VIDEO
Film, Sinetron, Drama TV, Dokumenter dan sebagainya merupakan produk audio‐visual yang
dapat kita saksikan setiap saat di layar televisi. Sejarah menunjukkan bahwa semua itu bermuara
dari dari motion picture yang dibuat oleh Lumiere dari Perancis pada tahun 1895, yang kemudian
berkembang menjadi film yang kita kenal seperti saat ini. Film atau rekaman visual apapun pada
prinsipnya merupakan representasi kehidupan, sehingga setiap produk yang dibuat harus mampu
menampilkan rekaman kenyataan tersebut secara utuh atau seolah‐olah utuh.
DEKUPASE & MONTASE
Perkembangan televisi dan film dengan berbagai produknya tidak akan pernah bisa
dilepaskan dari kedua kata tersebut, dekupase dan montase. Dekupase dan montase adalah
terminologi dasar penciptaan film maupun produk audio visual lainnya. Istilah dekupase dan
montase mungkin saat ini sudah tidak populer, namun tanpa disadari bahwa terminologi tersebut
hampir selalu digunakan pada setiap produksi audio‐visual. Dekupase yang digunakan umumnya
menggunakan gaya klasik atau biasa disebut gaya Hollywood. Gaya ini dengan mudah dapat
diidentifikasi karena biasanya bersifat deduktif yaitu penggambaran dari luas atau umum ke
penggambaran secara khusus atau menyempit.
Bentuk klasik seperti diatas bertujuan untuk mencapai perpindahan shot yang dinamis serta untuk
mengarahkan perhatian pada kejadian yang sedang berlangsung. Sedangkan istilah montase itu
sendiri saat ini dikenal sebagai editing atau penyuntingan.
a. Dekupase berasal dari kata Decoupage (bahasa perancis Dècouper : to cut up) atau pemisahan
atau pemecahan. Menurut Dr. J.M. Peters dalam bukunya Montage Bij Film En Televise, dekupase
adalah proses pemisahan atau pemecahan gambar (shot) dalam sebuah pengambilan gambar
dan melakukan pemisahan gerakan melalui berbagai pengambilan gambar (angle).
b. Montase berasal dari kata Montage (bahasa perancis Montèr : menyusun, mengatur,
membangun). Montase dapat diartikan sebagai proses penyuntingan dengan melakukan
perangkaian shot‐shot, penyatuan atau penggabungan adegan‐adegan. James Monaco
menyebutkan bahwa montase adalah suatu proses peringkasan dimana bahan baku yang tidak
diperlukan akan dibuang atau perbuatan membangun berdasarkan bahan baku.
Dekupase dan montase menjadi dasar mengapa ada proses editing pada pembuatan film.
Dekupase mengacu pada proses pemisahannya sedangkan montase pada proses penyatuannya.
Dekupase dan montase merupakan satu kesetangkuban yang tidak dapat dipisahkan karena
pemahaman dekupase dan montase lekat kaitannya dengan penyuntingan yang saat ini dikenal
dengan istilah editing.
Proses produksi audio‐visual dibedakan menjadi 2 (dua) bagian besar yaitu : Single Camera
Production dan Multi Camera production atau sering disebut EFP (Electronic Field Production).
Pada sistim single camera, terjadi proses dekupase yang disesuaikan dengan struktur naskah.
Dekupase adalah pemecahan gambar (shot) dimana pemecahan tersebut mengacu pada proses
pelaksanaan pengambilan gambarnya.
Contoh Dekupase :
Scene 1 : Memberikan informasi kepada penonton tentang suasana penertiban pedagang kaki
lima oleh Dinas Tramtib.
Shot yang dibuat :
Shot 1 : [ LS ] Suasana di sekitar jalan protokol dan aktivitas para pedagang di trotoar.
Shot 2 : [ FS ] Mobil yang sedang melintas tiba‐tiba berhenti mendadak karena menghindar
lalu lalang orang yang sedang berbelanja.
Shot 3 : [ FS ] Dari jauh nampak truk dinas Tramtib yang mengangkut petugas sambil
membunyikan sirine.
Shot 4 : [ CU ] Raut muka kaget pedagang kaki lima mengetahui kedatangan petugas
Tramtib.
Shot 5 : [ MS ] Pedagang membenahi barang dagangannya secara tergesa‐gesa sambil
berusaha kabur.
Shot 6 : [ LS ] Petugas sampai di tempat tersebut dan saat itu sebagian besar pedagang
sudah melarikan diri dengan barang‐barang dagangan yang masih berserakan.
Contoh diatas menggunakan sistim single camera dimana kamera merekam kejadian satu demi satu
(shot by shot) sesuai susunan atau struktur gambar yang diinginkan. Jika pengambilan gambar
tersebut hanya dilakukan dengan satu kali shot long take dan mencakup keseluruhan adegan maka
secara teknis dapat dikatakan tidak terdapat dekupase.
Sistim multi camera menggunakan lebih dari 1 (satu) kamera yang ditempatkan sesuai
susunan shot, jika terdapat 6 shot seperti diatas, maka jumlah kamera yang digunakan dapat
disesuaikan dengan jenis shot/shot size maupun blocking sehingga perekaman kejadian tidak
dilakukan secara shot by shot, melainkan dapat dilakukan bersamaan secara simultan.
DEFINISI EDITING
Secara fisik, editing hanyalah mengabungkan satu shot dengan lainnya kemudian shot
digabung menjadi scene. Pada dasarnya, editing menghilangkan ruang dan waktu yang tidak penting
serta, menghubungkan shot satu dengan shot lainnya, satu adegan dengan lainnya dan seterusnya.
Berikut ini adalah beberapa definisi tentang editing :
1. Penjajaran dan pengurutan gambar satu ke gambar berikutnya dengan membuang gambar‐
gambar yang tidak diperlukan.
(David Bordwell & Kristin Thompson, Film Art, an Introduction, 1998).
2. Usaha menciptakan kontinuitas gambar yang baik, wajar dan logis sehingga dapat dinikmati
khalayak penontonnya. (Darwanto Sastro Subroto, Produksi Acara Televisi, 1994)
3. Manajemen terhadap gambar bergerak, image, title dan lain‐lain yang bersumber dari kamera,
VTR, Character Generator, Telecine dan sebagainya.
(Alan Wurtzel, Television Production, 1994).
4. Proses menyusun, memotong dan memadukan kembali (film/rekaman) menjadi sebuah cerita
utuh dan lengkap.
( Kamus Besar Bahasa Indonesia, P&K, 1994 ).
Secara umum editing dapat didefinisikan sebagai proses koordinasi shot satu dengan yang lain
sehingga menjadi satu kesatuan utuh yang sesuai dengan ide, konsep atau skenario dengan
mempertimbangkan elemen visual, sinematografi atau videografi dan suara.
FUNGSI EDITING
1. Menggabungkan (combine)
Seperti terminologi dekupase dan montase, editing secara fisik merupakan penggabungan
dan penyatuan shot‐shot yang dipecah agar tercapai perpaduan dan kesatuan yang selaras
sesuai dengan ide, konsep dan naskah. Pada penyuntingan continuity, penggabungan
tersebut harus mencapai tujuan akhir berupa dramatika cerita, sedangkan pada
penyuntingan kompilasi harus menuju titik akhir berupa kejelasan informasi.
Contoh penyuntingan continuity : Scene penangkapan perampok bank.
Shot 1 : [ FS ] Suasana bank yang sedang dilanda kepanikan.
Shot 2 : [ MS] Perampok yang keluar dari pintu bank sambil berlari.
Shot 3 : [MS ] Polisi yang menodongkan senjata di balik mobil patroli.
Shot 4 : [ CU ] Pistol yang ditodongkan.
Shot 5 : [ CU ] Ekspresi wajah perampok yang ketakutan.
Shot 6 : [ECU] Polisi akan menarik pelatuk.
Shot 7 : [ FS ] Perampok menyerah dan polisi memborgol tangan perampok.
Contoh penyuntingan kompilasi : Segmen pengenalan kota Magelang.
Shot 1 : [ LS ] Gunung Tidar dan lansekap kota Magelang.
Shot 2 : [ FS ] Plang ‘Selamat Datang di Kota Magelang’.
Shot 3 : [ FS ] Keramaian lalu‐lintas kota.
Shot 4 : [ FS ] Patung Diponegoro.
Shot 5 : [ LS ] Alun‐alun kota Magelang.
Shot 6 : [ CU ] Tugu Adipura.
2. Memangkas (trim)
Durasi program, cerita, plot, segmen maupun shot adalah terbatas sesuai kebutuhan
dramatika maupun kejelasan penerimaan informasinya, maka durasi shot harus sesuai
dengan penempatan waktu yang tersedia. Secara fisik, trimming dalam hal ini berarti
mengurangi, menghapus, membuang bahan‐bahan, adegan, informasi yang tidak diperlukan
maupun yang tidak berhubungan. Misalnya seorang editor berita yang menerima stok
gambar sepanjang 10 menit, sementara slot durasi yang tersedia hanya 30 detik maka editor
tersebut harus memilih gambar‐gambar terbaik dan informatif yang kemudian akan
dirangkai sesuai durasi yang diminta dan membuang gambar‐gambar yang tidak terpilih.
Kata “trim” juga digunakan oleh editor pada editing control dalam membuat penambahan
atau mengurangi dari edit point yang dibuat.
3. Membetulkan (correct)
Gambar yang dihasilkan pada saat syuting kadang‐kadang tidak selalu baik dan sesuai
keinginan, dalam arti tidak sesuai standar kualitas yang diminta maupun tidak sesuai dengan
naskah. Memperbaiki atau mengoreksi gambar bisa dilakukan dengan sederhana misalnya
melakukan pemotongan shot yang tidak sesuai atau tidak baik dan menggantinya dengan
shot‐shot yang baik dan sesuai, maupun juga dengan suara. Pada proses ini juga dapat
dilakukan koreksi suhu warna (pengaturan white balance yang kurang tepat), brightness dan
kontras gambar yang kurang atau berlebihan, level suara yang tidak seimbang antara shot
satu dengan shot lainnya.
Contoh : Titik puncak adegan dalam olah raga atletik adalah saat sang pemenang menyentuh
garis finish. Jika gambar yang dihasilkan saat si pemenang akan sampai garis finish sudah
baik namun pada saat di garis finish itu sendiri kamera tiba‐tiba miring atau out focus, maka
editor bisa membuang gambar out focus tersebut dengan shot penonton yang bertepuk
tangan, disambung dengan shot deretan piala‐piala dan ditambah efek suara gemuruh tepuk
tangan dan sorak sorai.
4. Membangun (build)
Seorang pembuat film dari Rusia bernama Pudovkin menyatakan bahwa setiap shot
mempunyai satu nilai. Namun melalui penjajaran shot, dapat dibentuk makna baru. Maka
makna sebenarnya adalah berada dalam penjajaran tersebut, bukan dalam satu shot
tunggal. Melalui editing dapat diciptakan sebuah makna yang berasal dari rangkaian gambar
yang disambung walaupun sebenarnya rangkaian gambar tersebut bukan dari satu
pengambilan gambar.
Contoh : Misalnya dalam sebuah scene tentang semangat prajurit di medan pertempuran,
editor dapat menyambung secara cepat gambar‐gambar deretan prajurit dengan senjata
lengkap, moncong meriam, acungan tangan dan pekik semangat, putaran roda tank, petir di
awan, debu‐debu di tanah yang beterbangan, aliran sungai yang deras, awan yang bergerak
cepat dan sebagainya dimana gambar‐gambar tersebut semula merupakan kumpulan
gambar yang tidak berhubungan.
METODE PENYAMBUNGAN
Setiap penyambungan gambar dalam penyuntingan selalu berhubungan dengan tindakan secara fisik
yang dilakukan, maka pada saat memotong maupun menyambung shot dikenal beberapa metode
menyambung. Metode menyambung ini sering disebut juga Transisi, sebuah pola pergantian dan
perpindahan gambar yang menghubungkan antar shot :
1. CUT TO CUT
Cut adalah teknik representasi pergantian gambar secara langsung dan mendadak.
Meskipun secara visual teknik ini merupakan penyambungan yang bisa dirasakan, namun
dalam konsep penyuntingan continuity, cut to cut justru menjadi metode yang membuat
penyambungan gambar menjadi tidak terasa dan seolah‐olah utuh tanpa adanya potongan
maupun penyambungan kembali (invisible). Pada penyuntingan kompilasi, cut to cut efektif
untuk mengalirkan informasi tanpa adanya kesan pemotongan‐pemotongan. Secara konsep,
teknik cut dibagi menjadi beberapa sub‐metode yaitu :
a. MATCH CUT
Penyambungan gambar dengan perurutan gambar dimana gambar berikutnya adalah
kelanjutan dari aksi sebelumnya dalam sudut yang berbeda.
Match cut merupakan teknik yang umum dilakukan dengan maksud untuk mengalirkan
adegan melalui sudut pandang yang berbeda dimana pada shot kedua atau selanjutnya
masih terdapat elemen‐elemen visual shot yang pertama atau sebelumnya. Match cut
menimbulkan motivasi tertentu pada adegan dan dapat mewakili keingintahuan
penonton terhadap kejadian berikutnya atau terhadap hal‐hal yang ingin diketahui
penonton secara lebih jelas.
b. CUT AWAY
Cutaway adalah penyambungan dari aksi ke shot obyek lainnya yang masih terdapat
hubungan dengan scene utama, dimana dalam shot kedua atau selanjutnya tidak ada
elemen‐elemen visual shot yang pertama atau sebelumnya. Hal ini bertujuan untuk
memberi informasi yang lebih banyak kepada penonton. Cutaway juga digunakan untuk
menunjukkan objek‐objek yang menjadi pusat perhatian atau menyembunyikan
kesalahan sehingga perjalanan scene menjadi logis.
c. CUT‐IN
Cut‐in adalah teknik yang sama dengan cutaway namun pada shot kedua atau
selanjutnya masih terdapat elemen‐elemen visual shot yang pertama atau sebelumnya
yang berfungsi sebagai transisi untuk perpindahan posisi atau waktu dari obyek
tersebut.
2. OPTICAL EFFECT
Transisi ini secara fisik dapat terlihat karena terdapat rekayasa dan modifikasi gambar baik
yang dilakukan secara optis maupun elektronik. Pada saat teknologi penyuntingan film masih
menggunakan sistem mekanis dan manual, metode yang digunakan untuk membuat transisi
ini adalah murni menggunakan efek‐efek optis akibat dari pencampuran beberapa gambar
sehingga kemudian lebih dikenal sebagai optical effect. Kini hal tersebut dengan mudah
dilakukan dengan bantuan mesin elektronik vision mixer maupun software editing non‐
linear.
a. DISSOLVE
Dissolve adalah transisi diantara dua shot dimana gambar pertama perlahan‐lahan
menghilang dan pada saat yang bersamaan gambar kedua perlahan‐lahan muncul
sehingga terdapat saat‐saat terjadi pembauran diantara keduanya.
Dissolve secara umum digunakan untuk mengalirkan shot A ke shot B tanpa
mengakibatkan kesan perpotongan adegan. Unsur pencampuran yang terjadi dalam
teknik tersebut bersifat halus dan tidak menimbulkan persepsi bahwa sebenarnya
shot A dan B adalah berbeda, selain itu juga efektif untuk menyatukan dua gambar
yang mempunyai perbedaan grafis (graphical contrast) secara sangat signifikan.
Dissolve dapat digunakan untuk menyingkat/memangkas waktu filmis antara transisi
adegan A, B, C dan seterusnya dalam sebuah cerita yang menggambarkan perjalanan
waktu yang sangat panjang.
Dalam konteks kreatif, Dissolve dapat digunakan untuk mengajak penonton masuk
ke dalam dunia imajinasi atau hal‐hal lain yang bersifat penekanan terhadap
dramatika cerita.
b. WIPE
Transisi gambar A dan B dengan pola menghapus. Shot pertama secara langsung di
hapus oleh shot kedua menggunakan efek tertentu seperti pintu yang bergeser, jendela
terbuka, kertas menggulung, jarum jam berputar dll. Wipe merupakan transisi yang
paling nyata dan dinamis karena menggunakan pendekatan grafis..
Secara umum wipe juga digunakan untuk transisi perpindahan adegan A dan B,
namun wipe lebih cenderung pada hal‐hal yang sifatnya artistik dan berkaitan
dengan camera‐ movement, grafis dan hal‐hal lain yang bersifat dinamis.
Wipe tidak menimbulkan dampak berarti pada keterkaitan adegan karena teknik ini
pada umumnya murni untuk menyambung adegan saja.
Wipe mempunyai beragam pola transisi yang biasanya terdiri dari bentuk‐bentuk
tertentu sesuai dengan makna yang ingin disampaikan editor atau sutradara.
Misalnya transisi wipe berbentuk “jantung hati” digunakan untuk menyatakan
bahwa adegan tersebut berisi kisah‐kisah cinta dan romantisme.
c. FADE
Pergantian gambar secara gradual yang diawali dengan gambar gelap (fade‐in) atau diakhiri
dengan gambar gelap (fade‐out). Sedangkan fade yang diawali dan diakhiri dengan gambar
putih dengan pola irama cepat secara spesifik sering disebut flash. Flash lebih menekankan
ke aspek estetika dan dramatika daripada fungsi.
Fade pada umumnya digunakan untuk mengawali atau mengakhiri adegan. Black screen
yang menyertai teknik fade dapat dianalogikan seperti sebuah kain penutup di panggung
teater dimana saat kain hitam penutup panggung terbuka merupakan awal dimulainya
pementasan dan saat kain tersebut perlahan‐lahan menutup merupakan akhir dari babak
tersebut.
Fade merupakan cara termudah untuk mengawali dan mengakhiri scene. Teknik ini sering
dipakai pada film‐film konvensional karena secara estetika menimbulkan kesan formal
dan sopan. Namun banyak pembuat film yang sudah tidak lagi menggunakan teknik ini
untuk mengalirkan continuity. Para sutradara maupun editor lebih sering menggunakan
teknik L‐Cut, yaitu teknik perpindahan gambar atau transisi yang mendahulukan suara
adegan B masuk dalam adegan A agar penonton secara tidak sadar dibawa masuk ke
adegan selanjutnya tanpa menimbulkan kesan mendadak.
Secara estetik fade juga dapat digunakan sebagai subjective‐shot, yaitu gambar yang
nampak di layar seolah‐olah merupakan refleksi dari mata salah seorang tokoh dalam film
tersebut. Misalnya adegan orang yang terbangun dari tidur, orang siuman dari pingsan
dan sebagainya.
KESINAMBUNGAN
Selain metode fisik penyambungan, ide, gagasan, naskah, cerita yang diinginkan pembuat program
harus memenuhi syarat lain agar apa yang disampaikan melalui gambar dapat dipahami pemirsa
dengan jelas. Maka selain cara menyambung juga diperlukan konsep dalam menyambung, salah
satunya adalah konsep kesinambungan. Kesinambungan dalam penyuntingan terdiri dari beberapa
aspek, salah satunya adalah kesinambungan ruang.
1. RUANG (SPATIAL)
Salah satu karakteristik visual‐storytelling adalah identifikasi ruang dan waktu harus jelas
agar tidak membingungkan pemirsanya. Contohnya seorang tokoh dalam film yang
sebelumnya diperlihatkan berlari ke arah kanan tiba‐tiba pada gambar berikutnya terlihat
berlari ke arah kiri. Pada saat pengambilan gambar, si tokoh tidak sekalipun berlari ke arah
kiri. Kesan berlari ke arah kiri diakibatkan kamera yang pindah posisi ke seberang si tokoh.
Maka dalam konsep kesinambungan ruang perlu diperhatikan beberapa hal agar pemirsa
dapat menerima informasi maupun cerita dengan jelas.
a. KAIDAH 180° (180° RULES)
Kaidah ini adalah aturan umum penyuntingan continuity dimana posisi kamera harus
mengindikasikan satu sisi sudut pandang adegan dalam satu ruang yang membentuk
poros 180 derajat. Aturan ini untuk menjaga konsistensi hubungan ruang dan
pergerakan dari shot satu ke shot lainnya.
A B
Aturan ini sebenarnya pada tataran wilayah director of photography dan
penyutradaraan, namun dalam tataran penyuntingan dianggap penting sebagai dasar
untuk menciptakan kontinyuitas naratif. Kaidah 180° menggunakan garis imajiner untuk
membedakan ruang. Garis tersebut juga biasa disebut dengan line of axis atau 180° line.
Wilayah 180° adalah wilayah yang berada pada area putih pada gambar diatas,
sedangkan area hitam yang dipisahkan oleh garis imajiner adalah wilayah sebaliknya.
FUNGSI KAIDAH 180°
KONSISTENSI POSISI OBYEK
Pada gambar A ditunjukkan bahwa pada shot 1,2 dan 3 nampak tokoh berada pada
posisi yang relatif sama yaitu si A di sebelah kiri dan B di sebelah kanan meskipun
dilihat dari sudut pandang yang berbeda. Sedangkan pada shot X nampak posisi B
menjadi terbalik. Hal ini disebabkan karena posisi kamera sudah menyeberang dari
garis imajiner. Pada kasus diatas dapat dikatakan bahwa aturan 180° memastikan
bahwa posisi obyek dalam frame akan selalu konsisten.
KONSISTENSI SCREEN DIRECTION
- ARAH PANDANG
Jika dilihat dari sisi arah pandang (eyeline), shot 1,2 dan 3 mempunyai arah
pandang mata yang sama yaitu A ke arah kanan dan B ke arah kiri.
- ARAH PERGERAKAN ADEGAN
Pada gambar B nampak tokoh A dan tokoh B sedang berpapasan di jalan. Shot 1
merupakan angle kunci dari screen direction atau arah pergerakan adegan,
sedangkan tokoh B menuju ke arah kiri dari sudut pandang kamera. Jika point of
view penonton berada pada tokoh A, maka jika kamera diletakkan pada posisi
sebaliknya akan terjadi arah pergerakan adegan yang terbalik yaitu tokoh B
secara tiba‐tiba berjalan ke arah kanan juga. Jadi dalam hal ini aturan 180° juga
menunjukkan konsistensi arah pergerakan adegan.
b. EYELINE MATCH
Eyeline Match adalah sebuah garis mata yang seolah‐olah menghubungkan kedua mata
tokoh sehingga posisi tokoh dapat terjelaskan. Misalnya tinggi tokoh sejajar, maka (A)
dan (B) akan menunjukkan garis mata yang sejajar. Bila (A) lebih pendek dari (B) maka
(A) akan mendongak dan (B) melihat ke bawah.
A B A & B
c. POINT OF VIEW CUTTING
Jika pada prinsip eyeline match seolah‐olah menghubungkan kedua mata tokoh, prinsip
point of view adalah menghubungkan garis mata antara tokoh dengan obyek yang ingin
diperlihatkan kepada penonton.
JENIS TEKNIK PELAKSANAAN EDITING
1. FILM SPLICING
Teknik ini digunakan pada editing film (seluloid) dimana dalam pelaksanaanya, gambar yang
dipilih akan dipotong secara mekanis dengan menggunakan alat splicer dan hasil
pemotongan tersebut akan disambung kembali dengan rangkaian gambar lain. Splicer saat
ini sudah tidak banyak dipakai dalam penyuntingan film karena fungsinya sudah digantikan
oleh digital non‐linear editing. Merk yang terkenal pada jamannya adalah Steenbeck dan
Moviola.
2. TAPE TO TAPE (LINEAR EDITING)
Penyuntingan dengan teknik tape to tape tidak hanya pada pita video analog, namun juga
berlaku pada penyuntingan video pita digital. Teknik ini menganut prinsip penyambungan
gambar dari satu sumber video maupun beberapa sumber video ke sebuah video perekam
dengan pola urut dan searah. Pola urut dan searah adalah bahwa video perekam hanya bisa
merekam gambar dan timecode dari titik awal pita kemuadian berlanjut secara urut sampai
akhir pita. Gambar dan timecode yang sudah terekam tidak dapat digeser maupun dihapus.
Koreksi atas kesalahan yang timbul akibat penentuan timecode yang tidak tepat harus
dilakukan dengan cara mengulang proses perekaman dan ditimpakan pada gambar dan
timecode yang sudah ada. Editing tape to tape satu sumber (A‐Roll System) dapat dilakukan
dengan cara menghubungkan secara langsung koneksi video‐audio maupun melalui editing
controller unit. Sedangkan untuk editing multi sumber (A/B‐Roll System) harus memakai
switching unit atau video mixer unit (atau sering disebut vision mixer). Keunggulan teknik ini
adalah tidak memerlukan proses capture/digitizing/ingest maupun render dan print to tape
sehingga waktu yang dibutuhkan untuk proses penyuntingan menjadi lebih singkat. Tape to
tape editing biasanya digunakan untuk penyuntingan berita maupun program lain yang
menuntut waktu yang cepat.
SISTEM A‐ROLL
SISTEM A/B‐ROLL
3. EDITING KOMPUTER (DIGITAL NON‐LINEAR EDITING / NLE)
Teknik ini mengubah sinyal video‐audio analog maupun digital menjadi data/file sehingga
pelaksanaan penyuntingan dilakukan dengan bantuan software. Fleksibilitas perangkat lunak
editing memungkinkan penyuntingan dilakukan dengan pola acak dan tidak searah. Pola ini
tidak mengharuskan keputusan meletakkan edit point harus dari awal sampai akhir, namun
dapat dilakukan dimanapun dan dapat diubah, digeser maupun dihapus dengan mudah. Alur
proses penyuntingan non‐linear adalah sebagai berikut :
a. Capturing/Digitizing/Ingest
Proses pengubahan video analog maupun digital menjadi data/file. Beberapa pembuat
perangkat editing non‐linear menyebut proses tersebut dengan istilah digitizing.
Sedangkan pada sistem on‐air automation (sistem manajemen data video‐audio untuk
kebutuhan siaran televisi secara otomatis) biasa disebut dengan Ingest. Proses ini
membutuhkan perangkat konversi (modul firewire card, SDI card, component‐composite
input card dan sebagainya) yang ditambahkan pada perangkat komputer secara
terintegrasi maupun terpisah. Kualitas gambar yang dihasilkan setiap modul konverter
berbeda‐beda tergantung pada kelas peruntukannya.
b. File Management
Manajemen data merupakan prosedur wajib yang harus diterapkan pada penyuntingan
non‐linear. Kompleksitas sifat penyuntingan ini mengakibatkan semua data yang bersifat
digital dapat diterapkan sementara kelemahan non‐linear editing adalah keterbatasan
dalam hal ruang penyimpanan. Maka diperlukan penataan dan alokasi ruang untuk
penyimpanan video hasil capture dari pita, audio hasil perekaman maupun audio dari
sumber lain, grafis, animasi dan sebagainya. Penempatan data juga termasuk dalam
manajerial sistem ini, misalnya penempatan data berdasarkan hari perekaman,
berdasarkan pembagian scene adegan maupun berdasarkan kriteria lainnya.
c. Editing
Tahap ini merupakan pelaksanaan inti penyuntingan. Segala hal yang dibutuhkan dalam
proses ini misalnya perangkat pemotong, mixer video‐audio, efek gambar, signal
generator, matte‐video dan sebagainya sudah disediakan oleh software editing.
Karakteristik dari komputerisasi mengakibatkan sistem yang berjalan menjadi sangat
tergantung pada seberapa baik kinerja komputer tersebut. Jika perangkat keras,
perangkat lunak, sistem operasi tidak saling mendukung maka dapat mengakibatkan
kerusakan data, kerusakan project dan sebagainya yang pada akhirnya justru akan
merusak seluruh susunan sistem. Maka dalam pelaksanaan penyuntingan non‐linear
diperlukan sistem cadangan (back‐up).
d. Rendering & Print to Tape
Ini adalah rangkaian akhir dalam pelaksanaan penyuntingan non‐linear. Rendering
adalah proses kompilasi seluruh materi yang tersusun atas rangkaian gambar, suara,
grafis, timecode dan sebagainya menjadi satu kesatuan berbentuk sebuah file baru yang
merupakan file master edit, sedangkan Print to Tape adalah proses perekaman seluruh
materi yang tersusun atas rangkaian gambar, suara, grafis, timecode dan sebagainya ke
dalam pita video master edit.
4. LIVE EDITING (SWITCHING)
Switching secara konsep sama dengan penyuntingan pada umumnya, namun mempunyai
perbedaan pada teknis pelaksanaanya. Switching adalah proses pemilihan gambar dari
berbagi sumber secara langsung pada satu satuan waktu yang sama. Proses ini biasanya
dilakukan pada produksi multi‐kamera. Switching dilakukan dengan menggunakan bantuan
peralatan video switcher atau video mixer unit.