Anda di halaman 1dari 14

BAHASA INDONESIA

DISUSUN OLEH
WILLEM SAHETAPY (201767047)

TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN


FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITTAS PATTIMURA
AMBON
2018
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Bangsa Indonesia yang terdiri atas berbagai suku bangsa dengan beragam bahasa daerah
yang dimilikinya memerlukan adanya satu bahasa persatuan guna menggalang semangat
kebangsaan. Semangat kebangsaan ini sangat penting dalam perjuangan mengusir penjajah
dari bumi Indonesia.

Kesadaran politis seperti inilah yang memunculkan ide pentingnya bahasa yang satu,
bahasa persatuan, bahasa yang dapat menghubungkan keinginan pemuda-pemudi dari
berbagai suku bangsa dan budaya di Indonesia saat itu.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Sejarah munculnya Nama Indonesia pertama kali?
2. Bagaimana awal mula terbentuknya bahasa Indonesia?
3. Apa makna bahasa Indonesia bagi rakyat Indonesia?
4. Apa pengaruh bahasa Indonesia terhadap persatuan bangsa?
5. Kedudukan Bahasa Indonesia ?

C. Tujuan
1. Menjelaskan Sejarah munculnya Nama Indonesia pertama kali.
2. Menjelaskan awal mula terbentuknya bahasa Indonesia.
3. Menjelaskan makna bahasa Indonesia bagi rakyat Indonesia.
4. Menjelaskan pengaruh bahasa Indonesia terhadap persatuan bangsa.
5. Kedudukan Bahasa Indonesia dalam Negara Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Sejarah munculnya Nama Indonesia pertama kali

Pada zaman purba, kepulauan tanah air disebut dengan aneka nama. Dalam catatan
bangsa Cina kawasan kepulauan tanah air dinamai Nan-hai (Kepulauan Laut Selatan). Berbagai
catatan kuno bangsa India menamai kepulauan ini Dwipantara (Kepulauan Tanah Seberang),
nama yang diturunkan dari kata Sansekerta dwipa (pulau) dan antara (luar, seberang). Kisah
Ramayana karya pujangga Valmiki menceritakan pencarian terhadap Sinta, istri Rama yang
diculik Rahwana, sampai ke Suwarnadwipa (Pulau Emas, yaitu Sumatra sekarang) yang terletak
di Kepulauan Dwipantara.

Bangsa Arab menyebut tanah air kita Jaza'ir al-Jawi (Kepulauan Jawa). Nama Latin
untuk kemenyan adalah benzoe, berasal dari bahasa Arab luban jawi (kemenyan Jawa), sebab
para pedagang Arab memperoleh kemenyan dari batang pohon Styrax sumatrana yang dahulu
hanya tumbuh di Sumatra. Sampai hari ini jemaah haji kita masih sering dipanggil "Jawa" oleh
orang Arab. Bahkan orang Indonesia luar Jawa sekalipun. Dalam bahasa Arab juga dikenal
Samathrah (Sumatra), Sholibis (Sulawesi), Sundah (Sunda), semua pulau itu dikenal sebagai
kulluh Jawi (semuanya Jawa).

Bangsa-bangsa Eropa yang pertama kali datang beranggapan bahwa Asia hanya terdiri
dari Arab, Persia, India, dan Tiongkok. Bagi mereka, daerah yang terbentang luas antara Persia
dan Tiongkok semuanya adalah "Hindia". Semenanjung Asia Selatan mereka sebut "Hindia
Muka" dan daratan Asia Tenggara dinamai "Hindia Belakang". Sedangkan tanah air memperoleh
nama "Kepulauan Hindia" (Indische Archipel, Indian Archipelago, l'Archipel Indien) atau
"Hindia Timur" (Oost Indie, East Indies, Indes Orientales). Nama lain yang juga dipakai adalah
"Kepulauan Melayu" (Maleische Archipel, Malay Archipelago, l'Archipel Malais).
Pada jaman penjajahan Belanda, nama resmi yang digunakan adalah Nederlandsch-Indie
(Hindia Belanda), sedangkan pemerintah pendudukan Jepang 1942-1945 memakai istilah To-
Indo (Hindia Timur). Eduard Douwes Dekker (1820-1887), yang dikenal dengan nama samaran
Multatuli, pernah mengusulkan nama yang spesifik untuk menyebutkan kepulauan tanah air kita,
yaitu Insulinde, yang artinya juga "Kepulauan Hindia" (bahasa Latin insula berarti pulau). Nama
Insulinde ini kurang popular

A. Pengenalan Nusantara
Pada tahun 1920-an, Ernest Francois Eugene Douwes Dekker (1879-1950), yang dikenal
sebagai Dr. Setiabudi (cucu dari adik Multatuli), memperkenalkan suatu nama untuk tanah air
kita yang tidak mengandung unsur kata "India". Nama itu tiada lain adalah Nusantara, suatu
istilah yang telah tenggelam berabad-abad lamanya. Setiabudi mengambil nama itu dari
Pararaton, naskah kuno zaman Majapahit yang ditemukan di Bali pada akhir abad ke-19 lalu
diterjemahkan oleh J.L.A. Brandes dan diterbitkan oleh Nicholaas Johannes Krom pada tahun
1920.
Pengertian Nusantara yang diusulkan Setiabudi jauh berbeda dengan pengertian
nusantara zaman Majapahit. Pada masa Majapahit, Nusantara digunakan untuk menyebutkan
pulau-pulau di luar Jawa (antara dalam bahasa Sansekerta artinya luar, seberang) sebagai lawan
dari Jawadwipa (Pulau Jawa). Sumpah Palapa dari Gajah Mada tertulis "Lamun huwus kalah
nusantara, isun amukti palapa" (Jika telah kalah pulau-pulau seberang, barulah saya menikmati
istirahat).
Oleh Dr. Setiabudi kata nusantara zaman Majapahit yang berkonotasi jahiliyah itu diberi
pengertian yang nasionalistis. Dengan mengambil kata Melayu asli antara, maka Nusantara kini
memiliki arti yang baru yaitu "nusa di antara dua benua dan dua samudra", sehingga Jawa pun
termasuk dalam definisi nusantara yang modern. Istilah nusantara dari Setiabudi ini dengan cepat
menjadi populer penggunaannya sebagai alternatif dari nama Hindia Belanda.Sampai hari ini
istilah nusantara tetap dipakai untuk menyebutkan wilayah tanah air dari Sabang sampai
Merauke.
B. Pengenalan Nama Indonesia
Pada tahun 1847 di Singapura terbit sebuah majalah ilmiah tahunan, Journal of the Indian
Archipelago and Eastern Asia (JIAEA), yang dikelola oleh James Richardson Logan (1819-
1869), seorang Skotlandia yang meraih sarjana hukum dari Universitas Edinburgh. Kemudian
pada tahun 1849 seorang ahli etnologi bangsa Inggris, George Samuel Windsor Earl (1813-
1865), menggabungkan diri sebagai redaksi majalah JIAEA.
Dalam JIAEA Volume IV tahun 1850, halaman 66-74, Earl menulis artikel On the
Leading Characteristics of the Papuan, Australian and Malay-Polynesian Nations. Dalam
artikelnya itu Earl menegaskan bahwa sudah tiba saatnya bagi penduduk Kepulauan Hindia atau
Kepulauan Melayu untuk memiliki nama khas (a distinctive name), sebab nama Hindia tidaklah
tepat dan sering rancu dengan penyebutan India yang lain. Earl mengajukan dua pilihan nama:
Indunesia atau Malayunesia (nesos dalam bahasa Yunani berarti pulau). Pada halaman 71
artikelnya itu tertulis: "... the inhabitants of the Indian Archipelago or Malayan Archipelago
would become respectively Indunesians or Malayunesians".
Earl sendiri menyatakan memilih nama Malayunesia (Kepulauan Melayu) daripada
Indunesia (Kepulauan Hindia), sebab Malayunesia sangat tepat untuk ras Melayu, sedangkan
Indunesia bisa juga digunakan untuk Ceylon (Srilanka) dan Maldives (Maladewa). Earl
berpendapat juga bahwa bahasa Melayu dipakai di seluruh kepulauan ini. Dalam tulisannya itu
Earl memang menggunakan istilah Malayunesia dan tidak memakai istilah Indunesia. Dalam
JIAEA Volume IV itu juga, halaman 252-347, James Richardson Logan menulis artikel The
Ethnology of the Indian Archipelago. Pada awal tulisannya, Logan pun menyatakan perlunya
nama khas bagi kepulauan tanah air kita, sebab istilah "Indian Archipelago" terlalu panjang dan
membingungkan. Logan memungut nama Indunesia yang dibuang Earl, dan huruf u digantinya
dengan huruf o agar ucapannya lebih baik. Maka lahirlah istilah Indonesia.
Untuk pertama kalinya kata Indonesia muncul di dunia dengan tercetak pada halaman
254 dalam tulisan Logan: "Mr. Earl suggests the ethnographical term Indunesian, but rejects it in
favour of Malayunesian. I prefer the purely geographical term Indonesia, which is merely a
shorter synonym for the Indian Islands or the Indian Archipelago". Ketika mengusulkan nama
"Indonesia" agaknya Logan tidak menyadari bahwa di kemudian hari nama itu akan menjadi
nama resmi. Sejak saat itu Logan secara konsisten menggunakan nama "Indonesia" dalam
tulisan-tulisan ilmiahnya, dan lambat laun pemakaian istilah ini menyebar di kalangan para
ilmuwan bidang etnologi dan geografi.
Pada tahun 1884 guru besar etnologi di Universitas Berlin yang bernama Adolf Bastian
(1826-1905) menerbitkan buku Indonesien oder die Inseln des Malayischen Archipel sebanyak
lima volume, yang memuat hasil penelitiannya ketika mengembara ke tanah air pada tahun 1864
sampai 1880. Buku Bastian inilah yang memopulerkan istilah "Indonesia" di kalangan sarjana
Belanda, sehingga sempat timbul anggapan bahwa istilah "Indonesia" itu ciptaan Bastian.
Pendapat yang tidak benar itu, antara lain tercantum dalam Encyclopedie van Nederlandsch-
Indie tahun 1918. Padahal Bastian mengambil istilah "Indonesia" itu dari tulisan-tulisan Logan.
Pribumi yang mula-mula menggunakan istilah "Indonesia" adalah Suwardi Suryaningrat
(Ki Hajar Dewantara). Ketika dibuang ke negeri Belanda tahun 1913 beliau mendirikan sebuah
biro pers dengan nama Indonesische Pers-bureau. Nama indonesisch (Indonesia) juga
diperkenalkan sebagai pengganti indisch (Hindia) oleh Prof Cornelis van Vollenhoven (1917).
Sejalan dengan itu, inlander (pribumi) diganti dengan indonesiër (orang Indonesia).

C. Pengenalan Nusantara dalam Politik


Pada dasawarsa 1920-an, nama "Indonesia" yang merupakan istilah ilmiah dalam
etnologi dan geografi itu diambil alih oleh tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan tanah air kita,
sehingga nama "Indonesia" akhirnya memiliki makna politis, yaitu identitas suatu bangsa yang
memperjuangkan kemerdekaan. Akibatnya pemerintah Belanda mulai curiga dan waspada
terhadap pemakaian kata ciptaan Logan itu.
Pada tahun 1922 atas inisiatif Mohammad Hatta, seorang mahasiswa Handels
Hoogeschool (Sekolah Tinggi Ekonomi) di Rotterdam, organisasi pelajar dan mahasiswa Hindia
di Negeri Belanda (yang terbentuk tahun 1908 dengan nama Indische Vereeniging) berubah
nama menjadi Indonesische Vereeniging atau Perhimpoenan Indonesia. Majalah mereka, Hindia
Poetra, berganti nama menjadi Indonesia Merdeka.
Bung Hatta menegaskan dalam tulisannya,: "Negara Indonesia Merdeka yang akan
datang (de toekomstige vrije Indonesische staat) mustahil disebut "Hindia Belanda". Juga tidak
"Hindia" saja, sebab dapat menimbulkan kekeliruan dengan India yang asli. Bagi kami nama
Indonesia menyatakan suatu tujuan politik (een politiek doel), karena melambangkan dan
mencita-citakan suatu tanah air di masa depan, dan untuk mewujudkannya tiap orang Indonesia
(Indonesier) akan berusaha dengan segala tenaga dan kemampuannya."
Di tanah air Dr. Sutomo mendirikan Indonesische Studie Club pada tahun 1924. Tahun
itu juga Perserikatan Komunis Hindia berganti nama menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI).
Pada tahun 1925 Jong Islamieten Bond membentuk kepanduan Nationaal Indonesische
Padvinderij (Natipij). Itulah tiga organisasi di tanah air yang mula-mula menggunakan nama
"Indonesia". Akhirnya nama "Indonesia" dinobatkan sebagai nama tanah air, bangsa dan bahasa
pada Kerapatan Pemoeda-Pemoedi Indonesia tanggal 28 Oktober 1928, yang kini dikenal dengan
sebutan Sumpah Pemuda.
2.2 Awal mula terbentuknya bahasa Indonesia

Sebagai sebuah bahasa, bahasa Indonesia berasal dari rumpun bahasa melayu, salah
satu bagian dari rumpun Austronesia. Bahasa Melayu ini sudah mulai dipakai di kawasan
Asia Tenggara sejak abad ke-7. Bukti yang menyatakan itu ialah dengan ditemukannya
prasasti di Kedukan Bukit berangka tahun 683 M (Palembang), Talang Tuwo berangka tahun
684 M (Palembang), Kota Kapur berangka tahun 686 M (Bangka Barat), dan Karang Brahi
berangka tahun 688 M (Jambi). Prasasti itu bertuliskan huruf Pranagari berbahasa Melayu
Kuna. Bahasa Melayu Kuna (istilah pertama ‘Bahasa Melayu’) itu tidak hanya dipakai pada
zaman Sriwijaya karena di Jawa Tengah (Gandasuli) juga ditemukan prasasti berangka tahun
832 M dan di Bogor ditemukan prasasti berangka tahun 942 M yang juga menggunakan
bahasa Melayu Kuna.

Pada zaman Sriwijaya, bahasa Melayu dipakai sebagai bahasa kebudayaan, yaitu
bahasa buku pelajaran agama Budha. Bahasa Melayu juga dipakai sebagai bahasa
perhubungan antarsuku di Nusantara dan sebagai bahasa perdagangan, baik sebagai bahasa
antarsuku di Nusantara maupun sebagai bahasa yang digunakan terhadap para pedagang yang
datang dari luar Nusantara.Terdapat informasi dari seorang ahli sejarah Cina, I-Tsing, yang
belajar agama Budha di Sriwijaya, antara lain, menyatakan bahwa di Sriwijaya ada bahasa
yang bernama Koen-louen (I-Tsing:63,159), Kou-luen (I-Tsing:183), K’ouen-louen (Ferrand,
1919), Kw’enlun (Alisjahbana, 1971:1089). Kun’lun (Parnikel, 1977:91), K’un-lun (Prentice,
1078:19), yang berdampingan dengan Sansekerta. Yang dimaksud Koen-luen adalah bahasa
perhubungan (lingua franca) di Kepulauan Nusantara, yaitu bahasa Melayu.

Perkembangan dan pertumbuhan bahasa Melayu tampak makin jelas dari peninggalan
kerajaan Islam, baik yang berupa batu bertulis, seperti tulisan pada batu nisan di Minye
Tujoh, Aceh, berangka tahun 1380 M, maupun hasil susastra (abad ke-16 dan ke-17), seperti
Syair Hamzah Fansuri, Hikayat Raja-Raja Pasai, Sejarah Melayu, Tajussalatin, dan
Bustanussalatin.Bahasa Melayu menyebar ke pelosok Nusantara bersamaan dengan
menyebarnya agama Islam di wilayah Nusantara. Bahasa Melayu mudah diterima oleh
masyarakat Nusantara sebagai bahasa perhubungan antarpulau, antarsuku, antarpedagang,
antarbangsa, dan antarkerajaan karena bahasa Melayu tidak mengenal tingkat tutur. Bahasa
Melayu dipakai di mana-mana di wilayah Nusantara serta makin berkembang dan bertambah
kukuh keberadaannya. Bahasa Melayu yang dipakai di daerah di wilayah Nusantara dalam
8
pertumbuhannya dipengaruhi oleh corak budaya daerah. Bahasa Melayu menyerap kosakata
dari berbagai bahasa, terutama dari bahasa Sanskerta, bahasa Persia, bahasa Arab, dan
bahasa-bahasa Eropa. Bahasa Melayu pun dalam perkembangannya muncul dalam berbagai
variasi dan dialek.

Perkembangan bahasa Melayu di wilayah Nusantara mempengaruhi dan mendorong


tumbuhnya rasa persaudaraan dan persatuan bangsa Indonesia. Komunikasi antar-
perkumpulan yang bangkit pada masa itu menggunakan bahasa Melayu. Para pemuda
Indonesia yang tergabung dalam perkumpulan pergerakan secara sadar mengangkat bahasa
Melayu menjadi bahasa Indonesia, yang menjadi bahasa persatuan untuk seluruh bangsa
Indonesia (Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928). Meskipun demikian, hanya sebagian kecil
dari penduduk Indonesia yang benar-benar menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa
ibu karena dalam percakapan sehari-hari (tidak resmi), masyarakat Indonesia lebih suka
menggunakan bahasa daerahnya masing-masing seperti bahasa Melayu pasar, bahasa Jawa,
bahasa Sunda, dll. Untuk sebagian besar lainnya bahasa Indonesia adalah bahasa kedua , dan
pada taraf resmilah maka bahasa Indonesia menjadi bahasa pertama. Bahasa Indonesia adalah
sebuah dialek bahasa Melayu yang menjadi bahasa resmi Republik Indonesia. Kata
“Indonesia” sendiri sebenarnya berasal dari dua kata bahasa Yunani, yaitu Indos yang berarti
“India” dan nesos yang berarti “pulau“. Jadi kata Indonesia berarti kepulauan India, atau
kepulauan yang berada di wilayah India.

2.3 Makna Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan

Bahasa Indonesia diresmikan sebagai bahasa Republik Indonesia, sebagaimana


disebutkan dalam Undang-Undang Dasar RI 1945 (Pasal 36), pada tanggal 18 Agustus 1945.
Bahasa Indonesia merupakan bahasa dinamis yang hingga sekarang terus menghasilkan kata-
kata baru, baik melalui penciptaan, maupun penyerapan dari bahasa daerah dan asing. Bahasa
Indonesia adalah dialek baku dari bahasa Melayu yang pokoknya dari bahasa Melayu Riau
sebagaimana diungkapkan oleh Ki Hajar Dewantara dalam Kongres Bahasa Indonesia I
tahun 1939 di Solo, Jawa Tengah, “jang dinamakan ‘Bahasa Indonesia’ jaitoe bahasa Melajoe
jang soenggoehpoen pokoknja berasal dari ‘Melajoe Riaoe’, akan tetapi jang soedah
ditambah, dioebah ataoe dikoerangi menoeroet keperloean zaman dan alam baharoe, hingga
bahasa itoe laloe moedah dipakai oleh rakjat di seloeroeh Indonesia; pembaharoean bahasa
Melajoe hingga menjadi bahasa Indonesia itoe haroes dilakoekan oleh kaoem ahli jang

9
beralam baharoe, ialah alam kebangsaan Indonesia”. atau sebagaimana diungkapkan dalam
Kongres Bahasa Indonesia II 1954 di Medan, Sumatra Utara, “…bahwa asal bahasa
Indonesia ialah bahasa Melaju. Dasar bahasa Indonesia ialah bahasa Melaju jang disesuaikan
dengan pertumbuhannja dalam masjarakat Indonesia”.

Awal penciptaan Bahasa Indonesia sebagai jati diri bangsa sebenarnya bermula sejak
Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928. Di sana, pada Kongres Nasional kedua di
Jakarta, dicanangkanlah penggunaan Bahasa Indonesia sebagai bahasa untuk negara
Indonesia pasca kemerdekaan. Pada saat itu, Soekarno tidak memilih bahasanya sendiri, Jawa
(yang sebenarnya juga bahasa mayoritas pada saat itu), namun beliau memilih Bahasa
Indonesia yang beliau dasarkan dari Bahasa Melayu yang dituturkan di Riau karena beliau
memiliki beberapa pertimbangan sebagai berikut:

1. Jika bahasa Jawa digunakan, suku-suku bangsa atau puak lain di Republik Indonesia
akan merasa dijajah oleh suku Jawa yang merupakan puak (golongan) mayoritas di
Republik Indonesia.
2. Bahasa Jawa jauh lebih sukar dipelajari dibandingkan dengan bahasa Melayu Riau.
Ada tingkatan bahasa halus, biasa, dan kasar yang dipergunakan untuk orang yang
berbeda dari segi usia, derajat, ataupun pangkat. Bila pengguna kurang memahami
budaya Jawa, ia dapat menimbulkan kesan negatif yang lebih besar.

3. Bahasa Melayu Riau yang dipilih, dan bukan Bahasa Melayu Pontianak, atau
Banjarmasin, atau Samarinda, atau Maluku, atau Jakarta (Betawi), ataupun Kutai,
dengan pertimbangan pertama suku Melayu berasal dari Riau, Sultan Malaka yang
terakhirpun lari ke Riau selepas Malaka direbut oleh Portugis. Kedua, ia sebagai
lingua franca, Bahasa Melayu Riau yang paling sedikit terkena pengaruh misalnya
dari bahasa Tionghoa Hokkien, Tio Ciu, Ke, ataupun dari bahasa lainnya.

Pengguna bahasa Melayu bukan hanya terbatas di Republik Indonesia. Pada tahun
1945, pengguna bahasa Melayu selain Republik Indonesia masih dijajah Inggris. Malaysia,
Brunei, dan Singapura masih dijajah Inggris. Pada saat itu, dengan menggunakan bahasa
Melayu sebagai bahasa persatuan, diharapkan di negara-negara kawasan seperti Malaysia,
Brunei, dan Singapura bisa ditumbuhkan semangat patriotik dan nasionalisme negara-negara
jiran di Asia Tenggara.Dengan memilih Bahasa Melayu Riau, para pejuang kemerdekaan
bersatu lagi seperti pada masa Islam berkembang di Indonesia, namun kali ini dengan tujuan

10
persatuan dan kebangsaan.Bahasa Indonesia yang sudah dipilih ini kemudian distandardisasi
(dibakukan) lagi dengan nahu (tata bahasa), dan kamus baku juga diciptakan. Hal ini sudah
dilakukan pada zaman Penjajahan Jepang.

Pada mulanya Bahasa Indonesia ditulis dengan tulisan Latin-Romawi mengikuti ejaan
Belanda, hingga tahun 1972 ketika Ejaan Yang Disempurna- kan (EYD) dicanangkan.
Dengan EYD, ejaan dua bahasa serumpun, yakni Bahasa Indonesia dan Bahasa Malaysia,
semakin dibakukan. Ada empat periode penting dari kontak kebudayaan dengan dunia luar
yang meninggalkan jejaknya pada perbendaharaan kata Bahasa Indonesia.

1. Hindu (antara abad ke-6 sampai 15 M) Sejumlah besar kata berasal dari Sansekerta
Indo-Eropa. (Contoh: samudra, suami, istri, raja, putra, pura, kepala, mantra, cinta,
kaca)
2. Islam (dimulai dari abad ke-13 M) Di periode ini diambillah sejumlah besar kata
dari bahasa Arab dan Persia (Contoh: masjid, kalbu, kitab, kursi, doa, khusus, maaf,
selamat.

3. Kolonial Pada periode ini ada beberapa bahasa yang diambil, di antaranya adalah dari
Portugis (seperti contohnya, gereja, sepatu, sabun, meja, jendela) dan Belanda
(contoh: asbak, kantor, polisi, kualitas.

4. Pasca Kolonialisasi (Kemerdekaan dan seterusnya)    Pada masa ini banyak kata
yang diambil berasal dari bahasa Inggris. (Contoh: konsumen, isyu). Dan lalu ada
juga Neo-Sansekerta yaitu neologisme yang didasarkan pada bahasa Sansekerta,
(contoh: dasawarsa, lokakarya, tunasusila). Selain itu, bahasa Indonesia juga
menyerap perbendaharaan katanya dari bahasa Tionghoa (contoh: pisau, tauge, tahu,
loteng, teko, tauke, loteng, cukong).

2.4 Pengaruh Bahasa Indonesia

1) Pengaruh Bahasa Indonesia Sebelum Masa Kolonial


Meskipun bukti-bukti autentik tidak ditemukan, bahasa yang digunakan pada
masa kejayaan kerajaan Sriwijaya pada abad VII adalah bahasa Melayu. Sementara itu,
bukti-bukti yang tertulis mengenai pemakaian bahasa Melayu dapat ditemukan pada
tahun 680 Masehi, yakni digunakannya bahasa Melayu untuk penulisan batu prasasti, di
antaranya sebagai berikut.
11
 Prasasti yang ditemukan di Kedukan Bukit berangka tahun 683 Masehi.
 Prasasti yang ditemukan di Talang Tuwo (dekat Palembang) berangka tahun 686
Masehi.
 Prasasti yang ditemukan di Kota Kapur (Bangka Barat) berangka tahun 686 Masehi.
 Prasasti yang ditemukan di Karang Brahi (antara Jambi dan Sungai Musi) berangka
tahun 686 Masehi.
 Prasasti dengan nama Inskripsi Gandasuli yang ditemukan di daerah Kedu dan berasal
dari tahun 832 Masehi.
 Pada tahun 1356 ditemukan lagi sebuah prasasti yang bahasanya berbentuk prosa
diselingi puisi (?).
 Pada tahun 1380 di Minye Tujoh, Aceh, ditemukan batu nisan yang berisi suatu
model syair tertua .

2) Pengaruh Bahasa Indonesia di Masa Kolonial


Pada abad XVI, ketika orang-orang Eropa datang ke Nusantara mereka sudah
mendapati bahasa Melayu sebagai bahasa pergaulan dan bahasa perantara dalam
kegiatan perdagangan. Bukti lain yang dapat dipaparkan adalah naskah/daftar kata
yang disusun oleh Pigafetta pada tahun 1522. Di samping itu, pengakuan orang
Belanda, Danckaerts, pada tahun 1631 yang mendirikan sekolah di Nusantara
terbentur dengan bahasa pengantar.
  Oleh karena itu, pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan surat keputusan:
K.B. 1871 No. 104 yang menyatakan bahwa pengajaran di sekolah-sekolah
bumiputera diberi dalam bahasa Daerah, kalau tidak dipakai bahasa Melayu.

3) Perkembangan Bahasa Indonesia di Masa Pergerakan


Setelah Sumpah Pemuda, perkembangan Bahasa Indonesia tidak berjalan
dengan mulus. Belanda sebagai penjajah melihat pengakuan pada bahasa Indonesia itu
sebagai kerikil tajam. Oleh karena itu, dimunculkanlah seorang ahli pendidik Belanda
bernama Dr. G.J. Niewenhuis dengan politik bahasa kolonialnya. Isi politik bahasa
kolonial Niewenhuis itu lebih kurang sebagai berikut.
Pengaruh politik bahasa yang dicetuskan Niewenhuis itu tentu saja
menghambat perkembangan bahasa Indonesia. Banyak pemuda pelajar berlomba-
lomba mempelajari bahasa Belanda, bahkan ada yang meminta pengesahan agar

12
diakui sebagai orang Belanda (seperti yang dilukiskan Abdul Muis dalam roman
Salah Asuhan pada tokoh Hanafi). Sebaliknya, pada masa pendudukan Dai Nippon,
bahasa Indonesia mengalami perkembangan yang pesat. Tentara pendudukan Jepang
sangat membenci semua yang berbau Belanda; sementara itu orang-orang bumiputera
belum bisa berbahasa Jepang. Oleh karena itu, digunakanlah bahasa Indonesia untuk
memperlancar tugas-tugas administrasi dan membantu tentara Dai Nippon melawan
tentara Belanda dan sekutu-sekutunya.

2.5 Kedudukan Bahasa Indonesia

Bahasa Indonesia mempunyai dua kedudukan yang sangat penting, yaitu sebagai
bahasa nasional , dan sebagai bahasa resmi/Negara. Kedudukan bahasa Indonesia sebagai
bahasa nasional diperoleh sejak awal kelahirannya, yaitu tanggal 28 Oktober 1928 dalam
Sumpah Pemuda. Bahasa Indonesia dalam kedudukannya sebagai bahasa nasional sekaligus
merupakan bahasa persatuan.
  Secara Nasional
 Lambang Kebanggaan Nasional.
 Lambang Identitas Negara.
 Alat pemersatu bangsa yang berbeda latar belakang sosial budaya.
 Alat Penghubung antar budaya antar daerah.
 Secara Resmi

 Bahasa resmi kenegaraan.

 Pengantar dalam dunia pendidikan.

 Penghubung pada tingkat nasional untuk kepentingan perencanaan dan


pelaksanaan pembangunan nasional serta kepentingan pemerintah.

 Alat pengembangan kebudayaan,ilmu pengetahuan teknologi.

13
BAB III
KESIMPULAN

 Sebagai sebuah bahasa, bahasa Indonesia berasal dari rumpun bahasa melayu, salah
satu bagian dari rumpun Austronesia.
 Bahasa Melayu sudah mulai dipakai di kawasan Asia Tenggara sejak abad ke-7.
 Bahasa Indonesia diresmikan sebagai bahasa Republik Indonesia, sebagaimana
disebutkan dalam Undang-Undang Dasar RI 1945 (Pasal 36), pada tanggal 18 Agustus
1945.
 Bahasa Indonesia mempunyai dua kedudukan yang sangat penting, yaitu sebagai
bahasa nasional , dan sebagai bahasa resmi/Negara.
 Pada masa kejayaan kerajaan Hindu (antara abad ke-6 sampai 15 M) Sejumlah besar
kata bahasa Indonesia berasal dari Sansekerta Indo-Eropa. (Contoh: samudra, suami,
istri, raja, putra, pura, kepala, mantra, cinta, kaca).
 Pada masa kejayaan kerajaan Islam (dimulai dari abad ke-13 M) sejumlah besar kata
bahasa Indonesia diambil dari bahasa Arab dan Persia (Contoh: masjid, kalbu, kitab,
kursi, doa, khusus, maaf, selamat.
 Pada masa Kolonial ada beberapa bahasa yang diambil dari bahasa Portugis (seperti
contohnya, gereja, sepatu, sabun, meja, jendela) dan Belanda (contoh: asbak, kantor,
polisi, kualitas.
 Pada masa Pasca Kolonialisasi (Kemerdekaan dan seterusnya)  banyak kata yang
diambil berasal dari bahasa Inggris. (Contoh: konsumen, isyu). Dan lalu ada juga Neo-
Sansekerta yaitu neologisme yang didasarkan pada bahasa Sansekerta, (contoh:
dasawarsa, lokakarya, tunasusila). Selain itu, bahasa Indonesia juga menyerap
perbendaharaan katanya dari bahasa Tionghoa (contoh: pisau, tauge, tahu, loteng, teko,
tauke, loteng, cukong).

14

Anda mungkin juga menyukai