Anda di halaman 1dari 148

2

MENGELOLA BISNIS SYARIAH


Konsep Dasar & Implementasi

Prof. Dr. Samdin, SE.M.Si


Prof. Dr. Hj. Alida Palilati, SE.M.Si
Prof. Dr. Hasanuddin Bua, SE.M.Si
3

KATA PENGANTAR

Atas Rahmat dan Ridho Allah SWT, upaya keras penulis untuk menghasilkan
sebuah karya tulis yang sederhana ini dapat rampung dalam bentuk sebagaimana yang
ada di hadapan bapak, ibu pembaca. Semoga buku ini bermanfaat untuk kemaslahatan
manusia dan pengembangan ilmu.
Seiring dengan mulai dikembangkannya gerakan ekonomi syariah di seluruh
dunia dan termasuk Indonesia saat ini, maka Para pemerhati pencinta bisnis syariah saat
ini sudah mulai berlomba berusaha menuangkan pikirannya dalam berbagai bentuk karya
tulis, baik dalam bentuk maupun jurnal-jurnal ilmiah. Namun demikian, produk buah
pikiran tersebut hingga sekarang masih dirasakan kurang. Yang ada saat ini masih
didominasi buku-buku yang konvensional. Karenanya, buku ini, ditujukan untuk
menambah atau memperkaya khasanah bacaan yang terkait dengan bisnis syariah.
Walaupun kami sudah berusaha untuk menuangkan pikiran yang terbaik dalam
karya tulis ini, namun kamipun menyadari sepenuhnya bahwa buku kecil ini masih
banyak kekurangan disana sini, seiring dengan perkembangan lingkungan yang ada.
Untuk itulah, penulis mengharapkan masukan dan saran yang konstruktif untuk
menyempurnakan isi buku ini.
Akhirnya kepada semua pembaca dan kaum muslim yang menghendaki dan
merasakan manfaat keberadaan buku ini kami mengucapkan terima kasih, dan mohon
maaf jika ditemukan kekurangan yang ada dalam buku ini.

Wassalam

Kendari, Oktober 2012

Penulis
4

DAFTAR ISI

Halaman

BAB 1
LANDASAN EKONOMI DAN
BISNIS SYARIAH

1.1. Pendahuluan 1
1.2. Islam dan Ekonomi 2
1.3. Filsafat Sistem dalam Penegakan Ekonomi dan Bisnis 6
1.4. Dasar Penegakkan Ekonomi Islam 14
Landasan Filosofis 14
Landasan Etika dan Moral 17
Landasan Ekonomi 21
Landasan Sosial 22
Landasan Budaya 23
1.5. Kesimpulan 25
Rferensi 26

BAB 2
PRINSIP DAN MANFAAT PEMASARAN SYARIAH 29

2.1. Syariah Marketing Rasululullah Saw. 29


Teistis (rabbaniyyah) 33
Etis (akhlaqiyyah) 34
Realistis (al-waqi’iyyah) 35
Humanistis (insaniyyah) 35
2.2. Mekanisme Pasar dalam Perdagangan Islam 35
2.3. Praktek Pemasaran Syariah 38
Memiliki Kepribadian Spiritual (Takwa) 41
Berperilaku benar dan jujur (Siddiq) 42
Berlaku Adil dalam Bisnis (Al-Adl) 42
5

Bersikap melayani dan rendah hati (Khikmah) 43


Menepati janji dan tidak curang 43
Terpercaya (Al-Amanah) 44
Cerdas (Fathanah) 44
Komunikatif (Tabliq) 45
Tidak Suka Berburuk Sangka (Su’uzh-zhann) 45
Tidak suka menjelek-jelekan (Ghibah) 45
Tidak melakukan sogok/suap (Risywah) 46
2.4. Peran Kejujuran Dalam Membentuk Kepercayaan dan
Loyalitas Pelanggan 49

Pengaruh Kualitas Produk Terhadap Kepercayaan 52


Pengaruh Kepercayaan Terhadap Loyalitas 53
2.5. Mengenal Loyalitas Pelanggan 56
Tingkatan Loyalitas pelanggan 56
Pilar Mempertahankan Loyalitas Pelanggan 63
Value 63
Brand 64
Relationship Marketing 65
2.6. Komitmen Word Of Mouth Sebagai Model Dakwah Bil-hal 74
Referensi 79

BAB 3

IMPLEMENTASI BISNIS SYARIAH

Niat dan Doa


Modal Dasar Keberhasilan Bisnis
Kasus dalam Praktek Dagang Masyarakat Muslim Gu-Lakudo 83

3.1. Niat dalam Berbisnis 84


Telaah Kasus 84
Kasus 1. Pengalaman H. Umar. 88
Kasus 2. Pengalaman H. Pele/H. Muhammad Saleh. 89
6

Kasus 3. Pengalaman H. Syarifuddin.


89
Kasus 4. H. Pengalaman Sabirin tentang Keampuhan Niat. 90
Manfaat Niat dalam Berbisnis
91
Jika Tidak Berniat 97
3.2. Doa dalam Berbisnis 97
Telaah Kasus 97
Kasus 1. Wa Ode Musdia Kesulitan Usaha karena tidak berdoa 104
Kasus 2. Sebuah Fenomena Pengamatan. 104
Kasus 3. Pengalaman H. Baharuddin tentang Keampuhan Doa. 106
Manfaat Doa dalam Berbisnis
109
Doa syukur atas keberhasilan yang dicapai 117
Jika Tidak Berdoa 118
3.3. Kesimpulan 119
Referensi 120

BAB 4
RECOVERY
4.1. Pendahuluan 122
4.2. Pengertian Recovery 123
4.3. Kegagalan Barang dan Jasa 124
4.4. Perilaku Komplain 125
4.5. Proses Pemulihan Barang/Jasa 132
4.6. Identifikasi Kegagalan 133
4.7. Kesimpulan 137
Referensi 139
7

DAFTAR GAMBAR

Halaman

GAMBAR:

HUBUNGAN EKONOMI DAN BISNIS DENGAN


KONSEP ISLAM 2

KONSEP FILSAFAT SISTEM SEGI TIGA 12

KONSEP PEREKONOMIAN ISLAM 18

MODEL PROSES KOGNITIF PERILAKU KOMPLAIN PELANGGAN 127

FREKUENSI DAN DAMPAK KOMPLAIN 131

PROSES PEMULIHAN BARANG/JASA 132


8

BAB 1
LANDASAN EKONOMI DAN
BISNIS SYARIAH

1.1. Pendahuluan

Bahwa semua sistem kehidupan ditegakkan di atas landasan yang sesuai dengan
paham yang diyakininya. Ekonomi Islam (Syariah) yang merupakan salah satu sub
sistem kehidupan Islam sudah barang tentu harus dibangun di atas landasan nilai-nilai
syariat Islam. Untuk itulah, bab ini disusun dengan maksud memberikan kontribusi
pemikiran bagaimana Ekonomi Islam yang tengah diperjuangkan ini ditegakkan di atas
landasan yang sesuai dengan syariat Islam.
Uraian bab ini diawali dengan mengemukakan konsep Islam dan Ekonomi,
sehingga lebih awal kita dapat memahami bagaimana kaitan antara ekonomi dan ajaran
Islam sebagai suatu ajaran yang paripurna, dari sini kita memahami keberadaan sistem
ekonomi dan sistem-sistem kehidupan lainnya sebagai sub sistem ajaran Islam yang
berpangkal dari aqidah atau keyakinan yang selanjutnya bermuara pada ibadah (syariah
dan mu’amalat) dan akhlak. Uraian tentang falsafah sistem segi tiga adalah uraian
berikutnya yang menambah pemahaman kita tentang eksistensi manusia sebagai pelaku
ekonomi dan alam atau lingkungannya harus tunduk kepada Sang Khalik di puncak segi
tiga. Uraian berikutnya yang lebih spesifik dan mencerminkan judul makalah adalah
diketengahkan tentang landasan penegakkan ekonomi Islam. Akhir makalah ini kami
tutup dengan menarik beberapa kesimpulan yang patut untuk kita renungkan dalam
9

menegakkan dan mengembangkan ekonomi Islam saat ini dan di masa yang akan datang.

1.2. Islam dan Ekonomi

Islam merupakan suatu konsep ajaran dan pedoman atau tata aturan dalam
hidup dan kehidupan semua makhluk, baik makhluk manusia, binatang maupun
tumbuhan, alam dan seisinya. Islam adalah ajaran yang konprehensif, yang merangkum
seluruh aspek mulai dari aspek aqidah, syariah, dan akhlak. Sehingga dapat dikatakan
bahwa konsep Islam itu tidak lain adalah konsep aqidah, syariah dan akhlak. Secara
skematis keterkaitan antara Islam dan ekonomi dapat dilihat pada gambar berikut.

Hubungan Ekonomi dan Bisnia dengan Konsep Islam

1. Kepada Allah
2. Kepada Malaikat
AQIDAH 3. Kepada Kitab-kitab
4. Kepada Nabi dan Rasul
5. Kepada hari kiamat
6. Kepada Takdir

IBADAH:
1.Shadat; 2. Shalat; Mikro:
3.Puasa; 4.Zakat; 5.Haji
ISLAM SYARIAH Produksi
konsumen

MUAMALAT EKONOMI BISNIS

KHALIK
Makro:
AKHLAK Pendapatan
Inflasi; Moneter
MANUSIA
MAKHLUK

HEWAN

TUMBUHAN

Aqidah terkait dengan keyakinan atau kepercayaan tentang sesuatu yang


dianggap benar secara hakikat dan mutlak adanya. Aqidah Islam meyakini adanya enam
kebenaran mutlak, yaitu Allah SWT., Malaikat, Kitab-Kitab Allah, Nabi dan Rasul
Allah, Hari Kiamat, dan Takdir. Karena mutlak adanya sehingga dia menjadi tumpuan
dan sandaran semua makhluk, termasuk makhluk manusia yang sifat keberadaannya
adalah relatif. Khusus keyakinan kepada Allah SWT yang dimaksudkan adalah tempat
sandaran dan gantungan bagi semua makhluk-Nya di dua dimensi kehidupan dunia dan
akhirat.
10

Kaitannya dengan ekonomi dan bisnis bahwa apapun kekayaan dan keuntungan
yang dicari untuk memenuhi kebutuhan hidup dan kehidupan adalah milik Allah SWT.
Termasuk kesehatan, kekuatan, dan kemampuan yang dimiliki untuk berusaha adalah
milik Allah SWT. Manusia dan makhluk lainnya adalah makhluk ciptaan dan milik-Nya.
Kita harus meyakini secara tunggal bahwa hanya Allah yang maha penyedia dan
pemberi rezeki yang dicari serta keberhasilan dalam aktivitas ekonomi dan bisnis ini.
Dia-lah sandaran satu satunya, tempat bergantung, tempat meminta, tiada yang ada
kecuali Dia yang mengadakannya.
Iman kepada Malaikat. Malaikat adalah makhluk ghaib yang diciptakan Allah
dari nur (cahaya) yang selalu taat dan tidak pernah ingkar kepada Allah. Malaikat
bertugas sebagai menteri atau pembantu Allah SWT untuk mengawasi seluruh aktivitas
makhluk lain, walaupun Allah Kuasa untuk melaksanakannya semua. Semua aktivitas
kehidupan manusia di dunia termasuk ekonomi dan bisnis ada Malaikat yang
mencatatnya. Ada yang mencatat semua aktivitas kebaikan yaitu Raqib dan yang
mencatat semua aktivitas yang terkait deangan keburukan atau larangan yang selalu
berada di sebelah kiri manusia yaitu Atid. Oleh karena itu tidak satupun aktivitas
manusia dalam mencari kebutuhan dan rezeki yang luput dari pantuan para Malaikat
yang telah ditugaskan Allah SWT. Malaikat Mikail harus kita yakini bahwa dialah
Malaikat pembagi rezeki dan menurunkan hujan atas perintah Allah SWT. Jadi kita
yakin bahwa tiada rezeki dan kekayaan yang kita peroleh dari hasil usaha kecuali
sesuatu yang telah dibagikan oleh Malaikat Mikail kepada manusia yang mencarinya.
Karena manusia hanya mencari rezeki yang telah dibagikan oleh Malaikat Mikail atas
izin Allah SWT, maka dalam mencarinya haruslah sesuai dengan tata aturan syariah
yang telah disampaikan oleh Allah SWT melalui Malaikat Jibril kepada Nabi
Muhammad. Jika itu tidak sesuai, maka akan ditanyakan oleh Malaikat Munkar dan
Nakir sesuai dengan dokumen yang dicatat oleh Malaikat Raqib dan Atid. Inilah
hakikatnya bahwa dalam menjalankan aktivitas ekonomi dan bisnis, manusia tidak boleh
lupa ingatan kpada para Malaikat makhluk gaib yang ditugaskan Allah SWT untuk
memantau seluruh aktivitas makhluk manusia.
Kitab-kitab Allah harus diyakini sebagai sumber rujukan tertulis dan tertinggi
yang harus dipatuhi untuk dijalankan dalam semua aktivitas manusia, termasuk aktivitas
11

ekonomi dan bisnis. Satu kitab yang kita yakini sebagai kitab suci adalah Al-Qur’an. Al-
Qur’an telah memuat semua tata aturan kehidupan manusia dunia dan akhirat.
Bagaimana menjalankan aktivitas ekonomi dan bisnis tidak luput diaturnya mulai dari
yang boleh (halal) dilakukan sampai kepada yang tidak boleh (haram) dilakukan dalam
berekonomi dan berbisnis. Oleh karena apa pun yang telah diatur dalam Al-Alqur’an
adalah suatu kewajiban yang tidak boleh dicari-carikan alasan bahwa kalau tidak
dibolehkan, maka tidak akan ada alasan untuk membolehkannya, kalau sudah
diharamkan untuk dilakukan, maka tidak boleh dicarikan alasan untuk
menghalalkannya.
Dalam berekonomi dan berbisnis harus diyakini bahwa Nabi dan Rasul adalah
pesuruh Allah di muka bumi yang dinobatkan sebagai pemberi contoh teladan kepada
semua manusia lainnya. Karena manusia hanya bisa mempercayai contoh-contoh yang
nyata atau dapat dilihat dengan kasat mata, maka Allah SWT dengan Maha Kasihnya
kepada makhluk manusia, mengangkat Nabi dan Rasul sebagai manusia terbaik untuk
memberikan contoh atau teladan yang baik dalam menata kehidupannya dan sekaligus
menyampaikan berbagai aktivitas yang dilarang untuk dilakukan. Oleh karena itu apa
pun yang telah dicontohkan oleh Nabi dan Rasul dalam berekonomi (memenuhi
kebutuhan) dan berbisnis (mencari keuntungan) adalah sesuatu yang baik dan bisa
dilakukan dan sebaliknya sesuatu yang dikatakan haram atau tidak boleh, maka tidak
boleh dilakukan atau dicari-carikan alasan untuk bisa dilakukan.
Unsur aqidah yang kelima adalah yakin akan adanya hari kiamat. Bahwa setiap
makhluk pasti mengalami mati, itulah kiamat, itulah hari akhrir di dunia dan
selanjurtnya ada hari kehidupan baru di akhirat. Jika kita bertanya kepada manusia yang
rasional, bahwa apakah setelah mati nanti di akhirat mau hidup senang di Surga atau
hidup sengsara di Neraka? Maka pasti jawabannya adalah mau hidup senang di Surga.
Sedangkan kita ketahui dalam syariah bahwa kehidupan akhirat nanti adalah gambaran
refleksi dari aktivitas keduniaan kita, apakah sesuai dengan syariah ataukah selalu
menyimpang dari syariah mengikuti hawa nafsuh. Dalam kaitan keyakinan kita kepada
hari kiamat dengan aktivitas ekonomi dan bisnis, maka wajib hukumnya untuk kita
beraktivitas ekonomi dan berbisnis sesuai dengan ketentuan syariah. Mecari materi dan
produk sebagai alat pemuas kebutuhan yang halal dan dengan cara yang halal pula
12

sesuai bukannya dengan prinsip yang penting dapat kekayaan atau rezeki dengan cara
apapun, karena apa pun yang kita lakukan dalam berekonomi dan bisnis pasti akan
dipertanggungjawabkan dihadapan Allah SWT di hari kiamat nanti. Memproduksi,
berdagang dan menjual produk haram, berjudi, menjual diri dan memperjual belikan diri
manusia, minuman keras (khamar) sudah pasti akan mendapatkan kehidupan akhirat
yang sengsara. Demikian halnya dengan perilaku bisnis yang tidak jujur, menipu
sesama, merampok, mencuri, korupsi dan suap, baik secara terang-terangan maupun
sembunyi-sembunyi pasti akan mendapat imbalan yang setimpal di hari kiamat dan di
akhirat nanti yaitu kehidupan yang sengsara di Neraka sebagai akibat dari perilaku
ekonomi dan bisnis yang menyimpang dari syariah. Oleh karena itu, dalam berekonomi
dan berbisnis jangan lupa akan keyakinan kepada hari akhir atau hari Kiamat yang pasti
adanya.
Akhirnya, dalam berekonomi dan berbisnis harus yakin bahwa Takdir baik dan
buruk adalah milik Allah SWT. Apapun yang terjadi, berhasil atau gagal, untung atau
rugi semua adalah ketentuan Allah SWT dengan cacatan bahwa manusia harus berusaha
keras sesuai dengan ketentuan syariah. Bukan tidak berusaha hanya sekedar menunggu
nasib yang telah ditakdirkan. Karena takdir bisa saja Allah SWT merubahnya jika
dikendaki-Nya melalui permohonan dan kerja keras hamban-Nya. Oleh karena itu,
manusia yang yakin kepada Takdir dalam berekonomi dan berbisnis adalah manusia
yang bekerja keras menjalankan profesinya sesuai ketentuan syariah lalu berserah diri
kepada Allah SWT sebagai pemberi rezeki untuk menunggu hasil, jika keberhasilan
yang diperoleh, maka kita harus bersyukur dan sebaliknya jika kegagalan yang diperoleh
maka harus bersabar, seraya berusaha keras lagi dengan penuh ketakwaan sambil
menunggu keberhasilan akan datang berikutnya.
Allah SWT bejanji dalam firman-Nya bahwa jika kamu berusaha dibarengi
dengan ketakwaan, maka Aku akan memberikan rezeki itu dari arah yang kamu tidak
sangka-sangka. Manusia hanya berusaha tetapi rezeki adalah urusan Allah SWT.
Walaupun kita manusia tetap dimotivasi untuk bekerja keras dalam menjalankan
aktivitas ekonomi dan bisnis, karena kerja menurut Islam adalah Ibadah. Oleh karena itu
orang yang bekerja terus tak kenal lelah dalam mencari rezeki yang halal dengan cara
yang halal, berarti dia telah menjalankan ibadah terus menerus.
13

Unsur kedua dalam dalam ajaran Islam adalah Syariah, yaitu hukum-hukum
dan tata aturan tertulis yang wajib dipatuhi dalam bentuk ucapan dan tindakan dalam
menjalani hidup dan kehidupan di dunia. Untuk ini dikelompokan dalam dua dimensi,
yaitu dimensi ibadah yang terkait dengan hubungan langsung secara vertikal antara
makhluk manusia dengan Allah SWT (hablum minallah) meliputi ucapan dua kamilah
syahadat, menegakkan shalat lima waktu, berpuasa, berzakat, dan naik haji bagi yang
mampu. Dimensi kedua adalah dimensi muamalah yang terkait dengan hubungan antara
sesama makhluk manusia seperti hubungan bisnis. Kedua dimensi syariah ini merupakan
implementasi dari Aqidah dan memiliki keterkaitan erat yang tidak boleh terlepaskan
dengan aktivitas ekonomi dan bisnis.
Dalam berekonomi dan berbisnis kita wajib melakukan penyaksian atau janji
yang terucapkan kepada Allah SWT dalam bentuk ucapan syahadat, yaitu bahwa tiada
Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah SWT dan Muhammad adalah utusan-Nya.
Hal ini tidak terlepas dengan unsur pertama dalam konsep Islam yaitu aqidah yang telah
duraikan sebelumnya. Janji ini harus diucapkan karena kita telah meyakini bahwa tiada
sesuatu pun yang ada dan bisa kita raih kecuali milik-Nya dan atas izin-Nya. Rezeki
adalah miliknya demikian pula dengan ksesehatan dan kekuatan serta kemudahan dalam
berusaha tiada lain karena izin-Nya. Janji kedua yang kita harus ucapkan adalah bahwa
Muhammad adalah utusan-Nya yang memberikan contoh teladan dalam semua aktivitas
kehidupan manusia. Nabi Muhammad telah memberikan contoh bagaimana berbisnis
yang benar, bisnis apa yang bisa dilakukan dan bisnis apa pula yang tidak boleh
dilakukan walaupun dengan bisnis tersebut kita dapat memperoleh keuntungan yang
besar. Kita harus percara, bahwa apa pun yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad
baik dalam tindakan maupun dalam bentuk ucapan kata-katanya adalah hak atau benar
adanya dan wajib dipatuhi dalam menjalankan aktivitas ekonomi dan bisnis.
Kewajiban menegakkan shalat memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan
aktivitas ekonomi da bisnis. Sebagaimana Shalat kita kenal sebagai sarana komunikasi
langsung kita dengan Sang Khalik, maka lewat shalatlah kita bisa memohon apa pun
yang kita inginkan kepada Sang Penguasa Ala mini. Kita sadar pula bahwa shalat lima
waktu sehari semalam itu sudah diatur sedemikian baik oleh Allah SWT melalui
pesuruh-Nya Muhammad SAW, baik dalam gerakan dan bacaan-bacaannya dalam setiap
14

gerakan dan tahapannya. Semua gerakannya mengandung unsur penguatan tubuh,


meregangkan otot-otot, melancarkan peredaran darah, sehingga tubuh menjadi kuat
kembali. Kewajiban berwudhu sebelum menjalankan shalat memberikan kesegaran
pikiran yang tadinya lelah, kacau dan pusing, tetapi dengan diusapkannya air ke wajah
dan ubun-ubun, maka akan mendinginkan otak dan pikiran yang telah lelah tadi menjadi
segar kembali. Membasu tangan dan membersihkan kaki mengisyaratkan bagi pelaku
bisnis agar tidak melangkah menuju barang-barang yang kotor atau yang diharamkan
apalagi memegangya. Pada bacaan-bacaan shalat jika dilakukan dengan khusus, akan
memberikan makna penting bagi aktivitas kita. Jika kita sadar, ketika kita membaca doa
antara dua syudud, disitu ada kata-kata: rabbigfirli (ampunkan saya), warhamni
(kasihani – tolongi aku), wajburni (cukupkanlah segala kekurangannya), warfa’ni
(angkatlah derajadku), warzuqni (beri aku rezeki), wahdini (beri aku petunjuk), wa’afinii
(beri aku kesehatan), dan wa’afu’annii (maafkan aku). Diantara kata-kata doa yang telah
ditetapkan Allah dalam bacaan itu adalah wajburni (cukupkan segala kekurangan) dan
cukupkanlah atau berikan rezeki (warzuqni) yang sangat erat kaitannya dengan aktivitas
bisnis yaitu mencari kecukupan materi atau rezeki untuk menunjang ibadah. Kalau hal
ini kita ucapkan dengan khusyu dan sadar dalam setiap kali kita bangkit dari sujud
pertama, maka berarti dalam lima waktu sehari semalam atau 17 rakat kita telah
memohon kepada Allah SWT tentang kecukupan dan rezeki sebanyak tujuh belas kali
dalam shalat wajib. Dan jika ditambah dengan shalat sunnat rawatib dua rakat untuk
setiap waktu, maka berarti kita telah memohon rezeki kepada Allah SWT sebanyak 27
kali dalam sehari semalam. Allah SWT telah berfirman bahwa mintalah atau mohonlah
kepada-Ku niscaya akan Aku-kabulkan.
Puasa dan bisnis. Puasa adalah menahan diri dari segala sesuatu yang di larang.
Berpuasa dalam berbisnis berarti menjauhi semua jenis bisnis yang dilarang secara
syariah, walaupun bisnis tersebut bisa mendatangkan keuntungan yang besar. Sebagai
contoh, Industri dan berdagang minuman keras di zaman sekarang ini memang
menguntungkan, tetapi karena Islam melarangnya, maka harus berpuasa untuk tidak
menjalankan bisnis tersebut. Berpuasa dapat mengurangi pemborosan dalam
berkonsumsi sehingga dapat meningkatkan tabungan. Islam mengajarkan untuk hidup
sederhana, tidak berfoya-foya atau atau tidak boros dalam berbagai aspek konsumsi,
15

makan dan berpakaian tidak boleh berlebihan. Jika kita berpuasa sunnat Senin dan
Kamis, berarti bisa menghemat konsumsi selama dua hari yang dapat digunakan untuk
menambah tabungan.
Zakat dan bisnis. Zakat adalah sebagian harta yang wajib dikeluarkan dengan
tujuan untuk membersihkan sejumlah kekayaan yang dimiliki. Harta yang bersih akan
semakin berkembang sebagaimana tanaman yang bersih akan tumbuh dengan cepat
dibandingkan dengan tanaman yang kotor dalam arti tidak dibersihkan atau tidak
dikeluarkan zakatnya. Jika harta zakat ini terakumulasi, maka secara ekonomi zakat
akan dapat digunakan untuk mencukupi kebutuhan kaum dhuafa (miskin) dan
menggairahkan ekonominya, sehingga zakat dapat mengentaskan kemiskinan.
Bergairahnya ekonomi kaum dhuafa akan diikuti dengan meningkatnya daya beli
mereka yang dapat mendorong meningkatnya permintaan dan pada akhirnya akan
mendorong peningkatan produksi. Hal ini berarti bahwa dengan ditunaikannya
kewajiban zakat harta yang diperoleh dari hasil aktivitas bisnis, akan berdampak
kembali pada meningkatnya kekayaan yang dikeluarkan zakatnya, melalui
meningkatnya daya beli kaum dhuafa yang tadinya hanya memliki daya beli yang
rendah.
Kewajiban haji dan bisnis. Haji adalah ibadah yang hanya dapat ditunaikan oleh
oleh mereka yang memiliki kemampuan ekonomi. Bagi setiap muslim akan selalu
berusaha untuk melengkapi ibadahnya dengan ibadah haji, karena dia adalah ibadah
wajib bagi yang telah mampu. Karena itu, ibadah haji merupakan motivator atau
pendorong untuk melakukan usaha bisnis lebih keras untuk mendapatkan keuntungan
guna menambah kekayaan yang dimilikinya hingga sampai ke tahan suci Mekkah untuk
menunaikan ibadah haji.

Syariah muamalah mengatur bagaimana manusia melakukan hubungan atau


berinteraksi antara sesamanya. Bisnis adalah aktivitas antara sesama manusia dalam
mencari keuntungan untuk menambah kekayaan. Dalam hal ini Syariah Islam telah
mengatur bagaimana tata cara untuberbisnis yang baik. Diantaranya dikatakan bahwa
dihalalkan jual beli diantara kamu dan diharamkan riba. Ini menunjukkan bahwa dalam
syariah diharamkan segala sesuatu yang berindikasi riba. Riba dapat diartikan sebagai
sesuatu yang dapat memberatkan atau merugikan sepihak sementara pihak lain meraih
16

keuntungan atau kebahagian dari aktivitas bisnis tersebut. Dalam berbisnis debagai salah
satu kegiatan bermuamalah, manusia dilarang menumpuk-numpuk kekayaan yang
menyebabkan terhalangnya distribusi kekayaan kepada sebagian orang yang
membutuhkan. Dilarang menghadang pasokan di pinggiran kota yang menyebabkan
orang lan kehilangan kesempatan untuk mendapatkan kebutuhan atau barang dengan
harga yang murah.

Dalam bermuamalah dan menjalankan aktivitas bisnis harus dijalankan dengan


kejujuran diantara sesama. Kepada sesama mitra bisnis harus saling memberikan
informasi yang sebenarnya tentang berbagai bentuk transaksi, akad, dan atau kondisi
produk yang ditransaksikan. Produsen dan pedagang harus mempromosikan produknya
secara baik dan jujur sehubungan dengan bentuk, ukuran, dan kualitas serta manfaat
produknya kepada konsumen, sehingga para konsumen percaya dan merasa nyaman
terhadap produk dan bisnis kita.

Dalam hubungan atasan – bawahan, seorang atasan atau pimpinan dalam suatu
perusahaan, haruslah memperlakukan bawahannya sebagai manusia yang punya
martabat dan diperlakukan sebagai mitra kerja, bukan sebagai factor produksi semata.
Hak dan kewajiban harus ditunaikan dengan baik sesuai aturan. Dari aspek pemberian
kompensasi (gaji/upah) tidak boleh ditunda-tunda. Syariah Islam mengajarkan bahwa
berikanlah gaji atau upah mereka sebelum keringatnya kering, artinya berikanlah hak
karyawan itu sesuai dengan waktu yang telah ditentukan.

Unsur ketiga dari konsep Islam yang menjadi dasar pelaksanaan bisnis syariah
adalah Akhlak. Akhlak adalah tingkah laku atau perilaku seseorang dalam berinteraksi,
baik dengan Allah SWT, sesama manusia, binatang maupun dengan tumbuhan. Akhlak
kepada Allah SWT yang terkait dengan bisnis misalnya dalam hal memohon rezeki
melalui shalat, harus berpakaian bersih dan sopan menutup aurat, memohon tidak perlu
berteriak-teriak. Berakhlak kepada sesama manusia atau mitra bisnis (konsumen –
pemasok – pesaing – pengambil keputusan) dalam berinteraksi haruslah menjalin
komunikasi secara sopan dan berkata jujur. Kepada binatang tidak boleh membunuh
sembarang, dan kepada tumbuhan tidak boleh menebang sembarang, sehingga bisa
menimbulkan malapetaka banjir, longsor dan lain lain. Akhlak yang baik kepada semua
17

unsur tersebut akan menjamin kontinutas bisnis yang dijalankan, karena semuanya
adalah sumber-sumber rezeki yang dicari.

Sebagai salah satu sub system ajaran Islam, maka dalam implementasinya
ekonomi dan bisnis syariah harus saling terkait dengan unsur-unsur pada aspek ajaran
Islam lainnya, baik yang terkait dengan hablumminallah pada aspek aqidah maupun
hablumminannas pada aspek syariat dan akhlak. Pada aspek syariat mu'amalah ekonomi
Islam terkait dengan urusan-urusan keduniaan lainnya, seperti politik, sosial,
pendidikan, kekeluargaan, dan lain sebagainya yang pelaksanaannya harus berpangkal
pada aqidah dan merupakan perwujudan dari ibadah.
Berdasarkan uraikan kita terdahulu tentang Islam dan ekonomi, maka dapat
dikatakan bahwa Islam telah menegakkan sistem ekonomi dan bisnis diatas kebenaran
nyata. Kebenaran nyata yang dimaksud adalah kebenaran yang berhubungan dengan
dasar-dasar tegaknya sistem ekonomi Islam (Qutb, 1987:36), yaitu: Pertama, Allah
adalah Khalik Pencipta alam semesta, bumi dan manusia, Dialah yang menganugrahkan
bumi ini kepada segenap wujud, berkuasa terhadap segala yang wujud, menjadikan
manusia sebagai Khalifah di bumi, diberi-Nya rezeki baik yang terpendam di bumi
maupun yang berada di langit dengan suatu syarat dan perjanjian. Manusia diberi
kewenangan dan kekuasaan sebagai Khalifah untuk memakmurkan bumi sesuai dengan
petunjuk dan hukum-hukum Allah, dalam arti tidak diberikan begitu saja untuk berbuat
sekehendak hatinya sehingga terjadi kacau balau.
Kedua, taa’wun (tolong menolong) dan takaful (kerja sama) antara sesama umat
yang beriman. Dasar ini ditegakkan karena dalam konsep Islam diakui adanya perbedaan
anugrah atau rizki dan kekuatan yang didapat dan dimiliki oleh manusia, sehingga ada
yang kaya dan miskin, ada kuat dan ada yang lemah, karena itu yang kaya harus
menolong yang miskin dan yang kuat harus menolong yang lemah. Dengan demikian
yang miskin akan terangkat kehidupannya dan yang lemah akan menjadi kuat. Akhirnya
roda ekonomi akan berjalan secara seimbang. Implementasi dari bentuk tolong
menolong yang dianjurkan dalam Islam adalah “zakat, infak dan sedekah”. Zakat
sebagai suatu kewajiban dengan kadar harta yang telah ditentukan, sedangkan infak dan
sedekah sebagai suatu amalan sunah yang tidak terbatas jumlah dan ukurannya.
Ekonomi Islam harus dibangun di atas kerjasama yang bersaudara atau persaudaraan
18

bukan atas dasar kekeluargaan, karena asas kekeluargaan yang dibina selama ini hanya
cenderung diartikan mementingkan keluarganya. Ekonomi persaudaran yang kami
maksud bahwa semua umat Islam adalah bersaudara dimanapun berada, walaupun
berbeda adat istiadat, ras dan warna kulit, status dan pekerjaan akan tetap bersaudara,
karena mempunyai keyakinan yang sama, berasal dan bertujuan sama, karenya sudah
sewajarnyalah tolong-menolong dan bekerjasama.
Ketiga, kesederhanaan dan tidak berlebih-lebihan. Islam melarang umatnya
menghamburkan harta, dan penggunaan yang tidak semestinya dalam mendayagunakan
rezeki Allah yang telah dianugrahkan kepadanya. Dengan demikian kemungkinan akan
terdapat kelebihan harta yang nantinya dapat disalurkan lewat kewajiban zakat atau
sedekah-sedekah wajib lainnya. Penghematan yang tidak bakhil dapat menambah ibadah
ZIS.
Keempat, keuntungan bersama (tidak boleh menimbulkan kerugian bagi orang
lain). Islam menganjurkan bahwa dalam mencari rezeki atau memperbanyak kekayaan
diusahakan untuk tidak menyakiti, merugikan, atau menyebabkan terputus dan
terhentinya kelancaran jalannya rezeki orang lain, sehingga peredaran harta dapat
berkembang lebih luas dan tidak hanya berputar pada sekelompok orang tertentu saja,
“…supaya harta itu jangan hanya beredar pada tangan segelintir orang-orang kaya
saja di antara kamu…” (Q.al-Hasyr:7).
Kelima, niat dan usaha yang suci. Setiap kegiatan ekonomi harus diniatkan
untuk mencapai tujuan yang halal, yaitu untuk menumbuhkan harta dengan tidak
menggunakan cara-cara yang menyakitkan hati nurani seseorang, atau merusak
kehidupan dan lingkungan masyarakat.

1.3. Filsafat Sistem Dalam Penegakan Ekonomi dan Bisnis

Berbicara mengenai falsafah ekonomi, kita hendaknya kembali kepada pangkal


penyebab dan filsafat sistem (Saefuddin, 1984:15) dan Pamungkas (1996:15)
menyebutnya sebagai filsafat segi tiga, yang meletakkan proporsi Tuhan - Manusia -
19

Alam dalam konsep triangle yang saling menguatkan eksistensinya masing-masing,


dimana Tuhan terletak di sudut puncak segi tiga, lalu manusia dan kekayaan alam
masing-masing berada di sudut-sudut dasarnya dan keduanya tunduk dan taat
kepada-Nya.
Sebagaimana firman-Nya "Dialah yang menurunkan hujan yang airnya
menjadi minuman dan menumbuhkan tanaman bagi ternakmu. Dengan hujan
itu, Dia tumbuhkan pula bagimu gandum dan zaitum, korma dan anggur dan
segala macam buah-buahan. Dan ia tundukan pula bagimu malam dan siang,
Matahari, Bulan dan Bintang-bintang. Dan segala yang diciptakan-Nya di Bumi
yang beraneka ragam. Dia tundukan pula lautan supaya kamu makan dari
padanya daging yang segar, dan supaya kamu mengeluarkan dari dalamnya
perhiasan untuk kamu pakai. Dan supaya dengan kapal-kapal kamu mencari
karunia-Nya dan bersyukur. Dan telah ditancapkan-Nya di atas bumi,
gunung-gunung berdiri teguh, agar bumi tidak bergoncang bersama kamu. Dan
diadakannya sungai-sungai dan jalan-jalan agar kamu memperoleh
petunjukNya" (Q: An Nahl:10-15).

Adalah suatu pemahaman yang keliru dalam filsafat sistem jika terjadi
penjungkir balikan triangle, dan akhirnya eksploitasi nilai-nilai dasar maupun
instrumental yang selalu membawa manusia kepada pendewaan dirinya sendiri dan
memasuki wilayah ekonomi sekuler, dengan menggeser eksistensi Tuhan sebagai
pencipta seperti pada sistem ekonomi liberal kapitalis, atau dengan menghilangkan
eksistensi Tuhan seperti pada sistem ekonomi marxis sosialistis (Saefuddin, 1984:15).
Konsep falsafah sistem dalam suatu triangle, apabila kita gambarkan akan nampak
seperti pada gambar berikut.

Gambar: Konsep Filsafat Sistem Segi Tiga

TUHAN

MANUSIA ALAM
20

Berdasar pada filsafat segi tiga ini, selanjutnya Pamungkas mengadopsi dan
menjabarkannya kedalam doktrin-doktrin yang menjadi orientasi dasar Ekonomi Islam.
Ada empat doktrin yang dapat dikemukakan sebagai orientasi dasar Ekonomi Islam,
yaitu: Tuhan Yang Maha Esa itu Pencipta segala makhluk; Langit, Bumi dan seisinya
adalah milik Allah yang tunduk kepadaNya; Iman kepada Hari Pengadilan; dan Amal
Saleh.

Doktrin pertama mengandung arti bahwa manusia adalah ciptaan Allah dan
memiliki hak dan kewajiban yang sama sebagai khalifah dan dalam hal pemilikan harta
benda. Dan alam semesta serta isinya, flora dan fauna dijadikan sebagai sumber
manfaat ekonomis dan keindahan bagi umat manusia.
Doktrin kedua mengandung arti bahwa manusia hanyalah sebagai pemegang
amanah Allah yang hanya mempunyai hak memanfatkan, mengelola dan memelihara
kekayaan alam semesta itu sesuai dengan hukumNya. Mereka yang tidak
memanfaatkan hartanya tidak mempunyai hak kepemilikan. Manusia diwajibkan
mengelola dan memelihara kekayaan alam ini sebaik-baiknya dan dilarang
melakukan kerusakan di muka bumi, karena alam semesta ini milik Allah yang
diperuntukan bagi manusia seluruhnya bukan orang perorangan.
Doktrin Ketiga mengandung arti bahwa setiap orang muslim yang melakukan
kegiatan ekonomi akan mempertimbangkan dan mempertanggung jawabkan semua
perbuatannya di hari kemudian. Karena itu manusia dianjurkan untuk memikirkan
terlebih dahulu semua untung (manfaat) dan rugi (biaya) baik secara ril maupun
secara moral sebelum mengambil keputusan ekonomi. Dalam doktrin ini juga
terkandung asas keseimbangan perilaku antara kepentingan dunia dan akhirat,
antara kepentingan perorangan dan umum, termasuk antara pertumbuhan dan
pemerataan.
Doktrin Keempat mengandung arti bahwa dalam ekonomi Islam terkandung
nilai-nilai instrumental yang meliputi: (a) kewajiban berzakat; (b) pelarangan riba; (c)
usaha bersama; (d) sadaqah dan jaminan sosial; dan (e) peranan negara. Zakat adalah
kewajiban finansial dari harta kekayaan menurut ketentuan Islam. Zakat memainkan
peranan penting dan berarti dalam penyebaran pendapatan dan kekayaan, serta
berpengaruh dalam tingkah laku konsumsi dan investasi. Zakat sekaligus memainkan
21

peranan penting dalam sektor negara, karena dengan zakat negara dibantu
menyelenggarakan tugas-tugas sosial ekonomi negara, terutama dalam memerangi
kemiskinan. Walaupun saat ini instrumen zakat belum terkelola dengan baik secara
nasional; lembaga yang mengurusnya belum berfungsi sebagaimana mestinya. Secara
umum, hal ini lebih disebabkan oleh belum pahamnya masyarakat dan para pengelola
zakat serta juga para ulama tentang arti penting dan manfaat zakat dalam berbagai aspek
kehidupan, khususnya dalam aspek ekonomi (Samdin 2002). Demikian pula peran
pemerintah baru sampai pada tahap pembuatan instrumen Undang-Undang Zakat,
gerakan yang lebih serius belum nampak, apalagi mencontoh gerakan zakat yang
diterapkan oleh Khalifah Abubakar di zaman ke Khalifahannya yang menyatakan perang
terhadap umat yang enggan membayar zakatnya.

1.4. Landasan Penegakkan Ekonomi Islam

Uraian terdahulu tentang Islam dan ekonomi dan falsafah sistem segi tiga
pembaca sudah dapat memahami apa yang menjadi landasan penegakkan atau
pembangunan ekonomi Islam, walaupun dalam uraian ini kami mengungkapkannya
lebih spesifik lagi berdasarkan pandangan filosofis. Dalam persoalan ini kami
mengangkat pandangan Al-Buraey (1986:193) yang mengatakan bahwa “ada suatu
benang merah bersama yang dijalin melalui kegiatan ekonomi dalam Islam”,
sebagaimana yang disebutkan di dalam Al-Qur’an dan as-Sunnah serta berbagai
kepustakan Islam. Benang merah yang dimaksud adalah bahwa dalam setiap kegiatan
pembangunan ekonomi Islam harus dibangun di atas landasan-landasan atau struktur:
“filosofis, etika dan moral, ekonomi, dan sosial” dan kami menambahkan satu landasan,
yaitu landasan budaya.

Landasan Filosofis
22

Konsep pembangunan ekonomi yang Islami merupakan kegiatan yang


berorientasi kepada tujuan dan dilandasi oleh kesadaran akan adanya nilai, yang
diarahkan pada peningkatan martabat kemanusiaan secara sempurna dalam segala
aspeknya dihadapan Allah. Untuk mencapai hal tersebut, maka menurut (Al-Buraey
1986:193-194; lihat juga Mulkhan 1996:194-195; Ahmad dalam Sophiaan (editor) 1997)
bahwa pembangunan ekonomi harus dikembangkan di atas dasar atau landasan filosofis
yang Islami, yaitu:

Pertama Tauhid (Keesaan dan Kedaulatan Tuhan). Tauhid adalah landasan bagi
semua aturan dan jabaran agama Islam, termasuk di dalamnya aspek pembangunan
ekonomi. Karena itu kepemilikan harta dalam Islam harus diyakini sebagai suatu
amanah dari Allah, sebab pemilik mutlaknya adalah Allah. Hal ini meletakkan dasar
bagi hubungan Tuhan dengan manusia, serta manusia dengan manusia. Saefuddin
(1984:17) berkomentar bahwa kalau filsafat ekonomi marxisme berasaskan kepada
konsep pertarungan kelas dan kapitalisme kepada asas laissez faire, maka filsafat
ekonomi Islam berasaskan kepada konsep Tauhid. Berdasarkan asas Tauhid tersebut
dijabarkannya dalam tiga asas pokok filsafat ekonomi Islam yang merupakan orientasi
dasar ilmu ekonomi, yaitu:
(1) Meyakini bahwa dunia dengan semua harta dan kekayaan sumber-sumber adalah
milik Allah dan menurut kepada kehendak-Nya. Dalil Al-Qur’annya mengatakan:
“Kepunyaan-Nya apa yang dilangit, segala yang di bumi, semua yang diantara
keduanya dan apa yang di bawah tanah (Q.Al-Baqarah:6). “Bagi Allah kerajaan
langit dan apa yang di dalam semuanya, dan Dia Maha Kuasa atas tiap sesuatu”
(Q.Al-Maaidah:120).
Implikasi dari status pemilikan menurut Islam ialah bahwa hak manusia atas barang
dan jasa itu terbatas. Hal ini berbeda nyata dengan pemilikan mutlak oleh individual
pada sistem kapitalime dan oleh kaum proletar pada sistem maxisme.
(2) Meyakini bahwa Allah itu Esa, Pencipta segala makhluk, dan semua yang diciptakan
tunduk kepada-Nya. Salah satu hasil ciptaan-Nya adalah manusia yang berasal dari
substansi yang sama, dan sama memiliki hak dan kewajiban sebagai khalifah Allah
di bumi, Alam dan semua flora serta fauna ditundukkan oleh Allah sebagai sumber
manfaat ekonomis dan keindahan bagi umat manusia. Sedangkan ketidak-samaan
23

(ketidak-merataan) karunia nikmat dan kekayaan sumber-sumber ekonomi kepada


perorangan maupun bangsa adalah atas kuasa Allah pula, agar mereka yang diberi
kelebihan sadar menegakkan persamaan masyarakat dan bersyukur kepada-Nya
(Q.Al-Maa’uun:1-7; Q.Al-Hadiid:7). Implikasi dari doktrin ini bahwa antara
manusia itu terjalin persamaan dan persaudaraan dalam kegiatan ekonomi, saling
membantu dan bekerja sama dalam ekonomi.
(3) Meyakini akan adanya Hari Pengadilan (kiamat). Asas ini akan mempengaruhi
tingkah laku ekonomi manusia menurut garis waktu. Seorang muslim yang
melakukan aksi ekonomi tertentu akan mempertimbangkan akibat pada hari
kemudian. Artinya kalau menurut dalil ekonomi, orang akan membandingkan
manfaat dan biaya (benafide-cost) dalam memilih kegiatan ekonomi dengan
menghitung nilai sekarang dari hasil yang akan dicapai pada masa yang akan datang
(di hari pembalasan). Iman ke pada hari akhir akan mempengaruhi langsung tingkah
laku ekonomi yang dipilihnya.
Kedua, Rububiyyah (Tuntunan Ilahiah untuk mencukupi, mencari, dan
mengarahkan sesuatu demi menuju kesempurnaan). Landasan ini mempunyai
pengertian bahwa rizki, rakhmat dan petunjuk-Nya adalah untuk penyempurnaan
segala pemberian-Nya. Pemanfaatan sumber-sumber alam sebagai sumber ekonomi
adalah dalam rangka Sunnatullah, yaitu untuk kelestarian dan kesejahtraan hidup
bersama.
Ketiga, Khilafah (Peranan manusia sebagai wakil Allah di muka bumi).
Landasan ini menetapkan kedudukan dan peran manusia, yaitu memberi tanggung
jawab khusus sebagai pengembang jabatan wakil Allah dalam mengelola bumi. Dari
landasan ini lahirlah konsepsi mengenai tanggung jawab manusia di bidang moral,
politik dan ekonomi, serta prinsip-prinsip islami tentang pembentukan organisasi
masyarakat.
Keempat, Tadzkiyah (penyucian). Konsep tazkiyah berarti penyucian terhadap
sikap manusia dalam hubungannya dengan Allah, sesamanya. Alam lingkungan,
masyarakat dan negara. Dengan landasan ini maka pengembangan ekonomi bukan
semata-mata pengembangan atau pertumbuhan, tetapi ada nilai lain yang tidak bisa
terabaikan. Konsep zakat, infaq dan shadaqah adalah contoh implementasi dari pada
24

landasan ini.
Keempat landasan filosofis pembangunan ekonomi yang Islami seperti
disebutkan di atas, dalam implementasinya menurut Mulkhan dan Ahmad mempunyai
ciri-ciri, sebagai berikut:
(a) Konsepsi pembangunan yang islami mempunyai ciri yang mencakup aspek-aspek
moral, spiritual dan material. Ketiga aspek ini harus terpadu dan tidak dapat
dipisahkan satu dengan yang lain. Bahkan bukan hanya kemakmuran dan
kebahagian hidup di dunia yang diupayakan, tetapi juga kebahagian akhirat.
(b) Fokus dan inti pembangunan adalah manusia. Karenanya dalam konsep
pembangunan ini terkandung makna membangun manusia beserta lingkungan dan
sosial-budayanya.
© Pembangunan ekonomi menghajatkan adanya berbagai perubahan, baik bersifat
kuantitatif maupun kualitatif. Pembangunan yang Islami berupaya menyeimbangkan
kedua aspek tersebut.
(d) Di antara prinsip-prinsip sosial Islam yang dinamis, ada dua prinsip yang ditekankan,
yaitu (1) pendayagunaan secara maksimal dan proporsional sumber-sumber yang
dianugrahkan Allah, dan (2) pemanfaatan, pemerataan dan peningkatan hubungan
kemanusiaan secara menyeluruh atas kebenaran dan keadilan.
(e) Pembangunan ekonomi adalah aktivitas yang multidimensional dan menekankan
pada keseimbangan atau keadilan dari berbagai faktor. Keadilan dan pemerataan
distribusi penghasilan dan kekayaan tidak berarti harus sama. Karena Islam
mengakui adanya perbedaan dalam hal rizki diantara umat-Nya, sebagaimana yang
difirmankan :
“Dan Allah melebihkan sebagian kamu dari sebagian yang lain dalam hal rizki,
tetapi orang-orang yang dilebihkan (rizkinya itu) tidak mau memberikan rizki
mereka kepada budak-budak yang mereka miliki, agar mereka sama (merasakan)
rizki itu. Maka mereka mengingkari nikmat Allah? (Q. An Nahl:71).

Landasan Etika dan Moral


25

Landasan etika dan moral ekonomi Islam terletak pada sifat yang tidak pernah
mengkompromikan antara yang diperbolehkan (halal) dengan yang dilarang (haram)
(Al-Buraey 1986:194). Pernyataan ini mengandung arti bahwa setiap kegiatan ekonomi
tidak boleh mencampur adukan antara kebaikan dan keburukan, sesuatu yang telah
dianggap baik (halal) menurut syariat akan tetap baik untuk dilakukan dan sebaliknya
sesuatu yang telah dianggap buruk atau dilarang (haram) menurut syariat juga akan tetap
tidak diperbolehkan untuk dilakukan, seperti di dalam Islam dilarang korupsi, maka
kapanpun pekerjaan itu tetap dilarang. Riba dilarang karena hal itu merupakan bentuk
penindasan, yang mana si kaya dengan kekayaan dan kekuasaannya mengambil hak hak
si miskin dan kemudian menindasnya dengan cara mengambil kelebihan atau surplus
yang disebut dengan bunga atau riba.
Landasan etika dan moral dalam perekonomian Islam ini, pada hakekatnya
bertujuan untuk mensejahterakan masyarakat secara adil dan seimbang, karena dengan
landasan ini seorang pelaku ekonomi tidak akan saling menindas untuk sekedar
mementingkan diri sendiri tanpa memperdulikan orang lain. Asy'arie (1997:63)
mengemukakan bahwa moral spiritual menjadi bagian fundamental bagi kegiatan
ekonomi, untuk mewujudkan kehidupan masyarakat yang lebih adil dan seimbang,
melalui tatanan kehidupan politik dan kebudayaan yang berdimensi kemanusiaan.
Asy'arie mengemukakan konsep perekonomian Islam seperti pada Gambar 1.2.

Gambar 1.2
Konsep Perekonomian Islam

Pembangunan Pembangunan
Sos.Pol. Ekonomi
Bud.
Konsep
Ekonomi Islam

Moralitas Spiritual

Sumber: Asy'arie, Musa (1997:63), Islam: Etos Kerja & Pemberdayaan Ekonomi
Umat.
26

Di bawah sistem ekonomi Islam, penumpukan kekayaan oleh sekelompok


orang dihindarkan dan langkah-lamgkah dilakukan secara otomatis untuk
memindahkan aliran kekayaan kepada anggota masyarakat yang belum bernasib
baik, seperti mengeluarkan zakat, infak dan sodakah. Dengan mendalami sistem
ekonomi Islam, kita akan menemukan kelemahan sistem ekonomi kapitalis yang
berkembang menurut konsep persaingan bebas, ataupun kelemahan sistem
ekonomi sosialis yang tumbuh akibat pengawasan yang terlalu ketat dan sikap
diktator kaum buruh serta tidak adanya pengakuan terhadap hak pemilikan terhadap
harta.

Sistem ekonomi Islam adalah suatu sistem yang sangat sederhana untuk
peningkatan ekonomi masyarakat dan membolehkan anggotanya melakukan proses
penbangunan ekonomi yang stabil dan seimbang, bebas dari kelemahan sistem kapitalis
dan sosialis. Sistem ekonomi Islam menyediakan peluang-peluang yang sama dan
memberikan hak-hak alami kepada semua, yaitu hak terhadap harta dan bebas
berusaha; dan pada saat yang sama menjamin keseimbangan dalam distribusi
kekayaan; semata-mata untuk tujuan memelihara kestabilan dalam sistem ekonomi.
Hak akan harta milik perseorangan dan kebebasan tidak diberikan tanpa batas seperti
pada sistem ekonomi kapitalis, tetapi diimbangi dengan batasan-batasan moral dan
undang-undang. Secara keseluruhan langkah-langkah tersebut mengakibatkan kekayaan
senantiasa beredar secara terus menerus di kalangan orang banyak dan tidak
terakumulasi hanya pada pihak-pihak tertentu saja. Setiap individu mendapat bagian
yang sewajarnya serta adil dan negara menjadi semakin makmur.
Dengan demikian dalam sistem ekonomi Islam jika ajarannya dipatuhi,
maka tidak akan terdapat individu-individu yang menjadi pengelola/monopoli
kekayaan negara dan sebaliknya semua individu secara paksa diletakkan pada tingkatan
dimana semua pelaku ekonomi mendapatkan kesempatan yang sama dalam
berusaha. Individu dapat mengeluarkan pendapatannya secara efisien, tanpa
mengganggu keseimbangan ekonomi masyarakat secara keseluruhan. Dalam
sistem ekonomi Islam kalau dijalankan dengan baik, maka tidak akan ada kemungkinan
untuk beberapa individu mengambil kesempatan untuk mengumpulkan harta kekayaan
secara berlebihan, sementara mayoritas rakyat dibiarkan susah payah dalam
27

memenuhi keperluan pokoknya (Afzalurrahman, 1995a:12). Apakah kamu bisa


tidur nyenyak sementara orang di sekeliling kamu kelaparan? demikian Allah
mengingatkan hambanya dalam salah satu ayat Kitab suci Al Qur'an.
Keberhasilan sistem ekonomi Islam terletak pada sejauh mana keselarasan
atau keseimbangan yang dapat dilakukan diantara kebutuhan material dan kebutuhan
etika dan moral manusia. Sistem ekonomi Islam tidak melupakan ciri pokok kemajuan
manusia yang bergantung kepada sejauhmana lancarnya koordinasi dan keharmonisan
di antara aspek moral dan material dalam kehidupan manusia. Apabila aspek moral
dipisahkan dari perkembangan ekonomi, maka ia akan kehilangan kontrol yang
berfungsi menjaga kestabilan dan keseimbangan dalam sistem sosial. Di samping itu,
apabila kegiatan dalam rangka memenuhi kebutuhan ekonomi tidak mempunyai
batas-batas moral yang jelas dan menuju pada paham materialis, amoralitas dan
korupsi, yang mengakibatkan goyahnya kestabilan ekonomi masyarakat. Akibatnya akan
menghadapi persaingan dan permusuhan, hilangnya sikap saling kerja sama dan
berkasih sayang diantara konsep tersebut, karena spiritualisme dan materialisme
dipertentangkan atau dipisahkan dan akhirnya akan membawa kehancuran dan
kekacauan pada masyarakat.
Sistem ekonomi Islam mengajarkan bahwa kejayaan dan keselamatan
bukanlah terletak pada spiritualisme semata-mata akan tetapi terletak pada kombinasi
yang harmonis di antara keduanya. Sistem ekonomi Islam menekankan bahwa tidak
sepatutnya manusia menyerahkan diri sepenuhnya ke dalam spiritualisme, yang
mengabaikan unsur-unsur kebendaan dan menganggapnya sebagai dosa, atau dia
berpegang pada paham kedua (materialisme) yang menilai sesuatu semata-mata
melalui materi dan mengesampingkan nilai-nilai moral dalam kehidupan.
AL-Zuhayly (1996:267) dalam bukunya "Al-Qur'an dan Paradigma
Peradaban" menjelaskan bahwa Al-Qur'an sebagai sumber ajaran yang komprehensif
telah memberikan kebebasan kepada pemeluknya dalam membangun ekonominya
terjun langsung ke bidang-bidang tertentu disesuaikan dengan keahlian yang dimiliki
dan yang bisa menguntungkan pada dirinya, asalkan dengan cara yang baik dan
terhormat serta mengikuti aturan main yang menjadi pijakan setiap warga masyarakat,
dan tidak menyimpan dari ketentuan syari'at. Selanjutnya dikatakan bahwa untuk
28

memperoleh hasil yang optimal di bidang perekonomian dengan upaya memanfaatkan


teknologi canggih dalam menggali sumber daya alam yang bisa dikelola untuk
menjadi karya yang fenomental, seseorang harus menghormati hak-hak orang lain dan
mengikuti prosedur yang berlaku sehingga tidak ada yang merasa dirugikan, bahkan
sama-sama mendapat keuntungan karena keberadaan alam dan isinya ini memang
untuk kepentingan dan kemaslahatan umat manusia secara bersama-sama, tidak ada
yang harus memonopoli. Allah SWT berfirman: "Dia-lah Allah, yang menjadikan
segala yang ada di bumi untuk kamu" (Q. Al Baqarah:29). Namun untuk
memperolehnya “umat Islam harus bekerja keras mencari nafkah untuk keperluan
hidupnya dengan dasar kebaikan, artinya tidak boleh menipu, tidak boleh memalsu,
tidak boleh curang, tidak boleh merebut atau merampas, tidak boleh memaksa dan lain-
lainnya lagi yang semacamnya, bahkan wajib berbuat kebaikan pada orang lain,
menyenangkan dan menggembirakan orang lain”(Rais 1982:267). Islam tidak
membatasi kekayaan seseorang, sebab kekayaan tersebut menjadi kesenangan bagi
sebagian umat manusia, akan tetapi Islam mempunyai peraturan-peraturan yang
mengatur kekayaan tersebut.
Berpijak dari landasan ini, maka adalah keharusan bagi setiap umat Islam
sebelum mengkaji ekonomi Islam terlebih dahulu mengkaji azas dasar hukum Islam
(An-Nabhani, 2000:2). Agar dalam berekonomi tidak keliru melangkah, maka umat ini
harus memahami syariat Islam lebih dulu walaupun pada taraf yang lebih rendah,
utamanya yang menyangkut masalah-masalah mu’amalat atau berekonomi. Hal ini
adalah wajib, karena pada dasarnya Syariat Islam adalah suatu sistem norma Ilahi
yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan sesama
manusia, hubungan manusia dengan alam lainnya dengan tujuan "melindungi jiwa,
pikiran, harta, keturunan, dan kehormatan" (Al-Bakri, 1989:72).

Landasan Ekonomi

Landasan ekonomi dari sistem ekonomi Islam terletak pada kehendak untuk
mewujudkan kesejahteraan ekonomi yang dilandasi oleh kesempatan kerja bagi segenap
29

warga masyarakat yang mampu bekerja. Inti landasan ini adalah bahwa dalam ekonomi
Islam sangat “mendorong adanya kerja sama, dimana modal dan tenaga dikombinasikan
sehingga melahirkan barang-barang atau jasa yang diperlukan oleh ummat manusia”
(Al-Buraey, 1986:197). Cara seperti ini lanjutnya dapat memungkinkan para pemilik
modal untuk menarik keuntungan, di samping menerima imbalan atas kerugian yang
mungkin timbul. Bentuk-bentuk kerja sama dalam ekonomi Islam yang umum dikenal
adalah mudharabah, dan syirkah (Siddiqi 1996, 8; lihat juga Islahi 1997:193-195; Al-
Jazairy 1991: 75-115).
Syirkah adalah keikutsertaan dua orang atau lebih dalam suatu usaha tertentu
dengan sejumlah modal yang telah ditetapkan berdasarkan perjanjian untuk
bersama-sama menjalankan suatu usaha dan pembagian keuntungan dan kerugian
dibagi menurut bagian yang ditentukan;
Mudharabah adalah bentuk pengkongsian dimana satu pihak menyediakan
modal dan pihak lain memanfaatkannya untuk tujuan-tujuan usaha, berdasarkan
kesepakatan bahwa keuntungan dari usaha tersebut akan dibagi menurut bagian yang
telah ditentukan. Dalam sistem mudharabah ini untung dan rugi harus ditanggung
bersama antara pemodal dan pengelola. Disinilah letak keadilan sistem ekonomi Islam
bahwa sipemodal bukan hanya seenaknya tahu menerima keuntungan sementara kalau
ada kerugian harus dibebankan pada pengelola, melainkan senang susahnya harus
dirasakan bersama. Untuk itu kejujuran sipengelola dalam hal ini sangat harus
diutamakan.
Dalam bentuk kerja sama ini yang paling esensial untuk diperhatikan adalah
terpeliharanya dan dilaksanakannya keadilan, inilah basis utama dalam melakukan
aktivitas bisnis dari kedua belah pihak. Karena itu ambisi untuk ingin mengeruk
keuntungan pribadi dengan tidak memperdulikan yang lain atau merugikan pihak lain
sangat dilarang dalam transaksi ekonomi yang berdasarkan syariat Islam.

Landasan Sosial

Landasan sosial dalam sistem ekonomi Islam sangat menekankan pentingnya


30

solidaritas di kalangan ummat Islam. Hal ini akan terwujud secara baik dalam bentuk
keadilan distributif, dengan cara menggunakan piranti (tool) dan metode-metode untuk
mengalokasikan kesejahteraan di antara pribadi-pribadi di dalam masyarakat (Al-
Buraey, 1986:199).
Salah satu piranti utama dalam sistem ekonomi Islam yang berhubungan
landasan sosial adalah zakat, karenanya zakat dijadikan sebagai rukum Islam yang wajib
ditunaikan oleh semua muslim yang sudah memenuhi syaratnya. Dalam aspek ekonomi
zakat memenuhi dua tujuan distributif, yaitu: Pendistribusian kembali (redistribusi)
pendapatan dari kaum yang berlebih kepada yang memerlukan, serta adanya alokasi
antara konsumsi dan investasi.
Kesadaran sosial seperti pengeluaran zakat tersebut kalau dipahami dan
diamalkan akan dapat membangkitkan semangat untuk berusaha dan sebaliknya dapat
menghilangkan ketamakan dan keserakahan. Konsep inilah yang sebenarnya
membedakan sistem ekonomi Islam dengan sistem ekonomi Kapitalis dan Sosialis,
karena zakat merupakan instrumen ekonomi memiliki manfaat sosial dan ibadah yang
wajib ditunaikan dan tercantum dalam kitab suci yang diturunkan Allah SWT kepada
umatNya, bukan hasil pikiran manusia.

Landasan Budaya

Bahwa setiap manusia akan selalu terpenjara dalam tiga lingkaran konsentris,
yaitu lingkaran sikap pribadinya, sikap-sikap kelasnya, dan lingkaran budayanya. Jika
seseorang bisa membebaskan dari lingkaran sikap pribadinya, maka dia masih akan
dibatasi oleh lingkaran yang kedua yaitu lingkaran sikap dan perilaku kelasnya, dan jika
terbebas dari lingkaran kedua ini, maka masih dibatasi pula oleh lingkaran yang ketiga
yaitu lingkaran budaya. Lingkaran inilah sebenarnya yang sulit dihindari karena manusia
adalah makhluk sosial yang harus saling berhubungan dan berinteraksi dengan manusia
lainnya dalam hidup dan kehidupannya. Manusia adalah makhluk Allah yang berbudaya
dan merupakan salah satu landasan utama dalam segala aktivitas.
Landasan ini kami rasa penting karena implementasi aktivitas ekonomi pada
31

hakekatnya adalah hubungan antara manusia dengan sekelilingnya dan yang utama
menyangkut hubungan manusia dengan sesamanya. Untuk hidup bersama dan
bekerjasama maka kelompok manusia (yang membentuk masyarakat atau komunitas
tertentu) memerlukan tata hubungan atau aturan-aturan tersendiri yang disepakati
bersama yang disebut kebudayaan yang tentunya dalam konteks ini bernuansa Islam
yang terintegrasi dengan landasan-landasan lain yang telah kami jelaskan.
Kalau Islam sebagai agama mengatur tata kehidupan yang bersifat universal
dunia dan akhirat, maka kebudayaan hanya mengatur tata kehidupan dunia yang
menyangkut hubungan antar manusia dalam beraktivitas. Karena itu kebudayaan bersifat
lokal yang harus dipahami oleh siapa saja yang ingin berinteraksi dengan sesama
manusia lain dari komunitas tertentu, termasuk didalamnya dalam hal aktivitas ekonomi.
Jika tata hubungan ini diabaikan bisa menimbulkan ketersinggungan atau ketidak
puasaan yang berakibat tidak terjadinya kesepakatan aktivitas ekonomi yang akan
dilaksanakan. Misalnya budaya malu dan kejujuran dalam jual beli atau pinjam
meminjam yang dibangun oleh suatu komunitas masyarakat tertentu kemudian dilanggar
oleh pihak lain, maka akan menyulitkan aktivitas ekonomi selanjutnya dengan orang
yang sama pada komunitas bersangkutan.
Masyarakat Indonesia secara umum memiliki ciri identitas kebudayaan yang
menyatu dengan identitas bangsa Indonesia, yaitu “masyarakat yang berjiwa agamis dan
bersemangat gotong royong atau kolektif”, yang hingga saat ini masih terpelihara di
daerah pedesaan. Itulah sebabnya, Pancasila diterima dan didukung sebagai falsafah
berbangsa dan bernegara dari seluruh bangsa Indonesia yang sadar bernegara. Manusia
Indonesia secara umum adalah masunsia yang sepenuhnya menyatu dan dilandasi oleh
nilai-nilai etik dan moral Pancasila dalam segala aktivitasnya, walaupun memiliki
kebudayaan yang bersifat Bhineka Tunggal Ika, karena masyarakat bangsa Indonesia
adalah masyarakat yang majemuk, baik ditinjau dari segi etnis maupun dari segi agama
yang dianut. Suatu kenyataan bahwa kalau ditinjau dari agama yang dianut, maka
masyarakat Indonesia yang beragama Islam lebih dari 85% dari jumlah penduduk dan
merupakan umat Islam yang terbesar di dunia. Islam di Indonesia telah dianut oleh
masyarakatnya sejak 7 abad yang lalu, karena itu tidak mengherankan kalau sudah
menjadi bagian kebudayaan yang ideal di Indonesia, khususnya di daerah pedesaan.
32

Tidaklah mengherankan kalau di daerah-daerah pedesaan yang masih kental


kepatuhannya dengan petuah ulama, maka segala tata hubungan antara sesama umat
termasuk dalam hal ekonomi tidak akan menyimpang dari ajaran yang disampaikan oleh
para ulama. Para ulama inilah yang telah memainkan peranan sehingga Islam telah
menjadi kebudayaan yang ideal dalam masyarakat pedesaan di Indonesia. Karena itu
setiap upaya memahami watak masyarakat Indonesia masa kini dan warisan budayanya
tidaklah bisa meninggalkan penelaahan terhadap peranan Islam di masyarakat Indonesia,
baik sebagai agama maupun sebagai kekuatan politik dan ekonomi.

1.5 Rangkuman

Islam merupakan ajaran yang konprehensif, meliputi semua dimensi kehidupan


manusia, baik di dunia maupun diakhirat. Aspek kehidupan ekonomi Islam merupakan
salah satu sub sistem ajaran Islam dalam dimensi keduniaan. Karena itu untuk
memahami dan melaksanakan ekonomi Islam dengan baik dan benar, harus dimulai dari
pemahaman ajaran Islam dari pangkalnya yaitu aqidah secara baik dan benar.
Dalam filsafat sistem segi tiga nampak jelas dan harus diyakini bahwa Allah
SWT yang berada di puncak segi tiga adalah merupakan tumpuan semua sistem yang
ada di bawahnya sebagai ciptaannya, yaitu manusia dan alam atau lingkungannya.
Implementasi ekonomi Islam yang baik dan benar harus ditegakkan di atas lima
landasan pokok yang Islami, yaitu: pertama landasan filosofis, yang berkaitan dengan
ketauhidan atau pengakuan tentang keesaan Allah, karenanya semua yang ada di atas
bumi ini adalah amanah-Nya, Dialah pemilik dari semuanya; rububiyah atau tuntutan
Ilahiah untuk mencukupi, mencari, dan mengarahkan segala sesuatu untuk kemakmuran
bumi; khilafah atau manusia sebagai wakil yang berperan di bumi; tadzkiyah atau
pensucian dan pengembangan dari harta yang dimiliki.
Kedua landasan etika dan moral merupakan landasan pokok yang mampu
menjelaskan dan memilah perbuatan yang baik dan buruk secara umum dan khususnya
yang berkaitan dengan aktivitas ekonomi. Berdasarkan landasan ini ekonomi Islam tidak
pernah mentoleransi perbuatan haram atau yang remang-remang menjadi halal, mulai
33

dari input, proses maupun output.


Ketiga landasan ekonomi merupakan landasan yang membangkitkan semangat
dan etos kerja untuk mewujudkan kesejahteraan ekonomi melalui kombinasi antara
modal dan tenaga. Inti dari landasan ini adalah bahwa dalam ekonomi Islam
mengutamakan adanya kerjasama yang saling menuntungkan. Bentuk-bentuk kerjasama
dalam ekonomi Islam antara lain adalah mudharabah (kerjasama antara dua pihak,
dimana yang satu menyediakan modal dan lainnya menyumbangkan tenaganya, dengan
sistem bagi hasil); syirkah (kerjasama antara beberapa orang yang sama-sama
mengikutsertakan modalnya dan menjalankan aktivitas ekonomi atau bisnis secara
bersama-sama pula).
Keempat landasan sosial merupakan landasan solidaritas dikalangan umat
Islam. Dalam kehidupan ekonomi Islam dipentingkan adanya distribusi kekayaan.
Mereka yang kebetulan diberikan rizki yang banyak oleh Allah atas kemampuan
usahanya, dianjurkan untuk membagi rasa dengan saudaranya yang kekurangan melalui
instrumen zakat, infak, dan shodakah (ZIS). Zakat merupakan ibadah yang berfungsi
ganda dalam ajaran Islam, karena di samping merupakan kewajiban kepada Allah (bagi
mereka yang telah memenuhi untuk itu) juga memiliki fungsi sosial dengan
mengeluarkan sebagian harta yang dimiliki kepada mereka yang mubutuhkannya sesuai
dengan ketentuan syariat.
Kelima landasan budaya merupakan landasan yang harus dipahami dan
dipatuhi dalam tata hubungan antara sesama manusia dalam beraktivitas ekonomi yang
biasanya sangat berbeda antara satu komunitas dengan komunitas lainnya.

Referensi

Al Qur'anul Karim
Afzalurrahman, 1995. Doktrin Ekonomi Islam, Jilid 1, Edisi Lisensi, Dana Bakti Wakaf,
Yogyakarta.
Al-Assal, Ahmad Muhammad dan Fathi Ahmad Abdul Karim, 1980. Sistem Ekonomi
Islam, Prinsip-Prinsip dan Tujuan-Tujuannya, PT. Bina Ilmu, Surabaya.
Al-Bakri, Solah Abdul Qodir, 1989. Islam Agama Segenap Umat Manusia, Cetakan
Pertama, Litera AntarNusa, Jakarta.
Al-Buny, Jamaluddin Ahmad, 1983. Problematika Harta dan Zakat, Cetakan Kedua,
PT.Bina Ilmu, Surabaya.
34

Al-Buraey, Muhammad A., 1986. ISLAM: Landasan Alternatif Administrasi


Pembangunan, Cetakan Pertama, CV.Rajawali, Jakarta.
Alisjahbana, Sutan Takdir, 1986. Antropologi Baru, Cetakan Ketiga, Penerbit PT. Dian
Rakyat, Jakarta.
-------, 1992. Pemikiran Islam Dalam Menghadapi Globalisasi Dan Masa Depan Umat
Manusia, Cetakan Kedua, Penerbit Dian Rakyat, Jakarta.
Al-Jazairy, Al-Imam Abu Bakar Jabir, 1991. Cara Mudah Menunaikan Zakat,
Cetakan Pertama, Penerbit H.I. Press, Jakarta.
Al-Maududi, Abul a’la, 1980. Dasar-Dasar Ekonomi Dalam Islam: Dan Berbagai
Sistem Masa Kini, Cetakan Pertama, PT. Alma’arif, Bandung.
Al-Maududi, Abul A'la; M.M.Syarif dan B.A.Dar, 1990. Esensi Al Qur'an: Filsafat
Politik, Ekonomi, Etika, Cetakan Ketiga, Penerbit Mizan, Bandung.
Al-Zuhayly, Wahbah, 1996. Al-Qur'an dan Paradigma, Cetakan Pertama, Dinamika,
Yogyakarta.
An-Nabhani, Taqyuddin, 1996. Membangun Sistem Ekonomi Alternatif: Perspektif
Islam, Cetakan Pertama, Risalah Gusti, Surabaya.
Anshari, H.Endang Saifuddin, 1982. Agama Dan Kebudayaan, Cetakan Kedua, PT.Bina
Ilmu, Surabaya.
--------, 1993. Wawasan Islam: Pokok-pokok Pikiran Tentang Islam dan Umatnya,
Cetakan Keempat, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Ash-Shiddieqy, T.M.Hasbi, 1991. Pedoman Zakat, Cetakan Ketujuh, Bulan Bintang
Jakarta.
Asy'arie, Musa, 1997. ISLAM: Etos Kerja & Pemberdayaan Ekonomi Umat, Cetakan
Pertama, LESFI (Lembaga Studi Filsafat Islam), Yogyakarta.
Ayyub, Hasan, 1994. Etika Islam: Menuju Kehidupan Yang Hakiki, Cetakan Pertama,
PT.Trigenda Karya, Bandung.
Bakar, Osman, 1994. Tauhid Dan Sains: Esei-Esei Tentang Sejarah Dan Filsafat Sains
Islam, Cetakan Pertama, Pustaka Hidayah, Jakarta.
--------, 1997. Hierarki Ilmu: Membangun Rangka-Pikir Islamisasi Ilmu, Cetakan
Pertama, Mizan, Bandung.
Baswir, Revrisond, 1993. Ekonomika, Manusia, dan Etika, Cetakan Pertama, BPFE,
Yogyakarta.
Damanhuri, Didin S., 1987. Mencari Paradigma Ekonomi Indonesia, Cetakan Pertama,
Alumsi, Bandung.
--------, 1996. Ekonomi Politik Alternatif : Agenda Reformasi Abad 21, Cetakan
Pertama, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
--------, 1999. Pilar-Pilar Reformasi Ekonomi-Politik: Upaya Memahami Krisis Ekonomi
dan Menyongsong Indonesia Baru, CIDES (Pustaka Hidayah), Jakarta.
Daradjat, Zakiah, 1996a. Zakat: Pembersih Harta dan Jiwa, Cetakan Ketujuh,
CV.Ruhama, Jakarta.
Etzioni, Amitai, 1992. Dimensi Moral: Menuju Ilmu Ekonomi Baru, Terjemahan:
Tjun Surjaman, Cetakan Pertama, Remaja Rosdakarya, Bandung.
Gunadi, Tom, 1985. Sistem Perekonomian Menurut Pancasila dan UUD 1945, Cetakan
Ketiga, Angkasa, Bandung.
Haekal, Muhammad Hasan, 1995. Abubakr As-Siddiq, Cetakan Pertama, Litera Antar
Nusa, Jakarta.
Hatta, Mohammad, 1947. Petundjuk Bagi Rakjat Dalam Hal Ekonomi: Teori dan
35

Praktek, Kebangsaan Pustaka Rakyat, Jakarta.


-------, 1970. Pengantar Ke Jalan Ilmu dan Pengetahuan, Cetakan Kelima,
PT.Pembangunan, Jakarta.
-------, 1985. Pengantar Ke Jalan Ekonomi Sosiologi, Cetakan Ketiga, Inti Idayu Press,
Jakarta.
Idris, Safwan, 1997. Gerakan Zakat dalam Pemberdayaan Ekonomi Ummat: Pendekatan
Transformatif, Cetakan Pertama, PT.Cita Putra Bangsa, Jakarta.
Islahi, A.A., 1997. Konsepsi Ekonomi Ibnu Taimiyah, Terjemahan: H.Anshari Thayib,
Cetakan Pertama, Penerbit PT.Bina Ilmu, Surabaya.
Kaelany HD., 1992. Islam Dan Aspek-Aspek Kemasyarakatan, Cetakan Pertama,
Bumi Aksara, Jakarta.
Metwally, M.M., 1995. Teori dan Model Ekonomi Islam, Terjemahan: M.Husin Sawit,
Cetakan Pertama, Bangkit Daya Insana, Bogor.
Mulkhan, Abdul Munir, 1994. Paradigma Intelektual Muslim, Cetakan Kedua,
SIPRESS, Yogyakarta.
--------, 1995. Teologi Kebudayaan Dan Demokrasi Modernitas, Cetakan Pertama,
Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Nataatmadja, Hidayat, 1982. Karsa Menegakkan Jiwa Agama Dalam Dunia Ilmiah:
Versi Baru: Ihya Ulumiddin, Cetakan Kedua, Iqra, Bandung.
-------, 1982. Krisis Global Ilmu Pengetahuan dan Penyembuhannya (Al-Furqan),
Koperasi Humanika, Jakarta.
-------, 1994. Krisis Manusia Modern, Cetakan Pertama, Al-Ikhlas, Surabaya.
Pamungkas, Sri Bintang, 1996. Pokok-Pokok Pikiran Tentang DEMOKRASI
EKONOMI & PEMBANGUNAN, Edisi Kedua, Penerbit Yayasan Daulat
Rakyat, Jakarta.
Perwataatmadja, Karnaen A., 1996. Membumikan Ekonomi Islam Di Indonesia,
Cetakan Pertama, Usaha Kami, Jakarta.
Prawiranegara, Sjafruddin, 1988. Ekonomi dan Keuangan Makna Ekonomi Islam,
Kumpulan Karangan Terpilih 2, Cetakan Pertama, Haji Masagung, Jakarta.
Qadir, Abdurrachman, 1998. ZAKAT (Dalam Dimensi Mahdhah dan Sosial), Cetakan
Pertama, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Qutb, Sayid, 1994. Tafsir Ayat-Ayat Riba, Cetakan Pertama, Mutiara Ilmu, Surabaya.
--------, 1994. Dasar-Dasar Sistem Ekonomi Sosial Dalam Kitab Tafsir Fi Zilalil Qur’an,
Cetakan Pertama, Litera Antar Nusa, Jakarta.
--------, 1994. Keadilan Sosial Dalam Islam, oleh Afif Mohammad), Cetakan Kedua,
Penerbit Pustaka, Bandung.
Rais, M.Amien, 1996. Cakrawala Islam, Cetakan Ketujuh, Mizan, Bandung.
--------, 1998b. Tauhid Sosial, Cetakan Pertama, Mizan, Bandung.
Rais, yahya, 1982. Islam Agama Fitrah manusia, Cetakan Pertama, PT.Bina Ilmu,
Surabaya.
Saefuddin, Ahmad M., 1984. Nilai-Nilai Sistem Ekonomi Islam, Cetakan Pertama,
CV.Samudra, Jakarta.
--------, 1987. Ekonomi dan Masyarakat: Dalam Perspektif Islam, Cetakan Pertama,
Rajawali Press, Jakarta.
Samdin, 2002. Motivasi Berzakat: Kajian Manfaat dan Peranan Kelembagaan,
Simposium Nasional I Sistem Ekonomi Islam Proceedings, Yogyakarta, 447-
468.
36

Shiddiqi, Nourouzzaman, 1997. Fiqih Indonesia: Penggagas dan Gagasan, Cetakan


Pertama, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Sophiaan, Ainur R. (Editor), 1997. Etika Ekonomi Politik: Elemen-elemen Strategis
Pembangunan Masyarakat Islam, Cetakan Pertama, Penerbit Risalah Gusti,
Surabaya.

BAB 2
PRINSIP DAN MANFAAT PEMASARAN
SYARIAH

2.1. Syariah Marketing Rasululullah Saw

Syariah marketing merupakan suatu proses bisnis yang dalam pelaksanaannya


senantiasa menerapkan nilai-nilai Islami yakni nilai-nilai yang mengagungkan keadilan
dan kejujuran. Landasan atau aturan-aturan inilah yang menjadi suatu syariah atau
hukum dalam melakukan suatu bisnis. Proses bisnis yang dimaksudkan adalah proses
37

penciptaan, penawaran, dan perubahan value dari suatu inisiator kepada stakeholders-
nya. Syariah marketing adalah sebuah disiplin bisnis strategis, yang dalam keseluruhan
prosesnya sesuai dengan akad dan prinsip-prinsip muamalah (bisnis) dalam Islam.
(Syariah marketing is a strategic business dicipline that directs the process of creating,
offering, and exchanging values from one initiator to its stakeholders, and the whole
process should be in accordance with muamalah principles in Islam). Ini berarti bahwa
seluruh proses-baik proses penciptaan, penawaran, maupun proses perubahan nilai
(value)- tidak boleh ada hal-hal yang bertentangan dengan akad dan prinsip-prinsip
muamalah yang Islami.
Ajaran Islam membagi aktivitas marketing (perdagangan) dalam dua dimensi
pokok, yakni dimensi vertikal (Hablum minallah) dan dimensi horizontal (Hablum
minannas). Keduanya mempunyai arti ibadah, yakni ketaatan seseorang hamba kepada
Allah Swt. Kualitas tertinggi dari ketaatan yang bersifat vertikal adalah taqwa,
sementara kualitas tertinggi dari ketaatan yang bersifat horizontal adalah berlaku adil.
Kejujuran merupakan salah satu tangga untuk mencapai tingkat adil yang dimaksud.
Dimensi vertikal dalam ajaran Islam bersifat mahdhah, yakni ibadah yang telah
ditentukan cara pelaksanaannya dan tidak bisa direkayasa, sementara dimensi horizontal
bersifat ghairu mahdhah, menyeluruh dan mujmal, yang meliputi segala aspek
kehidupan (Jusmaliani,7:2008).
Aktivitas perdagangan merupakan salah satu dari aspek kehidupan yang bersifat
horizontal, yang menurut fikih Islam dikelompokkan ke dalam masalah mu’amalah,
yakni masalah-masalah yang berkaitan dengan hubungan antarmanusia dalam kehidupan
bermasyarakat. Perdagangan mendapat penekanan khusus dalam ekonomi Islam karena
keterkaitannya dengan sektor riil. Sistem ekonomi Islam lebih mengutamakan sektor riil
dibandingkan sektor moneter, namun dalam transaksi jual beli kedua sektor tersebut
saling terkait. Kekayaan suatu negara dari perspektif Islam tidak diukur dengan jumlah
uang yang beredar, tetapi dengan produksi barang yang dapat dihasilkan oleh negara
tersebut. Penekanan pada sektor riil ini menyebabkan pertumbuhan bukan merupakan
ukuran perkembangan ekonomi, tetapi lebih menekankan pada aspek pemerataan dan
pengurangan jumlah kemiskinan. Hal ini dapat dilakukan dengan cara mengembangkan
sektor riil, yang akan dapat menyerapkan tenaga kerja yang lebih besar, dan melalui
38

pemerataan, kekayaan suatu negara tidak akan terkonsentrasi atau dikuasai oleh
sekelompok orang tertentu, tetapi terdistribusi secara lebih merata pada anggota
masyarakat yang lebih luas. Semakin tinggi tingkat pemerataan dapat diwujudkan,
semakin besar pula masyarakat yang ikut menikmati kekayaan yang dimiliki oleh
negara.
Dalam mencari kekayaan materi melalui perdagangan, tidak semua praktik
perdagangan dan upaya pemasaran yang sekarang tampaknya sudah menjadi kebiasaan
boleh dilakukan, sebab banyak yang tidak dibenarkan oleh Islam. Praktik-praktik yang
tidak dibenarkan oleh Islam antara lain adalah mencari keuntungan dengan cara
mencegat dipinggir kota (tallaqqi rukban) untuk memanfaatkan ketidaktahuan pembeli
tentang harga yang berlaku dikota. Dengan kata lain transaksi dilakukan dalam keadaan
informasi yang tidak sempurna.
Perdagangan yang dilakukan tanpa ada bingkai nilai-nilai ketakwaan kepada sang
Maha Pencipta akan sulit mendatangkan kejujuran, keadilan, dan kebaikan bersama.
Tujuan Allah Swt. Dalam menciptakan manusia berkisar pada pemeliharaan lima dasar
kebutuhan primer manusia, yaitu agama, nyawa, akal, keturunan, dan harta. Oleh karena
itu, segala sesuatu yang mencakup pemeliharaan kelima dasar tersebut adalah mashlahat
(Al-Haritsi, 2006:295, dalam Jusmaliani, 2008).
Pemenuhan terhadap kelima kebutuhan itu berhubungan dengan dua dimensi
dasar dari keberadaan manusia di bumi. Kedua dimensi tersebut adalah berkaitan dengan
dimensi vertikal yaitu tentang hubungan manusia dengan Tuhan (Hablum Minallah), dan
dimensi horisontal yaitu hubungan manusia dengan manusia (Hablum Minannas).
Berkaitan dengan hal tersebut, maka pembahasan dalam bab ini akan lebih difokuskan
pada pembahasan aktivitas perdagangan dalam perspektif dimensi horisontal yang
melihat aktivitas perdagangan dalam kehidupan didunia dan dikaitkan dengan hubungan
antarmanusia (Hablum Minannas). Dimensi horizontal ini di lakukan dalam tatanan
ajaran Islam untuk mencapai tujuan akhir yakni Hablum Minallah (dimensi vertikal).
Apabila dimensi vertikal tidak disertakan dalam semua hubungan horizontal,
maka keculasan, penipuan, pemerasan oleh satu pihak terhadap pihak lain, dan
sebagainya dalam praktik perdagangan merupakan fenomena sosial yang lumrah terjadi.
39

Oleh karena itu diperlukan kepatuhan terhadap aturan Allah Swt, yang disebut
“ketundukan horizontal” yakni Alquran dan sunah Rasul.
Rasulullah Muhammad saw. Pernah mengatakan bahwa sebagian besar rezeki
manusia diperoleh dari aktivitas perdagangan. Hal ini disabdakan beliau dalam hadis
yang diriwayatkan oleh Ibrahim Al-Harabi, “tis’ah al-asyari ar-rizqi minat tijjarah”
artinya berdaganglah kamu, sebab lebih sepuluh bagian penghidupan, sembilan
diantaranya dihasilkan dari berdagang (Jusmaliani, 45-2008).
Dalam ilmu ekonomi, perdagangan secara konvensional diartikan sebagai proses
saling tukar menukar yang didasarkan atas kehendak sukarela dari masing-masing pihak.
Mereka yang terlibat dalam aktivitas perdagangan dapat menentukan keuntungan
maupun kerugian dari kegiatan tukar-menukar secara bebas itu. Disisi lain prinsip dasar
perdagangan menurut Islam (selanjutnya disebut syariah marketing) adalah adanya unsur
kebebasan dalam melakukan transaksi tukar-menukar, tetapi kegiatan tersebut tetap
disertai dengan harapan diperolehnya keridhaan Allah Swt. Dan melarang terjadinya
pemaksaan (QS. An-Nisa (4) : 29).
Prinsip-prinsip perdagangan yang dicontohkan Rasulullah Saw tersebut adalah
prinsip keadilan dan kejujuran. Dalam konsep Islam, perdagangan yang adil dan jujur
adalah perdagangan yang “yang tidak menzalimi dan tidak pula dizalimi” (QS. Al-
Baqarah (2) : 279-280).

Stephen R. Coney dalam bukunya “The 8Th Habit : From Effectiveness to


Greatness” menyimpulkan bahwa faktor spiritual merupakan faktor kunci terakhir yang
harus dimiliki seorang pemimpin dalam suatu perusahaan. Seorang pemimpin harus
memiliki empat style, “The 4 Role of Leadership”, yaitu : Pathfinding (perintisan),
Aligning (penyelarasan), Empowering (pemberdayaan), dan Modeling (panutan). Untuk
menjadi Modeling (panutan) maka seorang pemimpin harus memimpin berdasarkan
prinsip, “Building trust with others”,. Pemimpin harus mampu menyatukan kata dengan
perbuatan, dan pemimpin adalah orang yang layak dipercaya. Kata kunci untuk
mendapatkan kepercayaan adalah “kejujuran” yang senantiasa menjadi bagian dari nilai-
nilai spiritual.
Prinsip pengelolaan usaha yang sehat di kenal sebagai : good corporate
government, tetapi hal ini dikembangkan dengan menerapkan “Princip god corporate
40

governance” dengan dasar transparansi dan akuntabilitas yang tinggi. Bekerja tidak
semata untuk mencari finansial, tetapi juga termotivasi untuk melaksanakan pengabdian
kepada Allah Swt. Mempersembahkan kinerja terbaik bagi perusahaan dan para
pemangku kepentingan (stakeholders) menjadi wujud pengabdian kepadaNya.
Spiritual marketing disebut juga sebagai syariah marketing) tidak berarti
melakukan bisnis hanya sebagai pelaksanaan ritual ibadah, tetapi spiritual marketing
yang dimaksudkan adalah mampu memberikan kebahagiaan kepada setiap orang yang
terlibat dalam berbisnis, baik diri sendiri, pelanggan, pemasok, distributor, pemilik
modal, dan bahkan para pesaing. Bisnis ini sangat mengedepankan sikap dan perilaku
yang simpatik, selalu bersikap bersahabat dengan orang lain, dan orang lain pun dengan
mudah bersahabat dan bermitra dengannya. Rasulullah bersabda, “Semoga Allah
memberikan rahmat-Nya kepada orang yang murah hati (sopan) pada saat dia menjual,
membeli, atau saat dia menuntut haknya” (Hadist).
Spiritual marketing bertujuan untuk mencapai sebuah solusi yang adil dan
transparan bagi semua pihak yang terlibat. Didalamnya tertanam nilai-nilai moral dan
kejujuran. Nilai-nilai ini akan mampu memperbaiki inner-side seseorang, semakin
spritual seseorang, maka iapun akan lebih mampu meperbaiki inner-sidenya, dan ia
pun akan lebih mampu menjalankan bisnisnya dengan lebih tenang dan dicintai oleh
semua pihak. Bagi seorang muslim, spiritual marketing mengandung nilai-nilai ibadah
dan diyakini mendapat ganjaran pahala dari Allah Swt di akhirat kelak.
Spiritual marketing dapat dilaksanakan dengan optimal jika dalam segala
aktivitas sehari-hari menempatkan Tuhan sebagai stakeholder utama (the ultimate
stakeholder) (Hermawan K, dkk, 2006). Akuntabilitas dan responsibilitas diterjemahkan
sebagai pertanggungjawaban di Padang Mahsyar (yaumul hisab) kelak, yang merupakan
pengadilan abadi terhadap sepak terjang manusia (termasuk pelaku bisnis), baik yang
tersurat maupun yang tersirat. Allah Swt. Berfirman, ‘Apakah manusia mengira bahwa
ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggungjawaban)? (GS Al-Qiyamah (75 : 36).
Menurut Hermawan K, dkk, (2006) ada 4 kharakteristik syariah marketing yang dapat
jadi panduan bari para pemasar sebagai berikut :
1. Teistis (rabbaniyyah)
2. Etis (akhlaqiyyah)
41

3. Realistis (al-waqi’iyyah)
4. Humanistis (insaniyyah)

Teistis (rabbaniyyah)

Jiwa seorang marketer syariah meyakini bahwa hukum-hukum syariat yang


teistis atau bersifat ketuhanan adalah hukum yang paling adil, paling sempurna, paling
selaras dengan segala bentuk kebaikan, paling dapat mencegah segala bentuk kerusakan,
paling mampu mewujudkan kebenaran, memusnakan kebatilan, dan menyebarluaskan
kemaslahatan. Karena merasa cukup akan segala kesempurnaan dan kebaikannya, dia
rela melaksanakannya. Allah Swt. Berfirman, “Barang siapa yang melakukan suatu
kebaikan sebesar biji atom sekalipun, maka Dia akan melihatnya. Dan barang siapa yang
melakukan kejahatan sebesar atom sekalipun, maka Dia akan melihatnya pula, “(QS Al-
Zalzalah (99 : 7-8). Seorang marketer syariah akan mematuhi hukum-hukum syariah,
menjauhi laranganNya dengan suka rela, pasrah, dan nyaman yang didorong oleh bisikan
hati bukan paksaan, dalam setiap melaksanakan kegiatan pemasarannya, mulai dari
menentukan strategi pemasaran, memilah-milai pasar (segmentasi), kemudian memilih
pasar sasaran yang menjadi fokusnya (targeting), hingga menetapkan identitas
perusahaan agar tertanam dibenak pelanggannya (positioninng). Demikian juga ketika
akan menyusun taktik pemasaran, apa yang menjadi keunikan perusahaan dibandingkan
dengan lainnya (differensiasi), juga marketing mixnya, dalam mendesain produk,
menetapkan harga, penempatan, dan melakukan promosi, senantiasa dijiwai oleh nilai-
nilai religius.
Syariah marketing haruslah memiliki value yang lebih tinggi. Ia harus memiliki
merek yang lebih baik, karena bisnis syariah adalah bisnis “kepercayaan”, bisnis
keadilan, dan bisnis yang tidak mengandung tipu muslihat.

Etis (akhlaqiyyah)
42

Syariah marketing mengedepankan akhlak (moral dan etika) dalam


melaksanakan seluruh kegiatannya. Manusia adalah khalifah di muka bumi. Islam
memandang bumi dengan segala isinya merupakan amanah Allah Swt. Kepada sang
khalifah agar digunakan dengan sebaik-baiknya bagi kesejahteraan bersama. Untuk
melaksanakannya, Allah Swt memberikan petunjuk berupa akidah, akhlak (moral, etika),
maupun syariah. Akidah dan akhlak (moral, etika) bersifat konstan. Keduanya tidak
mengalami perubahan apapun dengan berbedanya waktu dan tempat. Sedangkan syariah
senantiasa berubah sesuai dengan kebutuhan dan taraf peradaban manusia, yang
berbeda-beda sesuai dengan rasulnya masing-masing. Hadis Rasulullah Saw mengatakan
“Para rasul tak ubahnya bagaikan saudara sebapak, syariah mereka banyak, tetapi agama
(akidah)-nya satu (yaitu mentauhidkan Allah) : (HR Al-Bukhari, Abu Dawud, dan
Ahmad).

Realistis (al-waqi’iyyah)

Syariah marketing meruakan konsep pemasaran yang fleksibel dalam bersikap


dan bergaul. Fleksibilitas atau kelonggaran (al-afw) diberikan Allah Swt. Agar
penerapan syariah senantiasa realistis (al-waqi’iyyah) dan dapat mengikuti
perkembangan zaman. Sebagaimana Sabda Nabi Muhammad Saw, “Sesungguhnya
Allah telah menetapkan ketentuan-Nya, janganlah kalian langgar. Dia telah menetapkan
beberapa perkara yang wajib, jangalah kalian sia-siakan. Dia telah mengharamkan
beberapa perkara, janganlah kalian langgar. Dan Dia telah membiarkan dengan sengaja
beberapa perkara sebagai bentuk kasih-Nya terhadap kalian, jangan kalian
permasalahkan” (HR Al-Daruquthni).

Humanistis (insaniyyah)

Pengertian humanistis adalah bahwa syariah diciptakan untuk manusia agar


derajatnya terangkat, sifat kemanusiaannya terpelihara, serta sifat-sifat kehewanannya
dapat terkekang dengan panduan syariah. Dengan demikian ia menjadi manusia yang
terkontrol, dan seimbang (tawazun), bukan manusia yang serakah, yang menghalalkan
43

segala cara untuk meraih keuntungan yang sebesar-besarnya. Buka menjadi manusia
yang bahagia diatas penderitaan orang lain atau manusia yang hatinya kering dengan
kepedulian sosial.

2.2. Mekanisme Pasar dalam Perdagangan Islam

Dalam Islam, konsep ekonomi dan perdagangan (pemasaran) harus dilandasi


nilai-nilai dan etika yang bersumber dari nilai-nilai dasar agama yang menjunjung tinggi
kejujuran dan keadilan. Prinsip dasar mekanisme pasar dalam transaksi perdagangan
adalah kedua belah pihak dapat saling menjual dan membeli barang secara ikhlas artinya
tidak ada campur tangan serta intervensi pihak lain dalam menentukan harga barang.
Sebagai pemimpin, Rasulullah pernah menolak melakukan intervensi dalam
menentukan harga barang, hal ini ditunjukkan beliau dalam suatu kasus masa
pemerintahannya di Madinah. Suatu saat terjadilah situasi harga barang melambung
cukup tinggi di pasaran. Tingginya harga barang tersebut kemudian disikapi para sahabat
dengan mengajukan saran kepada Rasulullah untuk mematok harga agar tidak terlampau
tinggi. Saran tersebut di tolak, sambil berkata :
“Sesungguhnya Allah-lah yang menentukan harga, yang menahan dan
melapangkan serta memberi rezeki. Sangat aku harapkan bahwa kelak aku menemui
Allah dalam keadaan tidak seorangpun dari kamu menuntutku tentang kezaliman dalam
darah dan harta” (HR. Anas).”
Hadis yang diriwayatkan oleh Anas tersebut menunjukkan bahwa ketentuan
harga dalam suatu perdagangan diserahkan sepenuhnya kepada mekanisme pasar
alamiah dalam kondisi normal. Pasar bebas artinya, harga dipengaruhi oleh kekuatan
penawaran dan permintaan (supply-demand). Barang akan turun harganya bilamana
jumlah di pasar ketersediaannya melimpah, sebaliknya barang akan naik harganya bila
jumlah ketersedianya di pasar sangat terbatas. Beberapa prinsip melandasi fungsi pasar
dalam masyarakat muslim (Hamdani, 2003; Izomiddin, 2005; dalam Jusmaliani, 2008)
sebagai berikut :
44

1. Dalam konsep perdagangan Islam, penentuan harga dilakukan oleh kekuatan


pasar, yaitu kekuatan permintaan dan penawaran. Kesepakatan terjadinya
permintaan dan penawaran tersebut, haruslah terjadi secara sukarela, tidak
ada pihak yang merasa terpaksa dalam melakukan transaksi pada tingkat
harga tersebut. Hal ini telah disebutkan dalam Al-Quran :
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah memakan harta sesamamu dengan
jalan batil, kecuali dengan jalan perdagangan yang terjadi suka sama suka dia
antaranya. Dan janganlah membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah Maha
Penyayang kepadamu (QS. An-Nisa (4);29).
Firman Allah tersebut menekankan bahwa transaksi perdagangan harus
dilakukan tanpa paksaan, sehingga terbentuklah harga secara alamiah. Dalam
hal ini, semua harga yang terkait dengan faktor produksi maupun produk
barang itu sendiri bersumber pada mekanisme pasar seperti itu, karena
ketetapan harga tersebut telah diakui sebagai harga yang adil dan wajar (harga
yang sesuai).
2. Mekanisme pasar dalam konsep Islam melarang adanya sistem kerjasama
yang tidak jujur. Islam tidak menghendaki adanya koalisi antara konsumen
dengan produsen, meskipun tidak mengesampingkan adanya konsentrasi
produksi, selama terjadinya konsentrasi itu dilakukan dengan cara-cara yang
jujur serta tidak melanggar prinsip kebebasan dan kerja sama. Oleh karena itu,
prinsip monopoli ataupun oligopoli tidak dilarang dalam Islam selama pelaku
tidak mengambil keuntungan di atas keuntungan yang wajar. Agar sistem
perdagangan itu tidak menyalahi aturan agama maka penting dibentuk
lembaga ‘hisbah”. Lembaga ini bertugas memantau dan mengawasi praktik-
praktik kegiatan perekonomian untuk menjamin keadilan dan perdagangan
yang jujur serta tidak melanggar aturan yang termaktub dalam kaidah Al-
Quran dan hadis Rasulullah Saw.
3. Bila pasar dalam keadaan tidak sehat, dimana terjadi tindak kezaliman seperti
penipuan, penimbunan, atau perusakan pasokan dengan tujuan menaikkan
harga, maka menurut Ibnu Taimiyyah (Hamdani, 2003) pemerintah wajib
melakukan regulasi harga pada tingkat yang adil antara produsen dan
45

konsumen tanpa ada pihak yang dirugikan atau dieksploitasi oleh pihak lain.
Hal ini dicontohkan Rasulullah dalam perselisihan antara dua orang
bertetangga mengenai kepemilikan sebuah pohon yang sebagian dahannya
menjulur dan mengotori halaman tetangganya. Tetangga ini memprotes dan
mengadukan ke Rasulullah, maka beliau memerintahkan pemilik pohon
menjual sebagian dahan pohon yang menjorok tersebut dengan menerima
ganti harga kompensasi yang wajar dan adil. Akan tetapi, ternyata pemilik
pohon tidak melakukan tindakan apapun, sehingga Rasulullah
memperbolehkan pemilik tanah menebang pohon tersebut dengan memberikan
kompensasi harga kepada pemilik pohon.
Menurut Ibnu Taimiyyah, contoh tersebut merupakan dalil kuat bahwa Rasulullah
pernah menetapkan harga (regulasi) hanya bila hal itu untuk kepentingan publik atau
umum atas suatu produk.
Berkaitan dengan intervensi negara atas pelanggaran prinsip-prinsip keadilan dan
kejujuran dalam perdagangan, Chapra (2001; 64-65) berpendapat bahwa intervensi harga
tetap harus dilakukan secara hati-hati, harus berdasarkan hasil analisis para ahli yang
memadai. Intervansi diperbolehkan tetapi jangan sampai melampaui batas harga dari
barang-barang serupa dalam keadaan normal.

2.3. Praktek Pemasaran Syariah

Pemasaran (Perdagangan) yang Islami adalah perdagangan yang dilandasi oleh


nilai-nilai dan etika yang bersumber dari nilai-nilai dasar agama yang menjunjung tinggi
tentang kejujuran dan keadilan.
Agar diperoleh satu keharmonisan dalam sistem perdagangan, diperlukan suatu
perdagangan yang bermoral. Rasulullah Saw. Secara jelas telah memberikan contoh
tentang sistem perdagangan yang bermoral ini, yaitu perdagangan yang jujur dan adil
serta tidak merugikan kedua belah pihak.
Sabda Rasulullah Saw, yang diriwayatkan oleh Abu Sa’id menegaskan bahwa :
“saudagar yang jujur dan dapat dipercaya akan dimasukkan dalam golongan para nabi,
46

golongan orang-orang jujur, dan golongan para syuhada”. Hadis tersebut menunjukkan
bahwa setiap transaksi perdagangan diperintahkan untuk lebih mengutamakan kejujuran
dan memegang teguh kepercayaan yang diberikan orang lain. Selain itu, dalam setiap
transaksi perdagangan dituntut harus bersikap sopan dan bertingkah laku baik
sebagaimana disebutkan dalam hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari : “Rahmat Allah
atas orang-orang yang berbaik hati ketika ia menjual dan membeli serta ketika membuat
keputusan”.
Kunci keberhasilan dan kesuksesan Nabi dalam perdagangan adalah karena
memiliki sifat-sifat terpuji yaitu : jujur (shidiq), menyampaikan (tabligh), dapat
dipercaya (amanah), dan bijaksana (fathanah). Bersikap adil dan bertindak jujur
merupakan prasyarat penting bagi seseorang dalam melakukan perdagangan, disamping
menjaga hubungan baik dan berlaku ramah tamah kepada mitra dagang serta pelanggan.
Pedagang yang tidak jujur meskipun mendapat keuntungan yang besar sesaat, karena
ketidak jujurannya itu menjadikannya tidak dipercaya oleh pelanggan dan mitranya dan
pada akhirnya menyebabkan kemunduran bahkan mematikan usahanya.
Praktek bisnis dan pemasaran telah bergeser dan mengalami transformasi dari level
intelektual (rasional), ke emosional, dan akhirnya ke spiritual. Pada akhirnya konsumen
akan mempertimbangkan keseuaian produk atau jasa terhadap nilai-nilai spiritual yang
diyakininya. Di level intelektual, pemasaran memang menjadi seperti robot dengan
mengandalkan kekuatan logika dan konsep-konsep keilmuan. Di level emosional
pemasaran menjadi seperti manusia yang berperasaan dan empati.
Di level intelektual (rasional), pemasar menyikapi pemasaran secara fungsional-
teknikal dengan menggunakan sejumlah tools pemasaran, seperti segmentasi, targeting,
positioning, marketing mix, branding, dan sebagainya. Kemudian dilevel emosional,
beberapa konsep pemasarannya antara lain experiential marketing dan emotional
branding, dan kemampuan pemasar dalam memahami emosi dan perasaan pelanggan
menjadi penting, disini pelanggan dilihat sebagai manusia seutuhnya, lengkap dengan
emosi, dan perasaannya. Jika dilevel intelektual otak kiri pemasar yang berperan, maka
di level emosional otak kananlah yang lebih dominan.
Pada masa sekarang dan kecenderungan kedepan, pemasaran telah bergeser ke”
Spiritual marketing”. Hal ini timbul dengan belajar dari berbagai krisis baik krisis
47

multidimensi tahun 1998 yang terjadi di kawasan Asia dan lainnya yang merupakan
kelompok negara yang keadaan ekonominya sedang, maupun krisis ekonomi yang
terjadi dinegara-negara maju yang ekonominya kuat seperti Eropa, dan skandal
keuangan di Amerika Serikat dengan tumbangnya perusahaan-perusahaan raksasa,
seperti Enron, WorldCom, atau global Crossing.
Pada level spiritual, pemasaran disikapi sebagai “bisikan nurani” dan panggilan
“jiwa”. Praktek pemasaran dikembalikan kepada fungsinya yang hakiki dan dijalankan
dengan moralitas yang kental. Prinsip-prinsip kejujuran, empati, cinta, dan kepedulian
terhadap sesama menjadi dominan. Spiritual marketing yang dimaksud di sini adalah
dalam melakukan bisnis, kita harus mampu memberikan kebahagian dan manfaat kepada
setiap orang yang terlibat (stakeholder).
Di level intelektual bahasa yang digunakan adalah “bahasa logika” dan di level
emosional digunakan “bahasa rasa”, maka di level spiritual digunakan “bahasa hati
(qalbu)”. Kata hati adalah lentera penerang yang akan menunjukkan ke mana arah yang
akan di tuju. Nurani adalah “senjata pamungkas” anda untuk memenangkan persaingan
(Hermawan K, dkk. 2006).
Hati adalah sumber pokok bagi segala kebaikan dan kebahagiaan seseorang,
bahkan bagi seluruh makhluk yang dapat berbicara, karena hati merupakan
kesempurnaan hidup dan cahayanya. Nabi Muhammad Saw bersabda, “...... Ketahuilah
bahwa di dalam tubuh manusia ada segumpal organ. Kalau organ itu baik, maka akan
baiklah seluruh tubuhnya. Tetapi bila rusak, niscaya akan rusak pula seluruh tubuhnya.
Organ itu bernama qalbu (hati)” (HR. Al-Bukhari Muslim).
Hati sebagai seorang raja, sang penguasa, sedangkan tubuh seseorang akan
memenuhi segala perintah dan larangan hati. Karena itu, hati yang akan dimintai
pertanggungjawaban tentang tindak-tanduk anggota tubuh. Ketika iblis mengetahui
bahwa hati merupakan kemudi bagi seseorang, maka ia mengarahkan setiap orang lewat
hatinya dengan rasa was-was, syahwat, dan iming-iming yang kosong, sehingga
menyimpang dari jalan yang benar dan mudah diarahkan kepada kesesatan dan dosa.
Kasus runtuhnya sejumlah perusahaan di berbagai negara menunjukkan bahwa
sehebat apapun strategi bisnis anda, secanggih apa pun tools pemasaran yang anda
48

jalankan, semuanya tidak berguna kalau tidak di landasi oleh nilai-nilai spiritual yang
kokoh.
Dalam bahasa syariah, spritual marketing adalah tingkatan “pemasaran langit”
yang merupakan tingkatan tertinggi, orang berbisnis tidah hanya menghitung untung atau
rugi, tetapi sebagai panggilan jiwa yang di dalam prosesnya mengandung nilai-nilai
spiritual dengan prinsip muamalah (bisnis syariah). Hal ini merupakan refleksi dari ikrar
seorang muslim ketika beribadah, “Qul inna shalati wanusuki wamahyaya wamamati
lillahi rabbil-alamin” (ya Allah, aku berikrar, sesungguhnya shalatku, ibadahku,
hidupku, dan matiku hanya untuk Allah semata).
Betapa indahnya sekiranya kita mengelola bisnis kita dengan hati yang bening.
Menjalani hidup ini dengan segala dinamikanya dengan hati yang bersih. Kita pun akan
memperoleh rezeki dari sumber yang halal, karena segala aktivitas kita dilandasi dengan
niat baik, tanpa berprasangka buruk, tanpa penipuan, tanpa kebohongan. Semuanya
ikhlas semata-mata mencari keridhaan Allah Swt.
Berkaitan dengan hal maka ada sebelas etika pemasar, yang dapat dijadikan dasar
bagi syariah marketer dalam menjalankan fungsi-fungsi pemasarannya, yaitu :
1. Memiliki kepribadian Spiritual (takwa)
2. Berperilaku benar dan jujur (Shidq)
3. Berlaku adil dalam bisnis (Al-‘Adl)
4. Bersikap melayani dan rendah hati (Khidmah)
5. Menepati janji dan tidak curang
6. Terpercaya (Al-Amanah)
7. Cerdas (Fathana)
8. Komunikatif (Thablig)
9. Tidak suka berburuk sangka (Su’uzh-zhann)
10. Tidak suka menjelek-jelekkan (ghibah)
11. Tidak melakukan sogok (Riswah).

Memiliki Kepribadian Spiritual (Takwa)


49

Semua kegiatan bisinis hendaklah selaras dengan moralitas dan nilai utama yang
digariskan oleh Al-Quran. Al-Quran menegaskan bahwa setiap tindakan dan transaksi
hendaknya ditujukan untuk tujuan hidup yang mulia. Umat Islam diperintahkan untuk
mencari kebahagiaan akherat dengan cara menggunakan nikmat yang Allah karuniakan
kepadanya dengan jalan sebaik-baiknya.
Islam menyatakan bahwa berbisnis itu merupakan pekerjaan halal. Namun pada
tataran yang sama Islam juga mengingatkan bahwa semua kegiatan bisnis tidak boleh
menghalangi mereka untuk selalu ingat pada Allah dan melanggar perintahNya. Seorang
Muslim diperintahkan untuk selalu memiliki kesadaran tentang Allah (ingat Allah,
dzikrullah) meskipun ia sedang sibuk mengurusi kekayaan dan anak-anaknya (lihat QS
Al-Munafiqun (63); dan Al-Taghabun (64); 15.
Al-Quran memerintahkan untuk mencari dan mencapai prioritas yang Allah
tentukan di dalam Al-Quran, misalnya :
1. Hendaklah mereka mendahulukan pencarian pahala yang besar dan
abadi di akhirat ketimbang keuntungan kecil dan terbatas yang ada di
dunia
2. Mendahulukan sesuatu yang secara moral bersih daripada sesuatu yang
secara moral kotor, walaupun misalnya mendapatkan keuntungan yang
lebih besar.
3. Mendahulukan pekerjaan yang halal daripada yang haram.

Berperilaku Benar dan Jujur (Siddiq)

Siddiq artinya benar dan jujur. Sifat ini haruslah tertanam dalam jiwa dan seluruh
perilaku pemasaran, dalam berhubungan dengan pelanggan, dalam bertransaksi dengan
pelanggan, dan dalam membuat perjanjian dengan mitra bisnisnya.ia senantiasa
mengedepankan kebenaran informasi yang diberikan dan jujur dalam menjelaskan
keunggulan produk-produk yang dimiliki. Sekiranya dalam produk yang dipasarkan
terdapat kelemahan atau cacat, maka ia menyampaikan secara jujur kepada calon
pembeli.
50

Kejujuran bisa juga ditampilkan dalam bentuk kesungguhan dan ketepatan, baik
ketepatan waktu, janji, pelayanan, pelaporan, mengakui kelemahan dan kekurangan
(tidak menutup-nutupi) yang kemudian diperbaiki secara terus-menerus, serta
menjauhkan diri dari kebohongan dan menipu (baik kepada diri sendiri, teman sejawat,
perusahaan maupun mitra kerja). Termasuk memberikan iklan-iklan di media tulis dan
elektronik.

Berlaku Adil dalam Bisnis (Al-Adl)

Berbisnislah kalian secara adil, demikian kata Allah, “Berusahalah secara adil dan
kamu tidak boleh bertindak dengan tidak adil”. Allah mencintai orang-orang yang
berbuat adil dan membenci orang-orang yang berbuat zalim, bahkan melaknat mereka.
Firman-Nya, “Ingatlah, kutukan Allah (ditimpakan) atas orang-orang yang zalim”.

Bersikap melayani dan rendah hati (Khikmah)

Sikap melayani merupakan sikap utama dari seorang pemasar. Rasulullah pernah
bersabda, “Saidu-qaum khadimuhum”, “pemimpin itu adalah pelayan bagi rakyatnya”.
Pemimpin dalam perusahaan adalah pelayan bagi karyawannya. Dalam bisnis servis
(pelayanan) merupakan faktor paling penting.
Berperilaku baik, sopan santun dalam pergaulan adalah fondasi dasar dan inti dari
kebaikan tingkah laku. Sifat ini sangat dihargai dengan nilai tinggi dan mencakup semua
sisi manusia. Al-Quran mengatakan bahwa Rasulullah adalah manusia yang sangat
pengasih dan murah hati. Allah berfirman, “maka disebabkan rahmat dari Allahlah kamu
berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati
kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu...”. Bagi seorang pemasar
harus berperilaku : sangat simpatik, bertutur kata yang manis, dan rendah hati, maka
semua orang yang pernah mengenalnya pasti memberikan kesan baik dan senang
bersahabat dengannya.

Menepati janji dan tidak curang.


51

Allah Swt berfirman, H”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu


menghianati Allah dan Rasulnya (Muhammad) dan (juga) jangalah kamu menghianati
amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedangkan kamu mengetahui”. Amanah
bermakna keinginan untuk memenuhi sesuai dengan ketentuan. Di dalam wasiat yang
sepuluh dari Surah Al-Anam (QS Al-An’am (6): 152) disebutkan, “Dan sempurnakanlah
takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak memikulkan beban kepada seseorang,
melainkan sekadar kesanggupannya.”. di dalam wasiat-wasiat kebijakan dalam Al-Isra
disebutkan, “Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah
dengan neraca yang benar. Itulah yang lebih utama bagimu dan lebih baik akibatnya”.

Terpercaya (Al-Amanah)

Amanah. Artinya dipercaya, bertanggung jawab, dan kredibel. Amanah juga


bermakna keinginan untuk memenuhi sesuatu sesuai dengan ketentuan. Rasulullah
bersabda, “bahwa Amanah akan menarik rezeki, dan sebaliknya khianat akan
mengakibatkan kefakiran”(HR Al-Dailami). Pebisnis atau pemasar yang baik adalah
yang mampu memelihara integritasnya, dan integritas yang terpelihara akan
menimbulkan kepercayaan (trust) bagi nasabah, mitra bisnis, dan bahkan semua
stakeholders dalam suatu bisnis.

Rasulullah bersabda, “Penjual dan pembeli masih mempunyai hak khiyar (hak
untuk memilih) sebelum keduanya berpisah. Jika keduanya berlaku jujur dan terus
terang, maka transaksi keduanya akan mendapat berkah. Jika keduanya berlaku dusta
dan menutup-nutupi, mungkin saja mereka berdua mendapat laba, tetapi jual beli mereka
kehilangan berkah”.
Beliau juga bersabda, “Sumpah palsu dapat melariskan dagangannya, tetapi
menghancurkan mata pencahariannya”.. ketidak jujuran adalah salah satu tanda sifat
52

orang munafik, selain jika bicara dia selalu berdusta; jika berjanji, dia selalu
mengingkari, dan jika dia diberi amanat, dia akan berkhianat”.

Cerdas (Fathanah)

Diartikan sebagai intelektual, kecerdikan atau kebijaksanaan. Pemimpin


perusahaan yang fhatanah artinya pemimpin yang memahami, mengerti, dan menghayati
secara mendalam segala hal yang menjadi tugas dan kewajibannya. Salah satu ciri orang
yang bertakwa adalah orang yang paling mampu mengoptimalkan potensi pikirnya.
Dalam Al-Quran, orang yang senantiasa mengoptimalkan potensi pikirnya biasa disebut
ulu al-albab, yaitu orang yang iman dan ilmunya berinteraksi secara seimbang (dynamic
equilibrium).
Allah Swt. Memberikan peringatan keras kepada orang-orang yang tidak
menggunakan akalnya, “Dan tidak seorangpun akan beriman kecuali dengan izin Allah;
dan Allah menimpakan kemurkaan kepada orang-orang yang tidak mempergunakan
akalnya” (QS Yunus (10): 100).
Dalam bisnis, implikasi ekonomi sifat fathanah adalah bahwa segala aktivitas
dalam manajemen suatu perusahaan harus dengan kecerdasan, dengan mengoptimalkan
semua potensi akal yang ada untuk mencapai tujuan.

Komunikatif (Tabliq)

Sifat Tabligh artinya komunikatif dan argumentatif. Yakni akan menyampaikan


dengan benar (berbobot) dan dengan tutur kata yang tepat (bi-al-hikmah). Jika
merupakan seorang pemimpin, ia harus mampu mengkomunikasikan visi dan misinya
dengan benar kepada karyawan dan stakeholder lainnya. Jika seorang pemasar, ia harus
mampu menyampaikan keunggulan-keunggulan produknya dengan jujur dan tidak
menipu pelanggannya. Ia harus menjadi komunikator yang baik.

Tidak Suka Berburuk Sangka (Su’uzh-zhann)


53

Saling menghormati satu sama lain merupakan ajaran nabi Muhammad Saw. Allah
Swt. Berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka.
Sesungguhnya prasangka itu dosa, dalam Firman lain-Nya dikatakan, “sesungguhnya
orang-orang yang senang menyebutkan kejelekan dikalangan orang-orang mukmin,
kelak akan mendapat siksaan yang pedih di dunia dan diakhirat, dan Allah mengetahui
sedang kamu tidak mengetahui”. Akan lebih mulia jika kita lebih menonjolkan
kelebihan-kelebihan saudaranya, rekan sekerjanya, perusahaannya, atau bahkan jika
perlu pesaingnya. Sebuah akhlak yang indah, justru akan menarik simpati pelanggan
maupun mitra bisnis.

Tidak suka menjelek-jelekan (Ghibah)

Penyakit hati yang lain, selain su’uzh-zhann, adalah Ghibah. Seperti firman Allah,
“Dan jangan sebagian dari kamu mengumpat sebagian yang lain”.
Biasanya kelemahan, kejelekan dan kekurangan ini dijakan senjata untuk
memenangkan pertarungan di pasar. Ghibah adalah keinginan untuk menghancurkan
orang, menodai harga diri, kemuliaan, dan kehormatan orang lain, sedangkan mereka itu
tidak ada dihadapannya. Itu menunjukkan kelicikan, sebab sama saja dengan menusuk
dari belakang (penghancuran karakter).
Ghibah adalah perbuatan sia-sia, dan membuang-buang waktu. Akan lebih baik
baginya menumpahkan seluruh waktunya untuk bekerja secara profesional,
menempatkan semua prospeknya sebagai sahabat yang baik, berbudi pekerti, dan
memiliki akhlaq karimah (akhlak yang mulia). Orang yang memiliki akhlak karimah
pasti disenangi semua orang, dan orang sering mengenangnya karena kebaikan
perilakunya. Disinilah muncul ‘kepercayaan (trust) yang menjadi salah satu kunci sukses
dalam bisnis.

Tidak melakukan sogok/suap (Risywah)

Dalam syariah, menyuap hukumnya haram, dan termasuk makan harta orang lain
dengan batil. Rasulullah dalam hadisnya berkata, “ melaknat penyuap, penerima suap,
54

dan yang menjadi perantaranya” (HR. Ahmad dan Hakim). Meluasnya penyuapan
dimasyarakat akan menyebabkan meluasnya kerusakan dan kealiman. Misalnya :
menetapkan hukum dengan jalan tidak benar, mengakhirkan orang yang seharusnya
didahulukan, serta meluasnya jiwa vested interest di dalam masyarakat yang sudah
kehilangan hati nurani dalam menjalankan hati nuraninya
Praktik-praktik perdagangan yang dilarang pada masa pemerintahan Rasulullah
saw. di madinah adalah berbagai praktik dari perdagangan yang mengandung unsur-
unsur penipuan, riba, judi, ketidakpastian, keragu-raguan, eksploitasi, pengambilan
untung yang berlebihan serta transaksi pasar gelap. Pada masa pemerintahan ini telah
dilakukan pula sejumlah standarisasi pada timbangan dan takaran.
Ada beberapa transaksi perdagangan yang dilarang oleh Rasulullah dalam keadaan
pasar normal yakni :
1. Tallaqqi rukban, yaitu mencegat pedagang yang membawa barang dari
tempat produksi sebelum sampai di pasar dengan tujuan untuk menghindari
ketidaktahuan penjual dari pedesaan akan harga yang berlaku di kota.
Rasulullah memerintahkan supplai barang hendaknya dibawa langsung ke
pasar sehingga penjual dan pembeli dapat mengambil manfaat dari adanya
harga yang alamiah. Mencegah masuknya pedagang ke pasar kota dapat
menimbulkan pasar yang tidak kompetitif.
2. Perdagangan yang menipu. Islam sangat menuntut suatu perdagangan yang
dilakukan secara jujur dan amanah. Rasulullah pernah bersabda : “Barang
siapa yang melakukan penipuan maka ia bukanlah dari golongan kami. (HR.
At-Tirmidzi).
Termasuk dalam kategori penipuan (tidak jujur) dalam perdagangan antara
lain adalah :
a. Gisyah, yaitu menyembunyikan cacat barang yang dijual, mencampurkan
barang-barang jelek ke dalam barang-barang yang berkualitas baik,
sehingga pembeli akan mengalami kesulitan untuk mengetahui secara
tepat kualitas dari suatu barang yang diperdagangkan. Dengan demikian,
penjual akan mendapatkan harga yang tinggi untuk kualitas barang yang
jelek.
55

b. Tathfif, yaitu tindakan pedagang mengurangi timbangan dan takaran


suatu barang yang dijual. Misalnya barang yang dibeli di toko
dinyatakan 1 kg, namun setelah ditimbang kembali di rumah ternyata
timbangan hanya 995 kg atau kurang dari 1kg.
Praktik semacam ini diancam Allah sebagaimana firman-Nya
dalam Al-Quran :
“kecelakaan besar bagi orang-orang yang curang, yaitu orang-orang
yang apabila menerima takaran dari orang lain minta dicukupi,
sebaliknya apabila menakar untuk orang lain dikuranginya. Tidaklah
mereka tahu bahwa sesungguhnya mereka akan dibangkitkan pada
suatu hari yang besar, yaitu saat semua manusia menghadap kepada
Tuhan alam semesta. (QS. Al-Muthaffifin (83); 1-6).
Praktik kecurangan dengan mengurangi timbangan dan
takaran pada hakekatnya telah merampas hak orang lain dalam
bentuk penipuan atas ketidak akuratan timbangan dan takaran, ini
dilarang dalam Al-Quran.
3. Perdagangan Najasy, yaitu pratek perdagangan dimana seseorang
berpura-pura sebagai pembeli yang menawar tinggi harga barang
dagangan disertai memuji-muji kualitas barang tersebut secara tidak
wajar, tujuannya adalah untuk menaikkan harga barang. Hal ini pernah
disampaikan oleh Rasulullah saw. Dalam sebuah hadisnya : “Janganlah
kamu sekalian melakukan penawaran barang tanpa bermaksud untuk
membeli”. (HR. At-Tirmidzi).
4. Menggunakan undian. Hal ini dilarang karena menggunakan sistem
undian sifatnya sama dengan berjudi. Undian yang dilarang adalah yang
dilakukan dengan menarik sejumlah uang untuk memperoleh kupon yang
akan diundi. Misalnya : undian dengan syarat membeli barang tertentu.
Hadiah ini diambil dari kenaikan harga produk yang dijual. Kecuali jika
hadiah itu merupakan penyisihan keuntungan. Demikian juga dengan
undian yang harus mengeluarkan biaya, misalnya sms berhadiah.
56

5. Menggunakan sumpah dalam berjualan. Nabi sangat membenci orang-


orang yang bersumpah palsu dalam berdagang. Beliau mengatakan, pada
hari kiamat nanti, Allah tidak akan berbicara, melihatpun tidak kepada
orang yang semasa hidupnya berdagang dengan menggunakan sumpah
palsu. Misalkan : berdusta dengan memberitakan produk dan pelayanan
yang tidak sesuai dengan kenyataan
6. Ijon. Membeli dengan cara ijon adalah membeli dengan meembayar di
muka untuk produk yang belum jelas hasilnya dengan harapan nanti saat
panen akan dapat untung besar. Misalnya : membeli tanaman yang belum
siap dipanen, membeli susu yang belum diperah.
7. Penjual menimbun barang dengan harapan pada suatu saat nanti
harganya akan naik dan ia mendapat untung besar.
8. Monopoli. Tujuannya adalah untuk mengeruk keuntungan pribadi
sebesar-besarnya tanpa memberi kesempatan kepada orang lain untuk
melakukan penjualan yang sama.
9. Menjual barang haram, seperti : bisnis miras, bangkai, babi, dan
patung-patung, majalah porno. Menjual produk-produk yang bermanfaat
sangat dianjurkan, tetapi , menjual produk-produk yang dapat
menghancurkan moral dan memalsukan kebenaran, penipuan terselubung,
harus dihindari.
10. Kerjasama tidak saling menguntungkan. Syarat agar kerjasama
dilanjutkan adalah : (1) ada kesepakatan bersama, (2) jangan sampai
keuntungan yang diperoleh satu pihak merupakan kerugian pihak lain.
Misalnya : riba, judi
11. Menyulitkan cara pembayaran. Kepada pelanggan yang tidak mampu
membayar kontan hendaknya diberi waktu untuk melunasinya. Disisi lain,
pelanggan yang berhutang harus segera melunasi hutangnya. Sabda
Rasulullah : “Sebaik-baik kamu adalah orang yang paling segera
membayar hutangnya.” (HR. Al-Hakim).
12. Menjual rahasia pelanggan. Misalnya bank bekerjasama dengan
produsen otomotif memberikan diskon khusus (seolah-olah yang
57

memberikan diskon pihak bank). Nasabah yang memiliki saldo tertentu


diberi penawaran produk otomotif tersebut.
13. Arisan dengan sistem lelang. Pemenang arisan adalah yang mengajukan
harga tertinggi.

2.4. Peran Kejujuran Dalam Membentuk Kepercayaan dan Loyalitas Pelanggan

Pemasaran didefenisikan sebagai, “sebuah proses sosial dan manajerial di mana


individu-indidu dan kelompok-kelompok mendapatkan apa yang mereka butuhkan dan
inginkan melalui penciptaan, penawaran, dan pertukaran produk-produk atau value
dengan pihak lainnya (stakeholdersnya)’.
Tujuan berbisnis berbasis syariah adalah mendapatkan keuntungan melalui
pemenuhan kebutuhan duniawi dan akherat melalui nilai (value) yang terbaik (nilai
materil maupun immateril). Untuk dapat mencapai hal ini, berbagai cara dapat dilakukan
antara lain, bisnis yang kita lakukan dapat memberikan manfaat dan membangun
hubungan jangka panjang buat orang lain, baik itu karyawan, pemilik perusahaan, dan
orang lain (stakeholder lainnya). Selain itu, hal yang terpenting adalah apa yang kita
kerjakan mendapatkan keberkahan dan keridhaan dari Allah.
Kejujuran dalam aktivitas perdagangan (pemasaran) merupakan kata kunci dalam
menjaga hubungan yang harmonis dan jangka panjang dengan pelanggan (loyalitas).
Keuntungan yang diperoleh dari melakukan praktik-praktik yang tidak jujur, sekalipun
mendapatkan keuntungan jangka pendek tetapi tidak membawa berkah dan akan
mematikan bisnis itu sendiri. Kejujuran merupakan syarat penting dalam berbisnis.
Pembohong itu dimurkai Allah, sebaliknya orang-orang yang jujur sangat dipuji dan
disanjung oleh Nya. Siapa saja yang berbisnis hendaknya selalu jujur, dan dapat
dipercaya untuk memegang amanah.

Kepercayaan merupakan suatu hal yang sangat penting bagi sebuah komitmen
atau janji. Keyakinan atau kepercayaan adalah faktor penting yang dapat mengatasi
krisis dan kesulitan antara rekan bisnis, selain itu juga merupakan aset penting dalam
58

mengembangkan hubungan jangka panjang antar organisasi. Suatu organisasi harus


mampu mengenali faktor-faktor yang dapat membentuk kepercayaan tersebut agar dapat
menciptakan, mengatur, memelihara, menyokong dan mempertinggi tingkat hubungan
dengan pelanggan (Saputro 2010 yang merujuk pada Zineldin, dkk.)
Menurut Worchel yang dirujuk oleh Lee dan Lau (1999) mendefinisikan trust
(kepercayaan) sebagai kesediaan (willingness) individu untuk menggantungkan diri pada
pihak lain dengan resiko tertentu. Aidin dan Ozer (2004) yang merujuk pada Anderson
dan Narus (1990) menekankan bahwa kepercayaan terjadi ketika salah satu pihak
percaya bahwa tindakan pihak lain akan menghasilkan hasil yang positif untuk dirinya
sendiri. Akibatnya, untuk kepercayaan merek, pelanggan akan merasakan kualitas
sebagai sesuatu yang positif.
Secara konsepsual, kepercayaan (trust) ada jika suatu pihak punya keyakinan
(confidence) terhadap integritas dan reliabilitas pihak lain (Morgan dan Hunt, 1994).
Menurut Baloglu (2002) dimensi kepercayaan didefinisikan sebagai dimensi hubungan
bisnis yang menentukan tingkat dimana orang merasa dapat bergantung pada integritas
janji yang ditawarkan oleh orang lain.
Kepercayaan (trust) adalah dasar dari stategic partnership, karena hubungan yang
dilandasi kepercayaan (trust) sangat dihargai, sehingga pihak – pihak yang
berkepentingan akan sangat ingin berkomitmen ke dalam hubungan seperti itu (Morgan
dan Hunt, 1994). Kepercayaan (trust) adalah satu penentu utama dalam relationship
commitment (Morgan dan Hunt, 1994), sedangkan disisi lain Bloemer et al., (1998)
menyatakan kepercayaan (trust) dan komitmen (commitment) merupakan mediator
antara kepuasan dan loyalitas.
Dalam proses terbentuknya kepercayaan, Catri et al., yang merujuk pada Doney
dan Canon (1997) menjelaskan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhinya
kepercayaan antara lain adalah, reputasi perusahaan, besar kecilnya perusahaan, saling
menyenangi, baik antara pelanggan dengan perusahaan maupun antara pelanggan dengan
pegawai perusahaan. Kepercayaan konsumen diyakini berperan dalam pembentukan
persepsi pelanggan dengan hubungan mereka dengan perusahaan. Menurut Barnes
(2003), beberapa elemen penting dari kepercayaan adalah:
59

1. Kepercayaan merupakan perkembangan dari pengalaman dan tindakan masa


lalu.
2. Watak yang diharapkan dari partner, seperti dapat dipercaya dan diandalkan.
3. Kepercayaan melibatkan kesediaan untuk menempatkan diri dalam risiko.
4. Kepercayaan melibatkan perasaan aman dan yakin pada diri partner.
Dari sudut pandang pemasaran, hal ini menyatakan bahwa perkembangan
kepercayaan khususnya keyakinan, seharusnya menjadi komponen fundamental dari
strategi pemasaran yang ditujukan untuk mengarah pada penciptaan hubungan pelanggan
sejati (pelanggan yang sangat loyal). Pelanggan harus bisa merasakan bahwa dia dapat
merasakan bahwa dia dapat mengandalkan perusahaan.
Morgan dan Hunt (1994) menjelaskan beberapa manfaat dari adanya kepercayaan,
antara lain :
1. Kepercayaan dapat mendorong pemasar untuk berusaha menjaga hubungan yang
terjalin dengan bekerjasama dengan rekan perdagangan.
2. Kepercayaan menolak pilihan jangka pendek dan lebih memilih keuntungan
jangka panjang yang diharapkan dengan mempertahankan rekan yang ada.
3. Kepercayaan dapat mendorong pemasar untuk memandang sikap yang
mendatangkan risiko besar dengan bijaksana karena percaya bahwa rekannya
tidak akan mengambil kesempatan yang dapat merugikan pemasar.
Untuk mengukur kepercayaan pelanggan Aydin dan Ozer (2005)
menggunakan 5 indikator yaitu :
1) Rasa percaya terhadap perusahaan.
2) Rasa percaya bahwa perusahaan dapat diandalkan untuk melayani dengan baik
3) Rasa percaya terhadap sistem pembayaran.
4) Rasa percaya bahwa perusahaan tidak berbuat curang pada pelanggan
5) Rasa percaya bahwa perusahaan dapat diandalkan terutama yang berkaitan
kepentingan pelanggan

Pengaruh Kualitas Produk Terhadap Kepercayaan


60

Kepercayaan dapat digunakan perusahaan sebagai alat untuk menjalin hubungan


jangka panjang dengan konsumen yang akan dilayani. Kepercayaan adalah suatu
kemauan atau keyakinan mitra bisnis untuk menjalin hubungan jangka panjang untuk
menghasilkan kerja yang positif.
Salah satu faktor yang mempengaruhi kepercayaan adalah kualitas kerja, dalam hal
ini kualitas pelayanan yang diberikan (Winahyuningsih yang merujuk pada Handono,
2004). Aydin dan Ozer (2004) , Chenet et al., (2008) juga menemukan bahwa kualitas
produk mempunyai pengaruh terhadap kepercayaan.
Kepercayaan ada ketika sebuah kelompok percaya pada sifat terpercaya dan
integritas mitra. Kepercayaan adalah ekspektasi yang dipegang oleh individu bahwa
ucapan seseorang dapat diandalkan. Oleh karena itu kelompok terpercaya perlu memiliki
integritas tinggi dan dapat dipercaya, yang diasosiasikan, dengan kualitas yaitu:
konsisten, kompeten, jujur, adil, bertanggungjawab, suka membantu dan baik (Morgan
dan Hunt, 2004).
Berdasarkan hal ini maka kepercayaan pelanggan akan tinggi jika perusahaan
dianggap memiliki integritas yang tinggi untuk memberikan produk atau pelayanan yang
berkualitas.
Jika tingkat kepercayaan tersebut dihubungkan dengan sikap dan perilaku maka
ada dua hal penting. Pertama, hal ini dapat mempengaruhi kekuatan hubungan di antara
sikap dan perilaku. Sikap yang dipegang dengan penuh kepercayaan biasanya akan jauh
lebih diandalkan untuk membimbing perilaku. Bila kepercayaan rendah, konsumen
mungkin tidak merasa nyaman dengan bertindak berdasarkan sikap mereka yang sudah
ada. Sebagai gantinya, mereka mungkin mencari informasi tambahan sebelum
mengikatkan diri mereka dengan perusahaan.
Kedua, kepercayaan dapat mempengaruhi kerentanan sikap terhadap perubahan.
Sikap menjadi lebih resistan terhadap perubahan bila dipegang dengan kepercayaan yang
lebih besar.

Pengaruh Kepercayaan Terhadap Loyalitas


61

Morgan dan Hunt (1994) menyatakan bahwa kepercayaan dan komitmen


merupakan perantara kunci dalam membangun loyalitas, sehingga dapat disimpulkan
bahwa kepercayaan mempunyai pengaruh terhadap loyalitas. Kepercayaan merupakan
variable kunci bagi kesuksesan relationship marketing (pemasaran hubungan). Variabel
ini memiliki dampak yang kuat pada keefektifan dan keefisienan relationship marketing.
Makin tinggi kepercayaan yang dibangun perusahaan terhadap pelanggan, maka semakin
tinggi terbentuknya relationship marketing (Didik et.al 2001). Dan diperkuat oleh teori
(Dwyer, Schurr,Oh, 1987: Dan kepercayaan ini telah memegang peran utama dalam
perkembangan teori marketing. Dengan kepercayaan dalam hubungan bisnis akan
mengurangi konflik dan meningkatkan kepuasan pelanggan-pelanggannya dan akhirnya
akan meningkatkan loyalitas.
Loyalitas konsumen, adalah merupakan efek akhir dari suatu pembelian, yang
diartikan sebagai suatu sikap dan niat untuk berperilaku di masa depan, dan
diekspresikan melalui hal-hal seperti: komitmen untuk membeli kepada perusahaan jika
membutuhkan produk lainnya; komitmen untuk memberikan rekomendasi dan mengajak
kepada orang lain; mengajak orang lain untuk membeli; niat untuk menambah jumlah
pembelian; niat atau keinginan untuk mencerikan hal-hal yang posisif tentang
perusahaan (Wouth Of Mouth); dan kesediaan untuk membayar mahal (beban biaya).
Pada saat seseorang mempercayai pihak lain dalam hubungan antar pribadi
(relationship), ia akan menggantungkan dirinya pada pihak lain tersebut dan selanjutnya
akan memunculkan niatnya untuk mempertahankan hubungan yang direpresentasikan
dalam bentuk kesetiaan membeli (loyalitas).
Trust merupakan pondasi dari bisnis, membangun kepercayaan dalam hubungan
jangka panjang dengan pelanggan adalah suatu fakor yang penting untuk menciptakan
loyalitas pelanggan. Suatu transaksi bisnis antara dua pihak atau lebih akan terjadi
apabila masing-masing saling mempercayai. Kepercayaan ini tidak begitu saja dapat
diakui oleh pihak lain/mitra bisnis, melainkan harus dibangun mulai dari awal dan dapat
dibuktikan. Trust telah dipertimbangkan sebagai katalis dalam berbagai transaksi antara
penjual dan pembeli agar kepuasan konsumen terwujud sesuai dengan yang diharapkan (
Yousafzai et al,.2003:117).
62

Kepercayaan adalah suatu keadaan yang terjadi ketika seoang mitra percaya atas
keandalan serta kejujuran mitranya.
Kepecayaan merupakan kunci dari relationship marketing karena mendorong pemasar
untuk :
 Bekerja dengan lebih menekankan investasi pada menjaga hubungan
kerjasama yang baik dengan mitra mereka.
 Menolak alternative jangka pendek yang menarik dengan lebih menekankan
pada manfaat jangka panjang dengan adanya hubungan yang baik dengan
konsumen.
 Melihat kegiatan yang beresiko tinggi dengan lebih bijaksana karena percaya
bahwa mitranya tidak akan bertindak secara opotunis.
Menurut Mayer et al, (1995:15) faktor yang membentuk kepercayaan seseorang
terhadap yang lain ada tiga yaitu kemampuan (ability), kebaikan hati (benevolence), dan
integritas (integrity). Ketiga faktor tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Kemampuan (Ability)
Kemampuan mengacu pada kompetensi dan karakteristik penjual/organsiasi
dalam mempengaruhi dan mengotorisasi wilayah yang spesifik. Dalam hal
ini, bagaimana penjual mampu menyediakan, melayani, sampai
mengamankan transaksi dari gangguan pihak lain. Artinya bahwa konsumen
memperolah jaminan kepuasan dan keamanan dari penjual dalam melakukan
transaksi. Kim et al. (2003) menyatakan bahwa ability meliputi kompetensi,
pengalaman, pengesahan institusional, dan kemampuan dalam hal ini
diartikan sebagai kredibilitas untuk memenuhi syarat-syarat pertukaran
dalam bentuk kinerja yang diharapkan. Nilai kredebilitas ini sangat
ditentukan oleh dalamnya pengalaman konsumen akan kemampuan merek
dalam memuaskan kebutuhan konsumen. Kompetensi (Competence)
perusahaan dan kompetensi salesperson, yang menjadi keunggulan bersaing
perusahaan dibanding perusahaan saingan : misalnya profesionalisme, desain
barang/jasa, cita rasa dari suatu produk, pelayanan unggul dan keunggulan
teknologi.
2. Integritas (integrity).
63

Integritas berkaitan dengan bagaimana perilaku atau kebiasaan menjual


dalam menjalankan bisnisnya. Informasi yang diberikan kepada konsumen
apakah benar sesuai dengan fakta atau tidak. Kualitas produk yang dijual
apakah dapat dipercaya atau tidak. Kim et al. (2003) mengemukakan bahwa
integrity dapat dilihat dari sudut kewajaran (fairness), pemenuhan
(fulfillment), kesetiaan (loyalty), keterus-terangan (honestly), keterkaitan
(dependability), dan kehandalan (reliability). Dependability, yaitu pelanggan
mengantungkan harapan dan kepercayaannya pada janji yang disampaikan
perusahaan melalui pesan iklan dan personal selling kepada pelanggan.
Semakin tinggi pelanggan mengantungkan harapannya kepada perusahaan
untuk mendapatkan nilai yang diharapkan berarti pelanggan mempercayai
perusahaan. Demikian pula semakin tinggi pelanggan dapat menggantungkan
harapannya pada salesperson terhadap perwujudan janji perusahaan berarti
pelanggan mempercayai salesperson. Honest yaitu kejujuran yang melekat
pada personil perusahaan kejujuran dalam konteks perusahaan adalah
kejujuran yang melekat pada manusianya dalam memnberikan informasi dan
pelayanannya yang dibutuhkan para pelanggan.
Integritas merupakan motivasi konsumen untuk setia pada merek atau
produk sesuai dengan syarat-syarat dalam pertukaran.
3. Kebaikan hati (Benevolence) dan Menyenangkan (likable)
Kebaikan hati merupakan kemampuan penjual dalam memberikan kepuasan
yang saling menguntungkan antara dirinya dengan konsumen. Profit yang
diperoleh penjual dapat dimaksimumkan, tetapi kepuasan konsumen juga
harus tinggi. Penjual tidak hanya maksimum keuntungan semata, melainkan
juga harus memiliki perhatian yang besar dalam mewujudkan kepuasan
konsumen. Menurut Kim et al (2003), benevolence meliputi perhatian,
empaty, keyakinan, dan daya terima. Selain itu juga harus likable
(menyenangkan) yaitu sifat personil perusahaan dan salesperson yang
menyenangkan pelanggan karena sopan berbicara, ramah, berbusana rapi dan
sifat suka membantu, memecahkan masalah atau komplain pelanggan yang
berkaitan dengan produk/jasa yang telah dibeli.
64

2.5. Mengenal Loyalitas Pelanggan

Tingkatan Loyalitas pelanggan


Loyalitas pelanggan dapat didefinisikan menjadi dua hal yang berbeda. Pertama
loyalitas didefiniskan sebagai attitude (sikap atau perasaan). Perbedaan perasaan
(feeling) dapat membentuk kecenderungan seseorang atas sebuah produk, jasa atau
perusahaan. Perasaan (feeling) disini dapat didefinisikan sebagai derajat loyalitas
individu. Kedua, loyalitas didefinisikan sebagai perilaku (behavior) yaitu semua
aktivitas konsumen atau pelanggan yang berhubungan dengan produk atau perusahaan.
Contoh dari loyalitas perilaku adalah membeli secara berkelanjutan untuk membeli jasa
dari penyedia yang sama, meningkatkan tingkat hubungan dengan perusahaan dan
merekomendasikan kepada orang (saurada, keluarga lainnya, teman-teman dan rekan-
rekannya) atau disebut positive word of mouth (Hallowell, 1996:28), Olson (1993);
Oliver (1997); Zeithaml (2006:270); Lovelock (2007).
Berdasarkan definisi di atas dapat dikatakan bahwa loyalitas lebih ditujukan
kepada suatu perilaku, yang ditunjukkan dengan pembelian rutin, menolak tawaran
produk lain dan merekomendasikan hal-hal yang positif tentang perusahaan kepada
pihak lain yaitu melalui promosi dari mulut ke mulut (WOM).
Loyalitas secara umum dapat diartikan sebagai kesetiaan seseorang atas suatu
produk, baik barang maupun jasa tertentu, kesetiaan terhadap merek, atau kesetiaan
kepada toko.
Selanjutnya loyalitas berkembang mengikuti tiga tahap, yakni kognitif, afektif dan
konatif. Konsumen akan loyal lebih dulu dari aspek kognitifnya, kemudian pada aspek
afektif dan akhirnya pada aspek konatif ( Dharmmesta, 1999 yang merujuk Oskamp,
1991). Komponen kognitif berkaitan dengan proses pembelajaran konsumen, sedangkan
afektif berkaitan dengan sikap dan konatif berkaitan dengan perilaku. Hal ini berarti
sebelum mencapai aspek konaktif, konsumen harus melewati terlebih dahulu aspek
kognitif dan afektif.
65

Dharmmesta (1999) dan Oliver (1999) mengemukakan empat tahap loyalitas


sebagai berikut :
1. Tahap pertama : Loyalitas kognitif
Pada tahap ini, konsumen akan menggunakan basis informasi yang secara
memaksa menunjuk pada satu merek atas merek lainnya. Jadi, loyalitasnya
hanya didasarkan pada kognisi saja. Karena loyalitas ini hanya didasarkan atas
kognisi saja, maka loyalitas ini tidak cukup kuat untuk membuat konsumen
tetap loyal.
2. Tahap kedua : Loyalitas Afektif
Pada tahap ini, loyalitas konsumen didasarkan pada aspek afektif konsumen.
Sikap merupakan fungsi dari kognisi (pengharapan) pada periode awal
pembelian (masa pra konsumsi) dan merupakan fungsi dari sikap sebelumnya
plus kepuasan di periode berikutnya (masa pasca konsumsi). Loyalitas afektif
muncul akibat dorongan faktor kepuasan. Tetapi, kepuasan belum menjamin
adanya loyalitas, karena kepuasan konsumen berkorelasi tinggi dengan niat
membeli ulang di masa mendatang. Niat, bahkan pembelian ulang belum
menunjukkan loyalitas, hanya dapat dianggap tanda awal munculnya loyalitas.
Loyalitas pada tahap ini jauh lebih sulit dirubah, karena loyalitasnya sudah
masuk ke dalam benak konsumen sebagai afek dan bukan sebagai kognisi yang
mudah berubah. Afek memiliki sifat yang tidak mudah berubah karena sudah
terpadu dengan kognisi dan evaluasi konsumen secara keseluruhan tentang
suatu merek.
3. Tahap ketiga : Loyalitas Konaktif
Konaktif menunjukkan suatu niat atau komitmen untuk melakukan sesuatu ke
arah suatu tujuan tertentu. Oleh karena itu, loyalitas konaktif merupakan suatu
kondisi loyal yang mencakup komitmen mendalam untuk melakukan
pembelian. Komitmen seperti ini sudah melampaui afek. Afek hanya
menunjukkan kecenderungan motivasional, sedangkan komitmen melakukan
menunjukkan suatu keinginan untuk menjalankan tindakan.
4. Tahap keempat : Loyalitas Tindakan
66

Aspek konaktif atau niat melakukan adalah kondisi yang mengarah pada
kesiapan bertindak dan pada keinginan mengatasi hambatan untuk mencapai
tindakan tersebut. Artinya, tindakan merupakan hasil pertemuan dua kondisi
tersebut. Dengan kata lain, tindakan mendatang sangat didukung oleh
pengalaman mencapai sesuatu dan penyelesaian hambatan. Hal ini
menunjukkan bagaimana loyalitas itu dapat menjadi kenyataan ; loyalitas
kognitif ----- loyalitas afektif ----- loyalitas konaktif ----- loyalitas tindakan
(loyalitas yang ditopang dengan komitmen dan tindakan).
Sementara itu, Menurut Backman and Crompton 1991, dalam Baloglu (2002)
memberikan penjelasan bahwa loyalitas mencakup dua komponen penting, yaitu
loyalitas sebagai perilaku (behavior) dan loyalitas sebagai sikap (attitude). Kombinasi
kedua komponen itu menghasilkan empat situasi kemungkinan (tipologi) loyalitas,
yakni, true loyalty, latent loyalty, spurious loyalty, dan low loyalty yaitu :
1. Loyalitas yang tinggi atau sebenarnya (High or true loyalty) yaitu pelanggan
yang memiliki sikap menyukai yang kuat dan pembeli ulang yang tinggi.
Mereka merupakan langganan perusahaan atau merek perusahaan dan mereka
kurang terpengaruh oleh penawaran pesaing.
2. Loyalitas tersembunyi (latent loyalty) adalah bentuk loyalitas yang lebih
rendah, meskipun mereka memegang kuat komitmen terhadap perusahaan.
Penyebab dari kurangnya loyalitas ini adalah karena keterbatasan sumberdaya
untuk meningkatkan loyalitas (pembelian) mereka atau karena harga,
aksesibilitas, atau strategi distribusi yang tidak dapat menjangkau mereka
untuk membeli ulang.
3. Loyalitas semu (spurious loyalty) adalah pelanggan yang melakukan
pembelian secara berkala, meskipun mereka secara emosional bukan
pelanggan merek. (mereka mungkin tidak suka kepada merek tapi mereka
tetap membeli produk atau jasa itu). Pelanggan dengan tipe ini dapat terjadi
karena kebiasaan pembelian (habitual buying), karena potongan harga
(financial incentive), kemudahan (convenience), atau karena tidak ada
alternative lain, serta sering dihubungkan dengan situasi pelanggan
individual.
67

4. Loyalitas rendah (low loyalty) ditunjukkan dengan rendahnya sikap


berlangganan dan pembelian ulang. Tipe loyalitas pelanggan yang low dan
semu lebih mudah berubah dan kena bujukan untuk beralih kepada pesaing.
Menurut Hill (1996) dalam Hurriyati ((2005:132), loyalitas pelanggan dibagi
menjadi enam tahapan atau tingkatan : yaitu suspect, prospect, customer, clients,
advocates dan partners. Tingkatan ini merupakan tahapan dari konsumen (pelanggan)
dalam kaitannya dengan perilaku pembeliannya. Tahapan-tahapan tersebut dijelaskan
sebagai berikut :
1. Suspect
Meliputi semua orang yang diyakini akan membeli (membutuhkan)
barang/jasa, tetapi belum memiliki informasi tentang barang/jasa perusahaan
2. Prospect
Adalah orang-orang yang memiliki kebutuhan akan barang/jasa tertentu dan
,mempunyai kemampuan untuk membelinya. Pada tahap ini, meskipun
mereka belum melakukan pembelian tetapi telah mengetahui keberadaan
perusahaan dan jasa yang ditawarkan melalui rekomendasi pihak lain (word
of mouth).
3. Customer
Pada tahap ini, pelanggan sudah melakukan hubungan transaksi dengan
perusahaan, tetapi tidak mempunyai perasaan positif terhadap perusahaan,
loyalitas pada tahap ini belum terlihat.
4. Clients
Meliputi semua pelanggan yang telah membeli barang/jasa yang dibutuhkan
dan ditawarkan perusahaan secara teratur, hubungan ini berlangsung lama.
5. Advocates
Pada tahap ini, clients secara aktif mendukung perusahaan dengan
memberikan rekomendasi kepada orang lain agar mau membeli barang/jasa
di perusahaan tersebut.
6. Partners
68

Pada tahap ini telah terjadi hubungan yang kuat dan saling menguntungkan
antara perusahaan dengan pelanggan, pada tahap ini pula pelanggan berani
menolak produk/jasa dari perusahaan lain.
Setiap perusahaan menginginkan pelanggannya sebagai pelanggan yang loyal
secara tindakan atau yang benar-benar loyal (true loyalty) ataupun sebagai advocades
dan juga sebagai partners dalam bisnis, karena jika pelanggan sudah menjadi advocates
dan partner maka hubungan (relationship) diantara mereka sudah menjadi hubungan
yang saling menguntungkan. Menjaga Hubungan yang baik dengan pelanggan
merupakan salah satu strategi perusahaan dan jauh lebih efektif dan efisien dibanding
dengan kegitan pemasaran lainnya dalam meningkatkan penjualan. Karena mencari
pelanggan baru lebih mahal lima kali pipat dibandikan dengan mempertahankan
pelanggan yang sudah ada. Untuk itu perusahaan di tuntut lebih memperhatikan
hubungan didalam berbisnis seiring dengan terus berubahnya kondisi bisnis saat ini dan
yang akan datang.
Berdasarkan hal tersebut maka konsumen yang loyal merupakan aset tak ternilai
bagi perusahaan. Beberapa karakteristik dari konsumen yang loyal yang juga
merupakan indikator loyalitas pelanggan adalah :
1) Niat untuk membeli kembali
2) Menunjukkan kekebalan terhadap produk pesaing (retention)
3) Melakukan pembelian ulang secara teratur (repeat purchase)
4) Membeli di luar lini produk/jasa (purchaseacross product lines)
5) Mengajak orang lain (referrals)
6) Merekomendasikan hal-hal yang positif tentang perusahaan kepada pihak
lain yaitu melalui promosi dari mulut ke mulut (WOM).
7) Menolak tawaran dari produk lain/pesaing
Loyalitas merupakan manifestasi dan kelanjutan dari kepuasan konsumen
terhadap produk atau jasa yang dibeli, kepuasan atas penggunaan fasilitas maupun
pelayanan yang diberikan oleh perusahaan. Loyalitas merupakan bukti konsumen akan
selalu menjadi pelanggan dan memiliki kekuatan dan sikap positif terhadap perusahaan
itu.
69

Tingkatan kepuasan konsumen yang tinggi yang akan menghasilkan loyalitas


yang tinggi pula (true loyalty) kepada perusahaan. Tingkat kepuasan yang tinggi disebut
”customer delight” (Schlossberg, dalam Oliver, et al., 1997), customer delight
diperkirakan akan menjadi kunci untuk mendapatkan customer loyalty, dan customer
loyalty merupakan penggerak laba bagi perusahaan. Para eksekutif dari perusahaan-
perusahaan ternama yang bergerak dalam bidang jasa menegaskan bahwa tidak cukup
untuk sekedar memberikan kepuasan bagi pelanggan, dan adalah suatu prioritas untuk
menggerakkan customer satisfaction menjadi customer delight. Terdapat beberapa data
yang menyatakan korelasi yang rendah antara customer satisfaction dan loyalitas
(Reichheld dalam Oliver, et al., 1997).
Finn (2005) mengatakan ”Customer delight is conceptualized as an emotional
response, which results from surprising and positive levels of performance.” Sementara,
Chandler dalam Oliver, et al. (1997) melihat customer delight sebagai sesuatu yang
secara fundamental berbeda dari customer satisfaction, customer delight berfokus pada
apa yang saat ini tidak diketahui atau tidak diduga oleh pelanggan. Sementara eksekutif
dari Knoll Group mengatakan ”Customer delight...is a strong, positive, emotional
reaction to a product or service. The key word is emotion” (Schlossberg dalam Oliver, et
al., 1997). Ini berarti bahwa delight tekait respon emosi yang sangat positif dari
konsumen ketika mengkonsumsi produk barang atau jasa. Delight terjadi ketika
memperoleh sesuatu yang tidak terduga. Konsumen yang delight merupakan aset penting
bagi perusahaan. Peran mereka lebih besar dari sekedar melakukan pembelian produk,
karena mereka juga menyebarkan positive word-of-mouth tentang perusahaan.
Tiga dimensi yang dapat mendorong terciptanya delight yaitu justice, esteem,
dan finishing touch yang mengacu pada penelitian Kwong dan Yau dan dimodifikasi
dalam penelitian yang dilakukan Raharso (2005).
Justice, adalah suatu kondisi dimana konsumen merasa mendapatkan perlakuan
yang adil dan jujur ketika melakukan transaksi dengan perusahaan.
Edwards (2002) menyatakan bahwa perlakuan adil (fairness) berpotensi
menimbulkan delight. Keiningham, et al. (2004) menyatakan bahwa konsumen butuh
untuk merasa diperhatikan, dan mendapatkan informasi yang mereka butuhkan secara
akurat.
70

Esteem, adalah suatu kondisi dimana konsumen merasa mendapatkan pelayanan


yang sangat baik dari perusahaan, sehingga menimbulkan perasaan ”diistimewakan”.
Edwards (2002) menyatakan bahwa customer yang merasa diperlakukan secara personal
(closeness), diperhatikan self-esteem mereka, dan merasa nyaman (enjoyment, fun,
pleasure), berpotensi menimbulkan delight.
Finishing Touch, merupakan kondisi dimana konsumen merasa mendapatkan
pelayanan atau fasilitas yang tidak pernah ia duga sebelumya, teori ini dirujuk dari
penelitian oleh Oliver, et al. (1997) dimana surpised merupakan salah satu faktor
penting dalam delight. Edwards (2002) menyatakan bahwa konsumen perlu untuk
mendapatkan rasa percaya (trust) dan merasa aman (safety).
Konsep pengembangan bisnis dewasa ini diarahkan untuk menciptakan dan
mempertahankan loyalitas pelanggan. “Alasan yang mendasar adalah pelanggan yang
loyal dapat meningkatkan daya saing perusahaan dan profitabilitas yang dicapai
perusahaan, disisi lain pelanggan merasa terjamin atas risiko kualitas barang/jasa dan
pengadaan barang tersebut serta mengurangi biaya pencarian barang/jasa yang
dibutuhkan” (Kennedy et al., 2001).

Pilar Mempertahankan Loyalitas Pelanggan

Untuk dapat mempertahankan loyalitas pelanggan, ada tiga pilar yang harus
dilakukan yaitu :
1. Memberikan value yang lebih tinggi kepada pelanggan (baik yang bersifat
materiil maupun immateriil)
2. Menjaga kepercayaan melalui brand (merek) dan kualitas.
3. Memelihara, membina dan mengembangkan hubungan baik dengan
pelanggan melalui program “Relationship Marketing”.

Value
71

Value adalah persepsi nilai yang dimiliki oleh pelanggan berdasarkan apa
manfaat (benefit) yang di dapat dan apa yang dikorbankan dalam melakukan transaksi.
Semakin besar perolehan nilai yang didapatkan seseorang dibandingkan dengan
pengorbanan yang dilakukan maka akan semakin besar kepuasan yang didapatnya dan
semakin tinggi “value” yang didapat dari transaksi tersebut.
Dalam proses transaksi manfaat (benefit) yang di peroleh terdiri dari dua bagian
yakni yang bersifat materil ( atribut produk, kualitas produk, ragam pilihan produk,
pelayanan yang ramah, dll) dan immateril (kejujuran penjual, keadilan, kebaikan, dll).
Di sisi lain yang termasuk pengorbanan adalah variabel harga, waktu yang terbuang,
biaya-biaya lainnya). Semakin besar selisih antara benefit dengan pengorbanan maka
akan semakin tinggi nilai dari transaksi itu. Semakin tinggi nilai yang diperoleh maka
semakin tinggi pula kepuasan pelanggan.
Agar dapat memberikan kepuasan yang tinggi (delight), perhatian dan
kebahagiaan kepada pelanggan, maka penjual profesional perlu memahami karakteristik,
kebutuhan dan harapan pelanggannya dan berusaha menyesuaikan diri dengan
kebutuhan dan harapan tersebut.
Penjual yang berhasil harus mampu menciptakan kesan profesional bagi para
pelanggannya. Kesan profesional ini dapat ditimbulkan dengan selalu melakukan
“SIFAT”, yaitu Siddiq, Istiqomah, Fathonal, Amanah, dan tabliq. Semuanya harus
tercermin dalam segala sikap dan perilaku penjual, sehingga siapapun yang berhubungan
dengannya akan merasa nyaman. Kondisi ini dapat langsung dirasakan karena pelanggan
akan menikmati pelayanan yang luar biasa.
Cerminan sikap profesional tersebut dapat dirasakan langsung oleh kelima indera
pelanggan yaitu : Indera Penglihatan. Penjual mampu memberikan penampilan yang
baik, bersih, sopan, sesuai dengan profesinya. Indera Pendengaran. Penjual mampu
menyampaikan nada bicara yang sopan, sistematis, dan ramah. Indera Perasaan. Penjual
mampu menciptakan hubungan yang dekat, jujur, hangat, ceria, dan gembira (humoris).
Indera Penciuman dan Indera Pengecap. Penjual mampu memberikan bukti fisik yang
menyenangkan, seperti keharuman dan kesegaran. Seandainya produk yang dijual dapat
dikonsumsi, penjual memberikan kesempatan pada pelanggan untuk merasakan produk
tersebut dengan memberikan contoh atau tes produk.
72

Brand.

Brand atau merek adalah identitas sebuah produk (barang atau jasa). Tanpa brand,
sebuah produk akan masuk dalam kategori komoditas. Brand merupakan aset
perusahaan yang tidak terlihat. Fungsi brand sebagai alat untuk mengedentifikasi produk
dan sebagai alat untuk memenangkan persaingan. Kebijakan branding yang didukung
oleh kebijakan marketing mix secara persuasif ditujukan untuk memenangkan share of
mind di benak target pasar. Secara skematis dapat dilihat pada Gambar 2.1.

Diagram 2.1 Pilar Loyalitas Pelanggan

Value Brand

Loyalitas
Pelanggan

Relationship Marketing

Relationship Marketing

Persaingan yang sangat keras saat ini, memberikan rekomendari kepada


perusahaan bahwa loyalitas pelanggan tidak bisa diperoleh hanya dengan mengandalkan
value dan brand saja. Loyalitas pelanggan harus dibangun dengan usaha yang keras
dalam bentuk personalisasi, customise marketing program (one-to-one marketing). Oleh
karena itu, untuk menjamin terjadinya repetition purchase dari pelanggan yang sama
maka program relationship marketing harus di gunakan. Seperti yang dikatakan oleh
Kotler dan Keller (2006:17-18); (Schiffman dan Kanuk, 2004:578), bahwa relationship
marketing dalam artian lebih luas yang memiliki tujuan membangun hubungan jangka
panjang yang saling menguntungkan dengan pihak-pihak inti – pelanggan, pemasok,
73

distributor, dan rekan pemasaran lainnya – guna mengembangkan dan mempertahankan


bisnis.
Penekanannya adalah pada membangun ikatan jangka panjang dengan pelanggan,
dengan membuat mereka merasa bahwa perusahaan berinteraksi dengan mereka dengan
baik dan dengan memberikan pelanggan hubungan personal terhadap perusahaan. Hal ini
didukung oleh Christopher, et al (2002:5) yang menyatakan bahwa memaksimalkan
lifetime value pelanggan adalah tujuan fundamental dari relationship marketing. Varey
(2002:47) juga menjelaskan tujuan dari relationship marketing ialah untuk
mengakumulasikan kepuasan dari transaksi dan jasa yang didapat pelanggan, yang
mengarah pada partisipasi aktif berdasarkan pada pengungkapan mutual dan
kepercayaan.
Pelaksanaan konsep Relationship Marketing secara tepat akan mengarah kepada
terciptanya nilai kepuasan bagi konsumen.
Pendekatan yang dilakukan dalam bentuk relationship ini lebih disukai konsumen
karena dengan relationship, proses pembelian dan memperoleh informasi dapat lebih
mudah, resiko dapat dikurangi serta mereka akan memperoleh kenyamanan psikologis
(Priluck dalam Afiandi 2009:3). Roger Bennet dan Anna Barkensjo dalam Afiandi
(2009:3), juga menemukan bahwa relationship marketing merupakan senjata yang
ampuh untuk meningkatkan relationship quality dan berguna dalam peningkatan
kepuasan terhadap pelayanan produk dan jasa yang diberikan.
Penerapan konsep pemasaran hubungan (relationship marketing) memberikan
beberapa manfaat kepada perusahaan dan pelanggan. Manfaat yang diperoleh pelanggan
adalah “Confidence benefits , social benefit and special treatment benefits” (Zeithaml
and Bitner, 2004). Confidence benefits merupakan manfaat berupa kepercayaan
pelanggan terhadap perusahaan karena mengurangi ketidakpastian mengenai kinerja
produk atau kinerja perusahaan yang akan diterima serta mengurangi biaya pencarian
setiap waktu membutuhkan produk yang bersangkutan. Social benefits berkaitan dengan
familieritas dan relasi sosial antara pelanggan dan penyedia jasa, misalnya pelanggan
dan penyedia bisa menjadi sahabat karib, antara perusahaan dengan pelanggan terjadi
hubungan kekeluargaan, Special treatment benefits berwujud harga khusus, penawaran
spesial dan perlakukan istimewa kepada pelanggan.
74

Relationship marketing adalah konsep yang dinamis. Perilaku pelanggan, yang


merupakan komponen utama untuk menentukan arah kebijakan relationship marketing,
dari waktu ke waktu berubah. Pemahaman terhadap pertanyaan,” siapa sebenarnya
pelanggan kita?, apa yang mereka inginkan?, apakah keinginan mereka sudah
terpenuhi?, apakah pemenuhan keinginan itu telah sesuai dengan harapannya?
Merupakan panduan yang bermanfaat untuk menyusun kebijakan yang berhubungan
dengan relationship marketing.
Untuk dapat mewujudkan hal tersebut maka berikut ini akan dijelaskan tentang
tipe, kebutuhan dan harapan dari konsumen.
Untuk dapat melakukan hal ini maka penjual harus dapat mengenali tipe-tipe
konsumennya.
Ada enam tipe konsumen yang harus dipelajari agar penjual dapat memahami
karakteristik, kebutuhan, keinginan, dan harapan mereka, serta dapat berkomunikasi
dengan baik. Keenam tipe konsumen tersebut adalah :
a. Tipe konsumen pendiam : dalam menghadapi tipe ini, penjual harus lebih
banyak bicara dan mulai pembicaraan yang ringan (jangan langsung ke
penjualan).
b. Tipe konsumen cerewet. Cara menghadapinya, penjual harus lebih banyak
mendengarkan. Ikuti terus alur pembicaraan sampai tahap tertentu, belokkan
alur pembicaraan dengan santun sesuai keinginan penjual.
c. Tipe konsumen Arogan (sulit menerim pendapat orang lain) cara menghadapi
tipe ini adalah dengan :
- Biarkanlah pelanggan memahami produk kita sesuai keinginannya
(misalnya melalui brosur atau meliha produk secara langsung)
- Jangan mengganggu pelanggan tersebut
- Bertanyalah : “apakah anda sudah jelas mengenai produk kami?”
- Pujilah pelanggan dengan sopan dan proporsional.
d. Tipe konsumen sombong (terlalu bangga diri, suka pamer, dan banyak bicara).
Cara menghadapi tipe ini adalah :
- Tipe ini paling mudah dipengaruhi
- Biarkan pelanggan berbicara sesuka hati
75

- Beri kesan bahw anda menyetujui pendapatnya.


- Pujilah apa yang ia banggakan
- Rayulah pelanggan yang menggunakan produk kita berdasarkan
pembicaraan mereka sendiri (contoh : hebat sekali, barang-barang yang
anda beli harganya mahal sekali. Pasti selera anda sesuai dengan produk
kami yang berkualitas tinggi).
e. Tipe konsumen kikir (selalu menganalisis secara detail). Cara menghadapi
tipe konsumen ini adalah :
- Siapkan data selengkap mungkin
- Berikan hitungan-hitungan setiap produk secara lengkap dan detail.
- Sampaikan manfaat dan fungsi setiap produk.
f. Tipe konsumen pembanding (menguasai produk kita dan produk pesaing).
Cara menghadapinya adalah :
- Kuasai seluk-beluk produk semaksimal mungkin.
- Pelajari produk-produk pesaing yang sejenis.
- Kuasai ilmu komunikasi dan presentasi agar mampu meyakinkan mereka.
- Jangan pernah masuk ke dalam jebakan membanding-bandingkan produk
secara membabi buta.

Selain mengetahui tipe konsumen, pemasar juga perlu mengetahui apa kebutuhan
dan keinginan (harapan) dari pelanggannya.
Menurut Al-Syathibi dalam Muflih (66), 2006), kebutuhan manusia untuk
hidup di dunia menurut Islam terdiri dari tiga jenjang yaitu :
1. Dharuriyat (esensial), yang mencakup :
a. Agama (din) meliputi lima rukun Islam yaitu : syahadat, shalat,
puasa, zakat, dan haji. Lima rukun ini yang mendasari identitas
keberagamaan dan ketakwaannya kepada Allah yang harus
dijalankan dengan sempurna.
b. Kehidupan (nafs) meliputi kebutuhan keamanan, nyaman, sehat,
terpenuhinya hak-haknya, dan tentram. Ada dua kunci terbangunnya
nafs yaitu, kesadaran terhadap diri sendiri (internal) dan kesadaran
76

terhadap lingkungan (eksternal). Keduanya dibangun oleh kesadaran,


kemauan, dan disiplin yang kuat.
c. Pendidikan (‘aql), yakni pendidikan seumur hidup (long life
education) sebagai mana hadis Nabi Muhammad Saw, “Tuntutlah
ilmu sejak kamu lahir hingga ke liang lahat”. Sasarannya adalah
terbentuknya manusia yang cerdas dan kreatif.
d. Keturunan (nasl), yakni manusia perlu berumah tangga, dan
membentuk keluarga yang sakinah.
e. Harta (mal) meluputi kebutuhan sandang, pangan, dan papan
Kelima jenis kebutuhan ini merupakan satu kesatuan yang tidak
dapat dipisahkan. Bila ada satu jenis yang tidak terpenuhi maka akan
menimbulkan ketimpangan. Manusia hanya dapat melangsungkan
hidupnya dengan baik jika ke lima macam kebutuhan itu terpenuhi
dengan baik (Murasa Sarkaniputra,(11), 2002)
2. Hajiyat. Jenjang ini merupakan pelengkap yang mengokohkan,
menguatkan, dan melindungi jenjang dharuriyat (wajib),
3. Tahsiniyat. Jenjang ini merupakan penambah bentuk kesenangan dan
keindahan dharuriyat dan hajiyat.
Penjabaran dari kebutuhan manusia tersebut secara nyata jika dilihat dari kebutuhan
hidupnya maka akan di contohkan dalam pembahasan berikut ini.
Untuk menciptakan kepuasan pelanggan, suatu perusahaan harus dapat memenuhi
kebutuhan-kebutuhan konsumen yang dianggap paling penting yang disebut "The Big Eight
factors" yang secara umum dibagi menjadi tiga kategori sebagai berikut (Hannah and Karp,
1991 dalam Samsudin 2010:25):
1. Faktor-faktor yang berhubungan dengan produk :
a. Kualitas produk
Yaitu merupakan mutu dari semua komponen-komponen yang membentuk produk,
sehingga produk tersebut mempunyai nilai tambah. Nilai tambah disini termasuk
didalam yang bersifat materiil dan nonmateriil (spiritual)
b. Hubungan antara nilai sampai pada harga
Merupakan hubungan antara harga dan nilai produk yang ditentukan oleh perbedaan
antara nilai yang diterima oleh pelanggan dengan harga yang dibayar oleh
pelanggan terhadap suatu produk yang dihasilkan.
77

c. Bentuk produk/jasa
Bentuk produk merupakan komponen-komponen fisik dari suatu produk yang
menghasilkan suatu manfaat.
d. Keandalan
Merupakan kemampuan dari suatu perusahaan untuk menghasilkan produk sesuai
dengan apa yang dijanjikan oleh perusahaan.
2. Faktor-faktor yang berhubungan dengan pelayanan:
a. Jaminan
Merupakan suatu jaminan yang ditawarkan oleh perusahaan untuk pengembalian
harga pembelian atau mengadakan perbaikan terhadap produk yang rusak setelah
pembelian.
b. Respon dan cara pemecahan masalah
Response to and Remedy of Problems merupakan sikap dari karyawan dalam
menanggapi keluhan serta masalah yang dihadapi oleh pelanggan.
3. Faktor-faktor yang berhubungan dengan pembelian:
a. Pengalaman karyawan
Merupakan semua hubungan antara pelanggan dengan karyawan perusahaan
khususnya dalam hal komunikasi yang berhubungan dengan pembelian
b. Kemudahan dan kenyamanan
Convenience of acquisition merupakan segala kemudahan dan kenyamanan yang
diberikan oleh perusahaan terhadap produk yang dihasilkannya.
Selain dari kebutuhan manusia tersebut, terdapat pula harapan yang diinginkan
oleh seorang konsumen atau pelangan. Seperti tercermin pada falsafah bisnis jasa
pelayanan yaitu ”pelanggan membeli manfaat produk ataupun pelayanan atau disebut
nilai (value materil maupun immateril) dari sebuah produk atau jasa, bukan membeli
produk”. Kalau produk sesuai dengan apa yang diharapkan atau pelayanan yang
diberikan baik, ramah, penuh perhatian dan dapat memenuhi kebutuhan pelanggan pada
saat mereka datang dan melihat, maka dari melihat kemudian mereka mencoba,
meneliti, sampai akhirnya memutuskan untuk membeli.
Harapan-harapan tersebut antara lain adalah :
a. Setiap pelanggan mengharapkan pelayanan yang baik.
b. Pelanggan mempunyai hak akan informasi yang jujur dan benar tentang produk
yang akan dibelinya.
78

c. Pelanggan mengharapkan pelayanan purna jual (after sales service) atau pelayanan
setelah penjualan. Misalnya:
1) ada garansi perawatan
2) Apabila barang rusak/cacat, boleh dikembalikan atau ditukar
d. Pelanggan mengharapkan potongan harga atas barang yang dibelinya.
e. Pelanggan mengharapkan kelayakan harga atas barang yang dibelinya, dll.
Pada dasarnya harapan pelanggan yang paling utama adalah kepuasan. Bagi
pelanggan, apa yang dihasilkan satu perusahaan baginya tidak begitu penting, pelanggan
lebih memikirkan apa yang akan dibelinya dapat memuaskan kebutuhannya.
Kepuasan pelanggan berarti memberikan kepada pelanggan apa kira-kira yang
disukainya. Kita harus memberikan kepada pelanggan apa yang sebenarnya mereka
inginkan (want), kemudian kapan (when) dan bagaimana cara pelanggan
memperolehnya (the way they want it).
Caranya adalah sebagai berikut:
a. Menemukan kebutuhan pokok pelanggan.
b. Mencari tahu apa sebenarnya yang menjadi harapan pelanggan, sehingga
mereka
mau kembali datang kepada kita.
c. Selalu memperhatikan apa yang menjadi harapan pelanggan, lakukan melebihi
apa yang diharapkan pelanggan, sehingga pelanggan merasa senang.
Untuk berada satu langkah di depan pesaing kita, maka kita harus melakukan
ketiga harapan tersebut sehingga pelayanan yang kita berikan tidak hanya memenuhi
harapan pelanggan, tetapi juga akan memberikan kepuasan dan menyenangkan
pelanggan. Akan tetapi, bila kita amati lebih cermat, kepuasan pelanggan banyak
ditentukan oleh kualitas pelayanan para petugas pelayanan di lapangan. Jika pelayanan
tidak sesuai dengan harapan pelanggan, maka pelanggan langsung menilai pelayanan
yang diberikan mengecewakan (jelek). Oleh karena itu, tahapan-tahapan tersebut harus
benar-benar diperhatikan oleh para petugas pelayanan di lapangan.

Suatu hal yang harus diingat oleh siapapun yang bergerak di bidang industri
misalnya perusahaan jasa (pelayanan). Wujud dari pemenuhan kebutuhan akan
pelayanan adalah membentuk ”kepercayaan” pelanggan terhadap perusahaan.
79

Kepercayaan tersebut bisa terbentuk atau tumbuh apabila seluruh jajaran di perusahaan
jasa pelayanan mampu memenuhi harapan dan kebutuhan pelanggan, sehingga kepuasan
pelanggan dapat tercapai.
Dengan demikian yang terpenting bagi para petugas pelayanan adalah
memperhatikan baik-baik kebutuhan dasar pelanggan. Layanan prima bukan hanya
sekedar kumpulan teori dan slogan, akan tetapi lebih ditekankan pada praktek nyata di
lapangan ketika berhubungan langsung dengan pelanggan.
Pada saat berhubungan atau melayani para konsumen atau pelanggan, laksanakan
penerapan 7K yang dibutuhkan pelanggan, yaitu:
1. Keramahan
2. Kenyamanan
3. Kecepatan
4. Kebenaran
5. Kepercayaan
6. Kesepakatan
7. Kepuasan

Setelah 7K dilaksanakan, niscaya segala informasi tentang kebutuhan


konsumen/pelanggan dapat terwujud dan pesanan mulai berdatangan, baik datang
langsung, pesan via telepon atau via surat (kurir). Barang-barang yang dipesan biasanya
merupakan kebutuhan rutin (sudah sering dibeli) atau barang-barang yang sudah
terjamin kualitasnya.
Para petugas pelayanan harus segera memproses pesanan-pesanan tersebut. Proses
administrasi berjalan, mulai dari pencatatan pesanan barang pada nota pembelian,
pengajuan nota pembelian tersebut ke bagian kasir untuk proses pembayaran tunai atau
kredit (kartu kredit), sampai proses akhir yaitu penyerahan barang yang dibutuhkan oleh
pelanggan.
Kebutuhan-kebutuhan lainnya yang acapkali diharapkan oleh pelanggan ialah :
1. Kebutuhan akan diskon harga barang
2. Kebutuhan akan barang baru
3. Kebutuhan akan penurunan harga barang
4. Kebutuhan akan stok yang selalu ada
80

5. Kebutuhan akan diperbolehkannya menukar barang


6. Kebutuhan akan bentuk/ukuran baru.
Setelah semua kegiatan jual-beli sudah dilaksanakan, yang dimulai dari
pencatatan pesanan barang sampai diterima oleh konsumen, ada satu hal yang harus
diperhatikan dan tidak boleh dilupakan yaitu ucapan terima kasih kepada
pelanggan/konsumen.
Pernyataan terima kasih adalah bagian dari pelayanan prima, sebagai suatu bentuk
service atau pelayanan, karena service yang baik adalah aset perusahaan. Pernyataan
terima kasih meskipun hanya sekedar ucapan, tetapi diyakini akan memberikan dampak
positif bagi konsumen atau pelanggan karena memberikan kesan merasa dihargai atau
dihormati.
Contoh-contoh ucapan terima kasih antara lain sebagai berikut:
1. Untuk Pelanggan (Pembeli) yang Datang Langsung
a. ”Terima kasih atas kunjungan anda. Kami berharap anda puas dengan
pelayana kami, serta kami mengharapkan sekali anda datang kembali”.
b. ”Terima kasih, Ibu sekeluarga telah mengunjungi rumah makan kami
dan semoga puas dengan hidangan yang kami sajikan”.
c. ”Terima kasih, anda telah bermalam di penginapan kami dan semoga
anda puas dengan fasilitas dan pelayanan yang kami sediakan. Kami
berharap anda mengunjungi penginapan kami lagi”.
d. ”Terima kasih, anda telah mempercayakan perjalanan anda dan
rombongan pada maskapi penerbangan kami. Kami berharap anda dan
rombongan menikmati perjalanan ini”.
2. Untuk Pelanggan yang Memesan Barang via Surat/Fax atau Telepon
Melalalui telepon:
”Pesanan anda telah kami kirim. Kami berharap anda dan keluarga
puas dan tidak kecewa terhadap pelayanan kami. Jika ada sesuatu yang
kurang puas, kami mohon anda segera menghubungi kami”.
Selanjutnya penerapan konsep pemasaran hubungan (relationship marketing)
memberikan beberapa manfaat bagi perusahaan penyedia produk yaitu: (1). Mengurangi
biaya pemasaran, biaya administrasi, biaya waktu untuk mengenal konsumen, (2).
81

Pembelian ulang, diskon harga atas layanan yang lebih unggul, (3). Word-of mouth
communication. Dengan demikian, loyalitas pelanggan merupakan salah satu output
dari pemasaran dan menjadi indikator untuk mengukur keberhasilan penerapan
pemasaran hubungan (relationship marketing) (Kennedy et al. 2001; Thorsten et al.,
2002).
Hal ini sejalan dengan keuntungan-keuntungan yang didapat perusahaan yang
disebabkan oleh kemampuan perusahaan meloyalkan pelanggannya.
Keuntungan - keuntungan yang akan diperoleh apabila memiliki konsumen yang
loyal, antara lain :
1) Mengurangi biaya pemasaran, karena biaya untuk menarik konsumen baru lebih
mahal
2) Mengurangi biaya transaksi seperti biaya negoisasi kontrak, pemrosesan
pesanan dan lain-lain
3) Mengurangi biaya turn over konsumen karena pergantian konsumen yang lebih
sedikit
4) Meningkatkan penjualan silang, yang akan memperbesar pangsa pasar.

2.6. Komitmen Word Of Mouth Sebagai Model Dakwah Bil-hal

Konsumen sebagai sasaran bidik sebuah produk sebetulnya memiliki potensi yang
besar untuk memasarkan produk perusahaan. Bagaikan virus yang dapat melakukan
penyebaran sangat cepat yang semula hanya diawali oleh satu orang yang memiliki
jaringan luas, dapat memberikan pengaruh terhadap pemasaran sebuah produk.
Rekomendasi yang pelanggan berikan kepada pihak lain merupakan bentuk komunikasi
antarpersonal “dari mulut ke mulut” (Word of Mouth-WOM), yang juga merupakan
salah satu unsur dalam komunikasi pemasaran yaitu bauran promosi.
82

Sebagai bentuk promosi maka komunikasi pemasaran (marketing communication)


merupakan sarana di mana perusahaan berusaha menginformasikan, membujuk, dan
mengingatkan konsumen secara langsung maupun tidak langsung tentang produk dan
merek yang dijual. Komunikasi pemasaran mempresentasikan "suara" perusahaan dan
mereknya serta merupakan sarana dimana perusahaan dapat membuat dialog dan
membangun hubungan dengan konsumen. Dialog komunikasi ini biasa saja terjadi baik
dengan menggunakan tatap muka langsung maupun menggunakan media cetak dan
elektronik yang saat ini semakin memudahkan orang untuk saling berkomunikasi dengan
cepat.

Komunikasi pemasaran bagi konsumen, merupakan cara memberitahu atau


memperlihatkan kepada konsumen tentang bagaimana dan mengapa suatu produk
digunakan, oleh orang macam apa, serta di mana dan kapan. Komunikasi pemasaran
berkontribusi pada ekuitas merek dengan menanamkan merek dalam ingatan dan
menciptakan citra merek serta mendorong penjualan dan bahkan mempengaruhi nilai
pemegang saham.

Produk memiliki nilai positif akan memiliki peluang yan sangat besar untuk
direkomendasikan konsumen kepada konsumen yang lainnya dan begitu juga sebaliknya
saat produk yang dilempar kepasaran memiliki nilai negatif, maka akan mendapatkan
publisikasi negatif oleh para konsumen. Bahkan hasil penelitian sebuah lembaga
research menunjukkan untuk hal-hal yang negatif (Negative Word of Mouth, NWOM)
memiliki angka penyebaran yang lebih besar dibandingkan hal-hal yang positif (Positive
Word of Mouth, PWOM). Berdasarkan hasil riset rata-rata konsumen di Indonesia
menceritakan hal yang positif kepada 7 orang, sedangkan hal yang negatif kepada 11
orang. Dengan demikian konsumen memiliki kontribusi terhadap aktifitas pemasaran
dan pencitraan produk entah itu barang ataupun jasa. Contoh yang mudah terlihat dalam
realita adalah bagaimana rumah makan-rumah makan yang sederhana tapi memiliki
keunikan tetap mendapatkan pelanggan padahal mereka tidak pernah beriklan sama
sekali dalam media massa. Ya kekuatan pemasaran lewat mulut para pelanggannya.
Fenomena ini diangkat juga oleh Jurnalis Malcolm Gladwell dalam bukunya “the tipping
83

point”. Yang secara umum menyajikan analisa bagaimana hal-hal yang besar
dipengaruhi oleh hal-hal kecil termasuk aktifitas Word of Mouth dalam pemasaran.

Sehingga dengan melihat kekuatan pengaruh pemasaran dari mulut ke mulut


produsen sebuah produk perlu untuk lebih fokus dalam menjalankan Word of Mouth
Marketing. Membuat para pelanggan kita membicarakan (do the talking),
mempromosikan (do the promotion) dan menjual (do the selling).

Dalam aktifitas Word of Mouth Marketing, produsen dapat memanfaatkan para


pelanggan potensialnya untuk memberikan kontribusi merubah konsumen lainnya
menjadi bersikap positif terhadap produk yang dipasarkan. Para pelanggan ini
merupakan profitable talkers yang memiliki pengaruh serta jaringan yang cukup besar
untuk mempengaruhi konsumen yang lainnya untuk menjadi positif, mencoba dan
membeli produk.

Dalam buku the tipping point, Malcolm Gladwell menyajikan analisa mengenai
bagaimana beberapa golongan orang dapat memberikan pengaruh yang besar terhadap
masyarakat. Entah itu membentuk opini, menggerakkan massa sampai mempromosikan
suatu produk. Malcolm menyebut golongan tersebut sebagai para Maven (orang bijak),
Connector (penghubung), Salesman (penjual). Masing-masing memberikan kontribusi
yang besar dalam memberikan pengaruh kepada massa.

Maven (orang bijak) merupakan orang dengan perbendaharaan informasi yang


banyak terutama informasi-informasi baru. Para Maven ini memiliki kecenderungan
untuk berbagi pengetahuan yang dimilikinya dengan orang lain tanpa pamrih. Bagi
mereka membantu dan menolong orang lain adalah suatu kepuasan. Salesman (penjual),
golongan orang yang memiliki pengaruh yang kuat untuk dapat mempengaruhi orang
lain secara halus. Umumnya tipe-tipe orang yang memiliki kemampuan lebih dalam hal
bernegosiasi dan mempengaruhi. Connector (penghubung) merupakan tipe orang yang
memiliki akses pergaulan yang luas kedalam berbagai jenis kalangan strata social serta
mampu “menghubungkan” diantara mereka. Tipe-tipe orang tersebut kemungkinan besar
juga terdapat dalam pelanggan yang dimiliki oleh sebuah perusahaan. Bayangkan
kekuatan pemasaran yang muncul jika mereka merekomendasikan sebuah produk.
84

Banyak perusahaan-perusahaan yang mensponsori komunitas pengguna produk,


menggandeng pelanggan potensial untuk menjadi “agen” yang dapat membantu
memasarkan. Di tengah kelesuan belanja iklan konvensional di media massa serta
tuntutan untuk bersaing ketat dalam iklim bisnis yang masih kelabu, aktifitas Word of
Mouth Marketing merupakan salah satu “resep” jitu untuk meningkatkan brand image
produk dan mendongkrak keuntungan usaha.

Bahkan produk-produk berteknologi tinggi serta perusahaan-perusahaan baru


banyak menggunakan aktifitas pemasaran Word of Mouth Marketing ini. Produk RIM,
Smartphone Blackberry, situs pencarian Google, situs took online Amazon.com, situs
jejaring sosial FaceBook merupakan salah satu contoh bagaimana kekuatan pemasaran
dari mulut ke mulut memberikan hasil citra positif dimata konsumen, sehingga
memunculkan ketertarikan untuk mencoba dan menggunakan produk mereka.

Tentunya hal ini harus dibarengi dengan penyajian produk yang prima bukan
hanya sekedar lips service. Sehingga pelanggan betul-betul tergerak untuk
mempromosikan dan memberikan kontribusi pemasaran yang significant. Make your
custumers do the talking, promoting and selling.

Berdasarkan penjelasan tersebut dapat di simpulkan bahwa melalui pelanggan


yang loyal, ia akan berkomunikasi dengan orang lain tentang pengalaman apa yang telah
dirasakan setelah mengkonsumsi produk atau jasa suatu perusahaan. Bahan yang
dikomunikasi itu tidak saja tentang preferensi yang tinggi ataupun yang rendah atas
kualitas produk atau jasa yang dikonsumsi mereka tetapi juga akan mengkomunikasikan
nilai-nilai spiritual (syariah) dari sistem binsis yang diterapkan oleh perusahaan. Akibat
dari perilaku atau tindakan yang dilakukan oleh pelanggan ini, maka perusahaan akan
mendapat minimal dua manfaat (nilai) yaitu (1) memperoleh keuntungan melalui
kesetiaan pelanggan; dan (2) menyebarkan nilai-nilai spiritual tidak saja kepada
pelanggan secara langsung, tetapi yang sangat penting juga adalah perusahaan dapat
menyebarkan nilai-nilai spiritual kepada masyarakat luas. Misalnya jika satu pelanggan
yang puas akan bercerita ke 7 orang, maka jika pelanggan yang puas sebanyak 500
orang perbulan, maka secara eksponensial (hukum Metcalf) jumlah itu akan bertambah
dengan besar (berlipat-lipat)
85

Orientasi perusahaan atau pemasar dalam membangun kepercayaan dari


pelanggannya ataupun para stakeholdersny akan mendapatkan keberkahan dari Allah
Swt. Itulah manfaat hubungan vertikal dengan Allah. Selain itu, kepercayaan juga
menghasilkan manfaat horisontal (hablum minannas), yakni pengukuhan silaturahim.
Karena sesungguhnya kepercayaan akan menumbuhkan rasa aman dan nyaman bagi
kedua belah pihak untuk menjalin serta melanggengkan hubungan. Dalam konteks
bisnis, konsumen pun tak segan-segan untuk membeli ulang (continuos purchase) dan
membeli silang (cross purchase). Dengan perusahaan yang terpercaya.
Islam memiliki konsep dasar dalam mengembangkan komunikasi, yaitu
silaturahmi. Entrepreneur modern dimana masyarakat dunia makin terkoneksi satu sama
lain (interconnected) sering kali menerjemahkan “silaturahmi” dalam pratek Customer
Relationship Management, Community Marketing, Multilevel Marketing, Co-branding,
Public Relation, Testimonial Advertisement, Referantial Selling, dll. Sedangkan
enterpreneur tradisonal menerjemahkannya dengan terminologi relasi, akses, ataupun
“jaringan”. Salah satu wasiat dari “guru of the Rich Robert T. Kiyosaki, bahwa orang-
orang terkaya di dunia mencari dan membangun “jaringan”, sedangkan orang lain
mencari pekerjaan. Kenapa? Sesuai dengan hukum Metcalf, nilainya akan menanjak
secara eksponensial. Dimana-mana telah terbukti, melalui jaringan kita dapat meng-
create apapun. Apakah itu proyek kemanusiaan, gerakan moral, penggalian potensi,
peningkatan prestasi, maupun ekspansi bisnis.
Community building ini dimaksudkan untuk membangun hubungan antara
pelanggan agar memberikan informasi atau saran dan untuk menciptakan suatu
hubungan yang baik antara pelanggan dengan perusahaan. Misalnya dengan memberikan
website khusus untuk pelanggan yang ingin memberikan saran dan kritik, dimana dalam
websites tersebut pelanggan juga bisa melihat produk terbaru dari perusahaan itu. Hal itu
dilakukan dengan harapan akan ada hubungan yang baik antara pelanggan maka akan
terjadi ikatan emosional yang semakin baik dan hal ini akan membantu untuk
menciptakan ikatan yang semakin harmonis dengan pelanggan.
Mengembangkan loyalitas pelanggan muslim dimaksudkan untuk meningkatkan
semangat spiritualisasi melalui komitmen word of mouth sebagai model dakwah bil-hal.
Menurut Murasa Sarkaniputra dalam Muh. Mufli, 2006 (47), dakwah bil-hal diarahkan
86

untuk membangun kesejahteraan dan kebahagiaan umat Islam, baik jasmani maupun
rohani, dengan cara mentransformasikan teknologi, manajemen, dan spiritual tidak saja
kepada pelanggan yang ada tetapi juga kepa para stakeholder lainnya Perspektif yang
amat strategis dan potensil adalah upaya meningkatkan semangat perilaku konsumsi
Islami, dengan menyeimbangkan antara konsumsi materi dan sosial (immateril) sebagai
wujud dari keadilan konsumen untuk mengalirkan (mendistribusikan) harta umat Islam.
Mekanisme ini akan dapat menciptakan lapangan kerja baru bagi para pencari kerja, dan
membantu menanggulangi kemiskinan di suatu negara.
Perilaku konsumsi Islami yang sumbernya adalah Al Quran dan al_Hadis
memberikan pengajaran sosial ekonomi yang baik khususnya dalam menyambungkan
mata rantai individu sehingga menjadi sebuah bangunan yang kokoh. Untuk dapat
mewujudkan hal ini dibutuhkan kesabaran, keihklasan untuk terus berjuang tanpa henti.
Berbicara soal kehidupan duniawi, Islam tidak pernah menghalangi entrepreneur
untuk mendapatkan rezeki dalam bentuk materi. Pencapaian materi adalah output akhir,
setelah entrepreneur (pebisnis ataupun pemasar) melewati proses yang menitikberatkan
keberkahan, kepercayaan, dan silaturahmi.
Perilaku bisnis dan konsumsi yang mengandung nilai-nilai spiritual seperti :
kepribadian Spiritual (takwa); berperilaku benar dan jujur (Shiddiq); berlaku adil dalam
bisnis (Al-‘Adl); bersikap melayani dan rendah hati (Khidmah); menepati janji dan tidak
curang; terpercaya (Al-Amanah); cerdas (Fathana); Komunikatif (Thablig); tidak suka
berburuk sangka (Su’uzh-zhann); tidak suka menjelek-jelekkan (ghibah); tidak
melakukan sogok (Riswah), inilah yang diharapkan akan menjadi topik dalam setiap
kegiatan komunikasi diantara para pelaku bisnis; antara pelaku (perusahaan) dengan
pelanggan; antara pelanggan dengan pelanggan; dan antara pelanggan dengan orang
disekitarnya. Melalui kegiatan komunikasi nilai-nilai spiritual akan menjadi
rekomendasi untuk mengingatkan, membujuk dan mengajak untuk diikuti oleh
pendengarnya (lawan berkomunikasinya) hingga tersebar dikalangan keluarga; saudara;
teman (bisnis, kantor, arisan, dll); dan masyarakat luas. Betapa mulianya kalau kita
melakukan bisnis yang berdasarkan syariah, selain dapat keuntungan materi yakni
kekayaan tetapi juga memperoleh keuntungan tabungan untuk akhirat melalui
penyebaran nilai-nilai kebajikan di dunia.
87

Referensi
Aaker David A. (1991), Managing Brand Equity; Capitalizing on The Value of Brand
Name, The Free Press, New York.
------------------ (1992); Startegic Marketing Management, New York; John Wiley Sons
Inc.
Akbar, Mohammad M dan Parvez, Noorjahan. 2009. Impact of Service Quality, Trust
and Customer Satisfaction on Customer Loyalty. ABAC Journal Vol. 29 No. 1.
Pp. 24 – 38
Albert Caruara (2002); Service Loyalty : The effects of service quality ang the mediating
role of customer satisfaction, European Journal of Marketing, val. 36 No. 7/8,
p.p 811-828
Alex Chernev ( 1997 ); The Effect of Common Features on Brand Choice : Moderating
Role of Attribute Importance ; Journal of Consumer Research, Vol 23.
Anderson, James C.DC. Jaini And Pradeep K. Chintagunta, (1993), Customer Value
Assesment in Business to Business Markets; A State of Practise Study, Journal
of Business to Business Marketing, Vol 1 US.
Ansoff I. dan Mc Donnell Ej (1990); Implanting Strategic Marketing Management, New
York Prantice Hall.
Assael Henry (1992), Cosumer Behavior and Marketing Action; PWS – KENT
Publishing Company.
Aydin, S., Ozer, G., 2004. The Analysis Of Antecedents Of Customer Loyalty In The
Turkish Mobile Telecommunication Market. European Journal of Marketing,
Vol. 39 No. 7/8, 2005, pp. 910 – 925.
Baloglu, Seyhmus. 2002, Dimensions of Customer Loyalty: Separating Friends From
Well Wisher, International Journal of Research in Marketing Vol. 14(1997) p
473-486
Basu Swastha Dharmesta, T. Hani Handoko (2000) : Manajemen Pemasaran, Analisis
Perilaku Konsumen, Edisi Pertama, Diterbitkan
Bloemer, Ruyter, Retzel, 1998. Linking Perceived Service Quality And Service Loyalty:
a Multi Dimensional Perspective. European Journal of Marketing, Vol. 33 No.
11/12, 1999, pp. 1082-1106.
Caruana, Albert, 2000. The Effects of Service Quality and The Mediating Role of
Customer Satisfaction, European Journal of Marketing, Vol. 36, 7/8; 2002, pp.
811 – 828.
Cecep Darmawan, 2006. Kiat Sukses Manajemen Rasulullah : manajemen Sumber Daya
Insani Berbasis Nilai-nilai Ilahiyah. Penerbit Khazanah Intelektual.
Charles M. Schaninger, JacQues C. Bourgeois, and Charistian W. Buss: “French
English Canadian Subcultural Consumption, Journal of Marketing (Spring
1985, Page 93 – 94).
Che-Ha Norbani dan Hashim Shahrizal. 2007, Brand Equity, Customer Satisfaction &
Loyalty: Malaysian Banking Sector, International Review Of Business Research
Paper, November Vol. 3 No. 5 p 123-133
88

Chennet, P., Dagger, T.S., O’Sullivan, D., 2008. Service Quality, Trust, Commitment
and Service Differentiation in Business Relationships. Journal of Services
Marketing, 24/5 (2010), pp. 336–346
Deepak Sirdesh Mukh, Jagdip Singh, dan Barry Sabol (2002) : Consumer Trust, Value,
and Loyalty in Relational Exchanges, Journal of Marketing, Vol. 66 (January
2002), 15-37.
Dharmmesta, B.S., 1999. Loyalitas Pelanggan : Sebuah Kajian Konseptual Sebagai
Panduan Bagi Peneliti. Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia, Vol. 14, No. 3,
hal. 73-88.
Edvardsson, Bo, Bertil Thomasson, and John Ovretxeit (1994), Quality of Service,
London; McGraw-Hill Book Company.
Ellen C. Garbarino, Julie A. Edell, Cognitive Effort, Affect, and Choice, Journal of
Consumer Research, Vol 24 September 1997.
Gordon,ian., 1998, Relationship Marketing : New Strategy, Technique and technologies
to Win The Costumer You Want and Them Forever,Jhon Willey and Sons
Canada,Ltd.
Gupta Sunil, Zeithaml. 2006, Customer Metrics and Their Impact on Financial
Performance, Marketing Science, Vol. 26, No. 6, p 718-739
Griffin Jill, 2003, Customer Loyalty : Menumbuhkan & Mempertahankan kesetiaan
pelanggan, edisi revisi terbaru
Hallowell Roger. 1996, The Relationship of Customer Satisfaction, Customer Loyalty,
and Profitability: an Empirical Study, International Journal of Service, Vol. 7,
No. 4, p 27-42
Hermawan Kartajaya, Muhammad Syakir Sula, 2006, Syariah Marketing, Penerbit PT.
Mizan Jakarta.
Hurriyati Ratih. 2005, Bauran Pemasaran dan Loyalitas Konsumen Fokus Pada
Konsumen Kartu Kredit Perbankan, Alfabeta, Bandung
Ippho Santosa-Andalus-Khalifah, 2008. Muhammad Sebagai Pedagang. Penerbit PT.
Gramedia, Jakarta.
Jamal, A., Naser, K,, 2002. Customer Satisfaction and Retail Banking: an Assessment Of
Some Of The Key Antecendents Of Customer Satisfaction In Retail Banking.
International Journal of Bank Marketing, 20/4. Pp. 146 -160.
Jusmaliani, 2008, Bisnis Berbasis Syariah, Penerbit Bumu Aksara, Jakarta.
Jonathan Lee, Janghyuk Lee and Lawrence Feick (2001), The impact of swiching costs
on the customer satisfaction-Loyalty link; Mobile phone service in France,
Journal of services marketing, vol, 15 No. 1, pp. 35-48.
Kessler, D.P., Mylod, D., 2011. Does Patient Satisfaction Affect Patient Loyalty ?.
International Journal of Health Care Quality Assurance, Volume: 24 Issue: 4
Kim Moon-Koo, Park Myeong-Cheol, Jeong Dong-Heon. 2004, The Effect Of Customer
Satisfaction and Switching Barrier on Customer Loyalty in Korean Mobile
Telecommunication Services, Telecommunications Policy, Vol. 28, p 145-15
Kotler, Philip (2000), Marketing Management : Millennium Edition, Prentice-Hall
International, Inc. New Jersey.
Kotler, Philip, Swee Hong Ang, Siew Mengleons, and Chin Tiong Tan (1996),
Marketing Management, An Asian Perspective, Singapore, Prentice-Hall.
Lau, G.T., Lee, S.H., 1999. Cunsomer’s Trust in a Brand and The Link to Brand
Loyalty. Journal of Market Focused Management, No. 4, pp. 341 – 370.
89

Lei, M., Mac., L, 2005. Service Quality And Customer Loyalty In A Chinese Context:
Does Frequency Of Usage Matter? Journal ANZMAC 2005 Conference:
Services Marketing, pp. 138 – 146.
Mardalis Ahmad. 2004, Meraih Loyalitas Pelanggan, Jurnal Manajemen dan Bisnis,
Vol. 9, No. 2, p 111-119
Marsha L. Richins (1997) : Measuring emotion in The Consumption Experience, Journal
of Consumer Research, Vol. 24 (September).
McDougall Gordon. H. G, Levesque Terrence. 2000, Customer Satisfaction With
Services : Putting Perceived Value Into The Equation, Journal of Services
Marketing Vol. 14, No. 5, p 392-410
Morgan, R.M., Hunt, S.D., 1994. The Commitment – Trust Theory of Relationship
Marketing. Journal of Marketing , July, Vol. 58, No. 3, pp. 20 – 38.
Mosahab, R., Mahamad, O., Ramayah,T. 2010. Service Quality, Customer Satisfaction
and Loyalty: A Test of Mediation, Journal Business of Research. Vol.3 No. 4.,
October, pp. 72-80.
Mowen, John C. (1995), Consumen Behavior, Fourth Edition, Prentice-Hall
International Edition.
Muhammad Muflih, 2006, Perilaku Konsumen Dalam Perspektif Ilmu Ekonomi Islam.
PT. RajaGrafindo, Jakarta .
Nh. Setiadi Wijaya (2002) : Pertumbuhan Melalui Penciptaan Nilai dalam Layanan
Penjualan, Jurnal Bisnis dan Ekonomi, Vol. No. Vi Edisi Pebruari.
Oliver Furrer, Ben Shaw-Ching Liu and D. Sudharshan (2000), The Relationship
Between Culture and Service Quality Perceptions, Journal of service research
vol. 2 No. 4, May, pp 355-371.
Palilati Alida. 2007, Pengaruh Nilai Pelanggan, Kepuasan Terhadap Loyalitas Nasabah
Tabungan Perbankan di Sulawesi Selatan, Jurnal Manajemen dan
Kewirausahaan, Vol. 9, No. 1, p 73-81
---------------- 2007, Loyalitas Pelanggan : konsep, strategi dan implementasi, penerbit
Unhalu Press.
Rajagopal,................, 2006, Measuring Customer Value And Market Dynamics For New
Products Of a Firm: An Analytical Construct For Gaining Competitve
Advantage, Global Business And Economics Review, Vol. 8, No. 3/4, p 187-
205
Ribbink, Riel, Liljander, Streukens, 2004. Comfort Your Online Customer: Quality,
Trust and Loyalty On The Internet. Journal of Managing Service Quality,Vol.
14, No. 6 · 2004 · pp. 446-456
Storbacka, K., 2001, Costumer Relationship Management_Creating Competitive Trough
Win-win Relationship Strategi, Singapore.
Woodruff Robert. B. 1997, Customer Value : The Next Source For Competitive
Advantage, Journal Of Academy Of Marketing Science Vol. 25 No. 2 p 139-
153
Wu Wan-Chin. 2007, The Study Of Influence Of Brand Equity, Customer Value,
Customer Satisfaction and Customer Loyalty, Case Study Of “Wretch” The
Social Networking Website In Taiwan, Departement Grad-Communication
Management, Ethesys.lib.mcu.edu.tw
Zeithaml, Valerie. A and Bitner, Mary Jo., 2000, Service Marketing : Integrated
Customer Focus The Firm, USA: McGraw
90

BAB 3
IMPLEMENTASI BISNIS SYARIAH
91

Niat dan Doa


Modal Dasar Keberhasilan Bisnis1
Kasus dalam Praktek Dagang Masyarakat Muslim Gu-Lakudo

Maksud dan tindakan, tujuan dan pekerjaan merupakan dua kata yang harus
selalu berpasangan dan saling komplementer. Maksud dan tujuan tidak akan tercapai
tanpa ada tindakan dan pekerjaan untuk mencapainya, sebaliknya tindakan dan
pekerjaan tanpa ada maksud dan tujuan yang hendak dicapai akan kehilangan arah.
Demikian halnya dengan persoalan niat dan doa. Niat sebagai gerakan hati untuk
menentukan sesuatu yang diinginkan, sementara doa merupakan permohonan dan
tindakan untuk mencapai sesuatu yang telah diniatkan.
Dalam bab ini akan dibahas lebih jauh mengenai fenomena niat dan doa dalam
berusaha melalui cerita serta praktek atau tindakan akibat dari pemahaman mereka
(masyarakat muslim Gu-Lakudo). Kemudian dilanjutkan dengan uraian tentang manfaat
dan dampaknya kalau hal itu tidak dilakukan yang dikemas dalam bentuk diskusi teori
dan konsep-konsep Islam, sehingga dapat disusun suatu kesimpulan yang menunjukkan
pentingnya niat dan doa dijadikan sebagai modal.

3.1. Niat dalam Berbisnis

Telaah Kasus
Niat merupakan pekerjaan hati yang tidak tampak, tetapi dia adalah petunjuk dan
merupakan penggerak dari semua aktivitas yang tampak. Suatu pekerjaan mulia,
nampaknya tidak satupun yang tidak diawali dengan niat, karena tanpa niat, suatu
aktivitas tidak memiliki arah yang jelas. Niat yang dimaksudkan di sini adalah niat yang

1
Isi topik ini adalah uraian kasus-kasus yang dikutip dari Samdin, 2007 dalam salah satu bab Disertasi,
Program Pascasarjana Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya, Malang.
92

suci - mulia dan tidak bertentangan dengan agama. Hanya dengan niat yang suci, maka
semua pekerjaan akan mendapat pahala dan berkah dari Allah.
Dikatakan oleh H. Baharuddin bahwa agar semua aktivitas yang dilakukan
mendapatkan pahala dan berkah, maka harus diawali dengan niat terlebih dahulu, agar
selamat dan tercapai apa yang diinginkan dan tentunya harus selalu disertai dengan
berdoa. Intinya agar kita tidak pernah lupa untuk mengingat Allah. Tentang niat ini
diungkapkan informan berikut:
“Dalam melaksanakan aktivitas usaha apa pun harus diniatkan untuk
mencapai kebaikan, seperti untuk memperkuat dan menyempurnakan
ibadah, sehingga memiliki manfaat ganda, yakni keuntungan dunia dan
akhirat. Karenanya, niatnya bukan hanya keuntungan dunia semata” (H.
Baharuddin, 9 Juni 2005).

Sehubungan dengan aktivitas menjalankan usaha, maka H.Baharuddin


mengungkapkan:
“Kalau kita akan keluar berusaha atau berdagang, maka dalam tuntunan
Islam seharusnya kita mengucapkan Tawakkaltu alallah walaa haula
walaa kuuata illa billah, yaitu menyerahkan diri kita secara batin kepada
Allah, karena semua yang ada ini, berawal dari tidak ada menjadi ada
dan yang mengadakan adalah Allah. Niat yang baik harus disertai dengan
doa insya Allah segala langkah kita akan mendapat berkah dan
dikabulkan Allah, karena tidak ada yang tidak mungkin kalau Allah
menerima niat dan permintaan hamba-Nya” (H. Baharuddin, 9 Juni
2005).

Ketika mengikuti perjalanan bersama H. Baharuddin dari Kota Bau-Bau menuju


daerah seberang (daerah Gu-Lakudo) sebagai pekerjaan rutinnya saat ini (dengan jadwal
setiap Selasa – Rabu dan Sabtu Minggu), yaitu mengajar ngaji bagi masyarakat muslim
Gu-Lakudo yang belum terlalu baik bacaan Qur’annya. Saat itu bermalam bersama di
rumahnya di Gu. Karena banyak yang datang belajar mengaji dan memohon agar di
doakan, maka tengah malam baru bisa istrahat tidur. Walaupun demikian sekitar pukul
03.00 beliau sudah terbangun lagi dan ketika adzan di masjid raya Lakudo dibangunkan
untuk siap-siap ke masjid shalat Subuh. Dalam perjalanan kami ke masjid saat itu
(tanggal 15-6-2005, sekitar pukul 04.15) untuk melaksanakan shalat subuh berjamaah
beliau bercerita dan memberi nasehat bahwa:
“Keberhasilan dari segala sesuatu yang kita lakukan itu sangat
tergantung dari niat. Beliau mencontohkan bahwa kalau kita niat sebelum
93

tidur agar dibangunkan atau disadarkan menjelang subuh (misalnya mau


bangun jam 4), insya Allah kita akan terbangun. Ini selalu terjadi dan
terbukti pada saya, kata beliau seperti malam ini kita tidur sudah larut
malam dan lelah dalam perjalanan dari Bau-Bau, tetapi karena sudah
berniat untuk bangun shalat subuh di masjid, maka saya dibangunkan
oleh Allah” (H. Baharuddin, tanggal 15-6-2005, sekitar pukul 04.15).

Demikian pula dalam berusaha atau berdagang, H. Baharuddin menasehatkan


bahwa:
“Hal niat itu jangan sampai dilupakan, baik jangka panjang maupun
jangka pendek dalam kegiatan kita sehari-hari harus ada yang kita
niatkan mau kerja apa hari ini. Dalam jangka panjang misalnya kita niat
untuk berusaha agar dapat menyempurnakan ibadah seperti naik haji,
maka Allah akan mengabulkan niat kita, yang penting tetap berusaha
sesuai ketentuan agama, tidak memperdagangkan barang-barang yang
dilarang atau barang haram dan juga menipu orang” (H. Baharuddin,
tanggal 15-6-2005, sekitar pukul 04.15).

Dari ungkapan nasehat H. Baharuddin tersebut menunjukkan bahwa niat awal


dalam praktek dagang di masyarakat Gu-Lakudo pada saat pertama kali memulai usaha
adalah untuk menyempurnakan ibadah (menunaikan haj)i. Sebagaimana yang diajarkan
oleh KH. Abdul Syukur dulu bahwa apa pun barang yang didagangkan atau dijual harus
diniatkan agar bisa naik haji, walaupun hanya jual asam atau kacang. Ajaran itu
dipraktekan oleh masyarakat Gu-Lakudo dan telah terbukti, bahwa rata-rata antara dua
sampai lima tahun menjalankan usaha yang diniatkan tadi, mereka sudah bisa
menunaikan ibadah haji. Hal ini terlihat di pasar La Elangi dimana semua pemilik kios
sudah memakai songkok putih (sebagai lambang seseorang sudah haji di daerah ini).
Jadi kalau sampai dengan tahun 1970-an yang terbanyak haji di Kabupaten Buton adalah
di Kecamatan Binongko atau di daerah asal KH. Abdul Syukur, maka sekarang,
mungkin terbanyak adalah masyarakat Gu-Lakudo dan setiap tahunnya bertambah terus
(La Iza Syafruddin, 11 Maret 2004; H. La Angge, 2 Juni 2005).
Bagi masyarakat Gu-Lakudo niat untuk haji dan meningkatkan ibadah telah
membangkitkan semangat kerja mereka, sebagaimana diungkapkan berikut.
94

“Dengan niat suci untuk menuaikan ibadah haji inilah sebenarnya yang
merupakan pendorong semangat kerja keras bagi masyarakat Gu-Lakudo
untuk dapat menjalankan usaha dengan sungguh-sungguh, dan saya kira
seorang muslim yang baik selalu ingin menyempurnakan ibadahnya atau
rukun Islamnya” (H. Mansyur, 2 Juli 2005).

Simak pula ungkapan informan berikut:

“Motivasi utama masyarakat Gu-Lakudo untuk bekerja keras dan tekun


dalam menjalankan aktivitas usaha, adalah karena ingin mewujudkan
niatnya yang suci yaitu mau naik haji ke tanah suci Mekkah dan
menyempurnakan atau memperbaiki ibadah lainnya seperti membayar
zakat, infak dan sedekah. Untuk itu mereka berupaya agar
penghasilannya itu dapat dibentuk untuk menjadi modal, sebab tidak
mungkin dapat meningkatkan atau memperbaiki ibadahnya kalau tidak
mempunyai modal untuk berusaha” (H. Muliya Basri, 4 Januari 2005; H.
La Sara, 19 Desember 2004).

Demikian pula diungkapkan bahwa:


“Sasaran utama masyarakat Gu-Lakudo berdagang adalah untuk naik
haji. Belum berpikir untuk beli kendaraan mewah dan buat rumah bagus
kalau belum naik haji duluan” (Burhanuddin, 5 Januari 2005).

Seorang informan yang bukan masyarakat Gu-Lakudo tetapi mengetahui aktivitas


ekonomi masyarakat Gu-Lakudo, karena tinggal di lingkungan mereka mengungkapkan:
“Masyarakat Gu-Lakudo itu pekerja keras, karena niat yang
membangkitkan motivasinya untuk berusaha atau berdagang adalah
untuk menyempurnakan rukun Islam kelima yaitu menunaikan haji.
Karena ada pemahaman dari mereka bahwa orang yang sudah naik haji
itu tidak akan miskin lagi yang penting bekerja dengan baik sesuai
dengan ajaran agama, mereka itu sangat taat, lihat saja kalau sudah adzan
mereka semua bergegas ke masjid, utamanya laki-laki dan para pelayan
kiosnya itu semua pakai jilbab” (Syamsir, 16 Desember 2004).

Demikian halnya diungkapkan Hasanuddin Buro seorang karyawan BRI kota


Bau-Bau yang banyak mengetahui aktivitas ekonomi mereka bahwa:
“Karena niat awalnya mau naik haji untuk menyempurnakan rukun.
Mereka itu, walaupun rumahnya belum jadi yang penting selesaikan dulu
rukun Islam yang kelima atau naik ke tanah suci. Mereka takut jangan
sampai belum naik haji atau belum sempurnah rukun Islamnya ajal sudah
datang, padahal uang ada” (Hasanuddin Buro, 15 Juni 2005).
95

Melihat pentingnya menyempurnakan rukun Islam kelima atau naik haji, maka
dalam prakteknya di masyarakat Gu-Lakudo, ada keluarga yang uangnya belum
cukup untuk naik haji tetapi dicukupkan atau dibantu oleh keluarganya yang penting
haji dulu nanti pulang baru berusaha lagi, sehingga tidak heran kalau setiap tahun
mereka itu puluhan yang naik haji. Kuatnya motivasi tersebut, mencerminkan
kedalaman keyakinan mereka, setelah melihat contoh-contoh keluarga yang setelah
kembali haji usahanya semakin meningkat. Kenyataannya memang demikian bahwa
rata-rata mereka pulang haji itu bukan menderita atau miskin, malah justru
bertambah kekayaan dan hartanya. Dalam hubungan ini seorang tokoh masyarakat
Gu-Lakudo yang bekerja di Pemda Kabupaten Buton, mengungkapkan:

“Yang tadinya mereka yang telah naik haji itu tidak punya apa-apa,
sekarang mereka bisa punya rumah dan kendaraan. Di samping
motivasinya yang kuat, masyarakat Muslim Gu-Lakudo itu juga ada rasa
iri diantara sesama mereka, tetapi bukan iri soal kekayaan atau yang
negatif untuk merusak yang lain, tetapi iri yang positif sebagai motivasi
untuk bekerja keras, karena yang diinginkan adalah songkok haji, sebab
songkok haji merupakan suatu predikat yang sangat terhormat di daerah
ini” (L. Alimuddin, 3 Januari 2005).

Haji yang didambakan adalah haji mabrur, yaitu dicapai dengan hasil keringat
sendiri dari usaha yang halal. Haji yang dilakukan dengan niat yang suci karena Allah
semata. Dalam hubungan ini H. Mansyur mengungkapkan:
“Insya Allah kalau naik haji dengan niat seperti itu, maka kalau pulang
haji usahanya akan cepat berkembang, malah sebentar saja usahanya
akan kembali lagi. Menurutnya, sedangkan hanya dengan usaha kecil-
kecilan saja sudah bisa naik haji, apalagi orang yang banyak modal dan
besar usahanya sudah jelas akan cepat sekali berkembang” (H. Mansyur,
2 Juli 2005).

Karena itu, yang penting dalam menjalankan usaha agar bisa berhasil dan berkah
adalah harus disertai dengan niat suci, sebagaimana ungkapan berikut:
“Bahwa yang lebih penting lagi dalam berusaha (dagang) adalah harus
ada niat yang baik dan disertai dengan doa karena doa itu adalah jantung
ibadah. Naik haji adalah salah satu niat utama kami menjalankan usaha
(H. Suleman, 11 Maret 2006).
96

Berkat niat yang suci untuk menyempurnakan ibadah (haji) dan meningkatkan
ibadah lainnya seperti ZIS dan lainnya, maka di samping motivasi dan semangat kerja
yang meningkat juga menimbulkan perilaku hemat dan rajin menabung, karena diakui
bahwa hanya dengan jalan seperti itu, niat suci tadi bisa cepat tercapai, seperti
diungkapkan berikut.
“Untuk mengejar niat itu harus disisihkan sedikit-sedikit (menabung)
dari hasil keuntungan usaha yang dijalankan dan alhamdulillah kalau kita
sudah niatkan maka akan bisa terlaksana. Rata-rata orang Gu-Lakudo
yang berdagang itu sudah haji” (H. Suleman, 11 Maret 2006).

Tentang niat ini ada beberapa kasus menarik yang relevan. Kasus-kasus tersebut
diangkat dari pengalaman dan ungkapan informan sebagai berikut.

Kasus 1. Pengalaman H. Umar.


Berdasarkan ajaran yang kami peroleh dari KH.Abdul Syukur, sebagaimana yang
telah dibicarakan bahwa apa pun yang kita usahakan walaupun hanya jual lombok tapi
harus diniatkan untuk naik haji. Seperti saya niatkan pertama kali menjalankan usaha ini
adalah untuk naik haji, maka sekitar tiga tahun kemudian setelah berusaha di Raha ini,
tepatnya tahun 1992 saya sudah bisa naik haji yang pertama bersama istri dan pada
tahun 1996 juga saya naik haji yang kedua kalinya bersama anak-anak (H. Umar, 9
Maret 2006).

Kasus 2. Pengalaman H. Pele/H. Muhammad Saleh.


Memang niat dan tujuan kami berusaha ini adalah untuk bisa naik haji untuk
menyempurnakan rukun Islam. Sejak saya merantau di Ambon dulu dengan pikul-pikul
bakul sudah punya niat untuk cari modal usaha agar bisa menjual supaya bisa naik haji.
Karena niat saya seperti itu, maka alhamdulillah tahun 1997 saya sudah naik haji, waktu
itu ongkos naik haji masih 7 juta. Jadi sejak berusaha sekitar 8 tahun baru bisa naik haji.
Tetapi ada juga yang hanya dua tahun sudah naik haji, tergantung dari rezekinya masing-
masing orang (H. Pele/H. Muhammad Saleh, 9 Maret 2006).

Kasus 3. Pengalaman H. Syarifuddin.


97

H. Syarifuddin bersama istrinya, ketika ketemu di kiosnya lantai 2 pasar La


Elangi setelah shalat dzuhur. Kami menjual ini baru tiga tahun, kami mulai jualan ini
dengan modal Rp.12.000.000 dan alhamdulillah saat ini kami sudah bisa naik haji
berdua. Saat itu kami tidak punya uang sendiri, karena kami eksodus Ambon. Kami
malah setengah dipaksakan oleh H.Baharuddin agar kami menjual dan langsung
diberikan modal tanpa bunga. Beliaulah yang usahakan kami kemudian dibukakan kios,
beliau yang doakan agar kami bisa menjalankan dengan baik, dan setelah tiga tahun
berjualan kami ditanya H. Baharuddin bahwa apakah sudah punya uang untuk bisa naik
haji, kami bilang ya, namun masih pas-pasan. Kami bilang bahwa kalau naik haji
sekarang nanti modal kami akan berkurang banyak sehingga tidak bisa jualan lagi,
apalagi sebagai eksodus kami masih kontrak belum punya rumah.
Ketika itu kami dinasehati oleh H.Baharuddin bahwa rezeki itu dari Allah semua
dan naik haji juga adalah perintah Allah, karenanya insya Allah kalian tidak akan miskin
setelah naik haji. Dan memang kenyataan seperti itu tidak ada orang miskin karena naik
haji, malahan tetap berkembang yang penting berusaha dengan baik sebagaimana yang
dijalankan saat ini. Kami dipaksa waktu itu untuk naik haji dan beliau bilang bahwa
kalau uangnya belum terkumpul nanti saya (H.Baharudin) usahakan untuk dicukupkan.
Karena beliau kami anggap orang tua, akhirnya kami ikuti ajakan beliau naik haji dan
belum lama kembali. Alhamdulillah apa yang beliau katakan itu terbukti bahwa setelah
kami pulang naik haji, kami masih tetap bisa menjual dan setelah kembali, malah sudah
dua kali pergi belanja dan kebetulan saat ini juga baru saja pulang belanja. Jadi kalau
memang niat utama kita membuka usaha adalah naik haji, maka insya Allah akan
terbukti, dan memang harus begitu niatnya sambung istrinya. Namun suaminya
mengungkapkannya dengan kalimat lain yaitu “bahwa kalau saya niatnya berusaha agar
ada lebihnya disimpan untuk naik haji, karena kalau sudah ada lebihnya kita mau apa
lagi kalau tidak naik haji menyempurnakan ibadah. Karena itu saya menyarankan, kalau
kita sudah mau dan sudah bisa mencukupi ongkos naik haji, maka jangan banyak pikir
lagi tentang harta bahwa nanti kita rugi tidak bisa lagi berusaha, itu nanti Allah yang
atur. Karena biar kita punya rumah tingkat tiga kalau belum ada kemauan atau panggilan
Allah tidak bisa juga, makanya niat itu sangat penting. Mungkin saja orang kaya yang
98

belum haji itu tidak pernah berniat untuk naik haji, karena semua itu tergantung dari niat
(H. Syarifuddin,16 Juni 2005).

Kasus 4. Pengalaman H. Sabirin tentang Keampuhan Niat.


H. Sabirin sebagai pedagang yang sekarang mengelola pesantren yang
didirikannya sendiri, yaitu Pondok Pesantren Syekh Abdul Wahid yang terletak di
tengah-tengah Kota Bau-Bau. Niat itu sangat penting pada setiap memulai suatu usaha.
Ketika dulu saya punya niat ingin menjalankan misi agama, dengan mendirikan
pesantren. Pada saat saya mengutarakan niat itu sempat ditertawai oleh Kandepag,
karena ditahu bahwa saya tidak punya uang dan juga tidak punya sekolah. Hanya saja
untuk mewujudkan niat saya tersebut ke Ka Kandepag, beliau tidak mengetahui bahwa
saya sudah berhubungan dengan pengurus Gontor dan selalu bertanya sama mereka. Niat
saya adalah suci yaitu tidak lain agar bagaimana pendidikan agama Islam ini
berkembang dengan baik seperti yang dilakukan di Gontor, maka dalam pemikiran saya
kenapa tidak diadakan juga di Bau-Bau.
Dengan semangat untuk mewujudkan niat tersebut, maka saya bekerja keras,
sehingga Alhamdulillah pesantren yang saya dambakan itu sudah berdiri dan saat ini
tinggal mengembangkannya. Insya Allah kalau niat untuk kebaikan pasti bisa, sebab itu
sudah terbukti. Dengan demikian, maka saya bisa mengatakan bahwa niat itu adalah
modal besar, sesuai hadits Rasulullah: Innamal a’amalu bin niat (segala sesuatu
tergantung dari niatnya). Berdasarkan semangat yang terpancar dari niat yang kuat dan
suci tersebut, saya tidak pernah peduli dengan perkataan sindiran seperti yang
diungkapkan oleh Kandep Agama tadi. Saya bertekad bahwa kalau misi ini jalan maka
saya akan mendapat dua pahala, tetapi kalau gagal berarti hanya dapat satu pahala,
karena apa yang saya lakukan merupakan misi (syiar) mengembangkan agama. Ini
semua adalah nasehat yang pernah disampaikan oleh H.Abdul Syukur kepada saya,
ketika itu beliau sementara baring-baring di masjid Lakudo dan saya memijit-mijit
kakinya, sehingga ilmu yang biasanya tidak dikeluarkan sama orang lain dia keluarkan
sama saya (H. Sabirin, 9 Juni 2005).
99

Manfaat Niat dalam Berbisnis

Apa yang dapat kita pahami dari telaah fenomena empiris, menunjukkan bahwa
niat merupakan unsur daya dorong yang sangat penting dalam segala kegiatan umat
Islam dan inilah yang dipraktekan oleh masyarakat pedagang Gu-Lakudo dalam
menjalankan usaha dagangnya. Mereka sangat memahami bahwa niat itu adalah suatu
keharusan, karena disyariatkan dalam Islam. Untuk itu, setiap muslim harus beriman
kepada urgensi niat bagi seluruh amal perbuatan agama dan dunianya, sebab seluruh
amal perbuatan akan terhormat dengannya, kuat-lemahnya tergantung padanya, dan
baik-buruknya terkait dengannya (Al-Jazairi, 2003:105).
Dalam dunia bisnis, niat dan atau tujuan itu diarahkan untuk mendapatkan rezeki
berupa kemudahan dan keuntungan usaha, agar usahanya berkembang. Khusus bagi
masyarakat Gu-Lakudo niat atau tujuan menjalankan usaha sebagaimana yang telah
dijelaskan adalah untuk menyempurnakan rukun Islam yaitu menunaikan ibadah haji
bagi yang belum haji, sedangkan bagi mereka yang telah menunaikannya niatnya adalah
untuk meningkatkan ibadah seperti mengeluarkan infak dan sedekah dan amal-amal
jariah lainnya. Inilah dasar motivasi yang menyebabkan mereka bekerja keras dan dari
hasilnya itu dipupuk atau ditabung sedikit demi sedikit, sehingga menjadi akumulasi
modal yang lebih besar. Sebagaimana niat, maka tujuan dalam sebuah usaha juga adalah
berfungsi sebagai pedoman dan tercapai atau tidaknya merupakan salah satu indikator
keberhasilannya.
Keimanan seorang muslim kepada urgensi niat bagi seluruh perbuatan, dan
kewajiban perbaikan niat telah terungkap pada beberapa firman Allah dalam Al-Qur’an2.
Sementara dalam hadits didapati, antara lain yang diriwayatkan oleh Bukhari dan
Muslim dari Umar bin Khattab bahwa setiap perbuatan hanya sah dengan niat, dan setiap
orang akan mendapatkan imbalan sesuai dengan niatnya dan hadis yang diriwayatkan
oleh Muslim dari Abu Hurairah Allah tidak melihat kepada bentuk fisiknya kalian, dan
harta kalian, namun melihat kepada hati kalian, dan amal perbuatan kalian. Penglihatan
kepada hati berarti penglihatan kepada niat, sebab niat adalah motivasi amal perbuatan

2
Firman Allah: “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan
kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus” (QS. Al-Bayyinah:5) dan firman Allah: “Katakanlah,
Sesungguhnya aku diperintahkan supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam
(menjalankan) agama” (QS. Az-Zumar:11).
100

(Al-Jazairi, 2003:106). Hal ini, telah terbukti dalam kehidupan usaha masyarakat Gu-
Lakudo, bahwa dengan motivasi kerasnya untuk mencapai niatnya yang suci yaitu
menyempurnahkan rukun Islam naik haji ke tanah suci Mekkah, maka rata-rata usahanya
berhasil, sehingga dalam beberapa tahun sudah bisa naik haji, seperti dikatakan informan
berikut:
“Kami menjual ini baru tiga tahun, kami mulai jualan ini dengan modal
Rp.12.000.000 dan alhamdulillah saat ini kami sudah bisa naik haji
berdua. Karena itu saya menyarankan, kalau kita sudah mau dan sudah
bisa mencukupi ongkos naik haji, maka jangan banyak pikir lagi tentang
harta bahwa nanti kita rugi tidak bisa lagi berusaha, itu nanti Allah yang
atur. Karena biar kita punya rumah tingkat tiga kalau belum ada kemauan
atau panggilan Allah tidak bisa juga, makanya niat itu sangat penting.
Mungkin saja orang kaya yang belum haji itu tidak pernah berniat untuk
naik haji, karena semua itu tergantung dari niat” (H. Syarifuddin,16 Juni
2005).

Demikian pula dengan yang diungkapkan oleh H. Umar seperti yang telah
dipaparkan pada kasus terdahulu bahwa dengan niat pertama kali buka usaha untuk mau
naik haji, maka setelah tiga tahun berusaha sudah bisa naik haji berdua bersama istri,
sementara H. Muhammad Saleh mengatakan setelah dekapan tahun berusaha baru bisa
naik haji, karena dikatakannya semua itu tergantung dari rezeki masing-masing orang,
karena ada yang hanya dua tahun saja berusaha sudah bisa naik haji. Persoalan ini,
disamping tergantung dari rezeki juga tidak terlepas dari kerja keras dan kehati-hatian
dalam mengelola usaha, seperti tidak bersikap boros dan selalu rajin menabung. Karena
akan beda orang yang hati-hati tidak dan rajin menabung dengan orang yang boros dan
tidak rajin menabung, walaupun niatnya sama yaitu sama-sama ingin menyempurnahkan
ibadah.
Bagi seorang muslim, hanya diwajibkan berniat untuk kebaikan, karena orang
yang mempunyai niat yang baik akan dibalas dengan pahala orang yang mempunyai
amal saleh, seperti halnya niat-niat suci dari semua masyarakat Gu-Lakudo yang ingin
menyempurnakan dan meningkatkan ibadah. Mereka telah memperoleh imbalan
kesalehan menuaikan ibadah haji dan meningkatkan ibadah lain seperti membayar zakat,
infak dan sedekah sebagai akibat dari kerja kerasnya mengembangkan usaha sehingga
dapat berhasil. Sedangkan orang-orang yang mempunyai niat yang rusak akan dibalas
dengan dosa orang mempunyai amal yang rusak.
101

Pada bagian lain Al-Jazairi (2003) menjelaskan bahwa hanya dengan niat yang
rusak, sesuatu yang mubah berubah menjadi sesuatu yang haram, dan sesuatu yang
diperbolehkan menjadi sesuatu yang dilarang, serta sesuatu yang tidak ada kesulitan
berubah menjadi ada kesulitan di dalamnya. Ini semua menguatkan keyakinan orang
Muslim kepada urgensi niat dan nilainya yang agung. Oleh karena itu, orang Muslim
membangun seluruh amal perbuatannya di atas niat yang saleh, dan berusaha keras
untuk tidak mengerjakan amalan tanpa niat, atau niat yang tidak benar. Sebab niat
adalah intisari amal perbuatan dan pilarnya. Baik tidaknya amal perbuatan tergantung
pada niatnya. Karena itulah, masyarakat Gu-Lakudo tidak pernah mengabaikan niat
dalam segala aktivitas keseharian mengurusi dagangan mereka, sebagaimana yang
senantiasa disarankan oleh orang tua mereka berikut:
“Bahwa keberhasilan dari segala sesuatu yang kita lakukan itu sangat
tergantung dari niat. Dalam berusaha dapat diniatkan, baik jangka
panjang maupun jangka pendek dalam jangka pendek dapat diniatkan
untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, namun dalam jangka panjang
misalnya untuk menyempurnakan ibadah seperti naik haji, maka Allah
akan mengabulkan niat kita, yang penting tetap berusaha sesuai
ketentuan agama, tidak memperdagangkan barang-barang yang dilarang
atau menipu orang” (H. Baharuddin, 15 Juni 2005).

Niat merupakan kriteria sahnya ibadah secara umum. Dengan kata lain, semua
bentuk amal kebaikan dapat dikatakan ibadah ammah (umum) bila dilandasi dengan niat
semata-mata karena Allah. Selain itu niat juga diutamakan dalam ibadah mahdah dengan
tujuan untuk membedakan ibadah mahdah yang satu dengan lainnya, misalnya untuk
membedakan shalat fardhu dan shalat sunnah. Niat juga merupakan salah satu sahnya
ibadah mahdah (lihat QS. Al-Bayyinah:5)3.
Islam menganjurkan bahwa semua aktivitas atau usaha yang akan dilaksanakan
harus diawali dengan niat yang baik atau dalam ekonomi konvensional lebih dikenal
tujuan, agar semuanya dapat bernilai ibadah atau dapat menunjang pelaksanaan dan
penyempurnaan ibadah yang diwajibkan oleh Allah, sebab apa pun kebaikan yang
dilakukan manusia merupakan bentuk penghambaan dan penyembahan hamba terhadap
khalik-Nya dan penghambaan itu hanya mendapat penilaian dari Allah kecuali ada

3
Firman Allah: “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-
Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus”... (QS. Al-Bayyinah:5)
Hadis Nabi: “Sesungguhnya amal itu tergantung dari niatnya, dan sesungguhnya apa yang diperoleh oleh seseorang
adalah sesuai dengan apa yang diniatkannya” (HR. Bukhari dan Muslim).
102

niatnya4. Nurcholish Madjid mengomentari bahwa hadits tentang niat yang berbunyi
segala sesuai tergantung dari niatnya merupakan sebuah hadits yang amat terkenal, dan
konon merupakan hadits yang paling otentik di antara semua hadits (Madjid, 2000:412).
Lebih jauh beliau menjelaskan bahwa nilai dari setiap bentuk kerja itu tergantung
kepada niat-niat yang dipunyai pelakunya. Jika niat atau tujuannya tinggi (seperti tujuan
mencapai ridha Allah) maka ia pun akan mendapatkan nilai kerja yang tinggi, dan jika
tujuannya rendah (seperti, misalnya, hanya bertujuan memperoleh simpati sesama
manusia belaka), maka setingkat tujuan itu pulalah nilai kerjanya tersebut.
Nabi menegaskan bahwa nilai kerja manusia tergantung kepada komitmen yang
mendasari kerja itu. Tinggi-rendahnya nilai kerja itu diperoleh seseorang sesuai dengan
tinggi-rendah nilai komitmen yang dimilikinya. Komitmen atau nilai adalah suatu bentuk
pilihan dan keputusan pribadi yang dikaitkan dengan sistem nilai (value system) yang
dianutnya. Oleh karena itu komitmen atau niat berfungsi sebagai sumber dorongan batin
bagi seseorang untuk mengerjakan atau tidak mengerjakan sesuatu, dan jika ia
mengerjakannya, akan dikerjakannya dengan tingkat kesungguhan yang tinggi.
Tentang komitmen dan kesungguhan yang tinggi ini, dalam praktek di
masyarakat Gu-Lakudo seperti ditunjukkan oleh H. Sabirin, ketika berniat untuk
mengembangkan misi agama di Bau-Bau dengan mendirikan sebuah lembaga
pendidikan pesantren yang dilakukan dengan kerja keras walaupun tanpa dukungan uang
kontan ditambah lagi tidak direstuinya oleh Kepala Kantor Agama Kabupaten saat itu,
namun dengan komitmennya, beliau tetap jalankan dan akhirnya saat ini lembaga
pendidikan tersebut sudah berjalan dengan baik dengan dukungan santri sekitar 200
orang santri, yang terakhir ini bernama “Pondok Pesantren Syekh Abdul Wahid”.
Suatu niat yang suci harus dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab dan
komitmen yang tinggi dengan kerja keras dan semata-mata karena ridha Allah bukan
karena tujuan lain untuk dipuji dan membanggakan diri dengan menyebut-nyebut
keberhasilan atau kebaikan yang telah dilakukan (QS. Al-Baqarah:264)5. Perbuatan baik

4
Firman Allah: “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku …” (QS. Adz-
Dzariyat:56). Hadits Nabi: “Sesungguhnya amal itu dinilai bila disertai dengan niat. Dan sesungguhnya masing-masing
orang mendapatkan balasan dari perbuatannya sesuai dengan niatnya …” (HR. Bukhari dan Muslim).
5
Peringatan tentang persoalan niat dan komitmen untuk melaksanakannya, pada dasarnya sudah tergambar dalam
firman Allah: “Wahai sekalian orang-orang yang beriman! Janganlah kamu membatalkan sedekah-sedekahmu dengan
umpatan (menyebut-nyebut kebaikan itu) dan sikap menyakitkan hati, seperti orang yang mendermakan hartanya secara
pamrih kepada manusia dan tanpa ia beriman kepada Allah dan Hari Kiamat. Perumpamaan orang itu adalah bagaikan
batu besar yang keras, yang di atasnya ada sedikit debu, kemudian ditimpa oleh hujan lebat dan batu itu
103

seperti sedekah pun akan kehilangan nilai kebaikannya yang intrinsik kerena motivasi
pelakunya yang rendah, yaitu hanya ingin diketahui atau dipuji orang dengan menyebut-
nyebutnya, tidak pada harapan untuk mencari ridha Allah.
Setiap orang seharusnya berniat untuk melakukan sesuatu, karena ada tujuan
yang hendak dicapai dari niat sucinya itu (bukan niat untuk pamer dan menyakiti hati
orang). Karena itu, penetapan tujuan yang jelas merupakan persoalan yang sangat
penting sebelum melakukan suatu pekerjaan, agar apa yang dikerjakan terkonsentrasi
pada suatu arah yang jelas. Dengan demikian akan terjadi suatu efisiensi dan efektivitas
yang tinggi, karena semua energi terpusat pada suatu titik tertentu menuju tujuan yang
telah ditetapkan tadi. Hal seperti inilah yang dilakukan oleh masyarakat Gu-Lakudo,
bahwa dengan dituntun oleh niatnya meningkatkan ibadah, maka apa pun yang
diusahakan itu dikonsentrasikan untuk mencapainya melalui penyisihan berapa pun
pendapatan yang diperoleh harus ada yang ditabung.
Dalam hubungan ini, Munawwir (1986:149) menulis bahwa orang-orang yang
sukses memusatkan perhatiannya semata-mata kepada suatu tujuan, dan inilah yang
membangkitkan tenaga begitu dahsyat. Segala kekuatan dan energi, diarahkan kepada
suatu titik tertentu, sehingga dia merupakan kumpulan dari berbagai kekuatan.
Munawwir mengajak, marilah kita mendalami makna tujuan-tujuan itu. Jika anda
menyerahkan diri kepada hasrat keinginan dan cita-cita anda, jika anda menggandrungi
tujuan anda, maka anda akan mendapatkan kekuatan fisik dan semangat yang diperlukan
untuk mencapai tujuan anda. Di samping itu anda akan mendapatkan sesuatu yang
sangat berharga. Anda akan mendapatkan peralatan “otomatis yang diperlukan untuk
membawa anda maju, langsung menuju ke tujuan anda. Yang paling mengherankan dan
mengagumkan ungkap Munawwir mengenai tujuan yang dihayati ialah membuat anda
langsung menuju ke sasaran anda. Memang betul demikian. Demikian keterangan:
Apabila anda menyerahkan diri kepada tujuan anda, tujuan itu sendiri bekerja di bawah
sadar anda. Bawah sadar anda selalu siap sedia. Tanpa bekerjasama dengan bawah
sadarnya, orang menjadi ragu-ragu, bingung, tak bisa mengambil keputusan. Dan,
setelah tujuan anda terserap di dalam bawah sadar, maka anda akan bereaksi tepat,
secara otomatis. Maka kesadaran anda akan siap untuk berpikir cerah dan terang.

ditinggalkannya tanpa apa-apa. Orang-orang serupa itu tidak akan berbuat sesuatu dengan apa yang telah mereka
lakukan. Dan Allah tidak akan memberi petunjuk kepada kaum yang ingkar” (QS. Al-Baqarah:264).
104

Niat dalam konteks ini bukan hanya sekedar diucapkan secara lisan dan meyakini
sebagai rukun amal perbuatan dan syaratnya dengan mengatakan, Allahumma nawaitu
kadza (Ya Allah, aku berniat melakukan amal perbuatan ini), dan tidak pula hanya
sekedar pembicaraan jiwa. Namun, niat adalah kebangkitan hati kepada amal perbuatan
yang baik untuk tujuan mulia yang mendatangkan manfaat, dan sebaliknya menolak
maksiat yang terjadi sekarang, atau mendatang. Niat merupakan pernyataan keinginan
atau tujuan yang hendak dicapai dalam segala aktivitas dan diarahkan kepada amal
perbuatan dalam bentuk kerja keras untuk mencari keridhaan Allah.
Berdasarkan hadis-hadis tersebut, sah atau tidaknya dan diterima atau tidaknya
suatu perbuatan ibadah sangat bergantung pada niat, maka terdapat kaitan erat antara
niat dan perbuatan ibadah. Kedudukan niat sangat menentukan kualitas perbuatan ibadah
dan hasil yang diperolehnya karena niat itu adalah jiwa dari perbuatan, pedoman dan
kemudinya. Menurut Jumhur (mayoritas) ulama, niat itu wajib dalam ibadah. Niat
merupakan syarat sah suatu ibadah. Demikian halnya dalam bermuamalah atau
menjalankan transaksi bisnis yang mengharapkan keridhaan Allah, sangat diharuskan
adanya niat terlebih dahulu.

Jika Tidak Berniat

Kalau niat dikatakan sebagai gerakan hati tentang tujuan yang hendak dicapai
yang dengannya seseorang termotivasi untuk melaksanakannya, maka dapat dipastikan
bahwa tanpa niat baik yang diridhai Tuhan, suatu aktivitas tidak akan punya arah yang
jelas, sehingga motivasi yang ada dengan segala keberhasilannya hanya akan menjadi
demonstrasi belaka yang tidak bernilai ibadah. Hal semacam ini, telah dikatakan oleh
Al-Jazairi (2003:107) bahwa amal perbuatan tanpa disertai akan niat menjatuhkan
pelakunya ke dalam riya dan tercela.
105

3.2. Doa dalam Berbisnis

Telaah Kasus
Dunia dan seluruh isinya, termasuk rezeki yang dicari kemudian dimakan adalah
semua milik Allah. Apa yang kita peroleh dari hasil usaha yang kita jalankan semua
hanya karena kemurahan Sang Pemilik. Tidak ada seorang pun manusia yang mampu
menciptakan rezekinya sendiri, karena dia juga adalah ciptaan-Nya. Untuk itu, bagi
manusia yang sadar akan hal itu, mengetahui konsistensinya dalam kehidupan ini, tidak
ada tempat dan waktu untuk tidak berdoa, memohon kepada Sang Pemilik, Sang
Pencipta yaitu Tuhan Yang Maha Esa, Allah.
Masyarakat Muslim Gu-Lakudo yang menjalankan usaha dagang, memahami
betul hal itu, sehingga semua kegiatan dalam menjalankan usahanya selalu dimulai
dengan doa, tentunya setelah diniatkan lebih dahulu. Beberapa pernyataan tentang hal
tersebut akan dikemukakan sebagai berikut.
“Dalam memulai usaha biasanya kita harus baca doa selamat dulu,
karena doa itu penting dan dianjurkan untuk setiap kegiatan, mohon
dihindarkan dari bahaya, mohon keberkahan dari usaha yang dijalankan.
Kemudian setelah berhasil ada juga sebagian yang bikin acara baca doa
syukuran walaupun tidak semua, tergantung kemauan” (H. Mansyur, 2
Juli 2005).

Dalam praktek dagang masyarakat muslim Gu-Lakudo, tidak akan memulai


usahanya sebelum terlebih dahulu melakukan ritual baca doa, yaitu doa selamat agar
terhindar dari mara bahaya, di samping tetap berikhtiar. Jadi bukan doa untuk supaya
menjadi kaya, karena doa seperti ini tidak dibolehkan atau dilarang agama.
Doa sangat diharuskan dalam Islam, karena doa adalah jantung ibadah dan
agama Islam. Doa yang dianjurkan adalah doa sesuai petunjuk Al-Qur’an haditz Nabi,
yaitu seperti diungkapkan informan berikut:
“Doa yang dipanjatkan adalah doa berikhtiar, agar diberikan kemudahan
dan keselamatan untuk mendapatkan rezeki halal, bukannya doa yang
berupa ajimat-ajimat, karena doa seperti ini dilarang Islam, misalnya
percaya tulisan-tulisan Al Qur’an di kertas dan lain-lain agar hartanya
terlindungi dari bahaya, hal itu tidak boleh, karena termasuk syirik dan
sangat dilarang. Malah salah satu doa yang baik adalah menyedekahkan
harta walaupun sedikit agar hartanya bisa terlindungi, karena sedekah itu
106

juga sebenarnya adalah doa” (H. Mansyur, 2 Juli 2005; H. Ahmad


Hamzah, 26 Oktober 2005).

Ungkapan H. Mansyur dan H. Ahmad Hamzah dibenarkan oleh Muh. Saleh


Laksana ketika kami temui di kiosnya di pasar La Elangi Bau-Bau setelah shalat ashar
bersama. Beliau yang alumni Gontor ini berdagang sambil ngajar sebagai ustadz pada
pondok pesantren Syekh Abdul Wahid milik H. Sabirin. Beliau mengungkapkan bahwa:
Tradisi orang Gu-Lakudo ini dalam memulai usaha selalu diawali dengan
membaca doa terlebih dahulu yaitu doa selamat dan kemudahan serta
keberkahan dalam berusaha. Hal itu ada yang melakukannya pada saat
mau pergi belanja dan ada juga pada saat mau buka kiosnya (Muh. Saleh
Laksana, 3 Juli 2005).

Dari pernyataan tersebut dapat dikatakan bahwa baca doa dalam memulai usaha
atau akan berbelanja sudah menjadi tradisi di lingkungan masyarakat Muslim Gu-
Lakudo. Diungkapkan pula bahwa:
Adapun yang menyangkut modal uang, tidak akan digunakan sebelum
dibacakan doa terlebih dahulu. Artinya Doa merupakan suatu keharusan
untuk dilakukan sebelum suatu usaha atau kegiatan dagang dijalankan.
Karena diyakini bahwa hanya dengan berdoa itulah Allah akan
memberikan rezeki (H. Abdul Azis, 3 Juli 2005).

Demikianlah praktek yang terjadi di masyarakat Gu-Lakudo bahwa mereka tidak


akan membelanjakan atau memfungsikan uang atau modal materi yang dimiliki kalau
tidak berdoa lebih dahulu. Ini berarti bahwa dengan modal uang saja tidaklah cukup bagi
mereka untuk menjalankan usaha tanpa didampingi dengan modal doa sebagai benteng,
memohon kehadirat-Nya agar diberikan keselamatan, dijauhkan dari musibah dan
dimudahkan rezekinya.
Oleh karena itu, H. Baharuddin (sesepuh masyarakat Gu-Lakudo) menekankan
bahwa:
“Sebelum memulai usaha, semestinya semua umat ini harus baca doa
dulu, agar apa yang diinginkan dapat tercapai. Caranya, bikin air panas
atau apa saja baru kita duduk meminta doa kepada Yang Kuasa agar
usaha kita lancar. Jadi kalau nanti usaha atau jualan tersebut dibuka pagi-
pagi sudah berkah” (H. Baharuddin, 9 Juni 2005).

Tradisi seperti inilah yang berlaku dalam masyarakat Gu-Lakudo yang


menjalankan usaha dagang. Berikut adalah ungkapkan informan:
107

“Saya tidak tahu di masyarakat lain, tetapi khusus kami di masyarakat


Gu-Lakudo memang harus begitu, mau masuk rumah, mau buka usaha,
harus diawali doa dulu. Sebab dalam ajaran Islam sudah dikatakan
bahwa “Ud uuni astajib lakum”, mintalah kepada-Ku niscaya akan Aku
berikan. Ini yang kami praktekan, karena doa itu sebenarnya sangat
gampang syaratnya hanya saja kadang kita tidak amalkan, yaitu dibuka
dengan shalawat dan ditutup dengan shalawat, bisa diucapkan di mana
saja dan kapan saja” (H. Baharuddin, 9 Juni 2005).

Doa dalam pemahaman masyarakat Gu-Lakudo diakui sebagai salah satu unsur
penyebab keberhasilan usaha yang mereka jalankan dan dalam sejarah perkembangan
usaha mereka mengakui berkat doa dari KH.Abdul Syukur dan KH. Asy’ari. Demikian
diungkapkan informan bahwa:
“Beliau-beliau (KH.Abdul Syukur dan KH. Asy’ari) inilah yang
mendoakan untuk kesejahteraan masyarakat kami, dan mengajarkan
bukan hanya ibadah saja tetapi juga masalah bermuamalah, mengajarkan
doa-doa untuk berusaha” (H. La Angge, 2 Juni 2005).

H. Baharuddin pun mengakui hal tersebut dengan mengatakan bahwa:

“Selama KH.Abdul Syukur ada di Gu-Lakudo ini masyarakat sejahtera,


karena doa beliau itu makbul untuk kepentingan masyarakat kami. Saat
itu rezeki masyarakat melimpah ruah, dari hasil laut begitu banyaknya
diperoleh, sehingga dari hasil ini sebagian dijadikan modal untuk
berdagang. Masya Allah masyarakat kami sejahtera, karena doanya
beliau itu memang untuk masyarakat” (H. Baharuddin, 9 Juni 2005).

Dan simak pula ungkapan informan berikut:

“Karena doanya KH. Abdul Syukur yang makbul, menjadikan datangnya


rezeki bagi masyarakat Gu-Lakudo yang memasang bagan memperoleh
hasil begitu banyak. Saat itu paling sedikit mereka mendapat 500 ribu per
bulan dari harga ikan kering. Sehingga Koperasi Makmur yang dibentuk
oleh KH. Abdul Syukur saat itu sebagai penyangga ekonomi masyarakat
berkembang baik. Dikatakan sebagai penyangga karena koperasi inilah
yang menampung semua hasil nelayan masyarakat dan menyediakan
segala kebutuhan pokok dan peralatan yang digunakan untuk melaut.
Ada keterangan bahwa kopersai ini adalah yang tertua di Sulawesi
Tenggara” (H. Muliya Basri, 4 Januari 2005).

Antara doa dan usaha sama pentingnya dalam kehidupan ini, karena itu harus
jalan bersamaan. Simak ungkapan berikut:
“Bagaimana bisa berhasil kalau hanya berdoa saja tidak berusaha,
sebaliknya kalau hanya berusaha tanpa doa (menjalankan shalat dan
108

zakat) tidak akan berkah. Berkah daripada doa itu sangatlah besar
terhadap datangnya rezeki. Rezeki itu akan datang dari mana saja yang
kadang tidak dapat diduga manusia” (H. La Angge, 4 Juni 2005).

H. La Angge meyakinkan bahwa, lihat saja tokoh saya ini alhamdulillah tidak
pernah sepi, kalau jam-jam 9 pagi itu padat sekali, padahal di toko lain itu biasanya sepi.
Beliau mengakui bahwa keberhasilan itu dicapai karena kerja yang disertai doa dan
ketaatan terhadap perintahnya seperti melaksanakan shalat sebagai sarananya. Demikian
ungkapan beliau.
“Semua saya sadari bahwa berkat rezeki dari ibadah yang di dalamnya
selalu saya sertakan doa. Saya mengamalkan doa-doa dari shalat dhuha
10 kali, kemudian di shalat fajar dengan membaca dzikir: Subhanallah
wabihamdihi adzim astagfirullah 100 kali. Setelah itu kita baca
Allahumma rabba haadzi wajibrika Muhammadin saw 3 kali, setelah itu
saya dzikir lagi 100 kali Subuhanallah wabihamdihi adzim astagfirullah.
Habis shalat dhuha saya baca lagi Ya basith 10 kali kemudian berdoa
yang dianjurkan pada shalat itu, yaitu: Yang tidak halal dibersihkan,
yang jauh didekatkan, yang di dalam bumi dimunculkan. Kalau shalat
lain tidak ada ketentuan, tetapi kita bisa tambah doa itu setiap selesai
shalat. Sebenarnya surat al Waqiah itu sangat baik dibaca, tetapi kadang
kita tidak punya waktu, karena panjang, makanya saya pilih zikir-zikir
pendek saja. Ibu-ibu sangat cocok baca al Waqiah pada subuh hari” (H.
La Angge, tanggal, 4 Juni 2005).

Keberhasilan setiap usaha juga tidak terlepas dari doa istri sebagaimana
diungkapkan bahwa:
“Keberhasilan usaha ini juga berkat doa yang selalu kita minta kepada
Allah, termasuk doanya istri. Beliau kemudian menyarankan agar ibu-ibu
itu harus selalu berdoa meminta, utamanya baca Al Fatihah, dan surat
Waqiah bagi mereka yang menjual” (H. La Angge, 4 Juni 2005).

Karena itu, maka dalam berusaha kita harus banyak berdoa. Dalam hubungan ini,
H. La Angge mengungkapkan bahwa:
“Untuk memperbanyak doa, maka saya praktekan cepat tidur dan cepat
bangun untuk shalat tahajjud, shalat fajar dan insya Allah setiap malam
bisa bangun setengah tiga” (H. La Angge, 4 Juni 2005).

Sementara untuk mempermudah rezeki dalam hubungannya dengan doa tersebut,


maka dalam yang dilakukan H. La Angge dapat disimak melalui ungkapannya berikut:
“Kemudian beliau mengatakan pula bahwa untuk memudahkan rezeki,
kita harus cepat buka jendela dan ucapkan Bismillahir rakhmani rahim
109

wa ala rizqiqa aftartu birakhmatika ya arhamar rahimin” (H. La Angge,


4 Juni 2005).

Adapun teks dan materi doa yang digunakan oleh masyarakat Gu-Lakudo yang
menjalankan usaha dagang adalah sesuai dengan yang tercantum dalam Al-Qur’an,
sebagaimana diungkapkan bahwa:
“Saya dan semua masyarakat Gu-Lakudo yang paham agama itu tidak
lagi memakai doa-doa orang dulu, tetapi yang kami pakai adalah apa saja
yang ada dalam Al-Qur’an, karena dalam Al-Qur’an itu sudah lengkap
semua. Saya sarankan kita pakai saja doa dalam Al Qur’an karena tidak
ada lagi yang bisa melawan Tuhan dan yang Maha Memberi” (H. La
Angge, 4 Juni 2005).

Demikian pula kalau usaha mereka sudah berhasil, maka dalam tradisi,
masyarakat Gu-Lakudo, harus baca doa-doa syukur khusus, agar ditambahkan rezeki.
Dalam praktek, biasanya mereka memanggil orang tua untuk dibacakan. Bersyukur atau
berterima kasih kepada Allah dengan keberhasilan yang dicapai biasanya juga dilakukan
dengan sujud syukur.
Dalam keseharian menjalankan usaha, kalau sudah dapat rezeki atau sudah laku
walaupun sedikit, kita langsung baca Alhamdulillah, atau Rabbana aatina fiddunia
hasanah wal fil akhirati hasanah (H. Baharuddin, 9 Juni 2005). Karena, bagaimana pun
kita berusaha atau mencari tetapi kalau tidak pandai mensyukuri nikmat Allah, maka apa
yang kita peroleh tidak akan berkah atau usaha yang dijalankan bisa jadi tidak lancar,
karena tidak pernah bersyukur, padahal semua yang diperoleh adalah atas ridha Allah
(H. Kaharuddin Syukur, 16 Desember 2004).
Masyarakat Gu-Lakudo itu tetap memegang pemahaman bahwa kalau mulai
buka usaha itu harus baca doa dulu dan kalau sudah berhasil ya begitu juga untuk baca
doa syukur. Hal ini diceritakan oleh Hasanuddin Buro (karyawan BRI) yang banyak
mengenal tokoh masyarakat bahwa:
“Satu kali saya pernah telpon ke rumahnya H. Baharuddin, tetapi beliau
tidak ada, anaknya bilang bahwa pak haji masih pergi baca doa. Setalah
beliau datang mengatakan memang saya tadi dipanggil baca doa untuk
orang yang baru mau buka kiosnya. Setelah itu saya tanya bahwa kenapa
tidak langsung baca di kiosnya saja seperti di La Elangi dulu yang saya
tahu hampir setiap selesai shalat Subuh kita makan nasi dan kue dos di
sana. Beliau bilang bahwa baca doa itu di mana saja tergantung dari yang
punya hajat di mana saja, karena kita tetap mintakan kepada Allah, tetapi
110

yang penting adalah niatnya atau maksud doa tersebut. H. Baharuddin


dipercayakan untuk tukang baca doa karena beliau tidak pernah
terpengaruh dengan masalah politik (Hasanuddin Buro, 15 Juni 2005).

Apa yang telah diceritakan oleh Hasanuddin Buro, terbukti dalam pengamatan,
ketika mengikuti aktivitas beliau, yaitu:

“Ketika itu, kami bermaksud ke rumah beliau, namun singgah shalat Isya
dulu di masjid Raya Bau-Bau. Setelah shalat selesai dan imam pun telah
baca doa, beliau kemudian shalat sunnah rawatib sementara jamaah lain
sudah pada keluar, saya terus memperhatikan beliau hingga keluar dan
mengikutinya dari belakang dan di halaman masjid saya hampiri dan
menyapanya kalau ada waktunya bapak saya bermaksud ke rumah
sekarang. Tetapi beliau bilang kalau sekarang ini tidak bisa, karena sudah
mau dijemput ke Kelurahan Kadolomoko untuk baca doa hajatan
keluarga dari Gu-Lakudo juga. Beliau bilang saya sudah cepat-cepat mau
ke rumah dulu. Dan memang betul bahwa pas keluar dari pagar masjid
sudah ditunggu jemputan di jalan sehingga beliau tidak jadi pulang ke
rumahnya” (Catatan pengamatan lapangan hari Kamis tanggal 7 Juli
2005 pukul 19.20).
Demikian pula pengamatan saya keesokan harinya Jum’at tanggal 8
Juli 2005, sekitar pukul 08.00 saya ke kiosnya di pasar La Elangi, dan
bermaksud akan ke rumahnya, karena menurut jadwalnya hari Jum’at beliau
tetap ada di Bau-Bau.

“Setiba di kiosnya saya sudah ketemu beliau bersama istrinya. Setelah


saya memberi salam, beliau menjawabnya dan langsung bilang bahwa
saya minta maaf, ini tiba-tiba lagi ada undangan ke Nepa-Nepa Raya
untuk baca doa tolak bala setelah Shalat Jum’at, jadi saya harus
berangkat dan menyeberang lagi, dan ketika itu juga beliau langsung ke
Ferry penyeberangan di Bure menuju Wamengkoli atau Waara, dan
sempat berpesan sama saya bahwa nanti kita ketemu lagi” (Catatan
lapangan 8 Juli 2005).

Dari berbagai fenomena yang terlihat praktek dan cerita yang diungkapkan para
informan, menunjukkan bahwa begitu pentingnya doa ini di lingkungan masyarakat Gu-
Lakudo, sehingga di samping dilakukan secara peribadi di masing-masing keluarga pada
waktu yang diinginkan, juga sudah dijadikan tradisi tahunan yang masih terpelihara,
yaitu setiap tahun setelah 3-7 hari selesai Idil Fitri mereka adakan doa syukuran dan doa
selamatan. Simak ungkapan informan berikut:
111

“Doa syukuran dilakukan untuk keberhasilan usaha yang telah diraih


selama satu tahun, sedangkan doa selamat dan ikhtiar dilakukan pada
saat mau memulai usaha baru atau akan berangkat belanja barang
dagangan dan menjualnya di daerah lain. Sementara doa selamatan yang
sudah menjadi tradisi dilakukan bagi keluarga yang akan naik haji di
tanah suci Mekkah. Pada saat itu orang-orang yang ada di rantau sudah
berkumpul, utamanya keluarga-keluarga yang akan naik haji” (H. Ahmad
Hamzah, 19 Januari 2006; H. Mansyur, 2 Juli 2005).

Mereka menganggap bahwa baca doa di kampung itu lebih afdhal daripada di
rantau, karena dapat berkumpul bersama keluarga. Jadi dalam praktek, umumnya
mereka berusaha untuk daftar naik haji melalui kampung, tetapi kalau pun mereka
terpaksa mendaftar di daerah rantaunya, namun tetap pulang baca doa selamat di
kampung. Demikian pula kalau mereka kembali dari tanah suci, harus ke kampung dulu
untuk baca doa syukur, nanti setelah itu baru kemudian pulang ke daerah rantaunya.
Tradisi seperti masih tetap terpelihara sampai saat ini, seperti diungkapkan berikut:

“Tradisi yang masih berjalan hingga saat ini adalah doa selamatan dan
pelepasan bagi mereka yang akan naik haji. Ketika itu, selama hingga
tujuh hari setelah lebaran Idil Fitri, mereka yang akan naik haji tidak
boleh ke mana-mana, karena para keluarga dan tetangga akan datang
memberikan doa selamat” (H. Ahmad Hamzah, 19 Januari 2006; H.
Mansyur, 2 Juli 2005).

Sebagai muslim masyarakat Gu-Lakudo sangat menyadari apa pun yang dilakukan
hanyalah menjalankan perintah-Nya, jadi apa pun yang diperoleh adalah berkat
rakhmat yang diputuskan-Nya kepada kita. Karena itu, Allah memerintahkan kepada
hamba-Nya untuk selalu meminta (berdoa) agar diberikan rakhmat dan nikmat-Nya.
Doa bisa dilakukan secara terintegrasi dengan shalat lima waktu dan shalat sunnat.
Khusus yang berhubungan dengan usaha sangat dianjurkan setelah shalat tahajjud
dan shalat dhuha. Ada pula yang dilakukan pada waktu-waktu tertentu sesuai dengan
keinginan yang menghajatinya (H. Mulia Basri, 31 Mei 2006).

Kasus 1. Wa Ode Musdia (Wde) Kesulitan Usaha karena tidak berdoa

Secara jujur Wde. mengungkapkan dengan sedikit rasa mengeluh, bahwa


sekarang ini saya lagi susah karena ada uang saya sama orang yang ambil barang sudah
112

beberapa tahun ini belum diberikan uangnya yang jumlahnya masih puluhan juta. Dia
minta pendapat bagaimana caranya agar uangnya bisa kembali. Kami menyarankan
harus didoakan agar yang bersangkutan diingatkan oleh Allah sehingga mau
mengembalikannya. Kami bilang bahwa kalau orang Gu-Lakudo itu dalam memulai
usaha atau ingin pergi belanja, mereka harus baca doa selamat atau minta keberkahan
dan keselamatan serta kemudahan dalam berusaha lebih dahulu, dan hal itu bisa
dilakukan sendiri tetapi umumnya mereka memanggil atau pergi sama orang yang
ditokohkan, kami sebut seperti H. Baharuddin. Mendengar penjelasan kami, sepertinya
dia kaget dan mengatakan begitukah mereka? Kami bilang ya begitu, dia langsung
bilang, kalau bisa saya juga mau pergi minta petunjuk tentang usaha saya ini (Wde, 16
Juni 2005).

Kasus 2. Sebuah Fenomena Pengamatan.

Ketika sementara wawancara dengan H. Baharuddin, Kamis tanggal 9 Juni 2005,


sekitar pukul 08,30 masuk sorang ibu tua dengan wajah yang agak sedih dan langsung
duduk di kursi dekat kami. Saya bilang kepada pak haji supaya melayani dulu tamunya,
tetapi beliau bilang tidak apa-apa ini keluarga untuk minta didoakan anaknya di rantau.
Beliau bilang bahwa kalau hari Kamis dan Jumat di sini banyak yang datang untuk minta
tolong dibacakan doa dengan berbagai macam keinginan, apakah untuk kelancaran
usahanya, pergi belanja, masalah keselamatan anak-anak, atau masalah-masalah
keluarga lainnya. Ibu tadi mohon doa karena anaknya di rantau mengalami kesulitan
dalam berusaha. Ketika mengamati caranya beliau membacakan doa pada saat itu
dengan mengangkat tangan dengan posisi berhadapan di kursi dengan ibu tadi dan ada
tiga orang di ruang tamu tempat kami duduk mengaminkan setiap kalimat doa yang
diucapkan pak haji. Setelah baca doa, pak haji bilang, mancuana (orang tua) ini setiap
hari Kamis atau Jumat selalu datang ke sini untuk minta bacakan doa karena anaknya
menjual ada yang di Timika dan ada yang di sini. Di rumah ini, alhamdulillah atas izin
dan kekuasaan Allah, sudah jadi kebiasaan hari-hari Kamis dan Jum’at banyak yang
datang untuk minta tolong dibacakan doa, syukur-syukur, karena mereka juga
berkeyakinan akhirnya datang terus, sebab mereka yang minta didoakan itulah yang
113

merasakan manfaatnya. Sebagai pembaca doa, biasanya tidak selamanya juga cocok
dengan yang meminta atau tidak terkabulkan. Jadi, dalam pengamatannya kalau mereka
datang hanya satu kali berarti mungkin tidak cocok, tetapi bagi yang datang terus berarti
cocok. Sebagai pembaca doa seharusnya berguru agama kepada para ulama, dan selalu
mengikut apa yang dianjurkan oleh Al-Qur’an dan meninggalkan larang-larangannya,
supaya tetap mendapat kepercayaan di mana pun berada.
Kata pak haji, saya sangat bersyukur kepada Yang Maha Kuasa, karena semua
gerakan ini tergantung yang Maha Kuasa bukan kepunyakan kita. Alhamdulillah, kalau
malam dan hari Jum’at di rumah ini selalu banyak orang. Demikian pula kalau saya ke
Boneoge, Nepa-Nepa, dan di Lakudo juga selalu dipercayakan untuk membaca doa, ada-
ada saja Allah memberikan dan semuanya karena kekuasaan Allah. Alhamdulillah apa
yang kita pelajari sama ulama-ulama itu memang Allah sudah buktikan kepada saya,
tentang nilai-nilai agama yang disampaikan oleh KH. Abdul Syukur semasih hidupnya.
Sehubungan dengan profesinya yang dipercayakan masyarakat sebagai tukang
baca doa dan guru ngaji saat ini, maka beliau selalu berusaha mendekatkan diri secara
batin kepada Allah agar permintaannya untuk masyarakat, keluarga dan pribadinya dapat
dikabulkan. Caranya antara lain, yang dapat kami amati secara langsung, yaitu setiap
selesai shalat fardhu kalau tidak ada acara, setelah baca doa, selalu membaca Al-Qur’an
satu Juz, baik di rumah maupun di masjid. Pada saat kami baru ingin ketemu pertama
dengan beliau melalui anaknya Burhanuddin disampaikan nanti sekitar pukul 07.00,
karena bapak itu kalau sudah shalat shubuh kebiasaannya selalu baca Qur’an dulu paling
sedikit satu juz sambil menunggu shalat dhuha. Apa yang dikatakan anak sulungnya
Burhanuddin tadi memang benar, dan kami buktikan kebenaran itu, dimana ketika kami
ke rumahnya pagi itu beliau baru saja selelesai membaca Al-Qur’an. Hal ini kami
buktikan pula ketika kami ingin ketemu di masjid yang tidak kurang dari tiga kali baik
saat dzuhur maupun ashar, beliau masih tetap berada di samping tiang masjid sedang
membaca Al-Qur’an satu juz, dan nanti setelah itu baru kami bisa ketemu. Beliau
praktekan hal seperti ini karena disampaikan pula KH. Abdul Syukur ketika selalu
bersama-sama semasih hidupnya. Kata beliau, sebenarnya saya juga ingin mengikuti
jejaknya pak Kiayi kalau pulang dari masjid itu harus baca Yasin, tetapi kadang baru
114

mau memulai baca, datang lagi yang memberi salam, maka saya harus jawab karena itu
kewajiban, sebab kalau salam tidak dijawab itu berdosa.

Kasus 3. Pengalaman H. Baharuddin tentang Keampuhan Doa.

Tentang keampuhan doa ini, H. Baharuddin bercerita tentang pengalaman yang


dilakukannya, yaitu: Pada sekitar awal tahun 90 an tepatnya saat pertamanya mau
dipasarkan kios-kios di pasar La Elangi oleh pemiliknya tidak ada yang laku, orang-
orang tidak mau membeli, sehingga bosnya minta tolong sama saya untuk memasarkan
pertokoannya. Permintaannya itu saya terima, kemudian saya coba mulai tawarkan sama
masyarakat kami (masyarakat Gu-Lakudo), alhamdulillah, hanya sembilan hari saya
pasarkan, semua pertokoan itu habis. Bosnya, heran dan bertanya bagaimana caranya
sampai cepat begitu pak haji, jawab pak haji saya juga tidak tahu pak, itu kepunyaan
Allah. Untuk memanggil orang yang mau beli itu, bukan dipanggil secara langsung mari
beli toko atau kios atau barang lainnya, tidak seperti itu, tetapi harus dipanggil dengan
bathin. Makanya beliau selalu menganjurkan agar dalam setiap sembahyang kita harus
baca doa: Wazayannaaha linnaa zirina innanahnu nazzalna zikra wa innahu lahum la
haafzun. Inilah doanya untuk menjual segala sesuatu. Jadi waktu saya pasarkan La
Elangi itu, karena kepercayaan bosnya, sehingga saya diminta untuk menyimpankan
uangnya itu sampai 3 milyar, karena semua hasil pembayarannya melalui tangan saya.
Untuk itu, saya juga sangat bersyukur, karena alhamdulillah saya diberikan secara gratis
satu buah kios untuk tempat jualan yang harganya kalau dijual sekarang sudah paling
kurang 250 juta, belum lagi dikasi 10%. Makanya kita itu harus berdoa minta rezeki
yang halalan tayibah (halal dan bagus), bukannya meminta harta yang banyak, buat apa
harta yang banyak kalau tidak halal, tetapi kalau seandainya Allah memberikan rezeki
yang banyak dengan melalui usaha kita yang halal maka harus kita syukuri (H.
Baharuddin, 9 Juni 2005).
Dikatakan bahwa, kalau kita berharap agar setiap doa atau permohonan dapat
dikabulkan oleh Allah Sang Pemberi rezeki, maka dibutuhkan komunikasi intensif
dengan-Nya. Itulah yang dikenal dengan dzikir yaitu selalu ingat kepada-Nya pada saat
kapan dan di mana saja. Pekerjaan ini, sebenarnya sangat mudah dan ringan kalau kita
115

pahami, lagi pula tidak membutuhkan pengorbanan materi, tetapi yang namanya kita
manusia yang merupakan obyek garapan setan, maka hal itu selalu kita lupakan, karena
sudah terpedaya hasutan setan tadi. Dzikir atau mengingat Allah dalam setiap saat itu
sangat penting, karena bagaimana kita mengharapkan kasih sayang Allah, kalau kita
sendiri tidak pernah mengingat-Nya atau menyebut nama-Nya. Oleh karena itu kalau
kita mau diingat Allah, maka terlebih dahulu kita mengingat-Nya (H. Baharuddin, 9 Juni
2005).
Untuk itu, kalau dalam berjualan marilah kita selalu ingat Allah, misalnya
dengan mengucapkan bismilllahi tawakkaltu alallahi walaa haula walaa kuata illa
billahil aliyil adzim, wasubhana llahi walhamdulillah wala ilaha illallahu wallahu
akbar, supaya kita tidak kosong mengingat Allah. Jadi sambil menjual, dzikir dan wirid
juga harus jalan, misalnya subuhanallah, alhamdulillah dan lain lain. Atau
mengucapkan shalawat, sebab kalau kita membaca satu kali shalawat, Allah akan
membalas 10 kali. Karena, jangankan kita manusia, Allah dan Malaikat-Nya pun
bersalawat kepada Nabi buktinya Innallaha wamalaa ikatihi yushalluuna alan nabi,
sesungguhnya Allah dan Malaikat-Nya bershalawat kepada nabi.
Beliau kembali menekankan bahwa yang penting dimana saja kita berada, harus
ingat Allah, misalnya Laailaha illallah, Subhanallah, Allahu Akbar, dll. Insya Allah
bagi masyarakat kami (Gu-Lakudo) yang berdagang atau menjual di pasar La Elangi itu,
walaupun mendapat musibah tetapi tidak lama sudah berkembang lagi hartanya, karena
mereka selalu mengingat Allah walaupun sementara berdagang. Secara nyata hal
tersebut dapat dibuktikan, dimana mereka selalau shalat berjamaah tepat waktu.
Makna dan kehadiran dzikir dalam berusaha sangat penting artinya, di samping
unsur-unsur lainnya seperti niat, doa, jujur, shalat dan zakat. Hal ini diungkapkan
informan berikut:
“Saya setuju kalau doa, niat, jujur dan takwa adalah modal penting yang
harus dimiliki oleh setiap orang dalam menjalankan aktivitas dan
profesinya termasuk profesi dagang, namun harus ditambahkan dengan
kata dzikir atau ingat kepada Sang Pemberi rezeki dan terhadap usaha
yang akan dikerjakan. Setiap orang harus punya ingatan atau dzikir yang
kuat terhadap segala sesuatu yang dikerjakan, utamanya kepada Allah
dan kepada usaha yang dijalankan. Ingat kepada usaha yang dijalankan
berarti tekun atau sungguh-sungguh terhadap profesi atau usaha yang
116

dijalankan. Sedangkan ingat kepada Allah adalah dengan selalu


menyebut namanya setiap saat” (H. Akib Tuwo, 27 Juni 2005).

Dikatakan bahwa setiap usaha atau pekerjaan apa saja yang halal harus disertai
doa. Doa dapat dikatakan salah satu modal utama, tetapi bukan berarti sebagian besar
hanya digunakan untuk berdoa dengan memberikan porsi waktu yang kecil untuk
bekerja. Kalau demikian justru sudah menyalahi ajaran agama, karena Allah pun
memerintahkan hambanya untuk bekerja keras dan tidak akan ada rezeki yang akan
jatuh dari langit. Hal ini dapat dipahami dari ungkapan informan berikut.
Seperti di pasar ini, doa yang kita ucapkan adalah agar jualan kita laris.
Kita tidak dianjurkan hanya untuk tinggal diam dan duduk berdoa saja,
sementara kita butuh makan untuk hidup baik, ibadah baik apabila
kehidupan juga baik. Al-Qur’an sendiri telah mengajak kita untuk
memohon kepada Allah agar kehidupan ini baik di dunia dan baik pula di
akhirat. Rabbana aatina fiddunia hasanah wal fil aakhirati hasanah.
Bagaimana bisa hasanah diakhirat kalau di dunia tidak hasanah. Nanti
bisa mencuri, kalau sudah mencuri bagaimana nanti bisa hasanah di
akhirat. Jadi berusaha adalah penting, karena Rasulullah sendiri sudah
berdagang. Bagaimana nanti mau bersedekah kalau tidak berusaha untuk
mencari harta, orang sudah berteriak menyumbang 10 ribu atau 50 ribu,
kalau kita tidak berusaha bagaimana mungkin kita berteriak seperti itu.
Walaupun juga meneriakkan sumbangannya itu kurang bagus, yang lebih
baik adalah diam-diam saja jangan diketahui orang cukup Allah saja
yang tahu (H. Baharuddin, 9 Juni 2005).

Ungkapan tersebut menunjukkan bahwa doa bisa bernilai ekonomi atau berfungsi
sebagai modal jika dia menyertai suatu aktivitas ekonomi, seperti halnya berdagang atau
bentuk usaha lainnya.

Manfaat Doa dalam Berbisnis

Berdasarkan telaah fenomena telah diuraikan bagaimana doa itu dapat dikatakan
sebagai modal dalam praktek kehidupan dagang pada masyarakat Gu-Lakudo.
Selanjutnya pada kesempatan ini akan dilakukan kajian tentang manfaat doa dalam
berbagai aspek kehidupan dunia, khususnya dalam bidang ekonomi. Pada uraian ini,
fenomena yang terjadi akan dikomparasikan dengan teori dan konsep-konsep Islam. Doa
merupakan ibadah yang tidak menuntut syarat dan rukun yang ketat. Banyak firman
Allah maupun sabda Rasulullah yang memerintahkan orang-orang beriman agar selalu
117

berdoa, seperti dalam QS. Al-Mu’min:60 dan 65; al-A’raf:180; dan hadits seperti yang
diriwayatkan at-Tirmidzi6.
Berdasarkan kandungan ayat dan hadits tentang doa tersebut, maka dapat
dipahami bahwa doa itu merupakan perintah Sang Pencipta, karena dia adalah perintah
Allah, maka wajib untuk dilaksanakan. Allah akan senang kalau hamba-Nya selalu
memohon kepada-Nya, karena doa merupakan sarana komunikasi batiniah secara
langsung kepada-Nya. Memahami hal ini, maka masyarakat Gu-Lakudo menjadikan doa
sebagai tradisi, ketika mau membuka usaha, akan berbelanja, dan kita mendapat rezeki.
Seperti yang telah dijelaskan, maka kita kembali bisa menyimak ungkapan informan
berikut.
“Bahwa kalau hari Kamis dan Jumat di sini banyak yang datang untuk
minta tolong dibacakan doa dengan berbagai macam keinginan, apakah
untuk kelancaran usahanya, pergi belanja, masalah keselamatan anak-
anak, atau masalah-masalah keluarga lainnya. Seperti Ibu ini mohon doa
karena anaknya di rantau mengalami kesulitan dalam berusaha” (H.
Baharuddin, 9 Juni 2005, di kediamannya di Bau-Bau).

Seperti yang pernah diungkapan oleh H. Abdul Aziz bahwa dalam pemahaman
masyarakat Gu-Lakudo, telah tertanam anggapan yang boleh dikatakan sudah menjadi
tradisi, yaitu tidaklah cukup modal uang itu kalau tidak didampingi dengan doa terlebih
dahulu. Artinya modal uang yang sudah dimiliki tidak akan dibelanjakan sebelum
dibacakan doa atau dimohonkan petunjuk dan kemudahan serta keselamatan dari Allah.
Simak ungkapan berikut:
“Di masyarakat kami modal doa dijadikan sebagai benteng, memohon
kehadirat-Nya agar diberikan keselamatan, dijauhkan dari musibah dan
dimudahkan rezekinya. Jadi adapun yang menyangkut modal uang, tidak
akan digunakan sebelum dibacakan doa terlebih dahulu. Artinya Doa
merupakan suatu keharusan untuk dilakukan sebelum suatu usaha atau
kegiatan dagang dijalankan. Karena diyakini bahwa hanya dengan berdoa
itulah Allah akan memberikan rezeki” (H. Abdul Azis, 3 Juli 2005).

Dianjurkan agar dalam berdoa, akan sangat baik kalau dilakukan dengan
menyebut nama-nama yang bagus yang dikenal dengan Asmaul Husnah. Begitu

6
QS. al-Mu’min:60: “Tuhanmu berfirman, berdoalah kamu kepada-Ku, niscaya akan Aku kabulkan doamu itu”, dan ayat
65: “Tuhan adalah hidup kekal, tiada Tuhan selain Dia, maka berdoalah kepada-Nya dengan tulus ikhlas”. Al-A’raf:180:
“Allah mempunyai nama-nama yang amat bagus, maka berdoalah kamu kepada-Nya dengan menyebut nama-nama itu”.
Hadits Riwayat at-Tirmizi:: “Maka wajiblah atas kamu berdoa”; Riwayat Hakim: “Maka wajib atas kamu beribadah
kepada Allah dengan berdoa”. Berdoa merupakan ibadah, bahkan dapat merupakan intisari dari ibadah. Riwayat Ahmad
118

pentingnya doa, sehingga Rasulullah sendiri mewajibkan doa tersebut, karena doa
dianggapnya sebagai ibadah, malah pada hadits yang lain dikatakan bahwa doa itu
adalah otak atau jantung dari ibadah. Sebagai otak atau jantung dari semua ibadah, maka
kalau itu tidak dilaksanakan, sudah dapat dikatakan bahwa semua pekerjaan akan jadi
lumpuh, dalam arti tidak mendapat berkah dari Allah. Sementara sesuatu yang tidak
mendapat berkah-Nya, maka sesuatu atau pekerjaan tersebut akan menjadi sia-sia, dalam
arti secara hakekatnya tidak memiliki nilai manfaat, baik terhadap pribadi pelaku
maupun di hadapan Allah.
Dalam hubungan itu, Arifin (1994:296) menjelaskan berdoa berarti bermohon
atau meminta. Bukan bermohon atau meminta kepada manusia, tetapi kepada Tuhan.
Dalam praktek, jika bermohon atau minta kepada sesama manusia, harus dengan cara-
cara tertentu yang baik (etiket) menurut kedudukan si peminta (si pemohon) dan
kedudukan orang tempat kita meminta atau memohon. Pada umumnya cara yang baik,
yang lazim berlaku dalam masyarakat, ialah bahwa si peminta atau si pemohon harus
merendahkan diri dan meninggikan atau memuliakan orang tempat meminta atau
memohon. Begitu pulalah berdoa kepada Tuhan. Bahkan harus lebih dari itu. Si
pemohon harus merendahkan diri serendah-rendahnya, dan memuliakan serta
meninggikan Tuhan setinggi-tinggi dan semulia-mulianya. Kita harus, merendahkan diri
terhadap Allah, dengan serendah-rendahnya, bukan saja ketika kita mengucapkan doa
itu, tetapi setiap waktu, kapan dan di mana saja, sebab Allah itu selalu berada bersama
kita. Allah selalu melihat akan gerak-gerik kita, mengetahui akan lahir dan batin kita7.
Dengan memahami anjuran ini, maka masyarakat Gu-Lakudo, melalui orang yang
dituakan selalu menekankan bahwa dalam segala gerakan atau aktivitas keseharian
jangan sekali-kali melupakan menyebut nama Allah8.

bin Hambal (Imam Hambali) dan Bukhari, bahwa: “Nabi Muhammad bersabda: “Doa adalah ibadah”, demikian yang
diriwayatkan oleh Bukhari dan at-Tirmizi bahwa: “Doa adalah otak ibadah”.
7
Firman Allah: “Ia (Allah)-lah yang menciptakan semua langit (bintang-bintang dan planet-planet) dan bumi di dalam 6
masa (periode), dan Ia bersemayam di atas Arasy (Singgasana), Ia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa
yang keluar daripadanya, dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik ke atasnya; dan Ia beserta kamu di mana
saja kamu berada dan Allah melihat apa-apa yang kamu kerjakan” (QS. Al-Hadid:4).

8
“Dzikir atau mengingat Allah dalam setiap saat itu sangat penting, karena bagaimana kita mengharapkan kasih
sayang Allah, kalau kita sendiri tidak pernah mengingat-Nya atau menyebut nama-Nya. Oleh karena itu kalau kita mau
diingat Allah, maka terlebih dahulu kita mengingat-Nya. Misalnya kalau berada dalam mobil atau dalam berjualan
ucapkan saja bismilllahi tawakkaltu alallahi walaa haula walaa kuata illa billahil aliyil adzim, wasubhana llahi
walhamdulillah wala ilaha illallahu wallahu akbar. Agar tidak kosong mengingat Allah, maka sambil menjual, ucapkan
subuhanallah, alhamdulillah dan lain lain. Atau mengucapkan shalawat, sebab kalau kita membaca satu kali shalawat,
Allah akan membalas 10 kali. Karena jangankan kita manusia, Allah dan Malaikat-Nya saja bersalawat kepada Nabi
119

Dikatakan pula oleh Arifin (1994:296) bahwa bagaimana pun kita merendahkan
diri serendah-rendahnya (khusyu atau tawaddu) sewaktu berdoa, tetapi kita masih
melaksanakan pekerjaan-pekerjaan yang dilarang dan dimurkainya baik itu sebelum
maupun sesudah berdoa, dan juga tidak mengerjakan perintah-Nya, maka tentunya Allah
akan enggan untuk mengabulkannya. Sebenarnya di sinilah letak rahasia kenapa Allah
tidak mengabulkan doa sebahagian besar dari manusia yang berdoa; di sini pulalah letak
rahasia kenapa Allah selalu mengabulkan doa para Rasul dan Nabi-Nabi, para sahabat
dan Tabi’in, para Wali dan orang-orang Shaleh lainnya. Di sini pulalah sebenarnya letak
beratnya berdoa, terutama di zaman modern sekarang ini, yang menganggap remeh doa
sehingga banyak melakukan pelanggaran dari ajaran agama dengan menganggap nanti
juga akan terhapus dengan berdoa kepada Allah. Pada hal bagaimana bisa di kabulkan
sementara syaratnya tidak dipenuhi, yaitu menjauhi segala larangan-Nya dan
mengerjakan semua perintah-Nya.
Sementara itu, Hakim (1986:164) berkata, doa merupakan salah satu ciri umum
kehidupan keagamaan pada tingkat apa pun. Islam menganggap doa sebagai garis batas
yang memisahkan antara iman dan kekufuran. Doa dalam Islam bebas dari segala
macam unsur rendah dan tidak masuk akal serta dimaksudkan sebagai cara penting
untuk membantu membangun sikap seseorang melalui berdzikir (ingat) kepada Allah.
Dalam Al-Qur’an doa disebut dengan istilah dzikir (kegiatan mengingat); tujuan
utamanya bukan untuk memohon keuntungan-keuntungan yang bersifat sementara tetapi
untuk kehidupan yang abadi. Doa merupakan hubungan langsung dengan Allah; di sini
tidak diperlukan perantara atau pun antara, baik ia nabi atau pun (wujud) titisannya. Di
dalam doa, setiap muslim berdoa untuk kepentingan dirinya sendiri maupun kepentingan
orang lain, termasuk Nabi Muhammad sendiri. Oleh karena itu setiap muslim, walaupun
dengan melakukan shalat berjamaah, tetapi sendirian menghadap Allah. Walaupun
demikian dalam posisinya sebagai anggota masyarakat, maka akan semakin kuat dengan
membentuk jamaah itu, dalam arti berdoa bersama-sama (Hakim, 1986:157).
Mengenai adab dan tata cara berdoa, telah dijelaskan dalam Ensiklopedi Islam
bahwa berdoa sebaiknya dilakukan setelah shalat wajib lima waktu dan atau shalat-

buktinya Innallaha wamalaa ikatihi yushalluuna alan nabi, sesungguhnya Allah dan Malaikat-Nya bershalawat kepada
nabi” (H. Baharuddin, 9 Juni 2005).
120

shalat sunnah, dan pada situasi-situasi tertentu. Ada cara-cara yang perlu dilakukan,
antara lain sebagai berikut: Hendaklah didahului dengan tobat, dianjurkan untuk
menghadap kiblat, membaca ta’awwuz (auzubillah), basmalah (bismillah), hamdalah
(alhamdulillah), selawat atas Nabi Muhammad. Nanti setelah itu baru mulai berdoa atau
memohon kepada Allah sesuai dengan yang diinginkan. Setelah selesai mengucapkan
doa, hendaklah ditutup salawat kepada Nabi Muhammad dan memuji Allah. Hendaklah
doa tersebut diucapkan dengan suara yang rendah disertai dengan keyakinan penuh
bahwa cepat atau lambat doa itu dikabulkan Allah. Berdoa dilakukan dengan khusyu,
diulang-ulang pengucapannya, memilih waktu yang baik, tempat atau keadaan yang
mulia, diungkapkan dengan kata-kata yang jelas tetapi sopan, tidak meminta yang
bukan-bukan (yang mustahil adanya), tidak meminta yang jelek-jelek, dan juga tidak
meminta sesuatu yang dilarang oleh Allah. Tidak berdoa untuk kerugian orang lain dan
tidak pula berdoa untuk memutuskan silaturahmi.
Tata cara berdoa dalam kaitannya dengan pembukaan usaha baru di lingkungan
masyarakat Gu-Lakudo, tidak ada ketentuan, semua tergantung dari orang punya hajat.
Yang sering dilakukan seperti yang diungkapkan informan berikut.
“bahwa kalau baru mau membuka usaha, maka di pagi hari sebelum
usaha dibuka supaya baca-baca doa dulu, apakah panggil orang yang
lebih mengerti ataukah baca sendiri. Caranya, bikin air panas atau apa
saja baru kita duduk meminta doa kepada Yang Kuasa agar usaha kita
lancar. Jadi kalau nanti usaha atau jualan tersebut dibuka pagi-pagi sudah
berkah. Saya tidak tahu di masyarakat lain, tetapi khusus kami di
masyarakat Gu-Lakudo memang harus begitu, mau masuk rumah, mau
buka usaha, harus diawali doa dulu. Sebab dalam ajaran Islam sudah
dikatakan bahwa “Ud uuni astajib lakum”, mintalah kepada-Ku niscaya
akan Aku berikan. Ini yang kami praktekan, karena doa itu sebenarnya
sangat gampang syaratnya hanya saja kadang kita tidak amalkan, yaitu
dibuka dengan shalawat dan ditutup dengan shalawat (H. Baharuddin, 9
Juni 2005, di kediamannya di Bau-Bau).

Sejalan dengan adab berdoa tersebut, suatu doa masih memungkinkan akan
ditolak apabila seseorang berdoa dengan cara-cara yang tidak diajarkan (dicontohkan)
oleh Allah dan Rasul-Nya; berdoa dengan tidak memenuhi adab dan sopan santun
berdoa; selalu memakan atau meminum barang-barang yang haram atau hidupnya
121

diliputi dengan hal-hal atau barang-barang yang haram; mengaku beriman kepada Allah,
tetapi hak-hak-Nya (untuk menyembah-Nya) tidak dipenuhi; membaca Al-Qur’an, tetapi
isinya tidak dihayati; mengaku mencintai Rasulullah, tetapi sunnahnya tidak dijalankan;
mengakui setan sebagai musuh tetapi patuh kepadanya; berdoa untuk melepaskan diri
dari neraka, tetapi senantiasa melakukan perbuatan dosa; selalu berdoa untuk masuk
surga, tetapi tidak beramal dengan amal yang akan membawa ke sana; mengakui
kematian itu pasti, tetapi tidak beramal untuk mempersiapkan diri untuk
menghadapinya; sibuk memperkatakan aib (cela) saudaranya, tetapi tidak mau melihat
aib dirinya sendiri; senantiasa menikmati karunia Tuhannya, tetapi tidak mau bersyukur
kepada-Nya; ikut menguburkan orang meninggal dunia, tetapi tidak mau mengambil
pelajaran dari peristiwa itu. Berdoa untuk mendapatkan rezeki atau keuntungan yang
banyak tetapi tidak mau berusaha keras atau berbisnis dengan baik.
Mengenai pengucapan doa dapat mengambil contoh, antara lain, dari doa yang
terdapat dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasul serta doa yang disusun oleh para ulama.
Adapun saat-saat yang baik untuk berdoa, antara lain pada malam Kadar, di hari Arafah,
pada bulan Ramadan, pada malam Jumat, hari Jumat, antara dua khotbah dan pada
waktu shalat Jumat, seperdua malam yang kedua, sepertiga malam yang terakhir pada
waktu sahur, pada saat berbuka puasa Ramadan, sesudah berwudhu sesaat setelah adzan
untuk shalat, antara adzan dan iqamah, ketika berbaris (bersama) menuju medan perang,
di dalam pertempuran di medan perang, di akhir setiap salat fardu, dan pada waktu
sedang sujud.
Berdasarkan uraian tentang arti penting dan manfaat doa yang telah dikemukakan
berdasarkan kajian teori, Al-Qur’an dan Hadits, berikut adab dan tata cara serta waktu-
waktu berdoa termasuk materi doanya, kalau dibandingkan dengan fenomena dan
pengalaman empiris yang dipraktekan oleh masyarakat Gu-Lakudo, maka dapat
dikatakan bahwa apa yang mereka praktekan sudah sesuai dengan syariat. Walaupun
harus diakui bahwa yang namanya manusia tidak akan ada yang sempurna seratus
persen. Tetapi paling tidak mereka sudah berusaha untuk menghindari larangan-
larangannya, melaksanakan shalat tepat waktu kemudian berdoa untuk keselamatan dan
kemudahan usahanya, dan agar diberikan rezeki yang halal. Pada waktu baru memulai
buka usaha, mereka awali dulu dengan doa. Demikian pula pada saat mereka akan
122

berangkat berbelanja di Jawa harus baca doa dulu, apakah memanggil orang tua yang
dipercayakan atau melakukannya sendiri. Khusus untuk doa pada saat pertama kali baru
membuka usaha dan doa syukur atas keberhasilan usahanya umumnya mereka
memanggil sepuh untuk membacakannya, karena pada saat itu lazimnya mereka
diberikan petuah-petuah atau nasehat bagaimana berusaha yang baik sesuai syariat Islam
khususnya bagi pemula. Sedangkan bagi yang sudah berhasil sekedar mengingatkan
kembali agar usahanya lebih berkembang lagi. Hal ini sudah jadi tradisi di lingkungan
mereka, karena sudah dianggap sebagai ibadah sebagaimana hadits Nabi yang telah
dikemukakan.
Doa adalah sandaran dan perlindungan hamba kepada Penciptanya, tidak
terkecuali para Nabi dan Rasul, sebagaimana doa yang diucapkan Rasulullah berikut:
“Ya Allah sungguh saya mohon berlindung kepada Engkau dari keadaan lemah, sifat
malas, rasa takut, sifat bakhil dan saya berlindung kepada Engkau dari siksa kubur dan
dari fitnahnya hidup dan mati” (HR. Muslim). Kandungan hadits ini, menunjukkan
bahwa Nabi Muhammad berlindung diri kepada Allah dari tujuh perkara: Dua
diantaranya ialah keadaan lemah dan sifat malas. Yang dimaksud dengan lemah adalah
tidak adanya kemampuan, sedangkan malas adalah tidak adanya nafsu untuk berbuat
baik dan sedikit sekali kemampuannya untuk baik, padahal dia mampu. Kedua-duanya
adalah ibarat penyakit yang menyebabkan orang duduk bertopang dagu, enggan
menunaikan berbagai kewajiban bahkan terbuka baginya pintu-pintu jalan kejahatan.
Padahal bekerja dan bersungguh-sungguh adalah faktor kebahagiaan di saat sekarang
dan di masa yang akan datang, di dunia dan di akhirat, maka demikian pula lemah dan
malas adalah jalan menuju kepada kesengsaraan (Al-Khuli, 1989:357). Allah menyuruh
umat-Nya untuk berdoa dan bekerja keras (QS. At-Taubah:105)9, karena doa tanpa kerja
keras tidak akan mungkin tercapai apa yang diinginkan.
Dalam kandungan ayat tersebut, Allah telah menjanjikan bahwa siapa yang
bekerja keras pasti akan mendapatkan hasilnya. Orang yang berusaha tanpa pamrih di
jalan Allah yang disertai dengan doa kepada-Nya, pasti akan memperoleh keuntungan
dari usahanya tersebut. Inilah yang saat ini tengah dipraktekan di lingkungan masyarakat
Gu-Lakudo, dimana dengan kerja kerasnya yang selalu disertai doa, maka usahanya
123

berkembang begitu pesat mengungguli komunitas lain yang lebih dahulu berhasil di
daerah ini. Tetapi kalau larangan-Nya juga kita lakukan, sebagaimana yang telah
dikemukakan, misalnya saja kita memakan - meminum dan berpakaian dari sumber yang
haram, maka doa itu tidak akan diterima, karena Allah tidak menerima sesuatu kecuali
yang baik10.
Doa sebagai sandaran dan perlindungan, maka orang yang sering berdoa akan
terhindar dari segala mara bahaya, jika semua syarat dan adabnya telah dipatuhi. Karena
itu Ali Ibnu Abi Thalib berkata: Cegalah bergelombangnya berbagai bencana dengan
doa. Kemudian Anas Ibnu Malik pun berkata: Janganlah kalian enggan berdoa, karena
sesungguhnya seorang tidak akan binasa kalau ia sering berdoa (Asymuni, 2005:35).
Dari berbagai kandungan hadits tersebut, seharusnya kita dapat mengambil hikmah,
bahwa kalau Rasulullah saja sebagai hamba-Nya yang mulia dan sudah dijamin masuk
surga oleh Allah sudah berdoa dan memohon perlindungan kepada-Nya, maka kenapa
kita umatnya yang penuh kelemahan ini enggan berdoa? Semoga kita menjadi orang-
orang yang rajin berdoa untuk menuntun semua aktivitas keseharian kita, hingga
mencapai keberhasilan sebagaimana diinginkan.
Mengenai manfaat atau keampuhan doa dalam pengembangan ekonomi dan
kesejahteraan masyarakat Gu-Lakudo telah diceritakan oleh informan bahwa
keberhasilan dan kebangkitan ekonomi masyarakat Gu-Lakudo saat ini berkat doanya
KH. Abdul Syukur dulu ketika pertama kali bermaksud dan berdoa untuk
mengembangkan da’wah dan meningkatkan kesejahtraan ekonomi di daerah ini. Pada
waktu itu masya Allah hasil laut begitu melimpah yang sebelumnya dalam sepanjang
sejarah masyarakat Gu-Lakudo tidak pernah terjadi seperti itu. Masyarakat dianjurkan
memasang bagan dan hasilnya ditampung oleh koperasi yang didirikan masyarakat di
bawah pimpinan KH. Abdul Syukur. Karena melimpahnya hasil, sehingga koperasi
kewalahan menerima hasil dan kehabisan uang untuk membeli hasil bagan masyarakat.
Diyakini oleh masyarakat bahwa ini terjadi karena memang niat dan doa beliau itu

9
Allah berfirman: “Dan katakanlah! Bekerjalah kamu, maka Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman akan
melihat hasil amalmu” (QS. At-Taubah:105).
10
Sabda Rasulullah yang bersumber dari Abu Hurairah: “Sesungguhnya Allah itu baik dan Dia tidak mau menerima
kecuali yang baik. Ada seorang yang suka bepergian lama, sehingga rambutnya berantakan dan tubuhnya kecil, tetapi ia
suka mengangkat tangannya ke atas untuk berdoa. Tetapi, mana mungkin doanya akan dikabulkan, kalau makan minum
dan pakaiannya dari sumber yang haram, dan ia pun diberi makanan haram” (HR. Muslim). Rasulullah bersabda pula
kepada Sa’ad: “Perbaikilah sumber makananmu, agar doamu dikabulkan.”
124

adalah untuk meningkatkan kesejahtraan masyarakat Gu-Lakudo, yang sebelumnya


merupakan masyarakat tidak punya mata pencaharian tetap, yang kerjanya waktu hanya
praktek-praktek kejahiliahan, seperti merampok, berjudi, mencuri, sabung ayam dan
semacamnya.
Manfaat dan keampuhan doa telah diungkapkan pula oleh H. Baharuddin seperti
yang telah diuraikan pada kasus terdahulu. Bahwa ketika baru pertama kali pembukaan
pasar La Elangi, pengembangnya bingung karena hanya beberapa los atau kios saja yang
terjual padahal sudah berjalan beberapa bulan, namun setelah minta tolong sama H.
Baharuddin untuk dipasarkan yang disertai dengan doa, maka dalam waktu hanya
sembilan hari semua kios itu habis terjual11. Sebagaimana yang diungkapkan H.
Baharuddin, menunjukkan bahwa panggilan bathin melalui doa itu lebih kuat daripada
panggilan fisik lahiriah, karena panggilan hati lebih pasti tanpa paksaan, sedangkan
panggilan lahir bisa saja mau membeli karena pengaruh atau paksaan orang lain. Karena
itu beliau menyarangkan agar berdoalah selalu sebelum berangkat ke tempat jualan dan
setelah di tempat jualan jangan lupa terus berdoa dan berdzikir sementar menunggu
pembeli.

Doa syukur atas keberhasilan yang dicapai.

Syukur berarti terima kasih kepada Allah atas nikmat yang telah dilimpahkan
kepada manusia. Syukur dapat dilakukan dengan hati, lisan dan badan. Syukur dengan
hati ialah selalu ingat Allah (zikir), syukur dengan lisan ialah mengucapkan tahmid
(pujian) kepada Allah, dan syukur dengan badan ialah mentaati ajaran Allah, yaitu

11
“Pada sekitar awal tahun 90 an tepatnya saat pertamanya mau dipasarkan kios-kios di pasar La Elangi
oleh pemiliknya tidak ada yang laku, orang-orang tidak mau membeli, sehingga bosnya minta tolong sama
saya untuk memasarkan pertokoannya. Permintaannya itu saya terima, kemudian saya coba mulai
tawarkan sama masyarakat kami (masyarakat Gu-Lakudo), alhamdulillah, hanya sembilan hari saya
pasarkan, semua pertokoan itu habis terjual. Bosnya, heran dan bertanya bagaimana caranya sampai
cepat begitu pak haji, saya jawab, saya juga tidak tahu pak, itu kepunyaan Allah. Untuk memanggil orang
yang mau beli itu, bukan dipanggil secara langsung mari beli toko atau kios atau barang lainnya, tidak
seperti itu, tetapi harus dipanggil dengan bathin melalui doa” (H. Baharuddin, 9 Juni 2005, di kediamannya
di Bau-Bau).
125

menjalankan perintahnya dan menjauhi larangannya (Tebba, 2002:80). Dalam dunia


usaha, berterima kasih atas nikmat Allah, khususnya nikmat keuntungan yang diperoleh
para saudagar, akan mendatangkan pula keberkahan usaha dan limpahan nikmat yang
banyak lagi (Ya’qub, 1992:63). Karena Allah telah berjanji bahwa jika kita selalu
bersyukur atas nikmat yang telah diberikan, maka akan menambahkan nikmat atau
rezeki kita, katakan dalam berusaha akan memberikan keuntungan dan kekayaan yang
lebih banyak lagi dari semula12. Seperti halnya yang dikemukakan oleh Tebba tentang
tiga bentuk syukur, maka Ya’qub membagi empat bentuk syukur: Pertama, syukur
dalam hati, yakni rasa puas dalam hati adanya nikmat Allah sehingga menimbulkan
kesan dan rasa terima kasih yang dalam. Kedua, syukur dengan lisan, yakni melahirkan
rasa terima kasih kepada Allah dalam bentuk perkataan, dengan memanjatkan tahmid
(alhamdulillah). Ketiga, syukur dalam bentuk ibadah, melakukan shalat atau sujud
syukur ketika baru memperoleh nikmat. Keempat, syukur dalam bentuk tindakan dan
perbuatan yang nyata dengan jalan menyalurkan nikmat dan karunia Ilahi itu pada
saluran yang diperintahkan-Nya.
Tentang doa syukur ini, dalam praktek masyarakat Gu-Lakudo, terdapat
kebiasaan yang sampai sekarang masih terpelihara sejak almarhum KH. Abdul Syukur
masih hidup yaitu doa syukuran tahunan yang dilaksanakan pada setiap selesai hari Raya
Idil Fitri, yakni pada waktu 3 hari hingga 7 hari selesai lebaran. Pada waktu itu,
umumnya masyarakat Gu-Lakudo yang ada di rantau pulang ke kampung untuk pesta
doa syukuran bersama keluarga atas keberhasilan yang telah diperoleh dalam
menjalankan usaha selama setahun. Pada kesempatan itu pula selalu dirangkaikan
dengan doa selamatan untuk keluarga yang akan naik ke tanah Suci Mekkah untuk
menunaikan ibadah haji. Jadi kebiasaan di masyarakat ini, bagi mereka yang akan
menunaikan ibadah haji tahun berjalan selalu pulang kampung untuk baca doa
selamatan, di mana pun mereka berada atau mendaftar haji.
Salah satu bentuk syukur yang diwajibkan bagi kaum muslim yang telah
diberikan nikmat kekayaan adalah dengan jalan mengeluarkan zakat, bersedekah atau
menginfakkan sebahagian harta yang dikaruniakan Allah. Kenapa demikian, karena kita

12
Firman Allah: “Jika kalian bersyukur, maka Aku (Allah) akan menambah (nikmat) itu kepada kalian. Dan jika kalian
ingkar, maka sesungguhnya siksaan-Ku amat keras (QS. Ibrahim:7).
126

telah komitmen bahwa tiada Tuhan yang berhak disembah selain Allah, maka tidak ada
jalan lain kecuali harus bersyukur kepada-Nya atas segala nikmat yang kita peroleh,
termasuk nikmat harta13. Dalam sejumlah hadits pun telah menjelaskan keutamaan
syukur14. Dari hadits-hadits tersebut menunjukkan bahwa doa merupakan salah satu
sarana untuk selalu ingat dan menyatakan tanda syukur kepada Allah yang telah
memberikan nikmat kesehatan dan kekuatan serta rezeki dalam kehidupan ini. Tanda
syukur harus pula ditunjukkan oleh manusia dengan bekerja keras untuk memajukan
kehidupan dirinya, keluarga, umat dan bangsanya. Ini berarti bahwa sikap syukur
mengandung etos kerja yang kuat.

Jika Tidak Berdoa

Kalau perbuatan memanjatkan doa adalah suatu perbuatan yang disukai oleh
Yang Maha Kuasa, karena telah dikatakan bahwa berdoalah atau mintalah kepada-Ku
niscaya akan Aku kabulkan, maka kalau kita tidak pernah berdoa atau tidak meminta
kepada Allah, maka mustahil Allah akan memberikan apa yang kita inginkan. Allah
tidak menyukai orang-orang yang tidak pernah berdoa yang menganggap dirinya kaya
atau tidak punya kekurangan, sehingga mengabaikan kemurahan Allah. Sebagai manusia
ciptaan-Nya tidak ada yang sempurnah, melainkan semua punya kekurangan, maka
disinilah Allah menganjurkan untuk senantiasa memohon kepada-Nya, agar apa yang
menjadi kekurangan hamba-Nya dapat terpunhi dalam menjalani kehidupan ini.
Kasus yang dialami oleh Wde, dimana dia mengalami kesulitan dalam
mengembangkan usahanya, merupakan salah satu contoh tidak dibudayakannya berdoa
untuk usahanya, seperti pada saat pertama kali membuka usaha tidak melakukan ritual
doa seperti yang dilakukan oleh masyarakat Gu-Lakudo, demikian pula pada saat akan
pergi belanja di Jawa. Dia tidak punya pemahaman seperti yang dipahami oleh

13
Firman Allah: “Dan bersyukurlah kepada Allah jika benar-benar kepada-Nya saja kamu menyembah” (QS. Al-
Baqarah:172). “Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku,
dan janganlah mengingkari (nikmatKu)” (QS. Al-Baqarah:152). “Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang
bersyukur” (QS. Ali Imran:144). ”Sembahlah Dia dan bersyukurlah kepada-Nya. Hanya kepada-Nya-lah kamu akan
dikembalikan” (QS. Al Ankabuut:17).
14
Hadits qudsi: Allah berkata kepada Nabi Isa: Hai Isa Aku akan bangkitkan setelahmu satu umat. Bila mereka peroleh
yang mereka sukai mereka memuji Tuhan dan bersyukur. Bila mereka peroleh yang mereka tidak sukai mereka tetap
merasa puas dan sabar (HR: Ahmad, Thabrani, al Hakim, Baihaqi). Tidak bolehkah aku menjadi hamba yang banyak
bersyukur (HR:Bukhari dan Muslim). Demi Allah hai Mu’adz, sesungguhnya aku benar-benar mencintaimu. Maka
127

masyarakat Gu-Lakudo bahwa modal uang itu tidak akan dibelanjakan sebelum
dibacakan doa, agar apa yang dibelanjakan atau diusahakannya mendapat berkkah dari
Allah, seperti diberikannya keselamatan dan kemudahan rezeki.

3.3. Kesimpulan

Berdasarkan telah fenomena kasus-kasus yang telah diuraikan, maka kesimpulan


yang dapat diambil adalah.
1. Jika pengusaha selalu menentukan niat suci terlebih dahulu dalam memulai usahanya
yang halal untuk menyempurnakan dan meningkatkan ibadah kepada Allah, maka
akan menjadi motivator dan pembangkit semangat untuk bekerja keras dan berhati-
hati serta berperilaku hemat dan rajin menabung, untuk mengakumulasikan
modalnya, sehingga diperoleh keuntungan materi yang halal dan keuntungan non
materi dengan meningkatnya keimanan dan ketakwaan melalui peningkatan
hablumminallah dan hablumminannas sebagai jaminan keberlanjutan usaha yang
berkah.
2. Jika pengusaha dalam menjalankan usahanya selalu disertai dengan doa, memohon
pertolongan akan kemudahan rezeki dan keselamatan dalam menjalankan usaha yang
halal, maka Allah akan memberikannya keuntungan materi yang berkah dan
keuntungan non materi dalam bentuk iman dan takwa

Referensi
Al Qur'anul Karim
Al Hadits
Adityangga, Krishna, 2006. Membumikan Ekonomi Islam, Cetakan Pertama, Pilar
Media, Yogyakarta.
Afzalurrahman, 1997. Muhammad Sebagai Pedagang, Terjemahan oleh Dewi

janganlah engkau lupa setiap kali usai shalat untuk mengucapkan: Ya Allah tolonglah aku untuk mengingat-Mu,
bersyukur dan beribadah kepada-Mu dengan baik (HR:Bukhari dan Muslim).
128

Nurjulianti, dkk. Cetakan II, Penerbit Yayasan Swara Bhuny, Jakarta.


Alma, Buchari dan Donni Juni Priansa, 2009. Manajemen Bisnis Syariah, Cetakan
Kesatu, Alfabeta, Bandung.
Al-Awwad, Dakhil bin Ghunaim, 2005. Kepada Para Pedagang: Untaian Nasehat
Seputas Adab Jual-Beli, Terjemahan oleh: Hidayat W., Cetakan I, Aqwam, Solo
Al-Jazairi, Abubakar Jabir. 2003. Ensiklopedi Muslim, Terjemahan, oleh: Fadhli Bahri,
Cetakan Kelima, Darul Falah, Jakarta.
Al Khuli, Muhammad Abdul Aziz, 1989. Akhlak Rasulullah SAW, Terjemahan oleh:
KH. Abdullah Sonhadji, Penerbit CV, Wicaksana, Semarang.
Al-Maududi, Abul a’la, 1980. Dasar-Dasar Ekonomi Dalam Islam: Dan Berbagai Sistem
Masa Kini, Cetakan Pertama, PT. Alma’arif, Bandung.
---------, 1996. Pokok-Pokok Pandangan Hidup Muslim, Terjemahan oleh; Osman
Raliby, Cetakan VII, Media Da’wah, Jakarta.
Al-Mishri, Abdul Sami’, 2006. Pilar-Pilar Ekonomi Islam, Cerakan Pertama, Pustaka
Pelajar, Yogyakarta.
An-Nabhani, Taqyuddin, 1996. Membangun Sistem Ekonomi Alternatif: Perspektif
Islam, Cetakan Pertama, Risalah Gusti, Surabaya.
Arifin, Bey, 1994. Mengenal Tuhan, PT. Bina Ilmu, Surabaya.
Chapra, M.Umer, 2001. The Future of Economics: an Islamic Perspective: Landscape
Baru Perekonomian Masa Depan, Shari’ah Economics and Banking Institute
(SEBI). Jakarta.
--------, 1999. Islam dan Tantangan Ekonomi, Islamisasi Ekonomi Kontemporer,
Terjemahan oleh: Nur Hadi Ihsan dan Rifqi Amar, Cetakan Pertama, Risalah
Gusti, Surabaya.
El-Jazairi, Abu Bakar Jabir, 1991. Pola Hidup Muslim, Terjemahan: H.Rakhmat
Djatmika dan Ahmad Sumpeno, Cetakan Pertama, PT.Remaja Rosdakarya,
Bandung.
Hakim, Khalifah Abdul. 1986. Hidup Yang Islami: Menyeharikan Pemikiran
Transendenral (Akidah dan Ubudiah), Terjemahan oleh: Machnun Husein,
Cetakan Pertama, CV. Rajawali, Jakarta.
Madjid, Nurcholish, 2000. Islam Doktrin dan Peradaban, Cetakan Keempat, Paramadina,
Jakarta.
Munawwir, Imam. 1986. Motivasi Islam dalam Hidup Dinamis, Patriotik dan Berjiwa
Besar, Cetakan Pertama, PT. Bina Ilmu, Surabaya.
Naqvi, Syed Nawab Haider. 2003. Menggagas Ilmu Ekonomi Islam, Terjemahan, Oleh:
M. Saiful Anam dan Muhammad Ufuqul Mubin, Cetakan I, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta.
Samdin, 2007. Pemahaman Modal Dalam Praktek Dagang Masyarakat Muslim Gu-
Lakudo, Disertasi, Program Doktor Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi
Universitas Brawijaya, Malang.
Tebba, Sudirman, 2003. Membangun Etos Kerja dalam Perspektif Tasawuf, Cetakan
Pertama, Pustaka Nusantara Publishing, Bandung.
Ya’qub, H. Hamzah, 1992. Kode Etik Dagang Menurut Islam: Pola Pembinaan Hidup
dalam Berekonomi, Cetakan II, CV. Diponegoro, Bandung.
Yusanto, Muhammad Ismail dan Muhammad Karebet Widjajakusuma, 2002.
Menggagas Bisnis Islami, Cetakan Pertama, Gema Insani Press, Jakarta.
129
130

BAB 4
RECOVERY

4.1. Pendahuluan

Dalam pengelolaan bisnis syariah, recovery (pemulihan barang/jasa) merupakan


salah satu faktor penting yang harus diperhatikan sehingga tujuan yang telah ditetapkan
dapat tercapai. Dasar pemikiran munculnya pemulihan barang/jasa adalah karena adanya
komplain pelanggan dan keinginan perusahaan untuk memperbaikinya. Komplain
pelanggan muncul karena tidak puas dengan pelayanan dan barang/jasa yang dibeli.

Dalam bisnis syariah, pemulihan (recovery) terkait dengan ajaran syariah yang
mengatakan bahwa berikanlah sesuatu (barang/jasa) yang terbaik kepada sesamamu
(konsumen). Karena, hanya dengan pemberian yang terbaik, maka sesama kita atau
konsumen akan menjadi puas. Oleh karena itu, jika terjadi kekeliruan dalam
penyampaian barang/jasa, maka tindakan pemulihan (recovery) harus segera dilakukan,
untuk menjaga keberlangsungan usaha.

Perusahaan penyedia barang/jasa walaupun telah berusaha optimal untuk


memuaskan kebutuhan dan keinginan pelanggan, sering juga terjadi munculnya
kegagalan penyampaian barang/jasa yang menyebabkan pelanggan tidak puas dan
mengajukan komplain kepada pihak perusahaan. Misalnya layanan yang kuang baik,
serta kualitas barang tidak sesuai harapan pelanggan. Secara umum kegagalan
barang/jasa yang menyebabkan pelanggan tidak puas dapat berasal dari tiga sumber
yaitu: 1) Masalah yang disebabkan oleh perusahaan, misalnya perusahaan tidak
menepati janji, dan tidak jujur. 2) Masalah yang disebabkan karyawan, misalnya
131

perlakukan kasar, sifat sombong, tidak memperdulikan pelanggan, tidak sopan dan
karyawan tidak memiliki kompetensi untuk yang sesuai dengan harapan pelanggan, 3.
Masalah yang disebabkan oleh pelanggan, misalnya tidak teliti membaca instruksi atau
petunjuk yang diberikan perusahaan.

Perusahaan syariah yang gagal menangani komplain pelanggan akan berdampak


pada beralihnya pelanggan keperusahaan lain dan menceritakan kejelekan perusahaan
kepada orang lain. Sebaliknya perusahaan yang sukses menangani komplain pelanggan
melalui strategi recovery akan mampu membangkitkan kepuasan, kepercayaan dan
komitmen pelanggan untuk mempertahankan hubungan jangka panjang.

4.2. Pengertian Recovery.

Diantara para pakar manajemen pemasaran memberikan pengertian recovery yang


berbeda-beda. Perbedaan tersebut karena ada yang melihat recovery sebagai perbaikan
kerusakaan dan adapula yang melihat dari sudut pandang pemecahan masalah.

1. Berry et al., (1988) mendefinisikan recovery adalah pemecahan masalah yang


memuaskan.
2. Bower & Johnston, (1999); Brown et al., (1996); Hoffman & Kelley, (2000)
mendefinisikan service recovery sebagai tindakan yang dilakukan penyedia jasa
dalam menangani dan mengkompensasi reaksi negatif pelanggan terhadap
kegagalan jasa.
3. Berry & Parasuraman (1991) mendefinisikan service recovery adalah
menyampaikan jasa dengan tepat pada kesempatan kedua.
Berdasarkan beberapa definisi di atas, maka penulis menyimpulkan bahwa
recovery dalam pengelolaan bisnis syariah adalah segala upaya yang dilakukan
perusahaan untuk mendengar, merespon dan memecahkan komplain pelanggan dengan
memuaskan.
132

4.3. Kegagalan Barang dan Jasa

Kunci sukses bisnis syaraiah dalam melakukan pemulihan barang/jasa adalah


pihak manajemen dan staf bersikap proaktif yaitu pelanggan yang menyampaikan
komplain kepada perusahaan didengar dengan baik, diperlakukan dengan baik, direspon
dengan cepat dan memberikan solusi yang benar-benar memuaskan. Bitner et al .,
(1990) mengemukakan bahwa faktor penyebab kegagalan jasa dikelompokan kedalam
tiga kategori :

1. Kegagalan sistim penyampaian jasa yaitu kegagalan dalam penawaran jasa inti,
misalnya dalam perusahaan penerbangan menghidangkan makanan yang tidak
segar, kekeliruan dalam menangani bagasi penumpang, tidak mengumumkan
perubahan schedule penerbangan dan lain-lain. Kegagalan sistim penyampaian
jasa disebabkan oleh : 1. Ketidaktersediaan jasa, 2. Layanan yang lamban, 3.
Kegagalan jasa inti lainnya, misalnya makanan yang tidak segar, pesawat yang
kotor dan penanganan bagasi yang keliru.
2. Respon karyawan terhadap kebutuhan individu dan permintaan spesial pelanggan
yang tidak memuaskan. Kebutuhan pelanggan ada yang sifatnya implisit dan
eksplisit. Kebutuhan implisit adalah kebutuhan pelanggan yang tidak diminta
secara khusus, namun sepatutnya dipahami oleh penyedia jasa. Misalnya
perubahan jadwal penerbangan, kebutuhan implisit pada penumpang adalah
informasi perubahan jadwal penerbangan diumumkan. Kebutuhan eksplisit
adalah kebutuhan penumpang yang jelas-jelas diminta oleh pelanggan. Misalnya
jika terjadi penundaan pemberangkan pesawat, maka kebutuhan eksplisit
pelanggan adalah kebutuhan penginapan.
3. Tindakan karyawan yang tidak cepat dan tidak diharapkan. Hal ini berkaitan
dengan perilaku karyawan yang tidak diharapkan pelanggan.

4.4. Perilaku Komplain


133

Perilaku komplain pelanggan muncul ketika pelanggan tidak puas dengan kinerja
barang/jasa yang telah dibeli. Perilaku pelanggan yang tidak puas dapat dibedakan
menjadi empat kemungkinan yaitu :

1. Pelanggan yang tidak puas tidak menyampaikan komplainnya kepada pihak


perusahaan dan tetap melakukan pembelian ulang atau mempertahankan
hubungan dengan pihak perusahaan. Alasan yang mendasar adalah : (a)
Pelanggan memberi kesempatan untuk memperbaiki kinerjanya karena ia yakin
bahwa kegagalan tersebut disebabkan oleh faktor ketidaksengajaan, (2)
Pelanggan yakin bahwa perusahaan tidak ada maksud untuk mengecewakannya,
(3) Antara perusahaan dan pelanggan telah terjadi ikatan emosional. Ikatan
emosional timbul karena pertemanan, etnis, kekeluargaan dan sebagainnya.
2. Pelanggan yang tidak puas tidak menyampaikan komplainnya kepada
perusahaan maupun pihak lain dan beralih ke perusahaan pesaing. Alasan yang
mendasar adalah (1) Pelanggan yakin bahwa komplainnya tidak akan ditanggapi
oleh perusahaan penyedia barang/jasa, (2)Walaupun ditanggapi tetapi solusi
yang diberikan tetap mengecewakan.
3. Pelanggan yang tidak puas berhenti membeli, memutuskan hubungan dan
menceritakan kejelekan perusahaan penyedia barang/jasa kepada orang lain. Hal
ini harus diwaspadai oleh pihak perusahaan penyedia barang/jasa, sebab jika
terjadi, maka dalam waktu singkat, perusahaan banyak kehilangan pelanggan
potensial maupun pelanggan yang ada sekarang beralih ke perusahaan lain.
Alasan yang mendasar adalah (1) Perusahaan sengaja tidak memenuhi janjinya,
(2) Pengalaman masa lalu yang selalu perusahaan tetap mempersalahkan
pelanggan jika terjadi masalah, Contoh : ATM yang dibobol pencuri, pelangan
komplain kepada pihak Bank, dan karyawan Bank tetap mempersalahkan
pelanggan dengan alasan nomor pint hanya pelanggan yang tahu.

4. Pelanggan yang tidak puas menyampaikan komplain secara langsung kepada


pihak perusahaan penyedia barang/jasa dan meminta kompensasi, misalnya
penggantian barang/jasa. Pelanggan yang bersedia menyampaikan komplain
kepada pihak perusahaan merupakan aset perusahaan karena komplain pelanggan
merupakan umpan balik yang berharga sebelum komplain tersebut menyebar luas
134

yang menyebabkan citra dan reputasi perusahaan yang jelek sehingga dapat
dijadikan sebagai dasar bagi pihak manajemen perusahaan penyedia barang/jasa
untuk memperbaiki kinerjanya. Jika komplain pelanggan dapat ditangani secara
efektif dan memuaskan, pelanggan yang tadinya tidak puas menjadi puas dan
bersedia melakukan pembelian ulang dan mempertahankan hubungan yang
selama ini terbina. Tetapi jika komplain pelanggan tidak mampu ditangani
dengan baik, sangat membayakan kelangsungan hidup perusahaan. Hasil riset
Albrecht & Zemke (1985) mengungkap bahwa 96% pelanggan yang tidak puas
menyampaikan ketidakpuasannya kepada 9 sampai 10 orang lain sehingga dalam
waktu yang relatif pendek perusahaan dapat gulung tikar atau bangkrut.
5. Pelanggan yang tidak puas mengadu melalui media masa (Surat kabar), lembaga
konsumen, pemerintah terkait dan menuntuk perusahaan penyedia barang/jasa
secara hukum. Komplain ini merupakan jenis komplain pelanggan yang
sangat berbahaya bagi kelangsungan hidup perusahaan.
Adapun faktor – faktor yang menyebabkan pelanggan yang tidak puas melakukan
komplain atau tidak adalah :

1. Penting tidaknya konsumen memandang tingkat kepentingan produk, harga,


waktu dan social visibility.
2. Pengetahuan dan pengalaman yang berkaitan dengan jumlah pembelian,
pemahaman mengenai produk, persepsi konsumen dan pengalaman komplain
sebelumnya.
3. Tingkat kesulitan dalam mendapatkan ganti rugi
4. Peluang keberhasilan dalam melakukan komplain.
Pelanggan yang tidak puas dan tidak menyampaikan komplainnya kepada
perusahaan menjadi perhatian serius bagi pihak manajemen karena dilatar belakangi
oleh tiga faktor yaitu : (1) Perusahaan kehilangan peluang untuk menyelesaikan masalah
dan mempertahankan pelanggan, (2) Reputasi perusahaan bisa rusak diakibatkan
tindakan negative word-of-mouth yang dilakukan pelanggan yang tidak puas yang
berdampak pada hilangnya pelanggan potensial dan pelanggan aktual (3) Perusahaan
kehilangan umpan balik yang berharga yang berkaitan dengan perbaikan kualitas
135

barang/jasa. Stephen & Gwinner (1998) merumuskan model proses perilaku komplain
pelanggan, seperti pada Gambar 4.1 berikut.

Gambar 4.1: Model Proses Kognitif Perilaku Komplain Pelanggan

Antesedent Proses Kognitif Hasil Penilaian Emosional Coping strategies


Appraisal Elicitation

Faktor Problem focused coping:


pribadi: -Tindakan langsung
Komitmen -Merencanakan untuk
Keyakinan Primary Appraisal: mengambil tindakan
Pengalaman Relevansi tujuan Marah
Pendidikan Kesesuaian tujuan Benci
Ego involvemen Kesal
Emotion focused coping:
-Menyalahkan diri
Stres sendiri.
Tidak Sedih - Mengendalikan diri
relevan Takut -Denial
Begin -Mencari dukungan
positif sosial
Pengalaman
pasar
Secondary Appraisal : Takut
yang tidak bersalah
memuaskan Menyalahkan/memuji
Coping potential
Ekspektasi untuk masa
Avoldance coping :
depan
-Secara fisik
Faktor -Melepaskan diri dari
situasional: situasi tersebut
Novelty
Prediktabilitas
Imminence
Durasi
Ambiguitas Compassion

Sumber : Stephen & Gwinner (1998:174)

Landasan utama model perilaku komplain pelanggan adalah cognitive appraisal


theory yang didefinisikan sebagai proses evaluasi yang dilakukan seseorang terhadap
relevansi hubungan interaksi spesifik dirinya dengan lingkungann dan kesejahteraan
dirinya sendiri.
136

Berdasarkan gambar 4.1 nampak bahwa pengalaman pelanggan (pasar) yang


tidak memuaskan sebagai input bagi proses penilaian kognitif. Pelanggan yang tidak
puas disebabkan karena kinerja barang/jasa yang diharapkan sebelum membeli tidak
sesuai dengan kinerja yang diterima setelah mengkonsumsi dan memakai barang/jasa
tersebut. Proses penilaian kognitif mengevaluasi hubungan signifikan ketidakpuasan
dengan kesejahteraan pelanggan serta berbagai tindakan yang diambil pihak perusahaan
untuk menangani ketidakpuasan pelanggan. Selain antenseden pengalaman pasar yang
tidak memuaskan, proses evaluasi kognitif juga dipengaruhi oleh anteseden karakteristik
pribadi dan faktor situasi. Karakteristik pribadi yang dimaksud adalah komitmen,
keyakinan umum, pengalaman dan pendidikan.

Komitmen berkaitan erat dengan motif, intensif, keterlibatan dan dorongan. Hasil
peniaian negatif pelanggan semakin besar apabila komitmen pelanggan kuat. Sebagai
contoh. Jasa pencucian kendaraan roda empat tidak bersih, disisi lain pelanggan
memiliki komiten yang kuat untuk menggunakan kendaraan yang bersih. Keyakinan
umum pelanggan terhadap transaksi pasar mempengaruhi penilaian kognitif. Keyakinan
umum menggambarkan persepsi terhadap realitas dan harapan pelanggan sehingga akan
menimbulkan relevansi atau kesesuaian tujuan. Pengalaman dan pendidikan juga turut
berpengaruh terhadap proses evaluasi kognitif. Misalnya pelanggan yang kurang
berpengalaman dan berpendidikan tidak memiliki pengetahuan yang memadai untuk
menilai sesuatu secara akurat. Pelanggan yang memiliki pengalaman dan berpendidikan
memiliki pengetahuan yang mendalam tentang apa yang dievaluasi, jika hasil
evaluasinya tidak sesuai harapannya menimbulkan stres dan jika hasil evaluasinya sesuai
akan menimbulkan hasil penilaian relevan dengan tujuan.

Faktor situasional menjadi salah satu faktor anteseden yang mempengaruhi


proses penilaian kognitif. Faktor situasional yang dimaksud meliputi novelty,
prediktabilitas, imminence, durasi dan ambiguitas. Situasi baru (novelty) berkenaan
dengan situasi-situasi dimana pelanggan hanya memiliki sedikit atau bahkan sama sekali
belum memiliki pengalaman terhadap jasa yang dievaluasi. Atas dasar pemikiran
tersebut maka novelty berhubungan positif terhadap stressful.
137

Demikian pula masalah yang dapat diprediksi mempengaruhi proses penilaian


kognitif sehingga memungkinkan pelanggan untuk melakukan tindakan antisipasi.
Masalah yang tidak dapat diprediksi cenderung membuat pelanggan stres sebab
pelanggan tidak mampu memprediksinya. Imminence merupakan lamanya waktu yang
dilalui sebelum kerugian atau kerusakan terjadi. Periode waktu yang relatif singkat
sebelum kerugian terjadi menimbulkan penilaian pelanggan yang sangat negatif karena
pelanggan tidak memiliki coping strategi atau mengambil tindakan untuk
menghindarinya.

Durasi juga merupakan salah satu faktor penting yang berpengaruh terhadap
proses penilaian kognitif. Durasi berkaitan dengan lamanya kejadian yang merugikan.
Semakin lama waktu durasi yang tidak memuaskan, maka semakin besar stressful yang
dialami pelanggan. Ambiguitas dalam situasi pembelian yang tidak memuaskan terjadi
apabila informasi yang tersedia bagi konsumen tidak memadai, sehingga ambiguitas
cenderung memperkuat penilaian negatif.

Proses penilaian kognitif pelanggan terdiri dari penilaian primer dan evaluasi
sekunder. Penilaian primer merupakan penentuan apakah masalah pelanggan (pasar)
yang dihadapi berbahaya atau tidak berbahaya. Penilaian sekunder berkaitan dengan
perhitungan kemampuan pelanggan dalam menghadapi dan mengelola masalah.
Penilaian primer terdiri dari tiga unsur yaitu :

1. Relevansi tujuan

Relevansi tujuan pelanggan berkaitan dengan apakah suatu masalah yang


dipersepsikan relevan dengan tujuan pribadi pelanggan, misalnya kesejahteraan
sendiri. Semakin tingi relevansi tujuan semakin besar pula emosi negatif yang
dialami pelanggan ketika barang/jasa yang dibeli tidak memuaskan.

2. Kesesuaian tujuan.

Kesesusian tujuan berkaitan dengan sejauhmana suatu kejadian/masalah tidak


memenuhi harapan pelanggan. Kesesuaian atau ketidaksesuaian tujuan timbul
setelah pelanggan melakukan evaluasi kognitif setelah memakai atau mengkonsumsi
barang/jasa. Semakin besar ketidaksesuaian tujuan yang diharapkan dengan kinerja
barang/jasa yang dibeli maka semakin besar pula tingkat stressfull, tidak relevan dan
138

perasaan negatif pelanggan. Sebaliknya semakin kecil tingkat ketidaksesuaian tujuan


yang diharakan dengan yang diterima semakin kecil pula streefull, semakin besar
tingkat relevansi tujuan dan semakin kecil kemungkinan perasaan negatif pelanggan
semakin kecil.

3. Ego-involvement

Ego-involvement berhubungan dengan evaluasi pelanggan terhadap dampak


pengalaman

yang tidak memuaskan terhadap ego individu, seperti nilai-nilai pribadi dan nilai
moral. Jika nilai-nilai pribadi dan nilai moral pelanggan terganggu akan
menimbulkan perasaan marah, benci dan kesal.

Penilaian sekunder yaitu penilaian pelanggan terhadap kemampuannya untuk


menangani masalah-masalah yang berhubungan dengan pengalaman pelanggan yang
tidak memuaskan. Penilaian sekunder mencakup tiga aspek yaitu :

1. Pelanggan cenderung akan menyalahkan atau memuji insiden yang terjadi,


sehingga yang dipersoalkan adalah siapa yang bertanggung jawab harus
diketahui. Penyebab terjadinya ketidakpuasan dapat berasal dari internal dan
eksternal. Internal yaitu penyebab ketidakpuasan bersumber dari internal
pelanggan itu sendiri dan pihak eksternal yaitu perusahaan. Jika perusahaan
menjadi penyebab faktor ketidakpuasan pelanggan, maka pelanggan
mengharapkan adanya permohonan maaf dari pihak perusahaan dan
pengembalian uang atau ganti rugi atau pelanggan marah, kesal dan benci.
2. Konsumen dituntut untuk mengevaluasi potensi penanganan ketidak puasan
yaitu persepsi pelanggan tentang kemungkinan sukses dari berbagai alternatif
tindakan penanganan yang dipilih.
3. Pelanggan menilai apa yang mungkin terjadi di masa yang akan datang dan
apakah akan mengarah pada perbaikan atau sebaliknya. Jika pelanggan
menganggap bahwa masalah yang sama akan terulang lagi, maka akan
menimbulkan hasil penilaian kognitif negatif.
Pengalaman pasar yang dinilai negatif akan memicu emosi negatif pelanggan
seperti marah, benci, kesal, takut dan perasaan bersalah. Stephens & Gwinner (1998)
139

mengindetifikasi tiga tipe strategi penanganan pengalaman yang tidak memuaskan yaitu
: Problem focused, emoion focused dan avoidance coping.

1. Problem focused. Strategi problem focused coping, pelanggan berusaha mengatasi


masalah dengan strategi mengambil tindakan langsung yaitu menyampaikan
komplain kepada pihak perusahaan penyedia barang/jasa baik dalam wujud interaksi
tatap mula langsung, lewat telepon, surat maupun email. Jadi fokus stratagi problem
focused adalah pihak eksternal.
2. Emotion focused coping diarahkan pada pihak internal pelanggan sendiri yaitu
pelanggan berusaha mengendalikan reaksi mental terhadap masalah yang muncul
dengan strategi menyalahkan diri sendiri, mengendalikan diri, menyangkal, mencari
dukungan sosial.
3. Advoidance coping dimana pelanggan yang tidak puas beralih ke perusahaan pesaing
sebagai salah satu strategi untuk mengatasi ketidakpuasannya.

Ditinjau dari sudut pandang perusahaan, komplain pelanggan dapat


dikelompokan

kedalam empat kategori berdasarkan frekuensi dan dampaknya bagi perusahaan seperti
gambar berikut :

Gambar 4.2: Frekuensi Dan Dampak Komplain


Dampak

Kecil Besar

Tinggi Perlu Segera


Perbaikan Selesaikan
Frekuensi

Rendah Bisa Sangat Penting


Diabaikan Perbaikan

Sumber : Rust, et al., (1996:189)

Pada Gambar 4.2, nampak bahwa kuadran kanan atas menunjukkan


komplain yang sering disampaikan dan dampaknya besar. Komplain semacam ini harus
mendapat prioritas utama untuk diselesaikan dengan cepat. Kuadran kiri atas,
frekuensinya besar tetapi dampaknya kecil tetapi berpotensi menjadi masalah besar
sehingga perlu penanganan khusus. Kuadran kanan bawah, frekuensi rendah tetapi
140

berdampak besar sehingga penting untuk diselesaikan dengan cepat. Kuadran kiri bawah
mungkin biasa diabaikan karena frekuensinya rendah dan dampaknya kecil.

4.5. Proses Pemulihan Barang/Jasa

Pemulihan Barang/jasa memegang peranan penting dalam pemasaran, sebab


kepuasan pelanggan terhadap pemulihan barang/jasa memberikan kontribusi besar
terhadap kepercayaan,komitmen,loyalitas pelanggan serta membangun dan
mempertahankan hubungan jangka panjang antara perusahaan dan pelanggan. Proses
pemulihan barang/jasa yang berhasil terdiri dari empat langkah yaitu : Mengidentifikasi
kegagalan, memecahkan masalah pelanggan, mengkomunikasikan dan
mengklasifikasikan kegagalan, mengintegrasikan data dan penyempurnaan barang/jasa
secara keseluruhan seperti gambar berikut :

Gambar 4.3. Proses Pemulihan Barang/Jasa

Tahap I Tahap II Tahap III Tahap IV


Identifikasi Pemecahan Komunikasi Integrasi Data
Kegagalan Jasa Masalah dan dan Perbaikan
Klasifikasi

Kepuasan Pelangan Perbaikan Sistim Jasa


Individu dan
Karyawan

Mempertahankan Kepuasan Pelanggan dan


Loyalitas Pelanggan karyawan secara
dan Karyawan keseluruhan

Mewujudkan Loyalitas
Pelanggan,karyawan

Profit

Sumber : Tax & Brown (1998:76)

4.6. Identifikasi Kegagalan


141

Tahap pertama yang harus dilakukan perusahaan dalam upaya pemulihan


barang/jasa adalah mengidentifikasi faktor penyebab kegagalan penyampaian
barang/jasa. Penyebab kegagalan penyampaian barang/jasa dari sisi perusahaan adalah
perusahaan tidak menepati janji misalnya pengantaran barang/jasa tidak tepat waktu,
kualitas layanan yang jelek (staf berlaku kasar pada pelanggan, tidak merespon dengan
cepat dan tepat apa yang dibutuhkan pelanggan) dan sebagainnya.

Tantangan yang dihadapi perusahaan dalam upaya pemulihan barang/jasa adalah


pelanggan yang tidak puas tidak melakukan komplain dan beralih ke perusahaan lain dan
menceritakan kejelekan perusahaan kepada orang lain dan hanya sebagian kecil
pelanggan yang menyampaikan komplainnya. Penyebab utama mengapa pelanggan tidak
menyampaikan komplainnya kepada pihak perusahaan adalah (1) Pelanggan yakin
bahwa komplainnya tidak akan mendapat respon yang baik dari perusahaan penyedia
barang/jasa, (2) Pelanggan enggan mengkonfrontasikan ketidakpuasannya kepada pihak
perusahaan penyedia barang/jasa, (3) Pelanggan kurang memahami hak-haknya dan
tanggung jawab perusahaan, (4) Pelanggan mengorbankan sumberdaya yang dimiliki
untuk menyampaikan komplainnya seperti sumber daya waktu, biaya dan mental. Untuk
mengatasi masalah di atas, maka perusahaan penyedia barang/jasa berusaha untuk
membangkitkan keberanian dan kebiasaan pelanggan untuk menyampaikan komplainnya
dengan strategi :

a. Perusahaan menetapkan standar kinerja dan mensosialisasikannya kepada para


pelanggan melalui garansi , tatap muka. Misalnya standar kerja waktu
pengiriman ditetapkan 1 jam, jika pengiriman terlambat dari waktu yang telah
ditetapkan maka biaya pengiriman gratis. Dari contoh di atas, maka pelanggan
memahami betul saat penyampaian barang/jasa dianggap gagal.
b. Perusahaan mengkomunikasikan pentingnya pemulihan barang/jasa kepada
pelanggan dalam rangka memulihkan pelanggan yang tidak puas menjadi puas
dengan barang atau jasa layanan serta meningkatkan komitmen pelanggan untuk
tetap mempertahankan hubungan jangka panjang. Disini karyawan dituntuk
memiliki kompetensi untuk menggairahkan pelanggan menyampaikan komplain,
mendengarkannya dengan baik, merespon dengan cepat dan disampaikan
142

secepatnya kepada pihak manajemen perusahaan untuk mendapat pemecahan


solusi yang baik dan dapat diterima pelanggan.
c. Perusahaan melatih para pelanggan tentang cara menyampaikan komplain
dengan tujuan : Mendorong agar para pelanggan menyampaikan komplainnya
langsung kepada pihak perusahaan penyedia barang/jasa, meningkatkan daya
tanggap pihak perusahaan terhadap setiap komplain pelanggan.
d. Perusahaan memanfaatkan dukungan tehnologi seperti customer call dan
internet, telephone call centre bebas pulsa dalam menangani komplain
pelanggan.
e. Perusahaan menyediakan paket hadiah kepada pelanggan yang menyampaikan
komplainnya kepada pihak perusahaan.
2. Pemecahan komplain pelanggan.

Pada dasarnya, pelanggan yang komplain akan puas jika pihak perusahaan jasa
mendengarkan dengan baik komplainnya, direspon dengan cepat dan mendapat solusi
pemecahan yang dapat diterima dengan baik. Misalnya komplain pelanggan tentang
kualitas barang/jasa. Pihak perusahaan harus mampu mendengar dengan baik komplain
tersebut, dianalisis, direspon dengan cepat dan memberikan solusi yang adil, misalnya
ganti rugi atau pengembalian uang. Banyak perusahaan gagal memuaskan pelanggan
yang komplain dengan pengembalian uang atau ganti rugi karena pelanggan merasa pada
saat menyampaikan komplainnya diacuh oleh pihak perusahaan dan lambat
penangannya. Disamping itu, pelanggan mengajukan komplain kepada pihak perusahaan
karena mendapat ketidakadilan. Persepsi pelanggan terhadap ketidakadilan dibentuk atas
dasar penilaian pelanggan terhadap tiga aspek pemulihan barang/jasa yaitu 1. Outcome,
2. Procedural features, 3. Interactional treatment (Tax & Brown, 1998 dalam Tjiptono
(2005:468).

Outcome fairness berkaitan dengan hasil yang diterima pelanggan dari komplain.
Procedural fairness berhubungan dengan kebijakan, peraturan dan ketepatan waktu
proses komplain sedangkan interactional treatment fairness berkaitan dengan
perlakukan interpersonal yang didadapatkan selama proses komplain. Atas dasar
pemikiran di atas, maka secara garis besar ada tiga cara untuk mewujudkan pemulihan
143

barang/jasa berdasarkan hasil penilaian pelanggan atas ketiga aspek pemulihan jasa di
atas yaitu :

a. Perusahaan penyedia barang/jasa memberikan hasil yang adil Jika terjadi


kegagalan penyampaian barang/jasa, pelanggan berharap ada kompensasinya seperti
permohonan maaf, pengembalian uang, reparasi, penggantian, koreksi harga dan
sebagainnya. Disini perusahaan penyedia barang/jasa harus benar-benar memahami
apa yang diharapkan pelanggan yang komplain, kemudian merancang paket
kompensasi yang dapat dinilai pelanggan adil.

b. Perusahaan penyedia barang/jasa menyediakan proses prosedural yang adil

Cara kedua pemulihan barang/jasa adalah perusahaan penyedia barang/jasa


menyediakan proses prosedural yang adil. Proses prosedural yang adil meliputi tiga
aspek yaitu : 1. Perusahaan mengemban tanggung jawab atas kegagalan barang/jasa,
2. Setiap komplain pelanggan ditangani dengan cepat, 3. Adanya sistim penanganan
komplain yang fleksibel.

c. Perusahaan penyedia barang/jasa menciptakan interaksi yang adil

Cara ketiga pemulihan barang/jasa adalah perusahaan penyedia barang/jasa


menciptakan interaksi yang adil. Perilaku interaksi antar pribadi yang adil meliputi
kesopanan, perhatian, kejujuran dan usaha yang tulus dalam memecahkan komplain
pelanggan.

Kinerja pemulihan barang/jasa dapat ditingkatkan melalui empat strategi yaitu


:Pertama, Perusahaan penyedia barang/jasa meningkatan kompetensi karyawan dalam
menangani komplain pelanggan. Peningkatan kompetensi karyawan dimaksudkan agar
karyawan memiliki kemampuan profesional dalam menangani dan memecahkan
komplain pelanggan melalui program pendidikan dan pelatihan. Kedua, Perusahaan
penyedia barang/jasa membuat panduan dan standar pemulihan barang/jasa yang
berorientasi pada peningkatan kepuasan pelanggan dan keadilan. Ketiga, Perusahaan
penyedia barang/jasa memberi kemudahan pelanggan untuk mengakses komplain
melalui call centre. Keempat, Perusahaan penyedia barang/jasa membuat data base
pelanggan dengan tujuan memudahkan perusahaan melakukan kontak person dengan
144

pelanggan. Data base pelanggan meliputi : Nama, Alamat, preferensi pelanggan,


barang/jasa yang dibeli dan komplain.

3. Komunikasi dan Klasifikasi Kegagalan barang/Jasa.

Tahap ketiga proses pemulihan barang/jasa adalah perusahaan penyedia


barang/jasa melakukan komunikasi dan klarifikasi kegagalan barang/jasa. Pihak
perusahaan penyedia barang/jasa mengkomunikasikan dan mengklasifikasi kegagalan
penyampaian barang/jasa kepada pelanggan melalui tiga strategi :

1. Perusahaan penyedia barang/ jasa membuat formulir komplain internal. Formulir


ini dipergunakan untuk mencatat setiap terjadi kegagalan penyampaian
barang/jasa.
2. Perusahaan penyedia barang/jasa menetapkan karyawan line terdepan sebagai
ujung tombak mengakses komplain pelanggan.
3. Perusahaan penyedia barang/jasa mengkategorikan pelanggan yang komplain
guna memudahkan pihak manajemen mengambil kebijakan pemulihan
barang/jasa berdasarkan tuntutan pelanggan yang disampaikan kepada pihak
perusahaan.
4. Integrasi data dan penyempurnaan barang/jasa secara totalitas.
Tahap keempat proses pemulihan barang/jasa adalah perusahaan melakukan
integrasi data dan penyempurnaan barang/jasa secara totalitas. Tantangan yang dihadapi
adalah pelanggan jarang yang melakukan komplain ketika terjadi ketidakpuasan yang
disebabkan oleh kegagalan penyampaian barang/jasa. Implikasinya, perusahaan yang
ingin menyempurnakan kualitas barang/jasanya kesulitan untuk memperoleh informasi,
sehingga pihak perusahaan mengupayakan mencari dan memperoleh sumber informasi
tambahan melalui manajemen data.

Tujuan utama manajemen data adalah untuk memastikan bahwa pihak


perusahaan penyedia barang/jasa mendapatkan informasi yang akurat, relevan, kredibel,
tepat waku serta menyebarluaskannya kepada setiap anggota organisasi yang terlibat
dalam pengambilan keputusan investasi penyempurnaan kualitas barang/jasa secara
total. Adapun prosesnya sebagai berikut :
145

a. Perusahaan penyedia barang/jasa mengumpulkan data kualitas barang/jasa


melalui riset pasar dengan tujuan untuk memperoleh informasi dari
pelanggan tentang kualitas barang/jasa baik yang sesuai dengan harapan
pelanggan maupun kualitas barang/jasa yang tidak sesuai dengan harapan
pelanggan. Informasi ini digunakan oleh pihak manajemen perusahaan dalam
membuat perencanaan penyempurnaan kualitas barang/jasa secara totalitas.
Sumber informasi lainnya adalah diperoleh dari call centre dan database
pelanggan.
b. Perusahaan penyedia barang/jasa mendistribusikan data yang telah diperoleh
dan diolah kepada setiap karyawan yang bertanggung jawab atas
implementasi penyempurnaan kualitas barang/jasa secara totalitas.
c. Perusahaan penyedia barang/jasa melakukan investasi dalam penyempurnaan
kualitas barang/jasa secara totalitas. Hal yang dipertimbangkan pihak
perusahaan dalam melakukan investasi dalam penyempurnaan kualitas
barang/jasa secara totalitas adalah kepuasan pelanggan, kepercayaan
pelanggan, komitmen pelanggan, minat pembelian ulang, biaya dan pangsa
pasar.

4.7. Kesimpulan

Pemulihan kualitas barang/jasa merupakan salah satu faktor krusial yang harus
diperhatikan pihak perusahaan/bisnis syariah sebagai penyedia barang/jasa dalam
memulihkan kepuasan pelanggan, meningkatkan kepercayaan pelanggan, meningkatkan
komitmen pelanggan, mempertahankan dan meningkatkan loyalitas pelanggan dan
membangun dan mempertahankan hubungan jangka panjang yang bernilai dengan
pelanggan. Perilaku pelanggan yang tidak puas dikelompokan menjadi: 1. Pelanggan
tidak menyampaikan komplainnya dan tetap melakukan pembelian ulang, 2. Pelanggan
tidak menyampaikan komplain kepada perusahaan tetapi menceritakan
ketidakpuasannya kepada orang lain, 3. Pelanggan berhenti membeli, memutuskan
hubungan dan menceritakan ketidakpuasannya kepada orang lain, 4. Pelanggan
146

menyampaikan komplainnya secara langsung kepada pihak perusahaan, 5. Pelanggan


mengadu melalui media masa, pemerintah dan melalui proses hukum.

Faktor penyebab pelanggan yang tidak puas dan tidak menyampaikan komplain
kepada pihak perusahaan penyedia barang/jasa adalah : 1. Penting tidaknya pelanggan
memandang barang/jasa, harga, waktu dan kelayakan sosial, 2. Pengetahuan dan
pengalaman pelanggan tentang hak dan kewajibannya, 3. Tingkat kesulitan mendapatkan
ganti rugi, 4. Peluang keberhasilan dalam melakukan komplain. Disisi lain pelanggan
yang tidak puas dan menyampaikan komplain kepada perusahaan sangat membantu
perusahaan dalam melakukan program pemulihan kualitas barang/jasa sesuai harapan
pelanggan.

Perusahaan/bisnis syariah yang ingin sukses menangani komplain pelanggan,


maka komplain pelanggan didengar dengan baik, direspon dengan cepat dan
memberikan solusi yang dapat diterima dan memuaskan. Proses pemulihan kualitas
barang/jasa dapat dilakukan melalui empat tahapan yaitu : 1. Identifikasi kegagalan
penyampaian barangjasa, 2. Pemecahan komplain, 3. Komunikasi dan klarifikasi
komplain, 4. Integrasi data dan penyempurnaan kualitas barang/jasa secara totalitas.
Tantangan yang dihadapi pihak perusahaan dalam memulihkan kualitas barang/jasa
adalah umumnya pelanggan yang tidak puas tidak menyampaikan komplain kepada
perusahaan sehingga pihak perusahaan berupaya untuk mendapatkan informasi
tambahan melalui riset pasar dan database.

Untuk mengatasi masalah di atas, maka perusahaan penyedia barang/jasa


berusaha untuk membangkitkan keberanian dan kebiasaan pelanggan untuk
menyampaikan komplainnya dengan strategi : 1. Perusahaan menetapkan standar kinerja
dan mensosialisasikannya kepada para pelanggan melalui garansi dan tatap muka. 2.
Perusahaan mengkomunikasikan pentingnya pemulihan barang/jasa kepada pelanggan
dalam rangka memulihkan pelanggan yang tidak puas menjadi puas dengan barang/jasa
layanan serta meningkatkan komitmen pelanggan untuk tetap mempertahankan
hubungan jangka panjang. 3. Karyawan dituntuk memiliki kompetensi untuk
menggairahkan pelanggan menyampaikan komplain, mendengakannya dengan baik,
merespon dengan cepat dan disampaikan secepatnya kepada pihak manajemen
147

perusahaan untuk mendapat pemecahan solusi yang baik dan dapat diterima pelanggan,
4. Perusahaan penyedia jasa melatih para pelanggan tentang cara menyampaikan
komplain, 4. Perusahaan penyedia barang/jasa memanfaatkan dukungan tehnologi
seperti customer call dan internet, telephone call centre bebas pulsa dalam menangani
komplain pelanggan, 5. Perusahaan penyedia barang/jasa menyediakan paket hadiah
kepada pelanggan yang menyampaikan komplainnya kepada pihak perusahaan.

Referensi
Astuti Sri Wahyuni, 2001, Dampak Pemasaran Jasa Rumah Sakit Terhadap Nilai,
Kepuasan Dan Loyalitas Pasien : Penelitian Pada Pasien Rawat Inap Rumah
Sakit Umum Di Tiga Ibukota Propinsi Di Pulau Jawa, Disertasi, Pascasarjana
Universitas Airlangga, Surabaya.
Barnes James G, 2001, Secrets Of Customer Relationship Management, Terjemahan
Andreas Winardi, 2003, Yogyakarta: Penerbit Andi Yogyakarta.
.Berry Leornard L, 1999, Relationship Marketing of Service – Growing Interest,
Emerging Perspectives, Journal Academy Marketing Sciences, no.4.pp.236 –
245.
Bitner Mary Jo, 1995, Building Service Relaionship : It’s All About Promises, Journal
Of The Academy Of Marketing Science, Vol.23.No.4, pp.246-251.
Gronross. Cristian, 2000, Service Management And Marketing : A. Customer
Relationship Management Approach, 2and ed. Chichester: John Wiley & Sons,
Ltd.
Goodwin, Dennis W, 1992, Life And Health Insurance Marketing, Altalanta, Georgia :
LOMA
Pawitra Teddy, 2005, Redefinisi Pemasaran, Memperbaharui Pemahaman Tentang
Disiplin Pemasaran, Surabaya : Seminar Ilmiah Fakultas Ekonomi Unair.
Kennedy. Mary Susa, Linda K.Ferrell, and Debbie Thorne LeClain, 2001, Consumers
Trust Of Salesperson And Manufacturer : An Empirical Study, Journal Of
Business Research, vo.51. pp.73 – 86.
Lau. Geok Theng and Sook Han Lee, 1999, Consumers Trust In A Brand And The Link
To Brand Loyalty, Journal Of Market Focused Management, no.4. pp.341 – 370.
Macintosh Gerrard and Lawrence S. Lockshin, 1997, Retail elationship And Store
loyalty : A Multi-Level Perspective, International Journal Of Research
Marketing, 14(5), pp.487 – 497).
Moorman Cristiane, Rohid Deshpande, Gerald Zaltman, 1993, Factors Affecting Trust
In Market Research Relationship Marketing, Journal Marketing (July) no.58,
pp.81 – 101.
148

Rust, R.T. A.J. Zahorik and T.L. Keiningham, 1996 : Service Marketing, New York:
Harper Collins College Publishers.
Schurr, Paul H. And Lulie L. Ozanne, 1985, Influence On Exchange Processes : Buyer’s
Preception Of A Seller’s Trustworthiness And Bargaining Toughness, Journal of
Consumer Research, (March) no.11, pp.939 – 953.
Stephens . N and K.P. Gwinner, 1998: Why Don’t Some People Complain? A
Cognitive-Emotive Process Model Of Consumen Complain Behavior: Journal of
Academy of Marketing Science, Vol.26. No.3, pp. 172-189.
Swan John E and Johannah Jones Nolan, 1985, Gaining Customer Trust : A
Conseptual Guide For The Salesperson, Journal Personal Selling Sales Manager
(November) no.5, pp.39 – 48.
Tjiptono, Fandy. 2005, Pemasaran jasa, Malang, Jawa Timur – Indonesia: Penerbit
Baymedia Publishing.
Wong Amy and Sohal Amrick, 2002, An Ecamination Of The Relationship Between
Trust, Commitmen And Relationship Quality, International Journal Of Retail &
Distribution Management, Vol. 20.no.1, pp.34 – 50.
Zethaml, Valarie.A. and May Jo Bitner, 2004, Service Marketing : Integrating Customer
Focus Across The Firm, 3rd ed. Boston : McGraw-Hill/Irwin.

Anda mungkin juga menyukai