i
KATA PENGANTAR
Penyusun
ii
TIM PENYUSUN
DAFTAR ISI
COVER
iii
SURAT KEPUTUSAN
HALAMAN JUDUL............................................................................... i
KATA PENGANTAR.............................................................................. ii
DAFTAR ISI........................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN....................................................................... 1
A. Dasar Hukum........................................................................ 1
B. Definisi................................................................................. 2
C. Tujuan................................................................................... 4
iv
BAB I
PENDAHULUAN
1
4. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor
920/Menkes/Per/XII/1996 tentang Upaya Pelayanan Kesehatan Rumah
Sakit Swasta di bidang medik.
5. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor
1438/Menkes/Per/IX/2010 tentang Standar Pelayanan Kedokteran.
6. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor
496/Menkes/SK/IV/2005 tentang Pedoman Audit Medis di Rumah Sakit.
7. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor
631/Menkes/SK/IV/2005 tentang Peraturan Internal Staf Medis.
B. Definisi
Terdapat beberapa definisi tentang clinical pathway, antara lain:
1. Clinical Pathways adalah suatu konsep perencanaan pelayanan terpadu
yang merangkum setiap langkah yang diberikan kepada pasien
berdasarkan standar pelayanan medis dan asuhan keperawatan yang
berbasis bukti dengan hasil yang terukur dan dalam jangka waktu tertentu
selama di rumah sakit.
2. Clinical Pathways adalah metodologi dalam cara mekanisme pengambilan
keputusan terhadap layanan pasien berdasarkan pengelompokan dan dalam
periode waktu tertentu. (European Pathways Association, 2005)
3. Clinical Pathways adalah salah satu alat manajemen penyakit yang dapat
mengurangi variasi pelayanan, meningkatkan outcome, dan juga
penghematan pemakaian sumber daya/finansial
4. Clinical Pathways adalah sebuah rencana detail setiap tahap penting dari
pelayanan kesehatan, bagi sebagian besar pasien dengan masalah klinis
(diagnosis atau prosedur) tertentu, berikut dengan hasil yang diharapkan.
5. Clinical Pathway adalah Suatu cara untuk menstandarisasikan praktik
klinis dan umumnya dilaksanakan di rumah sakit
6. Clinical Pathway dikembangkan dari Clinical Practice Guideline (CPG)
7. Clinical Pathway merupakan suatu alat untuk mendapatkan perawatan
yang terkoordinasi dan hasil yang prima dalam suatu rentang waktu
tertentu dengan menggunakan sumber daya yang tersedia
8. Suatu metodologi untuk suatu pembuatan keputusan yang menguntungkan
dan pengorganisasian pelayanan untuk suatu kelompok pasien dalam suatu
jangka waktu tertentu
2
9. Suatu rancangan penatalaksanaan multi disiplin klinis terbaik untuk suatu
kelompok pasien dengan diagnosis tertentu yang dapat membantu
koordinasi dan memberikan kualitas pelayanan yang prima
10. Suatu alat audit untuk manajemen dan klinis, dimulai sejak kegiatan
pasien saat mendaftar dan berakhir saat pasien dinyatakan sembuh dan
boleh pulang. ke rumah. Ia menyatukan rencana pelayanan kesehatan dan
asuhan keperawatan dengan terapi lain seperti terapi; gizi, fisioterapi dan
kejiwaaan
11. Clinical Pathway bukan merupakan standar pelayanan atau pengganti
penilaian klinis atau pengganti perintah dokter, melainkan suatu
dokumen yang terintegrasi untuk memudahkan proses perawatan pasien
dan mengefektifkan pelayanan klinis dan finansial dengan
menggabungkan pendekatan tim dan klinis
12. Clinical pathway adalah sebuah pemetaan mengenai tindakan klinis
untuk diagnosis tertentu dalam waktu tertentu, yang mendokumentasikan
clinical practice terbaik dan bukan hanya clinical practice sekarang.
Clinical pathway yang diterapkan dengan baik dapat menjadi “alat”
kendali mutu pelayanan kesehatan RS. Di sisi yang lain, dalam era JKN
yang dilaksanakan oleh BPJS Kesehatan kini, penerapan clinical pathway
dapat menjadi salah satu upaya kendali biaya. Biaya yang dikeluarkan
dari pemberi pelayanan kepada pasien dapat dihitung berdasarkan
clinical pathway dan dibandingkan dengan tarif INA CBG’s yang telah
ditetapkan. Sehingga, jika biaya pelayanan yang diberikan kepada pasien
melebihi tarif INA CBG’s yang telah diterapkan maka rumah sakit dapat
segera mengupayakan efisisensi, tanpa perlu melakukan Fraud.
C. Tujuan
1. Meminilmalisasi Variasi diagnosis dan prosedur minimal.
2. Menyediakan standar untuk pelayanan secara nyata dan baik.
3. Meningkatkan mutu pelayanan dan keselamatan pasien yang
berkelanjutan.
4. Mengurangi Length of Stay rumah sakit.
5. Menurunkan penggunaan Clinical Guidelines dan pengobatan berbasis
bukti.
6. Meningkatkan komunikasi, teamwork dan rencana perawatan.
3
7. Menurunkan biaya perawatan.
8. Efisiensi penggunaan sumber daya tanpa mengurangi mutu.
BAB II
RUANG LINGKUP
4
BAB III
KEBIJAKAN
5
BAB IV
TATA LAKSANA
Agar tidak tumpang tindih serta sinergis dengan kenyataan di rumah sakit),
maka implementasi Clinical Pathways sebaiknya terpadu dengan tatakelola
manajamen (corporate governance) dan tatakelola klinis (clinical governance)
yang telah berlaku sesuai misi rumah sakit dalam bidang pelayanan, pendidikan
dan penelitian.
Tujuan utama clinical pathway adalam meningkatkan mutu dan menjaga
keselamatan pasien, seperti tercantum dalam gambar berikut:
6
Ev id ence H ealth Gu ideline Pand u an Clin ic al Patie nt
Ba sed /PNPK/ Pra k tik Pa th way Sa fety
Tec hn olo g y SPM
Med icin e Asse sm en t Kli n is
Pr ofesi
Namun bila PNPK tersebut belum ada atau tidak sesuai dengan kondisi
rumah sakit atau dalam PNPK belum mencantumkan jenis penyakit yang sesuai
7
dengan keadaan epidemiologi penyakit di daerah/rumah sakit tersebut – maka
profesi di rumah sakit tersebut wajib membuat Panduan Praktik Klinis (PPK)
untuk rumah sakit tersebut dan disahkan penggunaannya di rumah sakit oleh
direktur rumah sakit. Dalam menyusun PNPK dari organisasi profesi maupun
PPK untuk rumah sakit profesi medis memberikan pelayanan keprofesiannya
secara efektif (clinical effectiveness) dalam hal menegakkan diagnosis dan
memberikan terapi berdasarkan pendekatan evidence-based medicine. Secara
sederhana peraturan tersebut dapat dilihat sebagaimana dalam Gambar berikut ini.
8
A. Prinsip Prinsip Dalam Menyusun Clinical Pathways (CP)
Dalam membuat Clinical Pathways penanganan kasus pasien rawat inap di
rumah sakit harus bersifat:
1. Seluruh kegiatan pelayanan yang diberikan harus :
a. terpadu/integrasi (integrated care)
b. berorientasi fokus terhadap pasien (patient focused care)
c. berkesinambungan (continuing of care)
2. Melibatkan seluruh profesi (dokter, perawat/bidan, penata, farmasis, analis
kesehatan, ahli gizi, dan lain-lain)
3. Dalam batasan waktu yang telah ditentukan sesuai dengan keadaan
perjalanan
penyakit pasien dan dicatat dalam bentuk periode harian (untuk kasus
rawat inap) atau jam (untuk kasus gawat darurat di unit emergensi).
4. Pencatatan CP seluruh kegiatan pelayanan yang diberikan kepada pasien
secara terpadu dan berkesinambungan tersebut dalam bentuk dokumen
yang merupakan bagian dari Rekam Medis.
5. Setiap penyimpangan langkah dalam penerapan CP dicatat sebagai varians
dan dilakukan kajian analisis dalam bentuk audit.
6. Varians tersebut dapat terjadi karena kondisi perjalanan penyakit, penyakit
penyerta atau komplikasi maupun kesalahan medis (medical errors) dan
dipergunakan sebagai salah satu parameter dalam rangka mempertahankan
dan meningkatkan mutu pelayanan.
9
Kordinator utama bertugas sebagai fasilitator, sehingga tidaklah harus
memahami clinical pathway secara konten. Sebelum menunjuk
koordinator, terlebih dahulu dikumpulkan anggota yang berasal dari
berbagai disiplin yang terlibat dalam pemberi pelayanan pasien. Tim
multidisiplin tersebut wajib menyampaikan item-item pelayanan yang
diberikan kepada pasien berdasarkan SPO kepada masing-masing tim
profesi dan mengikuti rangkaian rapat dalam kelanjutan membuat clinical
pathway.
3. Menentukan Pemain Kunci
Pemain kunci adalah siapa saja yang terlibat dalam pelayanan yang
diberikan kepada pasien. Misal, pemain kunci dalam pemberian pelayanan
kepada pasien Appendicits Akut tanpa komplikasi adalah dokter umum,
dokter spesialis bedah, dokter spesialis anastesi, perawat, dan ahli gizi.
4. Melakukan Kunjungan Lapangan
Setelah menentukan anggota dalam penyusunan clinical pathway, maka
selanjutnya dilakukan kunjungan lapangan untuk mencari pedoman praktik
klinis (PPK), misalnya dalam bentuk SPO atau SPM dan SAK (Standar
Asuhan Keperawatan). Kunjungan lapangan dilakukan agar dapat menilai
sejauh mana pelayanan yang didapatkan oleh pasien. Juga menilai
hambatan yang terjadi di bangsal dalam menjalankan SPO atau SPM
sehingga dapat dibuat rekomendasi dalam menyusun clinical pathway.
Dalam mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya, dapat pula
dilakukan dengan melakukan benchmarking terhadap penerapan clinical
pathway di tempat lain. Perlu diingat bahwa, clinical pathway untuk kasus
dengan diagnosis yang sama yang diterapkan di rumah sakit lain belum
tentu dapat serta-merta diterapkan di rumah sakit kita. Hasil benchmarking
perlu dipadukan dengan kemampuan manajerial dan SDM RS serta
kondisi-kondisi lain yang terkait.
5. Mencari Literatur
Dalam mencari literatur dapat mencari best practice dalam skala nasional
yaitu PNPK, ataupun sumber-sumber guideline/ jurnal penelitian
10
internasional dan disesuaikan dengan kemampuan masing-masing rumah
sakit. Evidence Based Medicine diperlukan bilamana PNPK belum/ tidak
dikeluarkan oleh organisasi profesi yang bersangkutan.
6. Melaksanakan Customer Focus Group
Langkah Ini bertujuan untuk mengidentifikasi kebutuhan pelanggan
disesuaikan dengan kemampuan rumah sakit sehingga, kesenjangan antara
harapan dan pelayanan yang didapatkan pasien dapat diketahui dan dapat
diperbaiki.
7. Telaah Pedoman Praktik Klinis (PPK)
Langkah awal dalam tahap ini adalah melakukan revisi PPK (SPM dan
SAK), namun jika sebelumnya rumah sakit belum mempunyai PPK, maka
PPK harus dibuat, karena tidak ada clinical pathway tanpa adanya PPK.
Berdasarkan Permenkes. nomor 1438 tahun 2010, clinical pathway bersifat
sebagai pelengkap PPK. Menurut Permenkes tersebut, PPK harus di-
review setiap 2 tahun sekali, sehingga secara tidak langsung pembuatan
clinical pathway dapat meningkatkan kepatuhan review PPK.
8. Analisis casemix
Dalam pengembangan clinical pathway, perlu dilakukan mengumpulkan
aktivitas-aktivitas untuk dikaitkan dengan besarnya biaya, untuk mencegah
adanya Fraud. Dalam hal ini perlu dilakukan identifikasi LoS suatu
diagnosis, biaya per-kasus, penggunanan obat apakah sudah sesuai dengan
formularium nasional, maupun tes penunjang diagnostik suatu penyakit.
9. Menetapkan Desain Clinical Pathway serta Pengukuran Proses dan
Outcome.
Dalam menetapkan desain, hal yang terpenting adalah beberapa informasi
yang harus ada dalam clinical pathway, yaitu kolom pencatatan informasi
tambahan, variasi, kolom tanda tangan, serta kolom verifikasi dari bagian
rekam medis. Kemudian, ditetapkanlah item-item aktivitas dari masing-
masing penyakit sesuai dengan literatur yang telah dipilih dan disesuaikan
dengan keadaan rumah sakit. Item aktivias ini sebaiknya muda dimengerti,
sehingga meningkatkan kepatuhan dalam menjalankannya.
11
10. Sosialisasi dan Edukasi
Tahap terakhir dalam membuat clinical pathway adalah, melakukan
sosialisasi dan edukasi kepada para pengguna, dalam hal ini berbagai
profesi yang berhubungan langsung pada pasien. Dalam tahap awal dapat
dilakukan uji coba penerapan clinical pathway yang telah disusun guna
mendapatkan feedback untuk mendapatkan bentuk yang user friendly serta
konten yang sesuai dengan kondisi di lapangan dalam rangka mencapai
kepatuhan penerapan clinical pathway yang lebih optimal. Sosialisasi
clinical pathway ini harus dilakukan intensif minimal selam 6 bulan. Perlu
ditekankan bahwa clinical pathway adalah “alat.” Efektifitas dalam kendali
mutu dan kendali biaya amat tergantung pada user yang menerapkannya.
Sehingga, perlu disusun strategi sedemikian rupa agar alat tersebut
diterapkan sebagaimana mestinya dalam kepatuhan maupun ketepatan
penggunaannya.
C. Persiapan dalam Penyusunan Clinical Pathways
Agar dalam menyusun Clinical Pathways terarah dan mencapai sasaran serta
efisien waktu, maka diperlukan kerjasama dan koordinasi antar profesi di
SMF, Instalasi Rawat Inap (mulai dari gawat darurat, ruangan rawat inap,
ruangan tindakan, instalasi bedah, ICU/ICCU) dan sarana penunjang
(instalasi gizi, farmasi, rekam medik, akuntasi keuangan, radiologi dan
sebagainya).
1. Profesi Medis
Mempersiapkan Standar Pelayanan Medis atau Panduan Praktik Klinis dan
standar prosedur operasional (SPM/PPK/SPO) sesuai dengan bidang
keahliannya. Profesi Medis dari setiap divisi berdasarkan data dari rekam
medis diatas - mempersiapkan SPM/PPK/SPO, bila belum ada dapat
menyusun dulu SPM/PPK/SPOnya sesuai kesepakatan.
2. Profesi Rekam Medis/Koder
Mempersiapkan buku ICD 10 dan ICD 9 CM, Laporan RL1 sampai
dengan 5 (terutama RL3). Profesi Rekam Medis membuat daftar 5 - 10
penyakit utama dan tersering dari setiap divisi SMF/Instalasi dengan kode
12
ICD 10 serta rerata lama hari rawat berdasarkan data laporan morbiditas
RL3.
3. Profesi Perawat
Mempersiapkan Asuhan Keperawatan.
4. Profesi Farmasi
Mempersiapkan Daftar Formularium, sistem unit dose dan stop ordering.
5. Profesi Akuntasi/Keuangan
Mempersiapkan Daftar Tarif rumah sakit Setiap varians yang didapatkan
akan dilakukan tindak lanjut dalam bentuk pelaksanaan audit medis
sebagaimana yang dianjurkan dalam Undang Undang RI Nomor 29 Tahun
2004 dan Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor
755/Menkes/Per/IV/2011.
13
BAB V
DOKUMENTASI
14
15