(c)omnivoyage
CETAK ARTIKEL INI
KIRIM KE TEMAN
Namun seperti apakah yang dinamakan bahasa Indonesia itu? Orang mengenalnya sebagai
bahasa Melayu yang dimodifikasi, lalu dicampur dengan bahasa-bahasa serapan dari berbagai
daerah dan dari bahasa asing, kemudian dibakukan.
Dari manakah asal-usul bahasa Melayu itu? Apakah bahasa itu hanya dituturkan oleh etnis
Melayu sejak berabad-abad lalu? Padahal etnis Melayu sendiri hanya sebagian kecil saja dari
ratusan etnis di nusantara?
Arkeolog Harry Truman Simanjuntak mengatakan, bahasa Melayu dan ratusan bahasa daerah
lainnya di nusantara sebenarnya berakar dari bahasa Austronesia yang mulai muncul sekitar
6.000-10.000 tahun lalu.
Penyebaran penutur bahasa Austronesia, ujar Ketua Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI) itu,
merupakan fenomena besar dalam sejarah umat manusia karena sebagai suatu rumpun bahasa,
Austronesia merupakan yang terbesar di dunia, meliputi 1.200 bahasa dan dituturkan oleh hampir
300 juta populasi.
Masyarakat penuturnya tersebar luas di wilayah sepanjang 15 ribu km meliputi lebih dari separuh
bola bumi, yaitu dari Madagaskar di barat hingga Pulau Paskah di ujung timur, dari Taiwan-
Mikronesia di utara hingga Selandia Baru di selatan.
Out of Taiwan
Mengenai asal-usul penutur Austronesia, Harry mengatakan, ada beberapa hipotesa. Yang
paling umum adalah hipotesa bahwa asal leluhur penutur Austronesia adalah Formosa (Taiwan)
atau model Out of Taiwan.
Arkeolog lainnya Daud A Tanudirjo menyebutkan, Robert Blust adalah pakar linguistik yang
paling lantang menyuarakan pendapat bahwa asal-usul penutur Austronesia adalah Taiwan.
Sejak 1970-an Blust telah mencoba merekonstruksi silsilah dan pengelompokan bahasa-bahasa
dari rumpun Austronesia misalnya kosakata protobahasa Austronesia yang berkaitan dengan
flora dan fauna serta gejala alam lain, kata Daud.
"Ia juga menawarkan rekonstruksi pohon kekerabatan rumpun bahasa Austronesia dan perkiraan
waktu pencabangannya mulai dari Proto-Austronesia hingga Proto-Oseania," katanya.
Para leluhur ini, diungkapkan Daud, awalnya berasal dari China Selatan yang bermigrasi ke
Taiwan pada 5.000-4.000 SM, namun akar bahasa Austronesia baru muncul beberapa abad
kemudian di Taiwan.
Kosakata yang dapat direkonstruksi dari bahasa awal Austronesia yang dapat dilacak antara
lain : rumah tinggal, busur, memanah, tali, jarum, tenun, mabuk, berburu, kano, babi, anjing,
beras, batu giling, kebun, tebu, gabah, nasi, menampi, jerami, hingga mengasap.
Para petani purba di Taiwan ini berkembang cepat dan lalu terpecah-pecah menjadi kelompok-
kelompok yang hidup terpisah dan bahasanya menjadi berbeda-beda dengan setidaknya kini ada
sembilan bahasa yang teridentifikasi sebagai bahasa formosa.
Bermigrasi
Migrasi leluhur dari Taiwan ke Filipina mulai terjadi pada 4.500-3.000 SM. Leluhur ini adalah
salah satu dari kelompok yang memisahkan diri. Mereka bermigrasi ke selatan menuju
Kepulauan Filipina bagian utara yang kemudian memunculkan cabang bahasa baru yakni Proto-
Malayo-Polinesia (PMP).
Tahap berikutnya, ujar Daud, terjadi pada 3.500-2.000 SM di mana masyarakat penutur bahasa
PMP yang awalnya tinggal di Filipina Utara mulai bermigrasi ke selatan melalui Filipina Selatan
menuju Kalimantan dan Sulawesi serta ke arah tenggara menuju Maluku Utara.
Proses migrasi ini membuat bahasa PMP bercabang menjadi bahasa Proto Malayo Polinesia
Barat (PWMP) di kepulauan Indonesia bagian barat dan Proto Malayo Polinesia Tengah-Timur
(PCEMP) yang berpusat di Maluku Utara.
"Rupanya ketika bermigrasi ke arah tenggara penanaman padi mulai ditinggalkan karena tidak
sesuai dengan lingkungannya. Mereka mulai memanfaatkan tanaman keladi dan umbi-umbian
lain serta buah-buahan," katanya.
Namun pada 3.000-2.000 SM leluhur yang ada di Maluku Utara bermigrasi ke selatan dan timur.
Hanya dalam waktu singkat migrasi dari Maluku Utara mencapai Nusa Tenggara sekitar 2.000
SM yang kemudian memunculkan bahasa Proto Malayo Polinesia Tengah (PCMP).
Demikian pula migrasi ke timur yang mencapai pantai utara Papua Barat dan melahirkan bahasa-
bahasa Proto Malayo-Polinesia Timur (PEMP).
Migrasi dari Papua Utara ke barat terjadi pada 2.500 SM dan ke timur pada 2.000-1.500 SM, di
mana penutur PEMP di wilayah pantai barat Papua Barat melakukan migrasi arus balik menuju
Halmahera Selatan, Kepulauan Raja Ampat, dan pantai barat Papua Barat yang kemudian
muncul bahasa yang dikelompokkan sebagai Halmahera Selatan-Papua Nugini Barat (SHWNG).
Setelah itu kelompok lain dari penutur PEMP bermigrasi ke Oseania dan mencapai kepulauan
Bismarck di Melanesia sekitar 1.500 SM dan memunculkan bahasa Proto Oseania.
"Sedangkan di Kepulauan Indonesia di bagian barat, setelah sempat menghuni Kalimantan dan
Sulawesi, pada 3.000-2.000 SM, para penutur PWMP bergerak ke selatan, bermigrasi ke Jawa
dan Sumatera," katanya.
Penutur PWMP yang asalnya dari Kalimantan dan Sulawesi itu lalu bermigrasi lagi ke utara
antara lain ke Vietnam pada 500 SM dan Semenanjung Malaka, ujarnya.
Menjelang awal tahun Masehi, penutur bahasa WMP juga menyebar lagi ke Kalimantan sampai
ke Madagaskar, tambah Daud.
Bentuk rumpun bahasa Austronesia ini lebih menyerupai garu daripada bentuk pohon. Karena
semua proto-bahasa dalam kelompok ini, dari Proto Malayo Polynesia hingga Proto Oseania
menunjukkan kesamaan kognat yang tinggi, yaitu lebih dari 84% dari 200 pasangan kata,
katanya.
Dengan demikian, kata Harry Truman, hampir seluruh kawasan nusantara bahkan sampai ke
kawasan negeri-negeri tetangga dan masyarakat kepulauan Pasifik dan Madagaskar menuturkan
bahasa yang asal-muasalnya merupakan bahasa Austronesia.
"Kecuali masyarakat yang ada di pedalaman Papua dan pedalaman pulau Timor yang
bahasanya lebih mirip dengan bahasa pedalaman Australia," katanya.
Bahasa Indonesia sekarang ini, kata Harry lagi, sudah sangat kompleks karena penuturnya tidak
hanya hidup dengan sukunya masing-masing dan beradaptasi dengan rumpun bahasa dunia
lainnya seperti dari India, Arab, Portugis, Belanda dan Inggris. (kpl/cax)
http://www.kapanlagi.com/a/asal-usul-bahasa-indonesia.html
http://www.kompas.com/read/xml/2008/10/29/0607030/mengorek.asal-
usul.bahasa.indonesia
PADA zaman purba, kepulauan tanah air kita disebut dengan aneka nama.
Dalam catatan bangsa Tionghoa kawasan kepulauan kita dinamai Nan-hai
(Kepulauan Laut Selatan). Berbagai catatan kuno bangsa India menamai
kepulauan ini Dwipantara (Kepulauan Tanah Seberang), nama yang
diturunkan dari kata Sansekerta dwipa (pulau) dan antara (luar,
seberang). Kisah Ramayana karya pujangga Valmiki yang termasyhur itu
menceritakan pencarian terhadap Sinta, istri Rama yang diculik
Ravana, sampai ke Suwarnadwipa (Pulau Emas, yaitu Sumatra sekarang)
yang terletak di Kepulauan Dwipantara.
Bangsa Arab menyebut tanah air kita Jaza'ir al-Jawi (Kepulauan Jawa).
Nama Latin untuk kemenyan adalah benzoe, berasal dari bahasa Arab
luban jawi (kemenyan Jawa), sebab para pedagang Arab memperoleh
kemenyan dari batang pohon Styrax sumatrana yang dahulu hanya tumbuh
di Sumatra. Sampai hari ini jemaah haji kita masih sering
dipanggil "Jawa" oleh orang Arab. Bahkan orang Indonesia luar Jawa
sekalipun. "Samathrah, Sholibis, Sundah, kulluh Jawi (Sumatra,
Sulawesi, Sunda, semuanya Jawa)" kata seorang pedagang di Pasar Seng,
Mekah.
Lalu tibalah zaman kedatangan orang Eropa ke Asia. Bangsa-bangsa
Eropa yang pertama kali datang itu beranggapan bahwa Asia hanya
terdiri dari Arab, Persia, India, dan Cina. Bagi mereka, daerah yang
terbentang luas antara Persia dan Cina semuanya adalah "Hindia".
Semenanjung Asia Selatan mereka sebut "Hindia Muka" dan daratan Asia
Tenggara dinamai "Hindia Belakang". Sedangkan tanah air kita
memperoleh nama "Kepulauan Hindia" (Indische Archipel, Indian
Archipelago, l'Archipel Indien) atau "Hindia Timur" (Oost Indie, East
Indies, Indes Orientales). Nama lain yang juga dipakai
adalah "Kepulauan Melayu" (Maleische Archipel, Malay Archipelago,
l'Archipel Malais).
Ketika tanah air kita terjajah oleh bangsa Belanda, nama resmi yang
digunakan adalah Nederlandsch-Indie (Hindia Belanda), sedangkan
pemerintah pendudukan Jepang 1942-1945 memakai istilah To-Indo
(Hindia Timur). Eduard Douwes Dekker (1820-1887), yang dikenal dengan
nama samaran Multatuli, pernah mengusulkan nama yang spesifik untuk
menyebutkan kepulauan tanah air kita, yaitu Insulinde, yang artinya
juga "Kepulauan Hindia" (bahasa Latin insula berarti pulau). Tetapi
rupanya nama Insulinde ini ku rang populer. Bagi orang Bandung,
Insulinde mungkin cuma dikenal sebagai nama toko buku yang pernah ada
di Jalan Otista.
Pada tahun 1920-an, Ernest Francois Eugene Douwes Dekker (1879-1950),
yang kita kenal sebagai Dr. Setiabudi (beliau adalah cucu dari adik
Multatuli), memopulerkan suatu nama untuk tanah air kita yang tidak
mengandung unsur kata "India". Nama itu tiada lain adalah Nusantara,
suatu istilah yang telah tenggelam berabad-abad lamanya. Setiabudi
mengambil nama itu dari Pararaton, naskah kuno zaman Majapahit yang
ditemukan di Bali pada akhir abad ke-19 lalu diterjemahkan oleh
J.L.A. Brandes dan diterbitkan oleh Nicholaas Johannes Krom pada
tahun 1920.
Namun perlu dicatat bahwa pengertian Nusantara yang diusulkan
Setiabudi jauh berbeda dengan pengertian, nusantara zaman Majapahit.
Pada masa Majapahit Nusantara digunakan untuk men yebutkan pulau-pulau
di luar Jawa (antara dalam bahasa Sansekerta artinya luar, seberang)
sebagai lawan dari Jawadwipa (Pulau Jawa). Kita tentu pernah
mendengar Sumpah Palapa dari Gajah Mada, "Lamun huwus kalah
nusantara, isun amukti palapa" (Jika telah kalah pulau-pulau
seberang, barulah saya menikmati istirahat). Oleh Dr. Setiabudi kata
nusantara zaman Majapahit yang berkonotasi jahiliyah itu diberi
pengertian yang nasionalistis. Dengan mengambil kata Melayu asli >
antara, maka Nusantara kini memiliki arti yang baru yaitu "nusa di
antara dua benua dan dua samudra", sehingga Jawa pun termasuk dalam
definisi nusantara yang modern. Istilah nusantara dari Setiabudi ini
dengan cepat menjadi populer penggunaannya sebagai alternatif dari
nama Hindia Belanda.
Sampai hari ini istilah nusantara tetap kita pakai untuk menyebutkan
wilayah tanah air kita dari Sabang sampai Merauke. Tetapi nama resmi
bangsa dan negara kita adalah Indonesia. Kini akan kita telusuri dari
mana gerangan nama yang sukar bagi lidah Melayu ini muncul.
Nama Indonesia
Pada tahun 1847 di Singapura terbit sebuah majalah ilmiah tahunan,
Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia (JIAEA), yang
dikelola oleh James Richardson Logan (1819-1869), orang Skotlandia
yang meraih sarjana hukum dari Universitas Edinburgh. Kemudian pada
tahun 1849 seorang ahli etnologi bangsa Inggris, George Samuel
Windsor Earl (1813-1865), menggabungkan diri sebagai redaksi majalah
JIAEA.
Dalam JIAEA Volume IV tahun 1850, halaman 66-74, Earl menulis artikel
On the Leading Characteristics of the Papuan, Australian and Malay-
Polynesian Nations. Dalam artikelnya itu Earl menegaskan bahwa sudah
tiba saatnya bagi penduduk Kepulauan Hindia at au Kepulauan Melayu
untuk memiliki nama khas (a distinctive name), sebab nama Hindia
tidaklah tepat dan sering rancu dengan penyebutan India yang lain.
Earl mengajukan dua pilihan nama: Indunesia atau Malayunesia (nesos
dalam bahasa Yunani berarti pulau). Pada halaman 71 artikelnya itu
tertulis: ... the inhabitants of the Indian Archipelago or Malayan
Archipelago would become respectively Indunesians or Malayunesians.
Earl sendiri menyatakan memilih nama Malayunesia (Kepulauan Melayu)
daripada Indunesia (Kepulauan Hindia), sebab Malayunesia sangat tepat
untuk ras Melayu, sedangkan Indunesia bisa juga digunakan untuk
Ceylon (Srilanka) dan Maldives (Maladewa). Lagi pula, kata Earl,
bukankah bahasa Melayu dipakai di seluruh kepulauan ini? Dalam
tulisannya itu Earl memang menggunakan istilah Malayunesia dan tidak
memakai istilah Indunesia.
Dalam JIAEA Volume IV itu juga, halaman 252-347, James Richardson
Logan menulis artikel The Ethnology of the Indian Archipelago. Pada
awal tulisannya, Logan pun menyatakan perlunya nama khas bagi
kepulauan tanah air kita, sebab istilah "Indian Archipelago" terlalu
panjang dan membingungkan. Logan memungut nama Indunesia yang dibuang
Earl, dan huruf u digantinya dengan huruf o agar ucapannya lebih
baik. Maka lahirlah istilah Indonesia.
Untuk pertama kalinya kata Indonesia muncul di dunia dengan tercetak
pada halaman 254 dalam tulisan Logan: Mr. Earl suggests the
ethnographical term Indunesian, but rejects it in favour of
Malayunesian. I prefer the purely geographical term Indonesia, which
is merely a shorter synonym for the Indian Islands or the Indian
Archipelago. Ketika mengusulkan nama "Indonesia" agaknya Logan tidak
menyadari bahwa di kemudian hari nama i tu akan menjadi nama bangsa
dan negara yang jumlah penduduknya peringkat keempat terbesar di muka
bumi!
Sejak saat itu Logan secara konsisten menggunakan nama "Indonesia"
dalam tulisan-tulisan ilmiahnya, dan lambat laun pemakaian istilah
ini menyebar di kalangan para ilmuwan bidang etnologi dan geografi.
Pada tahun 1884 guru besar etnologi di Universitas Berlin yang
bernama Adolf Bastian (1826-1905) menerbitkan buku Indonesien oder
die Inseln des Malayischen Archipel sebanyak lima volume, yang memuat
hasil penelitiannya ketika mengembara ke tanah air kita tahun 1864
sampai 1880. Buku Bastian inilah yang memopulerkan
istilah "Indonesia" di kalangan sarjana Belanda, sehingga sempat
timbul anggapan bahwa istilah "Indonesia" itu ciptaan Bastian.
Pendapat yang tidak benar itu, antara lain tercantum dalam >
Encyclopedie van Nederlandsch-Indie tahun 1918. Padahal Bastian
mengambil istilah "Indonesia" itu dari tulisan-tulisan Logan.
Putra ibu pertiwi yang mula-mula menggunakan istilah "Indonesia"
adalah Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara). Ketika di buang ke
negeri Belanda tahun 1913 beliau mendirikan sebuah biro pers dengan
nama Indonesische Pers-bureau.
Makna politis
Pada dasawarsa 1920-an, nama "Indonesia" yang merupakan istilah
ilmiah dalam etnologi dan geografi itu diambil alih oleh tokoh-tokoh
pergerakan kemerdekaan tanah air kita, sehingga nama "Indonesia"
akhirnya memiliki makna politis, yaitu identitas suatu bangsa yang
memperjuangkan kemerdekaan! Akibatnya pemerintah Belanda mulai curiga
dan waspada terhadap pemakaian kata ciptaan Logan itu.
Pada tahun 1922 atas inisiatif Mohammad Hatta, seorang mahasiswa
Handels Hoogeschool (Sekolah Tinggi Ekonomi) di Rotterdam, organisasi
pelajar dan mahasiswa Hindia di Negeri Belanda (yang terbentuk tahun
1908 dengan nama Indische Vereeniging) berubah nama menjadi
Indonesische Vereeniging atau Perhimpoenan Indonesia. Majalah mereka,
Hindia Poetra, berganti nama menjadi Indonesia Merdeka.
Bung Hatta menegaskan dalam tulisannya, "Negara Indonesia Merdeka
yang akan datang (de toekomstige vrije Indonesische staat) mustahil
disebut "Hindia Belanda". Juga tidak "Hindia" saja, sebab dapat
menimbulkan kekeliruan dengan India yang asli. Bagi kami nama
Indonesia menyatakan suatu tujuan politik (een politiek doel), karena
melambangkan dan mencita-citakan suatu tanah air di masa depan, dan
untuk mewujudkannya tiap orang Indonesia (Indonesier) akan berusaha
dengan segala tenaga dan kemampuannya."
Sementara itu, di tanah air Dr. Sutomo mendirikan Indonesische Studie
Club pada tahun 1924. Tahun itu juga Perserikatan Komunis Hindia
berganti nama menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI). Lalu pada tahun
1925 Jong Islamieten Bond membentuk kepanduan Nationaal Indonesische
Padvinderij (Natipij). Itulah tiga organisasi di tanah air yang mula-
mula menggunakan nama "Indonesia". Akhirnya nama "Indonesia"
dinobatkan sebagai nama tanah air, bangsa dan bahasa kita pada
Kerapatan Pemoeda-Pemoedi Indonesia tanggal 28 Oktober 1928, yang
kini kita sebut Sumpah Pemuda.
Pada bulan Agustus 1939 tiga orang anggota Volksraad (Dewan Rakyat;
DPR zaman Belanda), Muhammad Husni Thamrin, Wiwoho Purbohadidjojo,
dan Sutardjo Kartohadikusumo, mengajukan mosi kepada Pemerintah
Belanda agar nama "Indonesia" diresmikan sebagai pengganti
nama "Nederlandsch-Indie". Tetapi Belanda keras kepala sehingga mosi
ini ditolak mentah-mentah.
Maka kehendak Allah pun berlaku. Dengan jatuhnya tanah air kita ke
tangan Jepang pada tanggal 8 Maret 1942, lenyaplah nama "Hindia
Belanda" untuk selama-lamanya. Lalu pada tanggal 17 Agustus 1945,
atas berkat rahmat Allah Yang Mahakuasa, lahirlah Republik Indonesia.
Dirgahayu Indonesiaku!
Penulis, Direktur Pendidikan "Ganesha Operation"
Prev: A Tribute to the 19th Century Oil Finders in Indonesia
Next: 17 Agustus dalam Versi Berbeda
http://indonesiancommunity.multiply.com/journal/item/24
Berhubung menunggu berita update dari kegiatan paskibra kita, hehe daripada ga ada update
sama sekali,,ini saya repost artikel aja ya,, siapa tahu bermanfaat,,
douzo,,,
PADA zaman purba, kepulauan tanah air kita disebut dengan aneka nama. Dalam catatan
bangsa Tionghoa kawasan kepulauan kita dinamai *Nan-hai* (Kepulauan Laut Selatan). Berbagai
catatan kuno bangsa India menamai kepulauan ini *Dwipantara* (Kepulauan Tanah Seberang),
nama yang diturunkan dari kata Sansekerta *dwipa* (pulau) dan *antara* (luar, seberang).
Kisah Ramayana karya pujangga Valmiki yang termasyhur itu menceritakan pencarian terhadap
Sinta, istri Rama yang diculik Ravana, sampai ke *Suwarnadwipa* (Pulau Emas, yaitu Sumatra
sekarang) yang terletak di Kepulauan Dwipantara.
Bangsa Arab menyebut tanah air kita *Jaza'ir al-Jawi* (Kepulauan Jawa). Nama Latin untuk
kemenyan adalah *benzoe*, berasal dari bahasa Arab *luban jawi*(kemenyan Jawa), sebab para
pedagang Arab memperoleh kemenyan dari batang pohon *Styrax sumatrana* yang dahulu
hanya tumbuh di Sumatra.
Sampai hari ini jemaah haji kita masih sering dipanggil "Jawa" oleh orang Arab. Bahkan orang
Indonesia luar Jawa sekalipun. "Samathrah, Sholibis, Sundah, kulluh Jawi (Sumatra, Sulawesi,
Sunda, semuanya Jawa)" kata seorang pedagang di Pasar Seng, Mekah.
Lalu tibalah zaman kedatangan orang Eropa ke Asia. Bangsa-bangsa Eropa yang pertama kali
datang itu beranggapan bahwa Asia hanya terdiri dari Arab, Persia, India, dan Cina. Bagi
mereka, daerah yang terbentang luas antara Persia dan Cina semuanya adalah "Hindia".
Semenanjung Asia Selatan mereka
sebut "Hindia Muka" dan daratan Asia Tenggara dinamai "Hindia Belakang". Sedangkan tanah air
kita memperoleh nama "Kepulauan Hindia" (*Indische Archipel, Indian Archipelago, l'Archipel
Indien*) atau "Hindia Timur" *(Oost Indie, East Indies, Indes Orientales)* . Nama lain yang juga
dipakai adalah
"Kepulauan Melayu" (*Maleische Archipel, Malay Archipelago, l'Archipel Malais*).
Ketika tanah air kita terjajah oleh bangsa Belanda, nama resmi yang digunakan adalah
*Nederlandsch- Indie* (Hindia Belanda), sedangkan pemerintah pendudukan Jepang 1942-1945
memakai istilah *To-Indo* (Hindia Timur). Eduard Douwes Dekker (1820-1887), yang dikenal
dengan nama samaran Multatuli,
pernah mengusulkan nama yang spesifik untuk menyebutkan kepulauan tanah air kita, yaitu
*Insulinde*, yang artinya juga "Kepulauan Hindia" (bahasa Latin *insula* berarti pulau). Tetapi
rupanya nama *Insulinde* ini kurang populer. Bagi orang Bandung, *Insulinde* mungkin cuma
dikenal sebagai nama toko buku yang pernah ada di Jalan Otista.
Pada tahun 1920-an, Ernest Francois Eugene Douwes Dekker (1879-1950), yang kita kenal
sebagai Dr. Setiabudi (beliau adalah cucu dari adik Multatuli), memopulerkan suatu nama untuk
tanah air kita yang tidak mengandung unsur kata "India". Nama itu tiada lain adalah Nusantara,
suatu istilah yang telah
tenggelam berabad-abad lamanya. Setiabudi mengambil nama itu dari Pararaton, naskah kuno
zaman Majapahit yang ditemukan di Bali pada akhir abad ke-19 lalu diterjemahkan oleh J.L.A.
Brandes dan diterbitkan oleh Nicholaas Johannes Krom pada tahun 1920.
Namun perlu dicatat bahwa pengertian Nusantara yang diusulkan Setiabudi jauh berbeda
dengan pengertian, nusantara zaman Majapahit. Pada masa Majapahit Nusantara digunakan
untuk menyebutkan pulau-pulau di luar Jawa (antara dalam bahasa Sansekerta artinya luar,
seberang) sebagai lawan dari
*Jawadwipa*( Pulau Jawa). Kita tentu pernah mendengar Sumpah Palapa dari Gajah Mada,
*"Lamun huwus kalah nusantara, isun amukti palapa" *(Jika telah kalah pulau-pulau seberang,
barulah saya menikmati istirahat). Oleh Dr. Setiabudi kata nusantara zaman Majapahit yang
berkonotasi jahiliyah
itu diberi pengertian yang nasionalistis. Dengan mengambil kata Melayu asli antara, maka
Nusantara kini memiliki arti yang baru yaitu "nusa di antara dua benua dan dua samudra",
sehingga Jawa pun termasuk dalam definisi nusantara yang modern. Istilah nusantara dari
Setiabudi ini dengan cepat menjadi populer
penggunaannya sebagai alternatif dari nama Hindia Belanda.
Sampai hari ini istilah nusantara tetap kita pakai untuk menyebutkan wilayah tanah air kita dari
Sabang sampai Merauke. Tetapi nama resmi bangsa dan negara kita adalah Indonesia. Kini akan
kita telusuri dari mana gerangan nama yang sukar bagi lidah Melayu ini muncul.
Nama Indonesia
Pada tahun 1847 di Singapura terbit sebuah majalah ilmiah tahunan, *Journal of the Indian
Archipelago and Eastern Asia* (JIAEA), yang dikelola oleh James Richardson Logan (1819-1869),
orang Skotlandia yang meraih sarjana hukum dari Universitas Edinburgh. Kemudian pada tahun
1849 seorang ahli etnologi bangsa Inggris, George Samuel Windsor Earl (1813-
1865),menggabungkan diri sebagai redaksi majalah JIAEA.
Dalam JIAEA Volume IV tahun 1850, halaman 66-74, Earl menulis artikel *On the Leading
Characteristics of the Papuan, Australian and Malay-Polynesian Nations*. Dalam artikelnya itu
Earl menegaskan bahwa sudah tiba saatnya bagi penduduk Kepulauan Hindia atau Kepulauan
Melayu untuk memiliki nama khas (*a
distinctive name*), sebab nama Hindia tidaklah tepat dan sering rancu dengan penyebutan
India yang lain. Earl mengajukan dua pilihan nama:
*Indunesia* atau *Malayunesia* (*nesos* dalam bahasa Yunani berarti pulau). Pada halaman 71
artikelnya itu tertulis: *... the inhabitants of the Indian Archipelago or Malayan Archipelago
would become respectively Indunesians or Malayunesians.*
Earl sendiri menyatakan memilih nama *Malayunesia* (Kepulauan Melayu) daripada *Indunesia*
(Kepulauan Hindia), sebab *Malayunesia* sangat tepat untuk ras Melayu, sedangkan *Indunesia*
bisa juga digunakan untuk Ceylon (Srilanka) dan Maldives (Maladewa). Lagi pula, kata Earl,
bukankah bahasa Melayu dipakai di seluruh kepulauan ini? Dalam tulisannya itu Earl memang
menggunakan istilah *Malayunesia* dan tidak memakai istilah *Indunesia*.
Dalam JIAEA Volume IV itu juga, halaman 252-347, James Richardson Logan menulis artikel
*The Ethnology of the Indian Archipelago. * Pada awal tulisannya, Logan pun menyatakan
perlunya nama khas bagi kepulauan tanah air kita, sebab istilah "Indian Archipelago" terlalu
panjang dan membingungkan. Logan memungut nama *Indunesia* yang dibuang Earl, dan huruf
u digantinya dengan huruf o agar ucapannya lebih baik. Maka lahirlah istilah Indonesia.
Untuk pertama kalinya kata Indonesia muncul di dunia dengan tercetak pada halaman 254
dalam tulisan Logan: *Mr. Earl suggests the ethnographical term Indunesian, but rejects it in
favour of Malayunesian. I prefer the purely geographical term Indonesia, which is merely a
shorter synonym for the Indian Islands or the Indian Archipelago. *
Ketika mengusulkan nama "Indonesia" agaknya Logan tidak menyadari bahwa di kemudian hari
nama itu akan menjadi nama bangsa dan negara yang jumlah penduduknya peringkat keempat
terbesar di muka bumi!
Sejak saat itu Logan secara konsisten menggunakan nama "Indonesia" dalam tulisan-tulisan
ilmiahnya, dan lambat laun pemakaian istilah ini menyebar di kalangan para ilmuwan bidang
etnologi dan geografi. Pada tahun 1884 guru besar etnologi di Universitas Berlin yang bernama
Adolf Bastian (1826-1905)
menerbitkan buku *Indonesien oder die Inseln des Malayischen Archipel* sebanyak lima volume,
yang memuat hasil penelitiannya ketika mengembara ke tanah air kita tahun 1864 sampai 1880.
Buku Bastian inilah yang
memopulerkan istilah "Indonesia" di kalangan sarjana Belanda, sehingga sempat timbul
anggapan bahwa istilah "Indonesia" itu ciptaan Bastian. Pendapat yang tidak benar itu, antara
lain tercantum dalam *Encyclopedie van Nederlandsch- Indie*tahun 1918. Padahal Bastian
mengambil istilah "Indonesia" itu dari tulisan-tulisan Logan.
Putra ibu pertiwi yang mula-mula menggunakan istilah "Indonesia" adalah Suwardi Suryaningrat
(Ki Hajar Dewantara). Ketika di buang ke negeri Belanda tahun 1913 beliau mendirikan sebuah
biro pers dengan nama *Indonesische Pers-bureau. *
Makna politis
Pada dasawarsa 1920-an, nama "Indonesia" yang merupakan istilah ilmiah dalam etnologi dan
geografi itu diambil alih oleh tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan tanah air kita, sehingga
nama "Indonesia" akhirnya memiliki makna politis, yaitu identitas suatu bangsa yang
memperjuangkan kemerdekaan! Akibatnya pemerintah Belanda mulai curiga dan waspada
terhadap pemakaian kata ciptaan Logan itu.
Pada tahun 1922 atas inisiatif Mohammad Hatta, seorang mahasiswa *Handels Hoogeschool*
(Sekolah Tinggi Ekonomi) di Rotterdam, organisasi pelajar dan mahasiswa Hindia di Negeri
Belanda (yang terbentuk tahun 1908 dengan nama *Indische Vereeniging* ) berubah nama
menjadi *Indonesische Vereeniging* atau Perhimpoenan Indonesia. Majalah mereka, Hindia
Poetra, berganti nama menjadi Indonesia Merdeka.
Bung Hatta menegaskan dalam tulisannya, "Negara Indonesia Merdeka yang akan datang (*de
toekomstige vrije Indonesische staat*) mustahil disebut "Hindia Belanda". Juga tidak "Hindia"
saja, sebab dapat menimbulkan kekeliruan dengan India yang asli.
Bagi kami nama Indonesia menyatakan suatu tujuan politik (*een politiek doel*), karena
melambangkan dan mencita-citakan suatu tanah air di masa depan, dan untuk mewujudkannya
tiap orang Indonesia (*Indonesier*) akan berusaha dengan segala tenaga dan kemampuannya. "
Sementara itu, di tanah air Dr. Sutomo mendirikan *Indonesische Studie Club*pada tahun 1924.
Tahun itu juga Perserikatan Komunis Hindia berganti nama menjadi Partai Komunis Indonesia
(PKI). Lalu pada tahun 1925 *Jong Islamieten Bond* membentuk kepanduan *Nationaal
Indonesische Padvinderij* (Natipij) . Itulah tiga organisasi di tanah air yang mula-mula
menggunakan nama "Indonesia". Akhirnya nama "Indonesia" dinobatkan sebagai nama tanah air,
bangsa dan bahasa kita pada Kerapatan Pemoeda-Pemoedi Indonesia tanggal 28 Oktober 1928,
yang kini kita sebut Sumpah Pemuda.
Pada bulan Agustus 1939 tiga orang anggota *Volksraad* (Dewan Rakyat; DPR zaman Belanda),
Muhammad Husni Thamrin, Wiwoho Purbohadidjojo, dan Sutardjo Kartohadikusumo,
mengajukan mosi kepada Pemerintah Belanda agar nama "Indonesia" diresmikan sebagai
pengganti nama "Nederlandsch- Indie". Tetapi Belanda keras kepala sehingga mosi ini ditolak
mentah-mentah.
Maka kehendak Allah pun berlaku. Dengan jatuhnya tanah air kita ke tangan Jepang pada
tanggal 8 Maret 1942, lenyaplah nama "Hindia Belanda" untuk selama-lamanya. Lalu pada
tanggal 17 Agustus 1945, atas berkat rahmat Allah Yang Mahakuasa, lahirlah Republik
Indonesia.
Buku bertajuk Orang India di Sumatera Utara (The Indians in North Sumatera) yang ditulis oleh Tuanku
Luckman Sinar Basarsyah-II, S.H. diterbitkan Forum Komunikasi Antara Lembaga Adat (Forkala) Sumatera
Utara.
Judul : Orang India di Sumatera Utara
Tahun Terbit : 2008
Ukuran buku : 16 x 21 Cm
Bahasa : Indonesia
Penerbit/Kota : Forkala - Sumut
Buku ini disusun dengan sangat sederhana, tetapi mengandung informasi yang sangat menarik. Banyak hal
yang tidak diketahui masyarakat Indonesia tentang sepak terjang orang Tamil selama ini di Sumatera Utara,
terutama pada saat zaman perjuangan kemerdekaan. Padahal menurut penulis buku ini, masyarakat India
dengan masyarakat Indonesia di Sumatera Utara telah berhubungan sejak abad ke-3. Bahkan masyarakat
Tamil, yang beragama Islam, amat jelas pengaruhnya pada masyarakat Melayu Sumatera Timur. Hal itu,
umpamanya, tampak dengan jelas ketika Tuanku Sri Paduka Gocah Pahlawan (yang berasal dari India)
diangkat menjadi raja di Kerajaan Deli.
Buku Orang India di Sumatera Utara (The Indians in North Sumatera) ini membicarakan tentang asal usul
orang India, terutama orang Tamil, di Sumatera Utara umumnya, dan khususnya di Kota Medan.
Pembicaraan ini menjadi menarik karena banyak di antara anggota masyarakat Indonesia di Sumatera
Utara umumnya, dan di Kota Medan khususnya yang tidak mengenal dengan baik peranan orang India,
terutama orang Tamil, dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Memang, seharusnya
peranan orang Tamil itu tidak dapat “hanya dipandang dengan sebelah mata saja”. Masyarakat Tamil di
Sumatera Utara, yang sudah menjadi bagian dari warga negara Indonesia dari dahulu sampai sekarang,
selalu ikut berperan aktif membangun, membina, dan melestarikan persatuan dan kesatuan di dalam
perjalanan sejarah bangsa Indonesia.
Luckman Sinar dalam bukunya ini juga menyinggung tentang orang Sikh di Sumatera Utara walaupun tidak
terlalu mendalam, hanya dua halaman lebih sedikit. Orang Sikh, yang merupakan bagian dari orang India
dan berasal dari Punyab, juga ikut memberikan andil dalam pembangunan di Sumatera Utara umumnya.
Beberapa orang tokoh Sikh yang berada di Sumatera Utara kemudian membangun sebuah sekolah
menengah yang cukup terkenal di Sumatera Utara dengan nama Khalsa English School. Sampai-sampai
sekolah ini pernah menjadi pusat pengajaran dan pendidikan bahasa Inggeris di Sumatera Utara umumnya
dan di Kota Medan khususnya. Namun, sepak terjang orang-orang Sikh ini di Sumatera Utara tidak sebesar
orang-orang Tamil karena jumlahnya yang tidak sebanding. Biasanya, orang-orang Sikh ini bermata
pencaharian sebagai pengusaha toko alat-alat olahraga.
Buku Orang India di Sumatera Utara (The Indians in North Sumatera) ini juga men-ceriterakan tentang asal-
usul kedatangan orang Tamil ke Sumatera Utara (yang dulunya disebut dengan Keresidenan Sumatera
Timur). Orang-orang Tamil, yang berasal dari India ini, umumnya adalah imigran dan kemudian menjadi
buruh di Sumatera Timur. Orang-orang Tamil menjadi kuli yang membawa bal-bal tembakau hasil
perkebunan dari Sumatera Timur dengan perahu yang kemudian diekspor ke Negeri Belanda. Buruh Tamil
ini dipergunakan oleh Belanda untuk mengangkut hasil perkebunan, berupa tembakau, melalui transportasi
darat dengan kereta lembu. Namun, penulis buku ini tidak menjelaskan kemudian bagaimana profesi orang-
orang Tamil ini berjalan setelah orang-orang Cina, yang datang dari Malaya, menjadi buruh di perkebunan.
Salah satu penyebab terjadinya migrasi orang-orang Tamil dari India Selatan ke Sumatera Timur adalah
karena terjadinya “bahaya kelaparan” (halaman 9). Sebenarnya, masalah ini harus dapat lebih diperjelas
pembuktian kebenarannya oleh penulis buku ini. Sayangnya, yang dikutip penulis buku ini hanyalah
pendapat Cremer (orang Belanda, pada halaman 10) yang menyatakan bahwa orang-orang Tamil ini
“merupakan sumber kuli yang yang baik”, karena bekerja sebagai sais kereta lembu dan kuli harian, dan
bekerja sangat rajin. Oleh sebab kerajinannya itu, orang-orang Belanda amat suka mempekerjakan mereka
di bidang sais dan kuli itu. Permasalahan yang menguntungkan inilah yang menyebabkan orang Belanda
berusaha menarik orang-orang Tamil untuk datang ke Sumatera Timur dan bekerja di perkebunan
tembakau mereka.
Pemerintah penjajahan Belanda yang berada di Sumatera Timur pada masa itu telah pula menyediakan
perkebunan sebagai tempat bekerja kaum pendatang orang-orang Tamil dari India Selatan ini. Umumnya,
orang-orang Tamil tersebut menjadi kuli di berbagai macam perkebunan milik penjajah Belanda yang saat
itu sedang berkembang dengan pesatnya di Sumatera Timur. Orang-orang Tamil ini terutama telah
dijadikan sebagai tukang kayuh sampan ataupun sais pedati. Kuli-kuli Tamil ini kemudian tidak dipakai lagi
oleh Belanda dengan kedatangan “kuli kontrak” dari Jawa. Kemudian orang-orang Tamil ini datang dari
Malaysia ke Sumatera Timur secara bebas. Orang-orang India ini umumnya menjadi pedagang dan
sebagian menjadi “ceti” (orang yang membungakan uang). Ada pula yang disebut dengan “orang Bombay”
yang membuka berbagai toko pakaian dan toko olah raga.
Ada lagi orang-orang Tamil, yang berasal dari India Selatan ini, sampai ke Sumatera Timur melalui
Malaysia, yang ketika itu bernama Malaya. Sebenarnya, banyak aturan yang telah dibuat pemerintah
Inggeris di Malaya ketika itu, yang mencoba untuk menghalang-halangi orang-orang Tamil menjadi Migran
ke Sumatera Timur. Bahkan, kapal yang berlayar ke Sumatera Timur dilarang membawa penumpang orang
India, terutama orang Tamil. Oleh karena itu, Cramer mengusulkan agar perkebunan di Sumatera Timur
mengadakan pelayaran langsung ke India dengan biaya yang murah untuk mengangkut buruh orang-orang
Tamil.
Orang India di Sumatera Utara Pada Masa Jepang Sampai Masa Kemerdekaan
Pada masa pendudukan Jepang, bala tentera Jepang telah menghancurkan perkebunan yang ada di
Sumatera Timur untuk ditanami padi dan jagung. Ketika itu pulalah orang-orang Tamil di Sumatera Timur
(1942-1945) telah dijadikan sebagai “boneka”. Pemerintah pendudukan tentera Jepang telah membentuk
pemerintahan “India Merdeka” yang dipimpin oleh Subhas Chandra Bose. Dialah yang membentuk tentera
Indian National Army (INA). Umumnya, tentera ini berasal dari orang India mantan tentera Inggeris yang
ditawan Jepang. Sayangnya, penulis buku ini tidak meneruskan pembicaraan bagaimana sebenarnya nasib
dan riwayat tentera yang berasal dari orang India ini, termasuk orang Tamil dan Sikh.
Buku ini walaupun sangat sederhana karena hanya setebal 29 halaman, tetapi telah banyak memberikan
informasi tentang orang India, terutama orang Tamil, di Sumatera Utara dan di Kota Medan. Sebagai
catatan sejarah, buku ini banyak memberikan informasi kepada orang yang mengenal dengan baik sepak
terjang orang India, terutama orang Tamil, di Sumatera Utara dari dahulu sampai sekarang. Orang-orang
Tamil, terutama yang beragama Islam, yang menjadi tentera Sekutu/Inggeris ketika perang kemerdekaan di
Sumatera Utara banyak yang menyeberang ke pasukan tentera Indonesia. Mereka ini umumnya dapat
menyesuaikan diri dengan keadaan dan situasi di Sumatera Utara sampai sekarang, Akhirnya, etnik Tamil
ini di Sumatera Utara menjadi warga yang baik seperti warga lainnya.
Buku ini ditulis pengarang dalam dua bahasa yaitu bahasa sumbernya bahasa Indonesia dan bahasa
terjemahannya bahasa Inggeris.***
Bahasa Indonesia lahir pada tanggal 28 Oktober 1928. pada saat itu, para pemuda dari
berbagai pelosok Nusantara berkumpul dalam Kerapatan Pemuda dan berikrar (1)
bertumpah darah yang satu, tanah Indonesia, (2) berbangsa yang satu, bangsa Indonesia,
dan (3) menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Ikrar para pemuda ini dikenal
dengan nama Sumpah Pemuda.
Unsur yang ketiga dari Sumpah Pemuda merupakan pernyataan tekad bahwa bahasa
Indonesia merupakan bahasa persatuan bangsa Indonesia. Pada tahun 1928 itulah bahasa
Indonesia dikukuhkan kedudukannya sebagai bahasa nasional.
Keputusan Kongres Bahasa Indonesia II tahun 1954 di Medan, antara lain, menyatakan
bahwa bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu. Bahasa Indonesia tumbuh dan
berkembang dari bahasa Melayu yang sejak zaman dulu sudah dipergunakan sebagai
bahasa perhubungan (lingua franca) bukan hanya di Kepulauan Nusantara, melainkan juga
hampir di seluruh Asia Tenggara.
Bahasa Melayu mulai dipakai di kawasan Asia Tenggara sejak abad ke-7. Bukti yang
menyatakan itu ialah dengan ditemukannya prasasti di Kedukan Bukit berangka tahun 683
M (Palembang), Talang Tuwo berangka tahun 684 M (Palembang), Kota Kapur berangka
tahun 686 M (Bangka Barat), dan Karang Brahi berangka tahun 688 M (Jambi). Prasasti
itu bertuliskan huruf Pranagari berbahasa Melayu Kuna. Bahasa Melayu Kuna itu tidak
hanya dipakai pada zaman Sriwijaya karena di Jawa Tengah (Gandasuli) juga ditemukan
prasasti berangka tahun 832 M dan di Bogor ditemukan prasasti berangka tahun 942 M
yang juga menggunakan bahasa Melayu Kuna.
Pada zaman Sriwijaya, bahasa Melayu dipakai sebagai bahasa kebudayaan, yaitu bahasa
buku pelajaran agama Budha. Bahasa Melayu juga dipakai sebagai bahasa perhubungan
antarsuku di Nusantara dan sebagai bahasa perdagangan, baik sebagai bahasa antarsuku di
Nusantara maupun sebagai bahasa yang digunakan terhadap para pedagang yang datang
dari luar Nusantara.
Informasi dari seorang ahli sejarah Cina, I-Tsing, yang belajar agama Budha di Sriwijaya,
antara lain, menyatakan bahwa di Sriwijaya ada bahasa yang bernama Koen-louen (I-
Tsing:63,159), Kou-luen (I-Tsing:183), K’ouen-louen (Ferrand, 1919), Kw’enlun
(Alisjahbana, 1971:1089). Kun’lun (Parnikel, 1977:91), K’un-lun (Prentice, 1078:19),
yang berdampingan dengan Sanskerta. Yang dimaksud Koen-luen adalah bahasa
perhubungan (lingua franca) di Kepulauan Nusantara, yaitu bahasa Melayu.
Perkembangan dan pertumbuhan bahasa Melayu tampak makin jelas dari peninggalan
kerajaan Islam, baik yang berupa batu bertulis, seperti tulisan pada batu nisan di Minye
Tujoh, Aceh, berangka tahun 1380 M, maupun hasil susastra (abad ke-16 dan ke-17),
seperti Syair Hamzah Fansuri, Hikayat Raja-Raja Pasai, Sejarah Melayu, Tajussalatin, dan
Bustanussalatin.
Bahasa Melayu dipakai di mana-mana di wilayah Nusantara serta makin berkembang dan
bertambah kukuh keberadaannya. Bahasa Melayu yang dipakai di daerah di wilayah
Nusantara dalam pertumbuhannya dipengaruhi oleh corak budaya daerah. Bahasa Melayu
menyerap kosakata dari berbagai bahasa, terutama dari bahasa Sanskerta, bahasa Persia,
bahasa Arab, dan bahasa-bahasa Eropa. Bahasa Melayu pun dalam perkembangannya
muncul dalam berbagai variasi dan dialek.
http://blog.wisma-bahasa.com/?p=35
Unsur yang ketiga dari Sumpah Pemuda merupakan pernyataan tekad bahwa
bahasa Indonesia merupakan bahasa persatuan bangsa Indonesia. Pada tahun 1928
itulah bahasa Indonesia dikukuhkan kedudukannya sebagai bahasa nasional.
Bahasa Melayu mulai dipakai di kawasan Asia Tenggara sejak abad ke-7. Bukti yang
menyatakan itu ialah dengan ditemukannya prasasti di Kedukan Bukit berangka
tahun 683 M (Palembang), Talang Tuwo berangka tahun 684 M (Palembang), Kota
Kapur berangka tahun 686 M (Bangka Barat), dan Karang Brahi berangka tahun 688
M (Jambi). Prasasti itu bertuliskan huruf Pranagari berbahasa Melayu Kuna. Bahasa
Melayu Kuna itu tidak hanya dipakai pada zaman Sriwijaya karena di Jawa Tengah
(Gandasuli) juga ditemukan prasasti berangka tahun 832 M dan di Bogor ditemukan
prasasti berangka tahun 942 M yang juga menggunakan bahasa Melayu Kuna.
Pada zaman Sriwijaya, bahasa Melayu dipakai sebagai bahasa kebudayaan, yaitu
bahasa buku pelajaran agama Budha. Bahasa Melayu juga dipakai sebagai bahasa
perhubungan antarsuku di Nusantara dan sebagai bahasa perdagangan, baik
sebagai bahasa antarsuku di Nusantara maupun sebagai bahasa yang digunakan
terhadap para pedagang yang datang dari luar Nusantara.
Informasi dari seorang ahli sejarah Cina, I-Tsing, yang belajar agama Budha di
Sriwijaya, antara lain, menyatakan bahwa di Sriwijaya ada bahasa yang bernama
Koen-louen (I-Tsing:63,159), Kou-luen (I-Tsing:183), K’ouen-louen (Ferrand,
1919), Kw’enlun (Alisjahbana, 1971:1089). Kun’lun (Parnikel, 1977:91), K’un-lun
(Prentice, 1078:19), yang berdampingan dengan Sanskerta. Yang dimaksud Koen-
luen adalah bahasa perhubungan (lingua franca) di Kepulauan Nusantara, yaitu
bahasa Melayu.
BAB I
PENDAHULUAN
Bahasa Indonesia adalah salah satu kebanggaan bangsa kita, sebab-sebabnya sangat jelas, tanpa
bahasa nasional itu, kemerdekaan tidak akan tercapai dan persatuan bangsa tidak akan tergalang.
Namun, tampaknya kebanggaan itu tidak di sertai sikap kritik untuk menelaah bagaimana hal itu dapat
terjadi dan apa yang dapat kita petik sebagai pengalaman kemajuan bangsa pada masa-masa yang
akan datang.
Dengan kata lain, kajian tentang sejarah bangsa Indonesia masi kurang/tidak sungguh-sungguh
diminati orang,maka dengan makalah ini akan mengarang tentang sejarah bahasa Indonesia tersebut,
yang mulai di gunakan pertam akali pada sumpah pemuda tanggal 28 oktober 1928.
Dari pendahuluan di atas dapat di rumuskan beberapa masalah yaitu:
2 Apa yang menyebabkan bahasa melayu di pilih sebagai bahasa pemersatu yaitu bahasa Indonesia.
3. Apa saja yang dapat di lakukan untuk membina dan mengembangkan bahasa Indonesia.
Ruang lingkup bahasa ini adalah pembahasa tentang sejarah perkembangan bahasa Indonesia.
Dalam hal ini pembahasan menitik beratkan pada awal mulanya lahirnya bahasa Indonesia yang
dipakai sampai saat ini oleh warga Negara Indonesia sebagai bahasa persatuan.
2. Untuk mengetahui mengapa bahasa melayudipilih sebagai bahasa nasional bahasa Indonesia.
3. Untuk mengetahui apa saja yang dapat dilakukan untuk membina dan mengembangkan bahasa
Indonesia.
Makalah iini disusun dengan menggunakan metode kepustakaan,untuk mendapatkan data-data dari
sumber pustaka.
BAB II
Telah dikemukakan pada beberapa kesempatan, mengapa bahasa melayu dipilih menjadi bahasa
nasional bagi negara Indonesia yang merupakan suatu hal yang menggembirakan. Dibandingkan
dengan bahasa lain yang dapat dicalonkan menjadi bahasa nasional, yaitu bahasa jawa (yang
menjadi bahasa ibu bagisekitar setengah penduduk Indonesia), bahasa melayu merupakan bahasa
Di Indonesia, bahasaitu diperkirakan dipakai hanya oleh penduduk kepulauan Riau, Linggau dan
penduduk pantai-pantai diseberang Sumatera. Namun justru karena pertimbangan itu jualah pemilihan
bahasa jawa akan selalu dirasakan sebagai pengistimewaan yang berlebihan. Alasan kedua,
mengapa bahasa melayu lebih berterima dari pada bahasa jawa, tidak hanya secara fonetis dan
morfologis tetapi juga secara reksikal, seperti diketahui, bahasa jawa mempunyai beribu-ribu morfen
Faktor yang paling penting adalah juga kenyataannya bahwa bahasa melayu mempunyai sejara yang
panjang sebagai ligua France. Dari sumber-sumber China kuno dan kemudian juga dari sumber
Persia dan Arab, kita ketahui bahwa kerajaan Sriwijaya di sumatera Timur paling tidak sejak abad ke -
7 merupakan pusat internasional pembelajaran agama Budha serta sebuah negara yang maju yang
perdagangannya didasarkan pada perdagangan antara Cina, India dan pulau-pulau di Asia Tenggara.
Bahas melayu mulai dipakai dikawasan Asia Tenggara sejak Abad ke-7. bukti-bukti yang menyatakan
itu adalah dengan ditemukannya prasasti di kedukan bukit karangka tahun 683 M (palembang), talang
tuwo berangka tahun 684 M (palembang), kota kapur berangka tahun 686 M (bukit barat), Karang
Birahi berangka tahun 688 M (Jambi) prasasti-prasasti itu bertuliskan huruf pranagari berbahasa
melayu kuno. Bahasa melayu kuno itu hanya dipakai pada zaman sriwijaya saja karena di jawa tengah
(Banda Suli) juga ditemuka prasasti berangka tahun 832 M dan dibogor ditemukan prasasti berangka
Pad zaman Sriwijaya, bahasa melayu dipakai sebagai bahasa kebudayaan , yaitu bahasa buku
pelajaran agama Budha. Bahasa melayu dipakai sebagai bahasa perhubungan antar suku di
Nusantara. Bahasa melayu dipakai sebagai bahasa perdagangan, baik sebagai bahasa yang
Informasi dari seorang ahli sejara China I-Tsing yang belajar agama Budha di Sriwijaya, antara lain
menyatakan bahwa di Sriwijay ada bahasa yang bernama Koen Loen (I-Tsing : 63-159), Kou Luen (I-
Tsing : 183), K’ouen loven (Ferrand, 1919), Kw’enlun (Ali Syahbana, 1971 : 0001089), Kun’lun
(parnikel, 1977 : 91), K’un-lun (prentice 1978 : 19), ayng berdampingan dengan sanskerta. Yang
dimaksud dengan Koen-Luen adalah bahasa perhubungan (lingua france) dikepulauan nusantara,
Perkembangan dan pertumbuhan bahasa melayu tampak makin jelasa dari, peninggalan-peninggalan
kerajaan islam, baik yang berupa batu tertulis, seperti tulisan pada batu nisan di Minye Tujah, Aceh,
berangka tahun 1380 M, maupun hasil-hasil susastra (abad ke-16 dan ke-17), seperti syair Hamzah
Fansuri, hikayat raja-raja Pasai, sejarah melayu, Tajussalatin dan Bustanussalatin. Bahasa melayu
menyebar kepelosok nusantara bersama dengan menyebarnya agama islam diwilayah nusantara
bahasa melayu mudah diterima oleh masyarakat nusantara sebagai bahasa perhubungan antara
pulau, antara suku, antara pedagang, antar bangsa, dan antar kerajaan karena bahasa melayu tidak
mengenal tutur.
Bahasa melayu dipakai dimana-mana diwilayah nusantara serta makin berkembang dengan dan
bertambah kukuh keberadaannya. Bahasa melayu yang dipakai didaerah-daerah diwilayah nusantara
dalam pertumbuhan dipengaruhi oleh corak budaya daerah. Bahasa melayu menyerap kosa kata dari
berbagai bahasa, terutama dari bahasa sanskerta, bahasa Persia, bahasa Arab, dan bahasa-bahasa
Eropa.
Bahasa melayupun dalam perkembangannya muncul dalam berbagai variasi dan dialek.
Perkembangan bahasa melayu diwilayah nusantara mempengaruhi dan mendorong tumbuhnya rasa
persaudaraan dan persatuan bangsa Indonesia. Komikasi rasa persaudaraan dan persatuan bangsa
Indonesia. Komunikasi antar perkumpulan yang bangkit pada masa itu menggunakan bahasa melayu
menjadi bahasa Indonesia, yang menjadi bahasa persatuan untuk seluruh bangsa Indonesia dalam
Untuk memperoleh bahasa nasionalnya, Bangsa Indonesia harus berjuang dalam waktu yang cukup
panjang dan penuh dengan tantangan. Perjuagan demikian harus dilakukan karena adanya kesadaran
bahwa disamping fungsinya sebagai alat komunikasi tunggal, bahasa nasional sebagai salah satu cirri
cultural, yang kedalam menunjukkan sesatuan dan keluar menyatakan perbedaan dengan bangsa
lain.
1. Budi Otomo
Pada tahun 1908, Budi Utomo yang merupakan organisasi yang bersifat kenasionalan yang pertama
berdiri dan tempat terhidupnya kaum terpelajar bangsa Indonesia, dengan sadar menuntut agar
syarat-syarat untuk masuk ke sekolah Belanda diperingan,. Pada kesempatan permulaan abad ke-20,
bangsa Indonesia asyik dimabuk tuntutan dan keinginan akan penguasaan bahasa Belanda sebab
bahasa Belanda merupakan syarat utam untuk melanjutkan pelajaran menambang ilmu pengetahuan
barat.
2. Sarikat Islam
Sarekat islam berdiri pada tahun 1912. mula-mula partai ini hanya bergerak dibidang perdagangan,
namun bergerak dibidang sosial dan politik jga. Sejak berdirinya, sarekat islam yang bersifat non
kooperatif dengan pemerintah Belanda dibidang politik tidak perna mempergunakan bahasa Belanda.
3. Balai Pustaka
Dipimpin oleh Dr. G.A.J. Hazue pada tahu 1908 balai pustaku ini didirikan. Mulanya badan ini bernama
Commissie Voor De Volkslectuur, pada tahun 1917 namanya berubah menjadi balai pustaka. Selain
Hasil yang diperoleh dengan didirikannya balai pustaka terhadap perkembangan bahasa melau
b. Memberikan kesempatan kepada rakyat Indonesia untuk membaca hasil ciptaan bangsanya sendiri
sastrawan melukiskan hal-hal yang dialami oleh bangsanya dan hal-hal yang menjadi cita-cita
bangsanya.
d. Balai pustaka juga memperkaya dan memperbaiki bahasa melayu sebab diantara syarat-syarat
yang harus dipenuhi oleh karangan yang akan diterbitkan di balai pustaka ialah tulisan dalam bahasa
4. Sumpah Pemuda
Kongres pemuda yang paling dikenal ialah kongres pemuda yang diselenggarakan pada tahun 1928
di Jakarta. Pada hal sebelumnya, yaitu tahun 1926, telah pula diadakan kongres p[emuda yang tepat
penyelenggaraannya juga di Jakarta. Berlangsung kongres ini tidak semata-mata bermakna bagi
perkembangan politik, melainkan juga bagi perkembangan bahasa dan sastra Indonesia.
Dari segi politik, kongres pemuda yang pertama (1926) tidak akan bisa dipisahkan dari perkembangan
cita-cita atau benih-benih kebangkitan nasional yang dimulai oleh berdirinya Budi Utomo, sarekat
islam, dan Jon Sumatrenan Bond. Tujuan utama diselenggarakannya kongres itu adalah untuk
Pada tahun itu organisasi-organisasi pemuda memutuskan bergabung dalam wadah yang lebih besar
Indonesia muda. Pada tanggal 28 Oktober 1928 organisasi pemuda itu mengadakan kongres pemuda
di Jakarta yang menghasilkan sebuah pernyataan bersejarah yang kemudian lebih dikenal sebagai
sumpah pemuda. Pertanyaan bersatu itu dituangkan berupa ikrar atas tiga hal, Negara, bangsa, dan
Peristiwa ini dianggap sebagai awal permulaan bahasa Indonesia yang sebenarnya, bahasa Indonesia
sebagai media dan sebagai symbol kemerdekaan bangsa. Pada waktu itu memang terdapat beberapa
pihak yang peradaban modern. Akan tetapi, tidak bisa dipumgkiri bahwa cita-cita itu sudah menjadi
kenyataan, bahasa Indonesia tidak hanya menjadi media kesatuan, dan politik, melainkan juga
Bahasa adalah yang terpadu dengan unsure-unsur lain didalam jaringan kebudayaan. Pada waktu
yang sama, bahasa merupakan sarana pengungkapan nilai-nilai bedaya. Pikiran dan nilai-nilai
dengan kemajuan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi menuntut adanya
perkembangan cara berpikir yang ditandai oleh kecermatan, ketepatan, dan kesanggupan
1. Pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia dalam kaitannya dengan bidang pendidikan.
Upaya yang dapat dilakukan adalah meminkan peran guru untuk menimgkatkan minat baca sehingga
2. Pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia dalam kaitannya dengan bidang komunikasi.
Medi massa merupakan salah satu saran ayang pentinng untuk membina dan mengembangkan
bahasa Indonesia dlam rangka pembangunan bangsa karena media massa telah memberiakan
perkembangan yang berharga dalam pertumbuhan bahasa Indonesia melalui media massa, baik
secara tertuis maupun lisan. Ada kata yang cenderung kehilangan maknanya yang sesungguhnya
dalam ragam lisan ada lafal baku. Disamping itu, dalam keadaan atau kesempatan tertentu masih
3. Pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia dalam kaitannya dengan bidang kesenian
Bahasa Indonesia yang dipergunakan didalam banyak karya sastra cerita anak-anak, lagu, teater dan
film menunjukkan adanya banyak ketimpangan. Dalam hal sastra dan buku anak-anak , hal ini
disebabkan oleh penggunaan bahasa yang kurang sempurna dari kebanyakan pengarang kita,
disamping masi tidak pastinya peranan redaktur dalam penerbitan.
Pemakaian bahasa Indonesia dalm film lebih banyak merupakan barang dagangan pemburuk
keuntungan bagi pengusaha, penulis skenario yang dipilihnya kebanyakan tidak menguasai teknik
4. Pembinaan dan pengembangan bahasa dalam kaitannya dengan bidang ilmu dan, teknologi.
Oleh karena antara bahasa dan alam pemikiran manusia terdapat jalinan yang erat, maka
keberhasilan dari pemoderenan itu sangat bergantung kepada corak alam pemikiran manusia
Indonesia yang merupakan hasil sintesis antara nilai-nilai yang berakar pada kebudayaan etnis yang
tradisional dan nilai-nilai bebudayaan yang melahirkan ilmu pengetahuan dan teknologi modern.
Proses sintesis itu dipikirkan sebagai suatu proses yang mempertinggi potensi kreatif yang dapat
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Dapat disimpullkan dari makalah ini, bahwa bahasa Indonesia berasal dari bahasa melayu. Bahasa
1. Bahasa melayu menjadi perwakilan karena bahasa melayu mewakili bahasa yang dipakai oleh
kelompok kecil yang dibandingkan oleh kelompok besar seperti bahasa jawa. Hal ini untuk
2. Bahasa melayu lebih bersifat linguistik dan tidak memiliki tingkat tutur yang sulit.
3. Bahasa melayu mempunyai sejra sebagai “Lingua Frace” yang digunakan pada masa kerajaan
3.2. Saran
Bahasa Indonesia yang kita ketahui sebagai mana dari penjelasan terdahulu memiliki banyak
rintangan dan kendala untuk mewujudkan menjadi bahasa pemersatu, bahasa nasional, bahasa
Indonesia. Sehingga kita sebagai generasi penerus mampu untuk membina, mempertahankan bahasa
Indonesia ini, agar tidak mengalami kemerosotan dan diperguna dengan baik oleh pihak luar.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi Muhsin, 1990. sejarah dan standarisasi bahasa Indonesia. Bandung : sinar baru algesindo.
Aripin Z.E,
http://ikhsanu.blogspot.com/2009/05/sejarah-perkembangan-bahasa-indonesia.html
Penyusun :
Singgih Aji Abiyuga
27
Danang Budi A
06
Kern Syena
20
Aris Dwi Haryanto
04
Meskipun bahasa mempunyai kompleksitas yang luar biasa, tetap ada bagian penting dari
realitas ruang hidup perasaan dan emosi yang lebih merupakan kegiatan intersubyektif
manusia. Tidak memadainya bahasa untuk menyampaikan pengalaman intersubyektif
karena bahasa sebagai sebuah simbol tidak mampu secara sempurna mencerminkan
bentuk alamiah perasaan. Sehingga manusia kadang-kadang tidak mampu membentuk
konsep-konsep yang terperinci tentang perasaan dengan bantuan bahsa yang wantah.
Bahasa yang dipakai untuk merujuk kepada perasaan hanya mampu memberi penamaan
secara umum terhadap pengalaman dalam misalnya: kegairahan, kebahagiaan,
ketentraman, cinta, dan sejenisnya. Namun bahasa tidak mampu merincikan bagaimana
kebahagiaan berbeda-beda jenisnya, berjenis-jenis kesedihan, dan sebagainya. Pada titik
ini terbukti bahwa hakikat alam perasaan adalah sesuatu yang tidak dapat secara rinci dan
tegas dinyatakan dalam simbol diskursif.
bahasa adalah simbol bagi makna yang berada di baliknya. Ibarat kata adalah sebuah
badan, maka makna adalah
ruhnya. Karena itu sebuah kata hanya akan berfungsi sebagai simbol jika tidak
dipisahkan dari konsep maknanya.
Kosa kata apapun tidak akan berfungsi sebagai sebuah simbol bagi seseorang yang
tidak mengetahui maknanya.
Contohnya adalah bahasa arab, Arab yang dipakai al-Qur'an misalnya, tidak akan
berfungsi sebagai penyampai pesan-pesan ilahi bagi siapa pun yang tidak mengerti
bahasa Arab.
Sistem simbolik bahasa Arab yang disandarkan pada kehidupan masyarakat Arab berarti
pula bahwa bahasa Arab sangat berkaitan dengan pola kehidupan masyarakat Arab.
Pamakaian bahasa Arab oleh al-Qur'an menunjukkan bahwa simbol bahasa al-Qur'an
sangat terkait pada budaya bahasa Arab. Keterkaitan ini terlihat jelas pada pemakaian
kosa-kata bahasa Arab yang hanya dapat dipahami dengan baik oleh masyarakat Arab.
Lebih jauh lagi, keterkaitan bahasa al-Qur'an dengan budaya Arab ditunjukkan dalam
transformasi pesan-pesan ilahi melalui budaya masyarakat Arab
Karena itu dikatakan bahasa adalah bentuk simbol yang paling maju, paling halus, paling
canggih dan paling lengkap.
Meskipun bahasa mempunyai kompleksitas yang luar biasa, tetap ada bagian penting dari
realitas ruang hidup perasaan dan emosi yang lebih merupakan kegiatan intersubyektif
manusia. Tidak memadainya bahasa untuk menyampaikan pengalaman intersubyektif
karena bahasa sebagai sebuah simbol tidak mampu secara sempurna mencerminkan
bentuk alamiah perasaan. Sehingga manusia kadang-kadang tidak mampu membentuk
konsep-konsep yang terperinci tentang perasaan dengan bantuan bahsa yang wantah.
Bahasa yang dipakai untuk merujuk kepada perasaan hanya mampu memberi penamaan
secara umum terhadap pengalaman, misalnya: kegairahan, kebahagiaan, ketentraman,
cinta, dan sejenisnya. Namun bahasa tidak mampu merincikan bagaimana kebahagiaan
berbeda-beda jenisnya, berjenis-jenis kesedihan, dan sebagainya. Pada titik ini terbukti
bahwa hakikat alam perasaan adalah sesuatu yang tidak dapat secara rinci dan tegas
dinyatakan dalam simbol diskursif.
bahasa adalah simbol bagi makna yang berada di baliknya. Ibarat kata adalah sebuah
badan, maka makna adalah
ruhnya. Karena itu sebuah kata hanya akan berfungsi sebagai simbol jika tidak
dipisahkan dari konsep maknanya.
Kosa kata apapun tidak akan berfungsi sebagai sebuah simbol bagi seseorang yang
tidak mengetahui maknanya.
Contohnya adalah bahasa arab, Arab yang dipakai al-Qur'an misalnya, tidak akan
berfungsi sebagai penyampai pesan-pesan ilahi bagi siapa pun yang tidak mengerti
bahasa Arab.
Sistem simbolik bahasa Arab yang disandarkan pada kehidupan masyarakat Arab berarti
pula bahwa bahasa Arab sangat berkaitan dengan pola kehidupan masyarakat Arab.
Pamakaian bahasa Arab oleh al-Qur'an menunjukkan bahwa simbol bahasa al-Qur'an
sangat terkait pada budaya bahasa Arab. Keterkaitan ini terlihat jelas pada pemakaian
kosa-kata bahasa Arab yang hanya dapat dipahami dengan baik oleh masyarakat Arab.
Lebih jauh lagi, keterkaitan bahasa al-Qur'an dengan budaya Arab ditunjukkan dalam
transformasi pesan-pesan ilahi melalui budaya masyarakat Arab
Sumber :
* http://www.kompas.com/kompas-cetak/0305/05/opini/292386.htm
*http://jurnalnasional.com/?med=Koran
%20Harian&sec=Gelanggang&rbrk=&id=31311&postdate=2008-01-
20&detail=Gelanggang
*http://abdulkadirsalam.com/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=79