Anda di halaman 1dari 15

Diterjemahkan dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia - www.onlinedoctranslator.

com

Jurnal Filsafat Vol. 39, Nomor 1, April 2006

PENGEMBANGAN SISTEM FILSAFAT PANCASILA1

Oleh:Soedarso2

Abstrak
Pancasila adalah sistem filsafat, hubungan setiap prinsip
adalah hierarki-piramidal. Konsekuensi logis Pancasila sebagai suatu sistem
filosofis, oleh karena itu, memberikan landasan bagi penerapannya dalam praktik
pemerintahan Indonesia—ekonomi, budaya, hukum, pertahanan, etika sosial,
teknologi, dan sistem pendidikan. Seharusnya Pancasila tidak hanya dimaknai
sebagai “Lima Etika”, tetapi secara alamiah Pancasila adalah “Lima Asas
Kebangsaan Indonesia”. Sangat penting diperhatikan bahwa dalam kehidupan
bernegara bangsa, Pancasila sebagai jati diri bangsa harus dikembangkan agar
bangsa Indonesia sejajar dengan bangsa lain dalam kondisi kesejahteraan dan
keadilan. Perbedaan interpretasi Pancasila tidak membuatnya miskin tetapi
malah membuatnya kuat sebagai sistem filsafat.

Kata kunci:Pancasila, hierarki-piramida, sistem filsafat,


Implementasi, kuat.

A. Esensi Filsafat

Lahirnya filsafat sebagai sistem pemikiran yang khas


tidak lepas dari apa yang terjadi di Yunani pada tahun 600 SM, yaitu awal
ditinggalkannya pemikiran mitologis yang digantikan oleh cara berpikir
yang lebih rasional dan argumentatif. Filsafat berasal dari kata Yunani:
filosofi(cinta dansophos(pengetahuan atau kebijaksanaan). Filsafat
adalah upaya berpikir secara rasional (penalaran), sistematis (koheren),
radikal (dalam), komprehensif (utuh), dan universal (objektif/
intersubjektif) tentang segala sesuatu. Berbeda dengan pemikiran
mitologis yang cenderung irasional, kontradiktif, terfragmentasi dan
subjektif.

Filsafat adalah rasional, artinya didasarkan pada penalaran dan


argumentasi berdasarkan akal sehat. Penjelasan itu

1Disajikan sebagaiKertas Pendukungdalam Seminar NasionalIngat Satu


Abad Kelahiran Prof Notonagoroberdasarkan temaKontekstualisasi dan Implementasi
Pancasila dalam Berbagai Aspek Kehidupan Berbangsa dan Bernegara, yang
dilaksanakan pada tanggal 1 Februari 2006 di Balai Senat UGM, Yogyakarta
2
Dosen Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) Surabaya

42
Jurnal Filsafat Vol. 39, Nomor 1, April 2006

dikeluarkan secara terbuka untuk diperdebatkan dan dapat diuji oleh siapa
saja untuk menemukan kebenaran yang mungkin belum pernah dilihat
sebelumnya. Sistematis, artinya didasarkan pada koherensi dalam alur
pemikiran tertentu, adalah sistem pemikiran yang bulat di mana kontradiksi
internal dihindari. Radikal berarti berpikir secara mendalam, sampai ke akar-
akarnya (radix: root), pada suatu penjelasan yang tidak memerlukan
penjelasan lebih lanjut. Komprehensif artinya mengulas secara menyeluruh,
dari berbagai sudut pandang, dan dari berbagai sisi. Universal, artinya
diterima secara umum, bebas dari ruang dan waktu.

Objek filsafat bersifat abstrak, artinya mempelajari apa


yang ada di balik hal-hal fisik untuk menemukan dasar metafisik,
misalnya sebelum lahirnya ilmu kedokteran, penjelasan apa yang
diperlukan yang disebut penyakit? Seorang filsuf bernama
Hippocrates menjelaskan bahwa penyakit adalah gangguan
kesehatan manusia yang disebabkan oleh unsur material.
Keyakinan bahwa ada penyebab material dalam setiap penyakit,
dan bukan yang lain, adalah dasar metafisik bagi munculnya ide-
ide tentang obat dan penyembuhan penyakit. Di sinilah ilmu dan
praktik kedokteran lahir. Tentu hasilnya akan berbeda jika
penjelasan penyakit itu dipahami sebagai “kutukan”, maka ilmu
kedokteran tidak akan lahir.

Demikian pula sebelum lahirnya ilmu hukum yang


mengandaikan adanya pembahasan tentang apa dan siapa manusia
itu, barulah dapat dirumuskan sanksi yang paling adil bagi suatu
peristiwa hukum. Perbedaan corak hukum suatu negara dengan
negara lain disebabkan oleh perbedaan pemahaman filosofis
tentang hakikat manusia.
Filsafat sebagai sistem pemikiran yang terpisah biasanya
disebut sebagai "ibu dari ilmu pengetahuanPerkembangan
pengertian filsafat dapat ditelusuri dari penjelasan-penjelasan yang
dikemukakan oleh beberapa filosof atau kelompok filosof sebagai
berikut (Lechte, 2001).

1.Pythagoras (580-500 SM)


Orang pertama yang mengemukakan istilah “filsafat”. Sebagai orang
yang memiliki kecerdasan matematis yang luar biasa, Pythagoras hanya
mengaku sebagai “pencinta ilmu” (philos = cinta,

43
Jurnal Filsafat Vol. 39, Nomor 1, April 2006

shopia = pengetahuan). Sebagai orang yang dikenal pandai,


Pythagoras tidak menyombongkan diri dengan mengaku memiliki
ilmu meskipun ilmunya tidak diragukan.

2. Socrates (468-399 SM)


Socrates adalah guru Plato, sedangkan Plato adalah guru Aristoteles.
Socrates, Plato dan Aristoteles adalah trio filsuf besar Yunani kuno yang
pengaruhnya terasa hingga saat ini. Socrates memandang bahwa
pengetahuan tidak semata-mata subjektif dan relatif, tetapi sebenarnya
ada pengetahuan yang objektif dan permanen, jika kita dapat
menemukannya. Filsafat membantu manusia untuk menemukan
pengetahuan yang objektif dan pasti.

3. Plato (427-347 SM)


Filsafat sama saja dengan membuka kembali tabir pengetahuan yang
benar, abadi dan tidak berubah, yaitu pengetahuan yang berasal dari
“dunia ide”, yang telah tertutupi oleh “dunia maya” yang serba berubah dan
tidak kekal di dunia ini. Plato membedakan antara pengetahuan sejati dan
pengetahuan semu. Keberadaan filsafat adalah untuk menemukan
pengetahuan sejati yang bekerja di balik alam ini.

4. Aristoteles (384-322 SM)


Aristoteles dikenal sebagai Bapak Logika. Filsafat menurutnya adalah
untuk menemukan pengetahuan yang benar berdasarkan pengamatan
dunia ini, bukan berdasarkan 'alam lain' seperti yang terjadi pada Plato.
Dengan filsafat, seseorang dapat membedakan pengetahuan yang
bersifat fundamental (substansial, prinsipal) dari yang sekedar
penampakan (accidental, just accidental).

5. Al Kindi (801-865)
Filsuf Islam pertama dan ahli dalam kedokteran, matematika, komposer dan
astronomi. Filsafat dipandang tidak bertentangan dengan Al-Qur'an,
melainkan melengkapinya. Menurutnya, ada dua jenis pengetahuan:
pengetahuan ilahi (sumber wahyu) dan pengetahuan manusia (sumber
akal).

6. Descartes (1596-1650)
Ahli geometri dan penemu diagram Cartesian ini dikenal sebagai
Bapak Filsafat Modern. Filsafat dimulai dengan meragukan segala
sesuatu sampai memperoleh pengetahuan yang kokoh, yang tidak
dapat diragukan, bahkan sampai berakhir pada pengakuan akan
keberadaan Tuhan.

44
Jurnal Filsafat Vol. 39, Nomor 1, April 2006

7. Immanuel Kant (1724-1804)


Pengetahuan kita tentang sesuatu dapat dibagi menjadi dua hal, yaitu
pengetahuan tentang noumenal dan pengetahuan tentang fenomena.
Noumena adalah hal-hal yang terus menjadi dasar tentang sesuatu,
sedangkan fenomena adalah penampakan awal dari sesuatu. Filsafat
mengungkap noumena. Meskipun kita tidak akan pernah mencapai
noumena yang paling lengkap, kita tidak boleh terjebak oleh fenomena.
Filsafat juga bagaimana menemukan pengetahuan yang “sintetik apriori”,
sebagai perpaduan antara pemikiran rasional (analytical apriori) dengan
empiris (synthetic a posteriori). Pengetahuan sintesis apriori akan berisi
pengetahuan tentang informasi baru yang memiliki tingkat kebenaran
universal.

8. Kelompok Filsuf Pragmatisme


Filsafat harus didasarkan pada fakta dan kegunaan nyata. Nilai sejati
suatu ilmu ditentukan oleh seberapa bermanfaatnya bagi manusia.
Tidak ada kebenaran umum, tetapi semua berpotensi benar meskipun
berbeda.

9. Kelompok filsuf postmodernis


Postmodernisme mengakui pluralitas sebagai realitas. Banyaknya
penjelasan (tidak hanya tunggal) yang mungkin berbeda atau bahkan
saling bertentangan, dapat diterima sebagai penjelasan yang benar atau
mungkin benar.

Dari berbagai pemahaman tersebut, pada dasarnya filsafat


mengajak untuk selalu berpikir kritis dan mendalam tentang segala
sesuatu. Pengetahuan yang menyebar di masyarakat dan budaya dari
zaman dahulu, kuno hingga modern, belum menjamin kebenaran
maknanya. Pengetahuan ini harus selalu dipertanyakan kembali.
Seseorang tidak boleh menerima begitu saja tanpa pemahaman yang
jelas tentang sumber, metodologi, batas wewenang, dan pembenaran
atas pengetahuannya.

45
Jurnal Filsafat Vol. 39, Nomor 1, April 2006

B. Sistem Filsafat Pancasila

1. Unsur identitas nasional dan modernitas

Secara etimologis, istilah Pancasila menurut Muhammad Yamin


berasal dari bahasa Sansekerta “panca” yang berarti lima, dan “sila” yang
dapat memiliki dua arti: “shiila” yang berarti aturan perilaku yang
dianggap baik atau normal atau penting; atau "silayang berarti asas,
dasar, atau bersama (Suhadi, 1986). Dengan demikian, Pancasila secara
etimologis dapat berarti “lima dasar” atau “lima kaidah perilaku yang
penting”. Arti kedua (sila) lebih luas dari arti pertama (shiila) yang
berkonotasi moral praktis dan terbatas pada masalah perilaku.

Sepanjang sejarah diketahui bahwa istilah pancasila dalam pengertian


shiilasudah lama ada di Nusantara, jauh sebelum berdirinya Indonesia.
Sementara itu, pada masa Indonesia istilah “Pancasila” dipahami dalam arti:sila
sebagaimana diimplementasikan sebagai dasar falsafah negara.

Pada masa kerajaan Buddha di Nusantara sekitar abad ke-8 Masehi,


Istilah Pancasila berarti "lima pantangan" yang tidak boleh dilakukan
seseorang, yaitu: membunuh, mencuri, berzina, berbohong, dan meminum
minuman keras atau memabukkan. Pada zaman Jawa Kuno dalam kitab
Negara Kertagama (1365 M) terdapat istilah Pancasila yang juga berarti
“lima larangan” yang ditujukan kepada Raja dan rakyat Majapahit pada
waktu itu, yaitu larangan terhadap tindakan kekerasan, mencuri, iri hati,
berbohong, dan minuman keras.

Pada zaman Jawa kontemporer, istilah Pancasila


berkonotasi dengan nama lain larangan memiliki “mafive” yaitu:
mati(membunuh),maling(mencuri),madon(zina),candu(mabuk)
danbermain(berjudi). Artinya masyarakat dianjurkan untuk tidak
melakukan ma-lima. Semua ajaran moral Pancasila pada berbagai
waktu lebih didasarkan pada satu rasionalitas, satu logika, dan
juga pengalaman hidup anggota masyarakat bahwa jika
seseorang melanggarnya, mereka akan dihadapkan pada
berbagai masalah dan yang sering menyebabkan bencana. .

Pengertian pancasila dalam lintasan sejarah nusantara,


sebagaimana telah disebutkan, menunjukkan bahwa ruang lingkupnya
masih sederhana, yaitu hanya mengatur bagaimana seseorang

46
Jurnal Filsafat Vol. 39, Nomor 1, April 2006

individu menjalani kehidupan sosial, atau diartikan sebagai aturan perilaku


yang baik dan penting (sebagaisheila”). Namun, hal ini sangat penting,
terutama untuk menunjukkan bahwa istilah Pancasila sebenarnya bukanlah
hal yang asing dalam kehidupan masyarakat.

Saat ini, Pancasila memperoleh makna yang lebih luas


mengenai dasar ketatanegaraan Indonesia. Pancasila sebagai dasar
negara Indonesia juga memiliki berbagai penafsiran yang tidak
seragam seperti yang terlihat sepanjang sejarah tahun 1945 sampai
sekarang (tahun 2006). Berbagai ini
Tafsir pada hakikatnya merupakan upaya rasional dan filosofis untuk
menentukan bagaimana seharusnya Pancasila.

Munculnya Pancasila sebagai Dasar Negara Negara


Kesatuan Republik Indonesia melalui tahap pengusulan oleh
BPUPKI, tahap perumusan juga oleh BPUPKI, dan tahap penetapan/
pengesahan oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945 di Jakarta.
Pancasila memiliki beberapa arti, antara lain:
sebuah. Asas dan Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia (Muh. Yamin, BPUPKI, 29
Mei 1945).
b. Dasar Indonesia merdeka (Ir. Soekarno, BPUPKI, 1 Juni 1945).
c. Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Yang Berdaulat Rakyat (Panitia 9, BPUPKI, 22
Juni 1945).
d. Filosofi Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan Kedaulatan Rakyat (PPKI, 18
Agustus 1945).
e. Dasar Administrasi Negara (RIS dan UUDS, 1950-1959).

f. Filosofi Dasar Negara Republik Indonesia (Keputusan Presiden Republik Indonesia, 5 Juli
1959). Penerapan Teori Kausal Aristoteles (Notonagoro dalam Suhadi, 1986) untuk
mendeskripsikan materi, proses, dan hasil Pancasila adalah sebagai berikut.

sebuah. Kausa Materialis artinya faktor material, Pancasila digali dari nilai-nilai
budaya bangsa yang telah berumur ribuan tahun oleh para pendiri negara
Indonesia seperti : Ir.Sukarno, Muh.Yamin, dan sebagainya melalui
musyawarah bersama.
b. Kausa Formalis berarti faktor bentuk, Pancasila yang terdiri dari lima nilai
dasar kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia sebagaimana
tercantum dalam Pembukaan UUD 1945.
c. Sebab Efisiensi artinya faktor proses, Pancasila digali dan
dibahas bersama oleh BPUPKI untuk kemudian disahkan
oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945.

47
Jurnal Filsafat Vol. 39, Nomor 1, April 2006

d. Kausa Finalis berarti faktor tujuan, Pancasila bertujuan untuk dijadikan


sebagai dasar negara Indonesia.

Pemandangan dari Drijarkoro (1957), Muh. Yamin (1962),


Roeslan Abdoelgani (1962), Soediman Kartohadiprodjo (1969), dan
Notonagoro (1976), menyatakan bahwa Pancasila memenuhi syarat
sebagai filsafat, khususnya Filsafat Negara, karena Pancasila
merupakan hasil pemikiran yang mendalam, sistematis, dan
menyeluruh. tentang dasar kehidupan bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara (Sunoto, 1985).

Sebagai dasar negara, Pancasila dalam Negara Kesatuan


Republik Indonesia bukan hanya seperangkat ajaran moral.
Pancasila adalah sistem filsafat. Artinya, Pancasila merupakan
rumusan ideal bagaimana membangun bangsa Indonesia yang
dicita-citakan bangsa.
Pancasila adalah identitas bangsa, sekaligus landasan
modernitasnya. Identitas Indonesia tidak hanya dipertahankan
tetapi harus selalu digali. Identitas harus mampu memadukan dua
unsur yang kontradiktif: tradisional dan modern. Dalam modernitas
harus dijelaskan sejauh mana unsur-unsur modern dapat
dipribumikan dan sejauh mana unsur-unsur tradisional dapat
dimodernisasi. Identitas harus mampu mengintegrasikan berbagai
warisan tradisional serta mampu mendorong ke arah kemajuan dan
modernisasi (Darmaputera, 1997).

2. Satu kesatuan sila Pancasila

Pendekatan ontologis akan memperjelas makna Pancasila dari segi:


Esensial, Substansial, dan Nyata (Sunoto, 1985). Hakikat Pancasila adalah
intisari dari isi masing-masing sila dan akan diperoleh intisari isi masing-
masing sila Pancasila adalah Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan
(Indonesia), Kerakyatan, dan Keadilan.

Terdapat hubungan terbalik antara isi pemahaman dengan


keluasan pemahaman, artinya semakin kecil isi pemahaman maka semakin
luas pemahaman yang dikandungnya dan sebaliknya jika isi pemahaman
besar maka keluasan pemahaman semakin kecil. Begitu juga dengan
hakikat sila Pancasila, antara sila pertama dan kelima memiliki kandungan
makna yang semakin banyak namun dengan pengertian yang semakin luas.

48
Jurnal Filsafat Vol. 39, Nomor 1, April 2006

penyempitan, yaitu hanya untuk bangsa dan negara Indonesia, atau biasanya
dapat digambarkan dalam bentuk piramida terbalik dengan puncak di bagian
bawah.

Substansi adalah unsur, dasar atau bentuk utama dari sesuatu.


Dalam hal ini secara substansial: Pancasila berasal dari dirinya sendiri
(bangsa Indonesia), bukan dari unsur lain walaupun mungkin ada
persamaannya. Satu kesamaan mungkin saja terjadi karena manusia
Indonesia juga seperti manusia di belahan dunia lain, sehingga wajar jika
menemukan beberapa kesamaan. Pancasila berasal dari bangsa Indonesia
yang secara sistematis digali dan dikembangkan untuk diamalkan bersama
dalam negara Indonesia.

Pancasila itu nyata, artinya merupakan kenyataan hidup bagi


bangsa Indonesia, bukan sesuatu yang dibuat-buat. Bukti realitas
Pancasila akan mudah kita temukan dalam kehidupan masyarakat
Indonesia pada umumnya, kecuali beberapa kasus karena jumlah
penduduk Indonesia yang besar tentunya menimbulkan
permasalahan tersendiri yang terkadang sangat pelik dan tidak
sederhana.

Pendekatan kosmologis terhadap pengertian pancasila adalah


bagaimana pemaknaan pengertian pancasila bebas dari pemaknaan
insidental: ruang, waktu dan tempat untuk menemukan makna
universalnya (Sunoto, 1985). Dari kajian kosmologi diharapkan diperoleh
pemahaman yang tepat dan khas tentang apa yang dimaksud dengan
Pancasila. Secara formal, Pancasila dianggap lahir pada 1 Juni 1945 atau
ada yang mengira lahir 18 Agustus 1945, tetapi ada juga yang
menganggap Pancasila “belum lahir” di tanah Indonesia. Pancasila tidak
pernah lahir (artinya harus 'dilahirkan!') artinya Pancasila belum
sepenuhnya terwujud dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
Indonesia sesuai dengan makna filosofis yang dikandungnya.

Pendekatan logis dalam memahami Pancasila akan


menemukan keterkaitan yang abstrak dan sistematis dari pola-pola
pemikiran yang ada dalam sila-sila Pancasila. Misalnya, sila-sila
Pancasila merupakan satu kesatuan yang utuh. Hal ini merupakan
keniscayaan logis yang terkandung dalam makna Pancasila, walaupun
sebenarnya dapat dipahami bahwa sila-sila dalam Pancasila dapat
berdiri sendiri. Tetapi karena pada dasarnya kelima unsur sila tersebut
merupakan cerminan kebudayaan secara keseluruhan

49
Jurnal Filsafat Vol. 39, Nomor 1, April 2006

hubungan antar komponen yang terkandung di dalamnya, demikian


juga pancasila adalah kesatuan antar komponen yang terkandung di
dalamnya.

Hal ini dibuktikan dengan polemik yang berujung pada pelarangan


Partai Komunis Indonesia (PKI) karena dipandang bertentangan dengan
Pancasila dalam arti satu kesatuan yang utuh. Pada hakikatnya sila-sila
Pancasila tidak dapat dipisahkan, artinya setiap sila tidak dapat dipahami
secara terpisah dari sila lainnya. Masing-masing sila mengandung makna
empat sila lainnya atau prinsip saling mengkualifikasikan sila-sila Pancasila
(Suhadi, 1986).

Pancasila merupakan kesatuan sila di dalamnya, pola hubungan


antara sila yang satu dengan yang lainnya dapat dijelaskan berdasarkan
pola “hierarki piramida” (Notonagoro dalam Sunoto (1985) dan Suhadi
(1986) dengan ketentuan sebagai berikut.

sebuah. Sila yang berada di depan sila lainnya mendasari, meliputi, dan
menghidupkan sila berikut.
b. Sila di balik sila lainnya didasarkan pada, diliputi dan dijiwai oleh
ajaran yang mendahuluinya.
c. Sila-sila selanjutnya merupakan perwujudan atau spesialisasi dari sila-
sila sebelumnya.

Berdasarkan rumus hierarki piramida, maka:


sebuah. Sila I mendasari, meliputi dan menjiwai Sila II, III, IV dan V.
b. Sila II didasarkan pada, diliputi dan dijiwai oleh Sila I; dan mendasari, meliputi, dan
menjiwai sila III, IV dan V.
c. Sila III didasarkan pada, meliputi dan dijiwai dengan Sila I dan II; dan mendasari,
meliputi dan menjiwai sila IV dan V.
d. Sila IV didasarkan pada, meliputi dan dijiwai dengan Sila I, II dan III; dan
mendasari, meliputi dan menjiwai sila V.
e. Sila V didasarkan pada, meliputi dan dijiwai dengan Sila I, II, III dan IV.

Pancasila tidak bisa dipadatkan menjadi Tri Sila (Ketuhanan,


Sosial-Nasionalisme, Sosial Demokrasi) atau ke dalam Eka Sila (Gotong
royong), karena akan membiaskan kedalaman dan koherensi makna dari
lima sila Pancasila. Sebagai Ir. Sukarno telah mengusulkan Tri Sila dan
Eka Sila; Secara khusus Eka Sila yaitu gotong royong menurutnya
merupakan paham yang sangat cocok dengan Indonesia, merupakan
sesuatu yang dinamis di luar kekerabatan. Dari pilihan Pancasila, Tri Sila
dan Eka Sila yang dipilih dan disetujui adalah Pancasila. Pancasila juga
tidak bisa

50
Jurnal Filsafat Vol. 39, Nomor 1, April 2006

diperas menjadi paham NASAKOM (Nasionalis-Agama-Komunis), karena besarnya


kontradiksi antara Agama dan Komunis, dan karena bertentangan dengan
penjelasan Filsafat Pancasila yang saling berkualifikasi dan hierarkis piramidal.

C. Implementasi Sistem Filsafat Pancasila


1. Sistem dan elemen sistem

Sistem dapat diartikan sebagai bagian yang berbeda yang


berhubungan satu sama lain menjadi satu kesatuan untuk sampai pada suatu
fungsi tertentu. Satu sistem mengacu pada konotasi: pertama, adanya satu hal
atau tatanan atau susunan struktural bagian-bagiannya; kedua, adanya
rencana, metode, alat, atau prosedur untuk mencapai sesuatu (Amrin dalam
Pelly, 1994). Sistem mengandung beberapa elemen yang harus ada di
dalamnya, yaitu.
sebuah. Sistem terdiri dari subsistem (bagian dari sistem)
b. memiliki tujuan atau tujuan
c. antar sub sistem memiliki hubungan saling ketergantungan
dan merupakan satu kesatuan yang utuh
d. memiliki kemampuan untuk mengatur dan beradaptasi, serta memiliki
batas ruang lingkupnya sendiri. Batas ruang lingkup bukan berarti
dimatikan total, tetapi sebagai wujud dari keberadaan sistem.

Pancasila dengan demikian juga merupakan suatu sistem, dalam


penjelasan sila-sila Pancasila sebagai Satu Kesatuan yang tidak terpisahkan (Sub
bab B.2) telah ditunjukkan bahwa hubungan dalam sila-sila Pancasila bersifat
hierarkis piramidal. Pancasila adalah sebuah sistem, yaitu sistem filosofis.

Konsekuensi logis dari penerapan Pancasila sebagai sistem filosofis


adalah akan mendasari pelaksanaan konkrit kehidupan bernegara
Indonesia, baik tercermin dalam sistem ekonomi, budaya, hukum,
pertahanan, etika sosial, teknologi, pendidikan. Namun apakah sistem
filsafat Pancasila sudah sedemikian tercermin dalam kehidupan bernegara
Indonesia?

2. Sistem Liberal, Sistem Komunis, dan Sistem Pancasila

Ada dua pertanyaan penting mengenai implementasi dari


Sistem filsafat pancasila, yaitu: pertama, apa sebenarnya sistem filsafat pancasila yang
membedakannya dengan sistem filsafat pancasila?

51
Jurnal Filsafat Vol. 39, Nomor 1, April 2006

filosofi lain?; kedua, sejauh mana transformasi sistem filsafat pancasila ke berbagai
bidang? Untuk pertanyaan pertama, kurang lebih telah dibahas pada sub bab (B)
Sistem Filsafat Pancasila.

Sistem filsafat Pancasila berbeda dengan sistem filsafat lainnya


(liberal dan komunis). Beberapa masalah utama dapat dijelaskan
sebagai berikut:

Liberal Komunis Pancasila


Sistem Kapitalisme: Sosialisme: Pancasila:
Ekonomi - Peran kecil - Ini kecil Keseimbangan

pemerintah peran pribadi peran


- Dominan - Dominan pemerintah
pribadi peran dan pribadi
pemerintah
Sistem Demokrasi Demokrasi Demokrasi
Politik Liberal: Komunis: Pancasila:
Jaminan kebebasan Ekspresi Rakyat Pengaturan
orang untuk dikendalikan kebebasan dan
ekspresi kontrol
Sistem - Kebebasan - Dominasi - Penyelarasan
Budaya individu kelompok Individu
- Pengakuan - Pengakuan di
DAGING Hak Dasar kelompok

- Hak asasi Manusia

dikendalikan

Dari tabel tersebut terlihat bahwa terdapat perbedaan antara sistem filsafat pancasila
dengan sistem filsafat lainnya. Persoalannya, sejauh mana sistem filsafat Pancasila
menghadapi berbagai tantangan dan hambatan?

Isu-isu konkrit kehidupan berbangsa dan bernegara terkadang


berbeda dengan ide-ide konseptual yang ideal. Perbedaan antara
konseptual dan konkret dapat diterima dalam batas-batas yang wajar jika
karena masalah penafsiran yang terbatas dan
penerapan. Namun jika perbedaan konseptual dan konkrit tersebut
sengaja dibuat sedemikian rupa, sengaja didistorsi untuk kepentingan
unsur-unsur tertentu, maka hal ini akan mengakibatkan melemahnya
sistem filsafat Pancasila atau bahkan pengakuan keabsahan sistem
tersebut. Praktik doktrinal, terjadinya kolusi, korupsi dan nepotisme,
dapat memperburuk citra

52
Jurnal Filsafat Vol. 39, Nomor 1, April 2006

sistem filsafat Pancasila, bahkan menjadi stigma terhadap sistem filsafat Pancasila.

Pemerintah harus menggunakan prinsip yang seimbang untuk


mengembangkan implementasi sistem filosofi Pancasila di berbagai
bidang: ekonomi, politik, pendidikan, budaya dan sebagainya, tanpa
mengorbankan kebebasan individu atau rakyat untuk mengekspresikan
diri, menciptakan berbagai model yang mungkin sesuai. dan atau dapat
mendukung sistem filsafat. Pancasila. Jika hal ini dapat terus diwujudkan,
dengan penuh keyakinan, bangsa ini akan mampu menjadi bangsa yang
mandiri, kreatif dan inovatif, tidak hanya mengikuti atau sepenuhnya
bergantung pada bangsa lain. Pertanyaannya, sejauh mana kita siap
menjadi bangsa seperti ini?

Kegagalan Orde Lama dan Orde Baru (tanpa


berniat mengabaikan keberhasilannya) harus menjadi pelajaran berharga
untuk lebih menemukan jati diri dan kekuatan bangsa. Sekalipun hari ini
(era reformasi) bangsa ini gagal memperkuat sistem filsafat Pancasila, tidak
mungkin menghindari penilaian negatif terhadapnya: Pancasila hanyalah
'tong kosong' (Van der Kroef), Pancasila sebagai 'tong konflik' ( Howard
Wriggins), Pancasila sebagai 'obat dan alat mental' bagi status quo (Harry J.
Benda), Pancasila sebagaikebingungan semantiktentu saja kekacauan akibat
kerancuan berpikir, Pancasila hanyalah kumpulan dari lima keutamaan
(Listyono, dkk., 2003).

Pancasila tidak boleh diartikan begitu saja sebagai “Lima


Prinsip Etika”, tetapi sebenarnya adalah “Lima Asas Kebangsaan
IndonesiaYang perlu dipertahankan dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara adalah bagaimana kondusifitas identitas Pancasila
dapat dibina, ditumbuhkan dan dikembangkan, menuju Indonesia
yang sejajar dengan bangsa lain dalam suasana yang adil dan
makmur. untuk setiap generasi.

3. Contoh studi kasus untuk diskusi


Tabel berikut menyajikancontohberbagai kasus mengenai
interpretasi dan implementasi sistem filosofis Pancasila dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara Indonesia sepanjang lintasan sejarah:

53
Jurnal Filsafat Vol. 39, Nomor 1, April 2006

Bidang Contoh Kasus / Masalah Pendalaman Masalah

- Benarkah koperasi adalah - Koperasi adalah


pelaksanaan ekonomi? alternatif antara
Pancasila? Mengapa tidak kapitalisme dan
E berkembang dengan baik? sosialisme?
K
HAI - Apakah kerjasama dengan IMF - Berarti mengikuti
bertentangan dengan kebijakan kebijakan kapitalisme?
N
ekonomi Pancasila?
HAI Pesta yang menguntungkan

M - Bagaimana mengembangkan
orang asing, merugikan mereka sendiri

bangsa?
Saya ekonomi rakyat?
Bagaimana kebijakan yang tepat - Memperkuat kemandirian
bagi pedagang kaki lima? rakyat untuk
sejahterakan dirinya sendiri

sendiri?

- Apakah PKI bertentangan - PKI terutama berdasarkan sila


dengan Pancasila? Mengapa dalam Pancasila selain sila
bisa hidup di masa orde lama, pertama? Bisa maksudnya?
sedangkan di masa orde baru
tidak boleh? dengan demikian?
P
HAI - Apakah demokrasi terpimpin - Bagaimana mewujudkan

merupakan perwujudan? "popularitas"


L
Saya demokrasi pancasila? Apakah keberadaannya? dipimpin oleh kebijaksanaan

lembaga tertinggi negara (MPR) kebijaksanaan batin


T
UUD 1945, sebelum pertimbangan
Saya
perwakilan"?
K amandemen) merupakan perwujudan dari

sila keempat pancasila?


- Bukankah itu berarti?
demokrasi liberal?
- Apakah pemilihan langsung tidak
bertentangan dengan Pancasila?

54
Jurnal Filsafat Vol. 39, Nomor 1, April 2006

- Apakah poligami tidak sesuai - Apakah poligami budaya


B dengan budaya nasional? asing (timur tengah)?
kamu
D - Apakah demonstrasi sebagai cara - Mengungkapkan pendapat
untuk mengekspresikan? harus sopan?
SEBUAH

kamu pendapat yang bertentangan dengan

budaya pancasila?
SEBUAH

Cara menjawab kasus atau masalah di atas adalah dengan


membahasnya secara cermat, tidak gegabah, objektif, mendalam dan
komprehensif.

Ada kemungkinan hasil jawaban berbeda satu sama lain, tetapi bukan
berarti otomatis membenarkan yang satu dan menyalahkan yang lain. Perbedaan
jawaban menunjukkan betapa sulitnya satu interpretasi dan implementasi.
Perbedaan perlu dielaborasi sedemikian rupa, dengan prinsip saling
menghormati dan saling memahami, agar memungkinkan ditemukannya
interpretasi dan implementasi baru yang pada akhirnya akan memperkuat dan
mengembangkan sistem falsafah Pancasila.

BIBLIOGRAFI

Darmaputera, Eka, Ph.D., 1997,Pancasila: Identitas dan Modernitas;


tinjauan etika dan budaya,PT BPK Gunung Mulia, Jakarta.

Hasan, Iqbal, M., MM., 2002,Materi Edukasi Utama


Pancasila,PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Lechte, John, 2001,50 Filsuf Kontemporer,dijuluki: A Gunawan


Admiranto, Penerbit Kanisius, Yogyakarta.

Santoso, Listiyono; Santoso, Heri; Soedarso, 2003,(dekonstruksi


Ideologi Negara,Penerbit Ningrat, Yogyakarta.

Syam, Mohammad Noor, Dr., 1999,dasar negara pancasila


Indonesia: wawasan sosial budaya filosofis dan
konstitusional,Penerbit Laboratorium Pancasila IKIP Malang,
Malang.

55
Jurnal Filsafat Vol. 39, Nomor 1, April 2006

Suhadi, Drs., 1986,Hakikat Yuridis Negara Pancasila,Fak.


Filsafat UGM, Yogyakarta.

Soekarno, Ir., 1964,Mempertajam Pancasila, Falsafah Dasar Negara,editor:


H. Amin Arjoso, SH., Panitia Nasional Peringatan Hari Lahir Pancasila 1 Juni
1945 – 1 Juni 1964, Jakarta.

Sunoto, SH., 1985,Mengenal Filsafat Pancasila: Pendekatan Melalui


Metafisika Logika Etika,PT Hanindita, Yogyakarta.

Pelly, Usman, Prof. Dr., dan Asih Menunggu, Dra., MS., 1994,Teori
Sosial budaya,Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta.

56

Anda mungkin juga menyukai