Dosen pengampus:
BANDUNG
2020
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat illahi rabbi, shalawat serta salam semoga tercurah
limpahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad Saw. Alhamdulillah berkat
Rahmat, Hidayah, dan Inayah- Nya kami dapat merampungkan penyusunan
makalah Mata Kuliah Kewirausahaan yang berjudul “Prinsip-prinsip Wirausaha
Syariah “
Dalam membuat makalah ini, kami sadar bahwa makalah ini jauh dari
kesempurnaan, maka dari itu kami mengharapkan kritik dan sarannya dari
pembaca, semoga makalah ini bermanfaat bagi yang membaca khususnya bagi
yang menyusun makalah ini.
Terima kasih
Penyusun
I
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...............................................................................................................I
DAFTAR ISI..........................................................................................................................II
BAB I...................................................................................................................................3
1.1 Latar Belakang...................................................................................................3
1.2 Rumusan Masalah..............................................................................................3
1.3 Tujuan Pembahasan............................................................................................3
BAB II..................................................................................................................................4
2.1 Pengertian Prinsip dan Wirausaha Syariah.........................................................4
2.2 Prinsip-prinsip Kewirausahaan Syariah....................................................................5
2.3 Prinsip-prinsip Kewirausahaan Nabi Muhammad SAW...................................14
BAB III...............................................................................................................................20
3.1 Simpulan..........................................................................................................20
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................21
II
III
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Cara pandang seseorang terhadap Tuhan sangatlah penting.
Terlebih, bagi seorang entrepreneur menjalin koneksi yang kokoh dengan
sang Khaliq adalah sebuah keniscayaan. Setiap manusia, termasuk
entrepreneur membutuhkan Tuhan dalam kehidupannya. Al-Quran sebagai
panduan hidup manusia, memberikan pedoman Shariah bagi para
entrepreneur tentang bagaimana seharusnya manusia memandang Tuhan.
Cara pandang yang benar terhadap Tuhan, akan menentukan kualitas
hubungannya dengan Tuhan, dirinya dan kehidupan. Pertama, Allah adalah
kreator segala sesuatu termasuk alam semesta beserta isi dan hukum-hukum
yang mengikatnya. Bahkan, Allah tidak sekedar menciptakan alam semesta,
tapi juga memelihara alam ini agar senantiasa berada dalam keseimbangan
dan keserasiannya.
Prinsip adalah suatu pernyataan, ayau suatu kebenaran pokok yang
memberikan suatu petunjuk kepada pemikiran atau tindakan. Prinsip
wirausaha islam yang berdasarkan ketent uan Allah di dalam Al-Qur’an
dan petunjuk Rasullullah tentang perdagangan atau bisnis adalah suatu
kebenaran yang mutlak dan tetap.
4
BAB II
PEMBAHSAN
1
Ihyaurrahmi, “Prinsip-prinsip Kewirausahaan”, https://ihyaurrahmi-wordpress-
ss.com/2014/12/11/prinsip-prinsip kewirausahaan/amp, diakses 2015
5
5. Kebiasaan berprakarsa, artinya wirausahawan harus membiasakan
diri untuk mengembangkan dalam berprakarsa dalam kegiatan
pengelolaan usaha, memberikan saran-saran yang baik, serta
menolong kepada dirinya.2
2.2 Prinsip-prinsip Kewirausahaan Syariah
A. Kebebasan atau Sukarela
6
tentang proses jual beli dalam hak pilih, yaitu hadist dari Abdullah bin
Umar ra, dari Rasulullah SAW ia bersabda, “Jika dua orang saling berjual
beli, maka masing-masing diantara keduanya mempunyai hak pilih selagi
keduanya belum berpisah, dan kedua-duanya sama-sama mempunyai hak
atau salah seorang di antara keduanya memberi pilihan kepada yang lain.”
Beliau bersabda “jika salah seorang dari keduanya memberi pilihan kepada
yang lain, lalu keduanya menetapkan jual beli atas dasar pilihan itu, maka
jual beli menjadi wajib.”
B. Keadilan atau Bermoral, Jujur, dan Adil
Keadilan merupakan inti semua ajaran yang ada dalam Al-Quran,
didalamnya dinyatakan secara tegas menyatakan sendiri bahwa maksud
diwahyukannya adalah membangun keadilan dan persamaa, seperti firman
Allah dalam surat al-Araf (7) ayat 29.5
Keadilan dalam hukum Islam ada beberapa prinsip universal yang
harus senantiasa diperhatikan. Pertama, Tauhid. Kedua, Keadilan. Ketiga,
Amarma’rufnahimunkar. Keempat, al-Hurriyah (kemerdekaan). Kelima,
al-Musawwa (persamaan). Keenam, al-Ta’awun (tolong menolong) dan
ketujuh, al-Tasamuh (Toleransi). Jadi, keadilan merupakan salah satu
prinsip dalam hukum Islam.
Al-Quran menggunakan pengertian yang berbeda-beda bagi kata
atau istilah yang bersangkut-paut dengan keadilan. Bahkan kata yang
digunakan untuk menampilkan sisi atau wawasan keadilan juga tidak
selalu berasal dari akar kata ‘adl. Kata-kata sinonim seperti qisth, hukm
dan sebagainya digunakan oleh al-Quran dalam pengertian keadilan.
Sedangkan kata ‘adl dalam berbagai-bagai bentuk pengertian dan
penggunaannya boleh saja kehilangan kaitannya yang langsung dengan
sisi keadilan itu (ta’dilu, dalam arti mempersekutukan Tuhan dan ‘adl
dalam arti tebusan).
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat
kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari
5
Ibid, HAL.24
7
perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. dia memberi pengajaran
kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (QS. An-Nahl : 90)
Jika dikategorikan, ada beberapa pengertian yang berkaitan dengan
keadilan di dalam al-Quran dari akar kata ‘adl tersebut, yaitu sesuatu yang
benar, sikap yang tidak memihak, penjagaan hak-hak seseorang dan cara
yang tepat dalam mengambil keputusan.6
C. Akhlak yang Mulia/Sopan dan Bertingkah Laku Baik
İslam memang menghalalkan usaha perdagangan, bisnis, dan jual
beli. Namun tentu saja untuk orang yang menjalankan usaha perdagangan
atau bisnis secara islam, dituntut menggunakan tata cara khusus, ada
aturan mainnya yang mengatur bagaimana seharus nya seorang Muslim
berusaha di bidang perdagangan, agar mendapatkan berkah dan ridha
Allah SWT di dunia dan akhirat. Pelaksanaan tata cara khusus dalam
bidang perdagangan mencerminkan watak, perilaku dan moral para
pelakunya, yang dikenal dengan akhlak. Interaksi aktivitas bisnis yang
dilakukan oleh pihak-pihak yang terlibat di dalamnya, berlanjut atau
terhenti pada hanya satu kali transaksi atau berlanjut dan meluas ke
berbagai jaringan usaha ditentukan oleh penilaian dari masing-masing
pihak akan akhlak berbisnis dari masing-masing individu. 7Beberapa
prinsip akhlak umat Islam di dalam berbisnis, antara lain:
Shidiq (Jujur)
Seorang pedagang wajib berlaku jujur dalam melakukan
usaha jual beli. Jujur dalam arti luas. Tidak berbohong, tidak
mampu, tidak mengada-ada fakta, tidak berkhianat tidak pernah
ingkar janji, dan sebagainya. Mengapa harus jujur? Karena
berbagai tindakan tidak jujur selain merupakan perbuatan yang
jelas-jelas berdosa jika biasa dilakukan dalam berdagang akan
berpengaruh negatif kepada kehidupan pribadi dan keluarga
pedagang itu sendiri.8
6
Ibid, HAL. 27
7
Ibid, HAL.28
8
Ibid, HAL.29
8
Amanah (Tanggung Jawab)
Setiap pedagang harus bertanggung jawab atas usaha dan
pekerjaan atau jabatan sebagai pedagang yang telah dipilihnya
tersebut. Tanggung jawab di sini artinya, mau dan mampu menjaga
amanah (kepercayaan) masyarakat yang memang secara otomatis
terbeban di pundaknya. Berdagang, berniaga dan jual beli juga
merupakan suatu pekerjaan mulia, lantaran tugasnya antara lain
memenuhi kebutuhan seluruh anggota masyarakat akan barang
atau jasa untuk kepentingan hidup dan kehidupannya.9
Tidak Menipu
Dalam suatu Hadist dinyatakan, seburuk-buruk tempat
adalah pasar. Hal ini lantaran pasar atau tempat di mana orang jual
beli itu dianggap sebagai sebuah tempat yang di dalamnya penuh
dengan penipuan, sumpah palsu, janji palsu, keserakahan,
perselisihan, dan keburukan tingkah pola manusia lainnya.
Sementara itu pada zaman sekarang jual beli, perdagangan
dan perniagaan di zaman sekarang terutama di pasar-pasar bebas
tidak banyak lagi ditemukan orang yang mau memperhatikan etika
perdagangan Islam. Bahkan nyaris setiap orang penjual maupun
pembeli tidak mampu lagi membedakan barang yang halal dan
yang haram, di mana keadaan ini sesungguhnya sudah disinyalir
akan terjadi oleh Rasulullah SAW sebagaimana dinyatakan dalam
Hadisnya. Dari Abu Hurairah, dari Nabi SAW, bersabda: "Akan
datang pada manusia suatu zaman yang seseorang tidak
memperhatikan apakah yang diambilnya itu dari barang yang halal
atau haram" (HR. Bukhari). 10
Menepati Janji
9
Ibid, HAL.32
10
Ibid, HAL. 34
9
Seorang pedagang juga dituntut untuk selalu menepati
janjinya, baik kepada para pembeli maupun di antara sesama
pedagang, terlebih lagi tentu saja harus dapat menepati janjinya
kepada Allah SWT. Janji yang harus ditepati oleh seorang
pedagang kepada para pembeli misalnya tepat waktu
pengiriman, menyerahkan barang yang kualitasnya,
kuantitasnya warna, ukuran atau spesifikasinya sesuai dengan
perjanjian semula, memberi layanan purnajual, dan garansi.
Adapun janji yang ha- rus ditepati kepada sesama para
pedagang misalnya pembayaran dengan jumlah dan waktu
yang tepat. Sementara janji kepada Allah yang harus ditepati
oleh para pedagang Muslim adalah shalatnya. Sebagaimana
firman Allah dalam Al-Qur’an (QS. al-Jumu'ah (62) 10-11).11
Murah Hati (Lapang Dada)
Dalam beberapa Hadis, Rasulullah SAW menganjurkan
agar para pedagang selalu bermurah hati dalam melaksanakan
jual beli. Murah hati dalam pengertian ramah tamah, sopan
santun, murah senyum suka mengalah, namun tetap penuh
tanggung jawab. Makna murah hati adalah memudahkan dalam
urusan jual beli. Maka, bagi seorang pengusaha Muslim
hendaknya tidak memahalkan harga ketika ia menjual sesuatu,
karena akan memberatkan kehidupan sesama Muslim. 12
Dermawan
Dermawan adalah sikap pemurah, suka memberi, tidak kikir,
memberikan sedekah untuk sesuatu kebaikkan sebelum diminta.
Inti dari ajaran Islam sebenarnya adalah memperbaiki Akhlak.
Akhlak berkaitan dengan hati manusia. Semakin baik hatinya,
semakin baik pula akhlaknya. Ternyata, hati yang mulia,
dermawan selalu menolong dan gemar bersedekah berdampak
11
Ibid, HAL. 35
12
Ibid, HAL. 39
10
sangat positif pada diri manusia yang bersangkutan. Hal itu karena
yakin bahwa Allah pasti akan membalas semuanya, seperti
pernyataan Allah pada beberapa ayat Al-Qur’an tersebut di atas.
Orang-orang yang gemar memberikan sedekah ternyata mereka
berhasil di dalam bisnis yang dikelolanya, usahanya semakin
berkembang.13
D. Transaksi Perdagangan
Islam melindungi lima hal yang sangat penting, yaitu diin (agama),
jiwa, kehormatan, akal, dan harta Maka Islam berupaya membentuk
norma-norma yang sesuai dengan ketetapan lima perkara yang penting
tersebut, sehingga keadaan manusia akan terus tertib, membaik, kejelekan
dan kerusakan akan hilang, yang ada hanyalah kebaikan dan keserasian,
agar manusia berjalan melakukan berbagai aktivitas sesuai dengan
ketentuan-ketentuan syariat yang memang datang untuk melindungi
mereka. Di antara norma-norma tersebut ialah jual beli yang menjadi peran
utama untuk membayar dan mengambil barang dagangan di antara
manusia atau dengan perkataan lain ialah menukar harta dengan barang
yang bertujuan untuk menguasai dan memilikinya. Istilah lain dari
aktivitas jual beli adalah transaksi, transaksi terjadi karena adanya
kehendak antara dua pihak atau lebih untuk memindahkan suatu harta atau
benda dengan cara tukar menukar, yaitu menyerahkan barang yang diper
jualbelikan dan menerima harga sebagai imbalan dari penyerahan barang
tersebut dengan syarat-syarat yang ditentukan hukum Islam. Menurut
Islam, untuk mengadakan suatu transaksi, diperlukan tiga hal herikut
yaitu :14
1. Akad atau transaksi.
2. Objek transaksi.
3. Subjek transaksi.
13
Ibid, HAL. 45
14
Op.cit, HAL. 15
11
Akad atau transaksi, merupakan isi dan tujuan dari perjanjian.
Bentuk kata-kata dalam jual beli, yaitu penjual mengucapkan bahwa ia
menjual dan begitu juga pembeli harus mengucapkan bahwa ia membeli.
Persesuaian kehendak antara kedua belah pihak harus diucapkan.
Ucapannya adalah sebagai bukti bahwa mereka telah tercapai persesuaian
kehendak mengenai barang dan harga dalam perjanjian tersebut. Penjual
menyatakan dengan kemampuannya sendiri atau karena dimintakan oleh
pembeli. Hal ini dinamakan ijab atau penye- rahan, sedangkan pembeli
menyatakan membeli, pernyataan demikian dinamakan dengan kabul,
yakni menerima atau bersedia untuk membelinya suatu barang.
Untuk ijab dan kabul ini Islam menentukan syarat-syarat sebagai
berikut :
1. Beriring-iringan antara ijab dan Kabul. Maksudnya setelah selesai ijab
langsung dengan ucapan kabul tidak berselang dengan perkataan lain
atau diam yang lama. Dalam hal ini, tentu para pihak berhadap secara
langsung, ketika mengadakan transaksi jual beli tersebut.
2. Sesuai antara ijab dan kabul. Mengenai jenis sifat dan jumlah barang
yang diperjual belikan serta jelas antara tunai dan kredit.
3. Tidak berta'liq. Mengadakan transaksi jual beli harus berdasarkan
kemampuan sendiri, bukan karena paksaan atau penipuan dan tidak
terjadi karena ikut-ikutan antara satu sama lain. Ini merupakan etika
jual beli dalam Islam yang paling prinsipiel, menjalankan kegiatan jual
beli dengan rasa senang hati, ikhlas, dan memberikan kesan baik
terhadap pembeli maupun para pelanggan lainnya.
4. Tidak dibatasi oleh waktu setiap transaksi jual beli yang dilakukan
tidak boleh dibatasi oleh waktu tertentu atau jual beli berjangka, tetapi
jual beli itu untuk selama-lamanya yang diucapkan dalam ijab dan
kabul.
Tujuan pejanjian jual beli juga tidak boleh bertentangan dengan
ketentuan syara atau tidak dilarang menurut hukum Islam, 15ketertiban
15
Op.ciit, HAL. 47
12
umum dan kesusilaan. Barang yang menjadi objek transaksi adalah
tertentu, baik jenis, sifat, maupun jumlahnya. Bahkan barang tersebut
tidak boleh ada keraguan mengenai hukumnya tentang haram atau
bukan riba. Keraguan ini dapat dihindari dari suatu barang apabila di
ketahui wujudnya, sifat dan dapat diserahkan jelas mengenai barang
dan harga yang tidak tunai.
Islam menentukan syarat-syarat terhadap objek transaksi, sebagai
berikut:
1. Barang yang diperjualbelikan haruslah barang atau apa saja yang
dihalalkan. Tidak boleh menjual barang-barang yang haram,
misalnya anjing, babi, bangkai atau barang lain yang diharamkan.
Syarat ini mengindikasikan bahwa Islam memandang kegiatan
berdagang (jual beli) sebagai perbuatan mulia dan terpuji. Bahkan
berdagang itu dapat dijadikan sebagai sarana untuk beribadah
kepada Allah selama kegiatan itu dilandasi atas perintah Allah dan
Rasul-Nya. Dengan demikian seorang pedagang pada hakikatnya
tidak hanya memperoleh keuntungan dari hasil penjualan barang
dagangannya yang bersifat materi duniawi tetapi juga mendapatkan
pahala dan ganjaran dari Allah.
2. Barang tersebut adalah milik penjual, jika barang itu milik orang
lain, harus dengan persetujuan atau seizin pemiliknya.
3. Barang yang ada manfaatnya atau yang dapat digunakan oleh
pembeli untuk kepentingannya atau orang lain, tidak sah menjual
barang yang tidak ada manfaatnya. Atas manfaat ini dapat
melahirkan kemaslahatan umum dan sekaligus dapat mengantarkan
kepada pencapaian tujuan ekonomi umat yang makmur dengan
memproduksikan barang dan jasa dengan kuantitas dan kualitas
yang andal guna memenuhi kebutuhan jasmani dan rohani serta
menumbuhkan kesejahteraan duniawi dan ukhrawi secara serasi
dan seimbang.
13
4. Setiap barang yang diperjualbelikan harus dapat diserahkan. Tidak
sah menjual barang yang tidak sanggup diserahkan, atau barang
fiktif. Kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian jual beli
disyaratkan keduanya cakap untuk melakukan perbuatan-perbuatan
hukum. Mereka dapat menentukan kehendaknya dengan sempurna
serta mampu bertanggung jawab atas tindakannya.
Syarat-syarat bagi orang yang menjadi subjek transaksi jual
beli menurut Islam yaitu:16
1. Penjualan dilakukan oleh orang-orang yang telah dewasa
(baligh). Tidak sah perjanjian jual beli itu dilakukan oleh
orang-orangyang belum dewasa atau anak-anak, kecuali
dalam hal-hal tertentu.
2. Sehat akal dan mental. Penjualan atau pembeli tidak dalam
keadaan gila mabuk atau terganggu mentalnya.
3. Perjanjian jual beli dilakukan atas kehendaknya sendiri
bukan karena paksaan orang lain.
4. Boleh menggunakan hartanya, misalnya, tidak dilarang oleh
hakim untuk menggunakan hartanya.
16
Ibid, HAL.48
14
2.3 Prinsip-prinsip Kewirausahaan Nabi Muhammad SAW
A. Citra diri yang optimis
Optimis adalah modal usaha yang cukup penting bagi usahawan,
sebab kata optimis merupakan sebuah prinsip yang dapat memotivasi
kesadaran kita, sehingga apapun usaha yang kita lakukan harus penuh
optimis bahwa usaha yang kita jalankan akan sukses. Dengan optimis, kita
akan semangkin yakin bahwa yang kita kerjakan akan berhasil dengan
baik.
B. Bertindak dengan penuh perhitungan dalam mengambil resiko
Resiko selalu ada dimanapun berada. Sering kali kita menghindar
dari resiko dari yang satu, tetapi memenuhi resiko yang lainnya. Namun
yang harus dipertimbangkan adalah perhitungan dengan sebaik-baiknya
sebelum memutuskan sesuatu, terutama dalam bisnis yang tingkat
resikonya tinggi, tetapi pada seberapa besar kemungkinan kita mampu
menanggung resiko dan seberapa kita mampu menanggung kerugian atas
konsekuensi dari sebuah keputusan.17
C. Sabar, Ulet dan Tekun
Prinsip lain yang tidak kalah penting dalam berusaha adalah
kesabaran dan ketekunan meskipun harus menghadapi berbagai bentuk
permasalahan, percobaan dan kendala, bahkan diremehkan oleh orang lain.
Dengan kesabaran biasanya akan memahami dengan baik bagaimana
mengatasi permasalahan yang timbul, sehingga mampu memecahkan dan
menghadpinya dengan baik dan optimal.18
D. Peka terhadap pasar atau dapat baca peluang pasar
Prinsip peka terhadap pasar atau dapat membaca peluang pasar
adalah prinsip mutlak yang harus dilakukan oleh wirausahawan, baik pasar
ditingkat local, regional, maupun internasional. Peluang pasar sekecil
apapun harus di identifikasi dengan baik sehingga dapat mengambil
peluang pasar tersebut dengan baik.
17
Andri Soemitra, “Kewirausahaan Berbasis Syariah”, (Medan: CV MANJI, 2015), HAL.3
18
Ibid, HAL. 5
15
E. Berbisnis dengan standar etika
Prinsip bahwa setiap pebisnis harus senantiasa memegang standar
etika yang berlaku secara universal. Yang menjadi perhatian adalah
apakah standar etika yang berlaku disetiap Negara dikenali dengan baik
dan disesuaikan dengan budaya bangsa yang besangkutan. Indonesia
memiliki undang-undang perlindungan konsumen yang dapat dipakai
sebagai salah satu pegangan dalam etika berbisnis.
F. Keunggulan Kompetitif
Konsep keunggulan bersaing banyak dikembangkan dari strategi
generik yang dikemukakan Porter (1985). Ajaran Porter tentang strategi
generik untuk keunggulan bersaing terdiri dari keunggulan biaya,
differensiasi dan fokus kepada pelanggan masih relevan untuk tetap
digunakan. Keunggulan bersaing adalah jantung kinerja perusahaan dalam
persaingan pasar. Keunggulan bersaing pada dasarnya tumbuh dari nilai
atau manfaat yang dapat diciptakan perusahaan bagi pembelinya. Bila
perusahaan kemudian mampu menciptakan keunggulan melalui salah satu
dari ketiga strategi generik yang dikemukakan oleh Porter tersebut, maka
akan didapatkan keunggulan bersaing (Aaker, 1989).
Menurut Ehmke (2008) “A competitive advantage is an advantage
gained over competitors by offering customers greater value, either
through lower prices or by providing additional benefits and service that
justify similar, or possibly higher prices” . 19Keunggulan bersaing sebagai
strategi benefit dari perusahaan untuk menciptakan kompetisi yang lebih
efektif dalam pasarnya (Porter, 1993). Kemudian Lumpkin dan Dess
(2005) menyatakan bahwa sebuah keunggulan kompetitif ada ketika
pelanggan merasakan bahwa produk yang dimiliki perusahaan memiliki
kelebihan dari pesaingnya. Adner dan Zemsky (2006), perspektif
keunggulan bersaing yang mempertimbangkan perspektif berbasis
permintaan. Keunggulan bersaing dapat dilihat dari tingkat kepentingan
kualitas terhadap pasar dan mengklasifikasikan ke dalam 4 (empat) tipe
19
ISSN 2302- 9791.Vol.2.No. 1 May 2015. h,140
16
sumber daya dalam penciptaan nilai, yaitu proses sumber daya untuk
menurunkan struktur biaya perusahaan, sumber daya produk untuk
meningkatkan kinerja perusahaan, sumber daya waktu untuk
menghantarkan nilai sesuai waktu pasar, dan sumber daya inovasi untuk
mempengaruhi teknologi. Menurut Adner dan Zemsky (2006), sumber
daya-sumber daya ini dan sumber daya lainnya membentuk penciptaan
nilai dalam proses pengembangan posisi keunggulan bersaing perusahaan.
Pendekatan lain menjelaskan bahwa pendekatan kolaboratif
merupakan sumber keunggulan bersaing perusahaan. Pendekatan ini
disebut sebagai “teori modal sosial”. Modal sosial yang dikemukakan oleh
Timberlake (2005) merupakan sebuah konsep yang telah diterima sebagai
suatu aset bernilai untuk melindungi dan mengamankan masyarakat,
pemberdayaan organisasi, dan masyarakat. Modal sosial memainkan
peranan penting dalam memenuhi kebutuhan organisasi dan memberikan
kontribusi bagi keberlangsungan hidup organisasi di era persaingan global
saat ini. Hal tersebut merupakan sarana manajemen dalam mencapai
tujuan organisasi secara lebih efektif dan berbiaya rendah. 20Modal sosial
memfasilitasi aktivitas berbagi pengetahuan (knowledge sharing),
penciptaan nilai (value creation), keunggulan bersaing (competitive
advantage), kinerja yang lebih baik, dan pengembangan organisasi (Abili
dan Faraji, 2009).
Menurut Mangkuprawira (2007), dua prinsip pokok yang perlu
dimiliki perusahaan untuk meraih keunggulan kompetitif yaitu adanya
nilai pandang pelanggan dan keunikan produk.
1. Sudut Pandang Nilai Pelanggan
Keunggulan kompetitif terjadi apabila terdapat pandangan pelanggan
bahwa mereka memperoleh nilai tertentu dari transaksi ekonomi
dengan perusahaan tersebut. Untuk itu syaratnya adalah semua
karyawan perusahaan harus fokus pada kebutuhan dan harapan
pelanggan. Hal demikian baru terwujud ketika pelanggan dilibatkan
20
Ibid.h, 141
17
dalam merancang proses memproduksi barang dan atau jasa serta
didorong membantu perusahaan merancang sistem MSDM yang akan
mempercepat pengiriman barang dan jasa yang diinginkan pelanggan.
2. Sudut Keunikan
18
sepadan dengan kebutuhan pelanggan. Perusahaan termasuk
karyawannya perlu memiliki daya tanggap, sensitif dan adapatasi
yang tinggi dalam mengikuti perubahan-perubahan karakter
pelanggan, teknologi, keadaan pasokan, peraturan, dan kondisi
ekonomi. Dengan demikian para pelanggan akan senang hati untuk
selalu loyal kepada perusahaan.
Sebuah perusahaan dengan keunggulan kompetitif dapat
menciptakan nilai ekonomis yang lebih tinggi untuk pemangku
kepentingan, pelanggan dan pemasok dibandingkan dengan
pesaing.21 Perusahaan berusaha untuk mempertahankan keunggulan
kompetitifnya dengan melakukan inovasi di dalam proses, ciri
produk, dan cara bertransaksi. Persaingan adalah tantangan yang
fundamental dari strategi bisnis. Untuk dapat bertahan hidup dan
mencapai keberhasilan, perusahaan harus lebih baik dari pesaing
dalam banyak cara yang berbeda. Perusahaan harus menawarkan
kepada pelanggan nilai yang lebih tinggi dengan cara menawarkan
kualitas dan kenyamanan yang lebih tinggi dengan harga yang relatif
lebih rendah dibandingkan dengan pesaing. Perusahaan harus lebih
menarik bagi pemasok dan distributor, selain itu juga harus bersaing
dalam menarik perhatian investor. Efisiensi biaya harus melebihi
perusahaan pesaing di pasar yang dijadikan benchmark (Spulber,
2004). Keunggulan kompetitif secara umum mengindikasikan bahwa
perusahaan dapat mencapai kinerja yang lebih tinggi dari pada
pesaing di dalam industri dengan memanfaatkan aset dan atau
kompetensinya. Jacobson (1988) dan Porter (1990) dalam Lee dan
Hsieh (2009) mendefinisikan keunggulan kompetitif yang
berkelanjutan sebagai keunggulan kompetitif yang bertahan dalam
waktu lama. Keunggulan kompetitif semacam itu harus memiliki
karakteristik sebagai berikut:
21
Ibid. h, 142.
19
berkelanjutan: Sebuah perusahaan harus memimpin pesaingnya
secara berkelanjutan atau bertahan dalam waktu yang agak lama,
dan akan berakhir ketika pesaing berhasil meniru keunggulan
kompetitif yang sama;
keunikan: Sebuah perusahaan perlu memilik kompetensi yang
hanya dimiliki oleh sejumlah kecil perusahaan;
kekukuhan: Sebuah perusahaan perlu memimpin perusahaan
pesaing dengan gap yang signifikan.
20
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Dalam membangun wirausaha, mempunyai prinsip yang sudah
dibahas sebelumnya sangatlah penting. Ketika kita sudah memenuhi
prinsip-prinsip kewirausahaan yang sesuai dengan agama(Syariah) maka
kedepannya usaha yang kita jalankan/ bina akan selalu berjalan dengan
lancar.
Akan tetapi, tidak menutup kemungkinan usaha yang dijalankan
akan mengalami kegagalan atau kerugian jika kita tidak optimis terhadap
usaha yang kita rintis. Seperti halnya yang diketahui bawha prinsip-prinsip
Nabi SAW sangatlah mudah jika benar-benar ingin merintis suatu usaha
dan memenuhi prinsip-prinsip yang telah ada. Diantaranya :
1. Citra diri yang optimis
2. Bertindak dengan penuh perhitungan dalam mengambil resiko
3. Sabar, ulet dan tekun
Tidak hanya 3point tersebut peka terhadap pasar atau dapat baca
peluang pasar pun penting untuk keberlangsungannya usaha yang
dirintis.
21
DAFTAR PUSTAKA
22