Anda di halaman 1dari 1

Penerapan program APU PPT merupakan kewajiban bagi semua pihak, terutama lembaga jasa

keuangan, termasuk Bank Indonesia. Mengingat semakin maraknya praktek pencucian uang termasuk
penyelewengan penggunaan rekening untuk menampung pendanaan terorisme, maka diperlukan komitmen
dari seluruh pihak dalam mendukung penerapan program APU PPT. Pencucian
uang tidak hanya mengancamstabilitas perekonomian dan integritas sistem keuangan, tetapi juga dapat
membahayakan sendi sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara berdasarkan Pancasila dan
UUD 1945. Salah satu elemen pada sistem keuangan yang rentan menjadi sarana pencucian uang ialah
penyelenggara jasa sistem pembayaran (PJSP).
PJSP dapat terekspos oleh isu APU-PPT karena berpotensi dimanfaatkan sebagai sarana untuk
melakukan tindakan pencucian uang atau pendanaan terorisme. Maka dari itu, PJSP harus tunduk pada
undang-undang dan peraturan terkait dengan APU/PPT. Ketidakmampuan PJSP dalam menerapkan aspek
APU/PPT akan berdampak pada risiko kepatuhan karena PJSP tidak mengikuti ketentuan yang berlaku.
Dalam melakukan pemeriksaan terkait APU/PPT, pengawas dapat menganalisis kebijakan dan
prosedur penerbit yang menggambarkan kontrol internal, kebijakan manajemen risiko, tanggung jawab staf,
dan sistem TI yang terkait dengan APU/PPT. Kebijakan dan prosedur harus diselaraskan dengan peraturan
yang berlaku. Pemeriksaan dapat fokus pada kesesuaian kebijakan dan prosedur, efektivitas komunikasi di
seluruh organisasi mengenai kewajiban dan kendali APU/PPT dan perubahannya, prosedur pendeteksian,
konfirmasi, dan pelaporan transaksi mencurigakan dilakukan, dan cara penerbit menindaklanjuti (Dias &
Staschen, 2018).
Proses pengawasan APU/PPT di Bank Indonesia sendiri mengacu pada PBI No. 19/10/PBI/2017
tentang Penerapan Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme bagi Penyelenggara Jasa
Sistem Pembayaran Selain Bank dan Penyelenggara Kegiatan Usaha Penukaran Valuta Asing Bukan Bank.
Dalam peraturan tersebut dijelaskan mengenai kewajiban penyelenggara berupa (1) Tugas dan tanggung
jawab direksi dan pengawasan aktif dewan komisaris. Direksi bertugas menetapkan dan mengkinikan
kebijakan dan prosedur APU/PPT berdasarkan persetujuan dewan komisaris, memastikan penyampaian
laporan kepada PPATK, memastikan pengetahuan pegawai terhadap APU/PPT, dan mengkinikan profil
nasabah. Sedangkan dewan komisaris bertugas untuk memberikan persetujuan dan pengawasan terhadap
kebijakan dan prosedur terhadap penerapan APU/PPT. (2) Kebijakan dan prosedur tertulis. penyelenggara
wajib memiliki, menerapkan, dan mengembangkan prosedur tertulis untuk mengelola risiko APU/PPT yang
paling sedikit memuat mengenai customer due diligence (CCD), pengelolaan data, dan penyampaian laporan.
(3) Proses manajemen risiko. Penyelenggara harus melakukan identifikasi, penilaian, pengendalian, dan
mitigasi risiko. Penyelenggara wajib mempertimbangkan hasil identifikasi dan dokumen serta informasi
lainnya, seperti hasil National Risk Assesment (NRA) dan Sectoral Risk Assesment (SRA). Dalam melakukan
penilaian risiko, penyelenggara harus memperhatikan risiko penguna jasa, risiko wilayah geografis, risiko
produk atau jasa, dan risiko jalur atau jaringan transaksi. (4) Manajemen Sumber Daya Manusia (SDM).
Penyaringan penerimaan pegawai, pemantauan profil pegawai, dan peningkatan pemahaman terhadap
APU/PPT. (5) Sistem pengendalian internal. Antara lain berupa pemisahan wewenang dan tanggung jawab
antara pihak yang melaksanakan fungsi audit dengan unit bisnis penyelenggara.
Pengawas melakukan penilaian terhadap cakupan kewajiban PJSP dan menuangkannya dalam resume
profil risiko individual PJSP, laporan penerapan kepatuhan terhadap ketentuan Anti Pencucian Uang dan
Pencegahan Pendanaan Terorisme (APU/PPT), dan menjadi bagian dari Know Your PJSP. Saat ini BI secara
terus-menerus melakukan kerja sama dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK)
terkait program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme (APU/PPT). (Toronto Centre

Anda mungkin juga menyukai