Anda di halaman 1dari 15

Latar Belakang APU PPT

Lembaga keuangan sangat rentan terhadap kemungkinan digunakan sebagai media pencucian
uang dan pendanaan terorisme, karena tersedia banyak pilihan transaksi bagi pelaku pencucian
uang dan pendanaan terorisme dalam upaya melancarka n tindak kejahatannya. Melalui berbagai
pilihan transaksi tersebut, seperti transaksi pengiriman uang, lembaga keuangan menjadi pintu
masuk harta kekayaan yang merupakan hasil tindak pidana atau merupakan pendanaan kegiatan
terorisme ke dalam sistem keuangan yang selanjutnya dapat dimanfaatkan untuk kepentingan
pelaku kejahatan. Misalnya untuk pelaku pencucian uang, harta kekayaan tersebut dapat ditarik
kembali sebagai harta kekayaan yang seolah-olah sah dan tidak lagi dapat dilacak asal usulnya.
Sedangkan untuk pelaku pendanaan terorisme, harta kekayaan tersebut dapat digunakan untuk
membiayai kegiatan terorisme.
Seiring dengan perkembangan produk, model bisnis dan teknologi informasi yang semakin
kompleks, seluruh Penyedia Jasa Keuangan di bawah pengawasan Bank Indonesia wajib
menerapkan Program APU dan PPT secara optimal dan efektif. Penerapan program APU dan
PPT tidak saja penting untuk pemberantasan pencucian uang dan pencegahan pendanaan
terorisme, melainkan juga untuk mendukung penerapan prinsip kehati-hatian yang dapat
melindungi Penyelenggara maupun pengguna jasa dari berbagai risiko yang mungkin timbul.

APU PPT untuk Mewujudkan Visi SPI 2025

Sistem Pembayaran Indonesia (SPI) 2025 menjamin keseimbangan antara inovasi dengan
integritas sistem pembayaran, melalui penerapan Anti Pencucian Uang, Pencegahan Pendanaan
Terorisme, serta Pencegahan Pendanaan Proliferasi Senjata Pemusnah Massal sebagaimana Visi
4 Blueprint SPI 2025 yakni “SPI 2025 menjamin keseimbangan antara inovasi dengan
consumers protection, integritas dan stabilitas serta persaingan usaha yang sehat melalui
penerapan KYC & AML-CFT, kewajiban keterbukaan data/informasi / bisnis publik, dan
penerapan regtech dan suptech dalam kewajiban pelaporan, regulasi, dan pengawasan". Publikasi
Blueprint SPI 2025 dapat diunduh di sini.

Kebijakan dan Analisis Risiko

Framework APU PPT dibangun untuk mendukung pencapaian Visi SPI 2025 serta mencegah
aktivitas pencucian uang, pendanaan terorisme, dan pendanaan proliferasi senjata pemusnah
massal yang menimbulkan berbagai risiko, antara lain:

1. Mengancam stabilitas perekonomian dan integritas sistem keuangan; 


2. Mengurangi kredibilitas Indonesia di mata internasional; 

3. Meningkatkan risiko investasi;


4. Pendanaan tindak pidana terorisme merupakan salah satu bentuk ancaman bagi
kedaulatan negara. 

Adapun capaian akhir dari Implementasi APU PPT pada SPI adalah sebagai berikut:
1. Integritas sistem keuangan Indonesia mendukung stabilitas perekonomian; 

2. Kredibilitas dan reputasi Indonesia meningkat di mata internasional, dengan kepatuhan


terhadap standar internasional;
3. Integritas sistem keuangan Indonesia mendukung iklim investasi;

4. Aksi teror dapat dimitigasi melalui pencegahan pendanaan terorisme.

Sectoral Risk Assessment (SRA)


Bank Indonesia melakukan penilaian risiko Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), Tindak
Pidana Pendanaan Terorisme (TPPT), dan Pendanaan Proliferasi Senjata Pemusnah Massal
(PPSPM) pada sektor Penyedia Jasa Pembayaran (PJP) Lembaga Selain Bank dan Kegiatan
Usaha Penukaran Valuta Asing (KUPVA) Bukan Bank. Penilaian dilakukan berdasarkan
pengguna jasa, negara atau wilayah geografis, produk atau jasa, serta jalur atau jaringan
transaksi. Penilaian risiko tersebut dituangkan dalam Sectoral Risk Assessment (SRA) yang
mengacu pada National Risk Assesment (NRA) TPPU, TPPT, dan PPSPM. Tujuan dari
penyesuaian SRA antara lain:

1. Mengidentifikasi dan menganalisis faktor ancaman, kerentanan dan dampak pencucian


uang, pendanaan terorisme dan pendanaan proliferasi senjata pemusnah massal;
2. Mengidentifikasi, menganalisis, dan mengevaluasi berbagai risiko pencucian uang,
pendanaan terorisme dan pendanaan proliferasi senjata pemusnah massal mencakup
pemetaan risiko berdasarkan profil pengguna jasa (perorangan dan badan usaha),
wilayah, produk dan layanan, serta jalur atau jaringan transaksi (delivery channel);
3. Mengidentifikasi dan menganalisis ancaman pencucian uang, pendanaan terorisme dan
pendanaan proliferasi senjata pemusnah massal yang baru muncul dan/atau berkembang
atau “emerging threat"; serta
4. Merumuskan langkah-langkah strategi mitigasi risiko pencucian uang, pendanaan
terorisme dan pendanaan proliferasi senjata pemusnah massal.

Kebijakan APU PPT


Sebagai Lembaga Pengawas dan Pengatur (LPP), Bank Indonesia telah mengeluarkan berbagai
ketentuan dan pedoman terkait APU PPT. Bank Indonesia telah menerbitkan Peraturan Bank
Indonesia No.19/10/PBI/2017 tentang Penerapan Anti Pencucian Uang dan Pencegahan
Pendanaan Terorisme bagi Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran Selain Bank dan
Penyelenggara Kegiatan Usaha Penukaran Valuta Asing Bukan Bank (selanjutnya disebut “PBI
APU PPT”).
Ketentuan dalam PBI APU PPT ini berlaku sejak September 2017 dan bagi PJSP Selain Bank
serta Penyelenggara KUPVA Bukan Bank. Dalam PBI tersebut, telah diatur kewajiban
penerapan APU PPT oleh Penyelenggara KUPVA Bukan Bank dan PJSP Selain Bank yang
meliputi:

1. tugas dan tanggung jawab Direksi dan pengawasan aktif Dewan Komisaris;
2. kebijakan dan prosedur tertulis;
3. proses manajemen risiko; 
4. manajemen sumber daya manusia; dan
5. sistem pengendalian internal.

Dalam menyusun PBI APU PPT, BI mengadopsi berbagai ketentuan, antara lain: 

1. FATF 40 Recommendations; 
2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak
Pidana Pencucian Uang (UU TPPU);
3. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak
Pidana Pendanaan Terorisme (UU TPPT). 

PBI APU PPT dapat diunduh di sini.


Selain menerbitkan PBI APU PPT, Bank Indonesia juga menerbitkan PBI lainnya yang mengacu
pada PBI APU PPT, antara lain: 

1.  PBI No.14/23/PBI/2012 tentang Transfer Dana;


2.  PBI No.18/20/PBI/2016 tentang Kegiatan Usaha Penukaran Valuta Asing Bukan Bank;
Reformasi pengaturan Sistem Pembayaran sebagai bagian dari Blueprint Sistem Pembayaran
Indonesia (BSPI) 2025 turut mengatur kewajiban APU PPT bagi PJP Lembaga Selain Bank dan
KUPVA Bukan Bank, melalui penerbitan beberapa PBI sebagai berikut:

1. PBI No.22/23/PBI/2020 tentang Sistem Pembayaran


2. PBI No.23/6/PBI/2021 tentang Penyedia Jasa Pembayaran
3. PBI No.23/7/PBI/2021 tentang Penyelenggara Infrastruktur Sistem Pembayaran

Bank Indonesia juga menerbitkan pedoman teknis turunan dari PBI APU PPT, antara lain: 

1. Pedoman Penerapan APU PPT Berbasis Risiko (Risk Based Approach);


2. Pedoman Prinsip Mengenal Pengguna Jasa (Customer Due Diligence) bagi PJSP Selain
Bank dan KUPVA Bukan Bank;
3. Pedoman pelaksanaan pemblokiran secara serta merta atas dana milik orang atau
korporasi yang identitasnya tercantum dalam Daftar Terduga Teroris dan Organisasi
Teroris (DTTOT);
4. Pedoman pelaksanaan pemblokiran secara serta merta atas dana milik orang atau
korporasi yang identitasnya tercantum dalam Daftar Pendanaan Proliferasi Senjata
Pemusnah Massal. 

Dalam rangka mengoptimalkan upaya mitigasi TPPU, TPPT, dan PPSPM, Bank Indonesia telah
menyusun Kajian Tipologi Kasus TPPU, TPPT, dan PPSPM bagi PJP Lembaga Selain Bank dan
KUPVA Bukan Bank. Kajian ini diharapkan dapat meningkatkan awareness dan menjadi
panduan bagi PJP Lembaga Selain Bank, KUPVA Bukan Bank, Aparat Penegak Hukum (APH),
dan otoritas terkait untuk mengidentifikasi tipologi yang dilakukan oleh pelaku dalam rangka
mitigasi praktik pencucian uang, pendanaan terorisme, dan pendanaan proliferasi senjata
pemusnah massal.
Kajian Tipologi Kasus TPPU, TPPT, dan PPSPM pada PJP Lembaga Selain Bank dan KUPVA
Bukan Bank Tahun 2021 dapat diunduh di sini.

Pedoman Teknis APU PPT


Penerapan APU PPT Berbasis Risiko (Risk Based Approach/RBA)
Sesuai dengan Rekomendasi 1 FATF bahwa Penyelenggara wajib mengidentifikasi dan
memahami risiko pencucian uang dan pendanaan terorisme mencakup aspek wilayah
(geography), profil nasabah (customer), produk dan layanan, serta jaringan transaksi (delivery
channel). Serta mengacu pada PBI APU PPT, Risk Based Approach (RBA) digunakan untuk
meningkatan kualitas pengawasan dalam rangka mencegah disalahgunakannya PJSP Selain Bank
dan KUPVA Bukan Bank sebagai media pencucian uang dan/atau pendanaan terorisme. NRA
dan SRA menjadi acuan dalam penerapan APU PPT berbasis risiko (RBA). Penerapan APU PPT
berbasis risiko (RBA) meliputi:

1. Pengawasan offsite dan onsite berbasis risiko dengan risk ranking tools pengawasan serta
kertas kerja Risk Based Approach (RBA);
2. Penyelenggara menggunakan RBA APU PPT untuk melakukan asesmen risiko dan
operasional. 

Pedoman Penerapan APU PPT Berbasis Risiko (RBA) bagi Penyelenggara Transfer Dana dan
KUPVA Bukan Bank dapat diunduh di sini

Pedoman Penerapan APU PPT Berbasis Risiko (RBA) bagi Penyelenggara Uang Elektronik,
Penyelenggara Dompet Elektronik, serta Penyelenggara Alat Pembayaran Menggunakan Kartu
dapat diunduh di sini.
Pedoman Prinsip Mengenal Pengguna Jasa (Customer Due Diligence) bagi PJSP Selain
Bank and KUPVA Bukan Bank
Tata cara dan mekanisme penerapan Customer Due Diligence (CDD) secara umum telah diatur
dalam PBI APU PPT. Untuk memudahkan Penyelenggara dalam memenuhi dan melaksanakan
CDD sebagaimana diamanatkan dalam PBI APU PPT, Bank Indonesia menerbitkan Pedoman
Prinsip Mengenal Pengguna Jasa (CDD) bagi PJSP Selain Bank dan KUPVA Bukan Bank.
Beberapa hal yang perlu menjadi perhatian penting dalam pedoman CDD dimaksud adalah
sebagai berikut: 

1. Pedoman CDD merupakan acuan yang harus diperhatikan oleh Penyelenggara dalam
menerapkan proses CDD bagi calon pengguna jasa, pengguna jasa, serta beneficial
owner, baik secara konvensional maupun CDD secara elektronik (e-CDD).
2. Penerapan e-CDD sama dengan penerapan CDD konvensional, yaitu CDD Sederhana,
CDD Standar, dan Enhanced Due Diligence (EDD), dengan melakukan 4 tahapan, yaitu
Identifikasi, Verifikasi, Pemantauan secara berkesinambungan (on going due diligence),
serta memahami maksud dan tujuan hubungan usaha.
3. Bagi Penyelenggara yang menerapkan e-CDD, secara prinsip harus tetap memenuhi
aturan mengenai penerapan CDD yang telah diatur di PBI APU PPT, termasuk
menerapkan e-CDD terhadap Beneficial Owner.
4. Dalam hal Penyelenggara melakukan salah satu proses e-CDD, maka pelaksanaan proses
tersebut dilakukan dengan memperhatikan pelaksanaan proses e-CDD yang dicantumkan
dalam Pedoman ini.

Pedoman Prinsip Mengenal Pengguna Jasa (CDD) bagi PJSP Selain Bank dan KUPVA Bukan
Bank dapat diunduh di sini.
Daftar Terduga Teroris dan Organisasi Teroris (DTTOT)

Berdasarkan Undang-Undang No. 9 Tahun 2013 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan


Tindak Pidana Pendanaan Terorisme (TPPT), Pendanaan terorisme adalah penggunaan harta
kekayaan secara langsung atau tidak langsung untuk kegiatan terorisme. Lingkup pendanaan
terorisme mencakup perbuatan yang dilakukan secara langsung atau tidak langsung dalam
rangka menyediakan, mengumpulkan, memberikan atau meminjamkan dana kepada pihak lain
yang diketahuinya akan digunakan untuk melakukan tindak pidana terorisme, baik dengan harta
kekayaan yang merupakan hasil dari suatu tindak pidana ataupun dari harta kekayaan yang
diperoleh secara sah.
Transaksi Keuangan Mencurigakan Terkait Pendanaan Terorisme adalah: 
 

1. Transaksi keuangan dengan maksud untuk digunakan dan/atau yang diketahui akan
digunakan untuk melakukan tindak pidana terorisme; atau
2. Transaksi yang melibatkan Setiap Orang yang berdasarkan Daftar Terduga Teroris dan
Organisasi Teroris (DTTOT). 

Ketentuan Hukum terkait DTTOT


Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana
Pendanaan Terorisme;

1. Peraturan Bersama Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia, Menteri Luar Negeri
Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kepala Badan
Nasional Penanggulangan Terorisme, dan Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi
Keuangan tentang Pencantuman Identitas Orang dan Korporasi dalam Daftar Terduga
Teroris dan Organisasi Teroris (DTTOT) dan Pemblokiran secara Serta Merta Atas Dana
Milik Orang atau Korporasi yang Tercantum dalam DTTOT;
2. Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/10/PBI/2017 tentang Penerapan Anti Pencucian
Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme bagi Penyelenggara Jasa Sistem
Pembayaran selain Bank dan Penyelenggara Kegiatan Usaha Penukaran Valuta Asing
Bukan Bank. 

Sesuai dengan Rekomendasi Financial Action Task Force (FATF) No. 6, Bank Indonesia
meneruskan informasi DTTOT dari POLRI kepada penyelenggara dan ditindaklanjuti dengan
kewajiban pemblokiran secara serta merta terhadap seluruh dana yang dimiliki atau dikuasai,
baik secara langsung maupun tidak langsung, oleh orang atau Korporasi berdasarkan DTTOT.
Pedoman pelaksanaan pemblokiran secara serta merta atas dana milik orang atau korporasi yang
identitasnya tercantum dalam DTTOT dapat diunduh di sini.

Daftar Pendanaan Proliferasi Senjata Pemusnah Massal

Berdasarkan Peraturan Bersama Menteri Luar Negeri Republik Indonesia, Kepala Kepolisian
Negara Republik Indonesia, Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, dan
Kepala Badan Pengawas Tenaga Nuklir, Proliferasi senjata pemusnah massal adalah penyebaran
senjata nuklir, biologi, dan kimia, baik dengan harta kekayaan yang merupakan hasil dari suatu
tindak pidana ataupun dari harta kekayaan yang diperoleh secara sah.
Ketentuan Hukum terkait Pendanaan Proliferasi Senjata Pemusnah Massal

1. Peraturan Bersama Menteri Luar Negeri Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Negara
Republik Indonesia, Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, dan
Kepala Badan Pengawas Tenaga Nuklir tentang Pencantuman Identitas Orang dan
Korporasi dalam Daftar Pendanaan Proliferasi Senjata Pemusnah Massal dan
Pemblokiran secara Serta Merta Atas Dana Milik Orang atau Korporasi yang Tercantum
dalam Daftar Pendanaan Proliferasi Senjata Pemusnah Massal;
2. Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/10/PBI/2017 tentang Penerapan Anti Pencucian
Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme bagi Penyelenggara Jasa Sistem
Pembayaran Selain Bank dan Penyelenggara Kegiatan Usaha Penukaran Valuta Asing
Bukan Bank. 
Sesuai dengan Rekomendasi Financial Action Task Force (FATF) No. 7, Bank Indonesia
meneruskan informasi proliferasi senjata pemusnah massal dari PPATK kepada penyelenggara
dan ditindaklanjuti dengan kewajiban pemblokiran secara serta merta terhadap seluruh dana yang
dimiliki atau dikuasai, baik secara langsung maupun tidak langsung, oleh orang atau Korporasi
berdasarkan Daftar Pendanaan Proliferasi Senjata Pemusnah Massal.

Keanggotaan dan Kerjasama

 
BI terus memperluas kerja sama APU PPT dengan otoritas terkait, baik nasional maupun
internasional dalam rangka memperkuat implementasi APU PPT.

Kerjasama Nasional dan Internasional terkait APU PPT

1. Kerjasama Nasional

Bank Indonesia senantiasa secara aktif dan berkesinambungan melakukan koordinasi


dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Kepolisisan Republik
Indonesia (POLRI), Badan Narkotika Nasional (BNN), Kementerian Keuangan dan
instansi terkait lainnya untuk mewujudkan rezim APU dan PPT yang lebih optimal.

2. Kerjasama Internasional
Bank Indonesia secara aktif menjalin kerja sama dengan Bank Negara Malaysia (BNM),
Bangko Sentral ng Pilipinas (BSP), Bank of Thailand (BoT), Brunei Darussalam Central
Bank (BDCB), Central Bank of United Arab Emirates (CBUAE), Monetary Authority of
Singapore (MAS), serta lembaga internasional lainnya. BI terus berupaya memperluas
kerja sama APU PPT dengan otoritas luar negeri lainnya.

Keanggotaan dalam Lembaga Internasional terkait APU PPT

a. Keanggotaan dalam APG

Profil APG

Asia/Pacific Group on Money Laundering merupakan organisasi regional (Asia Pasifik)


untuk mencegah dan memberantas kegiatan TPPU, TPPT, dan pendanaan proliferasi.
Indonesia telah menjadi member APG sejak tahun 2001.

Mutual Evaluation

Setiap negara yang menjadi anggota APG berkomitmen untuk melaksanakan Mutual


Evaluation (ME) guna menilai tingkat kepatuhan dengan Rekomendasi FATF sebagai
standar internasional Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan
Terorisme (APU PPT). 

Hasil Mutual Evaluation APG


 
Sidang Tahunan Asia/Pacific Group (APG) on Money Laundering ke-21 yang diselenggarakan
tanggal 21 – 27 Juli 2018 di Kathmandu, Nepal, telah mengesahkan laporan Mutual Evaluation
Report (MER) Indonesia. MER tersebut merupakan hasil review kepatuhan (compliance) dan
efektivitas implementasi (effectiveness) Indonesia terhadap rezim Anti Pencucian Uang dan
Pendanaan Terorisme yang didasarkan pada 40 rekomendasi Financial Action Task Force
(FATF).
Penilaian kepatuhan atas upaya-upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian
uang dan pendanaan terorisme dilakukan secara profesional dan objektif. Adapun tim penilai
(assessor team) MER Indonesia beranggotaan perwakilan dari Amerika Serikat, Kanada, Macao-
China, China-Taipei, Pakistan, dan Bangladesh dan Sekretariat APG.
Sidang Tahunan APG di Kathmandu, Nepal telah menetapkan, bahwa kepatuhan serta efektivitas
implementasi Indonesia terhadap standar internasional di bidang pencegahan dan pemberantasan
tindak pidana pencucian uang dan pendanaan terorisme, dinilai sangat memadai. Dari 40
rekomendasi FATF terkait dengan kepatuhan legal framework, Indonesia mendapat rating ‘C’
(compliant) atau nilai tertinggi untuk 6 rekomendasi. Kemudian mendapat rating ‘LC’ (Largely
Compliant) untuk 29 rekomendasi, serta mendapat rating ‘PC’ (Partially Compliant) untuk 4
rekomendasi. Dari keseluruhan rekomendasi hanya ada satu rekomendasi di mana Indonesia
mendapat rating ‘NC’ (Non-Compliant), yakni pada rekomendasi terkait pendanaan proliferasi
senjata pemusnah massal. Terkait efektivitas implementasi, Indonesia mendapat rating
Substantial untuk 5 Immediate Outcome (IO), kemudian rating Moderate untuk 5 IO, serta rating
Low untuk 1 IO terkait pendanaan proliferasi senjata pemusnah massal. Hasil penilaian tersebut
menunjukkan bahwa efektivitas implementasi APU PPT di Indonesia lebih baik jika
dibandingkan dengan negara-negara APG seperti Australia, Malaysia, dan Singapura.
Persiapan Menuju Keanggotaan Penuh FATF
 
Profil FATF
 
Financial Action Task Force on Money Laundering (FATF) adalah organisasi inter-
governmental yang dibentuk tahun 1989 oleh G-7 dengan tujuan untuk mengembangkan sistem
dan infrastruktur untuk mencegah dan memberantas kegiatan pencucian uang dan kemudian
dikembangkan untuk memberantas kegiatan pendanaan terorisme dan pendanaan
proliferasi/pengembangan senjata pemusnah massal.
 
FATF menyusun standar yaitu FATF 40 Recommendations dan prosedur (policy making) dan
mendorong efektivitas implementasinya melalui perangkat hukum, peraturan dan media lain
(recommendations) untuk memberantas kejahatan pencucian uang, pendanaan terorisme, dan
pendanaan proliferasi senjata pemusnah massal yang akan mengancam integritas sistem
keuangan. Dalam operasionalisasinya, FATF melakukan monitoring implementasi rekomendasi-
rekomendasi yang dikeluarkan kepada anggotanya, melakukan review teknik dan media
pemberantasannya serta mendorong implementasi rekomendasinya secara global.
 
Keuntungan menjadi Anggota Penuh FATF
 
Percepatan untuk menjadi negara yang diakui memiliki integritas sistem keuangan yang tinggi
dengan menerapkan standar-standar internasional untuk mencegah kejahatan dalam sektor
keuangan.
Menjadi pijakan kuat ke depan bagi perkembangan ekonomi Indonesia di dunia, dimana hal ini
dapat meningkatkan peringkat Indonesia di berbagai aspek, termasuk investasi.
Sarana untuk menunjukkan leadership Indonesia sebagai negara besar khususnya di Asia dan
emerging market yang tentunya dapat berdampak positif bagi perkembangan ekonomi domestik.
Dapat berperan aktif dan terdepan dalam penetapan standar internasional APU dan PPT yang
bermanfaat bagi pengembangan kerangka APU dan PPT domestik dan penyusunan policy
response ke depan untuk emerging market.
Efektivitas perumusan stance Indonesia dan Bank Indonesia khususnya dalam pembahasan di
fora internasional.
 
 
Roadmap Indonesia untuk menjadi Anggota Penuh FATF
Strategi BI dalam mendukung Indonesia menjadi Anggota Penuh FATF

Bank Indonesia mendukung upaya Pemerintah untuk menjadi Anggota Penuh (Full Membership)
FATF. Untuk itu, Bank Indonesia menyiapkan 3 strategi, yaitu:

1. Pemenuhan seluruh Rekomendasi FATF terhadap sektor sistem pembayaran dan


kegiatan usaha penukaran valuta asing dalam mencegah dan memberantas
pencucian uang, pendanaan terorisme, serta pendanaan proliferasi senjata
pemusnah massal. Penerapan prinsip APU PPT yang efektif diyakini dapat mendukung
integritas sistem keuangan di Indonesia, meningkatkan kredibilitas dan reputasi
Indonesia, serta memenuhi kepatuhan terhadap standar international APU PPT yang
berlaku. Dalam konteks pengaturan prinsip APU PPT, BI telah menerbitkan ketentuan
dan pedoman mengenai penerapan program APU PPT bagi Penyelenggara Jasa Sistem
Pembayaran (PJSP) Selain Bank dan Penyelenggara Kegiatan Usaha Pedagang Valuta
Asing Bukan Bank (KUPVA BB) dan ketentuan Teknologi Finansial. Dalam konteks
asesmen risiko, Bank Indonesia juga menyusun Sectoral Risk Assessment (SRA) dan
Pedoman Risk Based Approach (RBA) bagi PJSP SB & KUPVA BB serta berkontribusi
dalam penyusunan National Risk Assessment (NRA), Regional Risk Assessment (RRA)
Korupsi dan SRA Virtual Asset bersama K/L terkait yang dikoordinasi oleh
PPATK. Dalam konteks pengawasan sistem pembayaran, pendekatan berbasis risiko
diterapkan baik oleh penyelenggara maupun oleh BI sendiri. Hal ini dituangkan juga
dalam PBI APU PPT yang baru yang mewajibkan Penyelenggara untuk menerapkan
pendekatan berbasis risiko (risk-based approach - RBA) dalam implementasi APU PPT.
2. Peningkatan awareness masyarakat dan kerja sama kelembagaan dalam mencegah
dan memberantas pencucian uang, pendanaan terorisme, serta pendanaan
proliferasi senjata pemusnah massal.Dalam hal peningkatan awareness
masyarakat, Bank Indonesia melakukan edukasi kepada masyarakat untuk
menggunakan PJSP dan KUPVA BB berizin. Dalam konteks kerja sama
kelembagaan, Bank Indonesia bekerjasama dengan kementerian dan lembaga di
Indonesia, antara lain dengan pihak kepolisian untuk menertibkan (KUPVA BB) tidak
berizin dan Penyelenggara Transfer Dana Bukan Bank (PTD BB) ilegal di wilayah
Indonesia. Penertiban terhadap penyelenggara tidak berizin dan penerapan Quick
Response (QR) Code pada logo KUPVA BB dan PTD BB merupakan salah satu bentuk
perlindungan kepada masyarakat dari kegiatan pencucian uang dan pendanaan
terorisme.Dalam rangka meningkatkan implementasi program APU dan PPT, Bank
Indonesia juga memperkuat kerjasama dan koordinasi secara intensif dengan otoritas
terkait seperti PPATK, BNN, dan KPK guna memastikan efektivitas penerapannya.
Dalam konteks kerja sama Internasional, Bank Indonesia secara aktif menjalin kerja sama
dengan Bank Negara Malaysia, Bangko Sentral ng Pilipinas, Bank of Thailand, serta
lembaga internasional lainnya.
3. Peningkatan koordinasi dengan Kementerian dan Lembaga dalam Komite TPPU
dalam untuk persiapan teknis mutual evaluation FATF terhadap Indonesia,
terutama dari sektor yang menjadi kewenangan Bank Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai