Anda di halaman 1dari 15

PENDAHULUAN

Khulafaur Rasyidin adalah para pemimipin pengganti Rosulullah. Salah


satu dari Khulafaur Rasyidin adalah Umar Bin Khattab. Diaalah sahabat
Rosulullah yang paling cemerlang, sang inspirator umat islam. Umar adalah
bentetng agama islam yang paling kokoh sekaligus pilarnya yang paling kuat.
Umar merupakan  khalifah yang berhasil menyebarluaskan islam sampai
kepelosok negeri- negeri yang jauh yang sebelumnya belum pernah tersentuh oleh
peradaban islam. Hanya dalam waktu singkat, yaitu 10 tahun masa
pemerintahanya, dia berhasil menaklukan wilayan yang membentang dari Afrika
Utara hingga ke Persia. Untuk mengatur sebuah negara yang besar, maka
dipeloporilah pembentukan jawatan pemerintahan, sistem ketatanegaraan yang
lebih maju dan perbaikan administrasi negara.
Dalam sejarah peradaban Islam, tentunya telah diketahui bahwa Umar
binKhattab merupakan salah satu khalifah yang berpengaruh besar dalam
kemajuanIslam. Berbagai prestasi yang gemilang yang telah dicapai yang belum
pernahdiperoleh pada masa sebelumnya. Salah satu sistem yang dikembangkan
oleh Umarbin Khattab pada masa pemerintahannya adalah ekspansi besar-besaran
danpembaruan dalam sistem administrasi negara. Sehingga menjadi kekuatan
politikbagi pemerintahan Islam pada waktu itu. Pada masa kekhalifahan Umar,
wilayahkekuasaan Islam sudah meliputi Jazirah Arabia, Palestina, Syria, sebagian
besarwilayah Persia, dan Mesir
Umar telah terbukti memiliki kualitas kepribadian yang agung yang
mampumembawa umat Islam kepada kejayaan. Kehebatan Umar telah mendapatpengakuan
dari berbagai kalangan, baik yang beragama Islam maupun tidak. Apayang dilakukan Umar
bin Khattab merupakan langkah cemerlang, sehinggadianggap pemerintahan
paling berhasil membawa umat Islam mencapai kejayaandibidang politik dan
kesejahteraan dibidang sosial ekonomi yang belum sempatdicapai pada masa
pemerintahan khalifah sebelum dan sesudahnya.
Untuk itu pada makalah ini akan sedikit dipaparkan mengenai peradaban
islam pada masa khalifah Umar bin Khattab dengan rumusan masalah seperti di
bawah ini.
1. RUMUSAN MASALAH
A. Bagaimana Riwayat Hidup Umar bin Khattab ?
B. Bagaimana Perluasan Daerah Islam Selama Pemerintahanya ?
C. Bagaimana Sistem Ketatanegaraanya ?
D. Bagaimana Ijtihad Umar bin Khattab?

2. TUJUAN PENULISAN
A. Bagaimana Riwayat Hidup Umar bin Khattab ?
B. Bagaimana Perluasan Daerah Islam Selama Pemerintahanya ?
C. Bagaimana Sistem Ketatanegaraanya ?
D. Bagaimana Ijtihad Umar bin Khattab?
PEMBAHASAN

A. Riwayat Hidup Umar  bin Khattab


Umar lahir dari keturunan yang mulia. Ia berasal dari suku Quraisy. Nasabnya
bertemu dengan Rosulullah pada leluhur mereka yang kesembilan. Pohon
keturunan Umar dapat ditelusuri sebagai berikut: Umar adalah putra Khattab,
putra Nufail,  putra Abd al-Uzza, putra Riyah, putra Abdullah, putra Qarth, putra
Razah, putra ‘Adiy, putra Ka’ab, pura Lu’ay, putra Ghalib al ‘Adawiy al Quraisyi.
Nasab Umar bertemu dengan nasab Nabi Muhammad SAW pada Ka’ab.
Sementara itu, ibunda Umar adalah Hantamah putri Hasyim, putra Al Mughirah al
Makhzumiyah.
Tak banyak yang tahu kapan pastinya Umar dilahirkan. Riwayat termasyhur
mengatakan bahwa Umar dilahirkan tiga belas tahun setelah kelahiran Nabi
Muhammad SAW atau sekitar tahun 586 M, di kota Makkah, kota kosmopolitan ,
semenanjung Arab.
Lahir dari klan ningrat, yatu Quraisy yang merupakan kaum bangsawan Arab
yang paling disegani karena orang-orang Quraiy tercatat sebagai orang terpandang
dan pemegang jawatan sosial. Seperti para saudagar, pedagang kaya, penjaga
ka’bah, pengawas para peziarah, penyelenggara diplomasi, penunjuk kepala suku,
ksatria perang, sekaligus pemegang administrasi perdagangan dan peradilan orang
– orang Arab. Sehingga Khattab, ayah Umar, mengajari Umar dengan berbagai
tradisi kelelakian khas semenanjung, seperti : menggembala ternak, memanah,
memainkan pedang dan tombak, berburu, menunggang kuda, administrasi, hingga
baca tulis dan mazmur – mazmur leluhur. Selain itu karena Umar juga sering
berdagang ke berbagai daerah  maka diapun menguasai beberapa bahasa seperti
Suryani (Suriahc – Aramaic), Ibrani dan Persi.1

1
Musthafa Murad, Kisah Hidup Umar Ibn khattab, ( Jakarta : Zaman, 2009 ), Hal.17-26
1. Riwayat Masuknya Umar pada Agama Islam.
“ Ya Allah, agungkanlah Islam dengan salah satu dari dua lelaki ini : Umar bin
Khattab atau Umar Ibn Hisyam Abu Jahal”. Itulah sepenggal doa Rosulullah pada
suatu ketika.
Pada saat Islam muncul yaitu pada saat Rosulullah mengumumkan misi
kenabianya, Umar adalah salah seorang penentang Rosulullah yang paling gigih.
Dia menganggap bahwa Islam adalah sesat dan kegilaan yang menentang
kepercayaan agama nenek moyang mereka. Sehingga dia sangat memusuhi Nabi
Muhammad. Dengan berbagai cara Umar menentang ajaran yang dibawa oleh
Rossulullah. Suatu ketika Umar megatakan kepada orang-orang bahwa dia akan
membunuh Rosulullah, kemudian dia keluar dari rumahnya dengan membawa
pedang yang terhunus tajam dan akan menuju ke kediaman Rosulullah, tiba di
tengah jalan dia bertemu adik kandungnya Fatimah sedang duduk dibawah pohon
sambil membawa mushaf dan membaca sebagian dari ayat Al-qur’an (surat At-
Thaha).
Dia bertanya kepada adiknya “apa yang telah kamu baca”, dengan sangat
ketakutan fatimah menjawab “ayat-ayat Al-quran” kemudian Umar memintanya
dan berkata ”sesungguhnya engkaulah yang lebih pantas aku bunuh terlebih
dahulu, ”jika kebenaran ada diantara kita apa yang akan engkau lakukan”  sahut
fatimah, ”berikan kertas itu padaku”, setelah umar membacanya, setelah dia
mengetahui ayat yang ia baca sangat berkaitan pada dirinya. hatinyapun luluh,
hatinya bergetar karena mendengar syair yang begitu indah, kemudian dia berlari
ke rumah Rosulullah dan menyatakan dia telah masuk Islam.
Dia masuk islam pada bulan Dzulhijjah tahun keenam kenabian dan dia
tercatat sebagai orang yang ke 40 yang masuk Islam. Umar wafat pada hari rabu
tanggal 25 dzulhijjah 23H / 644 M. Dia dibunuh oleh seorang budak Persia yang
bernama Abu Lu’luah atau Feroz pada saat beliau menjadi imam shalat subuh.
Pembunuhan ini konon dilatarbelakangi dendam pribadi Feroz terhadap Umar
karena merasa sakit hati atas kekalahan Persia yang pada saat itu merupakan
negara adigdaya.
B. Perluasan Daerah Islam pada Masa Pemerintahanya.
Perluasan daerah Islam pada masa itu begitu pesat, menyebar ke seluruh
Persia, mulai dari kawaasan timur hingga kawasan barat, Palestina , Mesir, dan
Suria. Di bawah ini sekilas kami paparkan bagaimana penaklukan-penaklukan
yang menjadi perluasan daerah Islam pada masa pemerintahan Umar bin Khathab.
Ketika para pembangkang di dalam negeri telah di kikis habis oleh Abu Bakar,
maka Khalifah Umar menganggap bahwa tugasnya yang pretama ialah
meneruskan ekspedisi yang dirintis oleh pendahulunya.
Di zaman Umar, gelombang ekspansi pertama terjadi di ibu kota Syiria,
Damaskus, dengan pimpinan panglima Ubaidah Ibnu Jarrah yang juga ditemani
oleh Khalid Bin Walid menuju kota-kota di Syam, pasukan Islam mampu
menguasai Damaskus, kemudian Fihl, dan Hims, menyusul kemudian Qanisrin,
Qaisarah,dan Biqa’ serta Ba’labak. Setelah itu Ajudain dan kota-kota Aljazairah,
serta kota-kota lain, dan itu jatuh pada tahun 635M, setahun kemudian 2seluruh
wilayah Suriah jatuh ketangan kaum Muslimin setelah pertempuran hebat di
lembah Yarmuk.
Dari Suriah lasykar kaum Muslimin melanjutkan ke Mesir. Amr Bin Ash
meminta izin Khalifah Umar untuk menaklukan wilayah itiu, tetapi Khalifah
masih ragu-ragu karena pasukan Islam masih terpencar di beberapa front
pertempuran. Akhirnya permintaan dikabulkan juga oleh Khalifah , dengan
mengirim 4000 tentara ke Mesir untuk membantu ekspedisi tersebut. Satu persatu
kota-kota di Mesir jatuh di tangan muslim, mulai dari Pelusium, Babylon, juga
Iskandariiyah sebagai ibu kota Mesir dikepung selama 4 bulan sebelum ditaklukan
oleh pasuakan Islam. Mesir ditaklukan pada tahun 641 M.
Setelah penaklukan Damaskus, dilanjutkan penaklukan menuju Persia,
Ubaidah Bin Mas’ud ats-Tsaqifi dan Jarir al-Bajali beserta pasukanya dikerahkan
menuju Kuffah, di tengah perjalanan pasukan Muslimin bertemu dengan pasukan

2
Ali Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, Cet.I, ( Jakarta: Logos, 1997) hal 54.
  Ahmad Al-Usairy,Sejarah Islam, (Jakarta: Akbar Media Eka Srana,2008) hal 156.
Persia, terjadilah pertempuran sengit antar keduanya, yang akhirnya kaum
muslimin memenangkan pertempuran itu. Kemudian dilanjutkan menuju
Qadisiyah dengan pimpinan Sa’ad Bin Abi Waqash. Pasukan muslimin dapat
mengalahkan pasukan Persia, yang saat itu berjumlah sekitar 240.000 pasukan
musuh dibawah piminan Rutstum, dan 39.000 bagi pasukan muslim.
Dengan sedikit kekalahan bagi kaum Muslimin sebelum datangnya kiriman
pasukan dari Suria. Pada tahun 635 M, atas titah Khalifah Umar di Madinah, Amr
bin al-Ash dan Syarhabil Ibn Hasanah beserta pasukanya bergerak menuju
Palestina. Dari Golan, Amr dan pasukanya memasuki Galileia. Di wilayah itu juga
terdapat kota-kota utama semisal Tiberias, Hebron, Nazaret dan lain-lain.
Mereka tidak banyak mendapat banyak kesulitan ketika menaklukan kota-kota
sepanjang Galileia, m3ereka hanya mendapat perlawanan kecil dari pihak
Bizantium yang masih tersisa.
Sementara itu, Yazid bin Abi Sofyan dan Mu’awiyah berhasil menaklukan
sepanjang Pesisir Pantai Levantina seperti Tripoli, Sidon, hingga Haifa di bagian
provinsi Palestina. Kemudian pada tahun 636 M, dilanjutkan menuju Yerussalem.
Dalam penaklukan Yerussalem tidak ada peperangan antara pasukan Muslim
dengan musuh ketika itu, dikarenakan panglima Yerussalem memilih jalan damai
kepada Khalifah Umar dengan beberapa syarat, dan Khalifah Umar menyetujui
syarat-syarat tersebut, pada akhirnya Yerussalem telah dikuasai oleh muslilmin.
Pada tahun 637 M, penaklukan dilanjutkan menuju ibu kota Persia
( Madain ), kota itupun berhasil ditaklukan setelah dikepung selama 2
bulan, Yazdair, Raja persia itu melarikan diri menuju Nahawand, Nahawand dan
Ahwaz ditundukkan 22 H. Pada tahun 641 M seluruh wilayah Persia sempurna di
bawah kekuasaan Islam, setelah pertempuran sengit di Nahawand, Isphahan,
jurjan, Tarbristan dan Azarbaijan juga ditaklukan.
Dengan demikian pada masa kepemimpinan Khalifah Umar, wilayah
kekuasaan Islam sudah meliputi Jazirah, Arabia, Palestina, Syria, sebagian besar
wilayah Persia, dan Mesir.

3
C. SistemKetatanegaraan yang Dibentuk

1. Jawatan Keilmuan
Pada masa pemerintahan Umar dibangun madrasah Makkah dengab guru
besarnya Abdullah Ibnu Abbas, Madrasah Madinah dengan guru besarny Zaid Ibn
Tsabit, Madrasah Bashrah dengan guru besarnya Anas Ibn Malik dan Abu Musa
Al Asy’ari, madrasah Kuffah dengan guru besarnya Abdullah Ibnu Mas’ud,
madrasah Syam dengan guru besarnya Mu’adz Ibn Jabal dan Abu Darda’, dan
madrasah Mesir dengan guru besarnya Uqbah Ibn Amir dan Amr Ibn Al Ash.

2. Jawatan Kesehatan.
Umar sangat mmperhatikan hak kesehatan rakat. Ia banyak mendirikan rumah
sakit, klinik, serta memberikan pelayanan kesehatan dengan sebaik-baiknya.

3. Pemerintahan dan Administrasi Negara.


Pada pemerintahanya Umar membagi administrasi negara menjadi unit-unit
berupa iqlim ( propinsi ) dan distrik. Hingga akhir masa jabatanya, Umar
membagi negara pemerintahanya menjadi beberapa propinsi, yaitu Makkah dan
Madinah ( mewakili seluruh wilayah semenanjung arabia ), jazirah, Kuffah,
Bashrah ( mewakili seluruh wilayah Irak ), Khurazan, Azerbaijan, Fars ( mewakili
seluruh wilayah Persia ), Suriah dan Palestina (mewakili seluruh wilayah
Mediterania timur), dan Mesir (ermasuk Afrika Utarra )

4. Pemisahan Antara Eksekutif dan Yudikatif


Salah satu terobosan terbesar Umar adalah memisahkan antara kekuasaan
eksekutif ( kekhalifahan ) dan yudikatif ( qadhi ). Awalnya konsep rangkap
jabatan itu juga diadopsi pada masa pemerintahan Umar, namun seiring dengan
perkembangan kekuasaan maka dibutuhkan mekanisme administratif yang lebih
baik. Karena itulah Umar memisahkan kekuasaan eksekutif dengan yudikatif.

5. Ahl al- Hall wa al-‘Aqd


Ahl al Hall wa al-‘Aqd merupakan kumpulan anggota majelis syura yang
terdiri atas ulama dan cendekiawan. Pada masa Umar hal itu dibagi atas beberapa
lembaga:
a) Majelis Permusyawaratan yang terbagi menjadi tiga divisi lagi, yaitu
Dewan Penasihat Tinggi, Dewan Penasihat Umum, dan dewan antara
penasihat tinggi dan penasihat umum.
b) Al Katib atau sekretaris negara.
c) Nidzam al-Ma’aly atau lembaga perbendaharaan
d) Nidzam al Idary atau lembaga administrasi.
e) Lembaga kepolisian dan Keamanan.
f) Lembaga kaegamaan dan Pendidikan.

D. Ijtihad Umar bin Khattab


Dalam panggung sejarah Islam, Umar Ibn al-Khattàb adalah dikenal sebagai
sosok tokoh pemikir yang cerdas, keras, dan pemberani. Ketika menjabat sebagai
khalifah ke 2 pada masa al-khulafà’ al-Ràsyidûn, ia telah banyak mengeluarkan
pemikiran yang kreatif. Tidak jarang dari pemikiran–pemikirannya tersebut secara
tekstual berbeda, bahkan 'berseberangan' dengan ketentuan normatif yang telah
mapan dan diterima secara baik di tengah–tengah masyarakat. Oleh karena itu,
pemikiran yang kontroversial ini sering menimbulkan pro dan kontra di kalangan
para sahabat dan cendekiawan muslim saat itu. Sebagian di antara mereka ada
yang dapat memahami dan menerima pemikiran inovatif Umar, tetapi sebagian
yang lain sulit menerima dan menolak keras pemikirannya. Dari sebagian mereka
yang menolaknya, menganggap Umar keluar dari tuntunan hidup beragama yang
diajarkan oleh Nabi saw.
Pada masanya pula, perluasan negara Islam penuh dengan kegemilangan di
beberapa tempat. Itulah sebabnya di sana–sini banyak tejadi perubahan kebijakan
akibat timbulnya kepentingan–kepentingan baru dan perubahan adat kebiasaan
lama. Maka tidak heran jika perubahan–perubahan di atas akan berakibat pula
pada perubahan hukum dan fatwa dari yang telah berjalan sejak masa Rasulullah
dan Khalifah Abu Bakar al-Shiddiq. Tidak hanya itu perubahan penafsiran secara
kontekstual pada masanya kerap terjadi seakan telah keluar dari teks asalnya. Di
antara beberapa perubahan–perubahan dari hasil ijtihadnya tersebut adalah
menyangkut persoalan–persoalan sebagai berikut:
1. Masalah Ghanìmah
Dalam al-Quran masalah ghanìmah (harta rampasan perang) telah diatur
dengan jelas. Secara teks dalam ayat ini disebutkan bahwa pembagian harta
rampasan perang itu dibagi berdasarkan ketentuan yang menurut al-Quran dengan
menggunakan istilah khumusahu yang berarti seperlima. Seperlima tersebut sesuai
dengan makna secara teksnya diperuntukkan untuk memenuhi kebutuhan ibadah
dan amal sosial. Sementara seluruh sisanya diperuntukkan bagi pasukan perang
yang berhasil memperolah harta rampasan yang pernah dilakukan oleh nabi,
termasuk pula cara ini juga diikuti hingga pada masa Abu Bakar al–Shiddiq ra.
Ketika khalifah berganti kepada Umar, penafsiran ayat di atas mengalami
perubahan yang sangat drastis, apalagi setelah terjadinya penaklukan kota Iraq.
Pandangan Umar tentang harta rampasan perang ini dilandasi oleh paradigma
pemikiran, bahwa kemaslahatan umat harus lebih diutamakan dibanding dengan
kemaslahatan individu.
Pandangan ini, dianggap kuat oleh Umar untuk dijadikan hujjah dalam
mereformulasi praktik pembagian harta rampasan sebagaimana yang dipelopori
oleh Nabi dan Abu Bakar. Sehingga langkah penyelesaian selanjutnya, oleh Umar
harta rampasan tersebut dikembalikan kepada masyarakat yang memilikinya, dari
sana kemudian diambil pajak tertentu yang disebut dengan istilah kharaj dan
dimasukkan ke dalam kas negara demi kepentingan masyarakat umum. Bila
dicermati kasus ini lebih jauh, proses terjadinya perubahan penafsiran teks yang
dilakukan oleh Umar di atas, banyak di latar belakangi oleh situasi dan kondisi
perang pada saat itu, baik berupa materi maupun non-materi.
Secara materi, Islam pada saat itu telah mengalami kejayaan dan kemenangan,
sehingga secara psikis Umar ingin menunjukkan bahwa Islam adalah sebagai
agama yang kaya moral dan sosial. Sementara praktik harta rampasan yang terjadi
pada masa Rasulullah dan Abu Bakar tidaklah demikian, hal ini karena banyak
didasarkan pada pertimbangan kondisi Islam saat itu, yaitu situasi yang masih
lemah ditambah lagi dengan jumlah pasukannya yang masih sedikit/ minim.
Dalam konteks sosial, perubahan yang dilakukan oleh Umar terhadap kasus
pembagian ghanìmah ini adalah sebagai wujud respon terhadap perkembangan
masyarakat saat itu. Inilah yang selanjutnya dikatakan oleh Giddens sebagai teori
”strukturisasi”, dimana Umar sebagai aktor bertindak untuk menetapkan suatu
hukum berdasarkan kepentingan masyarakat (struktur), demi kemaslahatan umat.
Maka hubungan saling mempengaruhi dalam konteks ini adalah sangat terlihat.
Ekspansi masyarakat Islam yang dilakukan oleh Umar menuntut perlunya
kebijakan yang dapat memihak pada komunitas yang baru, sehingga kekuatan
Islam akan tetap terjaga di kalangan mereka, lebih–lebih Umar terlihat
menunjukkan nilai kepekaan sosial yang dibangun oleh Islam, yang sekaligus
sebagai nilai moral dalam Islam.
2. Masalah Talak
Pada zaman Rasulullah dan sahabat Abu Bakar, jika seorang laki–laki
menjatuhkan talak kepada isterinya pada satu majelis, maka talak seperti ini
dianggap jatuh satu kali talak atau disebut sebagai talak raj’ì. Demikianlah
ketentuan menurut sunnah dan ijma’ sahabat pun setelah itu. Sekalipun ketentuan
yang terjadi di masa Nabi dan sahabat demikian, pada masa Umar ketika
menjabat khalifah ke–2 pernah memerintahkan agar talak sepertinya dianggap
sebagai talak bà’in, mengingat kebiasaan seperti itu di kalangan masyarakat Arab
dijadikan sebagai tradisi. Makna di balik perintah tersebut semata–mata sebagai
sanksi bagi mereka yang mempermainkan hukum disamping untuk mencegah
kebiasaan yang terkutuk itu.
Dengan demikian, masyarakat menjadi lebih berhati–hati dalam mengucapkan
talak tiga. Apalagi mengingat beratnya akibat talak tersebut demikian besar,
sebagaimana yang telah disebutkan Allah dalam al-Quran. Muhammad Syakir
sebagaimana dikutip Amir Syarifuddin mengatakan bahwa tindakan Umar atas
perubahan tradisi prilaku talak tersebut merupakan kebijakan beliau sebagai
kepala negara, dan ini dapat dikelompokkan sebagai kebijakan politik hukum.
Dari sini menunjukkan bahwa tradisi masyarakat juga sangat penting menjadi
pertimbangan Umar dalam menentukan hukum Islam, di samping kekuasaan yang
memiliki kekuatan dalam mempengaruhi pembaruan hukum Islam. Meskipun di
sisi lain ketentuan hukum sudah ditetapkan al-Quran maupun Sunnah.
3. Masalah Hukum Potong Tangan
Pidana atau hukuman yang diancamkan terhadap pencurian menurut hukum
Islam adalah hukuman hàd (potong tangan). Pandangan seperti ini didasarkan
pada dalil al-Quran surat al-Maidah: 38, yaitu, “Pencuri laki–laki dan pencuri
perempuan hendaklah kamu potong tangan mereka”. Disamping al-Quran, juga
didasarkan pada dalil Sunnah qauli (ucapan), maupun fi’li (praktik) yang pernah
dilakukan oleh nabi. Akan tetapi, Umar Ibn Khattàb pernah membatalkan
hukuman tersebut pada suatu tahun terjadinya era kelaparan.
Argumentasi lain mengatakan bahwa hukuman tersebut dibatalkan karena
pencurian dilakukan oleh orang yang terdesak mencari makan. Ini artinya dalam
menentukan sanksi hukum, Umar selalu melihat pada persoalan yang
melatarbelakanginya. Hal demikian berarti didasarkan atas alasan darurat, alasan
kepentingan dan alasan menghidupi jiwa orang. Dasar pemikiran ini diikuti oleh
ijma’nya para ulama fikih.
4. Masalah Hukuman Pezina bagi Seorang Gadis
Terkait dengan sanksi bagi pezina yang masih gadis atau belum terikat
dengan tali perkawinan yang sah, oleh Nabi yang kemudian disepakati oleh
jumhur ulama’ adalah hukumannnya didera seratus kali dan dibuang ke luar
negeri. Pembuangan ke luar negeri ini menurut beberapa pandangan adalah
tambahan dari Nabi yang disesuaikan dengan hukum Tuhan pada surat al–Nûr
(24) ayat 2. Ketentuan hukuman menjadi ketetapan berdasarkan sunnah masyhur.
Umar berpendapat bahwa pada masanya dia pernah mengasingkan Ruba’iah binti
Umayyah bin Khallaf yang kemudian pergi ke Romawi, namun belajar dari
pengalaman ini, menurutnya tidak ada kemaslahatan mengenai alasan
pembuangan ke luar negeri tersebut.
Bahkan sangat dikhawatirkan jika orang yang dibuang tersebut akan
bergabung menjadi musuh Islam. Maka dia berkata: ”Saya tidak akan
mengasingkan lagi seseorang setelah dia”. Dari ungkapan terakhir ini, hampir bisa
disimpulkan bahwa berubahnya penafsiran hukum Islam di atas, disebabkan oleh
kekhawatirannya pada posisi negara pada saat itu. Dengan kata lain situasi politik
dan kemanan masyarakat ikut mempengaruhi pada tampilnya penggalian hukum
Islam.
Dari contoh kasus akan perubahan hukum Islam yang dilakukan oleh
Umar di atas, tidak satu pun dari perubahan tersebut yang tidak punya alasan
sikon yang kuat. Keberanian Umar untuk melakukan perubahan–perubahan
hukum selalu berkompromi dengan situasi dan kondisi, atau dalam bahasa
Bernstein adalah terjadi ”hubungan dialektika” dengan tetap berpijak pada
kemaslahatan. Disamping beberapa perubahan–perubahan hukum di atas,
sebenarnya masih banyak contoh kasus tentang perubahan hukum yang dilakukan
oleh Umar karena tuntutan keadaan dan perkembangan sosial masyarakat, namun
tidak penulis paparkan dalam makalah ini.
Yang jelas, keberanian Umar dalam melakukan kontekstualisasi dan
reformulasi hukum Islam di atas, bukanlah semata–mata bentuk keberanian
emosional yang jauh dari pertimbangan nalar pemikiran hukum Islamnya.
Keberanian dimaksud tentu dengan pertimbangan–pertimbangan secara kuat
dengan konteks sosio–kultural yang melatarbelakanginya. Atas dasar sikap
pembaruan hukum yang dilakukan oleh Umar di atas, diharapkan dapat
mengilhami para ahli hukum setelahnya, terutama bagi kalangan ahli hukum di
era kontemporer saat ini, terutama dalam mengartikulasikan nilai–nilai dinamis
yang ada dalam pesan–pesan hukum Islam itu sendiri.
5. Masalah Mu’allaf
Dalam kaitan dengan masalah mu’allaf ini, al-Quran juga telah
mengcovernya.34 Istilah mu’allaf dikaitkan dengan ketentuan sedekah. Maksud
dari istilah al–mu’allafatu qulubuhum adalah orang yang oleh Nabi diberi bagian
sedekah dengan maksud untuk menarik dan menjinakkan hatinya pada Islam.
Selain juga karena imannya yang masih lemah atau untuk tujuan
menghilangkan niat jahat mereka yang masih ada. Meskipun keterangan al-Quran
demikian jelas menyangkut persoalan mu’allaf ini, namun Umar ketika menjabat
sebagai khalifah berupaya menangkap pesan teks yang berbeda dengan apa yang
dimaksud oleh Rasulullah.
Pandangan Umar mengenai mua’allaf ini adalah mereka yang derajatnya
ditinggikan dan dimenangkan oleh Allah karena keislamannya. Dalam waktu yang
bersamaan menurutnya mereka tidak perlu berhadapan dengan pedang Umar ibn
Khattàb. Dalam logika Umar, siapapun yang hendak masuk Islam, maka
berimanlah dan siapa yang mau kufur, maka kufurlah.
Logika Umar di atas, nampaknya cukup bisa diterima oleh nalar, sebab
ketentuan teks dalam ayat di atas memang didasarkan pada keadaan darurat,
dalam rangka dakwah Islamiyah dan berusaha untuk kemenangan Islam, namun
ketika keadaan Islam menjadi kuat, maka alasan di atas menjadi kurang relevan
lagi. Dengan demikian Umar Ibn Khattàb telah menasakh nàsh tersebut, karena
atas dasar alasan realitas dan kondisi umat yang sudah kuat pada saat itu.
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Khalifah Umar merupakan sosok yang keras, kuat, tegas dan bijaksana
dalam melakukan perbuatan, baik sebelum masuk Islam maupun
sesudahnya, sehingga banyak orang yang takut padanya. Umar
memerintah selama 10 tahun.
Banyak sekali perluasan-perluasan daerah Islam pada masanya, seperti
Palestina, Suriah, Persia, dan Mesir. Umar juga membentuk sistem
ketatanegaraan, seperti jawatan keilmuan, jawatan kesehatan,
pemerintahan dan administrasi negara, pemisahan antara Eksekutif dan
Yudikatif,Ahl al- Hall wa al-‘Aqd.
Pemikiran–pemikiran Umar melalui ijtihadnya, bukan saja telah
diterima dan dijalankan secara luas oleh masyarakat Islam pada saat itu,
tetapi juga telah memberikan alternatif baru dalam keberanian menafsirkan
al– dan Sunnah Rasulullah saw., yang kemudian ternyata telah
memberikan konstribusi yang signifikan bagi perkembangan pemikiran
hukum islam pada masa-masa sesudahnya.

B. SARAN
Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak
terdapat kesalahan dan kekurangan. Untuk itu kritik dan saran yang
membangun sangat kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini dan
selanjutnya. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Amin…
DAFTAR PUSTAKA

 Al-Usairy, Ahmad,  Sejarah Islam, cet.VI, Jakarta: Akbar Media Eka Srana, 2008

Mufrodi, Ali, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, Cet.I, Jakarta: Logos, 1997

Murad, Musthafa,  Kisah Hidup Umar Ibn khattab, Jakarta : Zaman, 2009

Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam II, Jakarta: PT. Raja Garfindo Persada, 

2003

Musthafa Murad, Kisah Hidup Umar Ibn khattab, ( Jakarta : Zaman, 2009 ),

Hal.17-26

Ali Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, Cet.I, ( Jakarta: Logos, 1997)

hal 54.

  Ahmad Al-Usairy,Sejarah Islam, (Jakarta: Akbar Media Eka Srana,2008) hal

156.

 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam II. ( Jakarta: PT. Raja Garfindo

Persada,2003 ).hal 37.

Musthafa Murad, op.cit, Hal. 140-151

https://media.neliti.com/media/publications/41842-ID-ijtihad-umar-ibn-

alkhattab-telaah-sosiohistoris-atas-pemikiran-hukum-islam.pdf

Anda mungkin juga menyukai