Anda di halaman 1dari 13

KEADAAN EKONOMI INDONESIA PADA

MASA DEMOKRASI LIBERAL


Disusun untuk memenuhi tugas mata pelajaran Sejarah Indonesia yang dibimbing
oleh Bapak Andy Candra Purwonegoro S. Pd.

Kelas 2020 MIPA 5


Nama Kelompok:
1. Fika Haliza I. Z (13)
2. Himawan P. S (15)
3. Marco Trisna O (18)
4. Prita Anisa Q. T (28)
5. Raghel Prayudan D (33)
6. Rara Majidah P (32)

SMA NEGERI 1 KEDUNGWARU


Jl. Dr. Wahidin Sudiro Husodo 12 Kabupaten Tulungagung Telp. (0355)321381

Tahun Pelajaran 2022/2023


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pemikiran ekonomi pada 1950-an merupakan upaya mengembangkan struktur
perekonomian kolonial menjadi perekonomian nasional. Hambatan yang di hadapi
adalah sudah berakarnya sistem perekonomian kolonial yang cukup lama. Upaya
membangkitkan perekonomian sudah dimulai sejak kabinet pertama di era demokrasi
parlementer, dalam Kabinet Natsir.
Perhatian terhadap perkembangan dan pembangunan ekonomi dicurahkan oleh
Soemitro Djojohadikusumo yang berpendapat bahwa pembangunan ekonomi Indonesia
pada hakekatnya adalah pembangunan ekonomi baru. Oleh karena itu, bangsa Indonesia
harus sesegera mungkin menumbuhkan kelas pengusaha pribumi, serta pemerintah
hendaknya membantu dan membimbing para pengusaha tersebut dengan bimbingan
konkret dan bantuan pemberian kredit.
Gagasan Soemitro dituangkan dalam program Kabinet Natsir dalam wujud
pencananaan Rencana Urgensi Perekonomian (RUP) yang disebut juga Plan Soemitro.
Program ini mencanangkan impor barang-barang tertentu bagi kelompok bisnis pribumi,
serta membuka kesempatan bagi para pedagang pribumi membangun bisnis modal di
bawah perlindungan pemerintah. Sayangnya, terjadi penyelewengan lain dalam
pelaksanaan Politik Benteng yaitu mendaftarkan perusahaan milik keturunan Cina
dengan menggunakan nama orang asli pribumi. Perusahaan dari kerjasama ini bernama
“Ali-Baba”, Ali mewakili pribumi dan Baba mewakili Cina.
Usaha lain untuk meningkatkan pengusaha pribumi dilakukan melalui “Gerakan
Asaat” yaitu, memberikan perlindungan khusus bagi warga negara Indonesia asli dan
warga keturunan Cina pada khususnya. Pernyataan pemerintah pada Oktober 1956
bahwa pemerintah akan memberikan lisensi khusus pada pengusaha pribumi. Pada
tanggal 20 Maret 1950, menteri keuangan, Syafrudin Prawiranegara, mengambil
kebijakan memotong uang dengan memberlakukan nilai setengahnya untuk mata uang
yang mempunyai nominal Rp.2,50 ke atas. Kebijakan ini dikenal dengan istilah Gunting
Syafrudin.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana Keadaan Ekonomi Indonesia pada Masa Demokrasi Liberal?
2. Bagaimana Kebijakan Pemerintah dalam Mengatasi Keadaan Ekonomi Indonesia
pada Masa Demokrasi Liberal?
1.3 Tujuan
1.3.1. Mengetahui Keadaan Ekonomi pada Masa Demokrasi Liberal.
1.3.2. Mengetahui Kebijakan Pemerintah dalam Mengatasi Keadaan Ekonomi
Indonesia pada Masa Demokrasi Liberal
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. KEADAAN EKONOMI INDONESIA PADA MASA DEMOKRASI LIBERAL


Meskipun Indonesia telah merdeka tetapi kondisi ekonomi Indonesia masih sangat
buruk. Perkembangan ekonomi pada masa ini tidak menunjukkan arah yang stabil.
Upaya untuk mengubah struktur ekonomi kolonial ke ekonomi nasional berjalan
tersendat-sendat.

Beberapa faktor yang menyebabkan keadaan ekonomi tersendat adalah sebagai berikut:

1. Setelah pengakuan kedaulatan dari Belanda pada tanggal 27 Desember 1949,


bangsa Indonesia menanggung beban ekonomi dan keuangan seperti yang telah
ditetapkan dalam KMB. Beban tersebut berupa hutang luar negeri sebesar 1,5
Triliun rupiah dan utang dalam negeri sejumlah 2,8 Triliun rupiah. Defisit yang
harus ditanggung oleh Pemerintah pada waktu itu sebesar 5,1 miliar rupiah.
2. Indonesia hanya mengandalkan satu jenis ekspor terutama hasil bumi yaitu
pertanian dan perkebunan, sehingga apabila permintaan ekspor dari sektor itu
berkurang maka memukul perekonomian Indonesia akan terganggu.
3. Politik keuangan Pemerintah Indonesia tidak dibuat di Indonesia melainkan
dirancang oleh Belanda.
4. Indonesia belum memiliki pengalaman untuk menata ekonomi secara baik, belum
memiliki tenaga ahli dan dana yang diperlukan secara memadai.
5. Keamanan dalam negeri tidak menguntungkan berhubung banyaknya
pemberontakan dan gerakan sparatisisme di berbagai daerah.
6. Tidak stabilnya situasi politik dalam negeri mengakibatkan pengeluaran
pemerintah untuk operasi-operasi keamanan semakin meningkat.
7. Kabinet terlalu sering berganti menyebabkan program-program kabinet yang
telah direncanakan tidak dapat dilaksanakan, sementara program baru mulai
dirancang.
8. Angka pertumbuhan jumlah penduduk yang besar.

Masalah jangka pendek yang harus dihadapi pemerintah pada masa itu adalah
mengurangi jumlah uang yang beredar dan mengatasi kenaikan biaya hidup. Sementara
masalah jangka panjang yang harus dihadapi adalah pertambahan penduduk dan tingkat
kesejahteraan penduduk yang rendah.

2.2. KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM MENGATASI KEADAAN EKONOMI


INDONESIA PADA MASA DEMOKRASI LIBERAL
Kehidupan ekonomi Indonesia pada masa demokrasi liberal belum berjalan dengan baik
dan tantangan yang menghadangnya cukup berat. Masalah perekonomian yang muncul
menimbulkan berbagai upaya pemerintah untuk mengatasinya.

Upaya yang dimaksud untuk mengatasi masalah tersebut adalah sebagai berikut :

2.2.1. Gunting Syafruddin


Maksud Gunting Syafruddin
itu adalah kebijakan moneter
yang ditetapkan oleh
Syafruddin Prawiranegara,
saat menjabat sebagai
Menteri Keuangan pada
masa Kabinet Hatta II.

Kebijakan Gunting Syafruddin merupakan salah satu usaha untuk


memperbaiki perekonomian Indonesia sekitar tahun 1950 akibat agresi militer
pada 1947 dan 1949, yang mengakibatkan laju pertumbuhan ekonomi
Indonesia menjadi berat. Untuk menanggulangi defisit anggaran sebesar 5,1
miliar rupiah, Menteri Keuangan saat itu Syafruddin Prawiranegara,
berdasarkan Surat Keputusan Menteri Keuangan RIS Nomor PU I, melakukan
tindakan pemotongan uang. Kebijakan ini merupakan kebijakan mata uang
pertama kali di Indonesia, sekaligus kebijakan yang membuat banyak pihak
terkejut kala itu. Kebijakan gunting Syafruddin ini berlaku sejak pukul 20.00
WIB tanggal 20 Maret 1950.

Kebijakan ekonomi Gunting Syafruddin tidak hanya memangkas setengah


dari nilai mata uangnya, tetapi juga dengan cara memotong fisik uang kertas
tersebut menjadi dua bagian. Gunting Syafruddin diterapkan untuk
menggunting mata uang NICA dan mata uang de Javasche Bank pecahan 5
gulden ke atas. untuk guntingan yang sebelah kiri, masih berlaku sebagai alat
pembayaran yang sah. Sedangkan yang sebelah kanan, ditukar dengan
obligasi negara sebesar setengah dari nilai semula.
Setelah itu, nantinya akan dibayar tiga puluh tahun kemudian oleh negara,
dengan bunga tiga persen setahun.
Kemudian pada 22 Maret 1950 sampai 16 April 1950, bagian sebelah kiri
sudah harus ditukarkan dengan uang kertas yang baru di bank dan tempat-
tempat yang telah ditentukan. Di samping itu, kebijakan ini tidak merugikan
rakyat kecil karena yang memiliki uang 5 gulden ke atas, hanya orang kelas
menengah atas waktu itu.
Kebijakan Gunting Syafruddin ini bertujuan untuk menyeimbangkan antara
jumlah uang dan barang yang beredar, sehingga tidak akan terjadi inflasi
nantinya. Selain itu, menurut Ki Agus Ahmad Badaruddin, seorang mantan
Inspektur Jenderal Kementerian Keuangan melihat jika arah kebijakan ini
menyasar pada penggantian mata uang baru.
2.2.2. Gerakan Benteng
Gerakan Benteng adalah program perekonomian yang berlaku pada masa
Kabinet Natsir dari September 1950 hingga April 1951. Kebijakan ini
dicetuskan oleh Soemitro Djojohadikusumo, Menteri Perdagangan era
Kabinet Natsir.
Gerakan Benteng berlangsung
selama tiga tahun (1950-1953) dan
berakhir setelah Kabinet Natsir tak
lagi berkuasa.
Program Gerakan Benteng yang
bertujuan melindungi pengusaha
pribumi ini akhirnya dihentikan
karena dianggap gagal.
Di awal kemerdekaan, perekonomian Indonesia masih carut marut akibat
penjajahan. Indonesia juga masih menanggung utang kepada Belanda hasil
dari Konferesi Meja Bundar. Belum lagi revolusi dan perang yang terjadi
setelah itu. Kolonial mewarisi perekonomian yang timpang di mana yang
berkuasa yang menguasai sumber daya. Akibatnya, rakyat pribumi biasa sulit
mencapai kesejahteraan.
Di masa Kabinet Natsir (September 1950-Maret 1951), Menteri Perdagangan
Sumitro Djojohadikusumo pun mencanangkan Gerakan Benteng yang
dimulai sejak April 1950. Gerakan Benteng terdiri dari dua kebijakan, yaitu :
 Pertama, Gerakan Benteng mengistimewakan importir pribumi.
Importir pribumi diberi kewenangan impor khusus dan mereka juga
menerima jatah devisa dengan kurs murah.
 Kedua, kebijakan ekonomi dilakukan dengan pemberian kredit modal
pada pengusaha yang selama ini sulit memperoleh pinjaman dari
lembaga pendanaan seperti bank.
Lewat Gerakan Benteng, pemerintah memilih pengusaha-pengusaha pribumi
yang akan menerima bantuan.

2.2.3. Nasionalisasi De Javasche Bank


(DJB) merupakan bank swasta milik Belanda yang didirikan oleh Komisaris
Jenderal Du Bus de Gisingnies pada 24 Januari 1828.
Tujuan Belanda mendirikan DJB adalah untuk mengatasi masalah
perekonomian yang menimpa Koloni Hindia Belanda setelah VOC bangkrut.
Setelah DJB dibentuk, bank ini berhasil menyelesaikan permasalahan
moneter, khususnya mengenai munculnya mata uang specia atau uang
tembaga.
Tahun 1946, didirikan sebuah bank sentral bernama Bank Negara Indonesia
(BNI).
Selanjutnya, berdasarkan
hasil dari Konferensi Meja
Bundar, BNI ditunjuk
menjadi bank pembangunan
dan DJB menjadi bank
sentral.
Ditunjuknya DJB sebagai bank sentral merupakan salah satu upaya Belanda
untuk campur tangan urusan keuangan Indonesia.
Selain itu, Indonesia juga masih memiliki utang dengan Belanda. Untuk
menjamin utang tersebut dibayar, maka Belanda ingin tetap ikut campur
tangan perihal keuangan pemerintah Indonesia melalui DJB. Pada awalnya
proses nasionalisasi DJB dilakukan dengan membeli saham saham DJB
namun setelah adanya UU nomor 11 tahun 1953 tentang bank indonesia maka
secara resmi bank indonesia ditetapkan bukan saja sebagai bank sirkulasi
tetapi juga bank sentral RI.
Proses nasionalisasi DJB melalui perjalanan yang panjang, yakni antara 1951-
1953. Panitia panitia DJB diketuai oleh Mohamad Sediono, yang dibantu oleh
empat orang anggota, yaitu Mr. Soetikno Slamet (kelak menjadi salah satu
gubernur BI), Dr. R.M. Soemitro Djojohadikoesoemo, T.R.B Sabarudin, dan
Drs. Khouw Bian Tie.

2.2.4. Sistem Ekonomi Ali-Baba


Sistem ekonomi Ali Baba adalah sistem ekonomi yang pernah diterapkan
pada masa Demokrasi Liberal.
Lewat sistem ekonomi ini, pengusaha non-pribumi diharuskan membantu
orang pribumi dalam menjalankan usahanya, dengan cara memberi pelatihan
dan memberi kredit kepada mereka.
Istilah Ali Baba sendiri berasal dari kata Ali
(untuk pengusaha pribumi) dan Baba
(pengusaha non-pribumi). Sistem Ekonomi
Ali Baba dicetuskan oleh Mr. Iskaq
Cokrohadisuryo saat menjabat sebagai
Menteri Perekonomian masa pemerintahan
Kabinet Ali Sostroamidjojo I pada 31 Juli
1953 - 12 Agustus 1955.
Kebijakan ini diberlakukan dalam rangka untuk memperbaiki kondisi
perekonomian Indonesia yang carut-marut pasca-kemerdekaan.
Kondisi ekonomi di Indonesia pada masa itu menunjukkan arah yang tidak
stabil, di mana pemerintah mengalami defisit.
Defisit yang harus ditanggung oleh pemerintah saat itu sejumlah Rp 5,1
miliar. Selain itu, Indonesia memiliki utang luar negeri sebesar Rp 1,5 triliun
dan Rp 2,8 triliun utang dalam negeri. Situasi diperparah dengan kondisi para
pengusaha pribumi saat itu juga sudah sangat tertinggal dibanding kaum non-
pribumi, seperti pengusaha Eropa, Arab, dan China.
Untuk menanggulangi hal tersebut, maka Menteri Perekonomian Iskaq
Cokrohadisuryo mencetuskan Sistem Ekonomi Ali Baba.
Tujuan utama diberlakukannya Sistem Ekonomi Ali Baba adalah untuk
memajukan pengusaha pribumi supaya dapat bersaing dengan pengusaha
asing, seperti pengusaha China.

2.2.5. Persaingan Finansial Ekonomi (Finek)

Pada masa pemerintahan Kabinet


Burhanudin Harahap dikirim
seorang delegasi ke Jenewa, Swiss
untuk merundingkan masalah
finansial-ekonomi antara pihak
Indonesia dengan Belanda.

Misi ini dipimpin oleh Anak Agung Gde Agung tanggal 7 Januari 1956,
adapun kesepakatan yang pada Finek adalah:

 Hasil KMB dibubarkan.


 Hubungan Finek Indonesia-Belanda didasarkan atas hubungan
bilateral
 Hubungan Finek didasarkan pada Undang-undang Nasional
Hasilnya pemerintah Belanda tidak mau menandatangani sehingga Indonesia
mengambil langkah secara sepihak. Pada tanggal 13 Februari 1956, Kabinet
Burhanudin Harahap melakukan pembubaran Uni-Indonesia dan akhirnya
tanggal 3 Mei 1956 Presiden Soekarno menandatangani pembatalan KMB.

2.2.6. Rencana Pembangunan Lima Tahun (RPLT)


Rencana Pembangunan Lima Tahun atau Repelita adalah program
pembangunan yang dibuat oleh Soeharto selama menjabat sebagai Presiden
Indonesia.

Repelita terdapat enam periode,


sebagai berikut:
Repelita I (1969-1974)
Repelita II (1969-1979)
Repelita III (1979-1984)
Repelita IV (1984-1989)
Repelita V (1989-1994)
Repelita VI (1994-tidak selesai)
Masing-masing Repelita memiliki tujuannya masing-masing. Akan tetapi,
pada dasarnya tujuan Repelita yaitu untuk membangun infrastruktur
Indonesia.
Oleh sebab itu, program ini membuat Soeharto disebut sebagai Bapak
Pembangunan Indonesia.
 Repelita I (1969-1974)
Semasa Soeharto memimpin sebagai Presiden Indonesia, ia
membentuk Kabinet Pembangunan, setelah Kabinet Ampera berakhir.
Kabinet Ampera sendiri adalah kabinet yang dibentuk oleh Presiden
Soekarno namun dijalankan oleh Soeharto.
Program kerja yang dicanangkan Kabinet Ampera disebut Caturkarya
Kabinet Ampera. Program ini bertujuan untuk memperbaiki
kehidupan rakyat terutama di bidang sandang dan pangan.
 Repelita II
Repelita II dimulai tanggal 1 April 1974.
Target utama yang ingin dicapai dalam Repelita II adalah:
a. Tersedianya pangan dan sandang yang serba cukup dengan
mutu yang bertambah baik dan terbeli oleh masyarakat umum
b. Tersedianya bahan-bahan perumahan dan fasilitas-fasilitas lain
yang diperlukan, terutama untuk kepentingan rakyat banyak
c. Keadaan prasarana yang makin meluas dan sempurna
d. Keadaan kesejahteraan rakyat yang lebih baik dan lebih merata
e. Meluasnya kesempatan kerja
Guna mencapai sasaran-sasaran tersebut, produksi sektor pertanian
harus meningkat sekitar 4,6 persen setahun.
Kemudian, sektor industri sekitar 13 persen, pertambangan 10,1
persen, perhubungan 10 persen, bangunan sekitar 9,2 persen, dan
sektor-sektor lain sekitar 7,7 persen.

 Repelita III
Repelita III dimulai tanggal 1 April 1979.
Masih sama seperti Repelita I dan II, dalam Repelita III pembangunan
yang dilakukan berlandaskan pada Trilogi Pembangunan dengan
tekanan pada segi pemerataan.
Asas pemerataan ini dituangkan dalam 8 jalur pemerataan, yaitu:
1. Pemerataan pemenuhan kebutuhan pokok rakyat banyak,
khususnya pangan, sandang, dan perumahan
2. Pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan dan
pelayanan Kesehatan
3. Pemerataan pembagian pendapatan
4. Pemerataan kesempatan kerja
5. Pemerataan kesempatan berusaha
6. Pemerataan kesempatan berpartisipasi dalam pembangunan
khususnya bagi generasi muda dan kaum perempuan
7. Pemerataan penyebaran pembangunan di seluruh wilayah
8. Pemerataan memperoleh keadilan
Selama program berjalan sampai 31 Maret 1984, Repelita III secara
keseluruhan berhasil mencapai tujuannya. Pemasaran komoditas
perdagangan yang semula ke Eropa dan Amerika Serikat dapat
diperluas hingga ke kawasan Asia dan Asia Pasifik.
 Repelita IV
Pada Repelita IV, Presiden Soeharto berfokus pada sektor pertanian
untuk menetapkan swasembada pangan dengan meningkatkan industri
yang dapat menghasilkan mesin sendiri.
Guna menunjang pembangunan inudstri, disusunlah Standar Industri
Indonesia (SII), sebagai sarana perlindungan konsumen serta
peningkatan efisiensi industri.
Selama Repelita IV, industri logam dasar dan mesin yang merupakan
industri berskala besar dikembangkan untuk menyiapkan
pembangunan sektor industri.
 Repelita V
Pada Repelita V, Presiden Soeharto masih berfokus pada usaha sektor
pertanian, seperti:
1. Memantapkan swasembada pangan
2. Meningkatkan produksi pertanian
3. Menyerap tenaga kerja yang ada
4. Mampu menghasilkan mesin-mesin sendiri
Dalam Repelita V, kondisi ekonomi di Indonesia sudah sangat
membaik, di mana pertumbuhan ekonomi mencapai 6,8 persen
 Repelita VI
Dimulai tanggal 1 April 1994, Repelita VI berfokus pada sektor
ekonomi yang berkaitan dengan industri dan pertanian.
Selain itu, Presiden Soeharto juga meningkatkan kualitas sumber daya
manusia sebagai pendukungnya.
Sayangnya, pada Repelita VI, terjadi krisis moneter, tahun 1998,
sehingga mengganggu perekonomian Indonesia.

2.2.7. Musyawarah Nasional Pembangunan (Munap)


Di masa Kabinet Juanda,
terjadi kesenjangan antara
pemerintah pusat dengan
pemerintah daerah. Masalah
ini diatasi dengan
diadakannya Musyawarah
Nasional Pembangunan
(Munap).
Munap mengubah rencana pembangunan yang sudah ditetapkan agar lebih sesuai
dengan kebutuhan.
Kendati demikian, tetap saja Munap tak mampu menyelesaikan masalah.
Ini karena pemberontakan politik PRRI/Permesta. Kemudian kesulitan
pemerintah dalam menentukan skala prioritas.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Kebijakan ekonomi yang dikeluarkan oleh Menteri perdagangan dan Menteri keuangan
untuk mengatasi keadaan ekonomi pada masa itu banyak yang mengalami kegagalan,
dikarenakan pengusaha pribuminya yang lamban dalam usahanya ataupun karena ada sebagian
pengusaha pribumi yang menyalah gunakan kebijakan tersebut.

Kehidupan politik pada masa itu mengalami silih bergilir kabinet, hingga ada sekitar
tujuh kabinet yang pernah memerintah negara republik Indonesia. Hal tersebut dikarenakan
sesuai dengan konstitusi, parlemen dapat menjatuhkan kabinet jika oposisi di parlemen kuat dan
partai politik yang memerintah kehilangan dukungan.

3.2 Saran

Semoga makalah ini bisa menjadi sumber ilmu baru bagi pembaca dan penulis dalam
memahami materi Keadaan Ekonomi Indonesia pada Masa Demokrasi Liberal.
DAFTAR PUSTAKA

https://www.ruangguru.com/blog/sejarah-kebijakan-gunting-syafruddin

https://amp.kompas.com/stori/read/2021/04/02/144900579/gerakan-benteng-latar-
belakang-pelaksanaan-dan-kegagalan

https://www.kompas.com/stori/read/2021/12/17/110000079/nasionalisasi-de-javasche-
bank?page=all#page2

https://amp.kompas.com/stori/read/2021/12/20/080000079/sistem-ekonomi-ali-baba--
pencetus-tujuan-kegagalan-dan-dampak

https://www.ruangguru.com/blog/kehidupan-ekonomi-bangsa-indonesia-di-masa-
demokrasi-liberal

https://www.kompas.com/stori/read/2021/09/29/090000479/rencana-pembangunan-lima-
tahun-repelita

https://www.kompas.com/skola/read/2020/03/10/160000369/kebijakan-ekonomi-pada-
masa-demokrasi-liberal?page=all#page2

Anda mungkin juga menyukai