Anda di halaman 1dari 35

Asal-Usul Bahasa Indonesia

(c)omnivoyage
CETAK ARTIKEL INI

DAFTAR MAILING LIST

KIRIM KE TEMAN

KOMENTAR FANS JESSICA SIMPSON


Senin, 17 November 2008 17:21
KapanLagi.com - Tanggal 28 Oktober 1928 merupakan tanggal bersejarah bagi bahasa
Indonesia yang saat itu diresmikan menjadi bahasa negara dan menjadi bahasa persatuan dari
sekian ratus bahasa daerah.

Namun seperti apakah yang dinamakan bahasa Indonesia itu? Orang mengenalnya sebagai
bahasa Melayu yang dimodifikasi, lalu dicampur dengan bahasa-bahasa serapan dari berbagai
daerah dan dari bahasa asing, kemudian dibakukan.

Dari manakah asal-usul bahasa Melayu itu? Apakah bahasa itu hanya dituturkan oleh etnis
Melayu sejak berabad-abad lalu? Padahal etnis Melayu sendiri hanya sebagian kecil saja dari
ratusan etnis di nusantara?

Arkeolog Harry Truman Simanjuntak mengatakan, bahasa Melayu dan ratusan bahasa daerah
lainnya di nusantara sebenarnya berakar dari bahasa Austronesia yang mulai muncul sekitar
6.000-10.000 tahun lalu.

Penyebaran penutur bahasa Austronesia, ujar Ketua Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI) itu,
merupakan fenomena besar dalam sejarah umat manusia karena sebagai suatu rumpun bahasa,
Austronesia merupakan yang terbesar di dunia, meliputi 1.200 bahasa dan dituturkan oleh hampir
300 juta populasi.

Masyarakat penuturnya tersebar luas di wilayah sepanjang 15 ribu km meliputi lebih dari separuh
bola bumi, yaitu dari Madagaskar di barat hingga Pulau Paskah di ujung timur, dari Taiwan-
Mikronesia di utara hingga Selandia Baru di selatan.
Out of Taiwan

Mengenai asal-usul penutur Austronesia, Harry mengatakan, ada beberapa hipotesa. Yang
paling umum adalah hipotesa bahwa asal leluhur penutur Austronesia adalah Formosa (Taiwan)
atau model Out of Taiwan.

Arkeolog lainnya Daud A Tanudirjo menyebutkan, Robert Blust adalah pakar linguistik yang
paling lantang menyuarakan pendapat bahwa asal-usul penutur Austronesia adalah Taiwan.

Sejak 1970-an Blust telah mencoba merekonstruksi silsilah dan pengelompokan bahasa-bahasa
dari rumpun Austronesia misalnya kosakata protobahasa Austronesia yang berkaitan dengan
flora dan fauna serta gejala alam lain, kata Daud.

"Ia juga menawarkan rekonstruksi pohon kekerabatan rumpun bahasa Austronesia dan perkiraan
waktu pencabangannya mulai dari Proto-Austronesia hingga Proto-Oseania," katanya.

Para leluhur ini, diungkapkan Daud, awalnya berasal dari China Selatan yang bermigrasi ke
Taiwan pada 5.000-4.000 SM, namun akar bahasa Austronesia baru muncul beberapa abad
kemudian di Taiwan.

Kosakata yang dapat direkonstruksi dari bahasa awal Austronesia yang dapat dilacak antara
lain : rumah tinggal, busur, memanah, tali, jarum, tenun, mabuk, berburu, kano, babi, anjing,
beras, batu giling, kebun, tebu, gabah, nasi, menampi, jerami, hingga mengasap.

Para petani purba di Taiwan ini berkembang cepat dan lalu terpecah-pecah menjadi kelompok-
kelompok yang hidup terpisah dan bahasanya menjadi berbeda-beda dengan setidaknya kini ada
sembilan bahasa yang teridentifikasi sebagai bahasa formosa.

Bermigrasi

Migrasi leluhur dari Taiwan ke Filipina mulai terjadi pada 4.500-3.000 SM. Leluhur ini adalah
salah satu dari kelompok yang memisahkan diri. Mereka bermigrasi ke selatan menuju
Kepulauan Filipina bagian utara yang kemudian memunculkan cabang bahasa baru yakni Proto-
Malayo-Polinesia (PMP).

Tahap berikutnya, ujar Daud, terjadi pada 3.500-2.000 SM di mana masyarakat penutur bahasa
PMP yang awalnya tinggal di Filipina Utara mulai bermigrasi ke selatan melalui Filipina Selatan
menuju Kalimantan dan Sulawesi serta ke arah tenggara menuju Maluku Utara.

Proses migrasi ini membuat bahasa PMP bercabang menjadi bahasa Proto Malayo Polinesia
Barat (PWMP) di kepulauan Indonesia bagian barat dan Proto Malayo Polinesia Tengah-Timur
(PCEMP) yang berpusat di Maluku Utara.
"Rupanya ketika bermigrasi ke arah tenggara penanaman padi mulai ditinggalkan karena tidak
sesuai dengan lingkungannya. Mereka mulai memanfaatkan tanaman keladi dan umbi-umbian
lain serta buah-buahan," katanya.

Namun pada 3.000-2.000 SM leluhur yang ada di Maluku Utara bermigrasi ke selatan dan timur.
Hanya dalam waktu singkat migrasi dari Maluku Utara mencapai Nusa Tenggara sekitar 2.000
SM yang kemudian memunculkan bahasa Proto Malayo Polinesia Tengah (PCMP).

Demikian pula migrasi ke timur yang mencapai pantai utara Papua Barat dan melahirkan bahasa-
bahasa Proto Malayo-Polinesia Timur (PEMP).

Migrasi dari Papua Utara ke barat terjadi pada 2.500 SM dan ke timur pada 2.000-1.500 SM, di
mana penutur PEMP di wilayah pantai barat Papua Barat melakukan migrasi arus balik menuju
Halmahera Selatan, Kepulauan Raja Ampat, dan pantai barat Papua Barat yang kemudian
muncul bahasa yang dikelompokkan sebagai Halmahera Selatan-Papua Nugini Barat (SHWNG).

Setelah itu kelompok lain dari penutur PEMP bermigrasi ke Oseania dan mencapai kepulauan
Bismarck di Melanesia sekitar 1.500 SM dan memunculkan bahasa Proto Oseania.

"Sedangkan di Kepulauan Indonesia di bagian barat, setelah sempat menghuni Kalimantan dan
Sulawesi, pada 3.000-2.000 SM, para penutur PWMP bergerak ke selatan, bermigrasi ke Jawa
dan Sumatera," katanya.

Penutur PWMP yang asalnya dari Kalimantan dan Sulawesi itu lalu bermigrasi lagi ke utara
antara lain ke Vietnam pada 500 SM dan Semenanjung Malaka, ujarnya.

Menjelang awal tahun Masehi, penutur bahasa WMP juga menyebar lagi ke Kalimantan sampai
ke Madagaskar, tambah Daud.

Bentuk rumpun bahasa Austronesia ini lebih menyerupai garu daripada bentuk pohon. Karena
semua proto-bahasa dalam kelompok ini, dari Proto Malayo Polynesia hingga Proto Oseania
menunjukkan kesamaan kognat yang tinggi, yaitu lebih dari 84% dari 200 pasangan kata,
katanya.

Dengan demikian, kata Harry Truman, hampir seluruh kawasan nusantara bahkan sampai ke
kawasan negeri-negeri tetangga dan masyarakat kepulauan Pasifik dan Madagaskar menuturkan
bahasa yang asal-muasalnya merupakan bahasa Austronesia.

"Kecuali masyarakat yang ada di pedalaman Papua dan pedalaman pulau Timor yang
bahasanya lebih mirip dengan bahasa pedalaman Australia," katanya.
Bahasa Indonesia sekarang ini, kata Harry lagi, sudah sangat kompleks karena penuturnya tidak
hanya hidup dengan sukunya masing-masing dan beradaptasi dengan rumpun bahasa dunia
lainnya seperti dari India, Arab, Portugis, Belanda dan Inggris. (kpl/cax)

http://www.kapanlagi.com/a/asal-usul-bahasa-indonesia.html

http://www.kompas.com/read/xml/2008/10/29/0607030/mengorek.asal-
usul.bahasa.indonesia

Asal Usul Nama Indonesia

Oleh IRFAN ANSHORY

PADA zaman purba, kepulauan tanah air kita disebut dengan aneka nama. 
Dalam catatan bangsa Tionghoa kawasan kepulauan kita dinamai Nan-hai 
(Kepulauan Laut Selatan). Berbagai catatan kuno bangsa India menamai 
kepulauan ini Dwipantara (Kepulauan Tanah Seberang), nama yang 
diturunkan dari kata Sansekerta dwipa (pulau) dan antara (luar, 
seberang). Kisah Ramayana karya pujangga Valmiki yang termasyhur itu 
menceritakan pencarian terhadap Sinta, istri Rama yang diculik 
Ravana, sampai ke Suwarnadwipa (Pulau Emas, yaitu Sumatra sekarang) 
yang terletak di Kepulauan Dwipantara.
 
Bangsa Arab menyebut tanah air kita Jaza'ir al-Jawi (Kepulauan Jawa). 
Nama Latin untuk kemenyan adalah benzoe, berasal dari bahasa Arab 
luban jawi (kemenyan Jawa), sebab para pedagang Arab memperoleh 
kemenyan dari batang pohon Styrax sumatrana yang dahulu hanya tumbuh 
di Sumatra. Sampai hari ini jemaah haji kita masih sering 
dipanggil "Jawa" oleh orang Arab. Bahkan orang Indonesia luar Jawa 
sekalipun. "Samathrah, Sholibis, Sundah, kulluh Jawi (Sumatra, 
Sulawesi, Sunda, semuanya Jawa)" kata seorang pedagang di Pasar Seng, 
Mekah.
 
Lalu tibalah zaman kedatangan orang Eropa ke Asia. Bangsa-bangsa 
Eropa yang pertama kali datang itu beranggapan bahwa Asia hanya 
terdiri dari Arab, Persia, India, dan Cina. Bagi mereka, daerah yang 
terbentang luas antara Persia dan Cina semuanya adalah "Hindia". 
Semenanjung Asia Selatan mereka sebut "Hindia Muka" dan daratan Asia 
Tenggara dinamai "Hindia Belakang". Sedangkan tanah air kita 
memperoleh nama "Kepulauan Hindia" (Indische Archipel, Indian 
Archipelago, l'Archipel Indien) atau "Hindia Timur" (Oost Indie, East 
Indies, Indes Orientales). Nama lain yang juga dipakai 
adalah "Kepulauan Melayu" (Maleische Archipel, Malay Archipelago, 
l'Archipel Malais).
 
Ketika tanah air kita terjajah oleh bangsa Belanda, nama resmi yang 
digunakan adalah Nederlandsch-Indie (Hindia Belanda), sedangkan 
pemerintah pendudukan Jepang 1942-1945 memakai istilah To-Indo 
(Hindia Timur). Eduard Douwes Dekker (1820-1887), yang dikenal dengan 
nama samaran Multatuli, pernah mengusulkan nama yang spesifik untuk 
menyebutkan kepulauan tanah air kita, yaitu Insulinde, yang artinya 
juga "Kepulauan Hindia" (bahasa Latin insula berarti pulau). Tetapi 
rupanya nama Insulinde ini ku rang populer. Bagi orang Bandung, 
Insulinde mungkin cuma dikenal sebagai nama toko buku yang pernah ada 
di Jalan Otista.
 
Pada tahun 1920-an, Ernest Francois Eugene Douwes Dekker (1879-1950), 
yang kita kenal sebagai Dr. Setiabudi (beliau adalah cucu dari adik 
Multatuli), memopulerkan suatu nama untuk tanah air kita yang tidak 
mengandung unsur kata "India". Nama itu tiada lain adalah Nusantara, 
suatu istilah yang telah tenggelam berabad-abad lamanya. Setiabudi 
mengambil nama itu dari Pararaton, naskah kuno zaman Majapahit yang 
ditemukan di Bali pada akhir abad ke-19 lalu diterjemahkan oleh 
J.L.A. Brandes dan diterbitkan oleh Nicholaas Johannes Krom pada 
tahun 1920.
 
Namun perlu dicatat bahwa pengertian Nusantara yang diusulkan 
Setiabudi jauh berbeda dengan pengertian, nusantara zaman Majapahit. 
Pada masa Majapahit Nusantara digunakan untuk men yebutkan pulau-pulau 
di luar Jawa (antara dalam bahasa Sansekerta artinya luar, seberang) 
sebagai lawan dari Jawadwipa (Pulau Jawa). Kita tentu pernah 
mendengar Sumpah Palapa dari Gajah Mada, "Lamun huwus kalah 
nusantara, isun amukti palapa" (Jika telah kalah pulau-pulau 
seberang, barulah saya menikmati istirahat). Oleh Dr. Setiabudi kata 
nusantara zaman Majapahit yang berkonotasi jahiliyah itu diberi 
pengertian yang nasionalistis. Dengan mengambil kata Melayu asli > 
antara, maka Nusantara kini memiliki arti yang baru yaitu "nusa di 
antara dua benua dan dua samudra", sehingga Jawa pun termasuk dalam 
definisi nusantara yang modern. Istilah nusantara dari Setiabudi ini 
dengan cepat menjadi populer penggunaannya sebagai alternatif dari 
nama Hindia Belanda.
 
Sampai hari ini istilah nusantara tetap kita pakai untuk menyebutkan 
wilayah tanah air kita dari Sabang sampai Merauke. Tetapi nama resmi 
bangsa dan negara kita adalah Indonesia. Kini akan kita telusuri dari 
mana gerangan nama yang sukar bagi lidah Melayu ini muncul. 
 
Nama Indonesia
 
Pada tahun 1847 di Singapura terbit sebuah majalah ilmiah tahunan, 
Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia (JIAEA), yang 
dikelola oleh James Richardson Logan (1819-1869), orang Skotlandia 
yang meraih sarjana hukum dari Universitas Edinburgh. Kemudian pada 
tahun 1849 seorang ahli etnologi bangsa Inggris, George Samuel 
Windsor Earl (1813-1865), menggabungkan diri sebagai redaksi majalah 
JIAEA. 
 
Dalam JIAEA Volume IV tahun 1850, halaman 66-74, Earl menulis artikel 
On the Leading Characteristics of the Papuan, Australian and Malay-
 Polynesian Nations. Dalam artikelnya itu Earl menegaskan bahwa sudah 
tiba saatnya bagi penduduk Kepulauan Hindia at au Kepulauan Melayu 
untuk memiliki nama khas (a distinctive name), sebab nama Hindia 
tidaklah tepat dan sering rancu dengan penyebutan India yang lain. 
Earl mengajukan dua pilihan nama: Indunesia atau Malayunesia (nesos 
dalam bahasa Yunani berarti pulau). Pada halaman 71 artikelnya itu 
tertulis: ... the inhabitants of the Indian Archipelago or Malayan 
Archipelago would become respectively Indunesians or Malayunesians.
 
Earl sendiri menyatakan memilih nama Malayunesia (Kepulauan Melayu) 
daripada Indunesia (Kepulauan Hindia), sebab Malayunesia sangat tepat 
untuk ras Melayu, sedangkan Indunesia bisa juga digunakan untuk 
Ceylon (Srilanka) dan Maldives (Maladewa). Lagi pula, kata Earl, 
bukankah bahasa Melayu dipakai di seluruh kepulauan ini? Dalam 
tulisannya itu Earl memang menggunakan istilah Malayunesia dan tidak 
memakai istilah Indunesia. 
 
Dalam JIAEA Volume IV itu juga, halaman 252-347, James Richardson 
Logan menulis artikel The Ethnology of the Indian Archipelago. Pada 
awal tulisannya, Logan pun menyatakan perlunya nama khas bagi 
kepulauan tanah air kita, sebab istilah "Indian Archipelago" terlalu 
panjang dan membingungkan. Logan memungut nama Indunesia yang dibuang 
Earl, dan huruf u digantinya dengan huruf o agar ucapannya lebih 
baik. Maka lahirlah istilah Indonesia.
 
Untuk pertama kalinya kata Indonesia muncul di dunia dengan tercetak 
pada halaman 254 dalam tulisan Logan: Mr. Earl suggests the 
ethnographical term Indunesian, but rejects it in favour of 
Malayunesian. I prefer the purely geographical term Indonesia, which 
is merely a shorter synonym for the Indian Islands or the Indian 
Archipelago. Ketika mengusulkan nama "Indonesia" agaknya Logan tidak 
menyadari bahwa di kemudian hari nama i tu akan menjadi nama bangsa 
dan negara yang jumlah penduduknya peringkat keempat terbesar di muka 
bumi!
 
Sejak saat itu Logan secara konsisten menggunakan nama "Indonesia" 
dalam tulisan-tulisan ilmiahnya, dan lambat laun pemakaian istilah 
ini menyebar di kalangan para ilmuwan bidang etnologi dan geografi. 
Pada tahun 1884 guru besar etnologi di Universitas Berlin yang 
bernama Adolf Bastian (1826-1905) menerbitkan buku Indonesien oder 
die Inseln des Malayischen Archipel sebanyak lima volume, yang memuat 
hasil penelitiannya ketika mengembara ke tanah air kita tahun 1864 
sampai 1880. Buku Bastian inilah yang memopulerkan 
istilah "Indonesia" di kalangan sarjana Belanda, sehingga sempat 
timbul anggapan bahwa istilah "Indonesia" itu ciptaan Bastian. 
Pendapat yang tidak benar itu, antara lain tercantum dalam > 
Encyclopedie van Nederlandsch-Indie tahun 1918. Padahal Bastian 
mengambil istilah "Indonesia" itu dari tulisan-tulisan Logan.
 
Putra ibu pertiwi yang mula-mula menggunakan istilah "Indonesia" 
adalah Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara). Ketika di buang ke 
negeri Belanda tahun 1913 beliau mendirikan sebuah biro pers dengan 
nama Indonesische Pers-bureau.
 
Makna politis
 
Pada dasawarsa 1920-an, nama "Indonesia" yang merupakan istilah 
ilmiah dalam etnologi dan geografi itu diambil alih oleh tokoh-tokoh 
pergerakan kemerdekaan tanah air kita, sehingga nama "Indonesia" 
akhirnya memiliki makna politis, yaitu identitas suatu bangsa yang 
memperjuangkan kemerdekaan! Akibatnya pemerintah Belanda mulai curiga 
dan waspada terhadap pemakaian kata ciptaan Logan itu. 
 
Pada tahun 1922 atas inisiatif Mohammad Hatta, seorang mahasiswa 
Handels Hoogeschool (Sekolah Tinggi Ekonomi) di Rotterdam, organisasi 
pelajar dan mahasiswa Hindia di Negeri Belanda (yang terbentuk tahun 
1908 dengan nama Indische Vereeniging) berubah nama menjadi 
Indonesische Vereeniging atau Perhimpoenan Indonesia. Majalah mereka, 
Hindia Poetra, berganti nama menjadi Indonesia Merdeka.
 
Bung Hatta menegaskan dalam tulisannya, "Negara Indonesia Merdeka 
yang akan datang (de toekomstige vrije Indonesische staat) mustahil 
disebut "Hindia Belanda". Juga tidak "Hindia" saja, sebab dapat 
menimbulkan kekeliruan dengan India yang asli. Bagi kami nama 
Indonesia menyatakan suatu tujuan politik (een politiek doel), karena 
melambangkan dan mencita-citakan suatu tanah air di masa depan, dan 
untuk mewujudkannya tiap orang Indonesia (Indonesier) akan berusaha 
dengan segala tenaga dan kemampuannya." 
 
Sementara itu, di tanah air Dr. Sutomo mendirikan Indonesische Studie 
Club pada tahun 1924. Tahun itu juga Perserikatan Komunis Hindia 
berganti nama menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI). Lalu pada tahun 
1925 Jong Islamieten Bond membentuk kepanduan Nationaal Indonesische 
Padvinderij (Natipij). Itulah tiga organisasi di tanah air yang mula-
 mula menggunakan nama "Indonesia". Akhirnya nama "Indonesia" 
dinobatkan sebagai nama tanah air, bangsa dan bahasa kita pada 
Kerapatan Pemoeda-Pemoedi Indonesia tanggal 28 Oktober 1928, yang 
kini kita sebut Sumpah Pemuda.
 
Pada bulan Agustus 1939 tiga orang anggota Volksraad (Dewan Rakyat; 
DPR zaman Belanda), Muhammad Husni Thamrin, Wiwoho Purbohadidjojo, 
dan Sutardjo Kartohadikusumo, mengajukan mosi kepada Pemerintah 
Belanda agar nama "Indonesia" diresmikan sebagai pengganti 
nama "Nederlandsch-Indie". Tetapi Belanda keras kepala sehingga mosi 
ini ditolak mentah-mentah. 
 
Maka kehendak Allah pun berlaku. Dengan jatuhnya tanah air kita ke 
tangan Jepang pada tanggal 8 Maret 1942, lenyaplah nama "Hindia 
Belanda" untuk selama-lamanya. Lalu pada tanggal 17 Agustus 1945, 
atas berkat rahmat Allah Yang Mahakuasa, lahirlah Republik Indonesia.
 
Dirgahayu Indonesiaku!
 
Penulis, Direktur Pendidikan "Ganesha Operation"
Prev: A Tribute to the 19th Century Oil Finders in Indonesia
Next: 17 Agustus dalam Versi Berbeda

http://indonesiancommunity.multiply.com/journal/item/24

Asal usul : Indonesia


SATURDAY, 7. MARCH 2009, 04:28:15

Berhubung menunggu berita update dari kegiatan paskibra kita, hehe daripada ga ada update
sama sekali,,ini saya repost artikel aja ya,, siapa tahu bermanfaat,,
douzo,,,

Asal Usul Nama Indonesia


Oleh IRFAN ANSHORY

PADA zaman purba, kepulauan tanah air kita disebut dengan aneka nama. Dalam catatan
bangsa Tionghoa kawasan kepulauan kita dinamai *Nan-hai* (Kepulauan Laut Selatan). Berbagai
catatan kuno bangsa India menamai kepulauan ini *Dwipantara* (Kepulauan Tanah Seberang),
nama yang diturunkan dari kata Sansekerta *dwipa* (pulau) dan *antara* (luar, seberang).

Kisah Ramayana karya pujangga Valmiki yang termasyhur itu menceritakan pencarian terhadap
Sinta, istri Rama yang diculik Ravana, sampai ke *Suwarnadwipa* (Pulau Emas, yaitu Sumatra
sekarang) yang terletak di Kepulauan Dwipantara.

Bangsa Arab menyebut tanah air kita *Jaza'ir al-Jawi* (Kepulauan Jawa). Nama Latin untuk
kemenyan adalah *benzoe*, berasal dari bahasa Arab *luban jawi*(kemenyan Jawa), sebab para
pedagang Arab memperoleh kemenyan dari batang pohon *Styrax sumatrana* yang dahulu
hanya tumbuh di Sumatra.

Sampai hari ini jemaah haji kita masih sering dipanggil "Jawa" oleh orang Arab. Bahkan orang
Indonesia luar Jawa sekalipun. "Samathrah, Sholibis, Sundah, kulluh Jawi (Sumatra, Sulawesi,
Sunda, semuanya Jawa)" kata seorang pedagang di Pasar Seng, Mekah.

Lalu tibalah zaman kedatangan orang Eropa ke Asia. Bangsa-bangsa Eropa yang pertama kali
datang itu beranggapan bahwa Asia hanya terdiri dari Arab, Persia, India, dan Cina. Bagi
mereka, daerah yang terbentang luas antara Persia dan Cina semuanya adalah "Hindia".
Semenanjung Asia Selatan mereka
sebut "Hindia Muka" dan daratan Asia Tenggara dinamai "Hindia Belakang". Sedangkan tanah air
kita memperoleh nama "Kepulauan Hindia" (*Indische Archipel, Indian Archipelago, l'Archipel
Indien*) atau "Hindia Timur" *(Oost Indie, East Indies, Indes Orientales)* . Nama lain yang juga
dipakai adalah
"Kepulauan Melayu" (*Maleische Archipel, Malay Archipelago, l'Archipel Malais*).
Ketika tanah air kita terjajah oleh bangsa Belanda, nama resmi yang digunakan adalah
*Nederlandsch- Indie* (Hindia Belanda), sedangkan pemerintah pendudukan Jepang 1942-1945
memakai istilah *To-Indo* (Hindia Timur). Eduard Douwes Dekker (1820-1887), yang dikenal
dengan nama samaran Multatuli,
pernah mengusulkan nama yang spesifik untuk menyebutkan kepulauan tanah air kita, yaitu
*Insulinde*, yang artinya juga "Kepulauan Hindia" (bahasa Latin *insula* berarti pulau). Tetapi
rupanya nama *Insulinde* ini kurang populer. Bagi orang Bandung, *Insulinde* mungkin cuma
dikenal sebagai nama toko buku yang pernah ada di Jalan Otista.

Pada tahun 1920-an, Ernest Francois Eugene Douwes Dekker (1879-1950), yang kita kenal
sebagai Dr. Setiabudi (beliau adalah cucu dari adik Multatuli), memopulerkan suatu nama untuk
tanah air kita yang tidak mengandung unsur kata "India". Nama itu tiada lain adalah Nusantara,
suatu istilah yang telah
tenggelam berabad-abad lamanya. Setiabudi mengambil nama itu dari Pararaton, naskah kuno
zaman Majapahit yang ditemukan di Bali pada akhir abad ke-19 lalu diterjemahkan oleh J.L.A.
Brandes dan diterbitkan oleh Nicholaas Johannes Krom pada tahun 1920.

Namun perlu dicatat bahwa pengertian Nusantara yang diusulkan Setiabudi jauh berbeda
dengan pengertian, nusantara zaman Majapahit. Pada masa Majapahit Nusantara digunakan
untuk menyebutkan pulau-pulau di luar Jawa (antara dalam bahasa Sansekerta artinya luar,
seberang) sebagai lawan dari
*Jawadwipa*( Pulau Jawa). Kita tentu pernah mendengar Sumpah Palapa dari Gajah Mada,
*"Lamun huwus kalah nusantara, isun amukti palapa" *(Jika telah kalah pulau-pulau seberang,
barulah saya menikmati istirahat). Oleh Dr. Setiabudi kata nusantara zaman Majapahit yang
berkonotasi jahiliyah
itu diberi pengertian yang nasionalistis. Dengan mengambil kata Melayu asli antara, maka
Nusantara kini memiliki arti yang baru yaitu "nusa di antara dua benua dan dua samudra",
sehingga Jawa pun termasuk dalam definisi nusantara yang modern. Istilah nusantara dari
Setiabudi ini dengan cepat menjadi populer
penggunaannya sebagai alternatif dari nama Hindia Belanda.

Sampai hari ini istilah nusantara tetap kita pakai untuk menyebutkan wilayah tanah air kita dari
Sabang sampai Merauke. Tetapi nama resmi bangsa dan negara kita adalah Indonesia. Kini akan
kita telusuri dari mana gerangan nama yang sukar bagi lidah Melayu ini muncul.

Nama Indonesia
Pada tahun 1847 di Singapura terbit sebuah majalah ilmiah tahunan, *Journal of the Indian
Archipelago and Eastern Asia* (JIAEA), yang dikelola oleh James Richardson Logan (1819-1869),
orang Skotlandia yang meraih sarjana hukum dari Universitas Edinburgh. Kemudian pada tahun
1849 seorang ahli etnologi bangsa Inggris, George Samuel Windsor Earl (1813-
1865),menggabungkan diri sebagai redaksi majalah JIAEA.

Dalam JIAEA Volume IV tahun 1850, halaman 66-74, Earl menulis artikel *On the Leading
Characteristics of the Papuan, Australian and Malay-Polynesian Nations*. Dalam artikelnya itu
Earl menegaskan bahwa sudah tiba saatnya bagi penduduk Kepulauan Hindia atau Kepulauan
Melayu untuk memiliki nama khas (*a
distinctive name*), sebab nama Hindia tidaklah tepat dan sering rancu dengan penyebutan
India yang lain. Earl mengajukan dua pilihan nama:
*Indunesia* atau *Malayunesia* (*nesos* dalam bahasa Yunani berarti pulau). Pada halaman 71
artikelnya itu tertulis: *... the inhabitants of the Indian Archipelago or Malayan Archipelago
would become respectively Indunesians or Malayunesians.*

Earl sendiri menyatakan memilih nama *Malayunesia* (Kepulauan Melayu) daripada *Indunesia*
(Kepulauan Hindia), sebab *Malayunesia* sangat tepat untuk ras Melayu, sedangkan *Indunesia*
bisa juga digunakan untuk Ceylon (Srilanka) dan Maldives (Maladewa). Lagi pula, kata Earl,
bukankah bahasa Melayu dipakai di seluruh kepulauan ini? Dalam tulisannya itu Earl memang
menggunakan istilah *Malayunesia* dan tidak memakai istilah *Indunesia*.

Dalam JIAEA Volume IV itu juga, halaman 252-347, James Richardson Logan menulis artikel
*The Ethnology of the Indian Archipelago. * Pada awal tulisannya, Logan pun menyatakan
perlunya nama khas bagi kepulauan tanah air kita, sebab istilah "Indian Archipelago" terlalu
panjang dan membingungkan. Logan memungut nama *Indunesia* yang dibuang Earl, dan huruf
u digantinya dengan huruf o agar ucapannya lebih baik. Maka lahirlah istilah Indonesia.

Untuk pertama kalinya kata Indonesia muncul di dunia dengan tercetak pada halaman 254
dalam tulisan Logan: *Mr. Earl suggests the ethnographical term Indunesian, but rejects it in
favour of Malayunesian. I prefer the purely geographical term Indonesia, which is merely a
shorter synonym for the Indian Islands or the Indian Archipelago. *

Ketika mengusulkan nama "Indonesia" agaknya Logan tidak menyadari bahwa di kemudian hari
nama itu akan menjadi nama bangsa dan negara yang jumlah penduduknya peringkat keempat
terbesar di muka bumi!

Sejak saat itu Logan secara konsisten menggunakan nama "Indonesia" dalam tulisan-tulisan
ilmiahnya, dan lambat laun pemakaian istilah ini menyebar di kalangan para ilmuwan bidang
etnologi dan geografi. Pada tahun 1884 guru besar etnologi di Universitas Berlin yang bernama
Adolf Bastian (1826-1905)
menerbitkan buku *Indonesien oder die Inseln des Malayischen Archipel* sebanyak lima volume,
yang memuat hasil penelitiannya ketika mengembara ke tanah air kita tahun 1864 sampai 1880.
Buku Bastian inilah yang
memopulerkan istilah "Indonesia" di kalangan sarjana Belanda, sehingga sempat timbul
anggapan bahwa istilah "Indonesia" itu ciptaan Bastian. Pendapat yang tidak benar itu, antara
lain tercantum dalam *Encyclopedie van Nederlandsch- Indie*tahun 1918. Padahal Bastian
mengambil istilah "Indonesia" itu dari tulisan-tulisan Logan.

Putra ibu pertiwi yang mula-mula menggunakan istilah "Indonesia" adalah Suwardi Suryaningrat
(Ki Hajar Dewantara). Ketika di buang ke negeri Belanda tahun 1913 beliau mendirikan sebuah
biro pers dengan nama *Indonesische Pers-bureau. *

Makna politis
Pada dasawarsa 1920-an, nama "Indonesia" yang merupakan istilah ilmiah dalam etnologi dan
geografi itu diambil alih oleh tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan tanah air kita, sehingga
nama "Indonesia" akhirnya memiliki makna politis, yaitu identitas suatu bangsa yang
memperjuangkan kemerdekaan! Akibatnya pemerintah Belanda mulai curiga dan waspada
terhadap pemakaian kata ciptaan Logan itu.

Pada tahun 1922 atas inisiatif Mohammad Hatta, seorang mahasiswa *Handels Hoogeschool*
(Sekolah Tinggi Ekonomi) di Rotterdam, organisasi pelajar dan mahasiswa Hindia di Negeri
Belanda (yang terbentuk tahun 1908 dengan nama *Indische Vereeniging* ) berubah nama
menjadi *Indonesische Vereeniging* atau Perhimpoenan Indonesia. Majalah mereka, Hindia
Poetra, berganti nama menjadi Indonesia Merdeka.

Bung Hatta menegaskan dalam tulisannya, "Negara Indonesia Merdeka yang akan datang (*de
toekomstige vrije Indonesische staat*) mustahil disebut "Hindia Belanda". Juga tidak "Hindia"
saja, sebab dapat menimbulkan kekeliruan dengan India yang asli.

Bagi kami nama Indonesia menyatakan suatu tujuan politik (*een politiek doel*), karena
melambangkan dan mencita-citakan suatu tanah air di masa depan, dan untuk mewujudkannya
tiap orang Indonesia (*Indonesier*) akan berusaha dengan segala tenaga dan kemampuannya. "

Sementara itu, di tanah air Dr. Sutomo mendirikan *Indonesische Studie Club*pada tahun 1924.
Tahun itu juga Perserikatan Komunis Hindia berganti nama menjadi Partai Komunis Indonesia
(PKI). Lalu pada tahun 1925 *Jong Islamieten Bond* membentuk kepanduan *Nationaal
Indonesische Padvinderij* (Natipij) . Itulah tiga organisasi di tanah air yang mula-mula
menggunakan nama "Indonesia". Akhirnya nama "Indonesia" dinobatkan sebagai nama tanah air,
bangsa dan bahasa kita pada Kerapatan Pemoeda-Pemoedi Indonesia tanggal 28 Oktober 1928,
yang kini kita sebut Sumpah Pemuda.

Pada bulan Agustus 1939 tiga orang anggota *Volksraad* (Dewan Rakyat; DPR zaman Belanda),
Muhammad Husni Thamrin, Wiwoho Purbohadidjojo, dan Sutardjo Kartohadikusumo,
mengajukan mosi kepada Pemerintah Belanda agar nama "Indonesia" diresmikan sebagai
pengganti nama "Nederlandsch- Indie". Tetapi Belanda keras kepala sehingga mosi ini ditolak
mentah-mentah.

Maka kehendak Allah pun berlaku. Dengan jatuhnya tanah air kita ke tangan Jepang pada
tanggal 8 Maret 1942, lenyaplah nama "Hindia Belanda" untuk selama-lamanya. Lalu pada
tanggal 17 Agustus 1945, atas berkat rahmat Allah Yang Mahakuasa, lahirlah Republik
Indonesia.

*Penulis,* *Direktur Pendidikan "Ganesha Operation"*


http://my.opera.com/paskistemba/blog/asal-usul-indonesia

Asal Usul Orang India (Tamil) di Sumatera Utara


By:  Prof.H.Ahmad Samin Siregar

Buku bertajuk Orang India di Sumatera Utara (The Indians in North Sumatera) yang ditulis oleh Tuanku
Luckman Sinar Basarsyah-II, S.H. diterbitkan Forum Komunikasi Antara Lembaga Adat (Forkala) Sumatera
Utara.
Judul    :    Orang India di Sumatera Utara
Tahun Terbit    :    2008
Ukuran buku    :    16 x 21 Cm
Bahasa    :    Indonesia
Penerbit/Kota    :    Forkala - Sumut

Buku ini disusun dengan sangat sederhana, tetapi mengandung informasi yang sangat menarik. Banyak hal
yang tidak diketahui masyarakat Indonesia tentang sepak terjang orang Tamil selama ini di Sumatera Utara,
terutama pada saat zaman perjuangan kemerdekaan. Padahal menurut penulis buku ini,  masyarakat India
dengan masyarakat Indonesia di Sumatera Utara telah berhubungan sejak abad ke-3. Bahkan masyarakat
Tamil, yang beragama Islam, amat jelas pengaruhnya pada masyarakat Melayu Sumatera Timur. Hal itu,
umpamanya, tampak dengan jelas ketika Tuanku Sri Paduka Gocah Pahlawan (yang berasal dari India)
diangkat menjadi raja di Kerajaan Deli.

Buku Orang India di Sumatera Utara (The Indians in North Sumatera) ini membicarakan tentang asal usul
orang India, terutama orang Tamil, di Sumatera Utara umumnya, dan khususnya  di Kota Medan.
Pembicaraan ini menjadi menarik karena banyak di antara anggota masyarakat Indonesia di Sumatera
Utara umumnya, dan di Kota Medan khususnya yang tidak mengenal dengan baik peranan orang India,
terutama orang Tamil, dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Memang, seharusnya
peranan orang Tamil itu tidak dapat “hanya dipandang dengan sebelah mata saja”. Masyarakat Tamil di
Sumatera Utara, yang sudah menjadi bagian dari warga negara Indonesia dari dahulu sampai sekarang,
selalu ikut berperan aktif membangun, membina, dan melestarikan persatuan dan kesatuan di dalam
perjalanan sejarah bangsa Indonesia.

Luckman Sinar dalam bukunya ini juga menyinggung tentang orang Sikh di Sumatera Utara walaupun tidak
terlalu mendalam, hanya dua halaman lebih sedikit. Orang Sikh, yang merupakan bagian dari orang India
dan berasal dari Punyab, juga ikut memberikan andil dalam pembangunan di Sumatera Utara umumnya.
Beberapa orang tokoh Sikh yang berada di Sumatera Utara kemudian membangun sebuah sekolah
menengah yang cukup terkenal di Sumatera Utara dengan nama Khalsa English School. Sampai-sampai
sekolah ini pernah menjadi pusat pengajaran dan pendidikan bahasa Inggeris di Sumatera Utara umumnya
dan di Kota Medan khususnya. Namun, sepak terjang orang-orang Sikh ini di Sumatera Utara tidak sebesar
orang-orang Tamil karena jumlahnya yang tidak sebanding. Biasanya, orang-orang Sikh ini bermata
pencaharian sebagai pengusaha toko alat-alat olahraga.

Kedatangan Buruh Tamil di Sumatera Timur

Buku Orang India di Sumatera Utara (The Indians in North Sumatera) ini juga men-ceriterakan tentang asal-
usul kedatangan orang Tamil ke Sumatera Utara (yang dulunya disebut dengan Keresidenan Sumatera
Timur). Orang-orang Tamil, yang berasal dari India ini, umumnya adalah imigran dan kemudian menjadi
buruh di Sumatera Timur. Orang-orang Tamil menjadi kuli yang membawa bal-bal tembakau hasil
perkebunan dari Sumatera Timur dengan perahu yang kemudian diekspor ke Negeri Belanda. Buruh Tamil
ini dipergunakan oleh Belanda untuk mengangkut hasil perkebunan, berupa tembakau, melalui transportasi
darat dengan kereta lembu. Namun, penulis buku ini tidak menjelaskan kemudian bagaimana profesi orang-
orang Tamil ini berjalan setelah orang-orang Cina, yang datang dari Malaya, menjadi buruh di perkebunan.

Salah satu penyebab terjadinya migrasi orang-orang Tamil dari India Selatan ke Sumatera Timur adalah
karena terjadinya “bahaya kelaparan” (halaman 9). Sebenarnya, masalah ini harus dapat lebih diperjelas
pembuktian kebenarannya oleh penulis buku ini. Sayangnya, yang dikutip penulis buku ini hanyalah
pendapat Cremer (orang Belanda, pada halaman 10) yang menyatakan bahwa orang-orang Tamil ini
“merupakan sumber kuli yang yang baik”, karena bekerja sebagai sais kereta lembu dan kuli harian, dan
bekerja sangat rajin. Oleh sebab kerajinannya itu, orang-orang Belanda amat suka mempekerjakan mereka
di bidang sais dan kuli itu. Permasalahan yang menguntungkan inilah yang menyebabkan orang Belanda
berusaha menarik orang-orang Tamil untuk datang ke Sumatera Timur dan bekerja di perkebunan
tembakau mereka.

Pemerintah penjajahan Belanda yang berada di Sumatera Timur pada masa itu telah pula menyediakan
perkebunan sebagai tempat bekerja kaum pendatang orang-orang Tamil dari India Selatan ini. Umumnya,
orang-orang Tamil tersebut menjadi kuli di berbagai macam perkebunan milik penjajah Belanda yang saat
itu sedang berkembang dengan pesatnya di Sumatera Timur. Orang-orang Tamil ini terutama telah
dijadikan sebagai tukang kayuh sampan ataupun sais pedati. Kuli-kuli Tamil ini kemudian tidak dipakai lagi
oleh Belanda dengan kedatangan “kuli kontrak” dari Jawa. Kemudian orang-orang Tamil ini datang dari
Malaysia ke Sumatera Timur secara bebas. Orang-orang India ini umumnya menjadi pedagang dan
sebagian menjadi “ceti” (orang yang membungakan uang). Ada pula yang disebut dengan “orang Bombay” 
yang membuka berbagai toko pakaian dan toko olah raga.

Ada lagi orang-orang Tamil, yang berasal dari India Selatan ini, sampai ke Sumatera Timur melalui
Malaysia, yang ketika itu bernama Malaya. Sebenarnya, banyak aturan yang telah dibuat pemerintah
Inggeris di Malaya ketika itu, yang mencoba untuk menghalang-halangi orang-orang Tamil menjadi Migran
ke Sumatera Timur. Bahkan, kapal yang berlayar ke Sumatera Timur dilarang membawa penumpang orang
India, terutama orang Tamil. Oleh karena itu, Cramer mengusulkan agar perkebunan di Sumatera Timur
mengadakan pelayaran langsung ke India dengan biaya yang murah untuk mengangkut buruh orang-orang
Tamil.

Orang India di Sumatera Utara Pada Masa Jepang Sampai Masa Kemerdekaan

Pada masa pendudukan Jepang, bala tentera Jepang telah menghancurkan perkebunan yang ada di
Sumatera Timur untuk ditanami padi dan jagung. Ketika itu pulalah orang-orang Tamil di Sumatera Timur
(1942-1945) telah dijadikan sebagai “boneka”. Pemerintah pendudukan tentera Jepang telah membentuk
pemerintahan “India Merdeka” yang dipimpin oleh Subhas Chandra Bose. Dialah yang membentuk tentera
Indian National Army (INA). Umumnya, tentera ini berasal dari orang India mantan tentera Inggeris yang
ditawan Jepang. Sayangnya, penulis buku ini tidak meneruskan pembicaraan bagaimana sebenarnya nasib
dan riwayat tentera yang berasal dari orang India ini, termasuk orang Tamil dan Sikh.

Buku ini walaupun sangat sederhana karena hanya setebal 29 halaman, tetapi telah banyak memberikan
informasi tentang orang India, terutama orang Tamil, di Sumatera Utara  dan di Kota Medan. Sebagai
catatan sejarah, buku ini banyak memberikan informasi kepada orang yang mengenal dengan baik sepak
terjang orang India, terutama orang Tamil, di Sumatera Utara dari dahulu sampai sekarang. Orang-orang
Tamil, terutama yang beragama Islam, yang menjadi tentera Sekutu/Inggeris ketika perang kemerdekaan di
Sumatera Utara banyak yang menyeberang ke pasukan tentera Indonesia. Mereka ini umumnya dapat
menyesuaikan diri dengan keadaan dan situasi di Sumatera Utara sampai sekarang, Akhirnya, etnik Tamil
ini di Sumatera Utara menjadi warga yang baik seperti warga lainnya.

Buku ini ditulis pengarang dalam dua bahasa yaitu bahasa sumbernya bahasa Indonesia dan bahasa
terjemahannya bahasa Inggeris.***

Sekilas tentang Sejarah Bahasa Indonesia


May 20th, 2009 by

Bahasa Indonesia lahir pada tanggal 28 Oktober 1928. pada saat itu, para pemuda dari
berbagai pelosok Nusantara berkumpul dalam Kerapatan Pemuda dan berikrar (1)
bertumpah darah yang satu, tanah Indonesia, (2) berbangsa yang satu, bangsa Indonesia,
dan (3) menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Ikrar para pemuda ini dikenal
dengan nama Sumpah Pemuda.
Unsur yang ketiga dari Sumpah Pemuda merupakan pernyataan tekad bahwa bahasa
Indonesia merupakan bahasa persatuan bangsa Indonesia. Pada tahun 1928 itulah bahasa
Indonesia dikukuhkan kedudukannya sebagai bahasa nasional.

Bahasa Indonesia dinyatakan kedudukannya sebagai bahasa negara pada tanggal 18


Agustus 1945 karena pada saat itu Undang-Undang Dasar 1945 disahkan sebagai Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Dalam Undang-Undang Dasar 1945
disebutkan bahwa Bahasa negara ialah bahasa Indonesia (Bab XV, Pasal 36).

Keputusan Kongres Bahasa Indonesia II tahun 1954 di Medan, antara lain, menyatakan
bahwa bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu. Bahasa Indonesia tumbuh dan
berkembang dari bahasa Melayu yang sejak zaman dulu sudah dipergunakan sebagai
bahasa perhubungan (lingua franca) bukan hanya di Kepulauan Nusantara, melainkan juga
hampir di seluruh Asia Tenggara.

Bahasa Melayu mulai dipakai di kawasan Asia Tenggara sejak abad ke-7. Bukti yang
menyatakan itu ialah dengan ditemukannya prasasti di Kedukan Bukit berangka tahun 683
M (Palembang), Talang Tuwo berangka tahun 684 M (Palembang), Kota Kapur berangka
tahun 686 M (Bangka Barat), dan Karang Brahi berangka tahun 688 M (Jambi). Prasasti
itu bertuliskan huruf Pranagari berbahasa Melayu Kuna. Bahasa Melayu Kuna itu tidak
hanya dipakai pada zaman Sriwijaya karena di Jawa Tengah (Gandasuli) juga ditemukan
prasasti berangka tahun 832 M dan di Bogor ditemukan prasasti berangka tahun 942 M
yang juga menggunakan bahasa Melayu Kuna.

Pada zaman Sriwijaya, bahasa Melayu dipakai sebagai bahasa kebudayaan, yaitu bahasa
buku pelajaran agama Budha. Bahasa Melayu juga dipakai sebagai bahasa perhubungan
antarsuku di Nusantara dan sebagai bahasa perdagangan, baik sebagai bahasa antarsuku di
Nusantara maupun sebagai bahasa yang digunakan terhadap para pedagang yang datang
dari luar Nusantara.

Informasi dari seorang ahli sejarah Cina, I-Tsing, yang belajar agama Budha di Sriwijaya,
antara lain, menyatakan bahwa di Sriwijaya ada bahasa yang bernama Koen-louen (I-
Tsing:63,159), Kou-luen (I-Tsing:183), K’ouen-louen (Ferrand, 1919), Kw’enlun
(Alisjahbana, 1971:1089). Kun’lun (Parnikel, 1977:91), K’un-lun (Prentice, 1078:19),
yang berdampingan dengan Sanskerta. Yang dimaksud Koen-luen adalah bahasa
perhubungan (lingua franca) di Kepulauan Nusantara, yaitu bahasa Melayu.

Perkembangan dan pertumbuhan bahasa Melayu tampak makin jelas dari peninggalan
kerajaan Islam, baik yang berupa batu bertulis, seperti tulisan pada batu nisan di Minye
Tujoh, Aceh, berangka tahun 1380 M, maupun hasil susastra (abad ke-16 dan ke-17),
seperti Syair Hamzah Fansuri, Hikayat Raja-Raja Pasai, Sejarah Melayu, Tajussalatin, dan
Bustanussalatin.

Bahasa Melayu menyebar ke pelosok Nusantara bersamaan dengan menyebarnya agama


Islam di wilayah Nusantara. Bahasa Melayu mudah diterima oleh masyarakat Nusantara
sebagai bahasa perhubungan antarpulau, antarsuku, antarpedagang, antarbangsa, dan
antarkerajaan karena bahasa Melayu tidak mengenal tingkat tutur.

Bahasa Melayu dipakai di mana-mana di wilayah Nusantara serta makin berkembang dan
bertambah kukuh keberadaannya. Bahasa Melayu yang dipakai di daerah di wilayah
Nusantara dalam pertumbuhannya dipengaruhi oleh corak budaya daerah. Bahasa Melayu
menyerap kosakata dari berbagai bahasa, terutama dari bahasa Sanskerta, bahasa Persia,
bahasa Arab, dan bahasa-bahasa Eropa. Bahasa Melayu pun dalam perkembangannya
muncul dalam berbagai variasi dan dialek.

Perkembangan bahasa Melayu di wilayah Nusantara mempengaruhi dan mendorong


tumbuhnya rasa persaudaraan dan persatuan bangsa Indonesia. Komunikasi
antarperkumpulan yang bangkit pada masa itu menggunakan bahasa Melayu. Para
pemuda Indonesia yang tergabung dalam perkumpulan pergerakan secara sadar
mengangkat bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia, yang menjadi bahasa persatuan
untuk seluruh bangsa Indonesia (Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928).

Kebangkitan nasional telah mendorong perkembangan bahasa Indonesia dengan pesat.


Peranan kegiatan politik, perdagangan, persuratkabaran, dan majalah sangat besar dalam
memodernkan bahasa Indonesia. Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, 17
Agustus 1945, telah mengukuhkan kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia secara
konstitusional sebagai bahasa negara. Kini bahasa Indonesia dipakai oleh berbagai lapisan
masyarakat Indonesia, baik di tingkat pusat maupun daerah. (bahasakita)

http://blog.wisma-bahasa.com/?p=35

Sejarah Bahasa Indonesia 9:26 Am


OLeh www.pusatbahasa.diknas.go.id
 
Bahasa Indonesia lahir pada tanggal 28 Oktober 1928. pada saat itu, para pemuda
dari berbagai pelosok Nusantara berkumpul dalam Kerapatan Pemuda dan berikrar
(1) bertumpah darah yang satu, tanah Indonesia, (2) berbangsa yang satu, bangsa
Indonesia, dan (3) menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Ikrar para
pemuda ini dikenal dengan nama Sumpah Pemuda.

Unsur yang ketiga dari Sumpah Pemuda merupakan pernyataan tekad bahwa
bahasa Indonesia merupakan bahasa persatuan bangsa Indonesia. Pada tahun 1928
itulah bahasa Indonesia dikukuhkan kedudukannya sebagai bahasa nasional.

Bahasa Indonesia dinyatakan kedudukannya sebagai bahasa negara pada tanggal


18 Agustus 1945 karena pada saat itu Undang-Undang Dasar 1945 disahkan
sebagai Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Dalam Undang-Undang
Dasar 1945 disebutkan bahwa Bahasa negara ialah bahasa Indonesia (Bab XV,
Pasal 36).

Keputusan Kongres Bahasa Indonesia II tahun 1954 di Medan, antara lain,


menyatakan bahwa bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu. Bahasa Indonesia
tumbuh dan berkembang dari bahasa Melayu yang sejak zaman dulu sudah
dipergunakan sebagai bahasa perhubungan (lingua franca) bukan hanya di
Kepulauan Nusantara, melainkan juga hampir di seluruh Asia Tenggara.

Bahasa Melayu mulai dipakai di kawasan Asia Tenggara sejak abad ke-7. Bukti yang
menyatakan itu ialah dengan ditemukannya prasasti di Kedukan Bukit berangka
tahun 683 M (Palembang), Talang Tuwo berangka tahun 684 M (Palembang), Kota
Kapur berangka tahun 686 M (Bangka Barat), dan Karang Brahi berangka tahun 688
M (Jambi). Prasasti itu bertuliskan huruf Pranagari berbahasa Melayu Kuna. Bahasa
Melayu Kuna itu tidak hanya dipakai pada zaman Sriwijaya karena di Jawa Tengah
(Gandasuli) juga ditemukan prasasti berangka tahun 832 M dan di Bogor ditemukan
prasasti berangka tahun 942 M yang juga menggunakan bahasa Melayu Kuna.

Pada zaman Sriwijaya, bahasa Melayu dipakai sebagai bahasa kebudayaan, yaitu
bahasa buku pelajaran agama Budha. Bahasa Melayu juga dipakai sebagai bahasa
perhubungan antarsuku di Nusantara dan sebagai bahasa perdagangan, baik
sebagai bahasa antarsuku di Nusantara maupun sebagai bahasa yang digunakan
terhadap para pedagang yang datang dari luar Nusantara.

Informasi dari seorang ahli sejarah Cina, I-Tsing, yang belajar agama Budha di
Sriwijaya, antara lain, menyatakan bahwa di Sriwijaya ada bahasa yang bernama
Koen-louen (I-Tsing:63,159), Kou-luen (I-Tsing:183), K’ouen-louen (Ferrand,
1919), Kw’enlun (Alisjahbana, 1971:1089). Kun’lun (Parnikel, 1977:91), K’un-lun
(Prentice, 1078:19), yang berdampingan dengan Sanskerta. Yang dimaksud Koen-
luen adalah bahasa perhubungan (lingua franca) di Kepulauan Nusantara, yaitu
bahasa Melayu.

Perkembangan dan pertumbuhan bahasa Melayu tampak makin jelas dari


peninggalan kerajaan Islam, baik yang berupa batu bertulis, seperti tulisan pada
batu nisan di Minye Tujoh, Aceh, berangka tahun 1380 M, maupun hasil susastra
(abad ke-16 dan ke-17), seperti Syair Hamzah Fansuri, Hikayat Raja-Raja Pasai,
Sejarah Melayu, Tajussalatin, dan Bustanussalatin.

Bahasa Melayu menyebar ke pelosok Nusantara bersamaan dengan menyebarnya


agama Islam di wilayah Nusantara. Bahasa Melayu mudah diterima oleh masyarakat
Nusantara sebagai bahasa perhubungan antarpulau, antarsuku, antarpedagang,
antarbangsa, dan antarkerajaan karena bahasa Melayu tidak mengenal tingkat
tutur.

Bahasa Melayu dipakai di mana-mana di wilayah Nusantara serta makin


berkembang dan bertambah kukuh keberadaannya. Bahasa Melayu yang dipakai di
daerah di wilayah Nusantara dalam pertumbuhannya dipengaruhi oleh corak budaya
daerah. Bahasa Melayu menyerap kosakata dari berbagai bahasa, terutama dari
bahasa Sanskerta, bahasa Persia, bahasa Arab, dan bahasa-bahasa Eropa. Bahasa
Melayu pun dalam perkembangannya muncul dalam berbagai variasi dan dialek.

Perkembangan bahasa Melayu di wilayah Nusantara mempengaruhi dan mendorong


tumbuhnya rasa persaudaraan dan persatuan bangsa Indonesia. Komunikasi
antarperkumpulan yang bangkit pada masa itu menggunakan bahasa Melayu. Para
pemuda Indonesia yang tergabung dalam perkumpulan pergerakan secara sadar
mengangkat bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia, yang menjadi bahasa
persatuan untuk seluruh bangsa Indonesia (Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928).

Kebangkitan nasional telah mendorong perkembangan bahasa Indonesia dengan


pesat. Peranan kegiatan politik, perdagangan, persuratkabaran, dan majalah sangat
besar dalam memodernkan bahasa Indonesia.

Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, 17 Agustus 1945, telah mengukuhkan


kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia secara konstitusional sebagai bahasa
negara. Kini bahasa Indonesia dipakai oleh berbagai lapisan masyarakat Indonesia,
baik di tingkat pusat maupun daerah.
http://www.bahasasiswa.do.am/blog/2009-05-22-157

SATURDAY, MAY 9, 2009


Sejarah Perkembangan Bahasa Indonesia

BAB I

PENDAHULUAN

I.I. Latar Belakang dan Masalah

Bahasa Indonesia adalah salah satu kebanggaan bangsa kita, sebab-sebabnya sangat jelas, tanpa

bahasa nasional itu, kemerdekaan tidak akan tercapai dan persatuan bangsa tidak akan tergalang.

Namun, tampaknya kebanggaan itu tidak di sertai sikap kritik untuk menelaah bagaimana hal itu dapat

terjadi dan apa yang dapat kita petik sebagai pengalaman kemajuan bangsa pada masa-masa yang

akan datang.

Dengan kata lain, kajian tentang sejarah bangsa Indonesia masi kurang/tidak sungguh-sungguh

diminati orang,maka dengan makalah ini akan mengarang tentang sejarah bahasa Indonesia tersebut,

yang mulai di gunakan pertam akali pada sumpah pemuda tanggal 28 oktober 1928.
Dari pendahuluan di atas dapat di rumuskan beberapa masalah yaitu:

1. Bagaimana sejara terbentuknya bahasa Indonesia.

2 Apa yang menyebabkan bahasa melayu di pilih sebagai bahasa pemersatu yaitu bahasa Indonesia.

3. Apa saja yang dapat di lakukan untuk membina dan mengembangkan bahasa Indonesia.

1.2. Ruang lingkup

Ruang lingkup bahasa ini adalah pembahasa tentang sejarah perkembangan bahasa Indonesia.

Dalam hal ini pembahasan menitik beratkan pada awal mulanya lahirnya bahasa Indonesia yang

dipakai sampai saat ini oleh warga Negara Indonesia sebagai bahasa persatuan.

1.3. Tujuan penulisan

Tujuan dari penulisan makalah ini adalah :

1. Untuk mengetahui bagaimana sejarah terbentuknya bahasa Indonesia.

2. Untuk mengetahui mengapa bahasa melayudipilih sebagai bahasa nasional bahasa Indonesia.

3. Untuk mengetahui apa saja yang dapat dilakukan untuk membina dan mengembangkan bahasa

Indonesia.

1.4. Manfaat penulisan

Adapun manfaat penulisan adalah sebagai berikut :

1. Memberikan informasi kepada pembaca tentang sejara perkembangan bahasa indonesia

2. Sebagai ajang berpikir ilmiah dan kreatif bagi penulisa.

1.5. Metode penulisan

Makalah iini disusun dengan menggunakan metode kepustakaan,untuk mendapatkan data-data dari

sumber pustaka.

BAB II

SEJARAH PERKEMBANGAN BAHASA INDONESIA

2.1. Bahasa Melayu

Telah dikemukakan pada beberapa kesempatan, mengapa bahasa melayu dipilih menjadi bahasa

nasional bagi negara Indonesia yang merupakan suatu hal yang menggembirakan. Dibandingkan

dengan bahasa lain yang dapat dicalonkan menjadi bahasa nasional, yaitu bahasa jawa (yang
menjadi bahasa ibu bagisekitar setengah penduduk Indonesia), bahasa melayu merupakan bahasa

yang kurang berarti.

Di Indonesia, bahasaitu diperkirakan dipakai hanya oleh penduduk kepulauan Riau, Linggau dan

penduduk pantai-pantai diseberang Sumatera. Namun justru karena pertimbangan itu jualah pemilihan

bahasa jawa akan selalu dirasakan sebagai pengistimewaan yang berlebihan. Alasan kedua,

mengapa bahasa melayu lebih berterima dari pada bahasa jawa, tidak hanya secara fonetis dan

morfologis tetapi juga secara reksikal, seperti diketahui, bahasa jawa mempunyai beribu-ribu morfen

leksikal dan bahkan beberapa yang bersifat gramatikal.

Faktor yang paling penting adalah juga kenyataannya bahwa bahasa melayu mempunyai sejara yang

panjang sebagai ligua France. Dari sumber-sumber China kuno dan kemudian juga dari sumber

Persia dan Arab, kita ketahui bahwa kerajaan Sriwijaya di sumatera Timur paling tidak sejak abad ke -

7 merupakan pusat internasional pembelajaran agama Budha serta sebuah negara yang maju yang

perdagangannya didasarkan pada perdagangan antara Cina, India dan pulau-pulau di Asia Tenggara.

Bahas melayu mulai dipakai dikawasan Asia Tenggara sejak Abad ke-7. bukti-bukti yang menyatakan

itu adalah dengan ditemukannya prasasti di kedukan bukit karangka tahun 683 M (palembang), talang

tuwo berangka tahun 684 M (palembang), kota kapur berangka tahun 686 M (bukit barat), Karang

Birahi berangka tahun 688 M (Jambi) prasasti-prasasti itu bertuliskan huruf pranagari berbahasa

melayu kuno. Bahasa melayu kuno itu hanya dipakai pada zaman sriwijaya saja karena di jawa tengah

(Banda Suli) juga ditemuka prasasti berangka tahun 832 M dan dibogor ditemukan prasasti berangka

tahun 942 M yang juga menggunakan bahasa melayu kuno.

Pad zaman Sriwijaya, bahasa melayu dipakai sebagai bahasa kebudayaan , yaitu bahasa buku

pelajaran agama Budha. Bahasa melayu dipakai sebagai bahasa perhubungan antar suku di

Nusantara. Bahasa melayu dipakai sebagai bahasa perdagangan, baik sebagai bahasa yang

digunakan terhadap para pedagang yang datang dari luar nusantara.

Informasi dari seorang ahli sejara China I-Tsing yang belajar agama Budha di Sriwijaya, antara lain

menyatakan bahwa di Sriwijay ada bahasa yang bernama Koen Loen (I-Tsing : 63-159), Kou Luen (I-

Tsing : 183), K’ouen loven (Ferrand, 1919), Kw’enlun (Ali Syahbana, 1971 : 0001089), Kun’lun

(parnikel, 1977 : 91), K’un-lun (prentice 1978 : 19), ayng berdampingan dengan sanskerta. Yang

dimaksud dengan Koen-Luen adalah bahasa perhubungan (lingua france) dikepulauan nusantara,

yaitu bahasa melau.

Perkembangan dan pertumbuhan bahasa melayu tampak makin jelasa dari, peninggalan-peninggalan

kerajaan islam, baik yang berupa batu tertulis, seperti tulisan pada batu nisan di Minye Tujah, Aceh,

berangka tahun 1380 M, maupun hasil-hasil susastra (abad ke-16 dan ke-17), seperti syair Hamzah
Fansuri, hikayat raja-raja Pasai, sejarah melayu, Tajussalatin dan Bustanussalatin. Bahasa melayu

menyebar kepelosok nusantara bersama dengan menyebarnya agama islam diwilayah nusantara

bahasa melayu mudah diterima oleh masyarakat nusantara sebagai bahasa perhubungan antara

pulau, antara suku, antara pedagang, antar bangsa, dan antar kerajaan karena bahasa melayu tidak

mengenal tutur.

2.2. Bahasa Melayu Menjadi Bahasa Indonesia

Bahasa melayu dipakai dimana-mana diwilayah nusantara serta makin berkembang dengan dan

bertambah kukuh keberadaannya. Bahasa melayu yang dipakai didaerah-daerah diwilayah nusantara

dalam pertumbuhan dipengaruhi oleh corak budaya daerah. Bahasa melayu menyerap kosa kata dari

berbagai bahasa, terutama dari bahasa sanskerta, bahasa Persia, bahasa Arab, dan bahasa-bahasa

Eropa.

Bahasa melayupun dalam perkembangannya muncul dalam berbagai variasi dan dialek.

Perkembangan bahasa melayu diwilayah nusantara mempengaruhi dan mendorong tumbuhnya rasa

persaudaraan dan persatuan bangsa Indonesia. Komikasi rasa persaudaraan dan persatuan bangsa

Indonesia. Komunikasi antar perkumpulan yang bangkit pada masa itu menggunakan bahasa melayu

menjadi bahasa Indonesia, yang menjadi bahasa persatuan untuk seluruh bangsa Indonesia dalam

sumpah pemuda 28 Oktober 1928.

Untuk memperoleh bahasa nasionalnya, Bangsa Indonesia harus berjuang dalam waktu yang cukup

panjang dan penuh dengan tantangan. Perjuagan demikian harus dilakukan karena adanya kesadaran

bahwa disamping fungsinya sebagai alat komunikasi tunggal, bahasa nasional sebagai salah satu cirri

cultural, yang kedalam menunjukkan sesatuan dan keluar menyatakan perbedaan dengan bangsa

lain.

2.2.1. Peristiwa-peristiwa yang mempengaruhi perkermbangan bahasa Indonesia

1. Budi Otomo

Pada tahun 1908, Budi Utomo yang merupakan organisasi yang bersifat kenasionalan yang pertama

berdiri dan tempat terhidupnya kaum terpelajar bangsa Indonesia, dengan sadar menuntut agar

syarat-syarat untuk masuk ke sekolah Belanda diperingan,. Pada kesempatan permulaan abad ke-20,

bangsa Indonesia asyik dimabuk tuntutan dan keinginan akan penguasaan bahasa Belanda sebab

bahasa Belanda merupakan syarat utam untuk melanjutkan pelajaran menambang ilmu pengetahuan

barat.
2. Sarikat Islam

Sarekat islam berdiri pada tahun 1912. mula-mula partai ini hanya bergerak dibidang perdagangan,

namun bergerak dibidang sosial dan politik jga. Sejak berdirinya, sarekat islam yang bersifat non

kooperatif dengan pemerintah Belanda dibidang politik tidak perna mempergunakan bahasa Belanda.

Bahasa yang mereka pergunakan ialah bahasa Indonesia.

3. Balai Pustaka

Dipimpin oleh Dr. G.A.J. Hazue pada tahu 1908 balai pustaku ini didirikan. Mulanya badan ini bernama

Commissie Voor De Volkslectuur, pada tahun 1917 namanya berubah menjadi balai pustaka. Selain

menerbitkan buku-buku, balai pustaka juga menerbitkan majalah.

Hasil yang diperoleh dengan didirikannya balai pustaka terhadap perkembangan bahasa melau

menjadi bahasa Indonesia dapat disebutkan sebagai berikut :

a. Meberikan kesempatan kepada pengarang-pengarang bangsa Indonesia untuk menulis cerita

ciptanya dalam bahasa melayu.

b. Memberikan kesempatan kepada rakyat Indonesia untuk membaca hasil ciptaan bangsanya sendiri

dalam bahasa melayu.

c. Menciptakan hubungan antara sastrawan dengan masyarakat sebab melalui karangannya

sastrawan melukiskan hal-hal yang dialami oleh bangsanya dan hal-hal yang menjadi cita-cita

bangsanya.

d. Balai pustaka juga memperkaya dan memperbaiki bahasa melayu sebab diantara syarat-syarat

yang harus dipenuhi oleh karangan yang akan diterbitkan di balai pustaka ialah tulisan dalam bahasa

melayu yang bersusun baik dan terpelihara.

4. Sumpah Pemuda

Kongres pemuda yang paling dikenal ialah kongres pemuda yang diselenggarakan pada tahun 1928

di Jakarta. Pada hal sebelumnya, yaitu tahun 1926, telah pula diadakan kongres p[emuda yang tepat

penyelenggaraannya juga di Jakarta. Berlangsung kongres ini tidak semata-mata bermakna bagi

perkembangan politik, melainkan juga bagi perkembangan bahasa dan sastra Indonesia.

Dari segi politik, kongres pemuda yang pertama (1926) tidak akan bisa dipisahkan dari perkembangan

cita-cita atau benih-benih kebangkitan nasional yang dimulai oleh berdirinya Budi Utomo, sarekat

islam, dan Jon Sumatrenan Bond. Tujuan utama diselenggarakannya kongres itu adalah untuk

mempersatukan berbagai organisasi kepemudaan pada waktu itu.

Pada tahun itu organisasi-organisasi pemuda memutuskan bergabung dalam wadah yang lebih besar
Indonesia muda. Pada tanggal 28 Oktober 1928 organisasi pemuda itu mengadakan kongres pemuda

di Jakarta yang menghasilkan sebuah pernyataan bersejarah yang kemudian lebih dikenal sebagai

sumpah pemuda. Pertanyaan bersatu itu dituangkan berupa ikrar atas tiga hal, Negara, bangsa, dan

bahasa yang satu dalam ikrar sumpah pemuda.

Peristiwa ini dianggap sebagai awal permulaan bahasa Indonesia yang sebenarnya, bahasa Indonesia

sebagai media dan sebagai symbol kemerdekaan bangsa. Pada waktu itu memang terdapat beberapa

pihak yang peradaban modern. Akan tetapi, tidak bisa dipumgkiri bahwa cita-cita itu sudah menjadi

kenyataan, bahasa Indonesia tidak hanya menjadi media kesatuan, dan politik, melainkan juga

menjadi bahasa sastra indonesia baru.

2.3. Upaya peningkatan dan pengembangan bahasa Indonesia

Bahasa adalah yang terpadu dengan unsure-unsur lain didalam jaringan kebudayaan. Pada waktu

yang sama, bahasa merupakan sarana pengungkapan nilai-nilai bedaya. Pikiran dan nilai-nilai

kehidupan kemasyarakatan. Perkembangan kebudayaan Indonesia kearah peradaban modern sejalan

dengan kemajuan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi menuntut adanya

perkembangan cara berpikir yang ditandai oleh kecermatan, ketepatan, dan kesanggupan

menyatakan isi pikiran secara eksplisit.

1. Pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia dalam kaitannya dengan bidang pendidikan.

Upaya yang dapat dilakukan adalah meminkan peran guru untuk menimgkatkan minat baca sehingga

bahasa Indonesia dapat dikembangkan pada semua mata pelajaran.

2. Pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia dalam kaitannya dengan bidang komunikasi.

Medi massa merupakan salah satu saran ayang pentinng untuk membina dan mengembangkan

bahasa Indonesia dlam rangka pembangunan bangsa karena media massa telah memberiakan

perkembangan yang berharga dalam pertumbuhan bahasa Indonesia melalui media massa, baik

secara tertuis maupun lisan. Ada kata yang cenderung kehilangan maknanya yang sesungguhnya

dalam ragam lisan ada lafal baku. Disamping itu, dalam keadaan atau kesempatan tertentu masih

dipakai bahasa atau bahasa asing.

3. Pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia dalam kaitannya dengan bidang kesenian

Bahasa Indonesia yang dipergunakan didalam banyak karya sastra cerita anak-anak, lagu, teater dan

film menunjukkan adanya banyak ketimpangan. Dalam hal sastra dan buku anak-anak , hal ini

disebabkan oleh penggunaan bahasa yang kurang sempurna dari kebanyakan pengarang kita,
disamping masi tidak pastinya peranan redaktur dalam penerbitan.

Pemakaian bahasa Indonesia dalm film lebih banyak merupakan barang dagangan pemburuk

keuntungan bagi pengusaha, penulis skenario yang dipilihnya kebanyakan tidak menguasai teknik

penulisan yang baik.

4. Pembinaan dan pengembangan bahasa dalam kaitannya dengan bidang ilmu dan, teknologi.

Oleh karena antara bahasa dan alam pemikiran manusia terdapat jalinan yang erat, maka

keberhasilan dari pemoderenan itu sangat bergantung kepada corak alam pemikiran manusia

Indonesia yang merupakan hasil sintesis antara nilai-nilai yang berakar pada kebudayaan etnis yang

tradisional dan nilai-nilai bebudayaan yang melahirkan ilmu pengetahuan dan teknologi modern.

Proses sintesis itu dipikirkan sebagai suatu proses yang mempertinggi potensi kreatif yang dapat

menjelaskan suatu kebudayaan yang khas Indonesia.

BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Dapat disimpullkan dari makalah ini, bahwa bahasa Indonesia berasal dari bahasa melayu. Bahasa

melayu dipilih sebagai bahasa pemersatu (bahasa Indonesia) karena :

1. Bahasa melayu menjadi perwakilan karena bahasa melayu mewakili bahasa yang dipakai oleh

kelompok kecil yang dibandingkan oleh kelompok besar seperti bahasa jawa. Hal ini untuk

menghindari adanya tanggapan pengistimewaan yang berlebihan terhadap bahasa jawa.

2. Bahasa melayu lebih bersifat linguistik dan tidak memiliki tingkat tutur yang sulit.

3. Bahasa melayu mempunyai sejra sebagai “Lingua Frace” yang digunakan pada masa kerajaan

sriwijaya mengalami kemajuan /masa kejayaan.

3.2. Saran

Bahasa Indonesia yang kita ketahui sebagai mana dari penjelasan terdahulu memiliki banyak

rintangan dan kendala untuk mewujudkan menjadi bahasa pemersatu, bahasa nasional, bahasa

Indonesia. Sehingga kita sebagai generasi penerus mampu untuk membina, mempertahankan bahasa

Indonesia ini, agar tidak mengalami kemerosotan dan diperguna dengan baik oleh pihak luar.

DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi Muhsin, 1990. sejarah dan standarisasi bahasa Indonesia. Bandung : sinar baru algesindo.

Aripin Z.E,

http://ikhsanu.blogspot.com/2009/05/sejarah-perkembangan-bahasa-indonesia.html

TUGAS BAHAS INDONESIA


BAB I
SEJARAH BAHASA INDONESIA

Penyusun :
Singgih Aji Abiyuga
27
Danang Budi A
06
Kern Syena
20
Aris Dwi Haryanto
04

SEKOLAH TINGGI MULTI MEDIA “MMTC”


YOGYAKARTA
2008

Bab I. SEJARAH BAHASA INDONESIA


A. Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Nasional
Bahasa Indonesia lahir pada tanggal 28 Oktober 1928. pada saat itu, para pemuda
dari berbagai pelosok Nusantara berkumpul dalam rapat pemuda dan berikrar (1)
bertumpah darah yang satu, tanah Indonesia, (2) berbangasa yang satu, bangsa Indonesia,
dan (3) menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Ikrar para pemuda ini dikenal
dengan nama Sumpah Pemuda.
Unsure yang ketiga dari Sumpah Pemuda merupakan pernyataan tekad bahwa
Indonesia Merupakan bahasa persatuan bangsa Indonesia. Pada tahun 1928 itulah
pemerintah mencetuskan bahwa bahasa Indonesia sebagai bahasa Nasional di tanah air
kita.
Bahasa Indonesia dinyatakan kedudukannya sebagai bahasa Negara pada tanggal 18
Agustus 1945 karena pada saat itu Undang-Undang Dasar 1945 disahkan sebagai
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Dalam Undang-Undang Dasar 1945
disebutkan bahwa Bahasa Negara ialah Bahasa Indonesia (Bab XV, pasal 36).
Konsep dasar bahasa Indonesia adalah Bahasa Melayu. Bahasa Indonesia tumbuh
dan berkembang dari bahasa Melayu yang sejak zaman dulu sudah dipergunakan sebagai
bahasa perhubungan (lingua franca) bukan hanya di kepulauan Nusantara, tetapi juga
hampir di seluruh Asia Tenggara.
Bahasa melayu mulai dipakai di kawasan Asia Tenggara sejak abad ke-7, bukti yang
menyatakan itu ialah ditemukannya prasasti di kedukan Bukit berangka tahun 683 M
(Palembang ), Talang Tuwo berangka tahun 684 M (Palembang), Kota Kapur berangka
tahun 686 M (Bangka Barat), dan Karang Brahi berangka tahun 688 M (Jambi). Prasasti
Itu bertuliskan huruf Pranagari berbahasa melayu kuna. Bahasa Melayu Kuna itu tidak
hanya dipakai pada zaman Sriwijaya karena di Jawa Tengah (Gandasuli) juga ditemukan
prasasti berangka tahun 942 M yang juga menggunakan bahasa melayu kuna.
Pada zaman Sriwijaya, bahasa melayu dipakai sebagai bahasa kebudayaan, yaitu
bahasa buku pelajaran agama Budha. Bahasa melayu juga dipakai sebagai bahasa
perhubungan antarsuku di Nusantara da sebagai bahasa perdagangan, baik sebagaibahasa
antarsuku di Nusantara maupun sebagai bahasa yang digunakan terhadap para pedagang
yang datang dari luar Nusantara.
Informasi dari seorang ahli sejarah Cina, I-Tsing, yang belajar agama budha di
Sriwijaya, antara lain, menyatakan bahwa di sriwijaya ada bahasa yang bernama Koen-
louen (I-Tsing: 63,159), Kou-luen (I-Tsing: 183), K’un-lun (Ferrand, 1919), Kw’enlun
(Alisjahbana, 1971: 1089). Kun’lun (Parnikel, 1977:91), K’un-lun (Prentice, 1078:19),
yang berdampingan dengan Sansekerta. Yang dimaksud Koen-luen adalah bahasa
perhubungan (lingua franca) di kepulauan Nusantara, yaitu bahasa Melayu.
Perkembangan dan pertumbuhan bahasa melayu tampak makin jelas dari peninggalan
kerajaan Islam, baik yang berupa batu tertulis, seperti tulisan pada batu Nisan di Minye
Tujoh, Aceh, berangka tahun 1380 M, maupun hasil susastra (abad ke-16 dan ke-17),
seperti Syair Hamzah Fansuri, Hikayat Raja-Raja Pasai, Sejarah Melayu, Tajussalatin,
dan Bustanussalatin.
Bahasa melayu menyebar ke pelosok Nusantara bersamaan dengan menyebarnya Agama
Islam di wilayah Nusantara. Bahasa Melayu muda diterima Masyarakat Nusantara
sebagai bahasa perhubungan antarpulau, antarsuku, antarpedagang, antarbangsa, dan
antarkerajaan karena bahasa melayu tidak mengenal tingkat tutur.
Bahasa Melayu dipakai di mana-mana di wilayah Nusantara serta makin berkembang
dan bertambah kukuh keberadaannya. Bahasa Melayu yang dipakai di daerah di wilayah
Nusantara dalam pertumbuhannya dipengaruhi oleh corak budaya daerah. Bahasa melayu
menyerap kosakata dari berbagai bahasa, terutama dari bahasa Sansekerta, bahasa Persia,
bahasa Arab, dan bahasa-bahasa Eropa. Bahasa Melayu pun dalam perkembangannya
muncul dalam berbagai variasi dan dialek.
Perkembangan bahasa Melayu di wilayah Nusantara mempengaruhi dan mendorong
tumbuhnya rasa persaudaraan dan persatuan bangsa Indonesia. Komunikasi
antarkepulauan yang bangkit pada masa itu menggunakan bahasa Melayu. Para pemuda
Indonesia yang tergabung dalam perkumpulan pergerakan secara sadar mengangkat
bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia, yang menjadi bahasa persatuan untuk seluruh
bangsa Indonesia (Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928).
Kebangkitan Nasional telah mendorong perkembangan bahasa Indonesia dengan pesat.
Peranan kegiatan politik, perdagangan, persuratkabaran, dan majalah sangat besar dalam
memodernkan bahasa Indonesia. Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, 17
Agustus 1945, telah mengukuhkan kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia secara
Konstitusional sebagai Bahasa Negara. Kini Bahasa Indonesia dipakai oleh berbagai
lapisan masyarakat Indonesia, baik di tingkat pusat maupun daerah.
B. Ragam Dalam Bahasa Indonesia
a. Ragam bahasa berdasarkan media/sarana
1. Ragam bahasa Lisan
Ragam bahasa lisan adalah bahan yang dihasilkan alat ucap dengan fonem
sebagai unsur dasar. Dalam ragam lisan, kita berurusan dengan tata bahasa, kosakata, dan
lafal. Dalam ragam bahasa lisan ini, pembicara dapat memanfaatkan tinggi rendah suara
atau tekanan, air muka, gerak tangan atau isyarat untuk mengungkapkan ide.
2. Ragam bahasa tulis
Ragam bahasa tulis adalah bahasa yang dihasilkan dengan memanfaatkan tulisan
dengan huruf sebagai unsur dasarnya. Dalam ragam tulis, kita berurusan dengan tata cara
penulisan (ejaan) di samping aspek tata bahasa dan kosa kata. Dengan kata lain dalam
ragam bahasa tulis, kita dituntut adanya kelengkapan unsur tata bahasa seperti bentuk
kata ataupun susunan kalimat, ketepatan pilihan kata, kebenaran penggunaan ejaan, dan
penggunaan tanda baca dalam mengungkapkan ide.
Contoh
Ragam bahasa lisan Ragam bahasa tulis
1. Putri bilang kita harus pulang 1. Putri mengatakan bahwa kita harus pulang
2. Ayah lagi baca koran 2. Ayah sedang membaca koran
b. Ragam bahasa berdasarkan penutur
1 .Ragam bahasa berdasarkan daerah disebut ragam daerah (logat/dialek).
Luasnya pemakaian bahasa dapat menimbulkan perbedaan pemakaian bahasa. Bahasa
Indonesia yang digunakan oleh orang yang tinggal di Jakarta berbeda dengan bahasa
Indonesia yang digunakan di Jawa Tengah, Bali, Jayapura, dan Tapanuli. Masing-masing
memilikiciri khas yang berbeda-beda. Misalnya logat bahasa Indonesia orang Jawa
Tengah tampak padapelafalan/b/pada posisiawal saat melafalkan nama-nama kota seperti
Bogor, Bandung, Banyuwangi, dll. Logat bahasa Indonesia orang Bali tampak pada
pelafalan /t/ seperti pada kata ithu, kitha, canthik, dll.
2. Ragam bahasa berdasarkan pendidikan penutur. Bahasa Indonesia yang
digunakan oleh kelompok penutur yang berpendidikan berbeda dengan yang tidak
berpendidikan, terutama dalam pelafalan kata yang berasal dari bahasa asing, misalnya
fitnah, kompleks,vitamin, video, film, fakultas. Penutur yang tidak berpendidikan
mungkin akan mengucapkan pitnah, komplek, pitamin, pideo, pilm, pakultas. Perbedaan
ini juga terjadi dalam bidang tata bahasa, misalnya mbawa seharusnya membawa, nyari
seharusnya mencari. Selain itu bentuk kata dalam kalimat pun sering menanggalkan
awalan yang seharusnya dipakai.
contoh:
1) Ira mau nulis surat  Ira mau menulis surat
2) Saya akan ceritakan tentang Kancil  Saya akan menceritakan tentang Kancil.
3. Ragam bahasa berdasarkan sikap penutur.
Ragam bahasa dipengaruhi juga oleh setiap penutur terhadap kawan bicara (jika
lisan) atau sikap penulis terhadap pembawa (jika dituliskan) sikap itu antara lain resmi,
akrab, dan santai. Kedudukan kawan bicara atau pembaca terhadap penutur atau penulis
juga mempengaruhi sikap tersebut. Misalnya, kita dapat mengamati bahasa seorang
bawahan atau petugas ketika melapor kepada atasannya. Jika terdapat jarak antara
penutur dan kawan bicara atau penulis dan pembaca, akan digunakan ragam bahasa resmi
atau bahasa baku. Makin formal jarak penutur dan kawan bicara akan makin resmi dan
makin tinggi tingkat kebakuan bahasa yang digunakan. Sebaliknya, makin rendah tingkat
keformalannya, makin rendah pula tingkat kebakuan bahasa yang digunakan.
Bahasa baku merupakan ragam bahasa yang dipakai dalam situasi resmi/formal,
baik lisan maupun tulisan.
Bahasa baku dipakai dalam :
a. pembicaraan di muka umum, misalnya pidato kenegaraan, seminar, rapat dinas
memberikan kuliah/pelajaran;
b. pembicaraan dengan orang yang dihormati, misalnya dengan atasan, dengan
guru/dosen, dengan pejabat;
c. komunikasi resmi, misalnya surat dinas, surat lamaran pekerjaan, undang-
undang;
d. wacana teknis, misalnya laporan penelitian, makalah, tesis, disertasi.
Segi kebahasaan yang telah diupayakan pembakuannya meliputi
a. tata bahasa yang mencakup bentuk dan susunan kata atau kalimat, pedomannya
adalah buku Tata Bahasa Baku Indonesia;
b. kosa kata berpedoman pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI);
c. istilah kata berpedoman pada Pedoman Pembentukan Istilah;
d. ejaan berpedoman pada Ejaan Bahasa Indonesia yang disempurnakan (EYD);
e. lafal baku kriterianya adalah tidak menampakan kedaerahan.
c. Ragam bahasa menurut pokok persoalan atau bidang pemakaian
Dalam kehidupan sehari-hari banyak pokok persoalan yang dibicarakan. Dalam
membicarakan pokok persoalan yang berbeda-beda ini kita pun menggunakan ragam
bahasa yang berbeda. Ragam bahasa yang digunakan dalam lingkungan agama berbeda
dengan bahasa yang digunakan dalam lingkungan kedokteran, hukum, atau pers. Bahasa
yang digunakan dalam lingkungan politik, berbeda dengan bahasa yang digunakan dalam
lingkungan ekonomi/perdagangan, olah raga, seni, atau teknologi. Ragam bahasa yang
digunakan menurut pokok persoalan atau bidang pemakaian ini dikenal pula dengan
istilah laras bahasa.
Perbedaan itu tampak dalam pilihan atau penggunaan sejumlah
kata/peristilahan/ungkapan yang khusus digunakan dalam bidang tersebut, misalnya
masjid, gereja, vihara adalah kata-kata yang digunakan dalam bidang agama; koroner,
hipertensi, anemia, digunakan dalam bidang kedokteran; improvisasi, maestro,
kontemporer banyak digunakan dalam lingkungan seni; pengacara, duplik, terdakwa,
digunakan dalam lingkungan hukum; pemanasan, peregangan, wasit digunakan dalam
lingkungan olah raga. Kalimat yang digunakan pun berbeda sesuai dengan pokok
persoalan yang dikemukakan. Kalimat dalam undang-undang berbeda dengan kalimat-
kalimat dalam sastra, kalimat-kalimat dalam karya ilmiah, kalimat-kalimat dalam
koran/majalah, dll. Contoh kalimat yang digunakan dalam undang-undang.
Sanksi Pelanggaran Pasal 44:
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1987 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta
1. Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan atau
memperbanyak suatu ciptaan atau memberi izin untuk itu, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00
(seratus jutarupiah).
2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau
menjual pada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran hasil hak cipta
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5
(lima) tahun dan atau denda paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).

C. Bahasa Sebagai Simbol


Simbol sebenarnya merupakan hasil rekaman otak manusia atas pengalaman-
pengalamannya dan di dalam otak tersebut pengalaman diterjemahkan menjadi simbol-
simbol. Dalam istilahnya, terdapat dua macam symbol yakni simbol presentasional dan
simbol diskursif.
Simbol presentasional adalah simbol yang cara penangkapannya tidak terlampau
membutuhkan intelektual. Dengan spontan simbol ini menghadirkan apa yang
dikandungnya seperti misalnya alam, lukisan, pahatan dan sebagainya. Makna dari
simbol ini ditangkap melalui hubungan antar elemen-elemen simbol dalam struktur
keseluruhan.
Simbol diskursif adalah simbol yang cara penangkapannya cenderung menggunakan
intelektual dan tidak secara spontan tetapi berurutan. Simbol diskursif mempunyai sistem
yang tidak dapat diabaikan dan dibangun oleh unsur-unsur menurut perhubungan tertentu
yang kemudian baru dapat dipahami maknanya.
Bentuk simbol diskursif yang paling lekat dalam kehidupan sehari-hari adalah bahasa
yang jelas-jelas mempunyai kontruksi yang konsekuen dan tersusun menurut aturan
sintaksis dan gramatikal tertentu sebelum menghasilkan gambaran mengenai suatu
kenyataan tertentu.
Karena itu dikatakan bahasa adalah bentuk simbol yang paling maju, paling halus, paling
canggih dan paling lengkap.

Bahasa dipahami sebagai satu-satunya sarana interaksi antarmanusia. Sebagai simbol


penyampaian pesan atau pikiran, baik secara lisan maupun tertulis, bahasa sering dipakai
untuk merepresentasikan realitas sebuah gambaran murni dari sesuatu secara apa adanya
kepada pembaca.

Meskipun bahasa mempunyai kompleksitas yang luar biasa, tetap ada bagian penting dari
realitas ruang hidup perasaan dan emosi yang lebih merupakan kegiatan intersubyektif
manusia. Tidak memadainya bahasa untuk menyampaikan pengalaman intersubyektif
karena bahasa sebagai sebuah simbol tidak mampu secara sempurna mencerminkan
bentuk alamiah perasaan. Sehingga manusia kadang-kadang tidak mampu membentuk
konsep-konsep yang terperinci tentang perasaan dengan bantuan bahsa yang wantah.
Bahasa yang dipakai untuk merujuk kepada perasaan hanya mampu memberi penamaan
secara umum terhadap pengalaman dalam misalnya: kegairahan, kebahagiaan,
ketentraman, cinta, dan sejenisnya. Namun bahasa tidak mampu merincikan bagaimana
kebahagiaan berbeda-beda jenisnya, berjenis-jenis kesedihan, dan sebagainya. Pada titik
ini terbukti bahwa hakikat alam perasaan adalah sesuatu yang tidak dapat secara rinci dan
tegas dinyatakan dalam simbol diskursif.
bahasa adalah simbol bagi makna yang berada di baliknya. Ibarat kata adalah sebuah
badan, maka makna adalah
ruhnya. Karena itu sebuah kata hanya akan berfungsi sebagai simbol jika tidak
dipisahkan dari konsep maknanya.
Kosa kata apapun tidak akan berfungsi sebagai sebuah simbol bagi seseorang yang
tidak mengetahui maknanya.
Contohnya adalah bahasa arab, Arab yang dipakai al-Qur'an misalnya, tidak akan
berfungsi sebagai penyampai pesan-pesan ilahi bagi siapa pun yang tidak mengerti
bahasa Arab.

Sistem simbolik bahasa Arab yang disandarkan pada kehidupan masyarakat Arab berarti
pula bahwa bahasa Arab sangat berkaitan dengan pola kehidupan masyarakat Arab.
Pamakaian bahasa Arab oleh al-Qur'an menunjukkan bahwa simbol bahasa al-Qur'an
sangat terkait pada budaya bahasa Arab. Keterkaitan ini terlihat jelas pada pemakaian
kosa-kata bahasa Arab yang hanya dapat dipahami dengan baik oleh masyarakat Arab.
Lebih jauh lagi, keterkaitan bahasa al-Qur'an dengan budaya Arab ditunjukkan dalam
transformasi pesan-pesan ilahi melalui budaya masyarakat Arab

D. Hubungan Bahasa Dengan Berpikir


DALAM bahasa yang kita gunakan, kata Ludwig Wittgenstein, ahli filsafat bahasa dari
Austria, tersirat suatu orientasi hidup yang bukan saja mencakup konsep yang kita anut
mengenai sekitar, melainkan juga PIKIRAN, nilai, perasaan, kebudayaan, hingga
takhayul. Bahasa amat penting. Ialah yang menentukan hubungan dan pergaulan dalam
segala segi di masyarakat.
Dengan bahasa kita dapat menyembunyikan dan pikiran, dengan bahasa pula kita
mencipta dan menyudahi konflik. Karena bahasa, kita menyerahkan cinta dan dengannya
pula kita mengumumkan perang. Singkatnya, bahasa adalah petunjuk kehidupan dan
gambaran dunia kita. Padanya ditemukan analisis objektif kehidupan kita.
Dari contoh deskripsi-deskripsi ini, "Seharian di rumah terus, keluar rumah kalo
kuliah aja. Kalo nggak ada kuliah? Ya ngurung diri di kamar masing-masing. Kalo nggak
belajar, ya tidur.Nggak biasanya anak kos yang centil-centil itu nggak bertingkah."
Bagaimanapun, menunjukkan bahwa ada yang salah dengan-pengguna-bahasa Indonesia.
Tentu saja contoh itu tidak mungkin dipahami dengan cara pukul rata, apalagi dari
satu segi saja. Sekilas contoh itu dapat diterima sebagai hasil pendidikan yang semrawut,
dapat juga mewakili jiwa yang ingin bebas. Tampak ketidakpedulian, terasa pelecehan,
dan keduanya memastikan bahwa bahasa Indonesia tidak dianggap penting juga tak
berharga bagi pemiliknya. Tetapi, bila kita percaya pada bahasa sebagai buah pikiran, alat
logika untuk meramu idiom demi penyampaian pikiran dan perasaan, cara berbahasa
harus dikaitkan dengan kemampuan berpikir. Kecermatan dan kesantunan berbahasa
dengan begitu, adalah cerminan nalar dan budaya seseorang.
Dengan belajar bahasa siswa menemukan minat dan dengan begitu dapat
mengembangkan potensinya dan menemukan jati dirinya.
Harus dipercaya, belajar bahasa yakni membaca, menulis, dan berbicara adalah
bagian dari proses berpikir. Dengan bahasa, siswa dimampukan berpikir kalau boleh
hingga ke tataran yang rumit karena tersedianya sebuah struktur untuk mengekspresikan
dan mengenali hubungan antarkonsep dan dengan itu ia dapat berkomunikasi dengan
sesamanya. Dalam pelajaran bahasa, siswa belajar tentang bagaimana berkomunikasi
sambil mengenali cara berpikir yang sesuai budaya bahasa yang dipelajarinya. Karena
itu, semua upaya di kelas dikerahkan untuk memampukan komunikasi dan
menumbuhkan keterampilan berpikir kritis. Contoh keseharian tulisan membuktikan
bahwa siswa tak biasa dan bisa berpikir. Bercakap dan berkomunikasi juga sulit bagi
banyak orang. Hal yang sama tampak pula pada bacaan mereka.
Bahasa adalah pikiran dan perasaan yang lahir dari sebuah budaya dan
dunia.Dengan bahasa apa kita berbicara dalam hati. Bisa jadi semua yang keluar lewat
mulut kita merupakan refleksi dari bagaimana cara kita berpikir.
RANGKUMAN
A. Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Nasional
Bahasa Indonesia lahir pada tanggal 28 Oktober 1928. pada saat itu, para pemuda
dari berbagai pelosok Nusantara berkumpul dalam rapat pemuda dan berikrar (1)
bertumpah darah yang satu, tanah Indonesia, (2) berbangasa yang satu, bangsa Indonesia,
dan (3) menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Ikrar para pemuda ini dikenal
dengan nama Sumpah Pemuda.
Bahasa Indonesia dinyatakan sebagai bahasa Negara pada tanggal 18 Agustus 1945
karena pada saat itu Undang-Undang Dasar 1945 disahkan sebagai Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia. Dalam Undang-Undang Dasar 1945 disebutkan bahwa
Bahasa Negara ialah Bahasa Indonesia (Bab XV, pasal 36).
Konsep dasar bahasa Indonesia adalah Bahasa Melayu. Bahasa melayu mulai dipakai
di kawasan Asia Tenggara sejak abad ke-7, bukti yang menyatakan itu ialah
ditemukannya prasasti di kedukan Bukit berangka tahun 683 M (Palembang ), Talang
Tuwo berangka tahun 684 M (Palembang), Kota Kapur berangka tahun 686 M (Bangka
Barat), dan Karang Brahi berangka tahun 688 M (Jambi). Prasasti Itu bertuliskan huruf
Pranagari berbahasa melayu kuno.
Pada zaman Sriwijaya, bahasa melayu dipakai sebagai bahasa kebudayaan, yaitu
bahasa buku pelajaran agama Budha. Bahasa melayu juga dipakai sebagai bahasa
perhubungan antarsuku di Nusantara serta sebagai bahasa perdagangan.
Informasi dari seorang ahli sejarah Cina, I-Tsing, yang belajar agama budha di
Sriwijaya, antara lain, menyatakan bahwa di sriwijaya ada bahasa yang bernama Koen-
louen (I-Tsing: 63,159), Kou-luen (I-Tsing: 183), K’un-lun (Ferrand, 1919), Kw’enlun
(Alisjahbana, 1971: 1089). Kun’lun (Parnikel, 1977:91), K’un-lun (Prentice, 1078:19),
yang berdampingan dengan Sansekerta. Yang dimaksud Koen-luen adalah bahasa
perhubungan (lingua franca) di kepulauan Nusantara, yaitu bahasa Melayu.
Perkembangan dan pertumbuhan bahasa melayu tampak makin jelas dari peninggalan
kerajaan Islam, baik yang berupa batu tertulis, seperti tulisan pada batu Nisan di Minye
Tujoh, Aceh, berangka tahun 1380 M, maupun hasil susastra (abad ke-16 dan ke-17),
seperti Syair Hamzah Fansuri, Hikayat Raja-Raja Pasai, Sejarah Melayu, Tajussalatin,
dan Bustanussalatin.
Bahasa melayu menyebar ke pelosok Nusantara bersamaan dengan menyebarnya Agama
Islam di wilayah Nusantara. Bahasa Melayu muda diterima Masyarakat Nusantara
sebagai bahasa perhubungan antarpulau, antarsuku, antarpedagang, antarbangsa, dan
antarkerajaan karena bahasa melayu tidak mengenal tingkat tutur.
Bahasa Melayu dipakai di wilayah Nusantara serta makin berkembang dan bertambah
kukuh keberadaan dan pertumbuhannya dipengaruhi oleh corak budaya daerah. Bahasa
melayu menyerap kosakata dari berbagai bahasa, terutama dari bahasa Sansekerta, bahasa
Persia, bahasa Arab, dan bahasa-bahasa Eropa.
Perkembangan bahasa Melayu di wilayah Nusantara mempengaruhi dan mendorong
tumbuhnya rasa persaudaraan dan persatuan bangsa Indonesia. Komunikasi
antarkepulauan yang bangkit pada masa itu menggunakan bahasa Melayu. Para pemuda
Indonesia yang tergabung dalam perkumpulan pergerakan secara sadar mengangkat
bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia, yang menjadi bahasa persatuan untuk seluruh
bangsa Indonesia (Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928).
Kebangkitan Nasional telah mendorong perkembangan bahasa Indonesia dengan pesat.
Peranan kegiatan politik, perdagangan, persuratkabaran, dan majalah sangat besar dalam
memodernkan bahasa Indonesia. Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, 17
Agustus 1945, telah mengukuhkan kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia secara
Konstitusional sebagai Bahasa Negara. Kini Bahasa Indonesia dipakai oleh berbagai
lapisan masyarakat Indonesia, baik di tingkat pusat maupun daerah.
B. Ragam Dalam Bahasa Indonesia
a. ragam bahasa berdasarkan media/sarana :
1. Ragam bahasa Lisan
2. Ragam bahasa tulis
Contoh
Ragam bahasa lisan Ragam bahasa tulis
1. Putri bilang kita harus pulang 1. Putri mengatakan bahwa kita harus pulang
2. Ayah lagi baca koran 2. Ayah sedang membaca koran
b. Ragam bahasa berdasarkan penutur
1 .Ragam bahasa berdasarkan daerah disebut ragam daerah (logat/dialek).
2. Ragam bahasa berdasarkan pendidikan penutur.
contoh:
1) Ira mau nulis surat  Ira mau menulis surat
2) Saya akan ceritakan tentang Kancil  Saya akan menceritakan tentang Kancil.
3. Ragam bahasa berdasarkan sikap penutur.
Ragam bahasa dipengaruhi juga oleh setiap penutur terhadap kawan bicara (jika
lisan) atau sikap penulis terhadap pembawa (jika dituliskan) sikap itu antara lain resmi,
akrab, dan santai. Misalnya, kita dapat mengamati bahasa seorang bawahan atau petugas
ketika melapor kepada atasannya. Jika terdapat jarak antara penutur dan kawan bicara
atau penulis dan pembaca, akan digunakan ragam bahasa resmi atau bahasa baku. Makin
formal jarak penutur dan kawan bicara akan makin resmi dan makin tinggi tingkat
kebakuan bahasa yang digunakan dan sebaliknya.
Bahasa baku merupakan ragam bahasa yang dipakai dalam situasi resmi/formal,
baik lisan maupun tulisan.
Bahasa baku dipakai dalam :
a. pembicaraan di muka umum, misalnya pidato kenegaraan, seminar, rapat dinas
memberikan kuliah/pelajaran;
b. pembicaraan dengan orang yang dihormati, misalnya dengan atasan, dengan
guru/dosen, dengan pejabat;
c. komunikasi resmi, misalnya surat dinas, surat lamaran pekerjaan, undang-
undang;
d. wacana teknis, misalnya laporan penelitian, makalah, tesis, disertasi.
Segi kebahasaan yang telah diupayakan pembakuannya meliputi
a. tata bahasa yang mencakup bentuk dan susunan kata atau kalimat, pedomannya
adalah buku Tata Bahasa Baku Indonesia;
b. kosa kata berpedoman pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI);
c. istilah kata berpedoman pada Pedoman Pembentukan Istilah;
d. ejaan berpedoman pada Ejaan Bahasa Indonesia yang disempurnakan (EYD);
e. lafal baku kriterianya adalah tidak menampakan kedaerahan.
c. Ragam bahasa menurut pokok persoalan atau bidang pemakaian
Ragam bahasa yang digunakan dalam lingkungan agama berbeda dengan bahasa
yang digunakan dalam lingkungan kedokteran, hukum, atau pers. Bahasa yang digunakan
dalam lingkungan politik, berbeda dengan bahasa yang digunakan dalam lingkungan
ekonomi/perdagangan, olah raga, seni, atau teknologi. Ragam bahasa yang digunakan
menurut pokok persoalan atau bidang pemakaian ini dikenal pula dengan istilah laras
bahasa.
Perbedaan itu tampak dalam pilihan atau penggunaan sejumlah
kata/peristilahan/ungkapan yang khusus digunakan dalam bidang tersebut, misalnya
masjid, gereja, vihara adalah kata-kata yang digunakan dalam bidang agama; koroner,
hipertensi, anemia, digunakan dalam bidang kedokteran; improvisasi, maestro,
kontemporer banyak digunakan dalam lingkungan seni; pengacara, duplik, terdakwa,
digunakan dalam lingkungan hukum; pemanasan, peregangan, wasit digunakan dalam
lingkungan olah raga. Kalimat dalam undang-undang berbeda dengan kalimat-kalimat
dalam sastra, kalimat-kalimat dalam karya ilmiah, kalimat-kalimat dalam koran/majalah,
dll.
Contoh kalimat yang digunakan dalam undang-undang.
Sanksi Pelanggaran Pasal 44:
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1987 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta
1. Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan atau
memperbanyak suatu ciptaan atau memberi izin untuk itu, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00
(seratus jutarupiah).
2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau
menjual pada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran hasil hak cipta
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5
(lima) tahun dan atau denda paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).

C. Bahasa Sebagai Simbol


Dalam istilahnya, terdapat dua macam symbol yakni simbol presentasional dan simbol
diskursif.
Simbol presentasional adalah simbol yang cara penangkapannya tidak terlampau
membutuhkan intelektual. Dengan spontan simbol ini menghadirkan apa yang
dikandungnya seperti misalnya alam, lukisan, pahatan dan sebagainya. Makna dari
simbol ini ditangkap melalui hubungan antar elemen-elemen simbol dalam struktur
keseluruhan.
Simbol diskursif adalah simbol yang cara penangkapannya cenderung menggunakan
intelektual dan tidak secara spontan tetapi berurutan. Simbol diskursif mempunyai sistem
yang tidak dapat diabaikan dan dibangun oleh unsur-unsur menurut perhubungan tertentu
yang kemudian baru dapat dipahami maknanya.
Bentuk simbol diskursif yang paling lekat dalam kehidupan sehari-hari adalah bahasa
yang jelas-jelas mempunyai kontruksi yang konsekuen dan tersusun menurut aturan
sintaksis dan gramatikal tertentu sebelum menghasilkan gambaran mengenai suatu
kenyataan tertentu.

Karena itu dikatakan bahasa adalah bentuk simbol yang paling maju, paling halus, paling
canggih dan paling lengkap.

Bahasa dipahami sebagai satu-satunya sarana interaksi antarmanusia. Sebagai simbol


penyampaian pesan atau pikiran, baik secara lisan maupun tertulis, bahasa sering dipakai
untuk merepresentasikan realitas sebuah gambaran murni dari sesuatu secara apa adanya
kepada pembaca.

Meskipun bahasa mempunyai kompleksitas yang luar biasa, tetap ada bagian penting dari
realitas ruang hidup perasaan dan emosi yang lebih merupakan kegiatan intersubyektif
manusia. Tidak memadainya bahasa untuk menyampaikan pengalaman intersubyektif
karena bahasa sebagai sebuah simbol tidak mampu secara sempurna mencerminkan
bentuk alamiah perasaan. Sehingga manusia kadang-kadang tidak mampu membentuk
konsep-konsep yang terperinci tentang perasaan dengan bantuan bahsa yang wantah.
Bahasa yang dipakai untuk merujuk kepada perasaan hanya mampu memberi penamaan
secara umum terhadap pengalaman, misalnya: kegairahan, kebahagiaan, ketentraman,
cinta, dan sejenisnya. Namun bahasa tidak mampu merincikan bagaimana kebahagiaan
berbeda-beda jenisnya, berjenis-jenis kesedihan, dan sebagainya. Pada titik ini terbukti
bahwa hakikat alam perasaan adalah sesuatu yang tidak dapat secara rinci dan tegas
dinyatakan dalam simbol diskursif.
bahasa adalah simbol bagi makna yang berada di baliknya. Ibarat kata adalah sebuah
badan, maka makna adalah
ruhnya. Karena itu sebuah kata hanya akan berfungsi sebagai simbol jika tidak
dipisahkan dari konsep maknanya.
Kosa kata apapun tidak akan berfungsi sebagai sebuah simbol bagi seseorang yang
tidak mengetahui maknanya.
Contohnya adalah bahasa arab, Arab yang dipakai al-Qur'an misalnya, tidak akan
berfungsi sebagai penyampai pesan-pesan ilahi bagi siapa pun yang tidak mengerti
bahasa Arab.

Sistem simbolik bahasa Arab yang disandarkan pada kehidupan masyarakat Arab berarti
pula bahwa bahasa Arab sangat berkaitan dengan pola kehidupan masyarakat Arab.
Pamakaian bahasa Arab oleh al-Qur'an menunjukkan bahwa simbol bahasa al-Qur'an
sangat terkait pada budaya bahasa Arab. Keterkaitan ini terlihat jelas pada pemakaian
kosa-kata bahasa Arab yang hanya dapat dipahami dengan baik oleh masyarakat Arab.
Lebih jauh lagi, keterkaitan bahasa al-Qur'an dengan budaya Arab ditunjukkan dalam
transformasi pesan-pesan ilahi melalui budaya masyarakat Arab

D. Hubungan Bahasa Dengan Berpikir


Menurut Ludwig Wittgenstein, ahli filsafat bahasa dari Austria,bahasa yang kita
gunakan itu tersirat suatu orientasi hidup yang bukan saja mencakup konsep yang kita
anut mengenai sekitar, melainkan juga PIKIRAN, nilai, perasaan, kebudayaan, hingga
takhayul. Bahasa dapat menentukan hubungan dan pergaulan dalam segala segi di
masyarakat.
Dengan bahasa kita dapat menyembunyikan dan pikiran, kita juga dapat mencipta
serta menyudahi konflik. Singkatnya, bahasa adalah petunjuk kehidupan dan gambaran
dunia kita. Padanya ditemukan analisis objektif kehidupan kita.
Dengan belajar bahasa siswa menemukan minat dan dengan begitu dapat
mengembangkan potensinya dan menemukan jati dirinya. Berbagai macam cara belajar
bahasa yakni membaca, menulis, dan berbicara adalah bagian dari proses berpikir.
Dengan bahasa, siswa dimampukan berpikir kalau boleh hingga ke tataran yang rumit
karena tersedianya sebuah struktur untuk mengekspresikan dan mengenali hubungan
antarkonsep dan dengan itu ia dapat berkomunikasi dengan sesamanya. Dalam pelajaran
bahasa, siswa belajar tentang bagaimana berkomunikasi sambil mengenali cara berpikir
yang sesuai budaya bahasa yang dipelajarinya. Contoh keseharian tulisan membuktikan
bahwa siswa tak biasa dan bisa berpikir. Bercakap dan berkomunikasi juga sulit bagi
banyak orang. Hal yang sama tampak pula pada bacaan mereka.
Bahasa adalah pikiran dan perasaan yang lahir dari sebuah budaya dan
dunia.Dengan bahasa apa kita berbicara dalam hati. Bisa jadi semua yang keluar lewat
mulut kita merupakan refleksi dari bagaimana cara kita berpikir.

Sumber :
* http://www.kompas.com/kompas-cetak/0305/05/opini/292386.htm
*http://jurnalnasional.com/?med=Koran
%20Harian&sec=Gelanggang&rbrk=&id=31311&postdate=2008-01-
20&detail=Gelanggang
*http://abdulkadirsalam.com/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=79

Anda mungkin juga menyukai