Anda di halaman 1dari 198

202

204

Pembiayaan Musyarakah dan Mudharabah, oleh Naf’an.


Hak Cipta © 2014 pada penulis

GRAHA ILMU
Ruko Jambusari 7A Yogyakarta 55283
Telp: 0274-889398; Fax: 0274-889057
E-mail: info@grahailmu.co.id

Hak Cipta dilindungi undang-undang. Dilarang memperbanyak atau


memindahkan sebagian atau seluruh isi buku ini dalam bentuk apa pun,
secara elektronis maupun mekanis, termasuk memfotokopi, merekam, atau
dengan teknik perekaman lainnya, tanpa izin tertulis dari penerbit.

ISBN:
Cetakan ke I, tahun 2014
BAB .....

JUDUL BAB ......

Ku Persembahkan buku ini spesial buat


Ayah dan Bunda,
Bpk Masyhadi (alm) dan Ibu Muaeni
Serta Istri dan anak tercinta
Pratama Nida Yuliana
Shofiah Al-Aqilah Al-Naf’i
Wirdatul Ulya Al-Naf’i
Athief Muzaky Al-Naf’i
xii Pembiayaan Musyarakah dan Mudharabah
BAB .....

KATA PENGANTAR

Syukur alhamdulillah Penulis haturkan kehadirat Allah SWT, karena


atas segala rahmat, nikmat, dan hidayahnya berupa ilmu
pengetahuan, serta shalawat dan salam semoga tercurah kepada
Rasulullah Muhammad SAW, Rasul pembawa rahmat bagi seluruh
manusia di semesta alam, sehingga Penulis dapat menyajikan buku
ini yang berjudul Pembiayaan Musyarakah dan Mudharabah, dan
kami ucapkan kepada pihak-pihak yang terkait, baik secara langsung
maupun tidak langsung atas terwujudnya penulisan dan penerbitan
buku yang ada di tangan pembaca ini.
Selanjutnya, dengan diundangkannya Undang-undang No. 10
Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang No. 7 Tahun
1992 tentang Perbankan, BMI merupakan satu-satunya bank umum
yang mendasarkan kegiatan usahanya atas syariat Islam di Indonesia.
Baru setelah itu berdiri beberapa Bank Syari’ah lain, yakni Bank IFI
membuka cabang Syariah pada tanggal 28 Juni 1999, Bank Syariah
Mandiri yang merupakan konversi dari Bank Susila Bakti (BSB), anak
perusahaan Bank Mandiri, serta pendirian lima cabang baru berupa
cabang syariah dari PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. Tercatat
di Bank Indonesia bank-bank yang sudah mengajukan permohonan
membuka cabang syariah, yakni: Bank Niaga, Bank BTN, Bank
viii Pembiayaan Musyarakah dan Mudharabah

Mega, Bank BRI, Bank Bukopin, BPD Jabar, BPD Jatim, BPD Jateng,
BPD DIY, BPD Aceh, BPD Sumut, BPD Kaltim, BPD Sumsel, Babel,
BPD Sulselbar, BPD Kalbar, BPD Kalteng, Permata dan BCA dll
Dengan bermunculannya bank Syariah di Indonesia, tidak serta
merta bank-bank syariah yang ada menyalurkan dananya dengan
sistem bagi hasil, akibat dari beberapa faktor yang dianggap sebagai
penyebab terlambatnya pertumbuhan portfolio pembiayaan berbasis
bagi hasil, padahal bagi hasil merupakan ciri khas dari sistem
perbankan syariah. Buku ini di antara salah satu literature yang
mencoba membongkar kelemahan-kelemahan yang mengakibatkan
melambatnya portfolio pembiayaan berbasis bagi hasil. Buku ini juga
mencoba mencari terobosan baru dengan meredesign konsep
pembiayaan dengan akad musyarakah dan mudharabah pada bank
syariah yang notabene merupakan produk pembiayaan berbasis bagi
hasil.
Semoga buku ini bisa menjadi trigger, baik bagi praktisi
maupun akademisi untuk mencari terobosan-terobosan baru dalam
rangka mempercepat laju pertumbuhan pembiayaan berbasis bagi
hasil dengan tetap memperhatikan dari sisi syariahnya. Artinya
produk pembiayaan bagi hasil yang efektif dan efisien, baik bagi
bank maupun bagi nasabah, produk pembiayaan bagi hasil yang
applicable.

Samarinda, 07 Maret 2014

Naf’an
BAB .....

DAFTAR ISI

PERSEMBAHAN v
KATA PENGANTAR vii
DAFTAR ISI ix
BAB I SEJARAH BANK SYARIAH 1
1.1 Perbankan di Zaman Nabi dan Sahabat 1
1.2 Praktik Perbankan Zaman Rasulullah SAW dan
Sahabat R.A 2
1.3 Praktik Perbankan di Zaman Kekhalifahan Bani
Umayah dan Abbasiyah 3
1.4 Perbankan Syari’ah Modern 4
BAB II SEJARAH BANK SYARIAH DI INDONESIA 13
2.1 Jalan Panjang Pemikiran Pendirian Bank Syariah
di Indonesia 13
2.2 Berdirinya Bank Syariah Indonesia 16
BAB III DASAR DAN TUJUAN PENDIRIAN BANK SYARIAH 21
3.1 Landasan Bank Syariah 21
3.2 Prinsip-prinsip Bank Islam 23
3.2.1 Menjauhkan Diri dari Kemungkinan
Adanya Unsur Riba 23
x Pembiayaan Musyarakah dan Mudharabah

3.2.2 Menerapkan Prinsip Sistem Bagi Hasil


dan Jual-Beli 24
3.2.3 Prinsip Keadilan 25
3.2.4 Prinsip Kesamaan 25
3.3 Motif Pendirian Bank Syariah 25
3.4 Tujuan Bank Syariah 26
3.5 Ciri-ciri Bank Syariah 29
3.6 Tujuan Pengembangan Bank Syariah 30
3.7 Fungsi dan Peran Bank Syariah 32
BAB IV SEJARAH RIBA – BUNGA 35
4.1 Sejarah Bunga 35
4.2 Larangan Riba dalam Al-Qur’an Dan Hadis 37
4.3 Konsep Riba Sama dengan Bunga 40
4.4 Bunga-Riba dalam Perspektif Sejarah 43
4.5 Dampak Negatif Pinjaman Berbasis Bunga 50
BAB V DAMPAK BUNGA TERHADAP PEREKONOMIAN
GLOBAL 55
5.1 Filosofi Pinjaman 55
5.2 Fungsi Uang 57
5.2.1 Untuk Melancarkan Tukar-Menukar
(Alat Tukar) 57
5.2.2 Untuk Menjadi Satuan Hitung
(Pengukur Nilai) 58
5.2.3 Untuk Ukuran Bayaran yang Ditunda 58
5.2.4 Sebagai Alat Penyimpan Nilai 59
5.3 Konsep Uang dalam Islam 60
5.4 Dampak Bunga Terhadap Perekonomian Global 64
BAB VI KONSEP BAGI HASIL 79
6.1 Mengapa Harus Bagi Hasil 79
6.1.1 Profit Sharing 82
6.1.2 Revenue Sharing 83
6.2 Aplikasi Prinsip Revenue Sharing dan Profit and
Loss Sharing di Bank Syariah 84
Daf t ar Isi xi

6.2.1 Mekanisme Bagi Hasil Revenue Sharing 84


6.2.2 Mekanisme Bagi Hasil Profit and Loss
Sharing 86
6.3 Perbedaan Mendasar Profit and Loss Sharing
dan Revenue Sharing 87
6.4 Penerapan Prinsip Revenue Sharing dan Profit
and Loss Sharing di Perbankan Syariah Saat Ini 88
6.5 Konsep Bagi Hasil 90
6.6 Perhitungan Bagi Hasil Syariah 91
BAB VII MUSYARAKAH DALAM PERBANKAN SYARIAH 95
7.1 Definisi Musyarakah 95
7.2 Pengertian Secara Bahasa 96
7.3 Pengertian Secara Fiqih 96
7.4 Dasar Hukum 97
7.5 Rukun dan Syarat Musyarakah 98
7.5.1 Rukun Musyarakah 98
7.5.2 Syarat Musyarakah Menurut Hanafiah 98
7.5.3 Syarat Musyarakah Menurut Malikiyah 98
7.5.4 Berakhirnya Akad Musyarakah 99
7.5.5 Karakteristik Musyarakah 99
7.5.6 Jenis–jenis Musyarakah 100
7.6 Manfaat Al-Musyarakah 103
7.7 Aplikasi dalam Perbankan 104
7.8 Pengakuan dan Pengukuran 104
7.9 Syarat Pembiayaan Musyarakah 104
7.10 Ketentuan Dasar Pembiayaan Musyarakah
pada Lembaga Keuangan Syariah 105
7.11 Standarisasi Akad dalam Pembiayaan
Musyarakah 108
7.12 Penetapan Profitabilitas pada Pembiayaan
Musyarakah 110
xii Pembiayaan Musyarakah dan Mudharabah

BAB VIII MUDHARABAH DALAM PERBANKAN SYARIAH 113


8.1 Pengertian Mudharabah 113
8.2 Landasan Syariah 116
8.2.1 Al-Qur’an 116
8.2.2 Al-Hadist 116
8.2.3 Ijma’ 116
8.3 Rukun dan Syarat Mudharabah 117
8.4 Jenis-jenis Mudharabah 118
8.4.1 Mudharabah Mutlaqah (Bebas) 118
8.4.2 Mudharabah Muqoyyadah (Terikat) 119
8.5 Pensyari’atan Mudharabah 119
8.6 Skema Mudharabah 120
8.7 Manajemen 121
8.8 Jangka Waktu 121
8.9 Jaminan dalam Mudharabah 121
8.10 Keuntungan dan Kerugian Mudharabah 122
8.11 Pembiayaan Mudharabah 122
8.12 Pembiayaan Mudharabah dalam Praktik
Perbankan Syariah 123
BAB IX PROBLEMATIKA PEMBIAYAAN BAGI HASIL 125
9.1 Amanah dan Jujur 125
9.1.1 Pengertian Amanah 125
9.1.2 Pengertian Jujur 129
9.2 Murabahah Idola Perbankan Syariah 137
9.3 Problematika Pembiayaan Bagi Hasil 140
9.4 Bagi Hasil Efekif, Efisien atau Sebaliknya 143
BAB X REDESIGN MUSYARAKAH DAN MUDHARABAH;
SEBUAH SOLUSI 151
10.1 Redesign Sebuah Keharusan 151
10.2 Titik Poin Murabahah – Produk Pembiayaan
Bagi Hasil 152
10.3 Pengertian Multi Akad 156
Daf t ar Isi xiii

10.4 Macam-macam Multi Akad 159


10.4.1 Akad Bergantung/Akad Bersyarat
(Al-’Uqûd Al-Mutaqâbilah) 159
10.4.2 Akad Terkumpul
(Al-’Uqûd Al-Mujtami’ah) 159
10.4.3 Akad Berlawanan (Al-’Uqûd
Al-Mutanâqidhah Wa Al-Mutadhâdah
Wa Al-Mutanâfiyah) 160
10.4.4 Akad Berbeda
(Al-’Uqûd Al-Mukhtalifah) 160
10.4.5 Akad Sejenis (Al-’Uqûd Al-Mutajânisah) 161
10.5 Hukum Multi Akad 161
10.6 Batasan dan Standar Multi Akad 163
10.6.1 Multi Akad Dilarang Karena
Nash Agama 163
10.6.2 Multi Akad Sebagai Hîlah Ribâwi 165
10.7 Redesign Pembiayaan Berbasis Bagi Hasil
Sebuah Solusi 168
10.8 Redesign Musyarakah 168
10.9 Redesign Mudharabah 175
DAFTAR PUSTAKA 179

-oo0oo-
xiv Pembiayaan Musyarakah dan Mudharabah
BAB I

SEJARAH BANK SYARIAH

1.1 PERBANKAN DI ZAMAN NABI DAN SAHABAT


Dalam Islam, syariat itu berasal dari Allah. Sebab itu, maka sumber
syariat, sumber hukum dan sumber undang-undang berasal dari
Allah yang disampaikan kepada manusia dengan perantaraan rasul
dan termaktub di dalam kitab-kitab suci melalui malaikat Jibril.
Namun demikian, tidak seperti akidah yang sifatnya konstan, syariah
mengalami perkembangan sesuai dengan perkembangan dan
kemajuan peradaban manusia. Karena itu, syariat dari nabi terdahulu
sampai dengan nabi Muhammad SAW berbeda, syariat yang berlaku
di zaman nabi Nuh A.S. berbeda dengan syariat di zaman nabi Musa
A.S. dan berbeda pula dengan nabi Ibrahim A.S., nabi Isa A.S., dan
nabi Muhammad SAW. Sebabnya ialah karena setiap umat tentu
menghadapi situasi dan kondisi yang khas dan unik, sesuai dengan
keadaan mereka sendiri, hal ikhwal pola pikir serta perkembangan
kerohaniannya. Jadi penerapan syariat ini mengikuti evolusi
peradaban manusia, seiring dengan diutusnya para rasul kepada
umat tertentu dan pada zaman-zaman tertentu. Proses perkembangan
syariat ini pada akhirnya tuntas dengan diutusnya nabi Muhammad
SAW yang membawa syariat Islam. Dengan demikian tidak ada lagi
perkembangan syariat sesudah nabi Muhammad SAW karena ajaran
Islam sudah rampung, tuntas dan sempurna.
2 Pembiayaan Musyarakah dan Mudharabah

Bank adalah lembaga atau institusi yang melakukan tiga tugas


pokok yaitu menerima simpanan, Meminjamkan uang dan
melakukan jasa pengiriman uang. Pada masa Rasulullah SAW ketiga
bagian ini telah di aplikasikan dalam kehidupan sehari-hari walaupun
ketiga fungsi perbankan tersebut tidak dilakukan oleh satu institusi
perbankan seperti lazimnya sekarang. Ketiga fungsi perbankan
tersebut di lakukan oleh para individu-individu. Meskipun individu-
individu tersebut tidak mengaplikasikan seluruh fungsi perbankan.
Rasulullah SAW yang mendapat gelar Al-amin, dipercaya oleh
masyarakat Mekah untuk menerima simpanan harta mereka. Dalam
konsep ini penerima titipan tidak berhak untuk memanfaatkan
hartanya. Kemudian salah seorang sahabat Rasulullah SAW bernama
Zubair bin al-Awwam RA., memilih untuk menerima harta yang
dititipkan kepadanya dalam bentuk pinjaman. Tindakan yang
menyebabkan akibat yang berbeda ketika menerima harta tersebut
sebagai titipan amanah. Sebab dengan menerima harta yang
dititipkan kepadanya maka ia wajib untuk mengembalikannya serta
yang paling penting harta tititpan itu dapat dimanfaatkan olehnya.
Pada zaman Rasulullah SAW. masih belum terdapat institusi bank,
tapi ajaran Islam sudah memberikan landasan filosofi dasar dan
pedoman dalam aktivitas perekonomian.

1.2 PRAKTIK PERBANKAN ZAMAN RASULULLAH


SAW DAN SAHABAT R.A
Di dalam sejarah tercatat bahwa setelah Rasulullah menjadi
pemimpin negara, maka terjadilah revolusi praktik-praktik ekonomi,
dari pelarangan riba sampai dasar kerjasama dalam bisnis, bahkan
sebelum Rasulullah datang praktik perbankanpun secara sederhana
mulai dijalankan seperti menerima titipan harta, meminjamkan uang
untuk keperluan konsumsi dan bisnis, bahkan pengiriman uangpun
telah lazim dilakukan. Rasulullah SAW, yang dikenal dengan julukan
al-amin (terpercaya) sering menerima simpanan harta, sehingga pada
saat terakhir sebelum hijrah ke Madinah, ia meminta Ali bin Abi
Sej arah Bank Syariah 3

Thalib R.A untuk mengembalikan semua titipan itu kepada para


pemiliknya (Sami Hamoud, 1985/Adi Warman Karim 2004). Praktik
seperti ini juga dilakukan oleh sahabat Rasul yakni Zubair bin al-
Awwam R.A, namun ia tidak memilih titipan berupa harta, akan
tetapi dalam bentuk pinjaman, sehingga tindakan ini menurut Sudin
Harun dalam “prinsip dan operasi perbankan Islam” menimbulkan
beberapa implikasi pertama dengan mengambil uang itu sebagai
pinjaman, ia mempunyai hak untuk memanfaatkannya, kedua karena
bentuknya pinjaman, ia berkewajiban untuk mengembalikannya
secara utuh, dalam riwayat yang lain disebutkan pula, Ibnu Abbas
R.A juga telah melakukan pengiriman uang ke Kufah dan Abdullah
bin Zubair R.A melakukan pengiriman uang dari Mekah ke adiknya
Mis’ab bin Zubair R.A yang tinggal di Irak (Sudin Haron 1996/Adi
Warman 2004).

1.3 PRAKTIK PERBANKAN DI ZAMAN


KEKHALIFAHAN BANI UMAYAH DAN
ABBASIYAH
Perkembangan fungsi intermediasi (perantara) keuangan mulai
berkembang semenjak dikenalkannya satuan mata uang yang
digunakan untuk berbagai transaksi, sehingga pada masa itu
diperlukan orang yang mempunyai keahlikan khusus untuk
membedakan antara satu mata uang dengan mata uang lainnya
(Adiwarman Karim, 2004), hal ini diperlukan karena setiap mata
uang mempunyai kandungan logam mulia yang berlainan sehingga
mempunyai nilai yang berbeda pula, orang yang mempunyai
keahlian di bidang ini dikenal dengan naqid, sarraf, dan jihbiz.
Peranan bankir pada zaman Abbasiyah mulai populer pada
pemerinthan khalifah Muqtadir (908-932), pada saat itu, hampir
semua wazir (menteri) mempunyai bankirnya sendiri, misalnya, Ibnu
Abi Isa menunjuk Ali Ibn Isa, Hamid Ibnu Wahab sebagai bankirnya,
Ibnu Abi Isa menunjuk Ali Ibn Isa. Kemajuan praktik perbankan pada
zaman itu ditandai dengan beredarnya saq (cek) dengan luas sebagai
4 Pembiayaan Musyarakah dan Mudharabah

media pembayaran, bahkan, peranan bankir telah meliputi tiga


aspek, yakni menerima deposit, menyalurkannya, dan mentransfrer
uang, dalam hal yang terakhir ini uang dapat ditransfer dari satu
negeri ke negeri lainnya tanpa perlu memindahkan fisik uang
tersebut, para money changer yang telah mendirikan kantor-kantor di
banyak negeri telah memulai penggunaan cek sebagai media transfer
uang dan kegiatan pembayaran lainnya, dalam sejarah perbankan
Islam, adalah Syaf al-Dawlah al-Hamdani yang tercatat orang
pertama yang menerbitkan cek untuk keperluan kliring antara
Baghdad (Irak) dan Aleppo (Spanyol) (Sudin Haron 1997/Adiwarman
Karim 2004).  

1.4 PERBANKAN SYARIAH MODERN


Cikal bakal perbankan syariah, sebenarnya telah dimulai setelah
perang dunia kedua, di mana para cendekiawan muslim mulai
mempertanyakan praktik riba dalam perbankan konvensional, namun
dalam usaha awal ini para sarjana Muslim belum mampu menjawab
pertanyaan kalau bunga adalah riba dan harus dihilangkan apa
gantinya dan bagimana? Baru pada 1963 perbankan syariah pertama
didirikan di Mesir dengan nama Mit Ghamr Local Saving Bank yang
menerapkan sistem bagi hasil, pada awalnya berdirinya bank ini
disambut hangat oleh pelaku ekonomi di Mesir, namun sayang pada
tahun 1967 terjadi kekacaun politik yang mengakibatkan Mit Ghamr
diambil alih oleh Bank of Egypt yang beroperasi menggunakan
bunga. Kesuksesan Mit Ghamr nampaknya menjadi inspirasi bagi
umat Islam di seluruh dunia, sehingga pada tahun 1975 terbentuklah
IDB (Islamic Developement Bank) yang diprakarsai oleh OKI, bank
ini bertujuan untuk menyediakan bantuan finansial (keuangan) bagi
negara-negara anggota dan membantu pendirian bank-bank syariah
di negara masing-masing. Kini perbankan syariah telah mengalami
perkembangan yang cukup pesat dan menyebar ke banyak negara,
bahkan ke negara-negara barat, adalah The Islamic Bank
International of Denmark tercatat sebagai bank Islam pertama yang
Sej arah Bank Syariah 5

beroperasi di dataran Eropa pada tahun 1983 bahkan kini bank-bank


kelas dunia sebut saja HSBC, Citibank dan banyak lainnya mulai
membuka windows Syariah.  
Pemikiran untuk mendirikan bank yang menggunakan prinsip
bagi hasil sudah muncul dalam waktu yang cukup lama. Hal ini
ditandai dengan munculnya pemikiran muslim yang menulis tentang
perlunya dibangun bank Islam dengan prinsip bagi hasil antara lain
Anwar Qureshi(1946), Naiem Siddiqi (1948) dan Mahmud Ahmad
(1952) kemudian pada 1960-an Al-Maududi menulis secara
terperinci tentang perlunya dibangun bank Islam untuk mengimbangi
praktik-praktik bank konvensional yang tidak sesuai dengan prinsip-
prinsip Islam, pemikiran beliau ini ditindaklanjuti oleh Muhammad
Hamidullah dengan menulis beberapa buku berturut-turut pada
1944,1955,1957 dan 1962 yang kesemuanya itu dapat dikategorikan
sebagai penggagas tentang perbankan Islam.
Upaya awal penerapan sistem profit dan loss sharing dalam
bentuk bank syariah modern tercatat di pakistan dan Malaysia sekitar
tahun 1940, yaitu adanya pengelolaan dana dalam haji secara non-
konvensional. Rintisan bank syariah lainya adalah dengan berdirinya
Mit Ghamr Local Saving bank pada 1963 di Mesir yang dibangun
oleh dr. Ahmad el-Najjar. Permodalam bank ini dibantu oleh raja
Faisal dari Arab Saudi. Eksperimen ini berlangsung hingga tahun
1967, dan saat itu sudah berdiri 9 bank dengan konsep serupa di
Mesir. Bank-bank ini, yang tidak memungut maupun menerima
bunga, sebagian besar berinvestasi pada usaha-usaha perdagangan
industri secara langsung dalam bentuk partnership dan membagi
keuntungan yang didapat dengan para penabung. Masih di negara
yang sama, pada tahun 1971, Nasir Social Bank didirikan dan
mendeklarasikan diri sebagai bank komersial bebas bunga.
Walaupun dalam akta pendiriannya tidak disebutkan rujukan kepada
agama maupun syariat Islam. Oleh karena ada persoalan politik di
Mesir bank ini ditutup dan diambil alih oleh National Bank of Egypt
dan Central Bank of Egypt yang dioperasikan berdasarkan prinsip
6 Pembiayaan Musyarakah dan Mudharabah

ribawi. Pada 1972 sistem bank tanpa riba diperkenalkan lagi di Mesir
dengan ditandai berdirinya Nasser Social Bank. Berdirinya bank ini
lebih bersifat sosial dari pada komersial.
Kesuksesan Mit Ghamr mengelola bank dengan sistem bagi
hasil, memberi inspirasi bagi umat Islam di seluruh dunia untuk
membentuk bank Islam dengan sistem bagi hasil. Secara kolektif
gagasan berdirinya bank syariah di tingkat internasional muncul
dalam konferensi Negara Islam se-dunia di kuala lumpur, Malaysia
pada tanggal 21-27 april 1969 yang diikuti oleh 19 negara peserta.
Salah satu keputusan dalam konferensi ini adalah perlu dibentuk
sebuah bank syariah yang bersih dari sistem riba.
Konferensi tersebut memutuskan beberapa hal yaitu:
1. Tiap keuntungan haruslah tunduk kepada hukum untung dan
rugi, jika tidak ia termasuk riba dan riba itu sedikit atau banyak
hukumnya haram.
2. Diusulkan supaya dibentuk suatu bank Islam yang bersih dari
sistem riba dalam waktu secepat mungkin.
3. Sementara menunggu berdirinya bank Islam, bank-bank yang
menerapkan bunga diperbolehkan beroperasi. Jika benar dalam
keadaan darurat (Warkum Sumitro, 2002).
Pada konferensi kedua, Menteri luar negeri negara-negara
muslim pada bulan Desember 1970 di Karachi, Pakistan telah
diagendakan secara resmi tentang gagasan berdirinya Islamic
Development Bank (IDB). Selanjutnya pada sidang menteri luar
negeri negara Organisasi Konferensi Islam (OKI) di Benghazi, Libia
pada Maret 1973 usulan perlunya tentang didirikan bank syariah
diagendakan lagi. Sidang kemudian memutuskan agar OKI
mempunyai bidang khusus yang menangani tentang hal-hal yang
berhubungan dengan ekonomi dan keuangan. Bulan Juli 1973
komite ahli yang mewakili negara Islam penghasil minyak bertemu di
Jeddah, Arab Saudi untuk membicarakan berdirinya pendirian bank
syariah, sekaligus dibahas tentang anggaran dasar dan anggaran
Sej arah Bank Syariah 7

rumah tangga. Selanjutnya pada 1974 diadakan pertemuan menteri


keuangan negara OKI di Jeddah dan dalam pertemuaan ini disetujui
rancangan pendirian bank pembangunan Islam (Islamic
Delevepoment Bank) dengan modal awal dua miliyar dinar dan
disahkan pada tahun 1975 dengan 22 negara anggotanya. Walupun
sebenarnya sebelum IDB disahkan telah ada tiga bank yang
beroperasi sesuai dengan prinsip-prinsi syariah yaitu Nasser Social
Bank Kairo (1972), Philipine Amanah Bank (1973), dan Dubai
Islamic Bank (1975) (Warkum Sumitro, 2002).
Tujuan dibentuknya IDB untuk mendorong pertumbuhan
ekonomi serta meningkatkan kesejahteraan sosial bagi negara-negara
anggota dan masyarakat muslim pada umumnya (Warkum Sumitro,
2002).
Pada perkembangannya di era 1970 usaha-usaha untuk
mendirikan bank Islam menyebar ke banyak negara. Bahkan
mengubah sistem keuangan di negara itu menjadi sistem nir bunga.
Adapun negara Islam lain seperti Indonesia dan Malaysia yang bank
syariah dan bank konvensional berjalan berdampingan.
Islamic Development Bank kemudian berdiri pada tahun 1974
disponsori oleh negara-negara yang tergabung dalam Organisasi
Konferensi Islam, walaupun utamanya bank tersebut adalah bank
antar pemerintah yang bertujuan untuk menyediakan dana untuk
proyek pembangunan di negara-negara anggotanya. IDB
menyediakan jasa finansial berbasis fee dan profit sharing untuk
negara-negara tersebut dan secara eksplisit menyatakan diri berdasar
pada syariah Islam.
Setelah Islamic Delevepoment Bank (IDB) didirikan pada
Oktober 1975 yang beranggota 22 negara Islam sebagai pendiri.
Tujuan dibentuk bank ini adalah untuk membantu finansial dalam
pembangunan negara anggotanya, usaha untuk mendirikan bank
Islam menyebar ke banyak negara. Beberapa negara Islam seperti
Pakistan, Sudan, dan Iran mengubah seluruh sistem keuangan yang
8 Pembiayaan Musyarakah dan Mudharabah

ada di negara tersebut menjadi bebas bunga, sehingga semua


lembaga keuangan di negara tersebut beroperasi tanpa menggunakan
bunga sama sekali. Adapun di negara Malaysia dan Indonesia, bank
tanpa bunga beroperasi berdampingan dengan bank-bank
konvensional.
Sekarang perbankan syariah sudah mengalami perkembangan
yang cukup pesat dan menyebar ke seluruh dunia. Di eropa tercatat
the Islamic Bank Internasional of Denmark tercatat sebagai bank
syariah pertama yang beroperasi berdasarkan prinsip syariah, bank
ini mulai beroperasi 1983 di Denmark. Sekarang bank-bank besar di
negara-negara eropa seperti Citi Bank, ANZ Bank, Chase Mahatam
Bank dan Jardine Fleming telah pula membuka Islamic Window agar
dapat memberikan jasa-jasa perbankan yang sesuai dengan prinsip-
prinsip syariat Islam.
Sejak didirikannya bank syariah pertama di tahun 1963,
perjalanan bank syariah baru mulai berkembang di tahun 1970-an,
yaitu setelah didirikannya Islamic Development Bank di Jeddah pada
tahun 1975. Kemudian menyusul pendirian bank-bank syariah di
negara lain seperti: Dubai Islamic Bank (1975), Kuwait Finance
House (1977), Islamic Faisal Bank (di Mesir dan Sudan) pada tahun
1978, Jordan Islamic Bank for Finance and Investment, Bahrain
Islamic Bank, dan Islamic International Bank for Investment and
Development. Setelah itu, baru kemudian bank syariah mulai
menjamur di seluruh dunia.
Di belahan negara lain pada kurun 1970-an, sejumlah bank
berbasis Islam kemudian muncul. Di Timur Tengah antara lain
berdiri Dubai Islamic Bank (1975), Faisal Islamic Bank of Sudan
(1977), Faisal Islamic Bank of Egypt (1977) serta Bahrain Islamic
Bank (1979). Di Pasifik, Phillipine Amanah Bank didirikan tahun
1973 berdasarkan dekrit presiden, dan di Malaysia tahun 1983
berdiri Muslim Pilgrims Savings Corporation yang bertujuan
membantu mereka yang ingin menabung untuk menunaikan ibadah
haji.
Sej arah Bank Syariah 9

Kini, perbankan syariah telah mengalami perkembangan yang


pesat, bahkan kepada negara-negara barat. The Islamic Bank
International of Denmark tercatat sebagai bank syariah pertama di
Eropa, yakni pada tahun 1983 di Denmark. Bank-bank besar di
negara barat seperti Citybank, ANZ Bank, Chase Manhattan Bank
dan Jardine Fleming telah pula membuka Islamic Windows agar
dapat memberikan jasa-jasa yang sesuai syariat Islam (Adiwarman
Azwar Karim, Bank Islam, 2010).
Pada tahun 1997, di Rusia pasca keruntuhan Uni Soviet,
perbankan Islam juga mulai berkembang, ditandai dengan lahirnya
Badr Bank di Moskow. Saat ini, perbankan syariah lebih banyak lagi
ditemui di negara-negara non-muslim, mulai dari Inggris sampai
Afrika Selatan, dibuka oleh bank-bank setempat. The Islamic Bank
International of Denmark tercatat sebagai bank Islam pertama yang
beroperasi di dataran Eropa pada tahun 1983 bahkan kini bank-bank
kelas dunia sebut saja HSBC, Citibank dan banyak lainnya mulai
membuka windows Syariah.
Di Asia Tenggara, tonggak perkembangan perbankan terjadi
pada awal dasawarsa 1980-an, dengan berdirinya Bank Islam
Malaysia Berhad (BIMB) pada tahun 1983. Praktik Perbankan Syariah
di Eropa dalam perkembangan berikutnya, kegiatan yang dilakukan
oleh perorangan kemudian dilakukan oleh institusi yang saat ini
dikenal sebagai bank. Ketika bangsa Eropa melakukan praktik
perbankan, mulai timbul masalah karena transaksi yang
menggunakan konsep bunga yang dalam ilmu fiqh disebut dengan
riba, dan haram hukumnya. Transaksi bunga ini merebak ketika Raja
Hensy VIII pada tahun 1545 memperbolehkan instrument ini
meskipun tetap mengharapkan asalkan tidak boleh berlipat ganda.
Ketika wafat dan digantikan oleh Edward VI yang membatalkan
konsep ini, dan tidak berlangsung lama. Ketika dia wafat dan
digantikan Elizabeth I, konsep bunga kembali diperbolehkan untuk
dipergunakan. Pada masa kebangkitannya dan mengalami
Renaissance, bangsa eropa melakukan penjajahan dan perluasan ke
10 Pembiayaan Musyarakah dan Mudharabah

seluruh dunia sehingga sebagian besar aktivitas didominasi oleh


bangsa eropa. Pada saat yang sama, peradaban muslim mengalami
kemerosotan dan jatuh satu persatu ke dalam cengkeraman eropa.
Akibatnya, institusi perekonomian Islam mulai runtuh dan digantikan
oleh institusi perekonomian bangsa eropa dan berlangsung terus
sampai zaman modern ini. Oleh karena itu, institusi perbankan di
negara-negara yang mayoritasnya muslim adalah warisan dari bangsa
eropa yang menggunakan konsep bunga (interest).
Di Eropa tercatat sebagai bank syariah yang pertama kali
beroperasi adalah The Islamic Bank International of Denmark di kota
Copenhagen. Pada tahun 1983. Sepanjang perjalanan waktu, kajian
akademis maupun praktik operasional mengenai ekonomi Islam dan
perbankan syariah terus dikembangkan. Untuk kajian akademis
terdapat di University of Durham (Inggris), University of Portsmouth
(Inggris), University of Harvard (Amerika) dan University of
Wulongong (Australia). Kemudian Inggris telah menerbitkan sukuk
(obligasi syariah), dan menjadi negara Barat pertama yang
mengizinkan sukuk. Sampai januari 2007, diperkirakan ada 300 bank
dan institusi finansial berbasis syariah di seluruh dunia yang asetnya
diproyeksikan akan tumbuh sebesar 1 triliun dollar pada 2013.
Ketimbang negara-negara Eropa lainnya, Inggris paling dulu
merealisasikan sistem keuangan syariah. Awalnya adalah kelimpahan
dana dari negara-negara Timur Tengah saat harga minyak bumi
meroket pada sekitar 2000-an. Jadilah, Inggris bersiap diri untuk
mengolah dana ini. Dalam catatan, jumlah penduduk London pada
2005 berada di angka 7,4 juta jiwa. Total penduduk Inggris sebanyak
60 juta orang. Dari jumlah itu, 1,8 juta jiwa beragama Islam.
Pemerintah berikut industri perbankan Inggris melihat kenyataan ini
sebagai pasar yang potensial. Pada 1963 perbankan syariah pertama
didirikan di Mesir dengan nama mit ghamr local saving bank yang
menerapkan sistem bagi hasil, pada awalanya berdirinya bank ini
disambut hangat oleh pelaku ekonomi di Mesir, namun sayang pada
tahun 1967 terjadi kekacaun politik yang mengakibatkan Mit Ghamr
Sej arah Bank Syariah 11

diambil alih oleh Bank of Egypt yang beroperasi menggunakan


bunga. Kesuksesan Mit Ghamr nampaknya menjadi inspirasi bagi
umat Islam di seluruh dunia, sehingga pada tahun 1975 terbentuklah
IDB (Islamic Developement Bank) yang diprakarsai oleh OKI, bank
ini bertujuan untuk menyediakan bantuan finansial (keuangan) bagi
negara-negara anggota dan membantu pendirian bank-bank syariah
di negara masing-masing. Kini perbankan syariah telah mengalami
perkembangan yang cukup pesat dan menyebar ke banyak negara,
bahkan ke negara-negra barat, adalah The Islamic Bank International
of Denmark tercatat sebagai bank Islam pertama yang beroperasi di
dataran Eropa pada tahun 1983 bahkan kini bank-bank kelas dunia
sebut saja HSBC, Citibank dan banyak lainnya mulai membuka
windows Syariah.

-oo0oo-
12 Pembiayaan Musyarakah dan Mudharabah
BAB II

SEJARAH BANK SYARIAH


DI INDONESIA

2.1 JALAN PANJANG PEMIKIRAN PENDIRIAN


BANK SYARIAH DI INDONESIA
Lembaga Keuangan Syariah (LKS) merupakan lembaga keuangan
yang melaksanakan kegiatan usahanya sesuai atau mendasarkan pada
prinsip-prinsip Syariah. Adanya adalah untuk meninggalkan unsur-
unsur yang dilarang dalam Islam sebagaimana maksud di atas,
kemudian menggantikannya dengan akad-akad tradisional Islam atau
yang lazim disebut dengan prinsip Syariah, yakni pondasi dasarnya
adalah Al-Quran dan As-Sunnah. Keinginan umat Islam akan adanya
Bank yang beroperasi sesuai dengan prinsip-prinsip Syariah Islam
sudah sejak lama digagas oleh para tokoh dan cendikiawan Muslim
Indonesia. Gagasan mendirikan bank yang sejalan dengan prinsip-
prinsip Islam tersebut sudah muncul sejak tahun 1930-an
berbarengan dengan timbulnya reaksi dan kontroversi di antara
Ulama Indonesia mengenai hukum bunga bank pada perbankan
konvensional. Pada tahun 1937 misalnya, ketika KH. Mas Mansur,
ketua PP Muhammadiyah periode 1937-1944, mengemukakan
pendapatnya tentang penggunaan jasa perbankan konvensional bagi
umat Islam (Mansur 1986, hlm. 25-28), ia ketika itu sudah
memunculkan gagasan mengenai pendirian Bank Islam di Indonesia.
14 Pembiayaan Musyarakah dan Mudharabah

Meskipun pada awalnya gagasan tersebut kurang mendapat


respon positif baik dari masyarakat maupun penjajah pada waktu itu.
Namun setelah beberapa tahun kemudian sering dengan semakin
lamanya kontroversi mengenai hukum bunga bank di kalangan
ulama, gagasan gagasan mendirikan Bank Syariah semakin sering
disuarakan umat Islam di Indonesia. Bahkan, hingga beberapa tahun
setelah Indonesia merdeka gagasan tersebut senantiasa disuarakan
dan didukung oleh sebagian besar ulama dan cendekiawan Muslim
Indonesia.
Terkait dengan gencarnya umat Islam dalam menyuarakan
Bank Syariah tersebut, pada tahun 1958 salah seorang ekonomi
terkemuka Indonesia, Muhammad Hatta, justru mengeluarkan
komentar kontradiktif. Ia ketika itu dengan tegas menyatakan
menolak gagasan masyarakat muslim untuk mendirikan Bank Islam
yang bebas bunga, karena menurutnya bank tidak akan langgeng
tanpa menerapkan bunga (Muhammad 2005, hlm. 45), namun,
komentar tersebut sama sekali tidak menyurutkan upaya umat Islam
untuk terus menyuarakan gagasan tersebut.
Selanjutnya pada tahun 1968, organisasi Muhammadiyah
dalam muktamarnya di Sidoarjo, selain memutuskan bahwa bunga
bank adalah mutasyabihat sesuatu yang belum jelas hukumnya, juga
mengatakan kepada PP Muhammadiyah agar mengupayakan
terwujudnya lembaga perbankan sesuai dengan kaidah Islam
(Antonio 2005, hlm. 62).
Intensitas upaya menggagas berdirinya Bank Syariah di
Indonesia semakin meningkat lebih-lebih setelah diadakanya
konferensi negara-negara di Kuala Lumpur Malasyia pada tahun
1969, yang di antara lain memutuskan supaya dibentuk Bank Syariah
yang bersih dari sistem riba dalam waktu secepat mungkin
(Sudarsono 2005, hlm. 28). Lalu didukung pula dengan berdirinya
Islamic Development Bank (IDB), di Jeddah pada tahun 1975, di
mana Indonesia merupakan salah satu negara pendirinya (Perwata
Atmadja dan Antonio 1999, hlm. 60).
Sej arah Bank Syariah di Indonesia 15

Menyusul kedua peristiwa tersebut upaya menggagas


berdirinya Bank Syariah di Indonesia semakin sering dibicarakan
dalam berbagai forum diskusi atau seminar di Indonesia, antara lain
di bicarakan dalam Seminar Nasional hubungan Indonesia dengan
Timur Tengah pada tahun 1974, dan juga dalam seminar
Internasional yang di selenggarakan oleh Lembaga Studi Ilmu-Ilmu
Kemasyarakatan (LSIK) dan Yayasan Bhineka Tunggal Ika pada tahun
1976 (Sudarsono 2005, hlm. 30), serta setelah diadakan penelitian
yang mendalam, usaha untuk mendirikan bank syariah sedikit ada
kendala, yaitu tidak ada payung hukum yang mengatur tentang bank
yang operasionalnya memakai prinsip bagi hasil. Kalau tetap
dioperasionalkan bank syariah itu, maka tidak sejalan dengan
undang-undang nomor 14 tahun 1967 tentang pokok-pokok
perbankan yang berlaku pada waktu itu. Selain hambatan ini bank
syariah ini dianggap oleh semua pihak ada keterkaitan dengan faktor
ideologi yang dianggapnya sebagian dari konsep negara Islam.
Dari uraian di atas dapat difahami bahwa gagasan untuk
mendirikan Bank Syariah di Indonesia sudah di mulai sejak zaman
penjajahan, dan disuarakan oleh umat Islam hingga setelah bangsa
Indonesia merdeka.
Meskipun gagasan tersebut sudah lama disuarakan dan
diperjuangkan oleh umat Islam, namun hingga akhir tahun1980-an
ternyata belum juga dapat diwujudkan karena di samping kondisi
sosial, politik maupun hukum ketika itu belum cukup dan
akomodatif untuk mendukung terwujudnya gagasan tersebut,
dominasi sistem bunga pada saat itu masih sangat dominan dan
legitimate dalam praktik perbankan Indonesia yang ketika itu masih
di dasarkan pada UU No 1 tahun 1967 tentang perbankan. Oleh
karena itu, hingga akhir tahun 1980-an keinginan umat Islam untuk
dapat mendirikan Bank Syariah di Indonesia masih tetap sebatas
gagasan yang belum mampu untuk diwujudkan.
Pada 1988 gagasan mengenai bank syariah muncul lagi dan
gagasan ini muncul karena pemerintah mengeluarkan paket
16 Pembiayaan Musyarakah dan Mudharabah

kebijakan oktober (PAKTO) yang berisi liberalisasi industri perbankan


di Indonesia. setelah ada rekomendasi lokakarya ulama tentang
bunga bank dan perbankan di Cisarua, Bogor tanggal 19-22 Agustus
1990, hasil lokakarya ini dibahas lebih mendalam pada Musyawarah
Nasional IV Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang berlangsung di
hotel Sahid Jaya, Jakarta pada 22-25 Agustus 1990. Berdasarkan
amanat munas MUI ini dibentuklah kelompok kerja untuk
mendirikan bank syariah di Indonesia. Hasil kerja kelompok ini
adalah dibentuknya PT Bank Muamalah Indonesia dengan
ditandatangani akta pendiriannya pada 1 November 1991 dengan
total modal awal sebesar Rp 106.126.382.000,-. Dana ini berasal
dari presiden dan wakil presiden, juga dari 10 menteri Kabinet
pembangunan V, Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila, Yayasan
Dakab, Yayasan Supersemar, Yayasan Dharmais, Yayasan Purna
Bakti Pertiwi, PT PAL, dan PT Pindad. Pada 1 Mei 1992 bank
muamalah mulai beroperasi.

2.2 BERDIRINYA BANK SYARIAH DI INDONESIA


Pada awal berdiri, keberadaan PT Bank Muamalah Indonesia belum
mendapat perhatian yang optimal dalam tahapan industri perbankan
nasional. Lahirnya undang-undang nomor 7 1992 tentang perbankan,
di mana perbankan bagi hasil diakomodasikan dan diakui
keberadaanya, maka perbankan syariah mulai menunjukkan
prospeknya sangat bagus dan menanggapi beberapa pasal yang
tersebut dalam Undang-undang Nomor 7 tahun 1992. Pemerintah
mengeluarkan peraturan pemeritah (PP) Nomor 72 tahun 1992
tentang bank berdasarkan prinsip bagi hasil pada 30 oktober 1992
dan diundangkan pada 39 oktober 1992, ini Nomor 119 tahun 1992.
Dalam peraturan pemerintah ini ditegaskan bahwa bank umum atau
bank perkreditan rakyat yang kegiatan usahanya semata-mata
berdasarkan prinsip bagi hasil, tidak diperkenankan melakukan
kegiatan usaha yang tidak berdasarkan prinsip bagi hasil, demikian
juga sebaliknya.
Sej arah Bank Syariah di Indonesia 17

Oleh karena bank muamalat dan bank-bank perkreditan rakyat


tidak menjangkau masyarakat Islam lapisan bawah, maka di-
bentuklah lembaga-lembaga simpan pinjam yang disebut Baitul Maal
wattam wil (BMT). Kemudian bank muamalat mensponsori lokakarya
ulama tentang reksada syariah oleh PT Danareksa Investiment
Management. Kemudian juga lahir pasal modal syariah, obligasi
syariah membuat perkembangan lembaga keuangan syariah tumbuh
dan berkembang cepat dengan hasil yang sangat menggembirakan
menurut riset yang dilakukan oleh Karim Business Consulting pada
2005 lalu menunjukkan bahwa total aset bank syariah di indonesia
diperkirakan akan lebih besar dari pada yang diperkirakan oleh bank
Indonesia. Total aset bank syariah diperkirakan akan mencapai antara
1,92% sampai 2,31% dari industri perbankan nasional. Pertumbuhan
yang cukup signifikan ini disebabkan karena semakin baiknya
kepastian di sisi regulasi serta berkembangnya pemikiran masyarakat
tentang keberadaan bank syariah.
Lahirnya Undang-undang Nomor 7 tahun 1998 tentang
perubahan Undang-undang Nomor 1992 tentang perbankan yang
diikuti dengan di keluarkannya sejumlah ketentuan pelaksanaan
dalam bentuk surat keputusan direksi bank Indonesia dan peraturan
Bank Indonesia, telah memberikan landasan hukum yang kuat bagi
pengembangan perbankan syariah di Indonesia. Peraturan yang
dikeluarkan bank Indonesia ini telah memberikan kesempatan untuk
mengembangkan bank syariah dengan cara mempermudah memberi
izin usaha dan mempermudah pembukaan kantor cabang serta
diperkenankan bank umum dapat dijalankan dua kegiatan usaha,
baik secara konvensional maupun berdasarkan prinsip syariah.
Untuk menjawab kebutuhan masyarakat bagi terwujudnya
sistem perbankan yang sesuai syariah, maka pemerintah telah
memasukkan kemungkinan tersebut dalam UU No.7 tahun 1992
tentang perbankan, yang secara implisit telah membuka peluang
kegiatan usaha perbankan syariah meskipun masih menggunakan
istilah bank bagi hasil. Dasar operasional bank bagi hasil kemudian
18 Pembiayaan Musyarakah dan Mudharabah

secara rinci dijabarkan dengan peraturan pemerintah No. 72 tahun


1992 tentang bank berdasarkan prinsip bagi hasil. Selanjutnya
ketentuan perundang-undangan tersebut telah dijadikan dasar hukum
beroperasinya bank syariah di Indonesia yang menandai dimulainya
era sistem perbankan ganda (dual banking system) di Indonesia.
Pada tahun 1998 dikeluarkan UU No. 10 tahun 1998 sebagai
amandemen dari UU No. 7 tahun 1992 tentang perbankan yang
memberikan landasan hukum yang lebih kuat bagi keberadaan
sistem perbankan syariah. Berdasarkan UU No. 23 tahun 1999 yang
selanjutnya diamandemenkan dengan UU No. 3 2004 tentang bank
Indonesia yang memberikan kewenangan kepada Bank Indonesia
untuk dapat pula menjalankan tugasnya berdasaran prinsip syariah.
Sementara itu, bank Indonesia, sebagai bank sentral Republik
Indonesia sekaligus selaku regulator dari industri perbankan di
Indonesia, secara internal telah membentuk satuan kerja khusus (Biro
perbankan Syariah yang selanjutnya berkembang menjadi direktorat
perbankan syariah) yang memfokuskan tugasnya bagi upaya
pengembangan industri perbankan syariah.
Rintisan praktik perbankan Syariah di Indonesia dimulai pada
awal periode 1980-an, melalui diskusi-diskusi bertemakan bank
Islam sebagai pilar ekonomi Islam. Tokoh-tokoh yang terlibat dalam
pengkajian tersebut, untuk menyebut beberapa, di antaranya adalah
Karnaen A. Perwataatmadja, M. Dawam Rahardjo, A.M. Saefuddin,
dan M. Amien Azis. Sebagai uji coba, gagasan perbankan Islam
dipraktikkan dalam skala yang relatif terbatas di antaranya di
Bandung (Bait At-Tamwil Salman ITB) dan di Jakarta (Koperasi Ridho
Gusti). Sebagai gambaran, M. Dawam Rahardjo dalam tulisannya
pernah mengajukan rekomendasi Bank Syari’at Islam sebagai konsep
alternatif untuk menghindari larangan riba, sekaligus berusaha
menjawab tantangan bagi kebutuhan pembiayaan guna pe-
ngembangan usaha dan ekonomi masyarakat.
Sej arah Bank Syariah di Indonesia 19

Jalan keluarnya secara sepintas disebutkan dengan transaksi


pembiayaan berdasarkan tiga modus, yakni mudharabah,
musyarakah dan murabahah.
Prakarsa lebih khusus mengenai pendirian Bank Syariah di
Indonesia baru dilakukan tahun 1990. Pada tanggal 18 – 20 Agustus
tahun tersebut, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyelenggarakan
lokakarya bunga bank dan perbankan di Cisarua, Bogor, Jawa Barat.
Hasil lokakarya tersebut kemudian dibahas lebih mendalam pada
Musyawarah Nasional IV MUI di Jakarta 22 – 25 Agustus 1990, yang
menghasilkan amanat bagi pembentukan kelompok kerja pendirian
bank Islam di Indonesia. Kelompok kerja dimaksud disebut Tim
Perbankan MUI dengan diberi tugas untuk melakukan pendekatan
dan konsultasi dengan semua pihak yang terkait.
Sebagai hasil kerja Tim Perbankan MUI tersebut adalah
berdirinya PT Bank Muamalat Indonesia (BMI), yang sesuai akte
pendiriannya, berdiri pada tanggal 1 Nopember 1991. Sejak tanggal
1 Mei 1992, BMI resmi beroperasi dengan modal awal sebesar Rp
106.126.382.000,-. Sampai bulan September 1999, BMI telah
memiliki lebih dari 45 outlet yang tersebar di seluruh wilayah
Indonesia.
Kelahiran Bank Syariah di Indonesia relatif terlambat
dibandingkan dengan negara-negara lain sesama anggota OKI. Hal
tersebut merupakan ironi, mengingat pemerintah RI yang diwakili
Menteri Keuangan Ali Wardana, dalam beberapa kali sidang OKI
cukup aktif memperjuangkan realisasi konsep bank Syariah, namun
tidak diimplementasikan di dalam negeri. KH Hasan Basri, yang pada
waktu itu sebagai Ketua MUI memberikan jawaban bahwa kondisi
keterlambatan pendirian Bank Islam di Indonesia karena political-will
belum mendukung.
Selanjutnya sampai diundangkannya Undang-undang No. 10
Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang No. 7 Tahun
1992 tentang Perbankan, BMI merupakan satu-satunya bank umum
20 Pembiayaan Musyarakah dan Mudharabah

yang mendasarkan kegiatan usahanya atas syariat Islam di Indonesia.


Baru setelah itu berdiri beberapa Bank Syariah lain, yakni Bank IFI
membuka cabang Syariah pada tanggal 28 Juni 1999, Bank Syariah
Mandiri yang merupakan konversi dari Bank Susila Bakti (BSB), anak
perusahaan Bank Mandiri, serta pendirian lima cabang baru berupa
cabang syariah dari PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. Tercatat
di Bank Indonesia bank-bank yang sudah mengajukan permohonan
membuka cabang syariah, yakni: Bank Niaga, Bank BTN, Bank
Mega, Bank BRI, Bank Bukopin, BPD Jabar, BPD Jatim, BPD Jateng,
BPD DIY, BPD Aceh, BPD Sumut, BPD Kaltim, BPD Sumsel Babel,
BPD Sulselbar, BPD Kalbar, BPD Kalteng, Permata dan BCA dll.

-oo0oo-
BAB III

DASAR DAN TUJUAN


PENDIRIAN BANK SYARIAH

3.1 LANDASAN BANK SYARIAH


Perbankan syariah atau perbankan Islam (al-Mashrafiyah al-Islam
iyah) adalah suatu sistem perbankan yang pelaksanaannya ber-
dasarkan hukum Islam (syariah). Pembentukan sistem ini berdasarkan
adanya larangan dalam agama Islam untuk meminjamkan atau
memungut pinjaman dengan mengenakan bunga pinjaman (riba),
serta larangan untuk berinvestasi pada usaha-usaha berkategori
terlarang (haram). Sistem perbankan konvensional tidak dapat
menjamin absennya hal-hal tersebut dalam investasinya, misalnya
dalam usaha yang berkaitan dengan produksi makanan atau
minuman haram, usaha media atau hiburan yang tidak Islami, dan
lain-lain.
Dasar perbankan syariah mengacu kepada ajaran agama Islam
yang bersumber pada al-Qur’an, al-Hadits/as-Sunnah, dan Ijtihad.
Ajaran agama Islam yang bersumber pada wahyu Ilahi dan as-Sunnah
mengajarkan kepada umatnya untuk berusaha mendapatkan
kehidupan yang baik di dunia yang sekaligus memperoleh kehidupan
yang baik di akhirat. Hal ini berarti, bahwa dalam mengerjakan
kehidupan di dunia tidak dapat dilakukan dengan menghalalkan
22 Pembiayaan Musyar akah dan Mudhar abah

segala cara, tapi harus dilakukan melalui gerakan amal shaleh. Bank
Syariah adalah bank yang kegiatan usahanya dilakukan berdasarkan
prinsip syariah. Sedangkan prinsip syariah adalah aturan perjanjian
berdasarkan hukum Islam” (UU No. 21/2008 tentang Perbankan
Syariah).
Bank Syariah adalah bank yang beroperasi dengan tidak
mengandalkan pada bunga. Bank syariah juga dapat diartikan sebagai
lembaga keuangan/perbankan yang operasional dan produknya
dikembangkan berlandaskan Al-Qur’an dan Hadits Nabi SAW.
Antonio dan Perwataatmadja membedakan menjadi dua pengertian,
yaitu Bank Islam dan Bank yang beroperasi dengan prinsip syariah
Islam. Bank Islam adalah bank yang beroperasi dengan prinsip
syariah Islam dan bank yang tata cara beroperasinya mengacu
kepada ketentuan-ketentuan Al-Qur’an dan Hadits. Bank yang
beroperasi sesuai dengan prinsip syariah Islam adalah bank yang
dalam beroperasinya mengikuti ketentuan-ketentuan syariah Islam,
khususnya yang menyangkut tata cara bermuamalat secara Islam.
Dalam keuangan syariah menekankan pentingnya keselarasan
aktivitas keuangan dengan norma dan tuntunan syariah. Aturan
terpenting dalam kegiatan keuangan syariah adalah pelarangan riba
(memperanakkan uang dan mengharapkan hasil tanpa menanggung
risiko). Ahli fiqh menilai ini sangat kental eksistensinya dalam
aktivitas keuangan konvensional.
Bank syariah adalah bank yang aktivitasnya meninggalkan
masalah riba. Dengan demikian, penghindaran bunga yang dianggap
riba merupakan salah satu tantangan yang dihadapi dunia Islam
dewasa ini. Suatu hal yang sangat menggembirakan bahwa
belakangan ini para ekonom Muslim telah mencurahkan perhatian
besar, guna menemukan cara untuk menggantikan sistem bunga
dalam transaksi perbankan dan membangun model teori ekonomi
yang bebas dan pengujiannya terhadap pertumbuhan ekonomi,
alokasi dan distribusi pendapatan. Oleh karena itu, maka mekanisme
perbankan bebas bunga yang biasa disebut dengan bank syariah
Dasar dan Tuj uan Pendir i an Bank Syar i ah 23

didirikan. Tujuan perbankan syariah didirikan dikarenakan


pengambilan riba dalam transaksi keuangan maupun non keuangan
(QS. Al-Baqarah 2 :275).
Meskipun prinsip-prinsip tersebut mungkin saja telah
diterapkan dalam sejarah perekonomian Islam, namun baru pada
akhir abad ke-20 mulai berdiri bank-bank Islam yang menerapkannya
bagi lembaga-lembaga komersial swasta atau semi-swasta dalam
komunitas muslim di dunia

3.2 PRINSIP-PRINSIP BANK ISLAM


Visi perbankan Islam umumnya adalah menjadi wadah terpercaya
bagi masyarakat yang ingin melakukan investasi dengan sistem bagi
hasil secara adil sesuai prinsip syariah. Memenuhi rasa keadilan bagi
semua pihak dan memberikan maslahat bagi masyarakat luas adalah
misi utama perbankan islam. Dengan landasan falsafah dasar sistem
ekonomi islam dan dengan visi misi tersebut di atas, maka setiap
kelembagaan keuangan syariah akan menerapkan ketentuan-
ketentuan sebagai berikut.

3.2.1 Menjauhkan Diri dari Kemungkinan Adanya Unsur


Riba
a. Menghindari penggunaan sistem yang menetapkan di muka
suatu hasil usaha, seperti penetapan bunga simpanan atau bunga
pinjaman yang dilakukan pada bank konvensional.
b. Menghindari penggunaan sistem presentasi biaya terhadap utang
atau imbalan terhadap simpanan yang mengandung unsur
melipat gandakan secara otomatis utang/simpanan tersebut
hanya karena berjalannya waktu.
c. Menghindari penggunaan sistem perdagangan/penyewaan
barang ribawi dengan imbalan barang ribawi lainnya (barang
yang sama dan sejenis, seperti uang rupiah yang masih berlaku)
dengan memperoleh, kelebihan baik kuantitas maupun kualitas.
24 Pembiayaan Musyar akah dan Mudhar abah

d. Menghindari penggunaan sistem yang menetapkan di muka


tambahan atas uang yang bukan atas prakarsa yang mempunyai
utang secara sukarela, seperti penetapan bunga pada bank
konvensional.

3.2.2 Menerapkan Prinsip Sistem Bagi Hasil dan Jual-Beli


Dengan mengacu kepada petunjuk Al-Qur’an, QS. Al-Baqarah (2):
275 dan surat an-Nisaa (4): 29 yang intinya Allah SWT telah
menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba serta suruhan untuk
menempuh jalan perniagaan dengan suka sama suka, maka setiap
transaksi kelembagaan ekonomi islami harus selalu dilandasi atas
dasar sistem bagi hasil dan perdagangan atau yang transaksinya
didasari oleh adanya pertukaran antara uang dengan barang/jasa.
Akibatnya pada kegiatan muamalah berlaku prinsip “ada barang/jasa
dulu baru ada uang“, sehingga akan mendorong produksi barang/
jasa, mendorong kelancaran arus barang/jasa, dapat menghindari
adanya penyalahgunaan kredit, spekulasi dan inflasi.
Dalam operasinya, pada sisi pengerahan dana masyarakat,
lembaga ekonomi Islam menyediakan sarana investasi bagi
penyimpanan dana dengan sistem bagi hasil dan pada sisi
penyaluran dana masyarakat menyediakan fasilitas pembiayaan
investasi dengan sistem bagi hasil serta pembiayaan perdagangan.
a. Investasi bagi penyimpan dana berarti nasabah yang
menyimpanan dananya pada bank ini (tabungan mudharabah
atau simpanan mudharabah) dianggap sebagai penyedia dana
(rabbul mal) akan memperoleh hak bagi hasil dari usaha bank
sebagai pengelola dana (mudharib) yang sifat hasilnya tidak tetap
dan tidak pasti sesuai dengan besar kecilnya hasil usaha bank.
Bagi hasil yang diterima penyimpanan dana biasanya dihitung
sesuai dengan lamanya dana tersebut mengendap dan dikelola
oleh bank, bisa satu tahun, bisa satu bulan, bisa satu minggu,
bahkan bisa satu hari.
Dasar dan Tuj uan Pendir i an Bank Syar i ah 25

b. Pembiayaan investasi ialah pembiayaan baik sepenuhnya (al-


mudharabah) atau sebagian (al-musyarakah) terhadap suatu
usaha yang tidak berbentuk saham. Dana yang ditempatkan,
sepenuhnya maupun yang sebagian itu tetap menjadi milik bank
sehingga pada waktu berakhirnya kontrak, bank berhak
memperoleh bagi hasil dari usaha itu sesuai dengan kesepakatan.

3.2.3 Prinsip Keadilan


Prinsip ini tercermin dari penerapan sistem bagi hasil dan
pengambilan keuntungan berdasarkan hasil kesepakatan dua belah
pihak.

3.2.4 Prinsip Kesamaan


Prinsip ini tercermin dengan menempatkan posisi nasabah serta bank
pada posisi yang sederajat. Kesamaan ini terwujud dalam hak,
kewajiban, risiko dan keuntungan yang berimbang di antara nasabah
penyimpan dana, nasabah pengguna dana maupun bank.

3.3 MOTIF PENDIRIAN BANK SYARIAH


Terdapat beberapa motif didirikannya perbankan syariah. Antara lain
alasan ekonomi. Mengapa? Perbankan syariah menguntungkan, layak
dioperasionalkan, sistemnya tahan terhadap sistem moneter. Motif ini
ada pada semua pemilik bank syariah. Mereka buka karena bank
syariah menguntungkan.
Motif kedua alasan masyarakat. Yaitu masyarakat mem-
butuhkan transaksi yang tidak hanya menguntungkan tetapi juga
mereka merasa aman, percaya karena selama ini terjadi kejahatan
perbankan konvensional yang dilakukan oleh manajemen bank itu
sendiri. “Itu tidak sedikit dana nasabah yang diputar di perjudian di
luar negeri. Dana nasabah dijadikan alat spekulasi. Masyarakat ingin
dana mereka dikelola secara amanah.
26 Pembiayaan Musyar akah dan Mudhar abah

Motif ketiga, adalah alasan moral. Perbankan syariah ini


menerapkan prinsip-prinsip moralitas, di antaranya tidak akan
menempatkan dana nasabah pada portfolio atau produktifitas
merusak moral masyarakat, misalnya industri pornografi, industri
hiburan malam, apalagi memberikan pembiayaan kepada pabrik
minuman keras. Semua itu dilakukan oleh bank konvensional. Dana
kita yang ditabung dipinjam ke usaha-usaha non halal umat harus
cermat, kita membanting tulang dengan cara yang halal, tapi dilain
pihak kita ikut membantu kredit usaha non halal.
Motif keempat, adalah alasan hukum agama. Bank syariah
dipilih karena menghindari riba, spekulasi, transaksi fiktif, suap. Itu
sudah menjadi praktik umum di bank konvensional. “Ini menjadi
pilar bank syariah di bangun. Kalau menuju kesempurnaan belum
karena baru 20 tahun berdiri pada 1992. Ini dekade yang masih
disebut balita. Tapi kita melihat penyesuaian pada prinsip syariah itu
terus dilakukan, contohnya dewan pengawas syariah di bank-bank
syariah, itu sudah masuk pada pengawasan kontrak-kontrak syariah
antara nasabah dan bank, antara bank dengan pihak lain dan notaris.

3.4 TUJUAN BANK SYARIAH


Ada beberapa tujuan dari perbankan Islam. Di antara para ilmuwan
dan para professional Muslim berbeda pendapat mengenai tujuan
tersebut. Menurut Handbook of Islamic Banking, perbankan Islam
ialah menyediakan fasilitas keuangan dengan cara mengupayakan
instrumen-instrumen keuangan (Finansial Instrumen) yang sesuai
denga ketentuan dan norma syari’ah. Menurut Handbook of Islamic
Banking, bank Islam berbeda dengan bank konvensional dilihat dari
segi partisipasinya yang aktif dalam proses pengembangan sosial
ekonomi negara-negara Islam yang dikemukakan dalam buku itu,
perbankan Islam bukan ditujukan terutama untuk memaksimalkan
keuntungannya sebagaimana halnya sistem perbankan yang
berdasarkan bunga, melainkan untuk memberikan keuntungan sosial
ekonomi bagi orang-orang muslim. Dalam buku yang berjudul
Dasar dan Tuj uan Pendir i an Bank Syar i ah 27

Toward a Just Monetary Sistem, Muhammad Umar Chapra


mengemukakan bahwa suatu dimensi kesejahteraan sosial dapat
dikenal pada suatu pembiayaan bank. Pembiayaan bank Islam harus
disediakan untuk meningkatkan kesempatan kerja dan kesejahteraan
ekonomi sesuai dengan nilai-nilai Islam. Usaha yang sungguh-
sungguh yang harus dilakukan untuk memastikan bahwa pembiayaan
yang dilakukan bank-bank Islam tidak akan meningkatkan
konsentrasi kekayaan atau meningkatkan konsumsi meskipun sistem
Islam telah memiliki pencegahan untuk menangani masalah ini.
Pembiayaan tersebut harus dapat dinikmati oleh pengusaha
sebanyak-banyaknya yang bergerak dibidang industri pertanian dan
perdagangan untuk menunjang kesempatan kerja dan menunjang
produksi dan distribusi barang-barang dan jasa-jasa untuk memenuhi
kebutuhan dalam negeri maupun ekspor.
Para bankir Muslim beranggapan bahwa peranan bank
Islam semata-mata komersial berdasarkan pada instrumen-instrumen
keuangan yang bebas bunga dan ditunjukkan untuk menghasilkan
keuangan finansial. Dengan kata lain para bankir muslim tidak
beranggapan bahwa suatu bank Islam adalah suatu lembaga sosial,
dalam suatu wawancara yang dilakukan oleh Kazarian, Dr Abdul
Halim Ismail, manajer bank Islam Malaysia Berhaj, mengemukakan,
(sebagaimana bisnis muslim yang patuh, tujuan saya sebagai manajer
dari bank tersebut (bank Malaysia Berhaj) adalah semata-mata
mengupayakan setinggi mungkin keuntungan tanpa menggunakan
instrumen-instrumen yang diambil dari pihak nasabah berdasarkan
bunga).
Dorongan Perbankan Islam didasarkan pada keinginan untuk
tunduk kepada Instruksi Ilahi pada semua transaksi, terutama yang
melibatkan pertukaran uang. Namun, akan sangat tidak adil untuk
membatasi Perbankan Islam untuk penghapusan riba saja.
Riba hanyalah salah satu elemen yang tidak diinginkan utama
dari suatu transaksi ekonomi, yang lainnya adalah gharar
28 Pembiayaan Musyar akah dan Mudhar abah

(ketidakpastian) dan Qimar (spekulasi). Sementara penghapusan


aspek-aspek yang tidak pantas dalam transaksi memang tujuan
penting dari sistem perbankan Islam, itu tidak berarti tujuan akhirnya.
Di jantung Perbankan Islam adalah suatu sistem transaksi
komersial yang tidak hanya menyediakan mode Halal transaksi
komersial dengan menghindari apa yang menjengkelkan dan tidak
pantas, tetapi juga menumbuhkan etika, praktik yang adil dan adil.
Unsur kunci dari ekonomi Islam adalah distribusi manfaat yang
adil terhadap berbagai faktor produksi. Sistem ekonomi Islam
berusaha sistem keadilan Redistributif di mana konsentrasi kekayaan
di tangan sejumlah orang adalah balas dan aliran uang ke dalam
perekonomian fasih. Perbankan Islam, oleh karena itu, dipandang
sebagai lynchpin untuk mencapai tujuan ekonomi dan sosial dari
sistem ekonomi Islam.
Bank syariah mempunyai beberapa tujuan di antaranya sebagai
berikut (Heri Sudarsono, 2008 hlm 43):
1. Mengarahkan kegiatan ekonomi umat untuk bermuamalat secara
Islam, khususnya muamalat yang berhubungan dengan
perbankan, agar terhindar dari praktik-praktik riba atau jenis-
jenis usaha/perdagangan lain yang mengandung unsur gharar
(tipuan), di mana jenis usaha tersebut selain dilarang dalam
Islam, juga telah menimbulkan dampak negatif terhadap
kehidupan ekonomi rakyat.
2. Untuk menciptakan suatu keadilan di bidang ekonomi dengan
jalan meratakan pendapatan melalui kegiatan investasi, agar
tidak terjadi kesenjangan yang amat besar antara pemilik modal
dengan pihak membutuhkan dana.
3. Untuk meningkatkan kualitas hidup umat dengan jalan
membuka peluang berusaha yang lebih besar terutama
kelompok miskin, yang diarahkan kepada kegiatan usaha yang
produktif, menuju terciptanya kemandirian usaha
Dasar dan Tuj uan Pendir i an Bank Syar i ah 29

4. Untuk menanggulangi masalah kemiskinan, yang pada


umumnya merupakan program utama dari negara-negara yang
sedang berkembang. Upaya bank syariah di dalam me-
ngentaskan kemiskinan ini berupa pembinaan nasabah yang
lebih menonjol kebersamaannya dari siklus usaha yang lengkap
seperti program pembinaan pengusaha produsen, pembinaan
pedagang per-antara, program pembinaan konsumen, program
pengembangan modal kerja, dan program pengembangan usaha
bersama.
5. Untuk menjaga stabilitas ekonomi dan moneter. Dengan
aktivitas bank syariah akan mampu menghindari pemanasan
ekonomi diakibatkan adanya inflasi, menghindari persaingan
yang tidak sehat antara lembaga keuangan.
6. Untuk menyelamatkan ketergantungan umat Islam terhadap bank
non-syariah.

3.5 CIRI-CIRI BANK SYARIAH


Bank syariah mempunyai ciri-ciri berbeda dengan bank
konvensional, adapun ciri-ciri bank syariah adalah (Heri Sudarsono,
2008 hlm 44):
1. Beban biaya yang disepakati bersama pada waktu akad
perjanjian diwujudkan dalam bentuk jumlah nominal, yang
besarnya tidak kaku dan dapat dilakukan dengan kebebasan
untuk tawar-menawar dalam bentuk wajar. Beban biaya tersebut
hanya dikenakan sampai batas waktu sesuai dengan kesepakatan
dalam kontrak.
2. Penggunaan persentase dalam hal kewajiban untuk melakukan
pembayaran selalu dihindari, karena persentase bersifat melekat
pada sisa hutang meskipun batas waktu perjanjian telah berakhir.
3. Di dalam kontrak-kontrak pembiayaan proyek, bank syariah
tidak menerapkan perhitungan berdasarkan keuntungan yang
pasti yang ditetapkan di muka, karena pada hakikatnya yang
mengetahui tentang ruginya suatu proyek yang dibiayai bank
hanyalah Allah semata.
30 Pembiayaan Musyar akah dan Mudhar abah

4. Pengarahan dana masyarakat dalam bentuk deposito tabungan


oleh penyimpan dianggap sebagai titipan (al-wadi’ah) sedangkan
bagi bank dianggap sebagai titipan yang diamanatkan sebagai
penyertaan dana pada proyek- proyek yang dibiayai bank yang
beroperasi sesuai dengan prinsip syariah sehingga pada
penyimpanan tidak dijanjikan imbalan yang pasti.
5. Dewan Pengawas Syariah (DPS) bertugas untuk mengawasi
operasionalisasi bank dari sudut syariahnya, selain itu manajer
dan pimpinan bank Islam harus menguasai dasar-dasar
muamalah Islam .
6. Fungsi kelembagaan bank syariah selain menjembatani antara
pihak pemilik modal dengan pihak yang membutuhkan dana,
juga mempunyai fungsi khusus yaitu fungsi amanah, artinya
berkewajiban menjaga dan bertangung jawab atas keamanan
dana yang disimpan dan siap sewaktu-waktu apabila dana di
ambil pemiliknya.

3.6 TUJUAN PENGEMBANGAN BANK SYARIAH


Islam adalah suatu dien (way of life) yang praktis, mengajarkan
segala yang baik dan bermanfaat bagi manusia dengan mengabaikan
waktu, tempat atau tahap-tahap perkembangannya, selain itu Islam
adalah agama fitrah, yang sesuai dengan sifat dasar manusia (human
nature).
Aktivitas keuangan dan perbankan dapat dipandang sebagai
wahana bagi masyarakat modern untuk membawa mereka kepada,
paling tidak dua ajaran Qur’an yaitu (M. Syafi’i Antonio, 2003 hlm
11-12):
Prinsip At Ta’awun, yaitu tolong menolong antara satu sama
lainnya/bekerja sama antara anggota masyarakat untuk kebaikan,
sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an yaitu:
Dasar dan Tuj uan Pendir i an Bank Syar i ah 31

“…..Dan tolong menolonglah kamu dalam mengerjakan


kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong menolong dalam
berbuat kejahatan/dosa dan pelanggaran….” (QS 5:2).
Prinsip menghindari Al Ikhtinaz, menahan uang (dana) dan
membiarkannya menganggur (idle) dan tidak berputar dalam
transaksi yang bermanfaat bagi masyarakat umum, sebagaimana
dijelaskan dalam Al-Qur’an:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling
memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali
dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka
di antara kamu…..”(QS 4:29).
Perbedaan pokok antara perbankan Islam dan perbankan
konvensional adalah adanya larangan riba (bunga) dalam perbankan
Islam riba itu diharamkan/dilarang keras dan sistem jual beli
dihalalkan dalam Agama Islam.
Tujuan umat Islam mendirikan bank Islam untuk mem-
promosikan dan mengembangkan penerapan prinsip-prinsip syariah
Islam dan tradisinya ke dalam transaksi keuangan dan perbankan
serta bisnis lain yang terkait.
Prinsip utama yang dianut oleh bank Islam adalah (M. Syafi’i
Antonio, 2003 hlm 11-12):
1. Larangan riba (bunga) dalam berbagai bentuk transaksi.
2. Menjalankan bisnis dan aktivitas perdagangan yang berbasis
pada perolehan keuntungan yang sah menurut syariah Islam.
3. Memberikan zakat.
Langkah yang diambil pemerintah untuk membangun suatu
sistem perbankan dalam rangka mendukung program pemulihan dan
pemberdayaan ekonomi nasional, restrukturisasi perbankan, adalah
dengan mengembangkan sistem perbankan syariah. Adapun tujuan
pengembangan perbankan syariah untuk memenuhi kebutuhan
berikut (Muhammad Syafi’i Antonio, 2001 hlm 226):
32 Pembiayaan Musyar akah dan Mudhar abah

1. Kebutuhan jasa perbankan bagi masyarakat yang tidak dapat


menerima konsep bunga
Dengan diterapkan sistem perbankan syariah yang ber-
dampingan dengan sistem perbankan konvensional, mobilisasi
dana masyarakat dapat dilakukan secara lebih luas, terutama di
segmen masyarakat yang selama ini belum dapat tersentuh oleh
sistem perbankan konvensional.
2. Peluang pembiyaan bagi pengembangan usaha berdasarkan
prinsip kemitraan
Dalam prinsip ini, konsep yang diterapkan adalah hubungan
antar investor yang harmonis (mutual investor relationship).
Adapun sistem konvensional konsep yang diterapkan adalah
hubungan antara debitur dan kreditur yang antagonis (debtor to
creditor relationship).
3. Kebutuhan akan produk dan Jasa perbankan unggulan
Sistem perbankan syariah memiliki beberapa sifat keunggulan
komparatif berupa penghapusan pembebanan bunga yang ber-
kesinambungan (perpetual interest effect), membatasi kegiatan
spekulasi yang tidak produktif, dan pembiayaan yang ditujukan
pada usaha-usaha yang memperhatikan unsur moral (halal).

3.7 FUNGSI DAN PERAN BANK SYARIAH


Fungsi dan peran bank syariah yang di antaranya tercantum dalam
pembukaan standar akuntansi yang dikeluarkan oleh AAOIFI
(Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial
Institution), Sebagai berikut (Heri Sudarsono, 2008 hlm 43):
1. Manajer investasi, bank syariah dapat mengelola investasi dana
nasabah.
2. Investor, bank syariah Islam menginvestasikan dana yang
dimilikinya maupun dana nasabah yang dipercayakan
kepadanya.
Dasar dan Tuj uan Pendir i an Bank Syar i ah 33

3. Penyebab jasa keuangan dan lalu lintas pembayaran, bank


syariah dapat melakukan kegiatan-kegiatan jasa-jasa layanan
perbankan sebagaimana lazimnya.
4. Pelaksanaan kegiatan sosial, sebagai ciri yang melekat pada
entitas keuangan syariah, bank Islam juga memiliki kewajiban
untuk mengeluarkan dan mengelola (menghimpun, meng-
administrasikan, mendistribusikan) zakat serta dana-dana sosial
lainnya.

-oo0oo-
34 Pembiayaan Musyar akah dan Mudhar abah
BAB IV

SEJARAH RIBA - BUNGA

4.1 SEJARAH BUNGA


Bangsa-bangsa dahulu telah mengenal bank, tetapi bank ini berlainan
dengan bank modern, sesuai dengan awal tingkat kejadiaannya
transaksi di waktu itu. Saat itu belum ada mata uang dan baru
muncul pada abad pertengahan, maka timbullah lembaga perbankan
yang mereka gunakan sebagai alat mata uang, pertukaran uang
dengan yang lain dan penyimpanan. Hal ini sesuai dengan tingkat
kemajuan yang mereka capai pada saat itu. Mereka belum
mengoperasikan uang yang didepositokan pada para bankir.
Kemudian para bankir berpendapat bahwa adalah lebih baik kalau
uang tersebut sebagian mereka kelola, karena pada umumnya
pemilik uang tidak menginginkan uang yang mereka titipkan itu
dioperasikan. Sehingga, dengan uang yang dititipkan itu mereka
dapat mengoperasikannya dalam jumlah tertentu, seraya mereka pun
dapat mengembalikan uang titipan ini pada saat penitipnya
memintanya kembali. Dengan cara semacam ini, penitip (deposan)
tidak mengetahui bahwa uangnya telah dioperasikan atau di-
kembangkan oleh si bankir, karena yang bersangkutan dapat me-
ngembalikan kepada pemiliknya kapan saja uang itu ditariknya
kembali, karena uang yang dititipkan pada si bankir itu banyak,
36 Pembi ayaan Musyar akah dan Mudhar abah

sehingga ia dapat memperbesar operasinya dan mendatangkan


keuntungan yang besar pula.
Dengan demikian si bankir berpendapat bahwa suatu hal yang
menguntungkan bagi dirinya kalau penitip uang (deposan) diberi
bagian dari keuntungan uang yang mereka titipkan kepadanya,
sehingga uang mereka pun berkembang pula, dengan cara ini, si
penitip memperoleh keuntungan dan si bankir juga mendapatkan
untung yang jauh lebih besar. Bilamana si deposan tidak diberi
keuntungan, barangkali mereka tidak akan menitipkan uangnya lagi
pada si bankir atau tidak mengizinkan untuk dikembangkan. Karena
itu, akhirnya orang-orang lain dapat digalakkan untuk menitipkan
uang mereka padanya, sehingga akan bertambah investasi dan
keuntungannya. Dari sinilah kemudian lahir gagasan lembaga
perbankan modern (bank konvensional). Yang menjadi sandaran
paling besar bagi kelangsungan hidup perbankan adalah deposito,
sekalipun bersandar juga pada dua sumber lain, yaitu:
1. Modal, meliputi modal yang diberikan pemegang saham dan
modal yang didapat dari keuntungan.
2. Kredit, hal ini dilakukan oleh bank-bank dagang bila
membutuhkan modal, dan dipinjam dari bank sentral atau bank
lain.
Menurut catatan sejarah, usaha perbankan sudah dikenal
kurang lebih 2500 tahun sebelum masehi dalam masyarakat Mesir
Purba dan Yunani Kuno, kemudian masyarakat Romawi. Karena itu,
sepantasnya kalau Plato (427-347 SM) sudah berbicara tentang
bahaya rente. Perkembangan bank modern mulai berkembang di
Italia dalam abad pertengahan yang dikuasai oleh beberapa keluarga
untuk pembiayaan kepausan dan perdagangan wol, kemudian
perbankan berkembang pesat sesudah memasuki abad ke-18 dan 19.
Bank diambil dari kata banco, bahasa Italia, artinya meja. Dulu
para penukar uang (money changer) melakukan pekerjaan mereka di
pelabuhan-pelabuhan tempat para kelasi kapal datang dan pergi,
Sej ar ah Ri ba - Bunga 37

para pengembara dan wiraswastawan turun-naik kapal. Money


changer itu meletakkan uang di atas sebuah meja (banco) di hadapan
mereka. Aktivitas di atas banco inilah yang menyebabkan para ahli
ekonomi menelusuri sejarah perbankan, mengaitkan kata banco
dengan lembaga keuangan yang bergerak dalam bidang ini dengan
nama “bank”. Dengan demikian, bank di sini berfungsi sebagai
penukaran uang antar bangsa yang berbeda-beda mata uangnya.

4.2 LARANGAN RIBA DALAM AL-QUR’AN DAN


HADIS
Dalam al-Qur’an, kata riba menyebar di enam ayat (al-Baqi, 1981).
Menurut M. Umer Chapra, larangan riba muncul dalam al-Qur’an
pada empat kali penurunan wahyu (Chapra, 2000)
Pertama, diturunkan di Mekah, menegaskan bahwa bunga
akan menjauhkan keberkahan Allah dalam kekayaan, sedangkan
sedekah akan meningkatkannya menjadi berlipat ganda.
Kedua, diturunkan pada masa permulaan periode Madinah,
mengutuk dengan keras praktik riba, seirama dengan larangannya
pada kitab-kitab terdahulu. Pada tahap ini, al-Qur’an mensejajarkan
orang yang mengambil kekayaan orang lain secara tidak benar dan
mengancam kedua pihak dengan siksa Allah yang sangat pedih.
Ketiga, diturunkan pada kira-kira tahun kedua atau ketiga
hijriah, menyeruhkan kaum muslimin untuk menjauhi riba jika
mereka menghendaki kesejahteraan yang diinginkan.
Keempat, diturunkan menjelang selesainya misi Rasul SAW.,
mengutuk keras mereka yang mengambil riba, menegaskan
perbedaan yang jelas antara perniagaan dan riba, dan menuntut
kaum muslimin agar menghapuskan seluruh hutang piutang yang
mengandung riba.
Adapun ayat-ayat al-Qur’an tentang riba yang turun dalam
empat tahap tersebut adalah sebagi berikut:
38 Pembi ayaan Musyar akah dan Mudhar abah

Pertama
“Dan, sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia
menambah pada harta manusia maka riba itu tidak menambah
pada sisi Allah. Dan, apa yang kamu berikan berupa zakat
yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah maka
(yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang
melipatgandakan (pahalannya).”(QS. 30: 39).
Kedua
“Dan, disebabkan mereka memakan riba (bunga) padahal
sesungguhnya mereka telah dilarang darinya, dan karena
mereka memakan harta orang lain dengan cara yang bathil.
Kami telah menyediakan bagi orang-orang kafir di antara
mereka itu azab yang pedih.”(QS. 4: 161).
Ketiga
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan
riba (bunga) dengan berlipat gnda dan bertakwalah kamu
kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.
Peliharalah dirimu dari api neraka yang disediakan untuk
orang-orang yang kafir. Dan, taatilah Allah dan Rasul SAW
supaya kamu diberi rahmat.”(QS. 3: 130-132).
Keempat
“Orang-orang yang memakan (mengambil) riba (bunga) tidak
dapat berjalan melainkan seperti berdirinya orang-orang yang
kesurupan setan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan
mereka yang demikian itu adalah dikarenakan mereka berkata
(berpendapat), ‘sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba’,
padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan meng-
haramkan riba. Orang-orang yang sampai kepadanya larangan
dari Tuhannya, lalu berhenti (tidak mengambil riba) maka
baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang
larangan) dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang-orang
Sej ar ah Ri ba - Bunga 39

yang kembali (mengambil riba) maka ia adalah penghuni


neraka; ia kekal di dalamnya.”
“Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan,
Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran
dan selalu berbuat dosa.”
“Sesungguhya orang-orang yang beriman, beramal saleh,
menegakkan shalat, dan membayar zakat, mereka
mendapatkan pahala dari sisi Tuhannya. Tidak ada
kekhawatiran atas mereka dan mereka tidak (pula) bersedih
hati.”
“Wahai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kamu kepada
Allah dan tinggalkan sisa-sisa riba (yang belum dipungut) jika
kamu orang-orang yang beriman.”
“Maka, jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa-sisa
riba itu) maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan
memerangimu. Dan, jika kamu bertaubat (dari pengambilan
riba), bagimu pokok-pokok hartamu; kamu tidak menganiaya
dan tidak (pula) dianiaya.”
“Dan, jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, berilah
tangguh sampai dia mendapatkan kelapangan. Dan me-
nyedekahkan (sebagian atau seluruh hutang itu) lebih baik
bagimu jika kamu mengetahui.”
“Dan, peliharalah dirimu dari (azab yang terjadi pada) hari
yang pada waktu itu kamu semua dikembalikan kepada Allah.
Kemudian, masing-masing diri diberi balasan yang sempurna
terhadap apa yang telah diperbuatnya sedangkan mereka
sedikit pun tidak dianiaya.”(QS. 2: 275-281).

Begitu juga dalam Sunnah Nabi SAW., banyak sekali Hadis-


hadis yang melarang tentang praktik riba. M. Umer Chapra misalnya,
telah mengkoleksi Hadis-hadis tentang pelarangan riba ini sebanyak
40 Pembi ayaan Musyar akah dan Mudhar abah

26 Hadis (Chapra, 2000a). Dan Muhammad Akram Kahn me-


ngumpulkannya sebanyak 14 Hadis (Khan, 1989).
Di antara salah satu hadist yang memuat tentang pelarangan
riba adalah:
“Dari Jabir R.A., Rasulullah SAW, melaknat orang yang
menerima dan membayar riba (bunga), orang yang
menulisnya, dan dua orang saksi yang menyaksikan transaksi
itu. Beliau lalu bersabda, “mereka semua sama”

4.3 KONSEP RIBA SAMA DENGAN BUNGA


Dari uraian di atas, mungkin sebagian orang akan tetap berpendirian
bahwa bunga tidak dilarang dalam Islam karena yang dilarang adalah
riba, sebagaimana yang tercantum dalam al-Qur’an dan Hadis
tersebut di atas. Karena itu, di sini akan disajikan argumen-argumen
untuk memperkuat pendapat bahwa bunga dilarang dalam Islam
dengan disertai data-data sejarah bahwa bunga tidak lain adalah riba
yang dilarang dalam Islam dan data-data tentang dampak negatif
yang ditimbulkannya serta ketidak rasionalan teori-teori bunga.
Dalam syariah, riba secara teknis mengacu pada pembayaran
“premi” yang harus dibayarkan peminjam kepada pemberi pinjaman
di samping pengembalian pokok sebagai syarat pinjaman atau
perpanjangan batas jatuh tempo (Chapra, 2000a). Secara umum ada
dua kategori riba.
Pertama, riba nasi’ah di mana tambahan diberikan karena
“penangguhan pembayaran” (al-Jaziri, 1996). Aplikasinya dalam
dunia ekonomi adalah penetapan suatu keuntungan positif di depan
pada suatu pinjaman sebagai imbalan karena menunggu. dalam
pengertian ini, riba memiliki persamaan makna dan kepentingan
dengan bunga. Perhatikan pengertian bunga yang didefinisikan oleh
A. Marshall. Akan tetapi sebagian fuqaha, seperti Imam Ahmad dan
Rashid Rida mengajukan argumen bahwa riba nasi’ah terjadi ketika
masa pembayaran hutang telah tiba, dan kreditur memberikan
Sej ar ah Ri ba - Bunga 41

penambahan waktu pembayaran untuk suatu tambahan pada modal


pokok (al-Dawalibi, 1994). Dalam pengertian ini juga, riba nasi’ah
memiliki persamaan makna dan kepentingan dengan bunga. Dalam
pinjaman berbasis bunga, jika debitur terlambat membayar saat jatuh
tempo tiba, maka cost akan semakin meningkat bersamaan dengan
perpanjangan waktu tersebut. Sementara itu, tidak ada perbedaan
pendapat di kalangan para fuqaha mengenai haramnya riba nasi’ah
tanpa kecuali. Ia merupakan salah satu dari dosa-dosa besar. Ini
ditegaskan oleh al-Qur’an dan Hadis dan ijmak umat Islam (al-Jaziri,
1996). Ini berarti bunga juga demikian, karena keduanya memiliki
kesamaan makna dan kepentingan.
Kedua, riba fadl di mana penambahan yang disebutkan
tersebut bukan dikarenakan penangguhan dan tidak digantikan oleh
sesuatu dalam pengembalian. Empat madzab sepakat mengharamkan
riba jenis ini, akan tetapi, sebagian sahabat Rasul SAW, di antaranya
‘Abd Allah ibn Abas membolehkannya. Namun demikian, dilaporkan
bahwa dia mencabut kembali pendapatnya tersebut dan meng-
haramkannya (al-Jaziri, 1996). Riba jenis ini terjadi pada transaksi
pembelian dari tangan ke tangan dan penjualan komoditas (Chapra,
2000a). Hakekat larangan dimaksudkan untuk meyakinkan adanya
keadilan dan menghilangkan bentuk eksploitasi melalui tukar
menukar barang atau jual beli yang tidak adil serta menutup semua
pintu dari belakang bagi riba (Muhammad, 2000). Sementara itu,
seperti yang dijelaskan pada awal sub bab ini dan juga yang akan
disajikan setelah ini menunjukkan bahwa bunga menimbulkan
dampak negatif seperti ketidakadilan dan eksploitasi. Dalam karakter
semacam ini, bunga dan riba fadl pun memiliki karakter yang sama.
Dengan demikian, baik riba nasi’ah maupun riba fadl adalah sama
dengan bunga.
Sebagian orang mungkin menyatakan bahwa riba tidak berlaku
bagi hutang-hutang produktif, karena tidak ada perbuatan mem-
perkaya diri secara tidak sah. Si debitur diuntungkan dengan hutang
produktif dan dapat dengan mudah membayar bunga dari
42 Pembi ayaan Musyar akah dan Mudhar abah

pendapatan yang diraihnya dari penggunaan dana pinjaman tersebut.


Tapi sebenarnya para penganut faham ini lupa akan satu hal, bahwa
kenyataannya pihak debitur tidak selalu beruntung dengan
investasinya, sedangkan pihak kreditur nyaris tidak menanggung
resiko apa pun dan menuntut tanpa belas kasian “bayaran penuh”
dari si debitur (Muslehuddin, 1999).
Dalam melegalkan bunga, Ma’ruf al-Dawalibi menyatakan
bahwa bank-bank pada kondisinya sekarang dan menurut
International Regulation Governing, praktik mereka (bank-bank)
menjadi sangat dibutuhkan manusia, dan kehidupan tidak akan
sempurna tanpanya (al-Dawalibi, 1994). Dia mengutip pendapat
beberapa fuqaha, yaitu Ibn al-Qayyim, al-Imam Muwaffaq al-din al-
Maqdisi, Ibn Hazm dan Ibn Taymiyah yang menyatakan bahwa
segala sesuatu yang tanpanya kehidupan tidak bisa menjadi
sempurna dianggap sebagai legal, karena melarangnya cenderung
menimbulkan kesukaran, dan tidak akan dihiraukan dari titik
pandang Islam (Muslehuddin, 1999).
Menurut Chapra pandangan M. al-Dawalibi tersebut adalah
cacat (flawed) baik dari titik pandang syariah maupun ekonomi.
Terdapat ijma’ para fuqaha bahwa legal maxim tidak dapat
digunakan untuk melegalkan sesuatu yang haram atau meng-
haramkan sesuatu yang halal. Para ekonom Barat dan para ekonom
muslim melogiskan bahwa ekonomi yang didasarkan pada keadilan
(equity) tidak hanya dapat hidup, tapi kenyataan akan bekerja lebih
baik dari pada suatu ekonomi yang berdasarkan pada bunga. Ia akan
membawa pada pengalokasian sumber daya yang lebih efisien,
tabungan dan investai yang lebih tinggi, stabilitas ekonomi yang
lebih besar dan tingkat pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat.
Beberapa ekonom yang mendukung pendapat ini antara lain: Henry
Simons, Joan Robinson, Hyman Minsky dan Ingo Karsten (Chapra,
1994).
Sej ar ah Ri ba - Bunga 43

4.4 BUNGA-RIBA DALAM PERSPEKTIF SEJARAH


Riba bukan saja dilarang dalam Islam, tetapi juga dilarang oleh
agama-agama samawi. Setidaknya itulah yang di dalam Taurat dan
Injil. Dalam Perjanjian Lama, larangan riba dapat diketahui dari
Imamat 25:37, Ulangan 23:19 dan 20, Keluaran 22:25. Dalam
Perjanjian Baru dapat ditemukan dalam Lukas 6:35.
Secara kultural, tiap peradaban manusia sebenarnya menolak
keberadaan bunga bank. Apalagi dengan legitimasi ajaran agama,
penolakan pun semakin kuat. Akan tetapi, kepentingan pragmatis
ekonomi kapitalis meluluh lantakkannya. Para ulama fiqh mulai
membicarakan tentang bunga bank (riba), ketika mereka
memecahkan berbagai macam persoalan muamalah. Banyak ayat-
ayat al-Qur’an yang membicarakan riba sesuai dengan periode
larangan. Sampai akhirnya datang larangan yang tegas pada akhir
periode penetapan hukum riba. Riba pada agama-agama langit
(samawi) telah dinyatakan haram, sebagaimana yang tertuang dalam
Perjanjian Lama Kitab Keluaran 22:25, “Jika engkau meminjamkan
uang kepada salah seorang dari umat-Ku, orang yang miskin di
antaramu, maka janganlah engkau berlaku sebagai seorang penagih
hutang terhadap dia; jangan kamu bebankan bunga uang
kepadanya.” Namun orang Yahudi beranggapan bahwa riba itu
hanyalah terlarang kalau dilakukan di kalangan sesama Yahudi.
Tetapi tidak terlarang dilakukan terhadap non-Yahudi. Hal ini
sebagaimana terdapat dalam Kitab Ulangan 23:20.
Kapan sebenarnya manusia mulai mempraktikkan riba? Tak
ada catatan pasti tentang ini. Yang jelas, pada masa Nabi Musa AS.
orang-orang Yahudi dilarang mempraktikkan bunga. Larangan ini,
terdapat di Old Testament (Perjanjian Lama) dan UU Talmud. Di
antaranya, Kitab Deuteronomy (Ulangan) pasal 23 ayat 19,
“Janganlah engkau membungakan kepada saudaramu, baik uang
maupun bahan makanan atau apa pun yang dapat dibungakan.”
44 Pembi ayaan Musyar akah dan Mudhar abah

Larangan serupa juga tercantum di Kitab Exodus (Keluaran)


pasal 22 ayat 25. Ini menunjukkan, sebelum turunnya larangan ini,
manusia telah mempraktikkan riba. Apalagi dalam al-Qur’an surat an-
Nisa’: 160-161 ditegaskan bahwa Allah akan memberikan azab yang
keras kepada orang-orang Yahudi yang memakan riba. Jadi, sebelum
dan hingga masa Nabi Musa AS, manusia telah mempraktikkan riba.
Pelarangan riba juga terdapat dalam masyarakat Yunani Kuno
dan Romawi Kuno. Di Yunani Kuno misalnya, riba disebut rokos,
yaitu sesuatu yang dilahirkan oleh makhluk organik. Menurut
Aristoteles (384-322 SM), uang adalah obyek yang bukan tergolong
organik (unorganic), dan digunakan sebagai medium pertukaran.
Karena itu, uang tidak bisa beranak (Karsten, 1991). Dia mem-
bandingkan uang dengan seekor ayam betina yang mandul yang
tidak bisa menelurkan sebutir telur pun (Qureshi,1979). Barang siapa
yang meminta bayaran dari meminjamkan uang, maka tindakannya
itu dinilai oleh Aristoteles sebagai bertentangan dengan hukum alam.
Dua filosof besar Yunani, seperti Plato (427-347 SM) dan
Aristoteles menentang keras pembiayaan dengan sistem bunga.
Menurut mereka berdua, bunga adalah tidak adil (unjust) dan tidak
alami (unnatural) untuk mencari penghasilan dari logam tandus,
uang (barren metal). Mereka berdua juga tidak membedakan antara
pinjaman untuk konsumtif atau pinjaman untuk perdagangan
(produktif), tidak juga membedakan antara interest dan usury (Islahi,
1999). Plato menentang pengambilan bunga karena bunga
menyebabkan perpecahan dan tidak puas hati di kalangan
masyarakat dan bunga dianggap sebagai alat yang digunakan oleh
golongan kaya untuk mengeksploitasi golongan miskin (Haron,
1996). Sedang menurut Aristoteles tujuan tunggal (the sole object)
dan alami dari penggunaan uang adalah untuk memfasilitasi
pertukaran (sebagai medium pertukaran) dan pemenuhan kepuasan
keinginan-keinginan manusia.
Sej ar ah Ri ba - Bunga 45

Uang tidak dapat digunakan sebagai sumber pengakumulasian,


misalnya untuk meningkatkan kekayaan dengan cara mengenakan
bunga. Karenanya pengakumulasian uang dengan cara pengenaan
bunga adalah yang paling tidak alami dari segala cara pembuatan
uang. Menurut doktrin Aristoteles, sehelai uang tidak bisa
memperanakkan sehelai uang yang lain (Qureshi, 1979).
Pada masa Yunani (abad VI SM–I M), terdapat beberapa jenis
bunga yang besarnya dikategorikan menurut kegunaannya. Untuk
pinjaman biasa antara 6-18%, pinjaman properti 6-12%, pinjaman
antar kota 7-12%, sedang pinjaman perdagangan dan industri 12-
18%. Tapi, praktik ini dicela dua ahli filsafat, Plato dan Aristoteles.
Plato beralasan, penerapan bunga menyebabkan perpecahan dan
perasaan tidak puas dalam masyarakat. Selain itu, lanjut Plato, bunga
merupakan alat kelompok kaya untuk mengeksploitasi masyarakat
miskin. Sedangkan Aristoteles menyatakan, uang adalah alat tukar,
bukan alat untuk menghasilkan tambahan melalui bunga. Sehingga,
pengambilan bunga secara tetap merupakan ketidakadilan.
Di Roma, pada masa pemerintahan Lex Genucia (342 SM),
betapa pun tingkatnya, membungakan uang sama dengan melakukan
tindakan kejahatan. Tetapi ketika pada masa pemerintahan Lex
Unciaria (88 SM) pengharaman bunga dibatalkan (Karsten, 1991 dan
Haron 1996). Meskipun begitu, beberapa filsuf Roma seperti Cato
(234-149 SM), Cicero (106-435 SM) (Qureshi, 1979) dan juga Seneca
(4 SM-65 M) mengutuk pengambilan bunga dan menggambarkannya
sebagai tidak manusiawi (Islahi, 1999),
Meski dikecam, praktik riba kian tumbuh subur, terutama pada
masa Romawi (Abad V SM–IV M). Bahkan, saat Unciaria (342 SM)
berkuasa di Byzantium, praktik bunga malah dilegalkan dengan UU.
Dalam UU itu, masyarakat dibolehkan mengambil bunga selama
tingkat bunganya sesuai dengan tingkat maksimal yang dibenarkan
UU’ (maximum legal rate). Meski begitu, pengambilannya tidak
boleh dengan cara bunga-berbunga (double countable). Bunga yang
dikenal saat itu adalah: bunga maksimal 8-12%, bunga pinjaman
46 Pembi ayaan Musyar akah dan Mudhar abah

biasa di Roma dan pinjaman khusus Byzantium 4-12%, sedangkan


bunga untuk daerah taklukan mencapai 6-100%.
Di Abad Pertengahan, pembayaran bunga pada pinjaman-
pinjaman uang disebut usury (riba) dan pengenaan riba sangat
dilarang oleh hukum umum (commons law). Ia menjadi sesuatu yang
lumrah bagi ‘orang yang kaku’ terhadap pelarangan ini sebagai
dogma agama semata. Bahkan seorang penulis yang besar seperti
Tawney menyatakan bahwa “skema pemikiran pada Abad Per-
tengahan secara keseluruhan mencoba untuk memperlakukan
urusan-urusan ekonomi sebagai suatu bagian dari hirarki nilai yang
mencakup semua interes dan aktivitas-aktivitas agama (Qureshi,
1991).
Pada awal Abad XII, pinjaman untuk memberi modal kerja
kepada para pedagang mulai digulirkan. Pasar uang perlahan-lahan
mulai terbentuk. Proses tersebut mendorong terwujudnya suku
bunga pasar secara meluas. Para sarjana Kristen pada masa ini tidak
saja membahas permasalahan bunga dari segi moral semata yang
merujuk pada ayat-ayat Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, mereka
juga mengaitkan dengan aspek-aspek lain. Mereka dianggap telah
melakukan terobosan baru sehubungan dengan pendefinisian bunga.
Dari hasil bahasan mereka untuk tujuan memperhalus dan
meligitimasi hukum, bunga dibedakan menjadi interest dan usury.
Menurut mereka, interest adalah bunga yang diperbolehkan,
sedangkan usury adalah bunga yang berlebihan. Para tokoh sarjana
Kristen yang memberikan kontribusi pendapat yang sangat besar
sehubungan dengan bunga ini adalah Robert of Courcon (1152-
1218), William of Auxxere (1160-1220), St. Raymond of Pennaforte
(1180-1278), St. Bonaventure (1221-1274), dan St. Thomas Aquinas
(1225-12274) (Antonio, 2001).
Pada Abad ke-13, peran gereja adalah tertinggi dan pengenaan
bunga sangat dilarang. Tapi pada akhir abad ke-13 beberapa faktor
sungguh meruntuhkan pengaruh gereja ortodoks. Kelompok
reformis, pemimpin-pemimpin seperti Luther (1483-1546) dan
Sej ar ah Ri ba - Bunga 47

Zwingle (1484-1531) setuju dengan pengenaan bunga. Dengan


kemunduran kekuatan gereja secara berangsur-angsur dan ke-
bangkitan kekuatan sekuler, peminjaman dengan mengenakan bunga
mulai ditolelir. Secara berangsur-angsur larangan terhadap bunga
mulai diperbaharui di Eropa. Di Inggris larangan diperbaharui pada
1545. Pada masa raja Henry VII, pada masa inilah kata riba (usury)
mulai secara progresif mulai diganti dengan bunga (interest)
(Qureshi, 1979 dan Sjahdeini, 1999).
Pada Abad ke-16 dan 17 para ahli hukum mulai melancarkan
undang-undang anti riba, tokoh pembaharu abad ke-16 yang
memperjuangkan hal ini misalnya, John Calvin (1509-1564) dan
Charles Du Moulin (1500-1566), dan Claude Saumaise (1588-1653)
mulai membuat definisi yang membedakan antara apa yang disebut
riba (usury) dan bunga (interest). Pada 1682, Williem Petty, di
Inggris, Turgot, di Prancis. Seabad kemudian, memperjuangkan
kebebasan menjalankan bisnis perkreditan atas dasar prinsip
kebebasan usaha. Pada 1787, Jeremi Bentham menuntut kebebasan
yang sama antara perdagangan uang dan perdagangan komoditi. Dan
pada abad ke-18, dalam pengaruh perkembangan kapitalisme
merkantilis, masalahnya bukan lagi apakah boleh menaruhkan harga
pada modal, melainkan berapa tingkat harga modal itu sehingga
tidak bisa disebut berlebihan (Karsten, 1991).
Ibnu Abi Zayd (w 136 H754 M) mengungkapkan bahwa
praktik riba juga melanda bangsa Arab pra-Islam, di mana riba
dilakukan dengan berlipat ganda baik terhadap uang maupun
berbagai macam komoditi, serta perbedaan umur berlaku bagi
binatang ternak. Apabila sudah mencapai jatuh tempo, pihak piutang
(kreditur) akan menanyakan kepada pihak yang berutang (debitur),
apakah engkau akan melunasi sekarang atau menambah pembayaran
jumlah utang yang engkau pinjam? Jika pihak debitur mempunyai
sesuatu maka ia akan membayarkannya, tetapi jika hutangnya berupa
binatang ternak, maka umurnya dapat meningkat (pada waktu
pembayarannya). Apabila hutangnya berupa uang atau jenis
48 Pembi ayaan Musyar akah dan Mudhar abah

komoditi lain, maka ia dapat meningkatkan dengan berlipat ganda


pada waktu pengambilannya dalam jangka setiap tahun. Bila debitur
tidak dapat membayarnya, maka hutang tersebut dapat berlipat lagi,
misalnya hutang 100 dalam satu tahun dapat meningkat menjadi
200, jika tidak dibayar pada tahun berikutnya, hutang akan akan
meningkat lagi secara berlipat ganda menjadi 400. Jelasnya,
keterlambatan hutang akan bertambah berlipat ganda pada setiap
tahunnya.
Sementara, di belahan dunia yang lain, pada rentang waktu
yang hampir bersamaan, di saat gereja masih mengharamkan riba
(abad I–XII M), ternyata telah berkembang dengan pesat praktik
perekonomian tanpa riba. Praktik ini, dimulai setahap demi setahap
seiring keberhasilan dakwah Rasulullah SAW hingga terbentuknya
negara Islam pertama di Madinah (sekitar tahun 3 H). Pelarangan
total terhadap riba ini pun tercantum dengan tegas dalam QS. ar-
Rum: 39, an-Nisa: 160-161, Ali Imran: 130, al-Baqarah: 278-279 dan
Hadis-hadis Nabi sendiri.
Sepeninggal Rasulullah SAW. Seiring meluasnya pengaruh dan
kekuasaan Islam hingga 2/3 dunia, perekonomian dan perdagangan
di negeri-negeri Islam pun kian pesat berkembang. Di masa itu
bermunculan ekonom-ekonom muslim yang tetap konsisten
memandang riba itu haram dan keji. Misalnya, Abu Yusuf (182 H/
798 M) dengan kitabnya al-Kharraj yang membahas keuangan publik
dan akuntansi syariah. Kemudian, al-Gazali (451-505 H/1055-1110
M) dengan kitabnya Ihya’ Ulumu ad-Din, Ibnu Taimiyah (661-728
H/1263-1328 M) dengan kitabnya al-Hisbah tentang konsep harga
yang adil, hingga Shah Waliyullah (1114-1176 H/1703-1762 M)
dengan kitabnya al-Baliqa tentang rasionalisasi pendapatan.
Tetapi, prinsip keadilan dan kebersamaan yang dibangun oleh
sistem ekonomi Islam, akhirnya harus tersingkir dari peta
perkembangan ekonomi dunia yang kian kapitalistik dan pragmatis.
Melunturnya praktik ekonomi tanpa riba di sebagian besar negeri
muslim, berjalan berkelindan dengan menurunnya pamor dan
Sej ar ah Ri ba - Bunga 49

kekuasaan negeri-negeri muslim di belahan dunia mana pun.


Puncaknya terjadi pada 4 November 1922, ketika Daulah
Usmaniyah Turki sebagai pemegang amanah kekhalifahan harus rela
melepas kekuasaannya, setelah berkuasa selama 633 tahun di Asia,
Eropa, dan Afrika.
Seiring perjalanan waktu, kekejian sistem riba secara ekonomi
maupun sosial, mulai terkuak ke permukaan. Publik pun mulai
melirik kembali sistem ekonomi tanpa riba yang pernah
dicampakkannya. Akhirnya, dunia Islam pun merespon ramai-ramai
keinginan umat untuk kembali hidup tanpa riba. Tak heran, di
penghujung tahun 1970-an, beberapa negara Islam mulai
mengembangkan industri keuangan tanpa riba. Apalagi setelah
berdiri Bank Pembangunan Islam atau Islamic Development Bank
(IDB), sebagai hasil dari Sidang OKI di Karachi, Pakistan, Desember
1970.
Pada akhirnya, ulama pun terlibat aktif untuk mendukung
kembalinya sistem tanpa riba ini. Tak heran, jika kemudian ulama-
ulama sedunia mengeluarkan fatwa yang pada intinya menegaskan
kembali bahwa bunga (riba) apa pun bentuknya tetap haram, sedikit
atau banyak. Di antara fatwa itu adalah: Pertama, fatwa dari
Pertemuan OKI di Karachi tahun 1970. Kedua, Fatwa Kantor Mufti
Negara Mesir tahun 1989 hingga 1900 yang memutuskan bunga
bank termasuk salah satu bentuk riba yang diharamkan. Ketiga,
Konferensi II Konsul Kajian Islam Dunia (KKID) di Universitas Al-
Azhar, Cairo, Muharram 1385 H/Mei 1965 menetapkan, tak ada
keraguan sedikit pun atas keharaman praktik membungakan uang
seperti dilakukan oleh bank-bank konvensional. Keempat, Fatwa
Lembaga Fiqh Rabitah Alam Islami Makkah dan Konferensi Islam
Internasional di Jedah tahun 1976.
50 Pembi ayaan Musyar akah dan Mudhar abah

4.5 DAMPAK NEGATIF PINJAMAN BERBASIS


BUNGA
Sekarang tiba saatnya untuk menyajikan dampak negatif yang
ditimbulkan oleh bunga. Pada awal sub bab ini telah dijelaskan
bahwa bunga menimbulkan ketidakadilan. Menurut Shaikh Mahmud
Ahmad, bunga merupakan benih krisis dan dumping. Menurutnya
bunga memainkan peranan khusus dalam menimbulkan krisis
Ahmad, 1947).
Di samping hal di atas, Zainul Arifin menunjukkan beberapa
kelemahan bank yang menggunakan sistem bunga, yaitu (Arifin,
2002).
1. Transaksi berbasis bunga melanggar keadilan atau kewajaran
bisnis. Karena peminjam wajib membayar tingkat bunga yang
disetujui walaupun perusahaannya mungkin rugi. Mungkin juga
perusahaanya mendapatkan untung, tapi bisa jadi bunga yang
harus dibayarkan melebihi keuntungannya.
2. Tidak fleksibelnya sistem transaksi berbasis bunga menyebabkan
kebangkrutan.
3. Komitmen bank untuk menjaga keamanan uang deposan dengan
bunganya membuat bank cemas mengembalikan pokok dan
bunganya. Karena demi keamanan, mereka hanya mau
meminjamkan dana bagi bisnis yang sudah benar-benar mapan
atau kepada orang yang sanggup menjamin keamanan
pinjamannya. Sisa uangnya disimpan dalam bentuk surat
berharga pemerintah.
4. Sistem transaksi berbasis bunga menghalangi munculnya inovasi
oleh usaha kecil. Usaha besar dapat mengambil resiko untuk
mencoba tehnik dan produk baru karena mereka memiliki
cadangan dana sebagai sandaran bila ternyata ide barunya gagal.
Sebaliknya, usaha kecil tidak dapat melakukan hal tersebut.
Karena jika gagal, tidak ada jalan lain bagi mereka kecuali harus
membayar kembali pinjaman berikut bunganya dan bangkrut.
Sej ar ah Ri ba - Bunga 51

5. Dalam sistem bunga, bank tidak akan tertarik dalam kemitraan


usaha kecuali bila ada jaminan kepastian pengembalian modal
dan pendapatan bunga mereka.
Tidak hanya sampai di sini, ternyata teori-teori yang
menjastifikasi adanya bunga dan menentukan tingkat suku bunga
sangat tidak rasional dalam tataran ekonomi. Argumen yang diajukan
oleh Adam Smith dan Ricardo dalam menjastifikasi bunga tidak
meyakinkan. karena:
Pertama, tidak setiap penabung meminjamkan tabungannya.
karena itulah, tabungan dapat saja terjadi tanpa bunga; Kedua,
seseorang dapat menerima bunga dari meminjamkan uang (uang dari
warisan) bukan berasal dari tabungannya; Ketiga, sebagian besar
tabungan masyarakat modern berasal dari tabungan perusahaan, dan
bukan dari penghematan; Keempat, bank tidak melakukan
pengorbanan apa pun pada waktu menciptakan uang dan
meminjamkan uang (Metwally,1995). Di samping itu, investasi tidak
senantiasa menguntungkan, kerugian bisa juga terjadi. Bahkan
menurut Lord Keynes, bunga tidak bisa menjadi imbalan atas
tabungan. Seseorang dapat menabung tanpa memberi pinjaman
berbunga, dan dapat memperoleh bunga dengan meminjamkan uang
yang belum ditabung tapi sudah dimiliki (Muslehuddin,).
Menurutnya, besarnya tabungan bukan tergantung oleh rendah
tingginya tingkat bunga, tetapi tergantung pada besar kecilnya
pendapatan (Sukirno, 2000).
Teori bunga abstinence juga lemah, karena seseorang dapat
saja absen dari konsumsi dan juga tidak meminjamkan tabunganya,
tetap memilih tabungannya dalam bentuk likuid. Karena itu ia tidak
memperoleh bunga dari tindakan tahan nafsu tersebut. Begitu juga
tanpa perlu tahan nafsu, bank dapat menghasilkan uang dari hasil
yang diciptakannya. Lagi pula, dalam kehidupan praktis saat ini, kita
tidak melihat adanya tahan nafsu pada mereka yang menyediakan
sebagian terbesar tabungan atau dana modalnya. Hal ini mungkin
terjadi pada masyarkat yang sangat primitif di mana pemerintah
52 Pembi ayaan Musyar akah dan Mudhar abah

dapat memaksa penduduknya untuk menabung, yang mengakibatkan


suatu tahan nafsu atau pengorbanan bagi mereka yang menabung,
menyediakan dana modal. Jadi mereka berhak mendapatkan imbalan
atas tahan nafsu atau pengorbanan dalam bentuk pembayaran bunga
(Uzair, 1980). Hal ini tidak dapat diaplikasikan dalam dunia modern
sekarang. Kenyataanya, pada saat sekarang kreditur hanya akan
meminjamkan uang yang tidak ia gunakan sendiri.
Dengan demikian, sebenarnya kreditur tidak menahan diri atas
apa pun. Tentu, ia tidak boleh menuntut imbalan atas hal yang tidak
dilakukannya tersebut (Antonio, 2001).
Kritikan-kritikan tersebut juga berlaku bagi pendapatnya
Marshall. Argumen-argumen yang diajukan oleh teori produktivitas
juga tidak rasional. Karena peranan modal yang mendatangkan
keuntungan tergantung pada beberapa faktor, seperti bagian
produksi, riset dan pengembangan, marketing, keuangan, investasi,
demikian juga kemajuan, visi serta pengalaman orang yang
menggunakannya. Belum lagi faktor kestabilan ekonomi sosial dan
politik suatu negara (Antonio, 2001). Teori ini juga gagal dalam
mengemukakan alasan tentang bunga.
Pertama, meningkatnya produktivitas barang suatu modal
dapat berakibat turunnya harga. Penurunan harga yang cukup besar
dapat membuat pendapatan dari bunga menjadi negatif; Kedua, teori
tersebut gagal mengungkapkan mengapa perlu pembebanan bunga,
bila seseorang meminjamnya untuk membeli barang-barang
konsumsi; Ketiga, teori bunga marginal yang banyak diterima sebagai
versi lain dari teori produktivitas, hanya dapat memperjelas
pendapatan rente dari modal dan bukan tingkat bunga; Keempat,
teori tersebut tidak menjelaskan mengapa bunga perlu dibayarkan
kalau peminjam menderita rugi akibat pinjaman tersebut (Metwally,
1995).
Tidak hanya teori-teori bunga murni yang gagal menjelaskan
tentang bunga, tapi teori bunga moneter juga mengalami nasib yang
sama. Kelemahan loanable funds theory of interest adalah teori ini
Sej ar ah Ri ba - Bunga 53

tercampur antara pengertian persediaan (stock) dengan aliran (flow)


(Metwally, 1995). Sedangkan tingkat bunga yang ditentukan oleh
likuiditas preferen diragukan validitasnya. Penentuan tingkat bunga
melalui likuiditas preferen adalah sesuatu yang sama persis seperti
penentuan bunga melalui penawaran tabungan dan dana yang
diinvestasikan (investable funds). Teori ini tidak dibangun apakah
penawaran dana likuid atau tabungan secara umum ditentukan oleh
tingkat bunga, meskipun mungkin sebagian dipengaruhi oleh
fenomena tersebut (Uzair, 1980).
Terakhir, konsep likuiditas preferen membawa kita pada
kesimpulan bahwa tingkat bunga yang rendah dan peningkatan
investasi berjalan bersama-sama (the law rate of interest and increase
of investment go together). Tingkat bunga rendah sekurang-
kurangnya merupakan salah satu faktor yang menstimulasi usaha
(Qureshi, 1995). Bahkan Lord Keynes sendiri mengakui perlu adanya
pembatasan tingkat bunga, meskipun tidak mencapai tingkat zero
(Qureshi, 1995). Kedua teori bunga moneter ini ingin mencari jalan
keluar yang mudah melalui teori harga: permintaan dan penawaran
yang menentukan harga segala sesuatu dan juga menentukan harga
modal. Tapi keduanya lupa bahwa teori harga adalah a problem of
exchange, sebaliknya teori bunga adalah a problem of ditribution
(Ahmad, 1947).
Dari uraian di atas, bunga bertentangan dengan prinsip Islam
karena pada tataran ekonomi, teori-teori bunga sangat tidak rasional
dan pada tataran hukum, ia bertentangan dengan hukum Islam.
Dalam Islam modal akan membagi nilai yang dihasilkan darinya,
yang tidak ditentukan sebagai prosentase modal itu sendiri (Ahmad,
1947), sebagaimana yang dilakukan oleh sistem bunga. Karena
prosentase keuntungan itu adalah variabel.
Dengan demikian, konsep time value of money sangat
bertentangan dengan Islam, karena Islam melarang keras terhadap
bunga. Sebaliknya time value of money menjastifikasi sistem bunga.
Di samping itu, alasan-alasan yang dikemukakan konsep time value
54 Pembi ayaan Musyar akah dan Mudhar abah

of money dalam menjastifikasi bunga, hanya didasarkan pada


keuntungan pasti masa sekarang dan resiko ketidakpastian masa
depan. Padahal masalah ketidak pastian di dunia ini yang juga sifat
seluruh manusia, dan tidak seorang pun berhak mengecualikan
dirinya dari hal itu dengan sebesar biaya apa pun (Harahap, 1999).

-oo0oo-
BAB V

DAMPAK BUNGA
TERHADAP
PEREKONOMIAN GLOBAL

5.1 FILOSOFI PINJAMAN


Filosofi dasar bagi seseorang yang meminjamkan uangnya kepada
orang lain harus diputuskan kepada:
a. Meminjamkan kepada saudaranya sebagai sebuah tindakan
simpati (lend as sympathetic act); atau
b. Meminjamkan uangnya kepada peminjam (borrower), yang
prinsipnya mungkin disimpan (lend as saving) ; atau
c. meminjamkan uangnya (sebagai investasi) yang kemudian
membagi profitnya (jika terdapat) dari borrower (lend as
investment)
Dalam dua bentuk di atas (a) dan (b), dia tidak memasukan
klaim beberapa jumlah tambahan uang melebihi pokok pinjaman,
karena dalam kasus (a) maksud dan tujuannya adalah menawarkan
bantuan keuangan kepada peminjam dengan latar belakang
kemanusian atau pertimbangan simpati kepadanya, dan dalam kasus
(b) tujuan tunggalnya adalah menabungkan atau menyimpan
uangnya dan tidak menghasilkan income tambahan.
56 Pembiayaan Musyar akah dan Mudhar abah

Bagaimanapun, jika tujuannya adalah investasi, artinya


pemberi pinjaman membagi profit and loss kepada borrower, seperti
dalam kasus (c), pemberi pinjaman harus menanggung kerugian juga
jika si borrower mengalami kerugian dari penggunaan uang
pinjaman tersebut. Dalam kasus ini tujuannya tidak dapat dilayani
atau dipakai oleh transaksi pinjaman (salah kaprah). Pemilik uang
(Lender) harus mengambil keputusan dalam bentuk patungan
(syirkah) dengan pihak lain. Oleh karenanya, kedua pihak harus
bekerjasama dalam menjalankan bisnis dan akan membagi
keuntungan dan kerugian dengan adil.
Sebaliknya, jika bermaksud membagi keuntungan dari
borrower ditandai dengan dasar pinjaman berdasar bunga (interest-
based loan), ini berarti bahwa orang yang meminjamkan uang
(financier, lender) ingin jaminan profit miliknya, sementara dia
mengesampingkan profit dari borrower dalam hal hasil sebenarnya
dari bisnis di mana ada situasi saat bisnis borrrower gagal. Dalam
situasi ini, dia tidak bisa menanggung seluruh kerugian bisnis,
(padahal di samping menanggung kerugian) dia juga akan harus
membayar bunga (interest) kepada lender, dengan demikian berarti
profit atau bunga dari financier (lender) dijamin pada harga
destructive loss si borrower, yang secara jelas dan nyata
ketidakadilan terjadi.
Di sisi lain jika bisnis borrower menghasilkan profit yang besar,
lender seharusnya telah dibagi (mendapatkan) profit dalam proporsi
yang reasonable, tetapi dalam sebuah interest-based system, profit
financier (lender) dibatasi kepada tingkat return yang tetap yang
diatur oleh kekuatan supply and demand of money dan tidak pada
hasil profit yang sebenarnya. Rate of interest ini mungkin bisa saja
kurang dari proporsi reasonable financier yang akan didapatkan
dalam joint venture. Dalam kasus ini, bagian profit borrower lebih
besar daripada financier, dan inilah bentuk ketidakadilan yang lain.
Jadi, pembiayaan bisnis dengan basis interest menciptakan
sebuah atmosfer ketidakseimbangan, yang potensial membawa
Dampak Bunga Ter hadap Per ekonomian Gl obal 57

ketidakadilan bagi kedua pihak dalam situasi yang berbeda. Oleh


karena itu, wisdom sebuah syari'ah yang tidak menyetujui interest-
based loan sebagai bentuk pembiayaan.
Sekali lagi bunga dilarang, peran “loan” dalam aktivitas
komersial terbatas dan seluruh struktur pembiayaan kembali kepada
equity-based dan didukung oleh real assets. Agar membatasi
penggunaan loan, syari'ah telah mengizinkan untuk meminjamkan
uang hanya pada kasus kebutuhan terpaksa, dan telah melarang
terjadinya praktik hutang untuk menjalani kehidupan melebihi
kebutuhannya. Kejadian yang telah dikenal bahwa Nabi SAW
menolak untuk menshalatkan jenazah yang mati dalam keadaan
berhutang, faktanya, untuk mendirikan prinsip bahwa berhutang
seharusnya tidak terjadi atau dihindari meskipun itu adalah
fenomena kehidupan. Berhutang seharusnya menjadi cara yang
terakhir dalam menjalankan aktivitas ekonomi khususnya, umumnya
aktivitas kehidupan. Ini adalah salah satu alasan bagi riba (interest)
yang dilarang, karena, tidak ada seorangpun yang dapat setuju untuk
mempercepat pinjaman tanpa pengembalian bagi pengeluaran yang
tidak perlu dari borrower. Hal ini akan meninggalkan tanda tidak ada
ruang bagi pengeluaran yang tak perlu melalui pinjaman. Kerjasama
yang menguntungkan, di satu sisi, akan ditandai dengan basis
partisipasi modal dan juga cakupan loan yang akan tetap dibatasi
kepada lingkaran yang sempit.

5.2 FUNGSI UANG


Dalam ilmu ekonomi peranan/fungsi uang dalam melancarkan
kegiatan perdagangan dibedakan menjadi empat jenis, yaitu sebagai
berikut:

5.2.1 Untuk Melancarkan Tukar-Menukar (Alat Tukar)


Dengan adanya uang, kegiatan tukar-menukar akan jauh lebih
mudah dijalankan jika dibandingkan dengan dengan di dalam
kegiatan perdagangan secara barter. Tukar-menukar baru akan
58 Pembiayaan Musyar akah dan Mudhar abah

berlangsung apabila seseorang dapat menawarkan sesuatu barang


yang diinginkan oleh seseorang lainnya, dan orang lain itu memiliki
barang yang diinginkan oleh orang yang pertama.
Kehendak ganda yang selaras ini tidak perlu diwujudkan dalam
perekonomian yang menggunakan uang sebagai alat tukar-menukar.
Dengan adanya uang seseorang yang menginginkan barang tidak
perlu bersusah payah mencari orang yang memiliki barang tersebut
dan juga mengingini barang yang dimilikinya. Jadi, uang digunakan
dalam kegiatan tukar-menukar. Maka waktu untuk melakukan
kegiatan tersebut dapat dipersingkat, tenaga dihemat, dan kegiatan
tukar-menukar menjadi lebih sederhana. Ini berarti uang telah
melancarkan jalannya kegiatan perdagangan.

5.2.2 Untuk Menjadi Satuan Hitung (Pengukur Nilai)


Keuntungan selanjutnya dari penggunaan uang dalam masyarakat
bersumber dari kesanggupannya untuk bertindak sebagai satuan
nilai. Yang dimaksud dengan satuan nilai adalah satuan ukuran yang
menentukan besarnya nilai dari berbagai jenis barang. Dengan
adanya uang, nilai sesuatu barang dapat dengan mudah dinyatakan,
yaitu dengan menunjukkan jumlah uang yang diperlukan untuk
memperoleh barang tersebut.

5.2.3 Untuk Ukuran Bayaran yang Ditunda


Transaksi-transaksi dalam perekonomian yang sudah berkembang
banyak sekali dilakukan dengan pembayaran yang ditunda atau
penjualan secara kredit. Penggunaan uang sebagai alat perantaraan
dalam tukar-menukar dapat mendorong perkembangan perdagangan
yang bersifat demikian karena penjual lebih merasa yakin bahwa
pembayaran yang ditunda itu adalah sesuai dengan yang
diharapkannya. Dengan perkataan lain, mutu benda yang akan
diperolehnya pada masa yang akan datang sebagai pembayaran
penjualannya, yaitu uang, akan sesuai dengan uang yang
diharapkannya pada waktu menjual barangnya.
Dampak Bunga Ter hadap Per ekonomian Gl obal 59

Satu syarat penting agar fungsi uang yang ketiga ini dapat
dijalankan dengan baik adalah bahwa nilai uang yang digunakan
harus tetap stabil. Nilai uang dikatakan stabil apabila sejumlah uang
yang dibelanjakan akan tetap memperoleh barang-barang yang sama
banyak dan sama mutunya dari waktu ke waktu. Apabila syarat ini
tidak dipenuhi, fungsi uang sebagai ukuran untuk pembayaran
tertunda, tidak akan dapat dijalankan dengan sempurna.

5.2.4 Sebagai Alat Penyimpan Nilai


Penggunaan uang memungkinkan kekayaan seseorang disimpan
dalam bentuk uang. Apabila harga-harga barang stabil, menyimpan
kekayaan dalam bentuk uang lebih menguntungkan dari
menyimpannya dalam bentuk barang. Di dalam perekonomian yang
sudah maju, jenis uang yang utama adalah uang bank atau uang
giral.
Uang jenis ini tidak memerlukan biaya untuk menyimpannya
dan mudah mengurusnya. Ini disebabkan jika seseorang memiliki
uang ini, penyimpanan dan pengurusan uang tersebut bukan
dilakukan oleh pemiliknya, melainkan oleh bank umum yang
menyimpan uang tersebut. Walaupun uang tidak di tangan
pemiliknya, ia dapat dengan mudah diambil apabila ingin
menggunakan uang tersebut.
Pernyataan bahwa uang merupakan alat penyimpanaan nilai
yang lebih baik daripada kekayaan yang berupa barang, dimisalkan
bahwa nilai uang tidak mengalami perubahan yang berarti dari satu
periode ke periode lainnya. Apabila harga-harga selalu mengalami
kenaikan yang pesat, nilai uang akan terus-menerus mengalami
kemerosotan.
Maka, kekayaan yang berupa uang akan mengalami penurunan
nilai kalau dibandingkan dengan kekayaan yang berbentuk barang.
Dengan keadaan demikian uang bukanlah alat penyimpanan nilai
yang baik. Apabila keadaan seperti itu berlaku dalam perekonomian,
60 Pembiayaan Musyar akah dan Mudhar abah

masyarakat akan beramai-ramai menggantikan kekayaan yang berupa


uang menjadi kekayaan yang berbentuk barang.

5.3 KONSEP UANG DALAM ISLAM


Konsep uang dalam ekonomi Islam berbeda dengan konsep uang
dalam ekonomi konvensional. Dalam ekonomi Islam, konsep uang
sangat jelas dan tegas bahwa uang adalah uang bukan capital.
Sedang uang dalam perspektif ekonomi konvensional diartikan
secara interchangeability/bolak-balik, yaitu uang sebagai uang dan
sebagai capital.
Perbedaan lain adalah bahwa dalam konsep ekonomi Islam,
uang adalah suatu yang bersifat flow concept dan capital adalah
suatu yang bersifat stock concept. Sedang dalam konsep ekonomi
konvensional, Frederic S. Miskhin, misalnya mengungkapkan konsep
Irving Fisher yang mengatakan bahwa: MV=PT.
Selanjutnya, variabel T di atas dapat diganti dengan Y karena
nilai nominal dari total volume transaksi sulit diukur dan dengan
mengasumsikan bahwa nilai T proporsional terhadap Y, sehingga
persamaan di atas menjadi: MV=PY
Keterangan :
M = Jumlah uang
V =Tingkat perputaran uang
P =Tingkat harga barang
Y = Jumlah barang yang diperdagangkan
Dari persamaan di atas dapat diketahui bahwa semakin cepat
perputaran uang (V↑), maka semakin besar income yang di peroleh.
Persamaan ini juga berarti bahwa uang adalah flow concept. Fisher
juga mengatakan bahwa sama sekali tidak ada korelasi antara
kebutuhan memegang uang (demand for holding money) dengan
tingkat suku bunga. Konsep ini hampir sama dengan konsep yang
ada dalam konsep ekonomi Islam.
Dampak Bunga Ter hadap Per ekonomian Gl obal 61

Pendapat lain yang diungkapkan oleh Mishkin adalah konsep


dari Marshall-Pigou dari Cambridge, yaitu: M = kPT.
Selanjutnya, variabel T di atas dapat diganti dengan Y karena
nilai nominal dari total volume transaksi sulit diukur dan dengan
mengasumsikan bahwa nilai T proporsional terhadap Y, sehingga
persamaan di atas menjadi: M = kPY
Keterangan :
M = Jumlah uang
k = 1/v
P = Tingkat harga barang
Y = Jumlah barang yang diperdagangkan
Walaupun secara matematis k dapat dipindahkan ke kiri atau
ke kanan, secara filosofis kedua konsep ini berbeda. Dengan adanya
k pada persamaan di atas, menyatakan bahwa demand for holding
money adalah suatu proporsi (k) dari jumlah pendapatan (PT).
semakin besar k, semakin besar demand for holding money (M),
untuk tingkat pendapatan tertentu (PT). Berarti konsep ini
mengatakan bahwa uang adalah stock concept. Oleh sebab itu,
kelompok Cambridge mengatakan bahwa uang adalah salah satu
cara untuk menyimpan kekayaan (store of wealth).
Dalam Islam, capital is private goods, sedangkan money is
public goods. Uang yang ketika mengalir adalah public goods (flow
concept), lalu mengendap ke dalam kepemilikan seseorang (stock
concept), uang tersebut menjadi milik pribadi (private goods).
Konsep public goods belum dikenal dalam teori ekonomi
sampai tahun 1980-an. Baru setelah muncul ekonomi lingkaran,
maka kita berbicara tentang externalities, public goods, dan
sebagainya. Dalam Islam konsep ini sudah dikenal, yaitu ketika
Rosulullah bersabda “Manusia mempunyai hak bersama dalam tiga
hal: air, rumput, dan api” (HR Ahmad, abu Dawud dan Ibn Majah).
Dengan demikian, berserikat dalam hal public goods bukanlah hal
yang baru dalam ekonomi Islam, bahkan konsep ini sudah ter-
62 Pembiayaan Musyar akah dan Mudhar abah

implementasi, baik dalam bentuk musyarakah, muzara’ah, musaqah,


dan lain-lainnya.
Dalam Islam, uang adalah uang yang hanya berfungsi sebagai
alat tukar. Jadi uang adalah sesuatu yang terus mengalir dalam
perekonomian, atau lebih dikenal sebagai flow concept. Ini berbeda
dengan sistem perekonomian kapitalis, di mana uang dipandang
tidak saja sebagai alat tukar yang sah (legal tender) melainkan juga
dipandang sebagai komoditas.
Dalam setiap sistem perekonomian, fungsi utama uang selalu
sebagai alat tukar (medium of exchange). Fungsi utama ini lalu
memiliki derivasi fungsi-fungsi lain seperti uang sebagai standard of
value (pengukur nilai), store of value (penyimpanan nilai), unit of
account dan standard of deferred payment (pengukur pembayaran
tangguh). Dalam Islam, fungsi uang sebagai Medium of Exchange (for
transaction) ini jelas bahwa uang hanya berfungsi sebagai medium of
exchange. Uang menjadi media untuk merubah barang dari bentuk
yang satu ke bentuk yang lain, sehingga uang tidak bisa dijadikan
komoditi.
Fungsi uang dalam Islam adalah sebagai unit of account. Imam
Ghazali mengatakan bahwa dalam ekonomi barter sekalipun uang
tetap diperlukan. Seandainya uang tersebut tidak diterima sebagai
medium of exchange, uang tetap diperlukan sebagai unit of account,
misalnya untuk mengetahui apakah 3 buah topi sama dengan 1
durian?.
Ketika teori konvensional memasukkan satu dari fungsi uang
adalah sebagai store of value di mana termasuk juga adanya motif
money demand for speculation. Hal ini tidak diperbolehkan dalam
Islam. Islam memperbolehkan uang untuk transaksi dan untuk
berjaga-jaga, namun menolak uang untuk spekulasi. Hal ini, menurut
Al Ghazali, sama saja dengan memenjarakan fungsi uang.
Lalu bagaimana Islam memandang konsep utility uang? Seperti
telah dijelaskan di atas bahwa dalam Islam, uang hanya diakui
Dampak Bunga Ter hadap Per ekonomian Gl obal 63

sebagai intermediary form, hanya diakui sebagai medium of


exchange dan unit of account, tidak lebih dari ini. Artinya fungsi
uang hanya sekedar sebagai medium dari barang yang satu berubah
menjadi barang yang lain, tidak perlu adanya double coincidence
needs. Jadi dalam konsep Islam, uang tidak masuk dalam fungsi
utility kita, karena sebenarnya manfaat yang kita dapatkan bukan dari
uang itu sendiri, tetapi dari fungsi uang. Dalam hadits-hadits
Rasulullah SAW bisa kita lihat peran uang sangat sentral sekali dalam
teori ekonomi Islam. Salah satu contoh ketika pada suatu hari sahabat
Bilal bin Rabah ingin menukar 2 sak kurma yang buruk dengan 1 sak
kurma yang baik, maka Rasulullah mengatakan, "Tidak boleh, jual
dulu kurma yang buruk, lalu barulah beli kurma yang baik dengan
hasil penjualan tersebut". Menurut Rasulullah, tiap kurma
mempunyai harga masing-masing. Oleh karena itu sangatlah naif
sekali apabila dikatakan bahwa dalam teori ekonomi Islam tidak
mengenal konsep uang.
Islam juga tidak mengenal konsep time value of money. Rumus
time value of money :
FV = PV (1 + i)n
Sebenarnya mengambil/mengadopsi dari teori pertumbuhan
populasi, dan tidak ada dalam ilmu finance. Rumus pertumbuhan
populasi adalah sebagai berikut:
Pt = Po (1 + g)t
Jadi future value dari uang dianalogikan dengan jumlah
populasi tahun ke-t, present value dari uang dianalogikan dengan
jumlah populasi tahun ke-0, sedangkan tingkat suku bunga
dianalogikan dengan tingkat pertumbuhan populasi. Ini merupakan
kekeliruan fatal, sebab uang bukan makhluk hidup yang dapat
berkembang biak dengan sendirinya.
Akan tetapi, economic value of time-lah yang dikenal dalam
Islam. Maknanya adalah bahwa time akan mempunyai economic
64 Pembiayaan Musyar akah dan Mudhar abah

value jika waktu tersebut ditambah dengan faktor produksi yang lain,
sehingga menjadi kapital dan dapat memperoleh return. Jadi faktor
yang menentukan nilai waktu adalah bagaimana seseorang me-
manfaatkan waktu itu. Semakin efektif (doing the right things), dan
efisien (doing the things right), maka akan semakin tinggi nilai
waktunya.

5.4 DAMPAK BUNGA TERHADAP


PEREKONOMIAN GLOBAL
Sekarang tiba saatnya untuk menyajikan dampak negatif yang
ditimbulkan oleh bunga. Pada awal sub bab ini telah dijelaskan
bahwa bunga menimbulkan ketidakadilan. Menurut Shaikh Mahmud
Ahmad, bunga merupakan benih krisis dan dumping. Menurutnya
bunga memainkan peranan khusus dalam menimbulkan krisis
(Ahmad, 1947).
Di samping hal di atas, Zainul Arifin menunjukkan beberapa
kelemahan bank yang menggunakan sistem bunga, yaitu (Arifin,
2002).
1. Transaksi berbasis bunga melanggar keadilan atau kewajaran
bisnis. Karena peminjam wajib membayar tingkat bunga yang
disetujui walaupun perusahaannya mungkin rugi. Mungkin juga
perusahaanya mendapatkan untung, tapi bisa jadi bunga yang
harus dibayarkan melebihi keuntungannya.
2. Tidak fleksibelnya sistem transaksi berbasis bunga menyebabkan
kebangkrutan.
3. Komitmen bank untuk menjaga keamanan uang deposan dengan
bunganya membuat bank cemas mengembalikan pokok dan
bunganya. Karena demi kemanan, mereka hanya mau
meminjamkan dana bagi bisnis yang sudah benar-benar mapan
atau kepada orang yang sanggup menjamin keamanan
pinjamannya. Sisa uangnya disimpan dalam bentuk surat
berharga pemerintah.
Dampak Bunga Ter hadap Per ekonomian Gl obal 65

4. Sistem transaksi berbasis bunga menghalangi munculnya inovasi


oleh usaha kecil. Usaha besar dapat mengambil risiko untuk
mencoba teknik dan produk baru karena mereka memiliki
cadangan dana sebagai sandaran bila ternyata ide barunya gagal.
Sebaliknya, usaha kecil tidak dapat melakukan hal tersebut.
Karena jika gagal, tidak ada jalan lain bagi mereka kecuali harus
membayar kembali pinjaman berikut bunganya dan bangkrut.
5. Dalam sistem bunga, bank tidak akan tertarik dalam kemitraan
usaha kecuali bila ada jaminan kepastian pengembalian modal
dan pendapatan bunga mereka.
Tidak hanya sampai di sini, ternyata teori-teori yang men-
jastifikasi adanya bunga dan menentukan tingkat suku bunga sangat
tidak rasional dalam tataran ekonomi. Argumen yang diajukan oleh
Adam Smith dan Ricardo dalam menjastifikasi bunga tidak
meyakinkan karena:
1. Pertama, tidak setiap penabung meminjamkan tabungannya.
karena itulah, tabungan dapat saja terjadi tanpa bunga;
2. Kedua, seseorang dapat menerima bunga dari meminjamkan
uang (uang dari warisan) bukan berasal dari tabungannya;
3. Ketiga, sebagian besar tabungan masyarakat modern berasal dari
tabungan perusahaan, dan bukan dari penghematan;
4. Keempat, bank tidak melakukan pengorbanan apa pun pada
waktu menciptakan uang dan meminjamkan uang
(Metwally,1995). Di samping itu, investasi tidak senantiasa
menguntungkan, kerugian bisa juga terjadi. Bahkan menurut
Lord Keynes, bunga tidak bisa menjadi imbalan atas tabungan.
Seseorang dapat menabung tanpa memberi pinjaman berbunga,
dan dapat memperoleh bunga dengan meminjamkan uang yang
belum ditabung tapi sudah dimiliki (Muslehuddin). Menurutnya,
besarnya tabungan bukan tergantung oleh rendah tingginya
tingkat bunga, tetapi tergantung pada besar kecilnya pendapatan
(Sukirno, 2000).
66 Pembiayaan Musyar akah dan Mudhar abah

Peter Warbuton, seorang komentator keuangan Inggris yang


paling respek dan pemenang penghargaan economic forecasting
telah berkomentar sehubungan dengan hutang yang terjadi oleh
negara: “kredit dan pasar modal telah tumbuh berkembang secara
cepat, dengan sangat sedikit transparansi dan akuntabilitas. Tentu ini
akan mempersiapkan bagi sebuah ledakan yang akan meng-
guncangkan sistem keuangan barat terhadap fondasinya.” Seluruh
pengaruh interest-based loan mempunyai kecenderungan terus
menerus berpihak terhadap orang kaya dan bertentangan dengan
kepentingan masyarakat. Dengan demikian hal ini akan membawa
pengaruh yang meluas dalam produksi dan alokasi sumber-sumber
daya sebagaimana dalam distribusi kekayaan. Beberapa pengaruh
buruk tersebut adalah:
1. Pengaruh buruk dalam alokasi sumber-sumber pinjaman dalam
sistem perbankan sekarang ditujukan secara utama kepada siapa
yang kuat dalam kekayaannya, yang dapat menawarkan
kepuasan collateral. Umar Chapra telah menyimpulkan
pengaruh dari praktik ini: “bagaimanapun, kredit cenderung
kepada siapa yang, menurut Lester Thurow, orang yang
beruntung lebih dari sekedar smart atau meritocratic. Jadi sistem
perbankan cenderung kepada memperkuat distribusi modal yang
tidak merata. Bahkan Morgan Guarantee Trush Company, bank
ke-enam terbesar di Amerika, telah mengakui bahwa sistem
perbankan telah gagal untuk membiayai baik perusahaan-
perusahaan kecil atau modal ventura dan meskipun terapung-
apung dengan dana-dananya ini tidak mendorong untuk
memberikan dana-dana berharga secara kompetitif kepada
beberapa perusahaan kecil, tetapi paling besar, terbanyak
perusahaan yang kaya. Oleh sebab itu, ketika deposito-deposito
datang dari bagian populasi yang lebih luas, benefit mereka
justru beralih kepada orang kaya.
2. Pengaruh kejahatan pada produksi, karena dalam interest-based
system dana-dana disediakan dalam basis collateral yang kuat
Dampak Bunga Ter hadap Per ekonomian Gl obal 67

dan penggunaan akhir dari dana itu bukan merupakan kriteria


utama bagi pembiayaan, hal itu mendorong orang untuk hidup
melebihi arti kehidupan. Orang kaya tidak dapat meminjam
untuk proyek produktif saja, tetapi juga untuk konsumsi yang
berlebihan (conspicuous consumption). Sama saja, pemerintah
meminjam uang tidak hanya untuk program pembangunan
murni, tetapi juga untuk pengeluaran yang boros (lavish
expenditure) dan untuk proyek-proyek yang dimotivasi oleh
ambisi politik daripada menggunakannya berdasarkan penilaian
ekonomi. Non-project-related borrowings, yang mungkin ada
hanya dalam interest-based system telah tidak membantu apa-
apa tetapi justru menaikan size hutang kepada keadaan yang
lebih buruk.
3. Pengaruh kejahatan pada distribusi, kita telah menjelaskan ketika
bisnis dibiayai dengan basis interest, hal ini akan membawa
ketidakadilan baik bagi borrower yang ketika menderita kerugian
maupun bagi financier jika pendapatan profit (dari borrower)
besar. Meskipun kedua keadaan ini mungkin saja sama dalam
sebuah interest-based system, dan ada beberapa contoh di mana
pembayaran bunga telah membawa keruntuhan total bagi
pedagang-pedagang kecil, dalam sistem perbankan kita,
ketidakadilan telah terbawa kepada financier yang lebih berat
dan lebih banyak hambatan-hambatan terhadap distribusi
kekayaan yang pas. Dalam konteks sistem kapitalis modern,
perbankan mempercepat uang para deposan kepada para pelaku
industri dan para pedagang. Hampir seluruh bisnis terbesar (giant
business) dibiayai oleh bank dan institusi keuangan. Dalam
beberapa kasus dana-dana itu telah menyebar di pengusaha-
pengusaha besar dari orang-orang biasa melalui perbankan dan
institusi keuangan. Jika para pengusaha hanya mempunyai 10
juta dari miliknya sendiri, mereka bisa mendapatkan 90 juta dari
bank dan memulainya pada sebuah usaha profitable yang besar,
ini berarti 90% dari proyek diciptakan oleh uang para deposan
sementara hanya 10% yang diciptakan oleh miliknya sendiri. Jika
68 Pembiayaan Musyar akah dan Mudhar abah

proyek besar ini membawa profit yang banyak, hanya proporsi


yang kecil (dari bunga yang selisih normalnya 2%-10% dalam
negara-negara yang berbeda) yang akan jatuh kepada para
deposan di mana input dalam proyek itu adalah 90% sementara
seluruh sisa akan diberikan kepada pengusaha yang besar yang
kontribusi real kepada proyek hanya tidak lebih dari 10%.
Bahkan proporsi kecil ini diberikan kepada para deposan diambil
kembali oleh big enterpreneurs ini, karena seluruh bunga
dibayarkan olehnya termasuk dalam biaya produksinya dan
kembali kepadanya melalui harga-harga yang dinaikkan.
Akibat berikutnya dalam kasus ini adalah seluruh profit dari big
enterprises dihasilkan melalui orang-orang yang input finansial
miliknya tidak lebih dari 10% dari total investasi, sementara orang-
orang yang kontribusi finansialnya sebesar 90% tidak mendapatkan
apa-apa dalam term riilnya, karena jumlah interest yang diberikan
kepada mereka sering dibayarkan kembali oleh big entreprises
melalui kenaikan harga-harga produk, dan oleh karena itu dalam
sejumlah kasus return yang diterimanya menjadi negatif dalam real
term.
Seseorang dapat membayangkan seberapa jauh interest-based
borrowing telah berkontribusi kepada ketidakadilan yang parah yang
telah ditemukan dalam sistem distribusi kita, dan seberapa besar
ketidakadilan yang dibawa oleh modern commercial interest kepada
seluruh masyarakat seperti perbandingan terhadap interest yang
dikenakan pada old consumption loans yang dipengaruhi hanya oleh
beberapa individu. Bukankah interest-based system sekarang bekerja
menyokong si kaya dan membunuh si miskin seperti dijelaskan
dengan ringkas oleh James Robertson: “peran bunga yang dapat
menembus sistem ekonomi mengakibatkan transfer sistematik uang
dari orang yang lemah kepada orang yang mempunyai lebih. Sekali
lagi transfer sumber daya-sumber daya ini dari si miskin kepada si
kaya telah dibuat jelas dengan sangat mengejutkan oleh krisis hutang
dunia ketiga.
Dampak Bunga Ter hadap Per ekonomian Gl obal 69

Hal ini sebagian karena orang-orang yang mempunyai uang


lebih meminjamkan uangnya kemudian mendapatkan bunga dari
orang-orang yang tidak mempunyai uang; dan sebagian lagi karena
orang-orang yang tidak mempunyai uang harus meminjam lebih; dan
juga sebagian karena cost dari pembayaran bunga yang sekarang
berbentuk elemen substansial dalam biaya seluruh barang dan jasa,
dan kebutuhan barang dan jasa lebih besar dalam pembiayaan orang
kaya.
Ketika kita melihat pada sistem uang dan kita memikirkan
bagaimana uang dapat ditandai kembali untuk mengeluarkan
fungsinya secara adil dan efisien sebagai bagian dari pemberlakukan
dan penghematan ekonomi, argumen bagi sistem uang bebas bunga
bebas inflasi selama 21 abad nampaknya menjadi kuat.” Penulis yang
sama dalam buku yang lain mengomentari: “transfer revenue dari
orang miskin ke orang kaya, dari tempat orang miskin ke tempat
orang kaya, dan dari negara miskin ke negara kaya oleh uang dan
sistem keuangan adalah salah satu sebab transfer sistematis kekayaan
dari miskin kepada kaya dengan jalan/caranya adalah pembayaran
interest.
Ekspansi uang artificial (artificial money) dan inflasi. Karena
pinjaman yang menanggung bunga tidak mempunyai hubungan yang
spesifik dengan produksi sebenarnya, dan financier, setelah nampak
collateral yang kuat, biasanya tidak mempunyai perhatian bagaimana
dana-dana digunakan oleh borrower, permintaan uang dipengaruhi
melalui bank dan institusi keuangan yang tidak mempunyai nexus
dengan barang dan jasa yang diproduksi secara pasti. Tentu ini
menciptakan masalah yang tak sebanding antara supply uang dan
produksi barang dan jasa.
Jelas hal ini merupakan salah satu faktor yang menciptakan
atau menjadi ‘bahan bakar’ inflasi. Fenomena ini menjengkelkan hati
pada keadaan yang lebih buruk dengan diketahui karakteristik dari
bank-bank modern yang umumnya diistilahkan sebagai ‘money
creation’. Bahkan buku-buku utama dari ekonomi biasanya
70 Pembiayaan Musyar akah dan Mudhar abah

menjelaskan bagaimana bank menciptakan uang. Rupanya fungsi


bank yang menakjubkan ini kadang-kadang menjadi salah satu faktor
dorongan produksi dan membawa kesejahteraan. Tetapi ilusi dari
konsep ini jarang diperkenalkan oleh perbankan modern.
Orang-orang yang telah menggunakan deposito koin emas
mereka dengan mempercayainya, dan mereka telah menggunakan
koin tersebut untuk menerbitkan tanda terima kepada para deposan.
Agar prosesnya sederhana, tukang emas (goldsmith) telah memulai
mengeluarkan tanda penerimaan pembawa yang secara gradual
terjadi di tempat pembuatan koin emas dan orang-orang memulai
penyelesaian liabilitas mereka. Ketika tanda terima ini diperoleh luas
di pasar, hanya bagian kecil dari para deposan dan pembawa datang
kepada tukang emas untuk meminta emas sebenarnya.
Pada point ini tukang emas mulai meminjamkan beberapa dari
emas yang didepositokan secara rahasia dan telah memulai
mendapatkan bunga dari loan ini. Setelah beberapa waktu, para
tukang emas ini menutupi bahwa mereka dapat mencetak lebih
banyak uang (sertifikat deposito emas kertas) daripada men-
depositokannya dan mereka dapat meminjamkan keluar tambahan
uang ini dengan bunga. Jadi mereka telah melakukan dan ini adalah
lahirnya ‘money creation’ atau ‘fractional reserve lending’ yang
berarti meminjamkan banyak uang daripada seseorang mempunyai
cadangan untuk depositonya. Dalam hal ini para tukang emas,
setelah menjadi lebih percaya diri, mulai menurunkan reserve
requirment dan menaikan persentase kredit penciptaan uang sendiri,
dan digunakan untuk pinjaman empat, lima bahkan sepuluh kali
lebih sertifikat emas.
Pada mulanya, tindakan ini hanya penyalahgunaan ke-
percayaan, dan sebuah penipuan belaka yang merupakan bagian dari
tukang emas yang tidak dijamin oleh beberapa norma persamaan,
keadilan dan kejujuran. Justru yang terjadi adalah pemalsuan dan
perebutan kekuasaan otoritas untuk mengeluarkan uang. Tetapi lama
kelamaan, praktik kecurangan ini kembali pada praktik standar sesuai
Dampak Bunga Ter hadap Per ekonomian Gl obal 71

mode terakhir dari bank modern atas sistem ‘fractional reserve’.


Bagaimana para bankir dan pengubah uang telah sukses dalam
melegalkan the creation of money oleh bank-bank swasta, meskipun
oposisi yang kuat dari beberapa pengambil kebijakan Inggris dan
Amerika, dan bagaimana Rothchilds telah membutuhkan keuangan
yang mengagumkan atas seluruh negara Eropa dan Rockfeller atas
seluruh Amerika adalah sebuah sejarah yang panjang, sekarang telah
hilang dalam kabut beberapa teori yang dikembangkan untuk
mendukung konsep money creation oleh perbankan swasta. Tetapi
akibat dari ini adalah bahwa bank-bank modern sedang menciptakan
uang.
Mereka diizinkan untuk memberikan loan dalam jumlah
sepuluh kali lebih dari pada dana keseluruhan deposito. Koin dan
surat berharga dikeluarkan oleh pemerintah seperti uang asli dan
uang yang bebas hutang sekarang mempunyai proporsi yang
signifikan dalam keseluruhan uang dalam sirkulasi, yang terbanyak
adalah uang artifisialy diciptakan oleh perbankan. Proporsi
penerbitan uang real oleh pemerintah telah turun secara konstan di
banyak negara, disaat proporsi artificial money yang diciptakan oleh
perbankan naik.
Pinjaman-pinjamaan spiral telah dibangun atas loan yang
sekarang merupakan bagian utama dari supply uang. Mengambil
contoh di Inggris yang menurut statistik 1997 jumlah stok uang di
negara itu 680 milyar pound dan dari jumlah itu hanya 25 milyar
pound yang dikeluarkan oleh pemerintah berbentuk koin dan kertas.
Sisanya diciptakan oleh perbankan. Ini berarti uang yang bebas
hutang hanya menyisakan 3.6% dari seluruh supply uang sementara
96.4% tidak ada apa-apanya tetapi hanya penciptaan gelembung
oleh perbankan (buble created). Bubble ini tumbuh dan berkembang
setiap tahun.
Pada awal tahun 1940-an, Joseph Schumpeter dengan bukunya
Capitalism, Socialism and Democracy menyebutkan bahwa teori
ekonomi modern telah memasuki masa-masa krisis. Pandangan yang
72 Pembiayaan Musyar akah dan Mudhar abah

sama dikemukakan juga oleh ekonom generasi 1950-an dan 60-an,


seperti Daniel Bell dan Irving Kristol dalam buku The Crisis in
Economic Theory. Demikian pula Gunnar Myrdal dalam buku
Institusional Economics, Journal of Economic Issues, juga Hla Mynt,
dalam buku Economic Theory and the Underdeveloped Countries
serta Mahbubul Haq dalam buku The Poverty Curtain: Choices for
the Third World.
Paul Omerod dalam buku The Death of Economics (1994).
Menuliskan bahwa ahli ekonomi terjebak pada ideologi kapitalisme
yang mekanistik yang ternyata tidak memiliki kekuatan dalam
membantu dan mengatasi resesi ekonomi yang melanda dunia.
Mekanisme pasar yang merupakan bentuk dari sistem yang
diterapkan kapitalis cenderung pada pemusatan kekayaan pada
kelompok orang tertentu.
Mirip dengan buku Omerod, muncul pula Umar Vadillo dari
Scotlandia yang menulis buku, ”The Ends of Economics” yang
mengkritik secara tajam ketidakadilan sistem moneter kapitalisme.
Kapitalisme justru telah melakukan ”perampokan” terhadap kekayaan
negara-negara berkembang melalui sistem moneter fiat money yang
sesungguhnya adalah riba.
Fritjof Capra, dalam bukunya The Turning Point, juga
mengkritisi berbagai persoalan suatu krisis yang kompleks dan
multidimensional yang segi-seginya menyentuh aspek kehidupan,
kesehatan dan mata pencaharian, kualitas lingkungan dan hubungan
sosial, ekonomi, teknologi, dan politik. Pemicu dari krisis ini adalah
karena paradigma sains, termasuk ekonomi memegang teguh
paradigma Newtonian yang positivistic dan mekanistik. Ilmu
pengetuan terpisah dari moral, moral terpisah dari seni dan seni
terpisah dari agama, sehingga yang seharusnya dengan ilmu
kehidupan manusia bisa bahagia justru sebaliknya ilmu membuat
kehidupan manusia menjadi sengsara.
Dampak Bunga Ter hadap Per ekonomian Gl obal 73

Sebab utama krisis ekonomi bisa dilacak dari begitu


berkuasanya sektor moneter/keuangan (sistem uang kertas/fiat
money, perbankan ribawi, pasar modal, bursa saham, valas/pasar
uang, dll) atas sektor riil (perdagangan dan jasa yang bersifat nyata).
Sebelum krisis moneter di Asia tahun 1997/1998, misalnya, dalam
satu hari, dana yang beredar dalam transaksi semu di pasar modal
dan pasar uang dunia diperkirakan rata-rata sekitar 2-3 triliun dolar
AS, atau dalam satu tahun sekitar 700 triliun dolar AS. Sebaliknya,
arus perdagangan barang secara internasional dalam satu tahunnya
hanya berkisar 7 triliun dolar AS. Jadi, arus uang 100 kali lebih cepat
dibandingkan dengan arus barang (Republika, 18/8/2000). Besaran
transaksi yang terjadi di pasar uang dunia berjumlah 1,5 triliun dolar
AS dalam sehari. Sebaliknya, besaran transaksi pada perdagangan
dunia di sektor riil hanya 6 triliun dolar AS setiap tahunnya. Jadi,
perbandingannya adalah 500:6. Dengan kata lain, transaksi di sektor
riil hanya sekitar 1%-an dari sektor keuangan (Agustianto, 2007).
Sementara itu, menurut Kompas September 2007, uang yang beredar
dalam transaksi valas (valuta asing) mencapai 1,3 triliun dalam
setahun. Data ini menunjukkan bahwa perkembangan cepat sektor
keuangan semakin melejit meninggalkan sektor riil.
Krisis ekonomi dunia saat ini bukanlah yang pertama maupun
yang terakhir. Boleh dikatakan, sejarah ekonomi Kapitalisme adalah
sejarah krisis. Roy Davies dan Glyn Davies (1996), dalam buku The
History of Money From Ancient time to Present Day, menguraikan
sejarah kronologi krisis ekonomi dunia secara menyeluruh. Menurut
keduanya, sepanjang Abad 20 telah terjadi lebih 20 kali krisis besar
yang melanda banyak negara. Ini berarti, rata-rata setiap 5 tahun
terjadi krisis keuangan hebat yang mengakibatkan penderitaan bagi
ratusan juta umat manusia. Krisis ekonomi sudah terjadi sejak tahun
1907; disusul dengan krisis ekonomi tahun 1923, 1930, 1970, 1980,
1990, dan 1998–2001 bahkan sampai saat ini.
Pada tahun 1907 krisis perbankan Internasional dimulai di
New York, setelah beberapa dekade sebelumnya yakni mulai tahun
74 Pembiayaan Musyar akah dan Mudhar abah

1860-1921 terjadi peningkatan hebat jumlah bank di Amerika s/d 19


kali lipat. Selanjutnya, tahun1920 terjadi depresi ekonomi di Jepang.
Kemudian pada tahun 1922–1923 German mengalami krisis dengan
hyper inflasi yang tinggi. Karena takut mata uang menurun nilainya,
gaji dibayar sampai dua kali dalam sehari. Selanjutnya, pada tahun
1927 krisis keuangan melanda Jepang (37 Bank tutup); akibat krisis
yang terjadi pada bank-bank Taiwan.
Pada tahun 1929–30 The Great Crash (di pasar modal NY) &
Great Depretion (Kegagalan Perbankan); di US, hingga net national
product-nya terpangkas lebih dari setengahnya. Selanjutnya, pada
tahun 1931 Austria mengalami krisis perbankan, akibatnya kejatuhan
perbankan di German, yang kemudian mengakibatkan ber-
fluktuasinya mata uang internasional. Hal ini membuat UK
meninggalkan standard emas. Kemudian1944–1966 Prancis
mengalami hyper inflasi akibat dari kebijakan yang mulai
meliberalkan perekonomiannya. Berikutnya, pada tahun 1944–1946
Hungaria mengalami hyper inflasi dan krisis moneter. Ini merupakan
krisis terburuk eropa. Note issues Hungaria meningkat dari 12000
million (11 digits) hingga 27 digits.
Pada tahun 1945–1948 Jerman mengalami hyper inflasi akibat
perang dunia kedua. Selanjutnya tahun 1945–1955 Krisis Perbankan
di Nigeria Akibat pertumbuhan bank yang tidak teregulasi dengan
baik pada tahun 1945. Pada saat yang sama, Perancis mengalami
hyper inflasi sejak tahun 1944 sampai 1966. Pada tahun (1950-1972)
ekonomi dunia terasa lebih stabil sementara, karena pada periode ini
tidak terjadi krisis untuk masa tertentu. Hal ini disebabkan karena
Bretton Woods Agreements, yang mengeluarkan regulasi di sektor
moneter relatif lebih ketat (Fixed Exchange Rate Regime). Di samping
itu IMF memainkan perannya dalam mengatasi anomali-anomali
keuangan di dunia. Jadi regulasi khususnya di perbankan dan
umumnya di sektor keuangan, serta penerapan rezim nilai tukar yang
stabil membuat sektor keuangan dunia (untuk sementara) "tenang".
Dampak Bunga Ter hadap Per ekonomian Gl obal 75

Namun ketika tahun 1971 Kesepakatan Breton Woods runtuh


(collapsed). Pada hakikatnya perjanjian ini runtuh akibat sistem
dengan mekanisme bunganya tak dapat dibendung untuk tetap
mempertahankan rezim nilai tukar yang fixed exchange rate.
Selanjutnya pada tahun 1971-1973 terjadi kesepakatan Smithsonian
(di mana saat itu nilai 1 Ons emas = 38 USD). Pada fase ini dicoba
untuk menenangkan kembali sektor keuangan dengan perjanjian
baru. Namun hanya bertahan 2-3 tahun saja.
Pada tahun 1973 Amerika meninggalkan standar emas. Akibat
hukum "uang buruk (foreign exchange) menggantikan uang bagus
(dollar yang di-back-up dengan emas)-(Gresham Law)". Pada tahun
1973 dan sesudahnya mengglobalnya aktifitas spekulasi sebagai
dinamika baru di pasar moneter konvensional akibat penerapan
floating exchange rate System. Periode Spekulasi; di pasar modal,
uang, obligasi dan derivative. Maka tak aneh jika pada tahun 1973–
1874 terjadi krisis perbankan kedua di Inggris; akibat Bank of
England meningkatkan kompetisi pada supply of credit.
Pada tahun 1974 Krisis pada Euro dollar Market; akibat West
German Bankhaus ID Herstatt gagal mengantisipasi international
crisis. Selanjutnya tahun 1978-1980 Deep recession di negara-negara
industri akibat boikot minyak oleh OPEC, yang kemudian membuat
melambung tingginya interest rate negara-negara industri.
Selanjutnya sejarah mencatat bahwa pada tahun 1980 krisis
dunia ketiga; banyaknya hutang dari negara dunia ketiga disebabkan
oleh oil booming pada th 1974, tapi ketika negara maju
meningkatkan interest rate untuk menekan inflasi, hutang negara
ketiga meningkat melebihi kemampuan bayarnya. Pada tahun 1980
itulah terjadi krisis hutang di Polandia; akibat terpengaruh dampak
negatif dari krisis hutang dunia ketiga. Banyak bank di eropa barat
yang menarik dananya dari bank di eropa timur. Pada saat yang
hampir bersamaan yakni di tahun 1982 terjadi krisis hutang di
Mexico; disebabkan outflow kapital yang massiveke US, kemudian
di-treatments dengan hutang dari US, IMF, BIS. Krisis ini juga
76 Pembiayaan Musyar akah dan Mudhar abah

menarik Argentina, Brazil dan Venezuela untuk masuk dalam


lingkaran krisis.
Perkembangan berikutnya, pada tahun 1987 The Great Crash
(Stock Exchange), 16 Oct 1987 di pasar modal US & UK.
Mengakibatkan otoritas moneter dunia meningkatkan money supply.
Selanjutnya pada tahun 1994 terjadi krisis keuangan di Mexico;
kembali akibat kebijakan finansial yang tidak tepat. Pada tahun 1997-
2002 krisis keuangan melanda Asia Tenggara; krisis yang dimulai di
Thailand, Malaysia kemudian Indonesia, akibat kebijakan hutang
yang tidak transparan. Krisis Keuangan di Korea; memiliki sebab yang
sama dengan Asia tengah. Kemudian, pada tahun 1998 terjadi krisis
keuangan di Rusia; dengan jatuhnya nilai Rubel Rusia (akibat
spekulasi). Selanjutnya krisis keuangan melanda Brazil di tahun
1998. Pada saat yang hampir bersamaan krisis keuangan melanda
Argentina di tahun 1999. Terakhir, pada tahun 2007-hingga saat ini,
krisis keuangan melanda Amerika Serikat.
Krisis ekonomi subprime mortgage pada akhir tahun 2007 dan
awal 2008 menjadi contoh rapuhnya fondasi sistem finansial
konvensional. Krisis bermula dari booming sektor properti di AS yang
mengakibatkan harga rumah melambung tinggi. Pemilik rumahpun
tertarik menjamin rumahnya ke bank untuk memperoleh pinjaman
(home equity loan) untuk memenuhi kebutuhan konsumtifnya. Pihak
bank kemudian mengemas kredit ini dalam berbagai instrumen
keuangan termasuk obligasi yang dilempar ke pasar obligasi
internasional (mortgage bond market) sehingga menarik minat
banyak perusahaan keuangan internasional.
Perusahaan seperti Merril Lynch, JP Morgane Chase, Lehman
Brothers, Bear Stearns, Morgan Stanley, Citigroup, Bruyette &
Woods, Washington Mutual, Indymac, Countrywide Financial, Wells
Fargo, HSBC, dan lain-lain berlomba membeli saham hipotek yang
ditawarkan. Tahun 2007 pertumbuhan ekonomi AS mengalami
perlambatan akibat tingginya harga minyak mentah dunia. Sektor
moneter terkena imbas karena angka inflasi membumbung tinggi.
Dampak Bunga Ter hadap Per ekonomian Gl obal 77

Fenomena ini mengakibatkan sektor properti ambruk. Banyak


nasabah mengalami kesulitan membayar cicilan kredit sehingga
harus menjual rumahnya kembali. Maka booming penjualan rumah
menyebabkan harga properti hancur. Nasabah yang tidak mampu
melunasi kredit akhirnya membiarkan bank menyita (foreclosure)
rumah mereka, yang jumlahnya sekitar 30-0 persen dari total jumlah
nasabah. Pihak bank dihadapkan pada menyusutnya nilai jaminan
aset dan uang tidak kembali.
Perusahaan keuangan internasional mengalami kondisi paling
parah karena krisis ini ternyata menjadi “gunung es” krisis keuangan
dunia sehingga mengguncang pasar uang AS dan Eropa. Citigroup
pada kuartal IV tahun 2007 mengalami kerugian US$ 8,9 miliar
ditambah kerugian saat tutup buku sebesar US$ 18 miliar. Menurut
David Hiller, analis ekuitas Bear Stearns, total kerugian penghapusan
buku mencapai US$ 15-250 miliar. Akhirnya pemerintah AS turun
tangan mengatasi krisis keuangan tersebut. Gedung Putih me-
mangkas 1 persen PDB (Gross Domestic Product) masyarakat AS dan
The Fed (Federal Reserve) memotong suku bunga di bursa saham
sebesar 75 poin untuk mempermudah nasabah mencicil kredit. Tapi
kebijakan ini justru membuat panik para pelaku pasar di Wall Street.
Untuk menghindari kerugian yang lebih besar, pemerintah AS
mengeluarkan kebijakan bail-out yaitu tindakan penyelamatan
sementara dalam bentuk jaminan financial agar efek berantai krisis
finansial itu tidak mengganggu laju pertumbuhan ekonomi dan tidak
memengaruhi sektor keuangan yang lain.

-oo0oo-
78 Pembiayaan Musyar akah dan Mudhar abah
BAB VI

KONSEP BAGI HASIL

6.1 MENGAPA HARUS BAGI HASIL


Sebagaimana diketahui bahwa dalam ekonomi kapitalisme, bunga
bank (interest rate) merupakan nadi dari sistem perekonomian.
Hampir tak ada sisi dari perekonomian, yang luput dari mekanisme
kredit bunga bank (credit system). Mulai dari transaksi lokal pada
semua struktur ekonomi negara, hingga perdagangan internasional.
Salah satu sebab ketertarikan pasar terhadap bunga bank adalah
kepastian hasil. Sedangkan setiap usaha tidak bisa dipastikan harus
berhasil sejumlah sekian, karena pada kenyataannya, setiap usaha
pasti berhadapan dengan resiko yang mengandung kemungkinan
rugi, untung, dan kembali modal. Keuntungan pun bisa besar, sedang
dan kecil. Namun, selama berabad-abad, ekonomi dunia telah
didominasi sistem bunga, sehingga telah mengkristal dalam setiap
aktivitas bisnis masyarakat dunia.
Karena mengkristalnya sistem bunga tersebut, terbentuklah
dinamika yang khas dalam perekonomian konvensional, terutama
pada sektor moneternya. Bahkan kini pasar moneter konvensional
tidak lagi terbatas pada pasar modal, uang dan obligasi, tapi
bertambah dengan munculnya pasar derivatif, yang merupakan
turunan dari ketiga pasar tersebut. Kesemuanya tetap menggunakan
80 Pembiayaan Musyarakah dan Mudharabah

bunga bank sebagai harga dari produk-produknya. Maka tak heran


jika perkembangan di pasar moneter konvensional begitu
spektakuler. Menurut data dari sebuah NGO asal Amerika Serikat,
volume transaksi yang terjadi di pasar uang (currency speculation
dan derivative market) dunia berjumlah US$ 1,5 triliun hanya dalam
sehari, sedangkan volume transaksi yang terjadi dalam perdagangan
dunia di sektor riil US$ 6 triliun setiap tahun. Bayangkan dengan
empat hari transaksi di pasar uang, nilainya sudah menyamai
transaksi di sektor riil selama setahun.
Dampak perkembangan yang begitu besar pada sektor moneter
jelas menghambat perkembangan sektor riil. Jika diasumsikan money
supply (uang beredar) tetap, maka sistem kredit dengan bunganya
yang ada pada pasar-pasar moneter akan menyedot uang beredar.
Sehingga bukan hanya ketidakstabilan moneter yang terjadi, tetapi
juga kemerosotan sektor riil. Secara global kemerosotan ini akan
berpengaruh pada returns yang diperebutkan pada sektor moneter.
Sehingga jika ini terus yang menjadi kecenderungannya, maka wajar
sebagian pakar memprediksi terjadinya krisis ekonomi yang besar,
tidak hanya di negara-negara dunia ketiga, tetapi juga negara-negara
maju (negara pemilik modal).
Menurut pakar ekonomi Islam, penyebab utama krisis adalah
kepincangan sektor moneter (keuangan) dan sektor riil yang dalam
Islam dikategorikan dengan riba. Sektor keuangan berkembang cepat
melepaskan dan meninggalkan jauh sektor riil. Bahkan ekonomi
kapitalis, tidak mengaitkan sama sekali antara sektor keuangan
dengan sektor riil. Tercerabutnya sektor moneter dari sektor riil
terlihat dengan nyata dalam bisnis transaksi maya (virtual transaction)
melalui transaksi derivatif yang penuh ribawi. Tegasnya, Transaksi
maya sangat dominan ketimbang transaksi riil. Transaksi maya
mencapai lebih dari 95 persen dari seluruh transaksi dunia.
Sementara transaksi di sektor riil berupa perdagangan barang dan
jasa hanya sekitar lima persen saja.
Konsep Bagi Hasil 81

Menurut analisis lain, perbandingan tersebut semakin tajam,


tidak lagi 95% : 5%, melainkan 99% : 1%. Dalam tulisan Agustianto
di sebuah seminar Nasional tahun 2007 di UIN Jakarta, disebutkan
bahwa volume transaksi yang terjadi di pasar uang (currency
speculation and derivative market) dunia berjumlah US$1,5 trillion
hanya dalam sehari, sedangkan volume transaksi pada perdagangan
dunia di sektor riil hanya US$ 6 trillion setiap tahunnya (Rasio 500 :
6), Jadi sekitar 1-an%. Celakanya lagi, hanya 45 persen dari transaksi
di pasar spot, selebihnya adalah forward, futures, dan options.
Syari’ah Islam dengan tegas meyakini bahwa bunga yang
bersifat pre-determined akan mengeksploitasi perekonomian,
cenderung terjadi misalokasi sumber daya dan penumpukan
kekayaan dan kekuasaan pada segelintir orang. Hal ini akan
membawa pada ketidakadilan, ketidakefisienan, dan ketidakstabilan
perekonomian. Seperti dikemukakan Umer Chapra (1996), bungalah
yang telah menyebabkan semakin jauh jarak antara pembangunan
dan tujuan yang akan dicapai. Bunga juga merusak tujuan-tujuan
yang ingin didapat, pertumbuhan ekonomi, produktivitas dan
stabilitas ekonomi. Bahkan Roy Davies dan Glyn Davies, dalam
bukunya A History of Money from Ancient Times to the Present Day
(1996) mengatakan bahwa bunga telah memberi andil besar dalam
lebih dari 20 krisis yang terjadi sepanjang abad 20.
Perbedaan antara sistem ekonomi Islam dengan sistem
ekonomi lainnya adalah terletak pada penerapan bunga. Dalam
ekonomi Islam, bunga dinyatakan sebagai riba yang diharamkan oleh
syariat Islam. Sehingga dalam ekonomi yang berbasis syariah, bunga
tidak diterapkan dan sebagai gantinya diterapkan sistem bagi hasil
yang dalam syariat Islam dihalalkan untuk dilakukan. Sekali lagi,
Islam mendorong praktik bagi hasil serta mengharamkan riba.
Keduanya sama-sama memberi keuntungan bagi pemilik dana,
namun keduanya mempunyai perbedaan yang sangat nyata.
Perbedaan itu dapat dijelaskan dalam tabel berikut. Sistem Bunga/
Bagi Hasil
82 Pembiayaan Musyarakah dan Mudharabah

BUNGA BAGI HASIL


Penentuan bunga dibuat pada Penentuan besarnya rasio/
waktu akad dengan asumsi harus nisbah bagi hasil dibuat pada
selalu untung waktu akad dengan
berpedoman pada
kemungkinan untung rugi
Besarnya persentase berdasarkan Besarnya rasio bagi hasil
pada jumlah uang (modal) yang berdasarkan pada jumlah
dipinjamkan. keuntungan yang diperoleh
Pembayaran bunga tetap seperti Tergantung pada keuntungan
yang dijanjikan tanpa proyek yang dijalankan. Bila
pertimbangan apakah proyek usaha merugi, kerugian akan
yang dijalankan oleh pihak ditanggung bersama oleh
nasabah untung atau rugi. kedua belah pihak.
Jumlah pembayaran bunga tidak Jumlah pembagian laba
meningkat sekalipun jumlah meningkat sesuai dengan
keuntungan berlipat atau keadaan peningkatan jumlah
ekonomi sedang “booming”. pendapatan.
Eksistensi bunga diragukan (kalau Tidak ada yang meragukan
tidak dikecam) oleh beberapa keabsahan bagi hasil
kalangan.

Dalam aplikasinya, mekanisme penghitungan bagi hasil dapat


dilakukan dengan dua macam pendekatan, yaitu:
1. Profit Sharing
2. Revenue Sharing

6.1.1 Profit Sharing


Dalam kamus ekonomi profit dapat diartikan sebagai laba. Namun
secara istilah profit adalah perbedaan yang timbul akibat total
pendapatan (total revenue) suatu perusahaan lebih besar dari biaya
total (total cost). Dalam perbankan syariah istilah profit sharing sering
menggunakan istilah profit and loss sharing, di mana pembagian
antara untung dan rugi dari pendapatan yang diterima atas hasil
usaha yang diperoleh.
Konsep Bagi Hasil 83

Sistem profit and loss sharing dalam pelaksanaannya


merupakan bentuk dari perjanjian kerja sama antara antara pemodal
(investor) dan pengelola modal (enterpreneur) dalam menjalankan
kegiatan asaha ekonomi, di mana di antara keduanya akan terikat
kontrak bahwa di dalam usaha tersebut jika mendapat keuntungan
akan dibagi kedua pihak sesuai nisbah kesepakatan di awal
perjanjian, dan begitu pula bila usaha mengalami kerugian akan
ditanggung bersama sesuai porsi.
Jadi, dalam sistem profit and loss sharing jika terjadi kerugian
maka pemodal tidak akan mendapatkan pengembalian modal secara
utuh, sedang bagi pengelola tidak akan mendapatkan upah dari
kerjanya. Sedangkan keuntungan yang akan dibagikan adalah seluruh
pendapatan setelah dikurangi dengan biaya-biaya operasional selama
proses usaha.

6.1.2 Revenue Sharing


Revenue sharing terdiri dari dua suku kata yang berasal dari bahasa
Inggris. Revenue berarti penghasilan, hasil, atau pendapatan.
Sedangkan kata sharing merupakan bentuk kata kerja dari kata share
yang berarti bagi. Jadi secara bahasa revenue sharing adalah
pembagian hasil, penghasilan, dan pendapatan. Dalam kamus
ekonomi revenue adalah hasil uang yang diterima oleh suatu
perusahaan dari penjualan barang-barang dan jasa-jasa. Dalam
prinsip ekonomi revenue dapat diartikan sebagai total penerimaan
dari hasil usaha dalam kegiatan produksi. Revenue meliputi total
harga pokok penjualan (modal) ditambah keuntungan dari hasil
penjualan (profit).
Dalam perbankan pengertian revenue adalah jumlah peng-
hasilan yang diperoleh dari bunga hasil penyaluran dana atau
penyediaan jasa oleh bank. Sedangkan dalam perbankan syariah,
revenue adalah hasil yang diterima oleh bank dari penyaluran dana
(investasi) ke dalam bentuk aktiva produktif, yaitu penempatan dana
bank pada pihak lain. Hal ini merupakan selisih atau angka lebih dari
84 Pembiayaan Musyarakah dan Mudharabah

aktiva produktif dengan hasil penerimaan bank. Bank syariah mem-


perkenalkan sistem bagi hasil kepada masyarakat dengan istilah
Revenue Sharing, yaitu sistem bagi hasil yang dihitung dari total
pendapatan pengelolaan dan tanpa dikurangi dengan biaya
pengelolaan dana. Sampai saat ini seluruh perbankan syariah di
Indonesia masih menggunakan sistem bagi hasil dengan konsep
Revenue Sharing.

6.2 APLIKASI PRINSIP REVENUE SHARING DAN


PROFIT AND LOSS SHARING DI BANK
SYARIAH
Dalam penerapannya diperbankan kedua sistem tersebut sangat
berbeda, dan implikasinya dalam sistem administrasi pun akan
berbeda. berikut ini merupakan gambaran mekanisme kerja prinsip
Profit and Loss Sharing dan Revenue Sharing dalam bank syariah:

6.2.1 Mekanisme Bagi Hasil Revenue Sharing


Mekanisme distribusi hasil usaha dengan prinsip Revenue Sharing
dalam perbankan syariah:
1. Pendapatan Operasi Utama
Pendapatan utama bank syariah adalah pendapatan dari
penyaluran dana nasabah yang diinvestasikan ke dalam usaha-
usaha yang sesuai dengan syariah. Dalam bank syariah
Penyaluran dana nasabah dapat dilakukan dengan beberapa
prinsip berikut ini:
1) Prinsip jual-beli yaitu dengan akad Murabahah, istisna,
istishna paralel, salam, dan salam paralel.
2) Prinsip bagi hasil yaitu dengan akad pembiayaan
Mudharabah dan pembiayaan Musyarakah
3) Prinsip Ujrah yaitu dengan akad ijarah dan ijarah muntahiya
bittamlik
Konsep Bagi Hasil 85

Dari pendapatan hasil penyaluran dana inilah yang akan


dibagikan kepada nasabah yang menyimpan dana di bank
(shahibul maal). Dalam prinsip Revenue Sharing besarnya
pendapatan yang akan dibagikan adalah pendapatan (revenue)
dari penyaluran dana tanpa pengurangan beban-beban yang
dikeluarkan oleh bank. Sedangkan besarnya porsi bagi hasil
kepada shahibul maal adalah sesuai dengan nisbah yang telah
disepakati di awal akad.
2. Hak Pihak ketiga atas bagi hasil investasi tidak terikat
Adalah porsi bagi hasi yang diberikan oleh bank kepada pemilik
dana mudharabah muthlaqah (investasi tidak terikat) penentuan
besarnya bagi hasil dari hasil usaha (pendapatan) yang
diserahkan kepada pemilik dana investasi tidak terikat tersebut
dilakukan dalam perhitungan distribusi hasil usaha yang sering
disebut dengan profit distribution.
3. Pendapatan operasi lainnya
Selain sumber pendapatan dari kegiatan penyaluran dana
nasabah, pendapatan bank syariah juga dapat diperoleh dari Fee
jasa-jasa yang telah diberikan bank syariah. Bank syariah
mengenakan biaya administrasi terhadap pengelola dana yang
besarnya telah disepakati. Dana yang diperoleh dari biaya-biaya
ini sebagai pendapatan bank syariah yang tidak akan
didistribusikan sebagai bagi hasil. Pendapatan dari sumber
operasi lain ini dapat berupa imbalan atas pemberian jasa
keuangan dan jasa lainnya. Seperti imbalan atas jasa inkaso, jasa
transfer, jasa LC dan jasa lainnya.
4. Beban Operasi
Dalam prinsip Revenue Sharing bank syariah sebagai Mudharib
yaitu sebagai pengelola dana, sehingga beban-beban yang
dikeluarkan akan ditanggung oleh bank syariah sendiri, baik
beban untuk untuk kepentingan bank syariah atau untuk
pengelolaan dana nasabah. Dalam prinsip ini semua beban
ditanggung oleh bank syariah tanpa mengurangi pendapatan
yang akan didistribusikan kepada shahibul maal.
86 Pembiayaan Musyarakah dan Mudharabah

6.2.2 Mekanisme Bagi Hasil Profit and Loss Sharing


Dalam prinsip bagi hasil ini manajemen bank syariah dituntut untuk
membuat dua laporan laba rugi secara terpisah. Berikut ini akan
diterangkan mekanisme prinsip Profit and Loss Sharing dalam
perbankan syariah sesuai dengan gambar di atas.

Laporan hasil usaha mudharabah (bank sebagai mudharib)


Di sini bank sebagai mudharib yang dipercayakan oleh shahibul
maal untuk mengelola dana yang disimpan. Dalam laporannya akan
dihitung pendapatan dikurangi dengan seluruh biaya-biaya pe-
ngelolaan dana, keuntungan dari inilah yang akan didistribusikan
sebagai bagi hasil. Berikut adalah mekanismenya
1. Pendapatan operasi utama
Untuk pendapatan operasi utama tidak ada perbedaan dengan
prinsip Revenue Sharing, yaitu dari hasil penyaluran dana
melalui prinsip bagi hasil, prinsip jual-beli, dan prinsip ujrah.
2. Beban Mudharabah
Inilah yang membedakan prinsip Profit and Loss Sharing dengan
Revenue Sharing, beban-beban yang keluar selama pengelolaan
dan harus dirinci sedemikian rupa. Bank syariah harus me-
misahkan antara beban-beban yang dibebankan kepada bank
syariah dan beban-beban yang akan menjadi beban pengelolaan
dana Mudharabah. Shahibul maal harus mengetahui dengan
jelas beban-beban yang akan dipergunakan sebagai pengurang
pendapatan dari hasil penyaluran dana. Pendapatan yang akan
didistribusikan adalah pendapatan bersih setelah dikurangi
dengan beban-beban.
3. Laba/Rugi Mudharabah
Laba atau rugi akan diketahui setelah pendapatan yang diperoleh
dikurangi dengan seluruh beban-beban. Jika terjadi laba, maka
laba inilah yang akan dibagikan dengan pemilik modal (shahibul
maal).
Konsep Bagi Hasil 87

Laporan laba/rugi Bank Syariah (bank sebagai lembaga keuangan


syariah)
Dalam prinsip Profit Sharing, selain membuat laporan laba-rugi
Mudharabah yang akan disampaikan kepada pemilik modal, bank
juga dituntut untuk membuat laporan laba-rugi pertanggungjawaban
bank sebagai lembaga keuangan. Laporan laba-rugi yang dibuat
untuk nasabah tidaklah dapat digunakan sebagai laporan laba-rugi
bank sebagai lembaga keuangan. Data-data yang ada pada laporan
ini yaitu data-data untuk kepentingan bank syariah sendiri dalam
mengelola lembaga keuangan syariah, data beban-beban yang
dikeluarkan oleh bank syariah dan data-data yang diperhitungkan
dalam pembuatan laporan pengelolaan dana Mudharabah.
Mekanisme yang berlaku adalah sebagai berikut
1. Pendapatan bank sebagai Mudharib
Adalah pendapatan atas penyaluran dana yang akan menjadi
milik bank sendiri. Seperti pendapatan dari penyaluran dana dari
prinsip Wadi’ah.
2. Pendapatan operasi lainnya
Hampir sama dengan pendapatan dari operasi lain pada prinsip
Revenue Sharing.
3. Beban operasi
Merupakan seluruh beban-beban yang dikeluarkan bank syariah
sebagai lembaga keuangan syariah.

6.3 PERBEDAAN MENDASAR PROFIT AND LOSS


SHARING DAN REVENUE SHARING
Perbedaan mendasar yang membedakan antara kedua prinsip
tersebut terletak pada hal-hal berikut. Pertama, dalam prinsip profit
and Loss Sharing pendapatan yang akan didistribusikan adalah
pendapatan bersih setelah pengurangan total Cost terhadap total
revenue. Sedang dalam prinsip Revenue Sharing pendapatan yang
akan didistribusikan adalah pendapatan kotor dari penyaluran dana,
88 Pembiayaan Musyarakah dan Mudharabah

tanpa harus di-kalkulasi-kan terlebih dahulu dengan biaya-biaya


pengeluaran operasional usaha. Kedua, pada prinsip Profit and Loss
Sharing, biaya-biaya operasional akan dibeban ke dalam modal
usaha atau pendapatan usaha, artinya biaya-biaya akan ditanggung
oleh shahibul maal. Sedangkan dalam prinsip Revenue Sharing,
biaya-biaya akan ditanggung bank Syariah sebagai Mudharib, yaitu
pengelola modal. Ketiga, pada prinsip Profit and Loss Sharing,
pendistribusian pendapatan yang akan dibagikan adalah seluruh
pendapatan, baik pendapatan dari hasil investasi dana atau
pendapatan dari Fee atas jasa-jasa yang diberikan bank setelah
dikurangi seluruh biaya-biaya operasional. Sedangkan dalam prinsip
Revenue Sharing, pendapatan yang akan didistribusikan hanya
pendapatan dari penyaluran dana shahibul maal, sedangkan
pendapatan Fee atas jasa-jasa bank syariah merupakan pendapatan
murni bank sendiri. Dari pendapatan Fee inilah bank Syariah dapat
menutupi biaya-biaya operasional yang ditanggung bank syariah.

6.4 PENERAPAN PRINSIP REVENUE SHARING DAN


PROFIT AND LOSS SHARING DI PERBANKAN
SYARIAH SAAT INI
Sampai saat ini belum ada bank syariah yang menerapkan prinsip
Profit Sharing dalam pendistribusian hasil usaha. Setidaknya ada dua
faktor yang menyebabkan prinsip ini sulit untuk diterapkan. Pertama,
faktor internal dari perbankan syariah itu sendiri, yaitu ketidaksiapan
manajemen perbankan syariah untuk menerapkan prinsip ini. Dalam
prinsip Profit and Loss Sharing pendapatan hasil usaha yang
dibagikan adalah pendapatan bersih, yaitu laba kotor dikurangi
dengan beban-beban yang berkaitan dengan pengelolaan dana
nasabah. Dengan mekanisme seperti ini Bank Syariah dituntut untuk
lebih jujur dan transparan dalam menentukan beban-beban yang
akan ditanggung dalam pengelolaan dana nasabah. Dan hal ini akan
sangat menyulitkan dalam penerapannya, karena bank syariah harus
membuat dua laporan sekaligus yaitu laporan yang berkaitan dengan
Konsep Bagi Hasil 89

pengelolaan dana mudharabah dan laporan bank syariah sebagai


lembaga keuangan syariah yang mengelola dana dan kegiatan
lainnya. Faktor kedua adalah kesiapan dari masyarakat yang me-
nyimpan dananya di Bank Syariah. Pihak deposan harus siap
menerima bagian kerugian apabila dalam pengelolaan dana terjadi
bukan karena kelalaian Bank Syariah sehingga dana yang
diinvestasikan pun akan berkurang. Selain itu beban-beban
pengelolaan dana pun akan dibebankan pada dana mudharabah
yang berakibat kecilnya pendapatan yang akan didistribusikan. Jika
bagi hasil yang didistribusikan kecil minat masyarakat untuk
menabung di Bank Syariah pun akan menurun yang berakibat pada
Bank Syariah itu sendiri. Namun upaya untuk menerapkan prinsip in
harus terus di lakukan karena prinsip seperti inilah yang diterapkan
oleh Rasulullah SAW dalam melakukan perdagangan.
Untuk saat ini semua bank syariah di Indonesia masih meng-
gunakan prinsip Revenue Sharing. Penggunaan prinsip ini didasarkan
pada kenyataan bahwa:
1. Dana yang dilemparkan oleh bank ke dalam bentuk pembiayaan
adalah dana polling yang berasal dari dana titipan serta bagi hasil
sehingga sulit untuk menelusuri satu persatu sumber dana yang
dilemparkan ke pembiayaan
2. Perhitungan pendapatan dibagi dengan pendekatan ini lebih
mudah, khusus untuk pembiayaan. Dalam prinsip ini bank
syariah tidak perlu menentukan beban-beban terlebih dahulu
karena semua beban akan ditanggung oleh bank syariah sendiri.
Dengan ini bank syariah tidak memerlukan banyak petugas
untuk mengontrol biaya-biaya yang akan dikeluarkan nasabah.
3. Diasumsikan bahwa para nasabah belum terbiasa menerima
kondisi berbagi hasil dan berbagi resiko.
4. Pada prisip seperti ini kemungkinan bagi hasil yang akan
didistribusikan kepada nasabah akan lebih besar dari tingkat
suku bunga. Sehingga akan mempengaruhi minat para nasabah
untuk menabung di bank syariah. Karena kita tahu aset
90 Pembiayaan Musyarakah dan Mudharabah

perbankan syariah di Indonesia saat ini masih sangat kecil


dibanding dengan aset bank Konvensional. Dengan prinsip ini di
harapkan ke depannya dana nasabah akan masuk ke bank
syariah.
Namun prinsip Revenue Sharing juga mempunyai kelemahan,
yaitu jika pendapatan bank syariah rendah, maka bagian bank pun
akan sangat rendah karena harus menanggung biaya-biaya
pengelolaan dana, hal ini akan sangat membebani para pemegang
saham di bank syariah. Sedang penabung tidak akan merasakan
kerugian. Dengan kata lain secara tidak langsung bank telah men-
jamin nilai nominal investasi nasabah, karena pendapatan paling
rendah yang dialami oleh bank adalah nol dan tidak mungkin
negatif. Dan hal inilah yang menyebabkan sebagian kalangan yang
masih meragukan akan kesesuaian prinsip ini dengan nilai syariah.

6.5 KONSEP BAGI HASIL


Konsep bagi hasil ini sangat berbeda sekali dengan konsep bunga
yang diterapkan oleh sistem ekonomi konvensional. Dalam ekonomi
syariah, konsep bagi hasil dapat dijabarkan sebagai berikut.
1. Pemilik dana menanamkan dananya melalui institusi keuangan
yang bertindak sebagai pengelola dana.
2. Pengelola mengelola dana-dana tersebut dalam sistem yang
dikenal dengan sistem pool of fund (penghimpunan dana),
selanjutnya pengelola akan menginvestasikan dana-dana tersebut
ke dalam proyek atau usaha-usaha yang layak dan meng-
untungkan serta memenuhi semua aspek syariah.
3. Kedua belah pihak membuat kesepakatan (akad) yang berisi
ruang lingkup kerjasama, jumlah nominal dana, nisbah, dan
jangka waktu berlakunya kesepakatan tersebut.
Konsep Bagi Hasil 91

6.6 PERHITUNGAN BAGI HASIL SYARIAH


Metode penghitungan bagi hasil dalam ekonomi syariah secara
umum dapat dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
1. Menghitung saldo rata-rata harian (Daily Average) sumber dana
sesuai klasifikasi dana yang dimiliki.

Total Dana
DA 
n

Di mana,
DA = saldo rata-rata harian
N = waktu atau hari
2. Menghitung saldo rata-rata tertimbang (Weight Average) sumber
dana yang telah tersalurkan pada proyek atau usaha-usaha
lainnya.
WA = ∑(total dana x jumlah hari periode dana)
3. Menghitung distribusi pendapatan yang diterima dalam periode
tertentu.

WA
DP   TP
TWA

Di mana,
WA = saldo rata-rata tertimbang
TWA = total saldo rata-rata tertimbang
TP = total pendapatan periode tertentu
4. Membandingkan antara jumlah sumber dana dengan total dana
yang telah disalurkan.
92 Pembiayaan Musyarakah dan Mudharabah

5. Mengalokasikan total pendapatan kepada masing-masing


klasifikasi dana yang dimiliki sesuai dengan saldo rata-rata
tertimbang
6. Memperhatikan nisbah sesuai dengan kesepakatan yang
tercantum dalam kesepakatan (akad).
7. Mendistribusikan bagi hasil tersebut sesuai dengan nisbahnya
kepada pemilik dana sesuai dengan klasifikasi dana yang
ditanamkan.
Perhatikan perhitungan bagi hasil berikut:
Tabel Profit Bagi Hasil

Jika asumsi distribusi bagi hasil seperti di atas, dan saldo


Tabungan bapak A diasumsikan seperti di bawah ini:
Konsep Bagi Hasil 93

Saldo Hari Saldo Rata-Rata


634,061.97 1
634,061.97 2
634,061.97 3
634,061.97 4
634,061.97 5
634,061.97 6
634,061.97 7
634,061.97 8
634,061.97 9
634,061.97 10
634,061.97 11
634,061.97 12
634,061.97 13
724,061.97 14
724,061.97 15
724,061.97 16
424,061.97 17
424,061.97 18
424,061.97 19
424,061.97 20
424,061.97 21
424,061.97 22
324,061.97 23
324,061.97 24
324,061.97 25
324,061.97 26
242,061.97 27
242,000.00 28
242,000.00 29
14,981,673.19 29 516,609.42
NISBAH/ER 20 1.71
94 Pembiayaan Musyarakah dan Mudharabah

Saldo rata-rata x er x jumlah hari /360 = 516.609,42 x 1.708 /


12 bulan = 735,31
Maka, bagi hasil yang diperoleh bapak A adalah sebesar Rp.
735,31

-oo0oo-
BAB VII

MUSYARAKAH
DALAM
PERBANKAN SYARIAH

7.1 DEFINISI MUSYARAKAH


Musyarakah adalah akad kerjasama yang terjadi di antara para
pemilik modal (mitra musyarakah) untuk menggabungkan modal dan
melakukan usaha secara bersama dalam suatu kemitraan, dengan
nisbah pembagian hasil sesuai dengan kesepakatan, sedangkan
kerugian ditanggung secara proporsional sesuai dengan kontribusi
modal. Musyarakah adalah akad kerjasama antara dua pihak atau
lebih untuk memberikan suatu usaha tertentu di mana masing-masing
pihak memberikan kontribusi dana (atau amal/expertise) dengan
kesepakatan bahwa keuntungan dan risiko akan ditanggung bersama
sesuai dengan kesepakatan.
Musyarakah adalah akad kerjasama antara dua belah pihak
atau lebih untuk suatu usaha tertentu di mana masing-masing pihak
memberikan kontribusi dana dengan kesepakatan bahwa keuntungan
dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.
(Antonio, 2001 hlm 90).
96 Pembiayaan Musyarakah dan Mudharabah

7.2 PENGERTIAN SECARA BAHASA


Musyarakah secara bahasa diambil dari bahasa arab yang berarti
mencampur. Dalam hal ini mencampur satu modal dengan modal
yang lain sehingga tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Kata
syirkah dalam bahasa arab berasal dari kata syarika (fi’il madhi),
yashruku (fi’il mudhari’) syarikan/syirkatan/syarikatan (masdar/kata
dasar); artinya menjadi sekutu atau syarikat (kamus al Munawwir)
Menurut arti asli bahasa arab, syirkah berarti mencampurkan dua
bagian atau lebih sehingga tidak boleh dibedakan lagi satu bagian
dengan bagian lainnya.

7.3 PENGERTIAN SECARA FIQIH


Dalam kitabnya, as-Sailul Jarrar III: 246 dan 248, Imam Asy-Syaukani
menulis sebagai berikut, “(Syirkah syar’iyah) terwujud (terealisasi)
atas dasar sama-sama ridha di antara dua orang atau lebih, yang
masing-masing dari mereka mengeluarkan modal dalam ukuran yang
tertentu. Kemudian modal bersama itu dikelola untuk mendapatkan
keuntungan, dengan syarat masing-masing di antara mereka
mendapat keuntungan sesuai dengan besarnya saham yang
diserahkan kepada syirkah tersebut. Namun manakala mereka semua
sepakat dan ridha, keuntungannya dibagi rata antara mereka,
meskipun besarnya modal tidak sama, maka hal itu boleh dan sah,
walaupun saham sebagian mereka lebih sedikit sedang yang lain
lebih besar jumlahnya. Dalam kacamata syari’at, hal seperti ini tidak
mengapa, karena usaha bisnis itu yang terpenting didasarkan atas
ridha sama ridha, toleransi dan lapang dada.”
Adapun menurut makna syara’, syirkah adalah suatu akad
antara dua pihak atau lebih yang sepakat untuk melakukan kerja
dengan tujuan memperoleh keuntungan.
Musyarakah dal am Perbankan Syariah 97

7.4 DASAR HUKUM

7.4.1 Al-Qur’an
Ayat-ayat Al-Qur’an yang dapat dijadikan rujukan dasar akad
transaksi syarikah adalah :
”Jikalau saudara-saudara itu lebih dari seorang, maka mereka
berksekutu dalam sepertiga itu”. (QS. An-Nisa : 12)
”Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang
berkongsi itu sebagian mereka berbuat zalim kepada sebagian
lain kecuali orang yang beriman dan mengerjakan amal
shaleh”. (QS. Ash-Shad : 24)

7.4.2 Hadist
Hadist-hadist Rasul yang dapat dijadikan rujukan dasar akad transaksi
syarikah adalah :
”Dari hadist Qudsi yang diriwayatkan dari Abu Hurairah
bahwa Rasulullah saw telah bersabda, “Allah swt telah berkata
kepada saya; menyertai dua pihak yang sedang berkongsi
selama salah satu dari keduanya tidak mengkhianati yang lain,
seandainya berkhianat maka saya keluar dari penyertaan
tersebut”. (HR. Abu Daud)
”Rahmat Allah swt tercurahkan atas dua pihak yang sedang
berkongsi selama mereka tidak melakukan pengkhianatan,
manakala berkhianat maka bisnisnya akan tercela dan
keberkatanpun akan sirna dari padanya”. (HR. Abu Daud,
Baihaqi dan Al-Hakim)
98 Pembiayaan Musyarakah dan Mudharabah

7.5 RUKUN DAN SYARAT MUSYARAKAH

7.5.1 Rukun Musyarakah, antara lain


1. Ijab-kabul (sighah) adalah adanya kesepakatan antara kedua
belah pihak yang bertransaksi.
2. Dua pihak yang berakad (‘aqidani) dan memiliki kecakapan
melakukan pengelolaan harta
3. Objek aqad (mahal) yang disebut juga ma’qud alaihi, yang
mencakup modal atau pekerjaan
4. Nisbah bagi hasil

7.5.2 Syarat Musyarakah Menurut Hanafiah


a. Sesuatu yang bertalian dengan semua bentuk syirkah baik
dengan harta maupun yang lainnya. Dalam hal ini terdapat dua
syarat, yaitu:
 Yang berkenaan dengan benda yang diakadkan adalah harus
dapat diterima sebagai perwakilan.
 Yang berkenaan dengan keuntungan yaitu pembagian ke-
untungan yang jelas dan diketahui orang pihak-pihak yang
bersyirkah.
b. Sesuatu yang bertalian dengan syirkah mal (harta) dalam hal ini
terdapat dua perkara yang harus dipenuhi yaitu:
 Bahwa modal yang dijadikan objek akad syirkah adalah dari
alat pembayaran (nuqud).
 Yang dijadikan modal (harta pokok) ada ketika akad syirkah
dilakukan.

7.5.3 Syarat Musyarakah Menurut Malikiyah


1. Merdeka
2. Baligh
3. Pintar
Musyarakah dal am Perbankan Syariah 99

7.5.4 Berakhirnya Akad Musyarakah


1. Salah seorang mitra menghentikan akad
2. Salah seorang mitra meninggal atau hilang akal
3. Modal musyarakah hilang atau habis

7.5.5 Karakteristik Musyarakah


Para mitra (syarik) bersama-sama menyediakan dana untuk mendanai
suatu usaha tertentu dalam musyarakah, baik usaha yang sudah
berjalan maupun yang baru. Selanjutnya mitra dapat mengembalikan
dana tersebut dan bagi hasil yang telah disepakati nisbahnya secara
bertahap atau sekaligus kepada entitas (mitra lain).
Investasi musyarakah dapat diberikan dalam bentuk kas, setara
kas, atau aset nonkas, termasuk aset tidak berwujud, seperti lisensi
dan hak paten.
Karena setiap mitra tidak dapat menjamin dana mitra lainnya,
maka setiap mitra dapat meminta mitra lainnya untuk menyediakan
jaminan atas kelalaian atau kesalahan yang disengaja. Beberapa hal
yang menunjukkan adanya kesalahan yang disengaja ialah:
1. Pelanggaran terhadap akad antara lain penyalahgunaan dana
investasi, manipulasi biaya, dan pendapatan operasional; atau
2. Pelaksanaan yang tidak sesuai dengan prinsip syariah.
Jika tidak terdapat kesepakatan antara pihak yang bersengketa
maka kesalahan yang disengaja harus dibuktikan berdasarkan
keputusan institusi yang berwenang.
Pendapatan usaha musyarakah dibagi di antara para mitra
secara proporsional sesuai dengan dana yang disetorkan (baik berupa
kas maupun aset nonkas lainnya) atau sesuai nisbah yang disepakati
oleh para mitra. Sedangkan rugi dibebankan secara proporsional
sesuai dengan dana yang disetorkan (baik berupa kas maupun aset
nonkas lainnya).
100 Pembiayaan Musyarakah dan Mudharabah

Jika salah satu mitra memberikan kontribusi atau nilai lebih


dari mitra lainnya dalam akad musyarakah maka mitra tersebut dapat
memperoleh keuntungan lebih besar untuk dirinya. Bentuk ke-
untungan lebih tersebut dapat berupa pemberian porsi keuntungan
yang lebih besar dari porsi dananya atau bentuk tambahan ke-
untungan lainnya.
Porsi jumlah bagi hasil untuk para mitra ditentukan ber-
dasarkan nisbah yang disepakati dari pendapatan usaha yang
diperoleh selama periode akad bukan dari jumlah investasi yang
disalurkan.
Pengelola musyarakah mengadministrasikan transaksi usaha
yang terkait dengan investasi musyarakah yang dikelola dalam
pembukuan tersendiri.

7.5.6 Jenis–jenis Musyarakah


1. Musyarakah Pemilikan
Musyarakah pemilikan tercipta karena warisan, wasiat, atau
kondisi lainnya yang mengakibatkan pemilikan satu aset oleh
dua orang atau lebih. Dalam musyarakah ini, kepemilikan dua
orang atau lebih berbagi dalam sebuah aset nyata dan berbagi
pula dari keuntungan yang dihasilkan aset tersebut.
Untuk menjaga kelangsungan kerjasama, pengambilan ke-
putusan yang menyangkut harta bersama harus mendapat per-
setujuan dari semua mitra, dengan kata lain seorang mitra tidak
dapat bertindak dalam penggunaan harta bersama kecuali atas
izin mitra yang bersangkuatan.
Musyarakah pemilikan kadang bersifat ikhtiaryyah (sukarela)
atau jabariyyah (tidak sukarela), apabila harta bersama (warisan/
hibah/wasiat) dapat dibagi, namun para mitra memutuskan untuk
tetap memilikinya bersama, maka musyarakah pemilikan
tersebut bersifat ikhtiari (sukarela). Namun apabila barang
tersebut tidak dapat dibagi-bagi dan mereka terpaksa untuk
Musyarakah dal am Perbankan Syariah 101

memilikinya bersama maka musyarakah pemilikan tersebut


bersifat jabari (tidak sukarela)
2. Musyarakah Akad (kontrak)
Musyarakah akad tercipta dengan cara kesepakatan di mana dua
orang atau lebih setuju bahwa tiap oarang dari mereka
memberikan modal musyarakah. Mereka pun sepakat berbagi
keuntungan dan kerugian.
Musyarakah akad terbagi menjadi: al-‘inan, al-mufuwadhah, al-
a’maal, al-wujuh, dan al-mudharabah. Para ulama berbeda
pendapat tentang al-mudharabah, apakah ia termasuk jenis al-
musyarakah atau bukan. Beberapa ulama menganggap al-
mudharabah termasuk kategori al-musyarakah karena memenuhi
rukun dan syarat beberapa akad (kontrak) musyarakah. Adapun
ulama lain menganggap al-mudharabah tidak termasuk sebagai
al-musyarakah.
a) Syirkah al-‘Inan
Syirkah al-‘inan adalah kontrak antara dua orang atau lebih.
Setiap pihak memberikan suatu porsi dari keseluruhan dana
dan berpartisipasi dalam kerja. Kedua pihak berbagi dalam
keuntungan dan kerugian sebagaimana yang disepakati
antara mereka. Akan tetapi, porsi masing-masing pihak, baik
dalam dana maupun kerja atau bagi hasil, tidak harus sama
dan identik sesuai dengan kesepakatan mereka. Mayoritas
ulama membolehkan jenis al-musyarakah ini.
b) Syirkah Mufawadhah
Syirkah mufawadhah adalah kontrak kerja sama antara dua
orang atau lebih. Setiap pihak memberikan suatu porsi dari
keseluruhan dana dan berpartisipasi dalam kerja. Setiap
pihak membagi keuntungan dan kerugian secara sama.
Dengan demikian, syarat utama dari jenis al-musyarakah ini
adalah kesamaan dana yang diberikan, kerja, tanggung
jawab, dan beban utang dibagi oleh masing-masing pihak.
102 Pembiayaan Musyarakah dan Mudharabah

c) Syirkah A’maal
Al-musyarakah ini adalah kontrak kerja sama dua orang
seprofesi untuk menerima pekerjaan secara bersama dan
berbagi keuntungan dari pekerjaan itu. Misalnya, kerja sama
dua orang arsitek untuk menggarap sebuah proyek, atau
kerja sama dua orang penjahit untuk menerima pembuatan
order seragam sebuah kantor. Al-musyarakah ini kadang-
kadang disebut musyarakah abdan atau sanaa’i.
d) Syirkah Wujuh
Syirkah wujuh adalah kontrak antara dua orang atau lebih
yang memiliki reputasi dan prestise baik serta ahli dalam
bisnis. Mereka membeli barang secara kredit dari suatu
perusahaan dan menjual barang tersebut secara tunai.
Mereka berbagi keuntungan dan kerugian berdasarkan
jaminan kepada penyuplai yang disediakan oleh tiap mitra.
Jenis al-musyarakah ini tidak memerlukan modal karena
pembelian secara kredit berdasar pada jaminan tersebut.
Karenanya, kontrak ini pun lazim disebut sebagai
musyarakah piutang.
e) Syirkah al-Mudharabah
Atau juga sering disebut dengan istilah Syirkah Qiradh.
Syirkah mudharabah mengharuskan ada dua pihak, yaitu
pihak pemilik modal (shahibul maal) dan pihak pengelola
(mudhorib). Pihak pemodal menyerahkan modalnya dengan
akad wakalah kepada seseorang sebagai pengelola untuk
dikelola dan dikembangkan menjadi sebuah usaha yang
menghasilkan keuntungan (profit).
Keuntungan dari usaha akan dibagi sesuai dengan kesepakatan,
dan manakala terjadi kerugian bukan karena kesalahan manajemen
(kelalaian), maka kerugian ditanggung oleh pihak pemodal. Hal ini
karena hukum akad wakalah menetapkan hukum orang yang
menjadi wakil tidak bisa menanggung kerugian, sebagaimana
diriwayatkan oleh Ali R.A. yang berkata:
Musyarakah dal am Perbankan Syariah 103

“Pungutan itu tergantung pada kekayaan. Sedangkan laba


tergantung pada apa yang mereka sepakati bersama”
[Abdurrazak, dalam kitab Al-Jami’].
Secara manajemen, pihak pengelola wajib melakukan
pengelolaan secara baik, amanah dan profesional, sedangkan pihak
pemodal tidak diperbolehkan ikut mengelola/bekerja bersama
pengelolanya.
Pengelola berhak untuk memilih dan membentuk tim kerjanya
(teamwork) tanpa harus seizin pemodal, demikian pula dalam
pengambilan kebijakan dan langkah-langkah operasional
perusahaan.

7.6 MANFAAT AL-MUSYARAKAH


Terdapat banyak manfaat dari pembiayaan secara musyarakah ini, di
antaranya sebagai berikut:
1. Bank akan menikmati peningkatan dalam jumlah tertentu pada
saat keuntungan usaha nasabah meningkat.
2. Bank tidak berkewajiban membayar dalam jumlah tertentu
kepada nasabah pendanaan secara tetap, tetapi disesuaikan
dengan pendapatan/hasil usaha bank, sehingga bank tidak akan
pernah mengalami negative spread.
3. Pengembalian pokok pembiayan disesuaikan dengan cash
flow/arus kas usaha nasbah, sehingga tidak memberatkan
nasabah.
4. Bank akan lebih selektif dan hati-hati (prudent) mencari usaha
yang benar-benar halal, aman, dan menguntungkan. Hal ini
karena keuntungan yang riil dan benar-benar terjadi itulah yang
akan dibagikan.
5. Prinsip bagi hasil dalam mudharabah/musyarakah ini berbeda
dengan prinsip bunga tetap di mana bank akan menagih
penerima pembiayaan (nasabah) satu jumlah bunga tetap
berapapun keuntungan yang dihasilkan nasabah, bahkan
sekalipun merugi dan terjadi krisis ekonomi.
104 Pembiayaan Musyarakah dan Mudharabah

7.7 APLIKASI DALAM PERBANKAN


a. Pembiayaan Proyek
Al-musyarakah biasanya diaplikasikan untuk pembiayaan proyek
di mana nasabah dan bank sama-sama menyediakan dana untuk
membiayai proyek tersebut. Setelah proyek itu selesai, nasabah
mengembalikan dana tersebut bersama bagi hasil yang telah
disepakati untuk bank.
b. Modal Ventura
Pada lembaga keuangan khusus yang dibolehkan melakukan
investasi dalam kepemilikan perusahaan, al-musyarakah di-
terapkan dalam skema modal ventura. Penanaman modal
dilakukan untuk jangka waktu tertentu dan setelah itu bank
melakukan disvestasi atau menjual bagian sahamnya, baik secara
singkat maupun bertahap.

7.8 PENGAKUAN DAN PENGUKURAN


Akuntansi untuk mitra aktif dan mitra pasif dianggap sama karena
dalam ilustrasi ini pencatatan akuntansi untuk usaha musyarakah
dilakukan oleh pihak ketiga yang ditunjuk agar lebih mudah
diilustrasikan. Oleh karena pada hakikatnya jurnal yang dibuat oleh
pihak ketiga atau mitra aktif adalah sama. Perbedaannya jika
pencatatan dilakukan oleh mitra aktif, maka ia harus membuat akun
buku besar pembantu untuk memisahkan pencatatn dari transaksi
musyarakah dengan transaksi lainnya.

7.9 SYARAT PEMBIAYAAN MUSYARAKAH


Adapun syarat pembiayaan musyarakah adalah:
1. Sesuatu yang bertalian dengan semua bentuk syirkah baik
dengan harta maupun dengan yang lainnya. Dalam hal ini
terdapat dua syarat, yaitu:
Musyarakah dal am Perbankan Syariah 105

a. Yang berkenaan dengan benda yang diakadkan adalah harus


dapat diterima sebagai perwakilan.
b. Yang berkenaan dengan keuntungan, yaitu pembagian
keuntungan yang harus jelas dan dapat diketahui oleh ke
dua pihak.
2. Sesuatu yang bertalian dengan syirkah Al-maal (harta), dalam hal
ini ada dua syarat yang harus dipenuhi, yaitu:
a. Modal yang dijadikan objek akad adalah alat dari
pembayaran seperti dalam satuan rupiah.
b. Yang dijadikan modal (harta pokok) ada ketika akad
dilakukan, baik jumlahnya sama maupun berbeda.
3. Sesuatu yang bertalian dengan syarikat mufawadhah, bahwa
dalam mufawadhah disyaratkan:
a. Modal (pokok harta), harus sama.
b. Bagi yang ber-syirkah ahli untuk kafalah.
c. Bagi yang dijadikan objek akad disyaratkan syirkah umum,
yakni pada semua macam jual beli atau perdagangan.
4. Adapun syarat yang bertalian dengan syirkah inan sama dengan
syarat syirkah mufawadhah. (Hendi Suhendi, 2007 hlm 127)

7.10 KETENTUAN DASAR PEMBIAYAAN


MUSYARAKAH PADA LEMBAGA KEUANGAN
SYARIAH
Secara umum, aplikasi musyarakah dalam lembaga keuangan syariah
dapat digambarkan dalam skema berikut ini:
Ketentuan dasar mengenai sistem pembiayaan musyarakah
pada lembaga keuangan syariah tertuang dalam fatwa Dewan Syariah
Nasional No.08/DSN MUI/IV/2000. Adapun secara lengkapnya isi
fatwa tersebut adalah:
1. Pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak
untuk menunjukan kehendak mereka dalam mengadakan
kontrak (akad), dengan memperhatikan hal-hal berikut:
106 Pembiayaan Musyarakah dan Mudharabah

a.
Penawaran dan penerimaan harus secara eksplisit
menunjukan pada tujuan kontrak (akad).
b. Penerimaan dan penawaran dilakukan pada saat kontrak.
c. Akad dituangkan secara tertulis, melalui korespondensi, atau
dengan menggunakan cara-cara komunikasi modern.
2. Pihak-pihak yang berkontrak harus cakap hukum, dan
memperhatikan hal-hal berikut:
a. Kompeten dalam memberikan atau diberi kekuasaan
perwakilan.
b. Setiap mitra harus menyediakan dana dan pekerjaan, dan
setiap mitra melaksanakan kerja sebagai wakil.
c. Setiap mitra memiliki hak untuk mengatur aset musyarakah
dalam proses bisnis normal.
d. Setiap mitra memberi wewenang kepada mitra yang lain
untuk mengelola aset dan masing-masing dianggap telah
diberi wewenang untuk melakukan aktifitas musyarakah
dengan memperhatikan kepentingan mitranya, tanpa
melakukan kelalaian dan kesalahan yang disengaja.
e. Seorang mitra tidak diizinkan untuk mencairkan atau
menginfestasikan dana untuk kepentingan sendiri.
3. Objek akad (modal, kerja, keuntungan, kerugian)
a. Modal
a) Modal yang diberikan harus uang tunai, emas, perak,
atau yang nilainya sama.
b) Modal dapat terdiri dari aset perdagangan, seperti
barang barang, property, dan sebagainya. Jika modal
berbentuk aset, harus terlebih dahulu dinilai dengan
uang tunai dan disepakati oleh para mitra.
c) Para pihak tidak boleh meminjam, meminjamkan, me-
nyumbangkan, dan menghadiahkan modal musyarakah
kepada pihak lain, kecuali atas dasar kesepakatan.
d) Pada prinsipnya, dalam pembiayaan musyarakah tidak
ada jaminan, namun untuk menghindari terjadinya
penyimpangan, LKS dapat meminta jaminan.
Musyarakah dal am Perbankan Syariah 107

b. Kerja
a) Partisipasi para mitra dalam pekerjaan merupakan dasar
pelaksanaan musyarakah, tetapi kesamaan porsi kerja
bukanlah merupakan syarat. Seorang mitra boleh
melaksanakan kerja lebih banyak dari yang lainnya,
dalam hal ini boleh menuntut bagian keuntungan
tambahan bagi dirinya.
b) Setiap mitra melaksanakan kerja dalam musyarakah atas
nama pribadi dan wakil dari mitranya. Kedudukan
masing-masing dalam organisasi kerja harus dijelaskan
dalam kontrak.
c. Keuntungan
a) Keuntungan harus dikuantifikasi dengan jelas untuk
menghindarkan perbedaan dan sengketa pada waktu
alokasi keuntungan atau penghentian musyarakah.
b) Setiap keuntungan mitra harus dibagikan secara
proposional.
c) Atas dasar seluruh keuntungan dan tidak ada jumlah
yang ditentukan jadwal yang ditetapkan bagi seorang
mitra.
d) Seorang mitra boleh mengusulkan bahwa jika
keuntungan melebihi jumah tertentu, kelebihan dan
porsentase itu diberikan kepadanya.
e) Sistem pembagian keuntungan harus tertuang dengan
jelas dalam akad.
d. Kerugian harus dibagi antara para mitra secara proporsional
menurut saham masing-masing dalam modal.
4. Biaya operasional dan persengketaan
a. Biaya operasional dibebankan pada modal bersama.
b. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau
jika terjadi perselisihan di antara pihak, maka pe-
nyelesaiannya dilakukan melalui badan Arbitrase syariah
setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
108 Pembiayaan Musyarakah dan Mudharabah

7.11 STANDARISASI AKAD DALAM PEMBIAYAAN


MUSYARAKAH
Pada setiap permohonan pembiayaan musyarakah, bank ber-
ketentuan internal diwajibkan untuk menerangkan esensi dari
pembiayaan musyarakah serta kondisi penerapannya. Hal yang wajib
dijelaskan antara lain meliputi: esensi pembiayaan musyarakah
sebagai bentuk kerja sama investasi bank ke nasabah, definisi dan
terminologi, profit sharing atau Revenue sharing, keikutsertaan dalam
skema penjaminan, terms and conditions, dan tata cara perhitungan
bagi hasil.
Bank wajib meminta nasabah untuk mengisi formulir
permohonan pembiayaan musyarakah, dan pada formulir tersebut
wajib diinformasikan:
1. Usaha yang ditawarkan untuk dibiayai.
2. Jumlah kebutuhan dana investasi.
3. Jangka waktu investasi.
Dalam proses permohonan pembiayaan musyarakah, bank
wajib melakukan analisis mengenai:
1. Kelengkapan administrasi yang disyaratkan.
2. Aspek hukum.
3. Aspek personal.
4. Aspek usaha yang meliputi pengelolaan (manajemen), produksi,
pemasaran dan keuangan.
Bank harus menyampaikan tanggapan atas permohonan
dimaksud sebagai tanda adanya tahapan penawaran dan penerimaan.
Pada waktu penandatanganan akad antara nasabah dan bank pada
kontrak akad wajib diinformasikan:
1. Tanggal dan tempat melakukan akad.
2. Definisi dan esensi pembiayaan musyarakah.
3. Usaha yang dibiayai.
4. Posisi para nasabah dan bank adalah sebagai pemilik modal.
Musyarakah dal am Perbankan Syariah 109

5. Hak dan kewajiban bank dan para pihak pengelola.


6. Investasi yang ditanamkan, dijamin atau tidak.
7. Jumlah uang yang akan disetorkan/diinvestasikan oleh para
pihak.
8. Jangka waktu pembiayaan.
9. Pembagian keuntungan adalah sesuai nisbah bagi hasil yang
disepakati, sedangkan kerugian adalah proporsional sesuai
sharing modal masing-masing dan tidak berubah sepanjang
jangka waktu investasi yang disepakati.
10. Metode penghitungan: profit sharing atau revenue sharing.
11. Status penjaminan pembiayaan revenue sharing.
12. Rumus perhitungan dan faktor-faktor yang mempengaruhi nilai
pendapatan yang akan dibagi.
13. Contoh perhitungan bagi hasil.
14. Tata cara pembayaran baik penarikan maupun pengembalian
dana.
15. Kondisi-kondisi tertentu yang akan memengaruhi keberadaan
investasi tersebut, seperti:
a. Biaya pembuatan akad seperti biaya notaris dan pihak yang
menanggung.
b. Biaya operasional menjadi beban modal bersama.
c. Para pihak dilarang mencairkan dana modal untuk
kepentingan sendiri maupun pihak ketiga.
d. Pengelolaan harus tunduk pada hukum syariah maupun
hukum positif yang berlaku.
Bank dan para pihak wajib menyetorkan dana sebesar nominal
yang ditulis dalam formulir permohonan yang dimaksud, sebagai
bukti investasi tunai bukan utang serta menegaskan jumlah investasi
yang sesuai dengan proporsi yang disepakati. Dengan asumsi bank
adalah sebagai sleeping partner, maka bank wajib melakukan
pengawasan atas pengelolaan usaha dimaksud.
Bank wajib meminta pengelola untuk melaporkan angka basis
bagi hasil berdasarkan laporan keuangan yang tervalidasi dengan
110 Pembiayaan Musyarakah dan Mudharabah

baik, termasuk penentuan komponen biaya yang mengacu pada


standar yang baku, terutama untuk skema profit and loss sharing,
untuk menghindari ketidakpastian dalam kontrak yang berpotensi
merugikan salah satu pihak, bank wajib memiliki standar prosedur
untuk menetapkan tindakan yang diambil dalam rangka rescheduling
kewajiban yang belum terselesaikan, dalam hal pembiayaan bersifat
revenue sharing. (Ascarya, 2007 hlm 234).

7.12 PENETAPAN PROFITABILITAS PADA


PEMBIAYAAN MUSYARAKAH
Prinsip musyarakah dalam sistem perbankan syariah dijalankan
berdasarkan partisipasi antara pihak bank dengan pencari biaya
untuk diberikan dalam bentuk proyek usaha, dan partisipasi ini
dijalankan berdasarkan sistem bagi hasil, baik dalam keuntungan
maupun kerugian. Adapun syarat yang berkenaan dengan kontrak
musyarakah didasarkan kesepakatan yang dibicarakan antara kedua
belah pihak. Umumnya, pihak bank menyerahkan modal usaha dan
menyerahkan manajemen usaha kepada partner.
Musyarakah yang dipahami dalam bank Islam merupakan
sebuah mekanisme kerja (akumulasi antara pekerjaan dan modal)
yang memberi manfaat kepada masyarakat luas dalam produksi
barang maupun pelayanan terhadap kebutuhan masyarakat. Kontrak
musyarakah dapat digunakan dalam berbagai macam lapangan usaha
yang indikasinya bermuara untuk menghasilkan keuntungan (profit).
(Abdullah Saeed, 2004 hlm 112).
Bank Islam umumnya tidak sama dengan menjalankan metode
bagi hasil (frofit and loss sharing) dari proyek mereka berdasarkan
pada pembiayaan kontrak musyarakah. Prinsip bagi hasil secara luas
dilaksanakan tergantung pada peranan partner dalam mengelola
proyek usaha musyarakah, konstribusi modal diberikan dari kedua
belah pihak yaitu partner dan bank. Aplikasi dari pembiayaan
musyarakah menawarkan pembagian keuntungan sebagai berikut:
Musyarakah dal am Perbankan Syariah 111

1. Menentukan tingkat persentase partner berdasarkan usaha dalam


pembelian, penjualan, penyimpanan, dan seluruh tangguhan
yang berkaitan dengan musyarakah.
2. Menetukan tingkat persentase bagi bank berdasarkan peng-
awasan dan manajemennya terhadap proyek musyarakah.
3. Menentukan tingkat persentase keuntungan yang akan diterima
kedua belah pihak berdasarkan ratio perbandingan kontibusi
modal yang disertakan dalam kontrak musyarakah. (Abdullah
Saeed, 2004 hlm 122).
Musyarakah sebagai akad antara dua pemilik modal untuk
menyatukan modalnya pada usaha tertentu, sedangkan pada
pelaksanaannya bisa ditunjuk salah satu dari mereka. Implementasi
akad musyarakah ini oleh bank syariah diterapkan pada pembiayaan
usaha atau proyek (project financing) yang dibiayai oleh lembaga
keuangan yang jumlahnya tidak 100%, sedangkan selebihnya oleh
nasabah. Di samping itu juga diterapkan pada sindikasi antar
lembaga keuangan.
Pembiayaan pada perbankan syariah yang didasarkan pada
akad bagi hasil, menempatkan bank sebagai penyandang dana.
Untuk itu bank berhak atas kontraprestasi berupa bagi hasil sebesar
nisbah terhadap pendapatan atau keuntungan yang diperoleh oleh
pemilik usaha (mudharib). Sedangkan apabila bank hanya bertindak
sebagai penghubung antara pengusaha dengan nasabah, maka ia
berhak atas kontraprestasi berupa fee.
Adapun metode penghitungan bagi hasil dibedakan menjadi
tiga cara yaitu:
1. Menggunakan metode profit and loss sharing, yaitu para pihak
akan memperoleh bagian hasil sebesar nisbah yang telah
disepakati dikalikan besarnya keuntungan (profit) yang diperoleh
oleh pengusaha (mudharib), sedangkan apabila terjadi kerugian
ditanggung bersama sebanding dengan kontribusi masing-masing
pihak.
112 Pembiayaan Musyarakah dan Mudharabah

2. Menggunakan metode profit sharing, artinya para pihak


mendapatkan bagian hasil sebesar nisbah dikalikan dengan
perolehan keuntungan yang didapatkan oleh pengusaha
(mudharib), sedangkan apabila terjadi kerugian financial akan
ditanggung oleh pemilik dana (shahibul maal).
3. Menggunakan metode revenue sharing, yaitu para pihak
mendapatkan bagian hasil sebesar nisbah dikalikan dengan
besarnya pendapatan (revenue) yang diperoleh oleh pemilik
usaha.
Dalam praktiknya metode provit and loss sharing dipakai
untuk menghitung bagi hasil pada pembiayaan musyarakah,
kemudian metode profit sharing dipakai untuk menghitung bagi hasil
dalam pembiayaan mudharabah, sedangkan metode revenue sharing
dipakai untuk menghitung bagi hasil untuk nasabah deposan yang
menyimpan dananya di bank syariah dengan skema tabungan
mudharabah atau deposito mudharabah. (Abdul Gofur Ansori, 2008
hlm 138).
Dalam pembiayaan musyarakah, kontribusi modal berdasarkan
dari bank dan partner. Pihak bank mengawasi bagaimana usaha
musyarakah dijalankan, sehingga bank memastikan menerima
pengembalian investasi awal yang diberikan beserta keuntungan
yang diperoleh. Bank juga meminta sebagai garansi yang dijadikan
untuk melindungi kepentingannya dalam usaha tersebut, dan dengan
garansi ini kelihatannya bank berusaha melempar segala risiko usaha
musyarakah kepada nasabah.

-oo0oo-
BAB VIII

MUDHARABAH
DALAM
PERBANKAN SYARIAH

8.1 PENGERTIAN MUDHARABAH


Kata Mudharabah secara etimologi berasal dari kata darb. Dalam
bahasa Arab, kata ini termasuk di antara kata yang mempunyai
banyak arti. Di antaranya memukul, berdetak, mengalir, berenang,
bergabung, menghindar berubah, mencampur, berjalan, dan lain
sebagainya (al-Wasit, 1972). Perubahan makna tersebut bergantung
pada kata yang mengikutinya dan konteks yang membentuknya.
Menurut terminologis, mudharabah diungkap secara ber-
macam-macam oleh para ulama madzhab. Di antaranya menurut
madzhab Hanafi, “suatu perjanjian untuk berkongsi di dalam
keuntungan dengan modal dari salah satu pihak dan kerja (usaha)
dari pihak lain (Abidin, 1987 hlm 483).”Sedangkan madzhab Maliki
menamainya sebagai penyerahan uang di muka oleh pemilik modal
dalam jumlah uang yang ditentukan kepada seorang yang akan
menjalankan usaha dengan uang itu dengan imbalan sebagian dari
keuntungannya (Al-Dasuqi, 1989 hlm 63).
Madzhab Syafi’i mendefinisikan bahwa pemilik modal
menyerahkan sejumlah uang kepada pengusaha untuk dijalankan
114 Pembiayaan Musyarakah dan Mudharabah

dalam suatu usaha dagang dengan keuntungan menjadi milik


bersama antara keduanya (Al-Nawawi; 289). Sedangkan madzhab
Hambali menyatakan sebagai penyerahan suatu barang atau
sejenisnya dalam jumlah yang jelas dan tertentu kepada orang yang
mengusahakannya dengan mendapatkan bagian tertentu dari
keuntungannya (Al-Bahuti; 509).
Mudharabah adalah akad antara pihak pemilik modal (shahibul
mal) dengan pengelola (mudharib) untuk memperoleh pendapatan
atau keuntungan. Pendapatan atau keuntungan tersebut dibagi ber-
dasarkan nisbah yang telah disepakati di awal akad (Wirdyaningsih,
2005 hlm 130).
Mudharabah adalah akad yang telah dikenal oleh umat muslim
sejak zaman Nabi, bahkan telah dipraktikkan oleh bangsa Arab
sebelum turunnya Islam. Ketika Nabi Muhammad SAW berprofesi
sebagai pedagang (Karim, 2004 hlm 180), ia melakukan akad
mudharabah dengan Khadijah. Dengan demikian, ditinjau dari segi
hukum Islam, maka praktik mudharabah ini dibolehkan baik
menurut Al Qur’an, Sunnah maupun Ijma’.
Dalam praktik mudharabah antara Khadijah dengan nabi, saat
itu Khadijah mempercayakan barang dagangannya untuk dijual ke
nabi Muhammad SAW ke luar negeri. Dalam kasus ini Khadijah
berperan sebagai pemilik modal (shahib al-māl) sedangkan nabi
Muhammad SAW berperan sebagai pelaksana usaha (mudharib)
(Sabbiq).
Al Qur’an membolehkan Mudharabah ini dengan mengambil
dasar QS. Al Muzammil ayat 20 : “…..dan orang-orang yang berjalan
di muka bumi mencari sebagian karunia Allah SWT“. Dalam ayat
tersebut terdapat kata yadribun yang asal katanya sama dengan
mudharabah, yakni dharaba yang berarti mencari pekerjaan atau
menjalankan usaha.
Juga diriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa Sayyidina Abbas bin
Abdul Mutholib jika memberikan dana kepada mitranya secara
Mudharabah dal am Perbankan Syariah 115

mudharabah ia mensyaratkan supaya dananya tidak dibawa untuk


mengarungi lautan, menuruni lembah yang berbahaya, atau membeli
ternak. Jika menyalahi aturan tersebut, yang berhutang bertanggung
jawab atas dana tersebut. Disampaikannya syarat-syarat tersebut
kepada Rasullah SAW dan Rasulullah SAW dan Rasulullah pun
membolehkannya. (HR. Tabrani) (Antonio, 2001 hlm 96).
Dari Shalih bin Shuhaib, R.A. bahwa Rasulullah SAW
bersabda:
“Tiga hal yang di dalamnya terdapat keberkahan, yaitu: jual
beli secara tangguh, muqaradhah (mudharabah), serta
mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah
tangga dan bukan untuk dijual” (HR. Ibnu Majjah No. 2280,
kitab at-Tijarah) (Antonio, 2001 hlm 96).
Menurut Antonio, mudharabah berasal dari kata dharib, berarti
memukul atau berjalan. Pengertian memukul atau berjalan ini lebih
tepatnya adalah proses seseorang memukulkan kakinya dalam
perjalanan usahanya, secara teknis, al-mudharabah adalah akad
kerjasama usaha antara dua pihak di mana pihak pertama
menyediakan 100% modal, sedangkan pihak lainnya menjadi
pengelola. Keuntungan usaha secara mudharabah dibagi menurut
kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak. Sedangkan apabila rugi
ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat
kelalaian pengelola, seandainya kerugian tersebut akibat kecurangan
atau kelalaian pengelola, maka pengelola harus bertanggungjawab
atas kerugian tersebut (Antonio, 2001 hlm 95).
Sudarsono mengatakan juga bahwa mudharabah berasal dari
kata adhdharbu fi asdhi, yaitu bepergian untuk urusan dagang.
Disebut juga qiradh yang berasal dari kata al-qardhu yang berarti
alqoth’u (potongan), karena pemilik memotong sebagian hartanya
untuk diperdagangkan dan memperoleh sebagian keuntungan.
Secara teknis mudharabah adalah akad kerjasama usaha antara dua
pihak di mana pihak pertama (shahibul maal) menyediakan seluruh
116 Pembiayaan Musyarakah dan Mudharabah

modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola. Keuntungan


usaha secara mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang
dituangkan dalam kontrak, sedangkan apabila rugi ditanggung oleh
pemilik modal, selama kerugian itu akibat si pengelola, si pengelola
harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut.

8.2 LANDASAN SYARIAH


Secara Umum, landasan dasar syariah Al-Mudharabah lebih men-
cerminkan Anjuran untuk melaksanakan usaha. Hal ini tampak
dalam ayat-ayat dan hadist berikut ini:

8.2.1 Al-Qur’an
”dan dari orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari
sebagian karunia Allah SWT (Al-Muzzammil: 20)
Yang menjadi wajhud-dilalah atau argumen dari ayat di atas
adalah yang berarti melakukan suatu perjalanan usaha.
“apabila telah ditunaikan shalat maka bertebaranlah kamu di
muka bumi dan carilah karunia Allah SWT… (Al-Jumu’ah 10)

8.2.2 Al-Hadist
“Dari Shalih bin Suhaib RA bahwa Rasulullah Bersabda: tiga
hal yang di dalamnya terdapat kebaikan: jual-beli secara
tangguh, Muqaradhah (Mudaharabah), dan mencampur
Gandum dengan Gandum untuk keperluan rumah bukan
untuk dijual”

8.2.3 Ijma’
Imam Zailai telah menyatakan bahwa para sahabat telah ber-
konsensus terhadap legitimasi pengolahan harta yatim secara
mudharabah. Kesepakatan para sahabat ini sejalan dengan spirit
hadist yang dikutip Abu Ubaid.
Mudharabah dal am Perbankan Syariah 117

8.3 RUKUN DAN SYARAT MUDHARABAH


Sebagaimana akad lain dalam syariat Islam, akad mudharabah atau
qirad mejadi sah, maka harus memenuhi rukun dan syarat
mudharabah. Menurut mahzab Hanafi, apabila rukun sudah
terpenuhi tetapi syarat tidak dipenuhi maka rukun menjadi tidak
lengkap sehingga akad tersebut menjadi fasid (rusak).
Sedangkan rukun dalam mudharabah berdasarkan Jumhur
Ulama ada 3 yaitu; dua orang yang melakukan akad (al-aqidani),
modal (ma’qud alaih), dan shighat (ijab dan qabul). Ulama syafi’iyah
lebih memerinci lagi menjadi enam rukun (Suhendi, 2002 hlm 139);
1. Pemilik modal (shohibul mal)
2. Pelaksana usaha (mudharib/pengusaha)
3. Akad dari kedua belah pihak (Ijab dan kabul)
4. Objek mudharabah (pokok atau modal)
5. Usaha (pekerjaan pengelolaan modal)
6. Nisbah keuntungan
Sedangkan menurut ulama Hanafiyah berpendapat bahwa yang
menjadi rukun akad mudharabah adalah Ijab dan Qabul saja,
sedangkan sisa rukun-rukun yang disebutkan Jumhur Ulama itu,
sebagai syarat akad mudharabah.
Adapun syarat-syarat mudharabah berhubungan dengan pelaku
mudharabah (al-aqidani), modal dan akad. Bagi pemilik modal dan
pengusaha harus cakap bertindak hukum dan cakap untuk menjadi
wakil.
Syarat dalam hal modal adalah harus berbentuk uang, dan jelas
jumlahnya. Juga disyaratkan harus ada, tunai, bukan dalam bentuk
utang, dan harus diberikan kepada mudharib. Oleh karenanya jika
modal itu berbentuk barang, menurut Ulama Fiqh tidak dibolehkan,
karena sulit untuk menentukan keuntungannya.
118 Pembiayaan Musyarakah dan Mudharabah

Yang berhubungan dengan laba/keuntungan disyaratkan


bahwa pembagian laba harus memiliki ukuran yang jelas dan laba
harus berupa bagian yang umum (masyhur) (Syafe’i. 2001 hlm 228).
Adapun syarat-syarat mudharabah, sesuai dengan rukun yang
dikemukakan jumhur ulama di atas adalah:
a. Yang terkait dengan orang yang melakukan akad, harus orang
yang mengerti hukum dan cakap diangkat sebagai wakil, karena
pada satu sisi posisi orang yang akan mengelola modal adalah
wakil dari pemilik modal. Itulah sebabnya, syarat–syarat seorang
wakil juga berlaku bagi pengelola modal dalam akad
mudharabah.
b. Yang terkait dengan modal, disyaratkan: (1) berbentuk uang, (2)
jelas jumlahnya, (3) tunai, (4) diserahkan sepenuhnya kepada
pedagang/pengelola modal. Oleh sebab itu, jika modal itu
berbentuk barang, menurut ulama fiqh tidak dibolehkan, karena
sulit untuk menentukan keuntungannya.
c. Yang terkait dengan keuntungan, disyaratkan bahwa pembagian
keuntungan harus jelas dan bagian masing-masing diambilkan
dari keuntungan dagang itu, seperti setengah, sepertiga, atau
seperempat. Apabila pembagian keuntungan tidak jelas, menurut
ulama Hanafiyah, akad itu fasid (rusak).

8.4 JENIS-JENIS MUDHARABAH


Secara umum, mudharabah dibagi menjadi dua yaitu mudharabah
mutlaqah (Unrestricted Investment Account) dan mudharabah
muqoyyadhah (Restricted Investment Account) (Karim, 2004 hlm
188).

8.4.1 Mudharabah Mutlaqah (bebas)


Mudharabah Mutlaqah atau disebut dengan (Unrestricted Investment
Account) adalah akad kerja antara dua orang atau lebih, atau antara
shahibul maal selaku investor dengan mudharib selaku pengusaha
Mudharabah dal am Perbankan Syariah 119

yang berlaku secara luas. Atau dengan kata lain pengelola


(mudharib) mendapatkan hak keleluasaan (disrectionary right) dalam
pengelolaan dana, jenis usaha, daerah bisnis, waktu usaha, maupun
yang lain.

8.4.2 Mudharabah Muqoyyadah (terikat)


Disebut juga dengan istilah (Restricted Investment Account) yaitu
kerjasama dua orang atau lebih atau antara shahibul maal selaku
investor dengan pengusaha atau mudharib, investor memberikan
batasan tertentu baik dalam hal jenis usaha yang akan dibiayai, jenis
instrumen, resiko, maupun pembatasan lain yang serupa.

8.5 PENSYARIATAN MUDHARABAH


Dalam kitabnya al-Ijma’ hal. 124, Ibnul Mundzir menulis, “Para
ulama’ sepakat atas bolehnya melakukan qiradh, pemberian modal
untuk berdagang dengan memperoleh bagian laba dalam bentuk
Dinar dan Dirham. Mereka juga sepakat bahwa si pengelola modal
boleh memberi syarat perolehan sepertiga atau separuh dari laba,
atau jumlah yang telah disepakati mereka berdua, setelah
sebelumnya segala sesuatunya sudah menjadi clear, jelas.”
Bentuk kerjasama model ini sudah pernah dipraktikkan oleh
para sahabat Rasulullah SAW. Dari Zaid bin Aslam dari bapaknya
bahwa ia pernah bercerita, “Dua anak Umar bin Khattab RA,
Abdullah dan Ubaidullah keluar pergi bersama pasukan menuju
negeri Irak. Tatkala mereka kembali dari sana, mereka melewati Abu
Musa al-Asy’ari yang sedang menjabat sebagai Amir, gubernur di
Bashrah. Setelah ia mengucapkan selamat datang dan
menyambutnya, kemudian berkata kepada mereka berdua, “Kalau
saya tetapkan suatu urusan untuk kalian yang sangat bermanfa’at bagi
kalian, tentu aku mampu menetapkannya.” Kemudian ia
melanjutkan, “Baik, di sini ada sebagian harta kekayaan Allah. Saya
bermaksud hendak mengirimnya (melalui kalian) kepada Amirul
Mukminin, yaitu saya pinjamkan kepada kalian berdua, lalu (boleh)
120 Pembiayaan Musyarakah dan Mudharabah

kalian belikan barang dagangan dari Irak ini, kemudian dijual di


Madinah, lalu modal pokoknya kalian serahkan kepada Amirul
Mukminin, sedangkan labanya untuk kalian berdua.” Mereka berdua
menjawab, “Kami ingin melaksanakannya.” Setelah harta negara itu
diserahkan kepada keduanya, kemudian ia menulis sepucuk surat
kepada Amirul Mukminin Umar bin Khattab agar menerima harta itu
dari mereka berdua. Tatkala mereka tiba (di Madinah), maka mereka
mendapatkan keuntungan. Kemudian ketika keduanya menyerahkan
harta negara itu kepada Umar, maka Umar bertanya kepada mereka,
“Apakah setiap pasukan mendapatkan pinjaman seperti yang
dipinjamkan kepada kalian berdua?” Jawab mereka, “Tidak.”
Kemudian Umar bin Khattab menyatakan, “Karena dua anak Amirul
Mukminin, maka ia (Abu Musa) telah meminjamkan harta negara
kepada kalian berdua! Serahkanlah kepada negara modal dan
keuntungannya!” Adapun Abdullah diam membisu, sedangkan
Ubaidullah, “Wahai Amirul Mukminin, tidak sepatutnya engkau
menetapkan seperti ini? (Karena) andaikata modal ini berkurang atau
musnah, sudah barang tentu kamilah yang bertanggung jawab untuk
menggantinya.” Kemudian Umar menyatakan, “Kalian harus
mengembalikan seluruhnya!” Kemudian Abdullah diam seribu
bahasa, lalu Ubaidullah mengulangi pernyataannya. Maka seorang
laki-laki yang termasuk rekan dekat Umar berkata, “Wahai Amirul
Mukminin, alangkah baiknya kalau kau jadikan modal itu sebagai
qiradh.” Kemudian Umar menjawab, “Kalau begitu, kujadikan modal
itu sebagai qiradh.” Kemudian Umar mengambil modalnya dan
separuh dari keuntungannya. Sedangkan Abdullah dan Ubaidullah,
dua anak Umar bin Khattab mendapatkan separuh dari keuntungan.”
(Shahih: Irwa-ul Ghalil V: 291, Muwaththa’ Imam Malik halaman
479 No: 1385 dan Baihaqi VI hlm 110).

8.6 SKEMA MUDHARABAH


Dalam kesepakatan akad mudharabah ditentukan modal yang akan
digunakan dalam kerja sama usaha. Jumlah dana pembiayaan harus
Mudharabah dal am Perbankan Syariah 121

dinyatakan dengan jelas dalam bentuk cash, bukan piutang. Dalam


praktiknya modal yang disepakati diberikan kepada mudharib
melalui rekening nasabah, dan nasabah sewaktu-waktu bisa
mengambil dana tersebut.
Dalam pembiayaan di perbankan syariah, bank biasa meng-
gunakan mudharabah jenis muqayyadah, artinya bank menentukan
penggunaan dana tersebut dengan sangat ketat, menyediakan
pembiayaan untuk jenis usaha tertentu, dan dalam jangka waktu
tertentu. Namun bank tidak mencampuri dari sisi manajemen.

8.7 MANAJEMEN
Bank tidak ikut serta dalam manajemen, tetapi bank menentukan
syarat yang ketat dalam akad. Mudharib menjalankan mudharabah
dan mengatur segala keperluan menyangkut pembelian,
penyimpanan, pemasaran, dan penjualan barang. Mudharib
bertanggung jawab atas segala kerugian atau biaya yang diakibatkan
oleh suatu kesalahan atas spesifikasi karena bank tidak akan
menanggung segala kerugian semacam ini.

8.8 JANGKA WAKTU


Jangka waktu yang digunakan dalam kontrak mudharabah umumnya
ditetapkan dalam kontrak berdasarkan kesepakatan antara nasabah
dengan bank, karena kontrak mudharabah juga umumnya digunakan
untuk tujuan dagang jangka pendek.

8.9 JAMINAN DALAM MUDHARABAH


Dalam praktik perbankan di Indonesia, dalam pembiayaan
mudharabah bank meminta bukti kepemilikan jaminan kepada
nasabah. Bedasarkan fatwa DSN-MUI, Walaupun pada prinsipnya
dalam pembiayaan mudharabah tidak ada jaminan, namun agar
mudharib tidak melakukan penyimpangan, LKS dapat meminta
jaminan dari mudharib atau pihak ketiga. Jaminan ini hanya dapat
122 Pembiayaan Musyarakah dan Mudharabah

dicairkan apabila mudharib terbukti melakukan pelanggaran


terhadap hal-hal yang telah disepakati bersama dalam akad.

8.10 KEUNTUNGAN DAN KERUGIAN


MUDHARABAH
Keuntungan dari hasil usaha disepakati untuk dibagi antara mudharib
dan shohibul maal. Misalnya, Bank Muamalat Indonesia (BMI)
sebagai Shahibul Mal (pemodal) mendapat share keuntungan sebesar
65% dan nasabah sebagai mudharib mendapat keuntungan sebesar
35% (Sjahdeini, 1999 hlm 54).
Apabila usaha tersebut menderita kerugian, pertama-tama
harus dikaji terlebih dahulu penyebab dari kerugian tersebut. Apabila
kerugian itu bukan kelalaian dari mudharib, maka bank menanggung
kerugian tersebut sebatas modalnya. Namun apabila kerugian
disebabkan oleh kelalaian mudharib, maka mudharib harus
menanggung segala kerugian tersebut.

8.11 PEMBIAYAAN MUDHARABAH


Dalam pembiayaan Bank Syariah, mudharabah merupakan suatu
bentuk kerjasama usaha yang terjadi dengan satu pihak sebagai
penyedia modal sepenuhnya dan pihak lainnya sebagai pengelola
agar keduanya berbagi keuntungan menurut kesepakatan bersama
dengan kesanggupan untuk menanggung resiko. Bagian keuntungan
yang disepakati itu harus berbentuk prosentase (nisbah) dan yang
berasal dari kesepakatan kedua belah pihak. Akan tetapi jika terjadi
kerugian yang ditimbulkan dari resiko bisnis dan bukan gara-gara
kelalaian pengusaha, maka pemilik modal akan menanggung
kerugian modal itu seluruhnya (100 %) dan pengusaha terkena
kerugian dari kehilangan seluruh tenaga dan waktunya atau 0 %
modal. Pembagian kerugian ini didasarkan pada kemampuan
menangung kerugian masing-masing yang tidak sama.
Mudharabah dal am Perbankan Syariah 123

Pada konsepnya, mudharabah menggunakan prinsip bagi


untung rugi yang dianggap merupakan konsekuensi dari adanya
ketidakpastian dalam kontrak investasi. Akan tetapi, menurut
Abdullah Saeed, pada kenyataannya bank Islam (bank Syariah, istilah
yang digunakan di Indonesia) hampir menghilangkan karakter
ketidaktentuan hasil usaha dalam kontrak mudharabah, melalui
berbagai pertimbangan (Saeed, 2003 hlm105).
Praktik kontrak mudharabah hampir sama dengan bisnis
berisiko rendah atau bisnis yang tidak berisiko. Oleh karenanya
penerapan transaksi mudharabah dalam perbankan Islam dinilai oleh
Timur Kuran (2004) terdorong untuk menggunakan “bunga yang
disamarkan (thinly disguised interest)” atau dengan kata lain bisa
disebut dengan bunga yang direkayasa.
Perhitungan nisbah bagi hasil sangat dipengaruhi oleh tingkat
risiko yang mungkin terjadi. Semakin tinggi tingkat resikonya, akan
semakin besar nisbah bagi hasil dan sebaliknya. Oleh karenanya
pengelola BMT harus selektif dalam memilih usaha yang akan
dibiayai. Biasanya pembiayaan mudharabah dapat dijalankan untuk
proyek-proyek yang sudah pasti.

8.12 PEMBIAYAAN MUDHARABAH DALAM


PRAKTIK PERBANKAN SYARIAH
Mudharabah sudah tidak asing lagi dalam perbankan syariah. Ini
merupakan akad yang ada di bank syariah baik dalam penghimpunan
dana dari nasabah ataupun penyaluran dana atau pembiayaan
kepada masyarakat. Dalam hal pembiayaan, mudharabah hanya
diberikan untuk pembiayaan atas usaha yang produktif.
Pengertian pembiayaan mudharabah menurut penjelasan UU
No. 21 tahun 2008 adalah akad kerja sama suatu usaha antara pihak
pertama (malik, shohibul mal, atau Bank Syariah) yang menyediakan
seluruh modal, dan pihak kedua (amil, mudharib, atau nasabah) yang
bertindak selaku pengelola dana dengan membagi keuntungan usaha
124 Pembiayaan Musyarakah dan Mudharabah

sesuai dengan kesepakatan yang dituangkan dalam akad, sedangkan


kerugian ditanggung sepenuhnya oleh Bank Syariah, kecuali jika
pihak kedua melakukan kesalahan yang disengaja, lalai atau
menyalahi perjanjian.
Sedangkan Bank Indonesia dalam Statistik Perbankan Syariah
menyatakan bahwa akad mudharabah adalah Perjanjian
pembiayaan/penanaman dana dari pemilik dana (shahibul maal)
kepada pengelola dana (mudharib) untuk melakukan kegiatan usaha
tertentu yang sesuai syariah, dengan pembagian hasil usaha antara
kedua belah pihak berdasarkan nisbah yang telah disepakati
sebelumnya.
Menurut Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK)
No.105 tentang akuntansi mudharabah, menyebutkan bahwa
mudharabah adalah akad kerja sama usaha antara dua pihak di mana
pihak pertama (pemilik dana) menyediakan seluruh dana, sedangkan
pihak kedua (pengelola dana) bertindak selaku pengelola, dan
keuntungan dibagi di antara mereka sesuai kesepakatan sedangkan
kerugian finansial hanya ditanggung oleh pemilik dana (IAI, 2007
hlm 1).

-oo0oo-
BAB IX

PROBLEMATIKA
PEMBIAYAAN BAGI HASIL

9.1 AMANAH DAN JUJUR

9.1.1 Pengertian Amanah


Amanah secara etimologis (pendekatan kebahasaan/lughawi) dari
bahasa Arab dalam bentuk mashdar dari (amina – amanatan) yang
berarti jujur atau dapat dipercaya. Sedangkan dalam bahasa
Indonesia amanah berarti pesan, perintah, keterangan atau wejangan.
Adapun secara terminologi terdapat beberapa pendapat, di antaranya
menurut Ahmad Musthafa Al-Maraghi, Amanah adalah sesuatu yang
harus dipelihara dan dijaga agar sampai kepada yang berhak
memilikinya. Sedangkan menurut Ibn Al-Araby, amanah adalah
segala sesuatu yang diambil dengan izin pemiliknya atau sesuatu
yang diambil dengan izin pemiliknya untuk diambil manfaatnya.
Dari beberapa pengertian di atas, dapat diambil suatu
pengertian bahwa amanah adalah menyampaikan hak apa saja
kepada pemiliknya, tidak mengambil sesuatu melebihi haknya dan
tidak mengurangi hak orang lain, baik berupa harga maupun jasa.
Amanah merupakan hak bagi mukallaf yang berkaitan dengan
hak orang lain untuk menunaikannya karena menyampaikan amanah
126 Pembiayaan Musyarakah dan Mudharabah

kepada orang yang berhak memilikinya adalah suatu kewajiban.


Ahmad Musthafa Al-Maraghi membagi amanah kepada 3 macam,
yaitu:
1. Amanah manusia terhadap Tuhan
Yaitu semua ketentuan Tuhan yang harus dipelihara berupa
melaksanakan semua perintah Tuhan dan meninggalkan semua
larangan-Nya. Termasuk di dalamnya menggunakan semua
potensi dan anggota tubuh untuk hal-hal yang bermanfaat serta
mengakui bahwa semua itu berasal dari Tuhan. Sesungguhnya
seluruh maksiat adalah perbuatan khianat kepada Allah SWT.
2. Amanah manusia kepada orang lain
Di antaranya mengembalikan titipan kepada yang mem-
punyainya, tidak menipu dan berlaku curang, menjaga rahasia
dan semisalnya yang merupakan kewajiban terhadap keluarga,
kerabat dan manusia secara keseluruhan. Termasuk pada jenis
amanah ini adalah
1) Pemimpin berlaku adil terhadap masyarakatnya,
2) Ulama berlaku adil terhadap orang-orang awam dengan
memberi petunjuk kepada mereka untuk memiliki i’tikad
yang benar,
3) Memberi motivasi untuk beramal yang memberi manfaat
kepada mereka di dunia dan akhirat, memberikan pendidikan
yang baik, menyuruh berusaha yang halal serta memberikan
nasihat-nasihat yang dapat memperkokoh keimanan agar
terhindar dari segala kejelekan dan dosa serta mencintai
kebenaran dan kebaikan.
Amanah dalam katagori ini juga adalah seorang suami berlaku
adil terhadap istrinya berupa salah satu pihak pasangan suami-
istri tidak menyebarkan rahasia pasangannya, terutama rahasia
yang bersifat khusus yaitu hubungan suami istri.
Probl emat ika Pembiayaan Bagi Hasil 127

3. Amanah manusia terhadap dirinya sendiri


Yaitu berbuat sesuatu yang terbaik dan bermanfaat bagi dirinya
baik dalam urusan agama maupun dunia, tidak pernah
melakukan yang membahayakan dirinya di dunia dan akhirat.
Amanah merupakan faktor utama terciptanya kesejahteraan dan
kemakmuran suatu bangsa, sebab dengan sikap amanah semua
komponen bangsa akan berlaku jujur, tanggung jawab dan
disiplin dalam setiap aktifitas kehidupan.
Amanah adalah akhlak dari para Nabi dan Rasul. Mereka adalah
orang-orang yang paling baik dalam menjaga amanah. Tidak
heran bila Rasulullah dikenal sebagi orang yang paling
terpercaya, terutama dalam menjalankan amanah.
Ada empat elemen penting dalam konsep amanah, yaitu:
1) Menjaga hak Allah SWT
2) Menjaga hak sesama manusia
3) Menjauhkan dari sifat abai dan berlebihan, artinya amanah
memang harus disampaikan dalam kondisi tepat, tidak
ditambahi atau dikurangi
4) Mengandung sebuah pertanggung jawaban
Perlu dicatat, amanah sangat berkaitan dengan akhlak yang
lain, seperti kejujuran, kesabaran, atau keberanian. Karena untuk
menjalankan amanah, perlu keberanian yang tegas. Amanah sebagai
salah satu unsur dalam Islam, membuktikan bawah salah satu fungsi
agama adalah memberikan nilai pada kehidupan. Apalagi, amanah
dititipkan pada hal-hal kecil, bukan hanya hal-hal besar saja.
Islam mengajarkan bahwa tidak ada iman bagi orang yang
tidak amanah dan tak ada agama bagi orang yang tak berjanji. Ini
berarti amanah adalah bagian dari iman. Sehingga mereka yang tidak
menjaga amanah, termasuk pada golongan orang-orang yang tidak
beriman. Selain itu, agama juga mengajarkan kita untuk berjanji dan
menepatinya karena itu bagian dari kehidupan.
128 Pembiayaan Musyarakah dan Mudharabah

Lebih lanjut, berbicara amanah juga merujuk pada golongan


manusia yang termasuk para pemimpin. Bagaimanapun juga, kita
semua merupakan pemimpin, setidaknya bagi diri sendiri dan
keluarga. Sehingga, nanti kita pasti akan ditanya dan dimintai
pertanggungjawaban tentang kepemimpinan kita. Hal ini tercantum
dalam Alquran surat Al Anfaal ayat 27:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati
Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu
mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu,
sedang kamu mengetahui.
Dari ayat di atas, kita bisa lihat bahwa Allah benar-benar
dengan tegas melarang sifat khianat. Rasulullah pun dengan tegas
mendidik orang untuk menjalankan amanah, bahkan sedari kecil.
Misalnya, ada satu kisah tentang seorang anak kecil bernama
Abdullah. Pada suatu hari, dia disuruh ibunya menyampaikan
setandan anggur kepada Rasulullah. Tapi di jalan, mungkin karena
kehausan, beberapa anggur dimakan oleh Abdullah. Ketika anggur
itu diberikan, Rasulullah mengetahui hal itu dan seketika itu juga
Rasulullah menjewer telinga Abdullah sambil mengucapkan kalimat,
“Hai pengkhianat” sebanyak tiga kali.
Dalam hal ini, kita bisa lihat, bahwa menjaga amanah itu
sangat penting dan memiliki konsekuensi yang besar untuk orang-
orang yang mengabaikan amanah. Begitu besarnya, hingga bumi,
langit, dan gunung pun takut melanggarnya. Hal ini tercantum dalam
Alquran surat Al Ahzab ayat 72:
“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada
langit, bumi, dan gunung-gunung, maka semuanya enggan
untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan
mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia.
Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh.
Probl emat ika Pembiayaan Bagi Hasil 129

9.1.2 Pengertian Jujur


Jujur bermakna keselarasan antara berita dengan kenyataan yang ada.
Jadi, kalau suatu berita sesuai dengan keadaan yang ada, maka
dikatakan benar/jujur, tetapi kalau tidak, maka dikatakan dusta. Jujur
itu ada pada ucapan, juga ada pada perbuatan, sebagaimana seorang
yang melakukan suatu perbuatan, tentu sesuai dengan yang ada pada
batinnya. Seorang yang berbuat riya’ tidaklah dikatakan sebagai
seorang yang jujur karena dia telah menampakkan sesuatu yang
berbeda dengan apa yang dia sembunyikan (di dalam batinnya).
Demikian juga seorang munafik tidaklah dikatakan sebagai seorang
yang jujur karena dia menampakkan dirinya sebagai seorang yang
bertauhid, padahal sebaliknya. Hal yang sama berlaku juga pada
pelaku bid’ah; secara lahiriah tampak sebagai seorang pengikut Nabi,
tetapi hakikatnya dia menyelisihi beliau. Yang jelas, jujur merupakan
sifat seorang yang beriman, sedangkan lawannya, dusta, merupakan
sifat orang yang munafik.
Imam Ibnul Qayyim berkata, Iman asasnya adalah jujur
(kebenaran) dan nifaq asasnya adalah kedustaan. Maka, tidak akan
pernah bertemu antara kedustaan dan keimanan melainkan akan
saling bertentangan satu sama lain. Allah mengabarkan bahwa tidak
ada yang bermanfaat bagi seorang hamba dan yang mampu
menyelamatkannya dari azab, kecuali jujur nya (kebenarannya).
Allah berfirman,
“Ini adalah suatu hari yang bermanfaat bagi orang-orang yang
benar kebenaran mereka.” (QS. al-Maidah: 119)
“Dan orang yang membawa kebenaran (Muhammad) dan
membenarkannya, mereka itulah orang-orang yang bertakwa.”
(QS. az-Zumar: 33)
1. Keutamaan Jujur
Nabi menganjurkan umatnya untuk selalu jujur karena jujur
merupakan mukadimah akhlak mulia yang akan mengarahkan
pemiliknya kepada akhlak tersebut, sebagaimana dijelaskan oleh
Nabi,
130 Pembiayaan Musyarakah dan Mudharabah

“Sesungguhnya jujur membawa kepada kebajikan.”


Kebajikan adalah segala sesuatu yang meliputi makna kebaikan,
ketaatan kepada Allah, dan berbuat bajik kepada sesama. Sifat
jujur merupakan alamat keislaman, timbangan keimanan, dasar
agama, dan juga tanda kesempurnaan bagi si pemilik sifat
tersebut. Baginya kedudukan yang tinggi di dunia dan akhirat.
Dengan jujur nya, seorang hamba akan mencapai derajat orang-
orang yang mulia dan selamat dari segala keburukan. Jujur
senantiasa mendatangkan berkah, sebagaimana disitir dalam
hadist yang diriwayatkan dari Hakim bin Hizam dari Nabi,
beliau bersabda,
“Penjual dan pembeli diberi kesempatan berfikir selagi mereka
belum berpisah. Seandainya mereka jujur serta membuat
penjelasan mengenai barang yang diperjualbelikan, mereka
akan mendapat berkah dalam jual beli mereka. Sebaliknya, jika
mereka menipu dan merahasiakan mengenai apa-apa yang harus
diterangkan tentang barang yang diperjualbelikan, maka akan
terhapus keberkahannya.”
Dalam kehidupan sehari-hari–dan ini merupakan bukti yang
nyata–kita dapati seorang yang jujur dalam bermuamalah
dengan orang lain, rizkinya lancar-lancar saja, orang lain
berlomba-lomba datang untuk bermuamalah dengannya, karena
merasa tenang bersamanya dan ikut mendapatkan kemulian dan
nama yang baik. Dengan begitu sempurnalah baginya
kebahagian dunia dan akherat.
Tidaklah kita dapati seorang yang jujur, melainkan orang lain
senang dengannya, memujinya, baik teman maupun lawan
merasa tentram dengannya. Berbeda dengan pendusta.
Temannya sendiripun tidak merasa aman, apalagi musuh atau
lawannya. Alangkah indahnya ucapan seorang yang jujur, dan
alangkah buruknya perkataan seorang pendusta.
Probl emat ika Pembiayaan Bagi Hasil 131

Orang yang jujur diberi amanah baik berupa harta, hak-hak dan
juga rahasia-rahasia. Kalau kemudian melakukan kesalahan atau
kekeliruan, jujurnya -dengan izin Allah- akan dapat me-
nyelamatkannya. Sementara pendusta, sebiji sawipun tidak akan
dipercaya. Jikapun terkadang diharapkan jujurnya itupun tidak
mendatangkan ketenangan dan kepercayaan. Dengan jujur maka
sah-lah perjanjian dan tenanglah hati. Barang siapa jujur dalam
berbicara, menjawab, memerintah (kepada yang ma’ruf),
melarang (dari yang mungkar), membaca, berdzikir, memberi,
mengambil, maka ia di sisi Allah dan sekalian manusia dikatakan
sebagai orang yang jujur, dicintai, dihormati dan dipercaya.
Kesaksiaannya merupakan kebenaran, hukumnya adil,
muamalahnya mendatangkan manfaat, majlisnya memberikan
barakah karena jauh dari riya’ mencari nama. Tidak berharap
dengan perbuatannya melainkan kepada Allah, baik dalam
salatnya, zakatnya, puasanya, hajinya, diamnya, dan
pembicaraannya semuanya hanya untuk Allah semata, tidak
menghendaki dengan kebaikannya tipu daya ataupun khiyanat.
Tidak menuntut balasan ataupun rasa terima kasih kecuali
kepada Allah. Menyampaikan kebenaran walaupun pahit dan
tidak mempedulikan celaan para pencela dalam jujurnya. Dan
tidaklah seseorang bergaul dengannya melainkan merasa aman
dan percaya pada dirinya, terhadap hartanya dan keluarganya.
Maka dia adalah penjaga amanah bagi orang yang masih hidup,
pemegang wasiat bagi orang yang sudah meninggal dan sebagai
pemelihara harta simpanan yang akan ditunaikan kepada orang
yang berhak.
Seorang yang beriman dan jujur, tidak berdusta dan tidak
mengucapkan kecuali kebaikan. Berapa banyak ayat dan hadist
yang menganjurkan untuk jujur dan benar, sebagaimana firman-
firman Allah yang berikut,
132 Pembiayaan Musyarakah dan Mudharabah

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah,


dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar.” (QS.
at-Taubah: 119)
“Ini adalah suatu hari yang bermanfaat bagi orang-orang yang
benar kebenaran mereka. Bagi mereka surga yang di
bawahnya mengalir sungai-sungai. Mereka kekal di dalamnya
selama-lamanya. Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun
ridha terhadap-Nya. Itulah keberuntungan yang paling besar.”
(QS. al-Maidah: 119)
“Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang
menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah. Di
antara mereka ada yang gugur. Dan di antara mereka ada
(pula) yang menunggu-nunggu dan mereka sedikit pun tidak
merubah (janjinya).” (QS. al-Ahzab: 23)
“Tetapi jikalau mereka benar (imannya) terhadap Allah,
niscaya yang demikian itu lebih baik bagi mereka.” (QS.
Muhammad: 21)
Nabi bersabda, “Tinggalkan apa yang meragukanmu kepada
yang tidak meragukanmu, sesungguhnya jujur, (men-
datangkan) ketenangan dan kebohongan, (mendatangkan)
keraguan.”
2. Macam-macam Jujur
1) Jujur dalam niat dan kehendak. Ini kembali kepada
keikhlasan. Kalau suatu amal tercampuri dengan kepentingan
dunia, maka akan merusakkan jujur niat, dan pelakunya bisa
dikatakan sebagai pendusta, sebagaimana kisah tiga orang
yang di hadapkan kepada Allah, yaitu seorang mujahid,
seorang qari’, dan seorang dermawan. Allah menilai
ketiganya telah berdusta, bukan pada perbuatan mereka
tetapi pada niat dan maksud mereka.
2) Jujur dalam ucapan. Wajib bagi seorang hamba menjaga
lisannya, tidak berkata kecuali dengan benar dan jujur.
Probl emat ika Pembiayaan Bagi Hasil 133

Benar/jujur dalam ucapan merupakan jenis jujur yang paling


tampak dan terang di antara macam-macam jujur .
3) Jujur dalam tekad dan memenuhi janji. Contohnya seperti
ucapan seseorang, “Jikalau Allah memberikan kepadaku
harta, aku akan membelanjakan semuanya di jalan Allah.”
Maka yang seperti ini adalah tekad. Terkadang benar, tetapi
adakalanya juga ragu-ragu atau dusta. Hal ini sebagaimana
firman Allah:
“Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang
menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah;
maka di antara mereka ada yang gugur. Dan di antara
mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka
sedikit pun tidak merubah (janjinya).” (QS. al-Ahzab: 23)
Dalam ayat yang lain, Allah berfirman,
“Dan di antara mereka ada orang yang telah berikrar kepada
Allah, ‘Sesungguhnya jika Allah memberikan sebagian
karunia-Nya kepada kami, pastilah kami akan bersedekah
dan pastilah kami termasuk orang-orang yang saleh.’ Maka,
setelah Allah memberikan kepada mereka sebagian dari
karunia-Nya, mereka kikir dengan karunia itu, dan berpaling,
dan mereka memanglah orang-orang yang selalu
membelakangi (kebenaran).” (QS. at-Taubah: 75-76)
4) Jujur dalam perbuatan, yaitu seimbang antara lahiriah dan
batin, hingga tidaklah berbeda antara amal lahir dengan amal
batin, sebagaimana dikatakan oleh Mutharrif,
“Jika sama antara batin seorang hamba dengan lahiriahnya,
maka Allah akan berfirman, ‘Inilah hambaku yang benar/
jujur.”
5) Jujur dalam kedudukan agama. Ini adalah kedudukan yang
paling tinggi, sebagaimana jujur dalam rasa takut dan
pengharapan, dalam rasa cinta dan tawakkal. Perkara-perkara
134 Pembiayaan Musyarakah dan Mudharabah

ini mempunyai landasan yang kuat, dan akan tampak kalau


dipahami hakikat dan tujuannya. Kalau seseorang menjadi
sempurna dengan jujurnya maka akan dikatakan orang ini
adalah benar dan jujur, sebagaimana firman Allah,
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-
orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian
mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta
dan jiwa mereka pada jalan Allah, mereka itulah orang-
orang yang benar.” (QS. al-Hujurat: 15)
3. Fakta Tentang Jujur
Jujur adalah satu kata yang mudah diucapkan tapi sulit dalam
pelaksanaannya. Mengapa demikian? Mengapa jujur itu penting?
suatu pertanyaan yang sulit dijawab. Ya memang penting
mengapa?. Karena dengan jujur akan melahirkan kepercayaan,
kepercayaan akan melahirkan keamanan, keamanan akan
melahirkan ketentraman, ketentraman akan melahirkan
perdamaian, perdamaian akan melahirkan kesejahteraan,
kesejahteraan akan menimbulkan keadilan dan kemakmuran.
Dengan demikian jujur adalah tolak ukur pertama yang harus
dilakukan agar kita semua selamat dunia dan akherat.
Jujur adalah sebuah ungkapan yang sering terdengar dalam
kehidupan sehari-hari. Setiap orang ingin menjadi orang yang
jujur tapi dalam praktiknya, kenapa terasa sangat sulit untuk
melakukan makna kata jujur sebenar-benarnya. Apakah ini
pertanda jujur bukan lagi menjadi mata uang yang berlaku di
mana-mana? Padahal, jujur merupakan sifat yang terpuji. Allah
dan Rasul-Nya memuji orang-orang yang mempunyai sifat jujur
dan menjanjikan balasan yang berlimpah untuk mereka.
Sebagaimana yang terdapat dalam hadits yang shahih bahwa
Nabi bersabda :
“Senantiasalah kalian jujur, karena sesungguhnya jujur itu
membawa kepada kebajikan, dan kebajikan membawa kepada
Probl emat ika Pembiayaan Bagi Hasil 135

surga. Seseorang yang senantiasa jujur dan berusaha untuk


selalu jujur, akhirnya ditulis di sisi Allah sebagai seorang yang
selalu jujur. Dan jauhilah kedustaan karena kedustaan itu
membawa kepada kemaksiatan, dan kemaksiatan membawa
ke neraka. Seseorang yang senantiasa berdusta dan selalu
berdusta, hingga akhirnya ditulis di sisi Allah sebagai seorang
pendusta.” (HR al-Bukhari dan Muslim)
Masing-masing watak manusia memang berbeda-beda dalam
memahami pentingnya sebuah jujur, di mana kerap kali sangat sulit
untuk melakukan sesuatu hal yang tidak bertentangan dengan hati
nurani kita, apakah hal tersebut dikarenakan sudah menjadi
kebiasaan, atau kurangnya nilai-nilai agama yang ada pada diri
masing-masing orang?
Beberapa contoh kecil sebuah jujur seperti seorang anak di
mana seharusnya bisa dikatakan lugu dan polos namun sudah
mampu membohongi orang tua, misalkan seorang anak yang
melakukan kesalahan karena telah mengotori seragam sekolah, yang
jelas-jelas orang tua sudah melarang bermain menggunakan seragam
sekolah, namun jika kita lihat pada contoh di atas akan nampak
bahwa rasa takut yang menyebabkan seseorang melakukan ketidak
jujuran, lalu bagaimana dengan para pebisnis, bohong (tidak jujur)
merupakan bumbu penyedap nomor satu untuk kesuksesan
bisnisnya.
Memang akan sangat luas sekali jika kita membicarakan
seseorang yang tidak jujur, di mana sesungguhnya dengan berkata
jujur memberikan kepuasan tersendiri dalam benak dan hati kita,
yang mungkin anda akan beranggapan bahwa dengan melakukan
tidak jujur dalam hal materi meskipun kecil nilainya orang lain tidak
akan mengetahui apa yang kita perbuat. Jika saya akan bertanya pada
anda, bagaimana perasaan anda disaat melakukan sesuatu dengan
jujur dan dibandingkan dengan tidak jujur? apakah ada perbedaan
dalam hati kecil pada diri anda dalam melakukan tidak jujur dan
jujur? tentunya anda bisa menjawabnya. Apakah sulit berkata jujur?
136 Pembiayaan Musyarakah dan Mudharabah

Menurut hasil penelitian di Amerika yang dilakukan oleh


NIMH (National Institute of Mental Health) menunjukkan bahwa
dalam seminggu, orang berbohong terhadap 30% orang lain dalam
komunitas. Mahasiswa malah menunjukkan angka 38% jumlah
orang yang mereka bohongi. Jadi kira-kira, dari 100 orang yang
diajak berinteraksi dalam seminggu, maka ada 38 orang yang telah
dibohongi. Luar biasa bukan? (yang diteliti orang Amerika bukan
Indonesia).
Apabila kebohongan memang sangat masif dilakukan, tentunya
ada alasan mengapa bohong menjadi penting dilakukan. Tidak ada
sesuatu tanpa sebab bukan? Nah, apa yang menyebabkan timbulnya
kebohongan? Sekurang-kurangnya terdapat 4 faktor penyebab orang
berbohong, yaitu: faktor kepribadian, yakni adanya pribadi-pribadi
tertentu yang cenderung untuk selalu berbohong, faktor konteks
sosial, yakni adanya konteks sosial tertentu yang membuat orang
melakukan kebohongan, faktor kemanfaatan bagi pembohong, yakni
adanya kemanfaatan yang dicapai bagi pelaku kebohongan dan
faktor kemanfaatan bagi orang lain yakni adanya kemanfaatan bagi
orang lain.
Suka atau tidak suka, kita harus akui bahwa jati diri kita ini
sudah jebol oleh himpitan materialitas, kekuatan-kekuatan dari
dalam diri kita, yang sudah disiapkan perangkatnya oleh Allah sejak
kita masih berada di dalam kandungan ibu, seakan terlupakan atau
sengaja kita lupakan, dalam praktiknya kita lebih mengandalkan
faktor eksternal dibumbui dengan dominasi akal untuk meraih
tujuan, seringkali hati atau perasaan di kesampingkan akhirnya yang
haram pun direkayasa menjadi samar-samar, atau bila perlu
dimodifikasi menjadi halal, alasannya mencari yang haram saja susah
apalagi yang halal, dalam dunia usaha bagi para pengusaha atau job,
yang harus dipenuhi seorang karyawan, pakem haram dan halal
seakan menjadi nomer sekian, akibatnya sikap jujur diacuhkan.
Lain halnya bila hati serta pikiran kita sudah menggenggam
kebohongan, maka asumsinya juga penuh kebohongan karena
Probl emat ika Pembiayaan Bagi Hasil 137

niatnya memang sudah berbohong, mungkin untuk sementara waktu


orang tidak merasa dibohongi, tetapi pada akhirnya orang akan
mengerti dan paham kalau dia telah di bohongi.
Jujur dan ketidakjujuran tidak saja jadi topik hidup seorang
manusia untuk meraih kesuksesan atau kejayaan di dunia dan
akhirat, jujur dan ketidakjujuran seharusnya menjadi agenda utama
bagi para pelaku bisnis, apalagi ketika transaksi bisnisnya dikaitkan
dengan institusi syariah, misalnya bertransaksi dengan bank syariah
maka semua pihak, baik supplier, nasabah maupun bank syariah
harus jujur. Tetapi realita yang ada jujur mahal harganya, sehingga
sulit sekali jujur itu dilakukan meskipun bertransaksi secara syariah.

9.2 MURABAHAH IDOLA PERBANKAN SYARIAH


Sejak didirikannya Bank Muamalat Indonesia (BMI) pada tahun 1992,
bank syariah terus tumbuh dan berkembang di Indonesia.
Perkembangan perbankan syariah yang begitu pesat tidak terlepas
dari peran Pemerintah dan Bank Indonesia yang memberikan
dukungan dalam berbagai kebijakan untuk mengembangkan bank
syariah dengan serius.
Tingkat perkembangan institusional dan jaringan kantor bank
syariah di Indonesia menunjukkan peningkatan. Pada posisi tahun
2007 di Indonesia hanya terdapat 3 (tiga) Bank Umum Syariah (BUS)
dengan 401 kantor dan 26 (dua puluh enam) Unit Usaha Syariah
dengan 196 kantor yang telah beroperasi, sedangkan pada Desember
2012, jumlah Bank Umum Syariah yang beroperasi bertambah
menjadi 11 (sebelas) Bank Syariah dengan 1.734 kantor dan 24 (dua
puluh empat) Unit Usaha Syariah dengan 517 kantor. BPR Syariah
tahun 2007 terdapat 114 bank dengan 185 kantor, sedangkan pada
Desember 2012 menjadi 158 bank dengan 401 kantor. (Bank
Indonesia, 2012).
Fakta menjelaskan bahwa pembiayaan dengan pendapatan
tetap (fixed-income financing) masih menjadi pilihan dalam aplikasi
138 Pembiayaan Musyarakah dan Mudharabah

produk keuangan Islam. Hal ini disebabkan karena memberikan


keuntungan yang telah disepakati di awal, tetap dan berkelanjutan.
Selain itu, tidak mensyaratkan banyak upaya untuk melakukan
pengawasan dan resiko gagal bayar yang relatif lebih kecil dibanding
dengan akad bagi hasil (Ismail, 2010: 3-4).
Berdasarkan data statistik yang dirilis Bank Indonesia per
Desember 2012, di mana jumlah komposisi pembiayaaan
murabahah (BUS, UUS dan BPRS) masih mendominasi sebesar
150,78 triliun atau sekitar 60.24% meningkat dari tahun sebelumnya
tahun 2011 pada periode yang sama sebesar Rp. 105,17 triliun atau
sekitar 55.64%, dari segi jumlah nominal meningkat seiring dengan
meningkatnya jumlah dana pihak ketiga (DPK), di mana pada tahun
2012 DPK bank syariah berjumlah sebesar Rp. 150,45 triliun
meningkat dibandingkan tahun sebelumnya dengan periode yang
sama sebesar 117,51 triliun. Perhatikan tabel berikut:

Jaringan Kantor Perbankan Syariah


2007 2008 2009 2010 2011 2012
Bank Umum Syariah
 Jumlah Bank 3 5 6 11 11 11
 Jumlah Kantor 401 581 711 1215 1401 1745
Unit Usaha Syariah
 Jumlah UUS 26 27 25 23 24 24
 Jumlah Kantor 196 241 287 262 336 517
Bank Pembiayaan Rakyat
 Jumlah Bank 114 131 138 150 155 158
 Jumlah Kantor 185 202 225 286 364 401
782 1024 1223 1763 2101 2663
Probl emat ika Pembiayaan Bagi Hasil 139

Komposisi Pembiayaan yang diberikan BUS dan UUS


Dalam Miliaran
Akad 2007 2008 2009 2010 2011 2012
Mudharabah 5,578 6,205 6,597 8,631 10,229 12,023
Musyarakah 4,406 7,411 10,412 14,624 18,960 27,667
Murabahah 16,553 22,486 26,321 37,508 56,365 88,004
Salam - - - - - -
Istishna 351 369 423 347 326 376
Ijarah 516 765 1,305 2,341 3,839 7,345
qardh 540 959 1,829 4,731 12,937 12,090
Lainnya - - - - - -
29,951 40,203 48,896 70,192 104,667 149,517

Komposisi Pembiayaan Yang diberikan BUS dan UUS


Dalam jutaan
Akad 2007 2008 2009 2010 2011 2012
Mudharabah 41,714 42,952 52,781 65,471 75,807 99,361
Musyarakah 90,483 113,379 144,969 217,954 246,796 321,131
Murabahah 716,240 1,011,743 1,269,900 1,621,526 2,154,494 2,826,537
Salam - 38 105 45 20 197

Istishna 13,467 24,683 32,766 27,598 23,673 20,751


Ijarah 3,661 5,518 7,803 13,499 13,815 13,522
qardh 19,038 40,308 50,018 63,000 72,095 81,666
Multijasa 6,106 17,988 28,578 51,344 89,230 162,245
892,716 1,258,617 1,588,929 2,062,447 2,677,941 3,527,422

Padahal menurut masyarakat awam bahwa bank syariah


identik dengan bank bagi hasil yang terbebas dari sistem bunga (bank
bebas bunga). Semua produk dianggap menggunakan bagi hasil,
sementara kalau dilihat, produk pembiayaan yang ditawarkan bank
syariah sangat variatif ada sistem bagi hasil, jual beli, sewa dan
pelengkap lainya. Tapi dari data di atas menunjukan bahwa dari
fungsi penyaluran dana atau pembiayaan, bank syariah banyak
menyalurkan ke model pembiayaan murabahah, tidak hanya di
Indonesia tapi hampir di belahan dunia.
140 Pembiayaan Musyarakah dan Mudharabah

9.3 PROBLEMATIKA PEMBIAYAAN BAGI HASIL


Merujuk pada prinsip dasar perbankan syariah bahwa pola bagi hasil
sesuai dengan syariat Islam, seharusnya produk-produk perbankan
yang berbasis bagi hasil lebih unggul dari pada produk-produk
lainnya. Tapi realitas yang ada menunjukan kebalikannya, justru
produk-produk lainnya, terutama murabahah menjadi idola
perbankan syariah di hampir belahan dunia, tidak hanya di
Indonesia.
Rendahnya porsi pembiayaan profit and loss sharing pada bank
syariah umumnya dipengaruhi oleh beberapa faktor, di antaranya
besarnya resiko dalam pembiayaan bagi hasil (Muhammad, 2005)
dalam (Akhbar, 2006), sedangkan faktor yang lain adalah masalah
yang ditimbulkan karena moral hazard dan adverse selection (khalil,
Rickwood, dan Muride, 2000) dalam (Akhbar, 2006). Selain itu
rendahnya total asset bank syariah yang market share sebesar 1,77
persen dari perbankan nasional menyebabkan bank syariah harus
berhati-hati dalam menyalurkan dananya ke nasabah.
Menurut Saeed dalam Muhamad, mekanisme bagi hasil dalam
memainkan operasional investasi dana bank peranannya sangat
lemah. Menurut beberapa pengamat perbankan syari’ah, hal ini
terjadi karena beberapa alasan, di antaranya:
(1) Standar Moral; (2) Ketidakefektifan Model Pembiayaan Bagi
Hasil; (3) Berkaitan dengan Para Pengusaha; (4) Dari Segi
Biaya; (5) Segi Teknis; (6) Kurang Menariknya Sistem Bagi Hasil
dalam Aktivitas Bisnis; (7) Permasalahan Efisiensi.
Menurut Iman Sugema (2006), menyebutkan bahwa rendahnya
pembiayaan bagi hasil terutama disebabkan adanya asymmetric
information dan administrative problem (non-standardized
accounting, bad debt). Asymmetric information adalah kondisi yang
menunjukkan sebagian investor mempunyai informasi dan yang
lainnya tidak memilikinya. Asimetri informasi yang dilakukan agen
(pengusaha/debitur) dalam kontrak keuangan biasanya berbentuk
Probl emat ika Pembiayaan Bagi Hasil 141

moral hazard dan adverse selection. Menurut Prof. Muhammad Abu


Zahrah (1999) dalam Ahmad Sumiyanto (2005) mengidentifikasikan
faktor-faktor yang menyebabkan pembiayaan bagi hasil kurang
menarik bagi bank syariah antara lain;
Pertama, Sumber dana bank syariah yang sebagian besar
berjangka pendek tidak dapat digunakan untuk pembiayaan bagi
hasil yang biasanya berjangka panjang. Kedua, pengusaha dengan
bisnis yang memiliki tingkat keuntungan tinggi cenderung enggan
menggunakan sistem bagi hasil, hal ini terjadi karena pengusaha
beranggapan bahwa kredit dengan menggunakan sistem bunga lebih
menguntungkan dengan jumlah perhitungan yang sudah pasti,
sehingga pada umumnya yang banyak mengajukan pembiayaan bagi
hasil adalah usaha dengan keuntungan yang relatif rendah. Ketiga,
pengusaha dengan bisnis yang berisiko rendah enggan meminta
pembiayaan bagi hasil, kebanyakan pengusaha yang memilih
pembiayaan bagi hasil adalah mereka yang berbisnis dengan risiko
tinggi termasuk mereka yang baru terjun ke dunia bisnis, keempat,
untuk meyakinkan bank bahwa proyeknya akan memberikan
keuntungan tinggi dan mendorong pengusaha untuk membuat
proyeksi bisnis yang terlalu optimis. Kelima, banyak pengusaha yang
mempunyai dua pembukuan, pembukuan yang diberikan kepada
bank adalah yang tingkat keuntungannya kecil sehingga porsi
keuntungan yang harus diberikan kepada bank juga kecil padahal
pada pembukuan sebenarnya pengusaha membukukan keuntungan
besar.
Dalam (Ascarya, 2005), selain itu permasalahan rendahnya
pembiayaan bagi hasil menurut para ahli perbankan, di antaranya
Chapra (2000), Iqbal dan Llewllyn (2002), Mulyawan (2001), Al-jarhi
(2002), Parinduri (2003), Algaoud dan Lewis (2003) disebabkan oleh
beberapa faktor, di antaranya:
1. Internal bank Syariah
1) Kualitas Sumbar Daya Insani (SDI) belum memadai untuk
menangani proyek bagi hasil.
142 Pembiayaan Musyarakah dan Mudharabah

2) Bank Syariah belum mampu menanggung resiko besar.


3) Bank syariah terlalu mengutamakan orientasi bisnis dan
keuntungan seperti institusi usaha pada umumnya.
4) Adverse Selection, karena Asymetric Information antara ke
dua belah pihak.
5) Tidak adanya Personal Guarantee dan Collateral pada
nasabah.
6) Biaya informasi yang meningkat, terutama untuk pembiyaan
mudharabah.
7) Keterbatasan peran bank sebagai investor, terutama untuk
pembiayaan mudharabah.
2. Nasabah bank syariah
1) Sebagian nasabah sudah terbiasa dengan sistem bunga bank.
2) Moral hazard, karena pengusaha enggan menyampaikan
laporan keuangan/keuntungan sebenarnya untuk meng-
hindari pajak atau bagi hasil.
3) Permintaan pembiayaan bagi hasil yang masih kecil dari
nasabah.
3. Regulasi
1) Kurangnya dukungan dari regulator, karena tidak melakukan
inisiatif-inisiatif untuk mengadakan perubahan peraturan dan
institusional yang diperlukan untuk mendukung bekerjanya
sistem perbankan syariah dengan baik
2) Tidak adanya institusi pendukung untuk mendorong peng-
gunaan bagi hasil.
3) Tidak adanya prosedur operasional yang seragam.
4. Pemerintah
1) Tidak ada kesepahaman dalam aturan-aturan syariah dan
proyek-proyek pendukung yang mendorong penggunaan
bagi hasil untuk proyek-proyek pemerintah.
2) Pemberlakuan pajak yang tidak adil pada keuntungan sebagai
objek pajak, sedangkan bunga bebas dari pajak.
Probl emat ika Pembiayaan Bagi Hasil 143

3) Pasar sekunder instrumen keuangan syariah belum ada,


sehingga bank kesulitan dalam menyalurkan atau men-
dapatkan akses likuiditas sesuai syariah.
4) Hak kepemilikan belum jelas, karena pembiayaan PLS
memerlukan hak kepemilikan yang jelas dan berlaku efisien.
Menurut Irfan Syauqi Beik, (2007) tingginya pembiayaan non-
bagi hasil merupakan kelemahan dari perkembangan pembiayaan
bank syariah, karena:
Pertama, skema murabahah, dan juga ijarah, sesungguhnya
merupakan fixed return modes, di mana kalau kita mau jujur bahwa
yang membedakan secara prinsipil antara bank Islam dan bank
konvensional di antaranya adalah terletak pada prinsip risk-profit
sharing-nya.
Kedua, skema murabahah cenderung menambah bahan bakar
kepada kemungkinan terjadinya inflasi, di mana harga komoditas
barang cenderung meningkat.
Ketiga, skema murabahah tidak memiliki pengaruh yang
signifikan terhadap peningkatan produktivitas barang dan jasa. Selain
itu, tingginya pembiayaan non-bagi hasil tidak hanya menimbulkan
masalah bagi dunia usaha, tetapi juga mengakibatkan rendahnya
perolehan pendapatan bank syariah itu sendiri, karena walaupun
dengan risiko yang lebih tinggi produk pembiayaan bagi hasil dapat
menghasilkan keuntungan yang lebih besar daripada produk
pembiayaan non-bagi hasil apabila dikelola sesuai dengan
manajemen risiko.

9.4 BAGI HASIL EFEKTIF, EFISIEN ATAU


SEBALIKNYA
Dua kata yang sering dibicarakan secara bersamaan, yaitu kata Efektif
dan efisiensi, Di mana ada kata efektif pasti juga ada kata efisien.
Efektif (effective) dan efisien (efficient) merupakan dua istilah yang
saling berkaitan dan patut dihayati dalam upaya untuk mencapai
144 Pembiayaan Musyarakah dan Mudharabah

tujuan suatu organisasi. Tentang arti dari efektif maupun efisien


terdapat beberapa pendapat. Menurut kamus besar bahasa Indonesia,
Kata efektif berarti:
ada efeknya (akibatnya, pengaruhnya, kesannya); manjur atau
mujarab (tt obat); dapat membawa hasil; berhasil guna (tt
usaha, tindakan); mulai berlaku (tt undang-undang, peraturan).
Definisi dari kata efektif yaitu suatu pencapaian tujuan secara
tepat atau memilih tujuan-tujuan yang tepat dari serangkaian
alternatif atau pilihan cara dan menentukan pilihan dari beberapa
pilihan lainnya. Efektifitas bisa juga diartikan sebagai pengukuran
keberhasilan dalam pencapaian tujuan-tujuan yang telah ditentukan.
Misalnya jika suatu pekerjaan dapat selesai dengan pemilihan cara-
cara yang sudah ditentukan, maka cara tersebut adalah benar atau
efektif. Arti kata efisien menurut kamus besar bahasa Indonesia yaitu:
tepat atau sesuai untuk mengerjakan (menghasilkan) sesuatu
(dengan tidak membuang-buang waktu, tenaga, biaya),
mampu menjalankan tugas dengan tepat dan cermat, berdaya
guna, bertepat guna.
Definisi dari efisien adalah penggunaan sumber daya secara
minimum guna pencapaian hasil yang optimum. Jadi, jika dalam
suatu kegiatan penggunaan sumber dayanya dapat dilakukan secara
minimum dengan menghasilkan hasil yang optimum berarti cara
tersebut efisien. Jika dikaitkan dengan proses produksi suatu barang,
maka efisien dapat diartikan sebagai suatu proses produksi yang
menghasilkan produk dengan kualitas yang baik dengan bahan baku
yang digunakan dengan sesuai takaran. Dari pengertian efektif dan
efisien di atas, dapat disimpulkan bahwa efektif lebih mengarah pada
hasil yang dicapai. Sedangkan efisien mengarah pada proses
pencapaian hasil tersebut. Dua kata di atas sangat berhubungan.
Karena dalam suatu porses produksi, dibutuhkan sebuah sumber
daya (input). Kemudian input yang ada ini apakah digunakan secara
efisien dalam menghasillkan output dan yang terakhir apakah output
Probl emat ika Pembiayaan Bagi Hasil 145

yang dihasilkan ini sudah efektif sehingga bermanfaat bagi pengguna


maupun produsen. Efektif ini merupakan tujuan paling utama karena
percuma saja barang yang harganya murah tetapi hasilnya jelek
sehingga tidak bermanfaat.
Menurut Barnard dalam Prawirosentono (1999 hlm 27)
menjelaskan bahwa arti efektif dan efisien adalah sebagai berikut:
Bila suatu tujuan tertentu akhirnya dapat dicapai, kita boleh
mengatakan bahwa kegiatan tersebut adalah efektif. Tetapi bila
akibat-akibat yang tidak dicari dari kegiatan mempunyai nilai yang
lebih penting dibandingkan dengan hasil yang dicapai, sehingga
mengakibatkan ketidakpuasan walaupun efektif, hal ini disebut tidak
efisien. Sebaliknya bila akibat yang tidak dicari-cari, tidak penting
atau remeh, maka kegiatan tersebut efisien. Sehubungan dengan itu,
kita dapat mengatakan sesuatu efektif bila mencapai tujuan tertentu.
Dikatakan efisien bila hal itu memuaskan sebagai pendorong
mencapai tujuan, terlepas apakah efektif atau tidak).
Efisien tetapi tidak efektif berarti baik dalam memanfaatkan
sumberdaya (input), tetapi tidak mencapai sasaran. Sebaliknya, efektif
tetapi tidak efisien berarti dalam mencapai sasaran menggunakan
sumber daya berlebihan atau lazim dikatakan ekonomi biaya tinggi.
Efisien harus selalu bersifat kuantitatif dan dapat diukur
(mearsurable), sedangkan efektif mengandung pula pengertian
kualitatif. Efisien dalam menggunakan input akan menghasilkan
produktifitas yang tinggi, yang merupakan tujuan dari setiap
perusahaan. Anggapan tentang efisiensi yang selalu diartikan sebagai
penghematan akan menjadi permasalahan, karena bisa mengganggu
operasi, yang juga akan mempengaruhi hasil output. Secara
sederhana, dapat dikatakan bahwa efektifitas kerja berarti
penyelesaian pekerjaan tepat pada waktu yang telah ditetapkan.
Artinya apakah pelaksanaan suatu tugas dinilai baik atau tidak sangat
tergantung pada bilamana tugas itu diselesaikan dan tidak, terutama
menjawab pertanyaan bagaimana cara melaksanakannya dan berapa
biaya yang dikeluarkan untuk pekerjaan tersebut.
146 Pembiayaan Musyarakah dan Mudharabah

Penerapan Efektif dan Efisien dalam pembiayaan dibutuhkan


beberapa tahap. Tahap pertama adalah pemilihan produk
pembiayaan. Pada tahap ini berlaku prinsip ekonomis. Bank yang
ekonomis akan memilih produk pembiayaan yang tidak berisiko
tinggi dengan biaya SDI yang tidak tinggi juga. Tahap kedua berlaku
prinsip efisiensi. Bank yang efisien akan menggunakan produk
pembiayaan dan tenaga SDI yang tidak berisiko tinggi dan biaya
tinggi tersebut untuk menganalisis permohonan pembiayaan nasabah
kepada bank dengan cepat, tepat dan akurat untuk menghasilkan
output pembiayaan yang lancar dengan margin/bagi hasil yang
tinggi. Tahap akhir yang merupakan tahap yang paling penting
adalah tahap pendistribusian produk kepada masyarakat. Pada tahap
akhir ini berlaku prinsip efektif. Bank yang efektif akan mampu
menjual produk pembiayaan dengan aman kepada para nasabah.
Tahap terakhir dibilang paling penting karena percuma saja
menghasilkan produk pembiayaan yang aman, lancar dan
menghasilkan margin/bagi hasil yang tinggi, tapi pembiayaan
tersebut tidak bisa dijual kepada nasabah karena menyulitkan
nasabah.
Dalam kaitannya dengan produk pembiayaan bank syariah,
produk pembiayaan berbasis bagi hasil berisiko tinggi, karena akan
terjadi asymmetric information dan administrative problem. Dari sisi
teknis, menuntut peran partisipasi aktif bank dalam mengawasi
proyek investasi untuk mengurangi terjadinya asymmetric
information dan moral hazard, hal ini menimbulkan effort lebih bagi
bank dibanding dengan jika bank menyalurkan dananya dalam
bentuk pembiayaan murabahah. Sedangkan bagi nasabah juga
kurang efektif karena nasabah harus memberikan laporan keuangan
setiap bulan pada bank dan sekaligus tidak efisien bagi nasabah
karena jika keuntungan yang diperoleh nsabah melebihi proyeksi,
maka biaya yang dikeluarkan oleh pihak nasabah juga akan
bertambah.
Probl emat ika Pembiayaan Bagi Hasil 147

Dari sisi efisiensi, produk pembiayaan bagi hasil merupakan


produk mahal karena berisiko tinggi dan memerlukan biaya tinggi
baik bagi bank maupun bagi nasabah, sehingga bisa dikatakan
bahwa produk pembiayaan bagi hasil tidak efisien. Terakhir Produk
pembiayaan bagi hasil kurang menarik baik bagi nasabah maupun
bagi bank, sehingga susah untuk dipasarkan. Hal ini tercermin pada
realita yang ada bahwa produk pembiayaan bagi hasil kurang
dominan pada bank syariah dibandingkan dengan produk
murabahah. Dengan demikian, “pure produk pembiayaan bagi hasil
tidak efektif dan efisien untuk diterapkan pada perbankan syariah
modern.
Persyaratan sebuah produk itu layak untuk diaplikasikan pada
sistem keuangan modern adalah efektif dan efisien, jika kedua syarat
itu tidak melekat maka sebuah produk harus dikaji ulang untuk
dicarikan solusi atau dibuang sama sekali. Produk pembiayaan bagi
hasil pada bank syariah bertumpu pada sifat jujur nasabah untuk
melaporkan kinerja keuangan usaha yang dibiayai oleh bank dengan
sebenarnya. Seperti pada uraian di atas bahwa jujur mahal harganya
sulit untuk dilakukan pada zaman sekarang apalagi pada dunia
bisnis, tidak peduli transaksinya melibatkan institusi syariah dan yang
bertransaksi semuanya muslim. Karena mahalnya sebuah kejujuran,
bank syariah mengeluarkan biaya dan tenaga ekstra untuk mengawal
kejujuran nasabah dalam melaporkan kinerja keuangan bisnisnya.
Dengan biaya dan tenaga ekstra ini mengakibatkan produk
pembiayaan berbasis bagi hasil merupakan produk yang tidak efektif
dan tidak efisien karena memerlukan biaya mahal dan effort lebih
untuk memantau dan mengawasi kinerja bisnis nasabah (memantau
kejujuran nasabah). Bagi nasabah juga tidak efektif dan efisien karena
merasa selalu diawasi oleh bank, sehingga merasa bank terlalu ikut
campur dalam mengelola bisnis nasabah dan nasabah juga merasa
enggan untuk melaporkan kinerjanya dengan jujur jika kinerja
bisnisnya melampaui target yang diestimasikan bank dan telah
disepakati, karena akan menambah biaya bagi nasabah, nasabah
148 Pembiayaan Musyarakah dan Mudharabah

harus membayar lebih bagi hasil dari estimasi yang telah disepakati
oleh kedua belah pihak.
Untuk mengawal kejujuran tersebut, agar tidak menimbulkan
biaya dan effort lebih, maka perlu dicarikan terobosan-terobosan
baru sebagai alternatif. Inti pokok ekonomi Islam adalah al-Qur'an
dan al-Sunnah yang merupakan penentu suatu pembatas kondisi-
kondisi ekonomi Islam (naf’an, 2013). Dari pakem di atas, bukan
berarti ekonomi Islam tertutup bagi pengujian dan pengkritisan.
Sebab metodologi di atas hanya berlaku pada teks-teks suci (wahyu)
dan tidak berlaku pada interpretasi manusia atas teks-teks tersebut.
Interpretasi manusia terhadap teks-teks ini terbuka bagi pengujian
dan pengkritisan. Karena bagian yang dominan dari realitas ekonomi
memerlukan aplikasi akal manusia, sementara intelektual manusia
berada di bawah sedang semua kerangka kerja wahyu berada di atas,
maka permasalahan metodologi sebagian besar menjadi dekat dalam
wilayah di mana akal manusia diberlakukan. Dalam wilayah ini, jika
suatu teori tidak kontradiksi dengan teks wahyu, teori tersebut
terbuka kritisme. Kritisisme berada dalam dua ranah, yaitu rasional
dan empirical. Teori seharusnya benar pada lapangan rasional dan
juga seharusnya dikonfirmasikan melalui bukti-bukti empirik (Khan,
1987).
Al-Qur'an dan al-Sunnah juga merupakan suatu kriteria bagi
pengujian teori-teori yang diajukan oleh manusia (Khan, 1987).
Teori-teori yang diajukan manusia dites dengan menggunakan
kriteria ini dan jika terdapat kontradiksi yang jelas dan tidak dapat
disangkal, maka teori tersebut ditolak secara keras tanpa pengujian
lebih lanjut. Konsep pembiayaan bagi hasil yang digunakan pada
bank syariah adalah musyarakah dan mudharabah. Musyarakah dan
mudharabah berasal dari al-Qur'an dan al-Sunnah, artinya produk ini
seharusnya applicable pada sistem keuangan modern, jika ternyata
produk ini tidak applicable berarti perlu ada interpretasi manusia atas
teks-teks tersebut (al-Qur'an dan al-Sunnah) tentang musyarakah dan
mudharabah, karena al-Qur'an dan al-Sunnah merupakan teks suci
Probl emat ika Pembiayaan Bagi Hasil 149

yang tidak bisa diutak-atik lagi, yang dapat berubah sesuai dengan
perkembangan zaman adalah interpretasi terhadap teks-teks suci
tersebut.
Pada bab X buku ini, akan mengkaji tentang redesign konsep
musyarakah dan mudharabah dalam rangka meminimalisir
ketidakjujuran nasabah dalam rangka melaporkan kinerja keuangan
bisnisnya yang dibiaya oleh bank syariah, sehingga tidak
menimbulkan biaya dan effort lebih bagi bank syariah dan juga tidak
menjadikan ribet bagi nasabah, yang akhirnya akan menjadikan
musyarakah dan mudharabah menjadi produk pembiayaan bagi hasil
yang efektif dan efisien, baik bagi bank maupun bagi nasabah.
Menjadi produk pembiayaan yang se-efektif dan se-efisien produk
murabahah, sehingga menjadi produk pembiayaan yang applicable
dan mudah untuk dipasarkan pada umat secara khusus dan
masyarakat secara umum.

-oo0oo-
150 Pembiayaan Musyarakah dan Mudharabah
BAB X

REDESIGN MUSYARAKAH
DAN MUDHARABAH;
SEBUAH SOLUSI

10.1 REDESIGN SEBUAH KEHARUSAN


Tak bisa dibantah, bahwa redesign produk pembiayaan berbasis bagi
hasil (musyarakah dan mudharabah) menjadi kunci perbankan
syariah untuk menjadikan kedua produk tersebut lebih kompetitif
dan lebih berkembang dengan cepat sesuai dengan kebutuhan
masyarakat. Redesign produk tersebut harus menjadi strategi prioritas
bagi bank-bank syariah, karena redesign tersebut memiliki peran
penting dalam merambah dan menguasai pasar yang selalu berubah
dan merupakan sebuah keharusan bagi bank syariah untuk
menjadikan produk berbasis bagi hasil sebagai produk unggulan.
Keberhasilan sistem perbankan syari’ah di masa depan akan banyak
tergantung kepada kemampuan bank-bank syari’ah menyajikan
produk-produk yang menarik, kompetitif dan memberikan ke-
mudahan transaksi, sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Dilihat dari fenomena penyaluran dana (pembiayaan) bank
syariah bahwa produk yang menjadi idola bank syariah adalah
murabahah. Kalau produk berbasis bagi hasil akan mencontoh
kesuksesan produk murabahah, minimal mendekati kesuksesan
produk murabahah maka harus dicari akar permasalahan mengapa
152 Pembiayaan Musyar akah dan Mudhar abah

murabahah menjadi sukses, apa perbedaan spesifikasi yang


mendasar antara keduanya dan apa kelemahan produk pembiayaan
berbasis bagi hasil. Bagi hasil merupakan ciri utama dari bank
syariah, masyarakat awam tahunya bahwa bank syariah adalah bank
bagi hasil yang berbeda dengan bank konvensional, akan tetapi
justru produk pembiayaan berbasis bagi hasil bukan sebagai produk
idola/unggulan bagi bank syariah. Miris jika fenomena ini dibiarkan
terus menerus tanpa adanya upaya untuk mencari solusi dengan cara
meredesign model pembiayaan berbasis bagi hasil, karenanya
redesign sebuah produk pembiayaan berbasis bagi hasil sangat
urgent bagi bank syariah, apalagi pada bab sebelumnya disimpulkan
bahwa “pure produk pembiayaan berbasis bagi hasil tidak efektif dan
efisien untuk diterapkan pada sistem perbankan modern”.

10.2 TITIK POIN MURABAHAH – PRODUK


PEMBIAYAAN BAGI HASIL
Pada bab sebelumnya telah diuraikan tentang kelemahan-kelemahan
produk pembiayaan berbasis bagi hasil yang dapat digunakan
sebagai dasar pijakan untuk me-redesign produk tersebut. Sedangkan
menurut Iman Sugema (2006), menyebutkan bahwa rendahnya
pembiayaan bagi hasil terutama disebabkan adanya asymmetric
information dan administrative problem (non-standardized
accounting, bad debt). Asymmetric information adalah kondisi yang
menunjukkan sebagian investor mempunyai informasi dan yang
lainnya tidak memilikinya. Asimetri informasi yang dilakukan agen
(pengusaha/debitur) dalam kontrak keuangan biasanya berbentuk
moral hazard dan adverse selection. Menurut Prof. Muhammad Abu
Zahrah (1999) dalam Ahmad Sumiyanto (2005) mengidentifikasikan
faktor-faktor yang menyebabkan pembiayaan bagi hasil kurang
menarik bagi bank syariah antara lain;
Pertama, Sumber dana bank syariah yang sebagian besar
berjangka pendek tidak dapat digunakan untuk pembiayaan bagi
hasil yang biasanya berjangka panjang. Kedua, pengusaha dengan
Redesign Musyar akah dan Mudhar abah; Sebuah Sol usi 153

bisnis yang memiliki tingkat keuntungan tinggi cenderung enggan


menggunakan sistem bagi hasil, hal ini terjadi karena pengusaha
beranggapan bahwa kredit dengan menggunakan sistem bunga lebih
menguntungkan dengan jumlah perhitungan yang sudah pasti,
sehingga pada umumnya yang banyak mengajukan pembiayaan bagi
hasil adalah usaha dengan keuntungan yang relatif rendah. Ketiga,
pengusaha dengan bisnis yang berisiko rendah enggan meminta
pembiayaan bagi hasil, kebanyakan pengusaha yang memilih
pembiayaan bagi hasil adalah mereka yang berbisnis dengan risiko
tinggi termasuk mereka yang baru terjun ke dunia bisnis, keempat,
untuk meyakinkan bank bahwa proyeknya akan memberikan
keuntungan tinggi dan mendorong pengusaha untuk membuat
proyeksi bisnis yang terlalu optimis. Kelima, banyak pengusaha yang
mempunyai dua pembukuan, pembukuan yang diberikan kepada
bank adalah yang tingkat keuntungannya kecil sehingga porsi
keuntungan yang harus diberikan kepada bank juga kecil padahal
pada pembukuan sebenarnya pengusaha membukukan keuntungan
besar.
Adapaun alasan yang menjelaskan tingginya prosentase
pembiayaan murabahah dalam operasi investasi perbankan syariah:
Pertama, produk pembiayaan murabahah adalah suatu produk
pembiayaan yang dipergunakan untuk membiayai pembiayaan
jangka pendek dibandingkan dengan sistem bagi hasil, cukup
memudahkan. Kedua, Mark-up dalam murabahah dapat ditetapkan
sedemikian rupa sehingga memastikan bahwa bank dapat mem-
peroleh keuntungan yang sebanding dengan keuntungan bank-bank
berbasis suku bunga yang menjadi saingan bank syariah. Ketiga,
Murabahah menjauhkan ketidakpastian yang ada pada pendapatan
dari bisnis-bisnis dengan sistem bagi hasil. Keempat, Murabahah
tidak memungkinkan bank-bank syariah untuk mencampuri
manajemen bisnis, karena bank bukanlah mitra si nasabah, sebab
hubungan mereka dalam murabahah adalah hubungan antara
kreditur dan debitur.
154 Pembiayaan Musyar akah dan Mudhar abah

Kelemahan dan keunggulan di antara keduanya tersebut


sekaligus bisa diketahui perbedaan mendasar di antara keduanya.
Musyarakah atau mudharabah adalah akad kerjasama (syirkah) antara
2 orang atau lebih untuk melakukan suatu usaha, kemudian setelah
mendapatkan hasil akan dibagi berdasarkan nisbah bagi hasil yang
disepakati.
Contoh pembiayaan musyarakah/mudharabah ternak qurban
sebesar Rp 10.000.000, dan nisbah bagi hasil 60:40 (bank: nasabah).
Rencana pengembalian modal diangsur selama 12 bulan. Aktualisasi
hasil yang ada diperhitungkan sebesar Rp 1.000.000,00 maka
perhitungannya adalah :
Nisbah 60 : 40 aktualisasi hasil = Rp 1.000.000,00
Profit bank 60/100 × Rp 1.000.000 = Rp 600.000,00
Keuntungan nasabah = Rp 400.000,00
Jadi pembayaran ke bank pokok
+profit = Rp 833.333,33+600.000,00
= Rp 1.433.333,33
Perbedaan pembiayaan berbasis bagi hasil dengan bank
konvensional:
1. Pada pembiayaan berbasis bagi hasil, bank menanggung risiko
ketidakpastian hasil karena harus menunggu kinerja usaha
nasabah terlebih dahulu. Sedangkan di bank konvensional
ditetapkan bunga yang besarnya pasti tanpa harus tergantung
kinerja usaha nasabah. Meskipun usaha nasabah sedang turun
ataupun naik, pendapatan bank konvensional tetap sama.
2. Bank konvensional menggunakan sistem bunga, sedangkan di
bank syariah menggunakan nisbah bagi hasil.
Adapun murabahah adalah akad transaksi jual beli suatu
barang dengan mengambil keuntungan tertentu. Contoh: Bapak A
minta dibelikan sepeda motor dengan plafond sebesar Rp10 juta
kepada bank syariah Z. Kemudian bank menjual kepada bapak A
sebesar 12 juta dengan jangka waktu 2 tahun.
Redesign Musyar akah dan Mudhar abah; Sebuah Sol usi 155

Plafond = Rp 10.000.000,00
Margin/Keuntungan = Rp 2.000.000,00
Angsuran per bulan = Rp 500.000,00
Kalau begitu, apa bedanya dengan bank konvensional?
1. Transaksinya adalah jual beli, jadi obyeknya sepeda motor
bukan uang dan harus disebutkan di dalam akad. Sementara, di
bank konvensional transaksinya adalah meminjamkan uang,
bukan transaksi jual beli sepeda motor.
2. Harga jual sepeda motor dari bank kepada Bapak A tidak akan
berubah hingga masa angsuran berakhir. Kenapa? karena obyek
transaksi adalah sepeda motor bukan uang. Sementara di bank
konvensional, nilai angsuran akan sangat tergantung fluktuasi
suku bunga di pasar uang. Apabila suku bunga naik, maka
angsuran pun akan naik. Saat ini, ada juga bank konvensional
yang berani angsuran fix, tetapi biasanya hanya terbatas 1 atau 2
tahun, selebihnya tergantung suku bunga pasar.
Jadi, tugas kita sekarang adalah bagaimana produk pembiayaan
berbasis bagi hasil menjadi sedikit mirip dengan murabahah, karena
sudah jelas titik poin keunggulan murabahah adalah fix dan tidak
melanggar syariah.
Dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat dan
mengembangkan industri atau bisnis, praktisi telah melakukan
berbagai upaya untuk menciptakan produk-produk baru atau bahkan
– dan ini yang paling banyak—melakukan adaptasi dan ”syariatisasi”
terhadap produk-produk lama (konvensional). Untuk yang terakhir
ini, mengingat fungsinya masih relevan dan diperlukan, nama produk
lama tetap dipertahankan, tentu saja dengan diberi label khusus
untuk membedakannya dari produk konvensional; misalnya diberi
kata ”syariah” atau kini – untuk di lingkungan perbankan syariah
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku —diberi
label ”iB”. Sebagai contoh dapat dikemukakan antara lain kartu
kredit syariah, asuransi syariah, obligasi syariah, FX iB, dan – isu
(kabar) yang bergulir di akhir Mei 2009 lalu – Islamic Swap.
156 Pembiayaan Musyar akah dan Mudhar abah

Salah satu yang lagi marak diperbincangkan adalah multi akad.


Multi akad bisa dijadikan sebagai solusi untuk me-redesign produk
pembiayaan bagi hasil pada bank syariah. Sebelum mengkaji lebih
jauh tentang redesign produk pembiayaan berbasis bagi hasil dengan
multi akad, akan dibahas secara singkat tentang pengertian, hukum
dan jenis multi akad.

10.3 PENGERTIAN MULTI AKAD1


Salah satu parameter untuk menilai suatu produk apakah telah
memenuhi prinsip syariah atau tidak adalah dengan memperhatikan
akad-akad dan berbagai ketentuannya yang digunakan dalam produk
tersebut. Produk-produk dalam kegiatan keuangan syariah, jika
terhadapnya dilakukan al-takyîf al-fiqhi, beberapa atau bahkan
sebagian terbesar ternyata mengandung beberapa akad. Dalam setiap
transaksi, akad-akad tersebut dilakukan secara bersamaan atau
setidak-tidaknya setiap akad yang terdapat dalam suatu produk tidak
bisa ditinggalkan, karena kesemuanya merupakan satu kesatuan.
Transaksi seperti itu diistilahkan dengan ”Multi Akad/hybrid kontrak”
yang kini dalam peristilahan fikih muamalat kontemporer (fiqh al-
mu’amalat al-maliyah al-mu’ashirah) disebut dengan al-’uqud al-
murakkabah.
Dengan banyaknya transaksi modern yang menggunakan multi
akad sebagaimana disinggung di atas, kini atau bahkan pada
dasawarsa terakhir ini mulai ramai diperbincangkan para pakar fikih
sekitar keabsahan dari multi akad. Perbincangan dan perdebatan
mengenai keabsahan multi akad ini muncul bukan tanpa sebab.

1. Mengenai pembahasan multi akad penulis mengutip tulisan Muhsin Hariyanto


tanggal 13 Januari 2012 dengan judul “Multi Akad ((Al-’Uqûd Al-Murakkabah/
Hybrid Contracts)) dalam Transaksi Syari’ah Kontemporer Pada Lembaga
Keuangan Syari’ah Di Indonesia: Konsep dan Ketentuan (Dhawâbith) Dalam
Perspektif Fiqh”
 
Redesign Musyar akah dan Mudhar abah; Sebuah Sol usi 157

Sejumlah hadis Nabi – sekurangnya tiga buah hadis — secara lahiriah


(ma’na zhahir)—menunjukkan larangan penggunaan multi akad.
Misalnya, hadis tentang larangan untuk melakukan bai’ dan salaf,
larangan bai’ataini fi bai’atin, dan shafqataini fi shafqatin. Dengan
adanya hadis-hadis tersebut kiranya sangat wajar jika timbul
pertanyaan, apakah produk-produk keuangan syariah yang
menggunakan multi akad dapat dipandang memenuhi prinsip syariah
atau sebaliknya.
Multi dalam bahasa Indonesia berarti (1) banyak; lebih dari
satu; lebih dari dua; (2) berlipat ganda (Tim Penyusun. 1996. Kamus
Besar Bahasa Indonesia). Dengan demikian, multi akad dalam
bahasa Indonesia berarti akad berganda atau akad yang banyak, lebih
dari satu.
Sedangkan menurut istilah fikih, kata multi akad merupakan
terjemahan dari kata Arab yaitu al-’uqûd al-murakkabah yang berarti
akad ganda (rangkap). Al-’uqûd al-murakkabah terdiri dari dua kata
al-’uqûd (bentuk jamak dari ‘aqd) dan al-murakkabah. Kata ‘aqd
secara etimologi artinya mengokohkan, meratifikasi dan mengadakan
perjanjian (Munawwir. 1997). Sedangkan secara terminologi ‘aqd
berarti mengadakan perjanjian atau ikatan yang mengakibatkan
munculnya kewajiban (Ma’luf. 1986).
Menurut Wahbah az-Zuhaili (2004), ‘aqd adalah: “Pertalian
atau perikatan antara ijab dan qabul sesuai dengan kehendak syariah
yang menetapkan adanya akibat hukum pada objek perikatan”
Kata al-murakkabah (murakkab) secara etimologi berarti al-
jam’u (mashdar), yang berarti pengumpulan atau penghimpunan
(Munawwir. 1997). Kata murakkab sendiri berasal dari kata “rakkaba-
yurakkibu-tarkîban” yang mengandung arti meletakkan sesuatu pada
sesuatu yang lain sehingga menumpuk, ada yang di atas dan yang di
bawah. Sedangkan murakkab menurut pengertian para ulama fikih
adalah sebagai berikut:
158 Pembiayaan Musyar akah dan Mudhar abah

Himpunan beberapa hal, sehingga disebut dengan satu nama.


Seseorang menjadikan beberapa hal menjadi satu hal (satu nama)
dikatakan sebagai melakukan penggabungan (tarkîb). Sesuatu yang
dibuat dari dua atau beberapa bagian, sebagai kebalikan dari sesuatu
yang sederhana (tunggal/basîth) yang tidak memiliki bagian-bagian.
Meletakkan sesuatu di atas sesuatu lain atau menggabungkan
sesuatu dengan yang lainnya
Ketiga pengertian ini memiliki kelebihan dan kekurangan
masing-masing untuk menjelaskan makna persis dari istilah
murakkab. Pengertian pertama lebih tepat untuk digunakan karena
mengandung dua hal sekaligus, yaitu terhimpunnya beberapa hal
dan bersatunya beberapa hal itu yang kemudian menjadi satu
pengertian tertentu. Pengertian kedua tidak menjelaskan akibat dari
terhimpunnya beberapa hal itu. Meski pengertian kedua menyatakan
adanya gabungan dua atau beberapa hal, tetapi tidak menjelaskan
apa dan bagaimana setelah terjadi penggabungan tersebut.
Pengertian terakhir lebih dekat kepada pengertian etimologis, tidak
menjelaskan pengertian untuk suatu istilah tertentu.
Dengan demikian pengertian pertama lebih dekat dan pas
untuk menjelaskan maksud al-’uqûd al-murakkabah dalam konteks
fikih muamalah. Karena itu, akad murakkab menurut Nazih Hammad
adalah (Hasanudin. 28 Mei 2009):
“Kesepakatan dua pihak untuk melaksanakan suatu akad yang
mengandung dua akad atau lebih–seperti jual beli dengan
sewa menyewa, hibah, wakalah, qardh, muzara’ah, sahraf
(penukaran mata uang), syirkah, mudharabah … dst.– sehingga
semua akibat hukum akad-akad yang terhimpun tersebut, serta
semua hak dan kewajiban yang ditimbulkannya dipandang
sebagai satu kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan,
sebagaimana akibat hukum dari satu akad.”
Redesign Musyar akah dan Mudhar abah; Sebuah Sol usi 159

Sedangkan menurut Al-‘Imrani, akad murakkab adalah:


“Himpunan beberapa akad kebendaan yang dikandung oleh
sebuah akad, baik secara gabungan maupun secara timbal
balik, sehingga seluruh hak dan kewajiban yang
ditimbulkannya dipandang sebagai akibat hukum dari satu
akad.”

10.4 MACAM-MACAM MULTI AKAD


Al-‘Imrani membagi multi akad dalam lima macam, yaitu al-’uqûd al-
mutaqâbilah, al-’uqûd al-mujtami’ah, al-’uqûd al-mutanâqidhah wa
al-mutadhâdah wa al-mutanâfiyah, al-’uqûd al-mukhtalifah, al-’uqûd
al-mutajânisah. Dari lima macam itu, menurutnya, dua macam yang
pertama; al-’uqûd al-mutaqâbilah, al-’uqûd al-mujtami’ah, adalah
multi akad yang umum dipakai (Hasanudin. 28 Mei 2009).

10.4.1 Akad Bergantung/Akad Bersyarat (al-’uqûd al-


mutaqâbilah)
Al-Mutaqâbilah menurut bahasa berarti berhadapan. Sesuatu
dikatakan berhadapan jika keduanya saling menghadapkan kepada
yang lain. Sedangkan yang dimaksud dengan al-’uqûd al-
mutaqâbilah adalah multi akad dalam bentuk akad kedua merespon
akad pertama, di mana kesempurnaan akad pertama bergantung
pada sempurnanya akad kedua melalui proses timbal balik. Dengan
kata lain, akad satu bergantung dengan akad lainnya.

10.4.2 Akad Terkumpul (al-’uqûd al-mujtami’ah)


Al-’uqûd al-mujtami’ah adalah multi akad yang terhimpun dalam
satu akad. Dua atau lebih akad terhimpun menjadi satu akad. Seperti
contoh “Saya jual rumah ini kepadamu dan saya sewakan rumah
yang lain kepadamu selama satu bulan dengan harga lima ratus
ribu”.
160 Pembiayaan Musyar akah dan Mudhar abah

Multi akad yang mujtami’ah ini dapat terjadi dengan


terhimpunnya dua akad yang memiliki akibat hukum berbeda di
dalam satu akad terhadap dua objek dengan satu harga, dua akad
berbeda akibat hukum dalam satu akad terhadap dua objek dengan
dua harga, atau dua akad dalam satu akad yang berbeda hukum atas
satu objek dengan satu imbalan, baik dalam waktu yang sama atau
waktu yang berbeda.

10.4.3 Akad Berlawanan (al-’uqûd al-mutanâqidhah wa al-


mutadhâdah wa al-mutanâfiyah)
Ketiga istilah al-mutanâqidhah, al-mutadhâdah, al-mutanâfiyah
memiliki kesamaan bahwa ketiganya mengandung maksud adanya
perbedaan. Tetapi ketiga istilah ini mengandung implikasi yang
berbeda.
Mutanâqidhah mengandung arti berlawanan, seperti pada
contoh seseorang berkata sesuatu lalu berkata sesuatu lagi yang
berlawanan dengan yang pertama. Seseorang mengatakan bahwa
sesuatu benar, lalu berkata lagi sesuatu itu salah. Perkataan orang ini
disebut mutanâqidhah, saling berlawanan. Dikatakan mutanâqidhah
karena antara satu dengan yang lainnya tidak saling mendukung,
melainkan mematahkan.

10.4.4 Akad Berbeda (al-’uqûd al-mukhtalifah)


Yang dimaksud dengan multi akad yang mukhtalifah adalah
terhimpunnya dua akad atau lebih yang memiliki perbedaan semua
akibat hukum di antara kedua akad itu atau sebagiannya. Seperti
perbedaan akibat hukum dalam akad jual beli dan sewa, dalam akad
sewa diharuskan ada ketentuan waktu, sedangkan dalam jual beli
sebaliknya. Contoh lain, akad ijârah dan salam. Dalam salam, harga
salam harus diserahkan pada saat akad (fi al-majlis), sedangkan
dalam ijârah, harga sewa tidak harus diserahkan pada saat akad.
Redesign Musyar akah dan Mudhar abah; Sebuah Sol usi 161

Perbedaan antara multi akad yang mukhtalifah dengan yang


mutanâqidhah, mutadhâdah, dan mutanâfiyah terletak pada
keberadaan akad masing-masing. Meskipun kata mukhtalifah lebih
umum dan dapat meliputi ketiga jenis yang lainnya, namun dalam
mukhtalifah meskipun berbeda tetap dapat ditemukan menurut
syariat. Sedangkan untuk kategori berbeda yang ketiga mengandung
adanya saling meniadakan di antara akad-akad yang mem-
bangunnya. Dari pendapat ulama di atas disimpulkan bahwa multi
akad yang mutanâqidhah, mutadhâdah, dan mutanâfiyah adalah
akad-akad yang tidak boleh dihimpun menjadi satu akad. Meski
demikian pandangan ulama terhadap tiga bentuk multi akad tersebut
tidak seragam.

10.4.5 Akad Sejenis (al-’uqûd al-mutajânisah)


Al-’uqûd al-murakkabah al-mutajânisah adalah akad-akad yang
mungkin dihimpun dalam satu akad, dengan tidak memengaruhi di
dalam hukum dan akibat hukumnya. Multi akad jenis ini dapat terdiri
dari satu jenis akad seperti akad jual beli dan akad jual beli, atau dari
beberapa jenis seperti akad jual beli dan sewa menyewa. Multi akad
jenis ini dapat pula terbentuk dari dua akad yang memiliki hukum
yang sama atau berbeda.

10.5 HUKUM MULTI AKAD


Status hukum multi akad belum tentu sama dengan status hukum dari
akad-akad yang membangunnya. Seperti contoh akad bai’ dan salaf
yang secara jelas dinyatakan keharamannya oleh Nabi SAW Akan
tetapi jika kedua akad itu berdiri sendiri-sendiri, maka baik akad bai’
maupun salaf diperbolehkan. Begitu juga dengan menikahi dua
wanita yang bersaudara sekaligus haram hukumnya, tetapi jika
dinikahi satu-satu (tidak dimadu) hukumnya boleh. Artinya, hukum
multi akad tidak bisa semata dilihat dari hukum akad-akad yang
membangunnya. Bisa jadi akad-akad yang membangunnya adalah
boleh ketika berdiri sendiri, namun menjadi haram ketika akad-akad
162 Pembiayaan Musyar akah dan Mudhar abah

itu terhimpun dalam satu transaksi. Dapat disimpulkan bahwa hukum


dari multi akad belum tentu sama dengan hukum dari akad-akad
yang membangunnya. Dengan kata lain, hukum akad-akad yang
membangun tidak secara otomatis menjadi hukum dari multi akad.
Meski ada multi akad yang diharamkan, namun prinsip dari
multi akad ini adalah boleh dan hukum dari multi akad diqiyaskan
dengan hukum akad yang membangunnya. Artinya setiap muamalat
yang menghimpun beberapa akad, hukumnya halal selama akad-
akad yang membangunnya adalah boleh. Ketentuan ini memberi
peluang pada pembuatan model transaksi yang mengandung multi
akad.
Mengenai status hukum multi akad, ulama berbeda pendapat
terutama berkaitan dengan hukum asalnya. Perbedaan ini
menyangkut apakah multi akad sah dan diperbolehkan atau batal dan
dilarang untuk dipraktikkan. Mengenai hal ini ulama berada dalam
dua pendapat tersebut; membolehkan dan melarang.
Mayoritas ulama Hanâfiyah, sebagian pendapat ulama
Malikiyah, ulama Syafi’iyah, dan Hanbali berpendapat bahwa hukum
multi akad sah dan diperbolehkan menurut syariat Islam. Bagi yang
membolehkan beralasan bahwa hukum asal dari akad adalah boleh
dan sah, tidak diharamkan dan dibatalkan selama tidak ada dalil
hukum yang mengharamkan atau membatalkannya (Hasanudin. 28
Mei 2009).
Menurut Ibnu Taimiyah, hukum asal dari segala muamalat di
dunia adalah boleh kecuali yang diharamkan Allah dan Rasul-Nya,
tiada yang haram kecuali yang diharamkan Allah, dan tidak ada
agama kecuali yang disyariatkan.
Hukum asal dari syara’ adalah bolehnya melakukan transaksi
multi akad, selama setiap akad yang membangunnya ketika
dilakukan sendiri-sendiri hukumnya boleh dan tidak ada dalil yang
melarangnya. Ketika ada dalil yang melarang, maka dalil itu tidak
diberlakukan secara umum, tetapi mengecualikan pada kasus yang
Redesign Musyar akah dan Mudhar abah; Sebuah Sol usi 163

diharamkan menurut dalil itu. Karena itu, kasus itu dikatakan sebagai
pengecualian atas kaidah umum yang berlaku yaitu mengenai
kebebasan melakukan akad dan menjalankan perjanjian yang telah
disepakati.
Demikian pula dengan Ibn al-Qayyim, ia berpendapat bahwa
hukum asal dari akad dan syarat adalah sah, kecuali yang dibatalkan
atau dilarang oleh agama. Karena hukum asalnya adalah boleh, maka
setiap akad dan syarat yang belum dijelaskan keharamannya oleh
Allah tidak bisa dinyatakan sebagai haram. Allah telah menjelaskan
yang haram secara rinci, karenanya setiap akad yang dinyatakan
haram harus jelas keharamannya seperti apa dan bagaimana.
Tidaklah boleh mengharamkan yang telah dihalalkan oleh Allah atau
dimaafkan, begitu pula tidak boleh menghalalkan yang telah
diharamkan oleh-Nya (Hasanudin. 28 Mei 2009).

10.6 BATASAN DAN STANDAR MULTI AKAD


Para ulama yang membolehkan praktik multi akad bukan berarti
membolehkan secara bebas, tetapi ada batasan-batasan yang tidak
boleh dilewati. Karena batasan ini akan menyebabkan multi akad
menjadi dilarang. Di kalangan ulama, batasan-batasan ini ada yang
disepakati dan diperselisihkan. Secara umum, batasan yang
disepakati oleh para ulama adalah sebagai berikut:

10.6.1 Multi Akad Dilarang karena Nash Agama


Dalam hadis, Nabi secara jelas menyatakan tiga bentuk multi akad
yang dilarang, yaitu multi akad dalam jual beli (ba’i) dan pinjaman,
dua akad jual beli dalam satu akad jual beli dan dua transaksi dalam
satu transaksi dalam sebuah hadis disebutkan.
“Dari Abu Hurairah R.A., Rasulullah SAW melarang jual beli
dan pinjaman.” (HR Ahmad)
164 Pembiayaan Musyar akah dan Mudhar abah

Suatu akad dinyatakan boleh selama objek, harga, dan


waktunya diketahui oleh kedua belah pihak. Jika salah satu di
antaranya tidak jelas, maka hukum dari akad itu dilarang.
Imam asy-Syafi’i memberi contoh, jika seseorang hendak
membeli rumah dengan harga seratus, dengan syarat dia
meminjamkan (salaf) kepadanya seratus, maka sebenarnya akad jual
beli itu tidak jelas apakah dibayar dengan seratus atau lebih.
Sehingga harga dari akad jual beli itu tidak jelas, karena seratus yang
diterima adalah pinjaman (‘âriyah). Sehingga penggunaan manfaat
dari seratus tidak jelas; apakah dari jual beli atau pinjaman.
Ibnu al-Qayyim berpendapat bahwa Nabi melarang multi akad
antara akad salaf (memberi pinjaman/qardh) dan jual beli, meskipun
kedua akad itu jika berlaku sendiri-sendiri hukumnya boleh.
Larangan menghimpun salaf dan jual beli dalam satu akad untuk
menghindari terjurumus kepada ribâ yang diharamkan. Hal itu terjadi
karena seseorang meminjamkan (qardh) seribu, lalu menjual barang
yang bernilai delapan ratus dengan harga seribu. Dia seolah memberi
seribu dan barang seharga delapan ratus agar mendapatkan bayaran
dua ribu. Di sini ia memperoleh kelebihan dua ratus.
Selain multi akad antara salaf dan jual beli yang diharamkan,
ulama juga sepakat melarang multi akad antara berbagai jual beli dan
qardh dalam satu transaksi. Semua akad yang mengandung unsur
jual beli dilarang untuk dihimpun dengan qardh dalam satu transaksi,
seperti antara ijarâh dan qardh, salam dan qardh, sharf dan qardh,
dan sebagainya.
Meski penggabungan qardh dan jual beli ini dilarang, namun
menurut al-‘Imrâni tidak selamanya dilarang. Penghimpunan dua
akad ini diperbolehkan apabila tidak ada syarat di dalamnya dan
tidak ada tujuan untuk melipatkan harga melalui qardh. Seperti
seseorang yang memberikan pinjaman kepada orang lain, lalu
beberapa waktu kemudian ia menjual sesuatu kepadanya padahal ia
masih dalam rentang waktu qardh tersebut. Yang demikian
Redesign Musyar akah dan Mudhar abah; Sebuah Sol usi 165

hukumnya boleh. Sedangkan larangan penghimpunan dua akad jual


beli dalam satu akad jual beli didasarkan pada hadis Nabi yang
berbunyi: “Dari Abu Hurairah, berkata: “Rasulullah SAW melarang
dua jual beli dalam satu jual beli”. (HR Malik)

10.6.2 Multi Akad Sebagai Hîlah Ribâwi


Multi akad yang menjadi hîlah ribawi dapat terjadi melalui
kesepakatan jual beli ‘înah atau sebaliknya dan hîlah ribâ fadhl.
a. Al-‘Înah
Contoh ‘inah yang dilarang adalah menjual sesuatu dengan harga
seratus secara cicil dengan syarat pembeli harus menjualnya kembali
kepada penjual dengan harga delapan puluh secara tunai. Pada
transaksi ini seolah ada dua akad jual beli, padahal nyatanya
merupakan hîlah ribâ dalam pinjaman (qardh), karena objek akad
semu dan tidak faktual dalam akad ini. Sehingga tujuan dan manfaat
dari jual beli yang ditentukan syariat tidak ditemukan dalam transaksi
ini.
Ibn al-Qayyim menjelaskan bahwa agama menetapkan
seseorang yang memberikan qardh (pinjaman) agar tidak berharap
dananya kembali kecuali sejumlah qardh yang diberikan, dan
dilarang menetapkan tambahan atas qardh baik dengan hîlah atau
lainnya. Demikian pula dengan jual beli disyariatkan bagi orang yang
mengharapkan memberikan kepemilikan barang dan mendapatkan
harganya, dan dilarang bagi yang bertujuan ribâ fadhl atau ribâ nasa‘,
bukan bertujuan pada harga dan barang (Hasanudin. 28 Mei 2009).
Demikian pula dengan transaksi kebalikan ‘inah juga
diharamkan. Seperti seseorang menjual sesuatu dengan harga
delapan puluh tunai dengan syarat ia membelinya kembali dengan
harga seratus tidak. Transaksi seperti ini telah menyebabkan adanya
ribâ.
166 Pembiayaan Musyar akah dan Mudhar abah

b. Hîlah ribâ fadhl


Hal ini terjadi apabila seseorang menjual sejumlah (misalnya 2 kg
beras) harta ribawi dengan sejumlah harga (misalnya Rp 10.000)
dengan syarat bahwa ia – dengan harga yang sama (Rp 10.000)-
harus membeli dari pembeli tadi sejumlah harta ribawi sejenis yang
kadarnya lebih banyak (misalnya 3 kilogram) atau lebih sedikit
(misalnya 1 kilogram). Transaksi seperti ini adalah model hîlah ribâ
fadhl yang diharamkan.
Transaksi seperti ini dilarang didasarkan atas peristiwa pada
zaman Nabi SAW, di mana para penduduk Khaibar melakukan
transaksi kurma kualitas sempurna satu kilo dengan kurma kualitas
rendah dua kilo, dua kilo dengan tiga kilo dan seterusnya. Praktik
seperti ini dilarang Nabi SAW, dan beliau mengatakan agar ketika
menjual kurma kualitas rendah dibayar dengan harga sendiri, begitu
pula ketika membeli kurma kualitas sempurna juga dengan harga
sendiri.
Maksud hadis di atas, menurut Ibn al-Qayyim, adalah akad jual
beli pertama dengan kedua harus dipisah. Jual beli kedua bukanlah
menjadi syarat sempurnanya jual beli pertama, melainkan berdiri
sendiri. Hadis di atas ditujukan agar dua akad itu dipisah, tidak saling
berhubungan, apalagi saling bergantung satu dengan lainnya.
1. Multi akad menyebabkan jatuh ke ribâ
Setiap multi akad yang mengantarkan pada yang haram, seperti
ribâ, hukumnya haram, meskipun akad-akad yang mem-
bangunnya adalah boleh. Penghimpunan beberapa akad yang
hukum asalnya boleh namun membawanya kepada yang
dilarang menyebabkan hukumnya menjadi dilarang. Hal ini
terjadi seperti pada contoh:
2. Multi akad antara akad salaf dan jual beli
Seperti dijelaskan sebelumnya, bahwa Nabi melarang multi akad
antara akad jual dan salaf. Larangan ini disebabkan karena upaya
mencegah (sadd adz-dzarî’ah) jatuh kepada yang diharamkan
berupa transaksi ribawi.
Redesign Musyar akah dan Mudhar abah; Sebuah Sol usi 167

Jumhur ulama melarang praktik multi akad ini, yakni terjadinya


penghimpunan akad jual beli (mu’âwadhah) dengan pinjaman
(qardh) apabila dipersyaratkan. Jika transaksi multi akad ini
terjadi secara tidak disengaja diperbolehkan karena tidak adanya
rencana untuk melakukan qardh yang mengandung ribâ.
3. Multi akad antara qardh dan hibah kepada pemberi pinjaman
(muqridh)
Ulama sepakat mengharamkan qardh yang dibarengi dengan
persyaratan imbalan lebih, berupa hibah atau lainnya. Seperti
contoh, seseorang meminjamkan (memberikan utang) suatu harta
kepada orang lain, dengan syarat ia menempati rumah penerima
pinjaman (muqtaridh), atau muqtaridh memberi hadiah kepada
pemberi pinjaman, atau memberi tambahan kuantitas atau
kualitas objek qardh saat mengembalikan. Transaksi seperti ini
dilarang karena mengandung unsur ribâ. Apabila transaksi
pinjam meminjam ini kemudian disertai hadiah atau kelebihan,
tetapi dilakukan sendiri secara sukarela oleh orang yang diberi
pinjaman, tanpa ada syarat dan kesepakatan sebelumnya
hukumnya halal, karena tidak mengandung unsur ribâ di
dalamnya.
4. Multi akad terdiri dari akad-akad yang akibat hukumnya saling
bertolak belakang atau berlawanan
Kalangan ulama Malikiyah mengharamkan multi akad antara
akad-akad yang berbeda ketentuan hukumnya dan/atau akibat
hukumnya saling berlawanan atau bertolak belakang. Larangan
ini didasari atas larangan Nabi menggabungkan akad salaf dan
jual beli. Dua akad ini mengandung hukum yang berbeda. Jual
beli adalah kegiatan muamalah yang kental dengan nuansa dan
upaya perhitungan untung-rugi, sedangkan salaf adalah kegiatan
sosial yang mengedepankan aspek persaudaraan dan kasih
sayang serta tujuan mulia. Karena itu, ulama Malikiyah melarang
multi akad dari akad-akad yang berbeda hukumnya, seperti
antara jual beli dengan ju’âlah, sharf, musâqah, syirkah, qirâdh,
atau nikah.
168 Pembiayaan Musyar akah dan Mudhar abah

Meski demikian, sebagian ulama Malikiyah dan mayoritas


ulama non-Malikiyah membolehkan multi akad jenis ini. Mereka
beralasan perbedaan hukum dua akad tidak menyebabkan hilangnya
keabsahan akad. Dari dua pendapat ini, pendapat yang
membolehkan multi akad jenis ini adalah pendapat yang unggul
(Hasanudin. 28 Mei 2009). Larangan multi akad ini karena
penghimpunan dua akad yang berbeda dalam syarat dan hukum
menyebabkan tidak sinkronnya kewajiban dan hasil. Hal ini terjadi
karena dua akad untuk satu objek dan satu waktu, sementara
hukumnya berbeda. Sebagai contoh tergabungnya antara akad
menghibahkan sesuatu dan menjualnya. Akad-akad yang berlawanan
(mutadhâdah) inilah yang dilarang dihimpun dalam satu transaksi
(Hasanudin. 28 Mei 2009).

10.7 REDESIGN PEMBIAYAAN BERBASIS BAGI


HASIL SEBUAH SOLUSI
Tidak semua multi akad haram, artinya terdapat beberapa multi akad
dapat dipergunakan pada produk pembiayaan syariah. Multi akad ini
bisa dijadikan solusi alternatif untuk meredesign produk pembiayaan
berbasis bagi hasil dengan mengurangi kelemahannya dan
mendekatkan pada keunggulan murabahah. Adapun beberapa
contoh multi akad yang bisa dipergunakan dalam rangka redesign
produk.

10.8 REDESIGN MUSYARAKAH


Di sini akan diuraikan pengertian, aplikasi dan contoh dari
musyarakah yang digabung dengan akad lain, misalnya MMQ dan
musyarakah wal wa’ad.
Redesign Musyar akah dan Mudhar abah; Sebuah Sol usi 169

MMQ
Pengertian MMQ
Musyarakah Mutanaqisah adalah Musyarakah atau Syirkah yang
kepemilikan asset (barang) atau modal salah satu pihak (syarik)
berkurang disebabkan pembelian secara bertahap oleh pihak lainnya;
Ketentuan Akad
1. Akad Musyarakah Mutanaqisah terdiri dari akad Musyarakah/
Syirkah dan Bai’ (jual-beli).
2. Akad Musyarakah Mutanaqisah, pihak pertama (syarik) wajib
berjanji untuk menjual seluruh hishshah-nya secara bertahap dan
pihak kedua (syarik) wajib membelinya.
3. Jual beli sebagaimana dimaksud dalam angka 2 dilaksanakan
sesuai kesepakatan.
4. Setelah selesai pelunasan penjualan, seluruh hishshah LKS
beralih kepada syarik lainnya (nasabah).
Ketentuan Khusus
1. Aset Musyarakah Mutanaqisah dapat di-ijarah-kan kepada syarik
atau pihak lain.
2. Apabila aset Musyarakah menjadi obyek Ijarah, maka syarik
(nasabah) dapat menyewa aset tersebut dengan nilai ujrah yang
disepakati.
3. Keuntungan yang diperoleh dari ujrah tersebut dibagi sesuai
dengan nisbah yang telah disepakati dalam akad, sedangkan
kerugian harus berdasarkan proporsi kepemilikan. Nisbah
keuntungan dapat mengikuti perubahan proporsi kepemilikan
sesuai kesepakatan para syarik.
4. Kadar/Ukuran bagian/porsi kepemilikan asset Musyarakah syarik
(LKS) yang berkurang akibat pembayaran oleh syarik (nasabah),
harus jelas dan disepakati dalam akad;
5. Biaya perolehan aset Musyarakah menjadi beban bersama
sedangkan biaya peralihan kepemilikan menjadi beban pembeli;
170 Pembiayaan Musyar akah dan Mudhar abah

Aplikasi pada perbankan syariah


Dipergunakan untuk pembiayaan kepemilikan rumah, ruko,
kendaraan dan perkebunan
Contoh: Bapak A mengajukan permohonan pembiayaan ke-
pemilikan rumah atau ruko kepada bank syariah Z dengan
plafond sebesar Rp 700 juta, share 70:30, artinya harga
rumah atau ruko tersebut senilai 1 milyar dengan share
bank sebesar 70% (700 juta) dan share nasabah sebesar
30% (300 juta). Kemudian bank menyewakan kepada
bapak A sebesar 52,5 juta per tahun dengan asumsi harga
sewa selama 7 tahun tetap, meskipun bank berhak
mereview harga sewa setiap tahunnya, dan bank syariah Z
bersedia menjual hishshah-nya kepada bapak A secara
bertahap selama jangka waktu 7 tahun.
Plafond = Rp 700.000.000,00
Ujroh = Rp 52.500.000,00 × 7
= Rp 367.500.000,00
Angsuran per bulan = Rp 12.708.333,33
Dari uraian di atas, jika produk pembiayaan pure musyarakah,
angsuran nasabah ke bank adalah uncertain tergantung dari kinerja
usaha bapak A, tetapi dengan sistem seperti di atas, yaitu
menggunakan akad musyarakah, bay’ dan ijarah angsuran nasabah
ke bank menjadi fix, mendekati kemiripan keunggulan produk
murabahah, menghilangkan asymmetric information yang
diakibatkan ketidakjujuran salah satu dari kedua belah pihak.
Contoh: Bapak A mengajukan permohonan pembiayaan Per-
kebunan sawit dengan jangka waktu 15 tahun dengan
plafond sebesar Rp 70 milyar kepada bank syariah Z
menggunakan grace periode selama 5 tahun, share 70:30,
artinya harga pembangunan perkebunan sawit tersebut
senilai 100 milyar dengan share bank sebesar 70% (70
milyar) dan share nasabah sebesar 30% (30 milyar).
Redesign Musyar akah dan Mudhar abah; Sebuah Sol usi 171

Kemudian bank menyewakan kepada bapak A sebesar 5.6


milyar per tahun dengan asumsi harga sewa selama 15
tahun tetap, meskipun bank berhak mereview harga sewa
setiap tahunnya, dan bank syariah Z bersedia menjual
hishshah-nya kepada bapak A secara bertahap selama
jangka waktu 10 tahun karena grace periode selama 5
tahun.
Plafond = Rp 70.000.000.000,00
Ujroh = Rp 520.500.000,00 × 7
= Rp 367.500.000,00
Angsuran per bulan thn 1-5 = Rp 466.666.666,67
Angsuran per bulan thn ke 6 = Rp 1.300.000.000,00
Nasabah tentu merasa keberatan dengan adanya kewajiban
angsuran per bulan sebesar Rp 466.666.666,66 sementara sawit
belum produksi, agar semua bisa berjalan maka harus ada fasilitas
MDC (Margin During Contruction) kalau di bank konvensional
namanya IDC (Interest During Contruction) dengan multi akad juga,
kalau versi agustianto dengan menggunakan tawarruq emas, kalau
versi penulis menggunakan akad salam wal wakalah.
Dari uraian di atas, pembiayaan bisa jalan dengan win-win
solution, karena jika menggunakan pure musyarakah bank tidak
boleh mendapatkan bagi hasil untuk tahun ke 1 s/d tahun ke 5
karena kebun sawit belum produksi, belum menghasilkan untuk
dibagikan kepada bank. Dalam musyarakah selama belum ada hasil
tidak ada yang dibagihasilkan. Dengan menggunakan akad MMQ
transaksi menjadi lebih fleksibel, efektif dan efisien.

Two Step Financing Fixed Installment Musyarakah ma’al murabahah


Contoh: BPR Syariah A mengajukan permohonan pembiayaan
kebun kentang sebesar Rp. 70 juta dengan nilai proyek
sebesar Rp 100 juta kepada bank syariah Z, share 70:30,
artinya harga pembelian barang modal berupa kentang 100
172 Pembiayaan Musyar akah dan Mudhar abah

juta dengan share bank sebesar 70% (70 juta) dan share
nasabah sebesar 30% (30 juta) dan disepakati nisbah 72:28.
Pengajuan pembiayaan BPR Syariah A didasari oleh
pengajuan pembiayaan 10 nasabah per nasabah 10 juta
untuk pembelian bibit kentang dengan akad murabahah
dengan jangka waktu selama 3 tahun.
Perhitungan angsuran antara BPR Syariah A dengan nasabahnya
adalah :
Plafond @ nasabah Rp 10 juta ×10 = Rp 100 juta
Harga @ nasabah selama 3 thn Rp 16 juta × 10 = Rp 160 juta
Angsuran perbulan @ nasabah Rp 444.444,44 × 10
= Rp 4.444.444,44
Perhitungan angsuran antara BPR Syariah A dengan bank syariah Z
adalah :
Plafond Rp 70 juta
Nisbah 28 % Rp 60 juta × 28% = Rp 16,8 juta / 36
bln = Rp 466.666,67
Bagi Hasil perbulan Rp 466.666,67
Angsuran perbulan P+BH Rp 466.666,67 + 1.944.444,44
=Rp. 2.411.111,11
Rp 4.444.444,44 × 36 bln
= 160 juta
Dari uraian di atas, jika produk pembiayaan pure musyarakah,
angsuran nasabah ke bank tidak uncertain tergantung dari kinerja
usaha BPR Syariah A, tetapi dengan sistem seperti di atas, yaitu
menggunakan akad musyarakah wal murabahah angsuran nasabah
ke bank menjadi fix, mendekati kemiripan keunggulan produk
murabahah, menghilangkan asymmetric information yang di-
akibatkan ketidakjujuran salah satu dari kedua belah pihak.
Redesign Musyar akah dan Mudhar abah; Sebuah Sol usi 173

Two Step Financing Fixed Installment Musyarakah ma’al Istishna


Contoh: BPR Syariah A mengajukan permohonan pembiayaan
sebesar Rp. 70 juta dengan nilai proyek sebesar Rp 100 juta
kepada bank syariah Z, share 70:30, artinya harga
pembelian lapak pasar 100 juta dengan share bank sebesar
70% (70 juta) dan share nasabah sebesar 30% (30 juta) dan
disepakati nisbah 72:28. Pengajuan pembiayaan BPR
Syariah A didasari oleh pengajuan pembiayaan 4 nasabah
per nasabah 25 juta untuk indent lapak pasar dengan akad
istishna dengan jangka waktu selama 3 tahun.
Perhitungan angsuran antara BPR Syariah A dengan nasabahnya
adalah :
Plafond @ nasabah Rp 25 juta × 4 = Rp 100 juta
Harga @ nasabah selama 3 thn Rp 40 juta × 4 = Rp 160 juta
Angsuran perbulan @ nasabah Rp 1.111.111,11 × 4
= Rp 4.444.444,44
Rp 4.444.444,44 × 36 bln
= 160 juta
Perhitungan angsuran antara BPR Syariah A dengan bank syariah Z
adalah :
Plafond Rp 70 juta
Nisbah 28 % Rp 60 juta×28%= Rp 16,8 juta/36 bln
= Rp 466.666,67
Bagi Hasil perbulan Rp 466.666,67
Angsuran perbulan P+BH Rp 466.666,67 + 1.944.444,44
= Rp. 2.411.111,11
Dari uraian di atas, jika produk pembiayaan pure musyarakah,
angsuran nasabah ke bank tidak uncertain tergantung dari kinerja
usaha BPR Syariah A, tetapi dengan sistem seperti di atas, yaitu
menggunakan akad musyarakah wal isthisna angsuran nasabah ke
bank menjadi fix, mendekati kemiripan keunggulan produk
174 Pembiayaan Musyar akah dan Mudhar abah

murabahah, menghilangkan asymmetric information yang di-


akibatkan ketidakjujuran salah satu dari kedua belah pihak.

Two Step Financing Fixed Installment Musyarakah ma’al Ijarah


Contoh: BPR Syariah A mengajukan permohonan sebesar Rp. 70
juta dengan nilai proyek sebesar Rp 100 juta kepada bank
syariah Z, share 70:30, artinya harga pembelian lapak pasar
100 juta dengan share bank sebesar 70% (70 juta) dan
share nasabah sebesar 30% (30 juta). Pengajuan
pembiayaan BPR Syariah A didasari oleh pengajuan
pembiayaan 4 nasabah per nasabah 25 juta untuk indent
lapak pasar dengan akad istishna dengan jangka waktu
selama 3 tahun.
Perhitungan angsuran antara BPR Syariah A dengan nasabahnya
adalah :
Plafond @ nasabah Rp 25 juta × 4 = Rp 100 juta
Harga @ nasabah selama 3 thn Rp 40 juta × 4 = Rp 160 juta
Angsuran perbulan @ nasabah Rp 1.111.111,11 × 4
= Rp 4.444.444,44
Rp 4.444.444,44 × 36 bln
= 160 juta
Perhitungan angsuran antara BPR Syariah A dengan bank syariah Z
adalah :
Plafond Rp 70 juta
Nisbah 28 % Rp 60 juta × 28% = Rp 16,8 juta / 36 bln
= Rp 466.666,67
Bagi Hasil perbulan Rp 466.666,67
Angsuran perbulan P+BH Rp 466.666,67 + 1.944.444,44
= Rp. 2.411.111,11
Dari uraian di atas, jika produk pembiayaan pure musyarakah,
angsuran nasabah ke bank tidak uncertain tergantung dari kinerja
usaha BPR Syariah A, tetapi dengan sistem seperti di atas, yaitu
Redesign Musyar akah dan Mudhar abah; Sebuah Sol usi 175

menggunakan akad musyarakah wal ijarah angsuran nasabah ke


bank menjadi fix, mendekati kemiripan keunggulan produk
murabahah, menghilangkan asymmetric information yang di-
akibatkan ketidakjujuran salah satu dari kedua belah pihak.

10.9 REDESIGN MUDHARABAH

Two Step Financing Fixed Installment Mudharabah ma’al


murabahah
Mudharabah wal murabahah adalah gabungan dari dua akad, yaitu
mudharabah dan murabahah. Akad ini diaplikasikan untuk
membiayai BMT dan KSU Syariah.
Contoh: BMT atau KSU Syariah mengajukan permohonan pem-
biayaan kepada bank syariah Z dengan akad mudharabah,
plafond Rp 100 juta dengan nisbah 40:60. Kemudian BMT
atau KSU Syariah menyalurkan dana Rp 100 juta tersebut
kepada anggotanya, yaitu kelompok ojek sebanyak 10
orang per orang Rp 10 juta untuk keperluan pembelian
sepeda motor dengan harga Rp 16.000.000,00 per motor
dengan jangka waktu 3 tahun, antara BMT atau KSU
Syariah dengan anggotanya menggunakan akad
murabahah.
BMT atau KSU Syariah kepada anggotanya per orang
Plafond = Rp 10.000.000,00
Margin/Keuntungan = Rp 6.000.000,00
Angsuran per bulan = Rp 444.444,44
16.000.000,00 × 10 = Rp 160.000.000,00
Bank Syariah Z kepada BMT atau KSU Syariah
Plafond = Rp 100.000.000,00
Pendapatan = Rp 60.000.000,00
Nisbah 40% untuk bank = Rp 24.000.000,00
Angsuran per bulan (P+BH) = Rp 3.400.000,00
176 Pembiayaan Musyar akah dan Mudhar abah

Dengan sistem pembiayaan seperti ini, pihak bank dengan


mudah bisa mengontrol hasil usaha nasabahnya, sehingga
asymmetric information dan administrative problem bisa dihindari
dan bagi hasil yang diperoleh bank juga menjadi fix.

Two Step Financing Fixed Installment Mudharabah ma’al Ijarah


Mudharabah wal Ijarah adalah gabungan dari dua akad, yaitu
mudharabah danIjarah. Akad ini diaplikasikan untuk membiayai
BMT dan KSU Syariah.
Contoh: BMT atau KSU Syariah mengajukan permohonan
pembiayaan kepada bank syariah Z dengan akad
mudharabah, plafond Rp 100 juta dengan nisbah 40:60.
Kemudian BMT atau KSU Syariah menyalurkan dana Rp
100 juta tersebut kepada anggotanya, yaitu kelompok ojek
sebanyak 10 orang per orang Rp 10 juta untuk keperluan
pembelian sepeda motor dengan harga Rp 16.000.000,00
per motor dengan jangka waktu 3 tahun, antara BMT atau
KSU Syariah dengan anggotanya menggunakan akad IMBT.
BMT atau KSU Syariah kepada anggotanya per orang
Plafond = Rp 10.000.000,00
Ujroh = Rp 6.000.000,00
Angsuran per bulan = Rp 444.444,44
16.000.000,00 × 10 = Rp 160.000.000,00
Bank Syariah Z kepada BMT atau KSU Syariah
Plafond = Rp 100.000.000,00
Pendapatan = Rp 60.000.000,00
Nisbah 40% untuk bank = Rp 24.000.000,00
Angsuran per bulan (P+BH) = Rp 3.400.000,00
Redesign Musyar akah dan Mudhar abah; Sebuah Sol usi 177

Dengan sistem pembiayaan seperti ini, pihak bank dengan mudah


bisa mengontrol hasil usaha nasabahnya, sehingga asymmetric
information dan administrative problem bisa dihindari dan bagi hasil
yang diperoleh bank juga menjadi fix.

-oo0oo-
178 Pembiayaan Musyar akah dan Mudhar abah
BAB .....

DAFTAR PUSTAKA

Akhbar, Burhan. 2006. Sinergisme Konsep Corporate Governance


dan Konsep Distribusi Nila Tambah dalam Upaya
Meminimalisasi Permasalahan Agensi pada Pembiayaan
Mudharabah. Karya Tulis Disampaikan pada LKTI Temu Ilmiah
Nasional Universitas Jenderal Soedirman.
Al-Bahuti, Kasysyaf al-Qina.Vol.II, (Beirut : Dar al-Fikr,tt).
Al-Dasuqi, Hasiyah al-Dasuqi’ala al-Sarh al-Kabir. Juz III. (Beirut : Dar
al-Fikr,1989).
Al-Jaziri, ‘abdur-Rahman. Kitab al-fiqh ‘ala Madhahibi al-‘Arba’ah.
Kairo: al Istiqomah, tt.
Al-Nawawi, Riyad al-Salihin. Vol.IV. (Beirut : Dar al-Fikr,tt).
Al-Qayyim, Imam Ibnu, Madârij as-Sâlikin, Dar Ihyâ’ at-Turats al-
Arabi – Mu’assasah at-Tarikh al-Arabi. Beirut, II/204.
Al-Wasit, Al-Mu’jām, Al-juz’ al-awwal. Cet III. (Kairo, Majma’ al-
lughah al-Arabiyah). 1972.
Anshori, Abdul Ghofur. 2008. Penerapan Prinsip Syari’ah.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
180 Pembiayaan Musyarakah dan Mudharabah

Antonio, Muhammad Syafi’i, Bank Syari’ah Teori dan Praktek,


(Jakarta, Gema Insani Press dengan Tazkia Cendikia. 2001).
------------, Bank Syariah Bagi Bankir & Praktisi Keuangan, Bank
Indonesia dan Tazkia Institute. Jakarta. 1999.
Arifin, Zainul. 2003. Dasar-dasar Manajemen Bank Syariah. Jakarta:
AlvaBet.
Az-Zuhaili, Wahbah. 2004. Al-fiqh al-Islâmi …. Juz 4.
Bank Indonesia, Statistik Perbankan Syariah. Desember 2012.
Beik, Irfan Syauqi. 2007. Bank Syariah dan Pengembangan Sektor
Riil. Jakarta: pesantrenvirtual.com.
Capra, Fritjof, Titik Balik Peradaban: Sains, Masyarakat dan
Kebangkitan Kebudayaan, ter. M. Thoyibi. Yogyakarta:
Bentang, 1997.
Chapra, M. Umer, Sistem Moneter Islam, ter. Ikhwan Abidin Basri.
Jakarta: Gema Insani Press dan Tazkia Cendekia. 2000.
---------,“On DR Ma’ruf Dawalibi’s Argument for Justifying Interest:
Contemporary Interest Carries More Exploitation to the Poor
than Ancient Usury” dalam Nationalism, Secularism, Apostasy
and Usury in Islam, ed. Ala‘Eddin kharofa. Kuala Lumpur: A.
S. Noordeen. 1994.
Dewan Syari’ah Nasional, Himpunan Fatwa Dewan Syari’ah
Nasional untuk Lembaga Keuangan Syari’ah, Ed. 1, Diterbitkan
atas Kerjasama Dewan Syari’ah Nasional-MUI dengan Bank
Indinesia. 2001.
Diana Yumanita. Ascarya. 2005. Mencari Solusi Rendahya
Pembiayaan Bagi Hasil di Perbankan.
Harahap, Sofyan Safri. Akuntansi Islam. Jakarta: Bumi Aksara. 1999.
Haron, Sudin. Prinsip dan Operasi Perbankan Islam. Kuala Lumpur:
Berita Publishing SDN. BHD. 1996.
Daf t ar Pust aka 181

Ibn. Abidin, Radd al-Mukhtār ‘ala al-Durr al Mukhtār. juz IV. (Beirut:
Dar Ihya al-Turas.1987).
Ikatan Akuntansi Indonesia (IAI), Pernyataan Standar Akuntansi
Keuangan. 2007.
Karim, Adiwarman A. 2004, Bank Islam, Analisis Fiqih dan Keuangan
Edisi 2, PT Raja Grafindo, Jakarta).
Karim, Adiwarman Azwar, Bank Islam: Analisis Fiqh dan Keuangan,
Jakarta: Rajagrafindo persada. 2010.
Karim, Adiwarman A. 2004. Bank Islam, Analisis Fiqih dan Keuangan
Edisi 2, PT Raja Grafindo. Jakarta).
Karnaen Perwataatmadja dan Syafi’I Antonio, Apa dan Bagaimana
Bank Islam, PT Dana Bhakti Wakaf, Yogyakarta,1997.
Karnaen A. Perwataatmadja & Hendri Tanjung, Bank Syariah: Teori,
Praktik, dan Peranannya. Jakarta: Celestial Publishing. 2011
Khan, Muhammad Akram. “Time Value of Money” dalam An
Introduction to Islamic Finance, ed. Syeikh Ghazali, et. al.
Kuala Lumpur: Quill Publisher. 1992.
-------. An Introduction to Islamic Economics. Islamabad: International
Institute of Islamic Thought dan Institute of Policy Sutdies.
1994.
Ma’luf, Louis. 1986. Al-Munjid Fil Lughah. Beirut. Libanon: Darul
Masyruq. hal 519
Metwally, M. M. Teori dan Model ekonomi Islam. ter. M. Husein
Sawit. Jakarta: Bangkit Daya Insana. 1995.
Muhamad, Manajemen Bank Syariah. (Yogyakarta: UPP AMP YKPN.
2002) h. 101.
------------, Kontruksi Mudharabah dalam Bisnis Syariah. PSEI STIS.
Yogyakarta, 2001.
182 Pembiayaan Musyarakah dan Mudharabah

------------, 2005. Manajemen Bank Syariah Edisi Revisi. Yogyakarta:


Unit Penerbit dan Percetakan (UPP) AMP YKPN.
------------. 2005. Permasalahan Agency dalam Pembiayaan
Mudharabah Pada Bank Syariah di Indonesia. Disertasi.
Yogyakarta: UII Yogyakarta.
Munawwir, Ahmad Warson. 1997. Kamus Al-Munawwir Arab–
Indonesia Terlengkap. Surabaya: Pustaka Progresif. hal 953.
Muslehuddin, Muhammad. Menggugat Asuransi Modern:
Mengajukan Suatu Alternatif Baru dalam Perspektif Hukum
Islam. ter. Burhan Wirasubrata. Jakarta: Lentera. 1999.
Naf’an, “Paradigma Ilmu Ekonomi Islam”. (Yogyakarta: harveey.
2013).
Sabbiq, Sayyid. Fiqus Sunnah (Terjemahan). Bandung. Al Maarif
Sudarsono, Heri. 2008. Bank dan Lembaga Keuangan Syariah
Deskripsi dan Ilustrasi. Yogyakarta: EKONISIA.
Sugema, Iman. 2007. Islamic Banking: The Fact and Challenges.
Makalah disampaikan dalam SEconD 2007. Jakarta: Forum
Studi Islam FE UI 13 Feb 2007.
Sukirno, Sadono. Pengantar Teori Makro Ekonomi. Jakarta: Rajawali
Press. 2000.
Sumitro, Warkum, Asas-asas Perbankan Islam dan Lembaga-lembaga
Terkait: BMI dan Takaful di Indonesia. Jakarta: Rajagrafindo
Persada 2002.
Sumiyanto, Ahmad. 2005. Problem dan Solusi Transaksi Muharabah.
Yogyakarta: Magistra Insania Press.
Syafe’I, Rachmat. 2001. Fiqih Muamalah. Pustaka Setia: Bandung
Saeed, Abdullah, Bank Islam dan Bunga, Penerjemah. M. Ufuqul
Mubin, Nurul Huda dan Ahmad Sahidah (Yogyakarta. Pustaka
Pelajar. 2003) hal. 105.
Daf t ar Pust aka 183

Sjahdeini, Sutan Remy. 1999. Perbankan Islam. Pustaka Utama


Grafiti: Jakarta.
Suhendi, Hendi. Fiqh Muamalah. Rajawali Pers.
Timur Kuran, Islam and Mammon: The Economic Predicaments of
Islamism (Princeton: Princeton University. 2004). Bab I.
Qureshi, Anwar Iqbal Islam and The Theory of Interest. Delhi: Idarah
I, Adabiyat I dan Delli. 1979.
Wirdyaningsih, Bank dan Asuransi Islam di Indonesia. Ed.I. Cet. 1.
Jakarta. Kencana. 2005.
Ibnu al-Qayyim, Imam, Madârij as-Sâlikin. Dar Ihyâ’ at-Turats al-
Arabi – Mu’assasah at-Tarikh al-Arabi. Beirut. II/204.

-oo0oo-
184 Pembiayaan Musyarakah dan Mudharabah

Anda mungkin juga menyukai