saiful, A., Widya, P.B.P., dan Pengembangan Obat. Bio Trends 9(2) : 69-
Syahruddin, S. (2017). Keragaman gen 70.
Growth Hormone (GH) pada beberapa
Sadewa, AH. (2015). Peran Single Nucleotide
rumpun sapi lokal Indonesia. Pros Sem Nas
Polymorphisms (Snps) Pada Metabolisme
Masy Biodin Indon. 3(3) : 304-308.
Mikronutrien Dan Enzim Antioksi
Aisah, I., Edi, K., Ema, C., dan Nurul, U. (2015). dan Sebagai Predisposisi Terhadap
Representasi Mutasi Kode Genetik Standar Kanker,Prosiding Anual Scientific Meetng,
Berdasarkan Basa Nukleotida. Jurnal 1-11.
Matematika Integratif. (11)1: 25 – 34.
Trifena., I Gede, S.B., dan Tety, H. (2011).
Beate, K., Neulen, J., de Roux, N., dan Perubahan Fenotip Sapi Peranakan Ongole,
Karges, W. (2012). Genetics of Isolated Simpo, dan Limpo pada Keturunan Pertama
Hypogonadotropic Hypogonadism: Role dan Keturunan Kedua (Backcross). Buletin
of GnRH Receptor and Other Genes. Peternakan. 35(1): 11-16.
International Journal of Endocrinology.
(10): 1-3.
De, Carvalho., Mateus, da C., Soeparno., dan
Nono, N. (2010). Pertumbuhan dan
Produksi Karkas Sapi Peranakan Ongole
dan Simental Peranakan Ongole Jantan
yang Dipelihara secara Feedlot. Buletin
Peternakan. 34(1): 38-46

188

Anda mungkin juga menyukai