KOMUNIKASI YANG
EFEKTIF
i
KEPUTUSAN DIREKTUR UTAMA RUMAH SAKIT MATA SOLO
NOMOR : 99.3/SK/DIR/X/2018
TENTANG
PANDUAN KOMUNIKASI YANG EFEKTIF
RUMAH SAKIT MATA SOLO
MEMUTUSKAN
i
Panduan Komunikasi Yang Efektif Rumah Sakit Mata Solo
sebagaimana terlampir dalam surat keputusan ini dimaksud
dalam Diktum Kedua harus dijadikan acuan dalam
memberikan pelayanan di Rumah Sakit Mata Solo.
KETIGA : Segala biaya yang timbul oleh karena diterbitkannya
keputusan ini dibiayai dengan anggaran Rumah Sakit.
KEEMPAT : Keputusan Direktur ini berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Surakarta
pada tanggal 01 Oktober 2018
Direktur Utama,
ii
Lampiran:
Surat Keputusan Direktur Utama Rumah Sakit Mata Solo
Nomor : 99.3/SK/DIR/X/2018
Tanggal : 01 Oktober 2018
Tentang : PANDUAN KOMUNIKASI YANG EFEKTIF RUMAH
SAKIT MATA SOLO
---------------------------------------------------------------------------------------------------
PANDUAN
KOMUNIKASI YANG
EFEKTIF
iii
2018
iv
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala
berkat dan anugerahnya yang telah diberikan kepada penyusun, sehingga Buku
PanduanKomunikasi Yang Efektif Rumah Sakit Mata Solo ini dapat selesai
disusun.
Buku Panduan ini merupakan Panduan kerja bagi semua pihak yang terkait
dalam memberikan pelayanan kepada pasien dalam melakukan komunikasi yang
efektif di Rumah Sakit Mata Solo.
Dalam Panduan ini diuraikan tentang pengertian dan tatalaksana
Komunikasi Yang Efektif di Rumah Sakit Mata Solo.
Tidak lupa penyusun menyampaikan terima kasih yang sedalam-dalamnya
atas bantuan semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan Panduan
Komunikasi Yang Efektif Rumah Sakit Mata Solo.
Tim penyusun
v
TIM PENYUSUN
NO NAMA JABATAN
1 Dr. dr. Halida Wibawaty, Sp.M(K) Direktur Pelayanan Medis
2 dr. Rochasih Mudjajanti, Sp.M Direktur Penunjang Medis
3 M. Jaenal Arifin, Amd.RMIK Rekam Medis
4 Anggit Bagasworo, Amk Perawat
5 Reni Septiawati, Amd Rekam Medis
6 Tri Ari Ayunaningrum, Amk Kepala Unit Rawat Jalan
7 Mertyana Referandum, Amk Kepala Unit Rawat Inap
8 Agus Basuki, S.Kep Kepala Unit IGD
9 Ristiana Purwaningsih, Amk Tim PKRS
10 Vitra Kustiah, Amd.RO Kepala Unit RO
11 Siti Nur Rohmatul Hasanah, S.Fam.,Apt Kepala Unit Farmasi
12 Nina Setyowati, Amk Kepala Unit Keperawatan
13 Gabriena Rasetya Fannya, Amd.AK Kepala Unit Laboratorium
Tim Kontributor
vi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL........................................................................................i
TIM PENYUSUN............................................................................................ii
KEPUTUSAN DIREKTUR RS MATA SOLO...............................................iii
KATA PENGANTAR......................................................................................v
DAFTAR ISI....................................................................................................vi
BAB I DEFINISI..............................................................................................1
BAB II RUANG LINGKUP.............................................................................9
BAB III KEBIJAKAN .....................................................................................10
BAB IV TATA LAKSANA.............................................................................11
BAB V DOKUMENTASI................................................................................48
LAMPIRAN
BAB I
DEFINISI
A. Latar Belakang
Kegiatan komunikasi sudah menjadi sebagian besar kegiatan kita
sehari-hari, mulai antar teman/ pribadi, kelompok, organisasi atau massa.
Kegiatan komunikasi pada prinsipnya adalah aktivitas pertukaran ide atau
gagasan. Secara sederhana, kegiatan komunikasi dipahami sebagai kegiatan
penyampaian dan penerimaan pesan atau ide dari satu pihak
ke pihak lain, dengan tujuan untuk mencapai kesamaan pandangan atas ide
yang dipertukarkan tersebut. Begitu pula dengan pelayanan rumah sakit,
keberhasilan misi sebuah rumah sakit sangat ditentukan oleh keluwesan
berkomunikasisetiap petugas, perawat dan dokter.
Pelayanan rumah sakit selalu berhubungan dengan berbagai karakter
dan perilaku pasien yang berkepentingan dengan jasa perawatan sehingga
petugas, perawat dan dokter harus memahami danmengerti bagaimana cara
komunikasi yang bisa diterapkan di segalasituasi. Dalam profesi kedokteran,
komunikasi dokter dengan pasien merupakan salah satu kompetensi yang
harus dikuasai dokter. Kompetensi komunikasi menentukan keberhasilan
dalam membantu penyelesaian masalah kesehatan pasien. Di Indonesia,
sebagian dokter merasa tidak mempunyai waktu yang cukup untuk
berbincang – bincang dengan pasiennya, sehingga hanya bertanya seperlunya.
Akibatnya, dokter bisa saja tidak mendapatkan keterangan yang cukup untuk
menegakkan diagnosis dan menentukan perencanaan dan tindakan lebih
lanjut. Dari sisi pasien, umumnya pasien merasa berada dalam posisi lebih
rendah dihadapan dokter sehingga takut bertanya dan bercerita atau
mengungkapkan diri. Hasilnya, pasien menerima saja apa yang dikatakan
dokter. Paradigma inilah yang harus kita perbaiki. Pasien dan dokter
harus berada dalam kedudukan setara sehingga pasien tidak merasa rendah
diri dan malu untuk bisa menceritakan sakit/ keluhan yang dialaminya
secara jujur dan jelas.
1
Komunikasi yang efektif mampu mempengaruhi emosi pasien dalamPe
ngambilan keputusan tentang rencana tindaka selanjutnya.Kurtz (1998)
menyatakan bahwa komunikasi efektif justru tidak memerlukan waktu yang
lama. Komunikasi efektif terbukti memerlukan waktu yang lebih sedikit
karena petugas, perawat dan dokter terampil mengenali kebutuhan
pasien. Atas dasar kebutuhan pasien, perawat dan dokter melakukan
manajemen pengelolaan masalah kesehatan bersama pasien.Untuk
itu dirasakan perlunya memberikan panduan komunikasi efektif untuk
petugas, perawat dan dokter di RS Mata Solo untuk memudahkan
berkomunikasi dengan pasien dan keluarganya.
2
3. Komunikasi tertulis yaitu komunikasi pesan yang disampaikan melalui
tulisan.
Tujuan :
1. Mengurangi tingkat kesalahan (kesalah fahaman)
2. Mempengaruhiperilakuseseorang
3. Mengungkapkanperasaan
4. Menjelaskan perilaku sendiri atau perilaku orang lain
5. Menyelesaikansebuahmasalah
6. Mencapaisebuahtujuan
7. Menurunkanketegangandan penyelesaiankonflik
8. Menstimulasi minat pada diri sendiri atau orng lain
C. Proses komunikasi
Komunikasi dapat efektif apabila pesan yang diterima dan dimengerti
oleh penerima pesan, pesan ditindaklanjuti oleh penerima pesan dan tidak ada
hambatan yang mengganggu.
Gambar :
Apakah anda
Oh saya
mengerti…
mengerti
….
Umpan balik
Gangguan
D. Unsur komunikasi
3
Berhasilnya suatu komunikasi adalah apabila kita mengetahui dan
mempelajari unsur-unsur yang terkandung dalam proses komunikasi. Unsur
unsur komunikasi tersebut adalah :
1. Komunikator (Dokter, Perawat, FO, Kasir, dll).
Komunikator adalah orang yang menyampaikan isi pernyataannya
kepada penerima. Sebagai komunikator yang baik harus memiliki
beberapa tanggung jawab :
a. Mengirim pesan dengan jelas.
b. Memilih media yang sesuai.
c. Meminta kejelasan apakah pesan tersebut sudah diterima dengan baik.
d. Menguasai materi.
e. Pengetahuannya luas dan dalam tentang informasi yang yang
disampaikan .
f. Menjadi pendengar yang baik saat dikonfirmasi oleh sipenerima pesan
(komunikan).
Pemberi/komunikator yang baik adalah pada saat melakukan proses
umpan balik, diperlukan kemampuan dalam hal-hal berikut (konsil
kedokteran Indonesia, hal 42):
a. Cara berbicara (talking), termasuk cara bertanya (kapan menggunakan
pertanyaan tertutup dan kapan memakai pertanyaan terbuka),
menjelaskan, klarifikasi, paraphrase, intonasi.
b. Mendengar (listening), termasuk memotong kalimat.
c. Cara mengamati (observation) agar dapat memahami yang tersirat di
balik yang tersurat (bahasa non verbal di balik ungkapan
kata/kalimatnya, gerak tubuh).
d. Menjaga sikap selama berkomunikasi dengan komunikan (bahasa
tubuh) agar tidak menggangu komunikasi, misalnya karena komunikan
keliru mengartikan gerak tubuh, raut tubuh, raut muka, dan sikap
komunikator.
4
2. Isi Pesan (apa yang disampaikan).
Kelengkapan pesan perlu disesuaikan dengan tujuan komunikasi,
media penyampaian, penerimanya.
3. Saluran (Elektronic, Lisan, dan Tulisan).
Saluran berperan sebagai jalan yang dilalui isi pernyataan yang
disampaikan pengirim atau umpan balik yang disampaikan
penerima.Berita dapat berupa berita lisan, tertulis, atau keduanya
sekaligus.Pada kesempatan tertentu, media dapat tidak digunakan oleh
pengirimya itu saat komunikasi berlangsung atau tatap muka dengan efek
yang mungkin terjadi berupa perubahan sikap. (konsil kedokteran
Indonesia, hal.8).Media yang dapat digunakan yakni melalui telepon,
lembar kertas, peraga.
4. Penerima/komunikan (Pasien, Keluarga Pasien, Perawat, Dokter, FO, dll).
Penerima berfungsi sebagai penerima berita.Dalam komunikasi,
peran pengirim dan penerima bergantian sepanjang
pembicaraan.Tanggungjawab penerima adalah berkonsentrasi untuk
menerima pesan dengan baik dan memberikan umpan balik kepada
pengirim.Umpan balik sangat penting sehingga proses komunikasi
berlangsung dua arah. (konsil kedokteran Indonesia, hal.8).
Terdapat beberapa faktoryang perlu diperhatikan untuk
mengupayakan proses komunikasi yang efektif, yaitu antara lain:
a. Sensitifitas kepada penerima komunikasi. Sensitivitas ini sangatlah
penting dalam penentuan cara komunikasi serta pemilihan media
komunikasi. Hal-hal yang bersifat penting dan pribadi paling baik
dibicarakan secara langsung atau tatap muka, dan dengan demikian
mengurangi adanya kecanggungan serta kemungkinan adanya
miskomunikasi.
b. Kesadaran dan pengertian terhadap makna simbolis. Hal ini menjadi
penting dalam seseorang mengerti komunikasi yang disampaikan.
Komunikasi seriingkali disampaikan secara non verbal atau lebih
dikenal dengan body language. Pengertlan akan body language, yang
5
bisa berbeda sesuai dengan kultur, ini akan memberikan kelebihan
dalam komunikasi.
c. Penentuan waktu yang tepat. Hal ini sangatlah pentlng terutama dalam
mengkomunikasikan keadaan yang bersifat sensitif.
d. Umpan balik. Umpan balik menjadikan komunikasi lebih efektif
karena dapat memberikan kepastian mengenal sejauh mana komunikasi
yang diadakan oleh seseorang sumber (source) dapat diterima oleh
komunikan (receiver).
e. Komunikasi tatap muka. Komunikasi semacam ini memungkinkan kita
untuk melihat dengan baik lawan bicara kita, melihat body language,
melihat mimik lawan bicara, serta menghilangkan panjangnya rantai
komunikasi yang memungkinkan terjadinya miskomunikasi.
Untuk mencapai tujuan tersebut beberapa langkah yang dapat
dilakukan adalah sebagai berikut:
a. Teliti tujuan sebenarnya dalam setiap berkomunikasi.
b. Pertimbangkan keadaan fisik dan psikis orang lain dalam
berkornunikasi.
c. Perhatikan tekanan nada dan eksperesi wajah sesuai dengan isi pesan
yang disampaikan.
d. Perhatikan konsistensi dalam berkomunikasi.
e. Jadilah pendengar yang baik dalam berkomunikasi.
E. Sifat Komunikasi
Komunikasi bisa bersifat informasi (asuhan) dan edukasi (Pelayanan
promosi).
1. Komunikasi yang bersifat infomasi asuhan didalam rumah sakit adalah:
a. Jam pelayanan
b. Pelayanan yang tersedia
c. Cara mendapatkan pelayanan, dll
Akses informasi ini dapat di peroleh melalui Customer Service,
Admission, dan leaflet.
6
2. Komunikasi yang bersifat Edukasi (Pelayanan Promosi):
a. Edukasi tentang obat.
b. Edukasi tentang penyakit.
c. Edukasi pasien tentang apa yang harus dihindari dan dilakukan pasca
operasi.
d. Edukasi tentang apa yang harus dilakukan pasien untuk meningkatkan
kualitas hidupnya pasca dari rumah sakit.
F. Komunikasi yang efektif
Komunikasi efektif adalah tepat waktu, akurat, jelas, dan mudah
dipahami oleh penerima, sehingga dapat mengurangi tingkat kesalah
pahaman.
Prosesnya adalah:
1. Komunikator secara lisan memberikan pesan, setelah itu dituliskan secara
lengkap isi pesan tersebut oleh komunikan.
2. Isi pesan dibacakan kembali (Read Back) secara lengkap oleh komunikan.
3. Komunikan mengkonfirmasi isi pesan kepada Komunikator.
Gambar :
7
Sumber : Wikipedia
BAB II
RUANG LINGKUP
8
Panduan komunikasi efektif ini diterapkan dilingkup rumah sakit yang ditujukan
kepada:
1. Profesional Pemberi Asuhan (PPA) yaitu dokter, perawat dan tenaga kesehatan
lainnya dengan pasien
2. Antar Profesional Pemberi Asuhan, misalnya dokter dengan dokter, dokter
dengan perawat baik menggunakan tulisan maupun berkomunikasi secara
lisan/via telepon
3. Manajemen Rumah Sakit dengan seluruh staf rumah sakit
4. Rumah Sakit dengan masyarakat
Pelaksana panduan ini adalah seluruh pemberi pelayanan, petugas
informasi, pelaksana PKRS, dan semua karyawan di rumah sakit. Dengan tujuan:
1. Mendeskripsikan prosedur untuk memastikan pesan yang disampaikan
komunikator sampai pada komunikan dengan benar dan lengkap
2. Mengurangi kesalahan persepsi akibat komunikasi secara lisan
3. Tercapainya 5 hal pokok, yaitu:
a. Membuat pendengar mendengarkan apa yang kita katakan
b. Membuat pendengar memahami apa yang mereka dengar
c. Membuat pendengar menyetujui apa yang telah mereka dengar (atau
tidakmenyetujui apa yang kita katakan, tetapi dengan pemahaman yang
benar)
d. Membuat pendengar mengambil tindakan yang sesuai dengan maksud kita
dan maksud kita bisa mereka terima
e. Memperoleh umpan balik dari pendengar
BAB III
KEBIJAKAN
9
Peraturan Direktur Utama Rumah Sakit Mata Solo Nomor 02/ PER/DIR/2018
tentang Kebijakan-Kebijakan di Rumah Sakit Mata Solo.
BAB IV
TATA LAKSANA
10
A. Komunikasi Efektif antara Dokter/ Petugas Kesehatan dengan Pasien
Keberhasilan komunikasi antara dokter/petugas kesehatan dengan pasien
pada umumnya akan menimbulkan kenyamanan serta kepuasan bagi kedua
belah pihak dan pada khususnya akan menciptakan empati bagi pasien.
Tahap komunikasi medis meliputi sikap professional dokter, tahap
komunikasi dan memperhatikan unsur penting dalam berkomunikasi.
1. Sikap profesional dokter
Sikap profesional seorang dokter ditunjukkan dengan :
a. Mampu menyelesaikan tugas-tugasnya sesuai peran dan fungsinya
b. Mampu mengatur diri sendiri seperti ketepatan waktu, pembagiantugas
profesi dengan tugas-tugas pribadi yang lain (dealing with one-self)
c. Mampu menghadapi berbagai macam tipe pasien
d. Mampu bekerja sama dengan profesi kesehatan yang lain (dealing with
others).
Pada dasarnya komunikasi efektif adalah bagaimana menyatukan
sudut pandang pasien maupun dokter menjadi sebuah bentuk relasi dokter-
pasien (doctor patient) dalam menyelesaikan masalah kesehatan pasien.
2. Komunikasi antara dokter dengan pasien dilakukan dengan 2 tahap, yakni:
a. Tahap pengumpulan informasi dimulai dengan tahap penggalian
informasi yang terdiri dari:
1) Mampu mengenali alasan kedatangan pasien.
2) Menggali riwayat pasien
b. Tahap penyampaian informasi.
3. Agar tercipta komunikasi efektif antara dokter dengan pasien, maka harus
memperhatikan 5 hal penting, yakni:
a. Materi Informasi apa yang disampaikan
1) Tujuan anamnesis dan pemeriksaan fisik (kemungkinan rasa tidak
nyaman/sakit saatpemeriksaan)
2) Kondisi saat ini dan berbagai kemungkinan diagnose.
3) Berbagai tindakan medis yang akan dilakukan untuk menentukan
diagnosis (manfaat, resiko, efek samping/komplikasi)
11
4) Hasil dan Interpretasi tindakan medis yang telah dilakukan untuk
menegakkan diagnosis
5) Diagnosis jenis atau tipe
6) Pilihan tindakan medis untuk tujuan terapi (kekurangan dan
kelebihan masing-masing cara)
7) Prognosis
8) Dukungan (support) yang tersedia
b. Siapa yang diberi informasi
1) Pasien, kalau pasiennya rnenghendaki dan kondisinya
memungkinkan
2) Keluarga atau orang lain yang ditunjuk oleh pasien
3) Keluarganya atau pihak lain yang menjadi wali/pengampudan
bertanggung jawab atas pasienkalau kondisi pasien tidak
memungkinkan untuk berkomunikasi sendiri secara langsung
c. Berapa banyak atau sejauh mana
1) Untuk pasien : sebanyak yang pasien kehendaki, yang dokter
merasa perlu denganmemperhatikan kesiapan mental pasien
2) Untuk keluarga : sebanyak yang pasien/kelurga kehendaki dan
sebanyak yang dokter perlukanagar dapat menentukan tindakan
selanjutnya
d. Kapan penyampaian inforrnasi
Segera, jika kondisi dan situasinya memungkinkan
e. Dimana penyampaiannya
1) Di ruang praktik dokter
2) Di bangsal, ruangan tempat pasien dirawat
3) Ditempat lain yang pantas, atas persetujuan bersama, pasien /
keluarga dan dokter.
Tahapan komunikasi dalam keperawatan meliputi tahap pengkajian,
perumusan diagnose, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi.
1. Tahap pengkajian
12
Pengakajian merupakan tahap awal proses pelayanan di rumah sakit yang
dilakukan oleh petugas registrasi / admisi dan perawat untuk
mengumpulkan data pasien. Data tersebut diperlukan sebagai dasar
pelaksanaan proses keperawatan pada tahap selanjutnya.
2. Tahap perumusan diagnose
Data dirumuskan berdasarkan data yang diperoleh dari tahap pengkajian.
Perumusan diagnose keperawatan merupakan hasilpenilaian perawat
dengan melibatkan pasien dan keluarganya, tenaga kesehatan lain yang
berkenaan dengan masalah yang dialami pasien. Diagnose keperawatan
yang tepat memenlukan sikap komunikatif perawat dan sikap kooperatif
pasien.
3. Tahap perencanaan
Pengembangan rencana tindakan keperawatan kepada pasien diperlukan
interaksi dan komunikasi dengan pasien. Hal ini untuk menentukan
alternative rencana keperawatan yang akan diterapkan. Misalnya, sebelum
memberikan makanan kepada pasien, perawat harus terlebih dahulu
mengetahui makanan yang sesuai bagi pasien. Rencana tindakan yang
dibuat oleh perawat merupakan media komunikasi antar tenaga kesehatan
yang berkesinambungan sehingga pelayanan dapat dllaksanakan secara
teratur dan efektif.
4. Tahap pelaksanaan
Tahap pelaksanaan merupakan realisasi dari perencanaan yang telah
ditetapkan terlebih dahulu. Aktifitas ini memerlukan keterampilan dalam
berkomunikasi dengan pasien. Terdapat dua kategori umum aktivitas
perawat dalam berkomunikasi, yaitu masalah psikologis.
13
1. Keyakinan yang dianut pasien.
2. Kemampuan membaca, tingkat pendidikan dan bahasa yang digunakan.
3. Hambatan emosional dan motivasi. Emosional seperti depresi, senang dan
marah.
4. Keterbatasan fisik dan kognitif.
5. Ketersediaan pasien untuk menerima informasi.
Cara penyampaian informasi dan edukasi yang efektif setelah melalui
tahap asesmen pasien:
1. Jika pasien dalam kondisi baik semua dan emosionalnya senang, maka
proses komunikasinya mudah disampaikan.
2. Jika pada tahap asesmen pasien di temukan hambatan fisik (tuna rungu
dan tuna wicara), maka komunikasi yang efektif adalah memberikan
leaflet kepada pasien dan keluarga sekandung (istri, anak, ayah, ibu, atau
saudara sekandung) dan menjelaskannya kepada mereka.
3. Jika pada tahap asesmen pasien ditemukan hambatan emosional pasien
(pasien marah atau depresi), maka komunikasi yang efektif adalah
memberikan materi edukasi dan menyarankan pasien membaca leaflet.
Apabila pasien tidak mengerti materi edukasi, pasien bisa menghubungi
medical information (perawat/dokter yang bertugas).
Cara verifikasi bahwa pasien dan keluarga menerima dan memahami
edukasi yang diberikan:
1. Apabila pada tahap cara memberikan edukasi dan informasi, kondisi
pasien baik dan senang, maka verifikasi yang dilakukan adalah:
menanyakan kembali eduksi yang telah diberikan. Pertanyaannya adalah:
“Dari materi edukasi yang telah disampaikan, kira-kira apa yang bpk/ibu
bisa pelajari?”.
2. Apabila pasien pada tahap cara memberikan edukasi dan informasi,
pasiennya mengalami hambatan fisik, maka verifikasinya adalah dengan
pihak keluarganya dengan pertanyaan yang sama: “Dari materi edukasi
yang telah disampaikan, kira-kira apa yang bpk/ibu bisa pelajari?”.
14
3. Apabila pasien pada tahap cara memberikan edukasi dan informasi, ada
hambatan emosional (marah atau depresi), maka verifikasinya adalah
dengan tanyakan kembali sejauh mana pasiennya mengerti tentang materi
edukasi yang diberikan dan pahami. Proses pertanyaan ini bisa via telepon
atau datang langsung ke kamar pasien setelah pasien tenang.
Dengan diberikannya informasi dan edukasi pasien, diharapkan
komunikasi yang disampaikan dapat dimengerti dan diterapkan oleh pasien.
Dengan pasien mengikuti semua arahan dari rumah sakit, diharapkan
mempercepat proses penyembuhan pasien.
Setiap petugas dalam memberikan informasi dan edukasi pasien, wajib
untuk mengisi formulir edukasi dan informsi, dan ditandatangani kedua belah
pihak antara dokter dan pasien atau keluarga pasien.Hal ini dilakukan sebagai
bukti bahwa pasien dan keluarga pasien sudah diberikan edukasi dan
informasi yang benar.
15
P (Planning) Rencana tindakan yang akan dilakukan berdasarkan
hasil Assessment
16
terjadi, apa yang diharapkan oleh perawat dan dokter yang dihubungi dan
kapan dokter harus mengambil tindakan.
Empat (4) Unsur SBAR:
a. Situation
Menjelaskan kondisi terkini dan keluhan yang terjadi pada pasien.
Misalnya : penurunan tekanan darah, gangguan irama jantung, sesak
nafas, dll.
b. Background
Menggali informasi mengenai latar belakang klinis yang
menyebabkan timbulnya keluhan klinis. Misalnya : Riwayat alergi
obat-obatan, hasil pemeriksaan laboratorium yang sudah diberikan,
hasil pemeriksaan penunjang, dll.
c. Assessment
Penilaian/pemeriksaan terhadap kondisi pasien terkini sehingga perlu
diantisipasi agar kondisi pasien tidak memburuk.
d. Recommendation
Merupakan usulan sebagai tindak lanjut, apa yang perlu dilakukan
untuk mengatasi masalah pasien saat ini. Misalnya: menghubungi
dokter, mengarahkan pasien untuk melakukan pemeriksaan
penunjang, dll.
S Situation/Situasi
Mengidentifikasi diri dan tempat penelpon
Mengidentifikasi nama pasien dan alasan untuk melapor
Jelaskan masalah yang ingin disampaikan
Pertama, terangkan secara spesifik tentang diri anda, nama pasien,
konsultan, lokasi pasien dan tanda-tanda vital.
Contohnya sebagai berikut: mohon disesuikan
Ini adalah A seorang perawat di lantai 2 RS X. Alasan saya
menelepon adalah bahwa Ny. X (35 tahun) di kamar 202 tiba-tiba
sesak napas, saturasi oksigen nya turun menjadi 88 % pada udara
ruangan, respirasinya 24 x/menit, frekuensi nadi 110x/menit, dan
17
tekanan darahnya 85/50, suhunya 36,5. Kami telah memberikan 6
liter oksigen dan saturasinya menjadi 93%, frekuensi pernapasan
menjadi 22x/menit.
B Background/Latar Belakang
Memberikan alasan pasien dirawat
Jelaskan riwayat medis yang signifikan
Penelpon kemudian menginformasikan konsultan latar
belakang pasien: diagnosis, tanggal masuk, prosedur
sebelumnya, obat-obatan saat ini, alergi, hasil laboratorium
terkait dan hasil diagnostik yang relevan. Untuk ini, penelpon
harus telah mengumpulkan informasi dari grafik pasien, flow
sheet dan catatan perkembangan pasien.
Sebagai contoh disesuikan:
“Ny A (59 tahun), dengan burst fraktur pada T5, komplikasi
pasien adalah hemothorax ditempat pemasangan chest tube.
Chest tube itu dilepas lima hari lalu dan rontgen thoraks nya
telah menunjukkan peningkatan yang signifikan. Pasien sudah
mobilisasi dengan fisioterapi dan menunjukkan perbaikan.
Hemoglobinnya adalah 100 gm/L dan telah mendapatkan
Enoxaparin untuk profilaksis DVT profilaksis dan oxycodone
untuk mengurangi nyerinya.”
A Assesment/ Penilaian
Tanda-tanda vital
Pola penyakit
Gambaran klinis, kekhawatiran
Kita perlu berpikir kritis ketika menginformasikan penilaian
tentang keadaan pasien pada konsulen. Ini berarti bahwa kita
telah mempertimbangkan apa yang mungkin menjadi alasan
yang mendasari kondisi pasien. Tidak hanya dari penilaian kita
namun juga dengan indikator objektif lainnya, seperti hasil
18
laboratorium.
Jika tidak memiliki penilaian, Anda dapat bericara:
“Saya pikir dia mungkin memiliki emboli paru.”
“Saya tidak yakin apa masalahnya, tapi saya khawatir.”
R Recommendation/Rekomendasi
Jelaskan apa yang Anda butuhkan, secara spesifik tentang
permintaan dan waktunya.
Memberikan saran seperti Pasien dapat di transfer ke ICU/
HCU, Dok?
Memperjelas yang diharapan : ”Dokter dapat melihat pasien
sekarang?
Akhirnya sampaikan apa yang menjadi rekomendasi kita.
Perintah yang diberikan di telepon perlu diulang kembali untuk
memastikan akurasi.
“Apakah dokter ingin saya melakukan rontgen
thorak/pemasangan IV line?”
“Dapatkah saya mulai melakukan CT Scan?”
Memasukkan SBAR mungkin tampak sederhana, tetapi
membutuhkan banyak pelatihan. Disarankan untuk berlatih
antar sesame teman perawat untuk memberikan informasi pada
konsulen dalam bentuk SBAR.
Dalam berkomunikasi secara lisan via telepon di rumah sakit, petugas dan
tenaga medis harus melakukan proses verifikasi terhadap akurasi dari
komunikasi lisan dengan prosedur READ BACK.
1. Read Back
a. Staf yang menerima informasi, mencatat kelengkapan informasi
atau hasil pemeriksaan kedalam catatan rekam medis pasien dan
membacakan kembali atau “ read back “ secara lengkap informasi
yang diterimanya.
19
b. Untuk obat- obat yang kedengarannya mirip atau ” Sound alike
Drugs”, nama obat harus dieja kata demi kata.
c. Beri tanda pada nama obat atau hasil pemeriksaan yang sudah
dibacakan kembali tersebut, jika si pemberi informasi telah
menyatakan ” ya ”/ ketepatan pengulangan.
d. Beri tanda tangan dan nama jelas perawat yang menerima atau
informasi serta perawat saksi, catat jam prosedur terjadi.
e. Lakukan verifikasi ke DPJP dalam waktu 1 X 24 jam kepada
dokter yang memberi order pada saat datang berkunjung dengan
memberi tanda tangan dan nama jelas, tanggal dan jam verifikasi
pada catatan sebelumnya.
2. Daftar singkatan, akronim, simbol, dan penandaan dosis yang tidak
boleh digunakan di seluruh bagian RS
a. Dokter, perawat, dan staf farmasi disosialisasikan mengenai daftar
singkatan, akronim simbol, dan penandaan dosis yang tidak boleh
digunakan di seluruh bagian RS.
b. Monitoring implementasi SPO ini pada saat melakukan audit
Rekam medis pasien dan resep yang masuk ke bagian farmasi serta
analisa penyebab dari setiap kejadian kesalahan obat / medication
error.
3. Jenis pemeriksaan emergensi dan penanganan nilai pemeriksaan yang
kritis / ” critical value ”
a. Setiap nilai pemeriksaan diagnostik abnormal harus dilaporkan dari
bagian terkait ke perawat dalam waktu 5 menit setelah hasil
pemeriksaan dibaca, selanjutnya perawat melaporkan kepada
dokter pemilik pasien dalam waktu 5 menit setelah laporan
diterima.
b. Dokter pemilik pasien segera melakukan tindak lanjut kepada
pasien sesuai hasil yang dilaporkan.
c. Monitoring implementasi SPO, dengan mengumpulkan data
adanya kejadian keterlambatan penanganan pasien akibat
20
keterlambatan informasi hasil dengan nilai kritis yang
membutuhkan penanganan segera berdasarkan laporan kejadian.
4. Implementasi standar / model untuk komunikasi serah terima
informasi pasien yang efektif.
a. Menetapkan model pendokumentasian pada proses serah terima
informasi pasien antar shift dinas perawat, antar ruangansaat
perpindahan pasien, saat perawat melaporkan kondisi pasien
kepada dokter.
b. Melakukan audit rekam medis pasien terkait dengan pelaksanan
Model untuk mengukur kesesuaian dan kepatuhan staf
terhadapSPO.
Melakukan monitoring kejadian – kejadian klinik yang terkait
dengan penyebab komunikasi yang tidak efektif setelah
menerapkan model, melakukan analisa, dan rencana tindak lanjut
untuk perbaikan
Prosedur menerima telepon:
Penelpon
1. Jawab salam dan sebutkan nama dan unit kerja (”Selamat Pagi,
Dengan petugas “A” dan ruangan “A”)
2. Beritahukan keperluan menelphon dengan kata-kata yang jelas, sopan
dan mudah dimengerti oleh penerima telephon.
3. Berikan konfirmasi terkait informasi yang disampaikan.
4. Jika semua sudah selesai tutup pembicaraan telphon dengan ucapkan
“salam”
Penerima telepon
1. Ucapkan salam dan sebutkan Unit Kerja....Nama (”Ruang B”)dengan
petugas “A” ada yang bisa saya bantu) / (Jika dering panjang.../ dari
luar RSMS ada yang bisa saya bantu?)
2. Tanyakan keperluan penelphon, bila perlu catat hal-hal yang penting
(siapkan bolpoin dan kertas dekat pesawat telephon)
21
3. Jawablah dengan tepat dan benar, sesuai dengan yang penelphon
tanyakan.
4. Bila diperlukan, tulis informasi dari penelphon dan lakukan
konfirmasi tentang yang ditulis.
Yang perlu diperhatikan saat proses komunikasi via telphon:
1. Jangan menerima telephon pada saat komunikasi dengan orang lain
2. Tidak boleh terlalu lama melakukan komunikasi via telephon, karena
kemungkinan ada penelphon lain yang ingin menghubungi lagi.
3. Bila penelpon memerlukan berbicara dengan orang lain selain
penerima telephon, sampaikan kepada orang yang dituju dengan
secepatnya(bila orang yang dituju berada dekat dari jangkauan) atau
jawab “Mohon telephon kembali karena orang yang dituju sedang
tidak ada” (bila orang yang diluar jangkauan kita / tidak diruang).
22
menyajikan suatu konsepsi komunikasi bagi suatu organisasi tertentu
berdasarkan jenis organisasi, sifat organisasi, dan lingkup organisasi dengan
memperhitungkan situasi tertentu pada saat komunikasi dilancarkan.
Robert Bonnington dalam buku Modern Business: A Systems
Approach, (1994) menyatakan fungsi komunikasi dalam organisasi adalah
sebagai berikut:
1. Fungsi informative
Organisasi dapat dipandang sebagai suatu sistem pemrosesan informasi.
Maksudnya, seluruh anggota dalam suatu organisasi berharap dapat
memperoleh Informasi yang lebih banyak, lebih baik dan tepat waktu.
lnformasi yang didapat memungkinkan setiap anggota organisasi dapat
melaksanakan pekerjaannya secara lebih pasti. Orang-orang dalam tataran
manajemen membutuhkan informasi untuk membuat suatu
kebijakanorganisasi ataupun guna mengatasi konflik yang terjadi di dalam
organisasi. Sedangkan karyawan (bawahan) membutuhkan informasi
untuk melaksanakan pekerjaan, di samping itu juga informasi tentang
jaminan keamanan, jaminan sosial dan kesehatan, izin cuti, dan
sebagainya.
2. Fungsi regulative
Fungsi ini berkaitan dengan peraturan-peraturan yang berlaku dalam suatu
organisasi. Terdapat dua hal yang berpengaruh terhadap fungsi regulatif,
yaitu:
a. Berkaitan dengan orang-orang yang berada dalam tataran manajemen,
yaitu mereka yang memiliki kewenangan untuk mengendalikan semua
informasi yang disampaikan. Juga memberi perintah atau intruksi
supaya perintah-perintahnya dilaksanakan sebagaimana semestinya.
b. Berkaitan dengan pesan. Pesan-pesan regulatif pada dasarnya
berorientasi pada kerja. Artinya, bawahan membutuhkan kepastian
peraturan tentang pekerjaan yang boleh dan tidak boleh untuk
dilaksanakan.
3. Fungsi persuasive
23
Dalam mengatur suatu organisasi, kekuasaan dan kewenangan tidak akan
selalu membawa hasil sesuai dengan yang diharapkan. Adanya kenyataan
ini, maka banyak pimpinan yang lebih suka untuk mempersuasi
bawahannya daripada memberi perintah. Sebab pekerjaan yang dilakukan
secara sukarela oleh karyawan akan menghasilkan kepedulian yang lebih
besar dibanding kalau pimpinan sering memperlihatkan kekuasaan dan
kewenangannya.
4. Fungsi integrative
Setiap organisasi berusaha untuk menyediakan saluran yang
memungkinkan karyawan dapat melaksanakan tugas dan pekerjaan dengan
baik. Ada dua saluran komunikasi yang dapat mewujudkan hal tersebut,
yaitu:
a. Saluran komunikasi formal seperti penerbitan khusus dalam organisasi
tersebut (buletin, newsletter) dan laporan kemajuan organisasi.
b. Saluran kornunikasi informal seperti perbincangan antar pribadi
selama masa istirahat kerja, pertandingan olahraga, ataupun kegiatan
darmawisata. Pelaksanaan aktivitasini akan menumbuhkan keinginan
untuk berpartisipasi yang lebih besar dalam diri karyawan terhadap
organisasi.
Komunikasi atasan bawahan dalam sebuah organisasi memiliki
pengertian yaitu informasi mengalir dari jabatan berotoritas lebih tinggi
kepada mereka yang berotoritas lebih rendah (Pace & Faules,
2000).Komunikasi ke bawah menunjukkan arus pesan yang mengalir dari
para atasan atau para pemimpin kepada bawahannya. Kebanyakan
komunikasi ke bawahan digunakan untuk menyampaikan pesan-pesan yang
berkenaan dengan pengarahan, tujuan, disiplin, perintah, pertanyaan dan
kebijakan umum.
Tujuan komunikasi ke bawah adalah untuk menyampaikan tujuan,
untuk merubah sikap, membentuk pendapat, mengurangi ketakutan dan
kecurigaan yang timbul karena salah informasi, mencegah kesalahpahaman
24
karena kurang informasi dan mempersiapkan anggota organisasi untuk
menyesuaikan diri dengan perubahan (Muhammad, 2004).
Jenis informasi yang dikomunikasikan ke bawah Menurut Katz dan
Kahn dalam Purwanto (2003), komunikasi dari atas ke bawah mempunyai
lima tujuan pokok, yaitu:
a. Memberikan pengarahan atau instruksi kerja tertentu. Tipe informasi ini
memusatkan pada apa yang harus karyawan lakukan dan bagaimana
melakukannya. Instruksi kerja yang berbentuk perintah, pengarahan,
penjelasan dan deskripsi pekerjaan merupakan cara untuk menyampaikan
informasi jenis ini.
b. Memberikan Informasi mengapa suatu pekerjaan harus dilaksanakan. Tipe
informasi ini bertujuan agar karyawan mengetahui bagaimana pekerjaan
mereka berhubungan dengan tugas-tugas dan posisi lainnya dalam
organisasi dan mengapa mereka melakukan pekerjaannya. Dengan kata
lain,tipe informasi ini membantu karyawan mengetahui bagaimana
pekerjaan mereka membantu organisasi dalam mencapai tujuannya.
c. Memberikan informasi tentang prosedur dan praktik organisasional.
Karyawan diberikan informasi mengenai jumlah jam kerja, gaji, program
pensiun, asuransi kesehatan, liburan dan ijin cuti, program insentif, penalti
dan hukuman.
d. Memberikan umpan balik pelaksanaan kerja kepada para karyawan.
Informasi mengenai hasil kerja karyawan sangat penting dalam
mempertahankan operasional perusahaan.Karyawan sering mengeluh,
seperti mereka tidak tahu bagaimana atasan melihat performans mereka.
e. Menyajikan informasi mengenai aspek ideologi dalam membantu
organisasi menanamkan pengertian tentang tujuan yang Ingin dicapai.
Bentuk komunikasi yang digunakan dalam komunikasi ke bawah
(Muhammad, 2004):
1. Bentuk lisan: rapat, diskusi, interview, telepon, sistem interkom, kontak
interpersonal, laporan lisan, ceramah.
25
2. Bentuk tulisan: surat, memo, telegram, majalah, surat kabar, deskripsi
pekerjaan, Panduan pelaksaan pekerjaan, laporan tertulis, panduan
kebijaksanaan.
3. Bentuk gambar: grafik, poster, peta, film, slide.
Bentuk-bentuk komunikasi yang digunakan di RS Mata Solo, diantaranya
adalah:
1. Bentuk Lisan
Koordinasi antar bagian dibentuk melalui kegiatan-kegiatan:
a. Morning Report
Morning report adalah sebuah bentuk komunikasi dan koordinasi antar
sejawat dokter, didalamnya terkandung unsur evaluasi hasil pemberian
pelayanan medis, transfer of knowledge, dan fungsi koordinasi sesama
sejawat dokter untuk meningkatkan mutu pelayanan medis.
b. Rapat koordinasi Keperawatan
Rapat koordinasi keperawatan adalah sebuah bentuk komunikasi dan
koordinasi antar bagian Keperawatan dengan Kepala Ruangan (Karu),
didalamnya terkandung unsur evaluasi hasil pemberian pelayanan
keperawatan, transfer of knowledge, dan fungsi koordinasi sesama
perawat untuk meningkatkan mutu pelayanan keperawatan
c. Rapat koordinasi Mingguan
Rapat koordinasi Mingguan adalah sebuah bentuk komunikasi dan
koordinasi antar Direksi dengan staf dibawahnya yang dilaksanakan
setiap 1 minggu sekali, didalamnya terkandung unsur evaluasi hasil
pemberian pelayanan rumah sakit, dan fungsi koordinasi antar bagian
meningkatkan mutu pelayanan rumah sakit yang didapat selama kurun
waktu 1 minggu
d. Rapat Pejabat Struktutral (Bulanan)
Rapat Pejabat Struktural adalah sebuah bentuk komunikasi dan
koordinasiantar Direksidengan staf dibawahnya yang dilaksanakan
setiap 1 bulan sekali, didalamnya terkandung unsur evaluasi hasil
pemberian pelayananrumah sakitdan fungsi koordinasi antar bagian
26
meningkatkan mutu pelayananrumah sakit selama kurun waktu 1
bulan.
2. Bentuk tulisan
Sedangkan bentuk tulisan yang digunakanadalah dengan : surat, memo
Intern, uraian tugas, Panduan, laporan kegiatan, dan panduan kebijakan
27
di mana probabilitas tinggi terjadi kondisi darurat medis atau di mana tim rumah
sakit telah dilatih dalam keterampilan BLS. Setidaknya satu kit resusitasi dasar
harus ditempatkan di setiap area kerja satu departemen sehingga tim dapat dengan
cepat memobilisasi dan memanfaatkan peralatan resusitasi.
Jika tersedia peralatan resusitasi yang lebih maka efektifitas dan waktu respon
dari Code Blue Tim akan lebih baik dan harapan hidup pasienpun meningkat. Hal
ini sama pentingnya bahwa semua personil rumah sakit, terutama tenaga non-
dokter dan non-medis, dilatih BLS sehingga mereka juga dapat memberikan
resusitasi awal kehidupan (CPR) dilokasi kejadian sambil menunggu respon
primer atau Code Blue tiba, dengan demikian juga meningkatkan kemungkinan
hasil yang baik bagi para korban darurat medis. Pelatihan tim rumah sakit dalam
keterampilan BLS.
1. Fase Code Blue
a. Alert System
Harus ada sistem yang baik dan terkoordinasi di tempat yang digunakan
untuk mengaktifkan peringatan terjadinya keadaan darurat medis dalam
lingkup rumah sakit kepada anggota tim code blue. Sistem handy talky
yang ada akan digunakan. Jika terjadi keadaan darurat medis, personil
rumah sakit di mana saja dalam lingkup rumah sakit tersebut dapat
mengaktifkan respon dari code blue lewat handy talky untuk bantuan dan
pengaktifan : Local Alert : Tergantung pada mekanisme yang dibuat oleh
Zone Coordinator, contoh: Pengumuman melalui sistem PA Menampilkan
nama-nama tim code blue primer di lokasi strategis di zona mereka Setelah
kasus code blue terjadi, Tim Primer harus meninggalkan pekerjaannya dan
mengambil emergency kit code blue dan menuju ke lokasi dan memulai
CPR / BLS.
Prioritas 1:
Untuk mengaktifkan team code blue
Prioritas 2:
28
Untuk memeriksa (sebagai jaring pengaman kedua) pengaktifan team code
blue primer.
Anggota tim respon code blue primer yang telah ditentukan di sekitar
tempat terjadinya kegawatdaruatan medis akan menanggapi situasi code
blue sesegera mungkin. Anggota tim akan memobilisasi alat resusitasi
mereka dan bergegas kelokasi darurat medis. Tim code blue juga akan
menanggapi situasi code blue. Jika semua tim tidak yakin apakah lokasi
darurat medis tersebut tercakup di daerah cakupan mereka,mereka tetap
harus merespon alarm 'code blue'. Standar layanan untuk durasi waktu
yang dibutuhkan antara menerima pesan 'code blue' (code blue - aktivasi)
dan kedatangan tim code blue di lokasi kejadian adalah 5 sampai 10
menit. Standar layanan akan diberi batas waktu & dikaji kinerja dan
pemeriksaan jaminan kualitas untuk menentukan ‘perangkap’ dalam
sistem peringatan dan menjaga efisiensi dan penyebaran cepat dari tim
code blue.
Anggap setiap panggilan di code blue line adalah code blue kasus yang
sebenarnya (sampai bisa dibuktikan).
Panggilan code blue harus dijawab secepatnya (< 3 kali panggilan)
Informasi vital adalah :
Nama dan nama orang/ tim rumah sakit/ paramedis/ dokter tertentu
Lokasi pasti
Trauma atau kasus medis
Dewasa atau anak-anak
Pengumuman kepada tim code blue : CODE BLUE 3x di area cakupan
Tim code blue harus meninggalkan pekerjaannya dan berlari dengan
membawa perlengkapan.
Rekaman dan dokumen dalam sensus code blue
b. Intervensi Segera di Tempat Kejadian. Tim di tempat kejadian darurat
medis (pasien tidak sadar atau dalam cardiac dan respiratory arrest) telah
terjadi memiliki tanggungjawab untuk meminta bantuan lebih lanjut,
29
memulai resusitasi menggunakan panduan Basic Life Support (BLS) dan
keterampilan ALS dan peralatan jika cukup terlatih dan lengkap.
Personil rumah sakit yang menemukan korban harus mengaktifkan
pemberitahuan lokal untuk tim code blue primer atau seseorang menginstruksikan
mereka untuk melakukannya, mereka juga harus meminta bantuan lebih lanjut
dari tim terdekat jika tersedia. Pada saat yang sama, aktivasi pemberitahuan rumah
sakit harus dilakukan dengan menghubungi nomor code blue rumah sakit. Pihak
yang bertanggung jawab atau bertanggung jawab atas daerah tertentu (misalnya
dari ruangan lain) juga harus di beritahu untuk datang ke lokasi segera. Sementara
menunggu kedatangan tim utama menanggapi code blue, jika tersedia tim yang
terlatih untuk BLS, mereka harus memulai BLS (posisi airway, bantuan
pernapasan,kompresi dada dll). Jika tidak ada tim yang terlatih BLS, tim yang
ditempat kejadian harus menunggu bantuan yang berpengalaman dan menjaga
lokasi dari kerumunan orang. Jika monitor jantung, defibrillator manual atau
defibrillator eksternal otomatis (AED) tersedia, peralatan ini harus melekat kepada
pasien untuk menentukan kebutuhan defibrilasi; fase ini dilakukan oleh tim yang
berpengalaman atau tim terlatih dalam Alert Cardiac Life Support (ACLS).
Setiap departemen, divisi, atau unit bangsal harus berusaha untuk
memastikan bahwa tim mereka dilatih dalam setidaknya keterampilan BLS dan
mereka dilengkapi dengan resusitasi kit atau troli emergency, setidaknya peralatan
resusitasi dasar dan ditempatkan di lokasi strategis. Tim dari masing-masing
ruangan akan bertanggung jawab untuk pemeliharaan resusitasi kit mereka. Jika
korban berhasil disadarkan/dihidupkan kembali sambil menunggu kedatangan tim
respon code blue, tim dilokasi harus menempatkan pasien dalam posisi pemulihan
dan monitor tanda-tanda vital. Semua kasus code blue harus mengirim ke ICU
untuk evaluasi lebih lanjut dan manajemen terlepas hasilnya. Kedatangan Team
Code Blue
Setelah anggota tim code blue menerima aktivasi code blue, mereka harus
menghentikan tugas mereka saat ini, mengambil resusitasi kit (tas peralatan)
mereka dan bergegas ke lokasi darurat medis dengan berjalan kaki. Mereka harus
mengerahkan diri mereka sendiri dengan cepat dan lancar dan menggunakan rute
30
terpendek yang tersedia. Waktu respon (layanan standar) dari waktu dari code blue call/
aktivasi kedatangan tim Code blue di tempat kejadian akan disimpan. Akan ada
saat ketika tim code blue adalah penundaan karena berbagai alasan, sehingga
kebutuhan untuk tim Code blue untuk tidak hanya terdiri dari tim code blue tetapi
juga tim dari departemen yang lebih strategis atau dekat. Selanjutnya, sangat
penting bahwa setiap tenaga medis di lokasi kejadian mulai melakukan langkah
BLS. Jika korban masih dalam cardiac atau respiratory arrest ketika tim respon
code blue tiba di lokasi, tim akan mengambil alih tugas resusitasi; tim di lokasi
kejadian harus tinggal di sekitar untuk memberikan bantuan tambahan jika
diperlukan. Setiap kasus code blue akan kirim ke ICU terlepas kondisi pasien baik
untuk mempertahankan kembalinya sirkulasi spontan (ROSC) atau tidak.
Perawatan Definitif Keadaan darurat medis yang terjadi di setiap daerah baik
klinis atau non-klinis dan baik melibatkan rawat inap atau rawat jalan (umum)
akan dihadiri oleh para tim tanggap code blue, pasien ini akan dikirim ke ICU
untuk resusitasi lanjutan dan perawatan definitif dimana tempat-tempat ini
biasanya tidak memiliki infrastruktur yang memadai dan peralatan untuk
perawatan lanjutan. Jika resusitasi tidak berhasil (korban meninggal di
TKP),korban masih perlu ditransfer ke ICU untuk dokumentasi lebih lanjut atau
konfirmasi kematian. Setiap kasus code blue akan menerima perawatan
definitif setelah perawatan pasca integrasi serangan jantung. Peralatan dan
pelatihan Semua tingkat tim rumah sakit harus cukup terlatih setidaknya dalam
BLS dan penggunaan AED. AED dan resusitasi kit dasar harus ditempatkan di
berbagai daerah di dalam halaman rumah sakit dan mudah diakses bagi tenaga
medis dan tim Code Blue untuk digunakan.
Lokal /code blue primer (zona risiko rendah) tim peralatan:
1. Sarung tangan
2. Pocket mask
3. Guedel / jalan napas orofaringeal
4. Tas / kotak pertama bantuan.
31
Oksigen tangki dan pipa
Tinggi aliran masker
Pocket mask
Bag-valve mask
Panduan defibrilator atau AED (ke dalam disiplin lain ETD dan KIV).
Sarung tangan steril disposable
Oro-faring dan naso-faring saluran udara
Extraglottic perangkat (LMA / LT)
Kursi roda atau tandu
Stetoskop
Alat suntik dan jarum
Infus set
Glucometer
Obat-Dextrose 50%, Dekstrosa 10%, Normal saline /Hartmann 's,
Adrenalin, Atropin, Amiodarone, Diazepam,GTN Tab dan Aspirin
Sphygmomanometer
Penlight
Ketika muncul code blue, tim dokter dan perawat yang ditunjuk sebagai "code-
team", bergegas ke pasien untuk melakukan tindakan penyelamatan. Tim ini menggunakan
crash-cart, kursi roda /tandu, yang berisi alat - alat penting seperti defibrilator, peralatan intubasi,
suction, oksigen, ambubag, obat-obatan resusitasi (adrenalin,atropin, lignocaine) dan IV set untuk
menstabilkan pasien. Tim akan mempraktekkan keterampilan BLS dan Advanced Cardiac
Life Support (ACLS) untuk resusitasi pasien. Peralatan resusitasi diletakkan di area yang
sering membutuhkan bantuan resusitasi sehingga bila code blue muncul tim yang ditunjuk
sebagai code blue Tim akan segera dapat mengakses peralatan tersebut. Jika code blue disebut di
suatu daerah tanpa crash-cart, tim yang ditunjuk code blue akan membawa crash-cart atau kit
resusitasi.
2. Komunikasi
32
Tersedia Medical Emergency Call Centre (MECC) yaitu panggilan khusus yang
mengaktifkan tim Code Blue Respon Primer.
3. Koordinasi dengan ruangan lain
Panggilan akan diperoleh dari ruangan lain yang tidak memiliki tim tanggap darurat. Jika tidak
ada rencana tanggap darurat di tempat, akan mendapatkan panggilan mengenai kebutuhan
mereka untuk perawatan medis darurat dan berkoordinasi dengan mereka tentang bagaimana
untuk mendirikan tanggap darurat medis menggunakan system code blue.
By Stander
33
Setlah mengaktifasi code blue, tim primer yang bertugasdi sekitar tempat kejadian
bergegas menuju tempat kejadian dengan resusitasi kit
Mulai atau lanjutkan BLS/CPR sementara menunggu tim code blue datang
34
G. Komunikasi efektif untuk menyampaikan informasi urgent (code red)
35
menuju titik kumpul untuk keselamatan yang berada di parkir depan
rumah sakit dan sisi barat gedung.
Agar semua sistem dalam pengelolaan keadaan darurat dapat terwujud dengan
baik maka dilakukan sosialisasi kode kedaruratan agar tidak menimbulkan
36
kepanikan dan kegaduhan pada pasien, keluarga pasien, pengunjung dan pegawai
Rumah Sakit di sosialisasikan berupa Kode Kedaruratan medis yang digunakan
ada sembilan yaitu :
37
c. Rencana pasien pulang ( ada/tidak ), jika ada sebut nama pasien.
d. Rencana pasien pindah ruang ( ada/tidak ), jika ada sebut nama pasien
e. Rencana pasien masuk/pasien baru ( ada/tidak ), jika ada
rencanamasuk di kamar berapa.
f. Apakah pada saat dinas ada KTD/KNC/sentinel/komplain dari pasien.
Jika ada tim berikutnya supaya melakukan follow up.
5. Petugas yang akan menyerahkan tugas memegang RM pasien,Petugas
yang menerima tugas mempersiapkan buku catatan untuk mencatathal-hal
yang penting.
6. Petugasrawatinapyang menyerahkan tugas harus menyampaikan informasi
untuktiap-tiap pasienrawatinapyang meliputi:
a. Identitas pasien (Nama,tanggal lahir)
b. Diagnosa Medis
c. DPJP (hari ini sudah visite/belum)
d. Hasil visite hari ini :
Jika ada tambahan obat, sudah diberikan atau belum ( anggota
timcek DPO)
Jika ada advis pemeriksaan penunjang (anggota tim cek hasil
pemeriksaan penunjangjikabelum ada, telpon bagian terkait
sudahjadi apa belum)
I. Hambatan dan Masalah Komunikasi
Hambatan adalah segala sesuatu yang rnenghalangi, membingungkan,
mengacaukan dan menggang uproses komunikasi. Gangguan ini bisa muncul
pada setiap tahap dalam proses komunikasi, namun demikian gangguan
terbanyak timbul pada tahap Encoding & Decoding.
Dalam kelompok masyarakat yang terdiri dari berbagai individu
terdapat beberapa gangguan dalam komunikasi, seperti beberapa contoh
dibawah ini:
1. Mata rantai yang terlalu panjang yang bisa menyebabkan terjadinya
gangguan (distortion).
38
2. Terlalu banyak Informasi dalam saluran komunikasi, yang bisa
menyebabkan overload atau terjadinya gangguan.
3. Lingkungan yang menimbulkankesulitan dalam komunikasi.
4. Hambatan Organisasi yaitu tingkat hirarkhi, wewenang manajerial dan
spesialisasi. Tingkat hirarkhi bila suatu organisasi tumbuh, dan strukturnya
berkembang, akan menimbulkan berbagai masalah komunikasi. Karena
pesan harus melalui tingkatan (jenjang) tambahan, yang memerlukan
waktu yang lebih lama barulah pesan itu sampai. Wewenang
manajerialartinya, kekaburan wewenang bagi setiap tingkatan pada jabatan
tertentu akan membuat pesan tidak sampai ke seluruh bagian yang ada
dalam organisasi tersebut. Spesialisasi artinya adalah prinsip organisasi,
tetapi juta menimbulkan masalah-masalah komunikasi, apalagi mereka
yang berbeda keahlian bekerja saling berdekatan. Perbedaan fungsi dan
kepentingan dan istilah- istilah dalam pekerjaan mereka masing dapat
menghambat, dan membuat kesulitan dalam memahami, sehingga akan
timbul salah pengertian dan sebagainya.
Ada 3 penyebab yang dapat berdampak terhadap hubungan antar
petugas kesehatan, yakni:
1) role stress
2) lock of interprofessional understanding
3) autonomy struggles
Konflik antar petugas kesehatan sangat penting karena
padagilirannya akan mempengaruhi kualitas pelayanan kepada pasien.
Menghadapi pasien setiap hari bukanlah suatu hal yang mudah. Petugas
kesehatan hampir setiap hari harus menjelaskan hal-hal yang berkaitan
dengan nyawa seseorang, misalnya menentukan diagnosis penyakit fatal,
menjelaskan pengobatan yang kadang-kadang tidak menjanjikan
kesembuhan, menginformasikan prognosis yang tidak baik atau harus
memberikan obat yang harganya sulit dljangkau oleh pasien. Hal-hal ini
sedikit banyak akan mempengaruhi suasana hati dokter dan dapat
mempengaruhi komunikasi verbal dan non-verbalnya dengan sesama
39
petugas. Pengendalian emosi dan stres sangat dibutuhkandalam pekerjaan
sehari-haritenaga medis di rumah sakit.
Kita mengharapkan semua petugas kesehatan memahami perannya
masing-masing dalam lingkungan kerjanya. Dalam praktiknya, ternyata
tidak demikian. Walaupun telah ada kemajuan dalam memahami peran
petugas lainnya, kebingungan atau kesalahtafsiran tentang peran dari
masing-masing petugas masih sering terjadi. ltulah yang disebut dengan
Lack of interprofessional understanding.
Faktor ketiga adalah masalah otonomi, yakni“the freedom to be
self-governing or selfdirecting”. Pentingnya otonomi digaris bawahi oleh
Conway, yang menyatakan bahwa kapasitas untuk melakukan otonomi
sangat penting agar petugas dapat memenuhi peran profesinya. Tingginya
professional autonomy berhubungan dengan membaiknya job morale dan
job performance. Perbedaan tingkat otonomi pada petugas kesehatan dapat
memacu ketegangan interpersonal. Perawat misalnya sering menyatakan
kekesalannya karena rendahnya otoritas mereka untuk pengambilan
keputusan yangsederhana tetapi penting bagi keamanan atau kenyamanan
pasien. Di dalam menghadapi tantangan globalisasi, setiap petugas
kesehatan memerlukan otonomi sesuai dengan tugas dan kewajibannya
masing-masing. Masalah komunikasi merupakan penyebab yang paling
umum dalam terjadinya medical error .Diantaranya adalah kegagalan
komunikasi baik verbal ataupun tertulis, miskomunikasi antar staf,
antarshift, informasi tidak didokumentasikan dengan baik atau hilang,
masalah komunikasi dalam satu lokasi,antar berbagai lokasi, antar tim
layanan dengan pekerja non klinis dan antar staf dengan pasien. Arus
informasi yang tidak adekuat juga merupakan masalah yang umum terjadi,
misalnyaketersediaan informasi yang terbatas saat akan merumuskan
keputusan penting, komunikasi yang tidak tepat waktu saat pemberian
hasil pemeriksaan yang kritis, kurangnya kordinasi instruksi obat
saattransfer antara unit, informasi penting yang tidak disertakan saat
pasien ditransfer ke unit lain ataudirujuk ke rumah sakit lain.
40
Setiap komunikasi yang terjalin wajib dicatat dalam berkas rekam
medis pasien, baik komunikasiantar petugas kesehatan (dokter dengan
dokter, dokter dengan perawat, dokter dengan tenaga medislainnya,
perawat dengan perawat, perawat dengan tenaga medis lain) ataupun
koniunikasi antar petugas kesehatan dengan pasien atau keluarga pasien
(dokter dengan pasien atau keluarga pasien,perawat dengan pasien atau
keluarga pasien).
1. Masalah Komunikasi Dokter dengan Pasien
Masalah komunikasi antara dokter dan pasien antara lain:
a. Masalah penerimaan informasi yang diberikan olehdokter kepada pasien
atau keluarga pasien yangdapatmempengaruhi pelayanan kesehatan
pasien bila pasienatau keluarga pasien tidak mengertitujuan terapi atau
tindakan yang akan dilakukan sehingga menyebabkan, antara lain:
1) Tindakan tertunda
2) Penolakan tindakan medis
3) Masalah komunikasi dokter, tata bahasa, gaya bicara yang dapat
menimbulkan:
a) Ketersinggungan pasien atau keluarga pasien
b) Pasien komplain ke Rumah Sakit
c) Pasien meminta alih rawat ke dokter lain
d) Pasien menuntut dokter atau melaporkan dokter ke Majelis
Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI)
2. Masalah Komunikasi Dokter dengan Dokter
Masalah pembagian kewenangan dokter penanggung jawab pelayanan
(DPJP) utama dan DPJP yang lain sering menjadi masalah dalam pelayanan
kesehatan dalam kondisi rawat bersama. Kurangnya komunikasi atau
masalah pencatatan terapi dalam rekam medik pasien yang tidak dilihat
oleh dokter lain sehingga terapi menjadi tumpang tindih. Tidak pernah
berdiskusi tentang kebutuhan pasien sehingga terapi menjadi tidak efisien,
efektif, masa perawatan/Length Of Stay (LOS) lebih lama juga menjadi
masalah yang sering tenjadi. Perbedaan pendapat dan nasihat juga sering
41
membingungkan pasien. Masalah komunikasi yang lain adalah instruksi
dari DPJP ke dokter jaga ruangan yang tidak jelas atau terburu-buru
sehingga menyebabkan kesalahan.
Dalam hal ini perlu dibuat kebijakan tentang kewenangan DPJP sehingga
komunikasi antara dokter yang satu dengan dokter yang lain terjalin dengan
baik sehingga pasien mendapat pelayanan yang aman dan bermutu.
3. Masalah Komunikasi Dokter dengan Perawat / Tenaga Kesehatan Lain
Tulisan sering digunakan oleh dokter yang merawat pasien untuk
memberikan instruksi kepada petugas kesehatan lainnya misalnya dokter
ruangan atau perawat/ bidan untukmelaksanakan pengobatan atau
pemeriksaan penunjang. Padadasarnya penulisan rekam medik merupakan
sumberinformasi tentang pasien yang dibuat bukan hanya untukpenulis
tetapi juga bagi semua pihak yang terlibat dalampenanganan pasien pada
saat tersebut atau di masa mendatang.
Beberapa contoh masalah kornunikasi antara dokter dan perawat,
antara lain:
a. Masalah kewenangan klinis perawat sebagai penerima instruksi dokter
(Akper / D3, Perawat level tertentu, S1)
b. Kesalahan penerimaan lntruksi (obat dan tindakan), misalnya:
1) Salah dengar nama obat,
2) Salah dengar dosis obat
3) Salah dengar cara pemakaian obat
4) Salah dengar waktu pemberian obat / tindakan
5) Salah baca instruksi dokter karena tulisan tidak jelas
6) Pada saat perawat mengikuti visit dokter, seringkali instruksi dokter
ada yang terlewat untuk dilakukan.
Salah satu masalah komunikasi yang sering timbul adalah tulisan
atau instruksi dokter yang sulit dibaca oleh perawat, bahkan kadang-kadang
penulis sendiri pada kesempatan berikutnya tidak dapat membaca kembali
tulisannya. Penulisan yang tidak jelas membuat proses kerja menjadi
terganggu. Tidak jarang klarifikasi melalui telepon perlu dilakukan,
42
padahal pembicaraan rnelalui telepon terkadang tidak mudah dilakukan
karena koneksi yang buruk atau dokter tidak mengaktifkan pesawat
teleponnya. Bila tidak dapat berkomunikasi dengan pemberi instruksi,
sebagian petugas akan menunda pekerjaan tersebut, atau menduga-duga
instruksi apa yang harus dilaksanakan. Instruksi yang kurang jelas dan
tidak diklarifikasi dapat berakibat fatal bagi pasien.
Kerugian lain yang dapat ditimbulkan adalah, dokter lain tidak dapat
memahami situasi pasien dengan baik sehingga tidak dapat melanjutkan
perawatan dengan baik. Perawat juga tidak dapat membaca instruksi yang
seharusnya dilakukan sehingga pasien akan terlambat mendapatkan
penanganan.
Dalam keadaan kurangnya tenaga, dalam hal ini terutama
kekurangan tenaga perawat, masalah akan sering bermunculan, hal ini
harus diantisipasi oleh setip Koordinator atau manajer. Pasien komplain
karena perhatian kurang di rawat inap, respon perawat lambat dan
permintaan lama dipenuhi, bahkan yang parahnya dapat menyebabkan
kejadian tidak diharapkan yang dapat menyebabkan cedera pada pasien.
Untuk mengatasi role overload atau kurangnya tenaga, perlu dilakukan
pengaturan jumlah tenaga perawat dengan baik, memperjelas uraian hak,
tugas dan koordinasi masing-masing petugas. Peran, hak dan tugas petugas
lain juga harus diketahui oleh masing-masing petugas.
Masalah komunikasi lain yang sering terjadi adalah ketika instruksi
diberikan melalui telepon. Pemberian instruksi dokter lewat telepon tidak
dapat dihindari dalam pelayanan di rumah saket, hal ini dikarenakan
keberadaan dokter yang tidak 24 jam di rumah sakit, adanya perubahan
kondisi pasien yang memerlukan terapi tambahan atau tindakan medis, dan
pada keadaan emergency atau gawat darurat. Banyak faktor yang
menyebabkan kesalahan pada proses pemberian instruksi dokter lewat
telepon, yaitu antara lain karena gangguan koneksi telepon sehingga suara
dokter tidak jelas, dokter terburu-buru dalam memberikan instruksi,
kompetensi dan pengetahuan perawat masih kurang atau level kompetensi
43
perawat penerima instruksi tidak memenuhi syarat, perawat penerima
instruksi adalah perawat baru atau perawat magang, prosedur read back-
repeat back tidak dijalankan.
Untuk menghindari kesalahan penerimaan instruksiatau kegagalan
komunikasi, telah diatur beberapa kebijakan untuk menghindari kejadian
tidak diharapkan pada pasien. Dalam sasaran keselamatan pasien yang
kedua, yaitu peningkatan kornunikasi yang efektif, telah diatur teknik-
teknik komunikasi, antara lain teknik SBAR(Situation-Background-
Asessment-Recommendation)serta teknik Read back-Repeat back,dimana
penerima instruksi seharusnya setelah menulis instruksi dalam rekam medis
pasien wajib membacakan kembali instruksi tersebut dan pemberi instruksi,
dalam hal ini adalah dokter juga harus mengulang kembali instruksinya dan
bila perlu mengeja nama obat atau tindakannya, apalagi bila obat tersebut
tergolong obat kewaspadaan tinggi (high alert medication), contohnya
pemberlan elektrolit pekat.
4. Masalah Komunikasi antara Tenaga Kesehatan
Komunikasi internal antar tenaga medis dapat mencakup instruksi
dokter terkait terapi, rencana pelayanan medik danpenunjang medik, serta
transfer antar ruangan. Lemahnya komunikasi antar petugas kesehatan
dapat mempengaruhi kualitas pelayanan kedokteran yang diberikan, yang
pada gilirannya dapat menimbulkan kerugian pada pasien dan keluarganya.
Masalah komunikasi antar tenaga kesehatan yang mudah terjadi
kesalahan antara lain pada:
a. Saat transfer pasien dan ruang satu ke ruangan lain. Pada saat transfer
pasien/pindah ruang, perawat harus melakukan operan dengan lengkap
kepada perawat lain, misalnya tentang kelanjutan terapi, rencana
tindakan, kelengkapan informed consent, hasil-hasil pemeriksaan
penunjang dan banyak hal lain yang sering terlewat pada saat transfer
Informasi.
44
b. Saat berlangsungnya operan antara petugas kesehatan, yang paling
sering terjadi adalah lupa dicatat sehingga tidak dioperkan kepada
petugas shift berikutnya.
Secara umum setiap petugas kesehatan dituntut untuk
mempraktikkan cara-cara komunikasi interpersonal yang baik termasuk
komunikasi verbal dan non-verbal. Tidakberbeda dengan bila menghadapi
pasien, setiap petugaskesehatan seyogyanya menerapkan keterampilan
komunikasiinterpersonalnya bila berhadapan dengan sesama
petugaskesehatan.Komunikasi tertulis hendaknya ditunjang
denganpenulisan yang jelas, dan bila perlu didukung olehkomunikasi
verbal dan non-verbal yang sesuai. Dankomunikasi yang efektif akan
menimbulkan lingkungan kerjayang aman dan pasien akan terjaga
keselamatannya selamadalam perawatan di rumah saklt.
45
Kebanyakan para pimpinan lebih percaya pada pesan tulisan dan
metode difusi yang menggunakan alat-alat elektronik daripada pesan
yang disampaikan secara lisan dan tatap muka. Hal ini menjadikan
pimpinan lebih banyak menyampaikan pesan secara tertulis berupa
buletin, booklet, dan film sebagai pengganti kontak personal secara
tatap muka antara atasan dan bawahan.
c. Pesan yang berlebihan
Banyaknya pesan-pesan yang dikirimkan secara tertulis maka
karyawan dibebani dengan memo, buletin, surat pengumuman, majalah
dan pernyataan kebijaksanaan sehingga banyak sekali pesan-pesan yang
harus dibaca oleh karyawan. Reaksi karyawan terhadap pesan tersebut
biasanya cenderung tidak membacanya. Banyak karyawan hanya
membaca pesan-pesan tertentu yang dianggap penting bagi dirinya dan
yang lain dibiarkan saja tidak dibaca.
d. Ketepatan waktu
Ketepatan waktu pengiriman pesan mempengaruhi komunikasi
ke bawah. Pimpinan hendaklah mempertimbangkan saat yang tepat bagi
pengiriman pesan dan dampak yang potensial kepada tingkah laku
karyawan. Pesan seharusnya dikirimkan ke bawah pada saat saling
menguntungkan kepada kedua belah pihak yaitu pimpinan dan
karyawan. Tetapi bila pesan yang dikirimkan tersebut tidak pada saat
dibutuhkan oleh karyawan maka mungkin akan mempengaruhi kepada
efektifltasnya.
e. Penyaringan
Pesan-pesan yang dikirimkan kepada bawahan tidaklah semua
diterima mereka, tetapi mereka saring mana yang mereka perlukan.
Penyaringan pesan ini dapat disebabkan oleh bermacam-macam faktor
diantaranya perbedaan persepsi di antara karyawan, jumlah mata rantai
dalam jaringan komunikasi dan perasaan kurang percaya kepada
seorang supervisor mungkin memblok supervisor.
46
Persoalan utama dalam kornunikasi atasan bawahan adalah
sejauh mana komunikasi atasan dan bawahan dapat berjalan dengan
efektif atau tidak. Apabila hasil yang didapat sama dengan tujuan yang
diharapkan maka hasil komunikasi dinyatakan efektif, jika hasil yang
didapatkan lebih besar dan tujuan yang diharapkan maka komunikasi
dapat dikatakan sangat efektif, tetapi apabila hasil yang didapatkan lebih
kecil dari tujuan yang diharapkan, maka dapat dikatakan bahwa
komunikasi tidak atau kurang efektif. Komunikasi disebut efektif
apabila penerima menginterpretasikan pesan yang diterimanya
sebagaimana dimaksudkan oleh pengirim (Thoha, 2005).
47
BAB V
DOKUMENTASI
48
LAMPIRAN
49
50
51
52
53
54
55
56
57